IDENTITAS ISLAM MODERAT DALAM KEBIJAKAN LUAR NEGERI INDONESIA Lelly Andriasanti Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta Email: lelly15agmail.com Abstrak - Identitas Islam Moderat dalam Kebijakan Luar Negeri Indonesia

IDENTITAS ISLAM MODERAT DALAM KEBIJAKAN LUAR NEGERI

  

INDONESIA

Lelly Andriasanti

Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta

Email: lelly15a@gmail.com

  Abstrak

In recent years, Indonesia’s foreign policy seems to portray moderate Islamic identity.

  This is, however, in contrast with the practices of Indonesia’s foreign policy itself.

Historically, Indonesia has been avoiding the possibility of reflecting the Islamic

identity, although the majority of Indonesia’s population is Muslim. This situation raises

a q uestion, “Why does Indonesia’s current foreign policy promote moderate Islamic

identity?” The methodology used in this study is a qualitative method, specifically

discourse analysis. There are four results of this study. First of all, by portraying

moderate Islamic identity, Indonesia wants to distinguish itself from the other

Muslim-majority countries, especially those in the Middle East region. Second, there are

expectations from the international community, especially Western countries, to

understand and to get closer to the Muslim world. Third, Indonesian Government wants

to accommodate the voice of domestic Muslim community that has been expecting a

better relation with the Muslim world. Last but not least, in accordance with the

consistency of its worldview, Indonesia has a motivation to take part in international

relations.

  Kata kunci Identity, Moderate Islam, Indonesia’s Foreign Policy, Role Pendahuluan

  Islam merupakan agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia. Pada tahun 2010, penduduk Muslim di Indonesia berjumlah 205,1 juta jiwa atau 88,2% dari

  1

  232,5 juta total penduduk Indonesia. Meskipun mayoritas penduduknya adalah Muslim, Indonesia bukan negara teokrasi. Indonesia bukan negara yang dibangun oleh kesamaan agama, tetapi oleh kemajemukan suku bangsa dan pluralitas agama yang terikat oleh ideologi Pancasila sebagai dasar negara. Pengakuan terhadap pluralisme turut mempengaruhi kebijakan luar negeri Indonesia. Pada pemerintahan Soekarno dan Soeharto, kebijakan luar negeri diawasi secara ketat agar tidak didikte oleh

  

2

  pertimbangan-pertimbangan ideologi Islam. Hal ini ditujukan untuk menjaga perasaan komunal keagamaan agar tidak merusak persatuan bangsa.

  Sejak tahun 2004, Indonesia mulai mempromosikan identitas Islam moderat. Melalui berbagai forum dan konferensi internasional, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berusaha membuktikan bahwa Islam, modernitas, dan demokrasi dapat bergandengan satu sama lain. Ekspresi kemoderatan Islam ini dapat ditemukan pada beberapa kesempatan seperti Bali Democracy Forum (BDF), World Movement for

  

Democracy , Parliamentary Union Of OIC Member States (PUIC), dan International

Conference on Global Movement of Moderates . Hal ini menegaskan bahwa kebijakan

  luar negeri Indonesia tidak lagi alergi terhadap unsur Islam dalam mencitrakan identitas

  3

  nasional Indonesia ke panggung internasional. Perbedaan pola tersebut menimbulkan pertanyaan: mengapa kebijakan luar negeri Indonesia mempromosikan identitas Islam moderat dalam beberapa tahun terakhir ini?

  Identitas dalam Kebijakan Luar Negeri

  Identitas merupakan perwujudan eksistensi diri. Menurut Viotti dan Kauppi, identitas muncul dari pertanyaan dasar mengenai eksistensi diri, seperti: siapa saya, siapa

  4

  kamu, atau apa yang membedakan kita. Pertanyaan-pertanyaan tersebut hanya dapat dijawab melalui interaksi sosial yang nantinya akan membentuk pemahaman tentang diri sendiri dan pihak lain. Wendt mengidentifikasi empat jenis identitas yang membentuk karakter dari adanya interaksi sosial tersebut. Pertama, corporate identity, berupa identitas yang terbentuk dari pengorganisasian diri. Hal ini mencakup struktur homeostatik yang mendiferensiasi aktor sebagai entitas berbeda antara satu sama lain. Kedua, type identity, yang mengacu pada kategori sosial atau penggunaan label pada aktor. Kedua hal ini bertanggung jawab atas pembagian sejumlah karakteristik dalam penampilan, tingkah laku, sifat, sikap, nilai-nilai, keterampilan, pengetahuan, opini, pengalaman, kesamaan sejarah, dan lainnya. Ketiga, collective identity, yang menghubungkan diri sendiri dengan orang lain melalui logika konklusi atau identifikasi. Keempat, role identity, yang bergantung pada diri sendiri dan respon lanjutan dari pihak lain. Aktor tidak dapat menetapkan sendiri identitas perannya karena identitas hanya

  5 akan muncul dalam hubungan yang melibatkan pihak lain.

  Untuk memahami proyeksi identitas suatu negara di tingkat internasional, pengkajian dengan memanfaatkan teori peran dalam kebijakan luar negeri perlu dilakukan. Peran merupakan salah satu karakter dari identitas yang menuntut pembedaan dalam dinamika sistem sosial internasional. Karena itu, pengambilan peran yang hendak dicapai oleh kebijakan luar negeri sangat dipengaruhi oleh situasi internasional yang diimbangi dengan perhatian pada situasi dan kebutuhan nasional. Proses pembuatan peran pada umumnya bersifat konfliktual sehingga perlu memperhitungkan berbagai mode pembuatan peran yang mengacu pada sikap dan tindakan berbagai pihak dalam mengambil dan menentukan peranan.

  Pertanyaan selanjutnya adalah siapa yang mendefinisikan peran nasional. Pada ranah domestik, pembuatan peran dianalisis dari pembuat keputusan kunci, yakni pemerintah. Hal lain yang perlu diingat adalah pembentukan peran bukanlah tanpa tujuan. Dengan menyediakan tujuan yang pasti dari bernegara di tengah komunitas internasional, konsepsi peran nasional memberkahi negara dengan kepribadian atau

  6 identitas.

  Dari beberapa metode penelitian mengenai identitas seperti survei (survey

  

analysis ), analisis isi (content analysis), analisis wacana (discourse analysis), dan

  analisis etnografi, studi ini dilakukan dengan menggunakan analisis wacana. Analisis wacana merupakan penafsiran makna atas bahasa yang digunakan aktor untuk

  7 menggambarkan dan memahami fenomena sosial.

  Studi mengenai identitas dalam kebijakan luar negeri sendiri bukanlah hal baru. Tidak sedikit akademisi yang mengkaji studi ini. Beberapa akademisi yang telah melakukan studi tersebut antara lain Hüsamettin İnaç dan Ahmad Sadeghi. Dalam

  

Identity Problems of Turkey during the European Union Integration Process ,

  Hüsamettin İnaç menguraikan perubahan identitas Turki dalam proses modernisasi berkepanjangan. Modernisasi yang dipahami sebagai Westernisasi ini terjadi dalam tiga tahapan, yaitu: Ottoman, Kemal, dan integrasi Uni Eropa. Pada tahapan terakhir, identitas Turki dihadapkan pada tantangan dalam melawan culture shock dan culture

  

gap . Sosio-kultural Turki yang kental dengan nilai-nilai Islam dan anti-Barat pada masa

  Otoman tiba-tiba diharuskan untuk menyerap rasa memiliki Eropa dalam kerangka integrasi Uni Eropa. Identitas yang dibangun melalui proses modernisasi Turki berbuah pada penolakan halus Uni Eropa yang melihat bahwa Turki belum siap menerima nilai kebijakan dan kultur Barat. Kondisi ini mengindikasikan kegagalan Turki dalam

  8 menerjemahkan identitasnya dalam proses integrasi Uni Eropa.

  Dalam Genealogy of Iranian Foreign Policy, Ahmad Sadeghi mengkaji faktor-faktor pembentuk kebijakan luar negeri Iran yang diawali dari Revolusi Islam melalui pendekatan genealogi. Internalisasi Islam yang terjadi dalam setiap sendi kehidupan negara menjadikan Islam sebagai identitas yang melekat pada Iran. Hal ini kemudian dimanfaatkan Iran untuk mencapai konfigurasi kepentingan nasional dan merubah peta geopolitik di Timur Tengah melalui revivalisme Islam. Revivalisme yang cenderung konfrontatif ini tidak hanya ditujukan kepada negara-negara di kawasan Timur Tengah dan negara-negara bekas Uni Sovyet, tetapi juga Dunia Barat. Identitas Islam Iran yang tercipta akhirnya bersifat konfliktual karena redefinisi diri yang dilakukan oleh Iran telah mendikotomikan antara diri dengan pihak oposisi yang harus

  9 diperangi, khususnya Amerika Serikat.

  Beberapa studi tersebut memperlihatkan bagaimana identitas menyebabkan problematika, baik di ranah domestik maupun internasional. Dalam ruang domestik, problematika ini berkutat pada pencarian dan pengakuan jati diri sehingga menimbulkan dilema dan krisis seperti pada kasus Turki. Dalam dinamika sistem internasional, identitas memperlihatkan bagaimana anarki dapat terjadi. Pada kasus Iran, identitas yang dimunculkan cenderung menyulut konflik dengan negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat. Pada dasarnya, identitas merupakan pemahaman kolektif yang mengkonstitusikan struktur sehingga mengorganisasi tingkah laku negara untuk dapat

  10

  menentukan antara kawan atau lawan. Dalam sistem internasional yang anarki, persepsi identitas yang membedakan lawan dan kawan ini penting untuk menjadi referensi aktor dalam berinteraksi.

  Berangkat dari asumsi bahwa wajah identitas tidak selalu problematis dan konfliktual, studi ini menaruh perhatian pada kapasitas identitas dalam memediasi konflik. Untuk itu, studi ini menyoroti identitas Islam moderat dalam kebijakan luar negeri Indonesia yang dianggap mampu menjembatani konflik antara Dunia Barat dan Dunia Islam. Studi ini menjadi penting karena berkaitan dengan wajah Islam yang mendapat stigma teroris sepanjang satu dekade terakhir. Stigma tersebut tentu tidak bisa digeneralisasi. Untuk itu, studi ini menampilkan wajah Islam yang lain sehingga dapat memberikan perspektif baru tentang Islam yang lebih toleran. Signifikansi lain dari studi ini berkaitan dengan urgensi posisi Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia. Menurut IJESD 2010, jumlah penduduk Muslim Indonesia merupakan yang terbesar di dunia, yakni 12,9% dari persentase populasi Muslim dunia. Besarnya kuantitas tersebut diharapkan dapat mewakili Dunia Islam.

  Presentasi Islam Moderat Sebagai Respon atas Jaringan Teroris

  Serangan terhadap gedung World Trade Center pada 11 September 2001 merupakan salah satu katalisator isu global di awal abad 21. Peristiwa ini merubah kesadaran Barat bahwa komunisme tidak lagi menjadi ancaman, melainkan Islam yang dianggap mampu mengancam kedigdayaan Barat. Perubahan yang dimotori oleh Amerika Serikat ini tidak hanya dilatari posisinya sebagai objek serangan, tetapi juga motivasi untuk menaikkan kembali perannya di ranah internasional yang mulai menurun pasca Perang Dingin. Dalam menampilkan gaya kepemimpinan, Amerika Serikat mengampanyekan perang terhadap terorisme (war on terrorism ). Pada perkembangannya, perang tersebut menjadikan Islam dan pengikutnya sebagai ancaman sekaligus musuh bersama. Hal ini tidak lepas dari beberapa stereotyping yang dilakukan

11 Amerika Serikat, seperti: al-Qaeda sebagai organisasi teroris yang mempraktikkan

  Islam garis keras dan Osama Bin Laden, Muslim yang bersembunyi di Afghanistan, sebagai dalang dari aksi teror. Dengan alasan tersebut, Amerika Serikat dan Dunia Barat melegalkan operasi militer di Afghanistan dan Irak. Akan tetapi, kekhawatiran terhadap Islam yang berlebihan (Islamophobia) cenderung terjadi setelah Presiden Bush Jr. mengobarkan semangat Perang Salib dalam perang terhadap terorisme. Hal ini kemudian dinterpretasikan publik dan media internasional sebagai perang terhadap Islam.

  Jika tragedi 11 September meningkatkan intensitas perasaan anti-Islam di Dunia Barat, Dunia Islam justru menanggapinya secara beragam. Pengutukan atas tragedi tersebut memang umum dilakukan oleh Dunia Islam, tetapi sifatnya kondisional. Reaksi publik Arab secara umum mengutuk serangan tersebut sebagai tindakan kriminal meski ada juga kalangan yang puas karena Amerika Serikat akhirnya merasakan sakit seperti

  12

  yang dialami Dunia Arab dan negara-negara miskin lainnya. Publik Arab juga menolak klaim media Barat yang menyebutkan bahwa pihak yang bersalah adalah Arab atau Muslim. Untuk menandingi klaim tersebut, berbagai teori konspirasi bermunculan

  13

  di Dunia Arab. Kebanyakan dari teori tersebut berusaha menjelaskan bahwa serangan yang terjadi merupakan pekerjaan ekstrimis domestik atau orang, pemerintah Amerika Serikat sendiri, atau badan intelijen Israel. Dibandingkan dengan tragedi 11 September, operasi militer di Irak justru memberikan efek yang lebih signifikan bagi Dunia Arab. Jika negara-negara Arab menempatkan serangan 11 September sebagai isu di luar kawasan (outside), operasi yang menjatuhkan rezim Saddam Hussein mereka lihat sebagai hal yang terjadi di dalam (inside).

  Berbagai kritik segera dialamatkan ke Amerika Serikat pasca invasi ke Irak. Kaum radikal Islam di Arab mengecam kebijakan tersebut sebagai serangan terhadap seluruh umat Muslim sedangkan kaum moderat memandang hal ini sebagai aplikasi dari benturan peradaban dan percobaan invasi kolonial. Dugaan akan invasi kolonial Amerika Serikat di Irak muncul dari keyakinan bangsa Arab bahwa hal ini

  14

  dilatarbelakangi oleh faktor minyak. Protes anti-Amerika semakin besar dengan adanya pemberitaan media massa seperti Al-Jazeera dan Al-Arabiya yang mempublikasikan banyak korban kekerasan dan konflik serta pelecehan terhadap tahanan di Abu Ghraib. Dunia Arab semakin berpandangan bahwa Amerika Serikat dan Dunia Barat sebagai pihak yang eksploitatif, hipokrit, gemar menerapkan standar ganda,

  15 amoral, agresif, dan mendukung Israel.

  Bagi kawasan Asia Tenggara, perang global terhadap terorisme membawa pengaruh besar yang lebih besar jika dibandingkan dengan operasi militer Amerika Serikat di Irak ataupun Afghanistan. Dari sudut pandang kawasan, perubahan isu keamanan regional bukan disebabkan oleh adanya serangan 11 September, tetapi lebih dikarenakan oleh kepemimpinan AS dalam perang melawan terorisme yang kemudian direspon pemerintah, aktor-aktor politik, dan agama di kawasan sebagai hal yang mendesak. Akibat dari persepsi tersebut, perang global terhadap terorisme membawa

  16

  dua konsekuensi umum di Asia Tenggara. Pertama, fokus perhatian dialamatkan pada hubungan antara Al-Qaeda dan kelompok-kelompok radikal lokal. Hal ini mendorong terciptanya peluang kerjasama yang belum pernah terjadi sebelumnya antara Barat dan negara-negara di Asia Tenggara, khususnya dalam bidalng militer dan intelijen. Kedua, Asia Tenggara diperhitungkan sebagai daerah transit bagi jaringan terorisme sehingga berpotensi menjadi front kedua dalam perang melawan terorisme. Istilah front kedua mencerminkan tingginya tingkat ancaman teroris di Asia Tenggara yang bersumber dari faksi Islam radikal dan milisi bersenjata serta kemudahan akses bagi operasi kelompok teroris di daerah perbatasan yang kurang mendapat pengawasan dari pemerintah setempat.

  Isu utama Amerika Serikat dalam perang global terhadap terorisme bukan hanya memberantas kelompok teroris semata namun lebih pada bagaimana menyesuaikan antara pemberantasan gerakan Islam militan serta penguatan pemerintahan yang

  17

  bersahabat dan kelompok moderat di Dunia Islam. Bagi Barat, Muslim moderat merupakan aliansi potensial yang paling efektif karena mereka merangkul tradisi yang

  18

  berbasis pada nilai-nilai masyarakat modern seperti demokrasi dan pluralisme. Dalam melawan terorisme, strategi yang digunakan Dunia Barat tidak lepas dari promosi demokrasi seperti pengalamannya selama Perang Dingin. Komitmen terhadap demokrasi dan legitimasi politik yang berasal dari kehendak rakyat melalui pemilu demokratis merupakan isu kunci dalam mengidentifikasi Muslim moderat. Rabasa merinci Muslim moderat dalam empat karakteristik, yakni: demokrasi, penerimaan sumber hukum yang non-sektarian, penghormatan hak-hak perempuan dan kelompok

  19 minoritas, serta beroposisi terhadap terorisme dan aksi-aski kekerasan.

  Negara-negara Barat menyadari, jaringan Islam moderat kurang memiliki sumber daya finansial dan kemampuan organisasional dalam membangun jaringan mereka sendiri. Kondisi ini bertolak belakang dengan kelompok Islam radikal yang terbilang sedikit namun memiliki sumber pendanaan yang kuat dan jaringan yang luas. Kelompok radikal kebanyakan memperoleh dana dari Arab Saudi selama tiga dekade terakhir. Dana ini merupakan kepanjangan dari ekspor Wahabisme Islam versi Arab Saudi yang, disengaja atau tidak, berdampak pada pertumbuhan ekstremisme agama di

  20

  seluruh Dunia Muslim. Yayasan Saudi Al-Haramain merupakan salah satu lembaga yang telah ditutup karena terbukti mendanai sejumlah organisasi teroris dari Bosnia ke

21 Asia Tenggara.

  Perhatian Barat di Asia Tenggara pada dasarnya terletak pada upaya membangun jaringan Islam moderat untuk menangkal jaringan terorisme. Pada skala regional, perhatian Amerika Serikat dan Barat tertuju pada Indonesia yang dianggap sebagai pilar

  22

  keamanan di Asia Tenggara. Dalam pandangan Barat, Indonesia memiliki peran yang signifikan di kawasan maupun di luar kawasan. Hal ini didasarkan pada rekam jejak peranan Indonesia di dunia internasional sebagai pendiri Association of Southeast Asia

  

Nations (ASEAN), pelopor Gerakan Non-Blok (GNB), dan anggota Organisasi

  Konferensi Islam (OKI). Mengingat ukuran, posisi, dan peran di kawasan, apa yang terjadi di Indonesia otomatis akan berdampak pada seluruh Asia Tenggara. Dengan demikian, Indonesia yang stabil menjadi kunci stabilitas kawasan.

  Identitas Islam Moderat Sebagai Mediator antara Barat dan Islam

  Terkait upaya pembangunan jaringan Islam moderat oleh Barat, Indonesia menanggapi ekspektasi tersebut secara positif. Dalam paparan tahunan Departemen Luar Negeri pada Januari 2004, Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda mengungkapkan bahwa sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia Indonesia memikul kewajiban untuk memproyeksikan wajah Islam yang sebenarnya, yaitu Islam yang

  23

  moderat. Melalui pencitraan Islam moderat ini Indonesia mencoba untuk membedakan diri dari kesan radikal yang dilabelkan pada Islam pasca serangan World Trade Center tahun 2001. Pencitraan ini juga merupakan upaya Indonesia untuk mengklarifikasi kesalahpahaman pandangan Barat yang mengklaim bahwa kegagalan konsolidasi demokrasi cenderung terjadi pada negara-negara berpenduduk Muslim.

  Meski berpenduduk mayoritas Muslim, Indonesia bukanlah negara Islam. Bahkan, pertumbuhan partai politik yang berlandaskan Islam yang pesat pasca kemerdekaan dan pasca reformasi tidak menunjukkan indikasi pembentukan negara

24 Islam. Sebagai implikasi, kebijakan luar negeri Indonesia tidak berkarakter Islam

  atau, dengan kata lain, berkarakter non-Islam. Menurut Rizal Sukma, alasan pemerintah untuk terus menghindari ekspresi formal faktor Islam dalam kebijakan luar negeri adalah sifat identitas negara yang mempertahankan identitas non-teokratik sehingga menolak

  25 faktor keagamaan eksklusif.

  Dengan demikian, kemoderatan Islam hanyalah tambahan dari identitas formal Indonesia. Salah satu sasaran yang dituliskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) I 2005-2009 difokuskan untuk memperkuat dan memperluas identitas nasional sebagai negara demokratis dalam tatanan masyarakat internasional.

  Hal ini ditegaskan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Indonesian Council on World Affairs (ICWA) pada 19 Mei 2005 yang menyatakan, "We are fourth most populous nation in the world. We are home to the world's largest Muslim polulation. We are the world's third largest democracy. We are also a country where democracy, Islam and modernity go hand in hand."

  Tendensi demokrasi dan Islam moderat sepertinya merupakan upaya Indonesia untuk mendekatkan diri dengan negara demokrasi maju, khususnya Barat. Dalam studi mengenai bagaimana negara-negara demokrasi baru menggunakan kebijakan luar negerinya, Alison Stanger menemukan bahwa proses demokrasi bisa dipertahankan arahnya ketika negara-negara demokrasi baru membawa dirinya lebih dekat kepada

  

26

  negara-negara demokrasi yang lebih mapan. Untuk menjelaskan fenomena ini, Philips J. Vermonte mengemukakan dua alasan. Pertama, kebijakan luar negeri bisa digunakan sebagai alat untuk menjaga jarak atau membedakan diri dari rezim autoritarian yang digantikan. Kedua, sebagai konsekuensi dari alasan yang pertama, prospek bagi kerjasama internasional, terutama dengan negara-negara yang mapan demokrasinya akan semakin baik dan pada akhirnya memberi kontribusi positif bagi proses konsolidasi

  27 internal.

  Perlu diingat, perekonomian Indonesia menerima banyak tekanan pasca rangkaian peristiwa bom teror di tanah air sejak Oktober 2002. Ekspor Indonesia mengalami penurunan sekaligus peningkatan credit risk yang tidak menyisakan sedikit

  28 pun kemungkinan bagi munculnya investasi, baik dari pihak asing maupun domestik.

  Hal lain yang perlu diperhatikan adalah travel warning yang dikeluarkan sejumlah kedutaan besar seperti Amerika Serikat, Australia, dan beberapa negara Eropa Barat bagi warganya yang hendak berpergian ke Indonesia. Akibatnya, pariwisata menjadi sektor yang mendapat imbas cukup besar dari isu teror bom. Besarnya kerugian ekonomi politik akibat teror bom yang dimotori gerakan-gerakan Islam radikal menjadi salah satu alasan Indonesia untuk mencitrakan kemoderatan Islamnya. Secara lebih khusus, dalam hubungan dengan negara-negara Barat, pencitraan ini ditujukan untuk menjalin kerjasama berkesinambungan sehingga prosesnya dilakukan secara dialogis melalui jalur diplomasi. Direktur Informasi dan Media Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, P. L. E. Priatna, mengungkapkan bahwa Islam moderat hanyalah bagian dari

  29 pencitraan dalam mempromosikan demokrasi yang digerakan melalui diplomasi.

  Perlu diketahui sebelumnya bahwa kebijakan luar negeri memiliki pengertian berbeda dengan diplomasi. Jika kebijakan luar negeri mempunyai perhatian pada substansi dan kandungan dari hubungan luar negeri, diplomasi lebih dipusatkan pada

  30

  metodologi untuk melaksanakan kebijakan luar negeri. Jalur diplomasi yang dimanfaatkan Indonesia dalam mencitrakan Islam moderat umumnya berupa dialog intensif seperti dialog antar kepercayaan (inter-faith), antar budaya (inter-cultural), dan antar peradaban (inter-civilization). Hal ini dimaksudkan untuk membangun saling pengertian dan pemahaman antar agama dan kepercayaan, budaya, dan peradaban yang berbeda.

  Eksplorasi dari proses ini berlangsung secara bilateral, regional, maupun multilateral. Proses dialogis yang terwujud melalui hubungan bilateral dapat dilihat dari diselenggarakannya konferensi unity in diversity: the culture of coexistence in Indonesia

  31

  antara Indonesia dan Italia. Sepanjang tahun 2008, Indonesia telah melakukan

  

interfaith dialog dengan Inggris, Austria, New Zealand, Belanda, Kanada, Libanon, dan

  Australia. Sedangkan dalam kerangka regional dan multilateral, dialog-dialog serupa dapat ditemukan dalam ASEM sejak tahun 2005. Khusus kawasan Asia Pasifik, konferensi Asia Pasifik tentang interfaith dialogue and cooperation juga telah dimulai pada 2004 dengan mengambil tempat di Yogyakarta.

  Inisiatif lain yang diambil Indonesia dalam merepresentasikan demokrasi dan Islam moderat adalah dengan menyelenggarakan Bali Democracy Forum (BDF). Forum yang berlangsung pada tataran antar-pemerintahan ini menempatkan Indonesia sebagai pihak yang mempelopori forum khusus yang membahas tentang demokrasi di kawasan Asia. Sejak diselenggarakan kali pertama pada 2008, antusiasme negara-negara di dunia yang berpartisipasi pada acara BDF memperlihatkan pola yang meningkat, dari 40 peserta menjadi 82 peserta pada 2012.

  Antusiasme tersebut pada gilirannya melahirkan interaksi yang lebih intensif antara Indonesia dengan negara-negara yang menghadiri acara tersebut. negara-negara demokrasi Barat umumnya memberikan pengakuan atas kredibilitas Islam Indonesia yang mampu berdampingan dengan demokrasi. Mereka juga mengharapkan Indonesia dapat memainkan peran sebagai suara Islam dunia untuk memediasi antara dunia Barat dan Islam. Selain itu, sebagai negara Muslim terbesar di dunia, Indonesia dapat menjadi model alternatif bagi peradaban Islam dalam transisi ke abad ke-21 karena menunjukkan

  32 kemitraan yang layak dan kompatibel antara Islam dan demokrasi.

  Sejumlah harapan dunia internasional tersebut dibaca Indonesia sebagai peluang untuk mengambil peranan yang lebih besar sehingga Indonesia memiliki alasan yang lebih kuat dalam mencitrakan kemoderatan Islam yang ada pada dirinya. Terkait hal ini, cara pandang Indonesia dalam melihat dunia juga memiliki proporsi yang krusial dalam membangun pencitraan tersebut. Cara pandang nasional terhadap dunia (worldview) merupakan persepsi dominan dari watak sistem dunia dan sekaligus mengambil tempat dalam sistem itu sendiri. Menurut Paige Johnson Tan, meskipun mengalami perubahan kepemimpinan yang drastis, konsistensi cara pandang Indonesia melihat sistem global

  33

  tampak dari sejarah kontemporer negaranya. Mulai dari awal kemerdekaan hingga kini, cara pandang Indonesia selalu dipenuhi oleh keinginan agar negaranya memiliki peranan di dunia internasional. Cara pandang ini termuat dalam Undang-undang Nomor

  17 Tahun 2007 mengenai Rencana Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 di mana salah satu sasarannya adalah terwujudnya peranan Indonesia yang meningkat dalam pergaulan dunia internasional.

  Identitas Islam Moderat Sebagai Model Alternatif bagi Dunia Islam

  Peranan yang hendak dicapai Indonesia melalui pencitraan identitas Islam moderat mengalami metamorfosis ketika dihadapkan pada pergolakan politik di Timur Tengah dan Afrika Utara yang berpenduduk mayoritas Muslim. Tuntutan akan perubahan politik di kawasan tersebut telah menginspirasi Indonesia untuk memainkan peran model Islam moderat. Perubahan politik di Timur Tengah dan Afrika Utara diawali dengan keberhasilan para demonstran di Tunisia untuk menjatuhkan rezim Zine El Abidin Ben Ali. Hal ini disusul dengan mundurnya Housni Mubarak setelah 30 tahun memimpin Mesir, yang memegang posisi kunci di jazirah Arab. Efek domino dari aksi-aski di Tunisia dan Mesir segera menjangkiti warga Libia, Aljazair, Suriah,

34 Yordania, Yaman, dan Libanon.

  Revolusi ini menjadikan internet sebagai kunci penggerak revolusi. Media sosial merupakan instrumen penggerak emosi massa untuk berkumpul dan melakukan aksi protes yang menuntut pemerintahan otoriter untuk mundur dan menyelenggarakan pemilu yang demokratis. Salah satu pemicu aksi-aksi protes di negara-negara tersebut adalah besarnya kesenjangan ekonomi-sosial. Berdasarkan laporan dari Arab Human

  

Development Report tahun 2009, peningkatan jumlah populasi manusia yang tajam di

  negara-negara jazirah Arab berimplikasi pada kesimbangan distribusi air dan makanan,

  35

  serta keterbatasan ketersediaan lapangan pekerjaan. Pada tahun 2020, negara-negara di kawasan ini diprediksi akan membutuhkan pekerjaan bagi 51 juta warganya. Pihak yang paling rentan terhadap ancaman ini adalah kalangan muda Arab, khususnya perempuan. Keadaan ini diperburuk oleh struktur kebijakan dan ekonomi di negara-negara jazirah Arab seperti Aljazair, Tunisia, Mesir, Libia, dan Yaman yang rata-rata didominasi oleh rezim yang borjuis, represif, dan otoriter.

  Dari diskripsi di atas, berbagai aspek yang terjadi di Timur Tengah dan Afrika Utara memiliki banyak persamaan dengan Indonesia pada massa reformasi 1998. Dilihat dari aspek sosio kultural, Indonesia adalah rumah bagi Muslim terbesar di dunia. Begitu pula Timur Tengah dan Afrika Utara yang berpenduduk mayoritas Muslim, dimana kawasan ini juga merupakan tempat turunnya agama Islam. Pada aspek sistem kebijakan, kedua kawasan tersebut sama-sama pernah dinaungi pemimpin otoriter yang didukung oleh militer melalui jaringan politik yang luas dan patronase finansial. Sistem kebijakan yang dijalankan selama pemerintahan otoriter adalah nasionalis sekuler dengan memonopoli kekuasaan negara. Keduanya meminggirkan kekuatan Islam dan sama-sama mengekang gerak media serta pihak oposisi.

  Dilihat dari aspek fenomenologis, aksi demonstrasi di Indonesia serta Timur Tengah dan Afrika Utara juga tidak jauh berbeda. Pemicunya adalah faktor eksogenus, yaitu krisis yang menimbulkan efek domino. Pelaku protes adalah pemuda yang merasa kecewa akan besarnya jurang pemisah antara pembangunan kebijakan dengan pertumbuhan ekonomi. Instrumen persuasif dalam melakukan aksi demonstrasi juga sama-sama mengandalkan jaringan internet. Respon dari pemerintahan yang diprotes juga tidak jauh dari aksi kekerasan hingga pembunuhan para demonstran.

  Dari diskripsi di atas, terdapat pengalaman yang paralel antara kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara dengan Indonesia. Indonesia yang merasa pernah merasakan pengalaman tersebut menunjukan keinginan untuk melakukan sharing experience dalam rangka menjadi model bagi dunia Islam, khususnya jazirah Arab. Dalam wawancara di CNN yang ditayangkan 15 Juni 2011, Presiden Yudhoyono menyatakan bahwa Indonesia dapat menjadi model di mana Islam dan demokrasi dapat bergandengan dan tidak ada kontradiksi di antara keduanya. Lebih lanjut, Presiden Yudhoyono menjelaskan jika Indonesia dapat memegang demokrasi sekaligus menghormati nilai-nilai Islam secara bersamaan maka negara-negara Timur Tengah juga dapat melakukan hal yang sama.

  Untuk menjadi model alternatif bagi Timur Tengah dan Afrika Utara, kebijakan luar negeri Indonesia harus diaplikasikan secara hati-hati sebagai bentuk konsistensi Indonesia atas prinsip non intervensi. Indonesia berpandangan bahwa pencapain aspirasi masyarakat harus tumbuh secara internal (home grown), memperhatikan faktor kekhasan kultural (indigenous uniqueness) dari kawasan tersebut, dan tidak dipaksakan oleh

  36

  aktor-aktor eksternal. Hal ini diharapkan dapat berguna dalam menyelesaikan gejolak sosial politik yang terjadi di Timur Tengah dan Afrika Utara. Proses sharing experience yang dilakukan Indonesia dapat ditemukan dalam BDF IV yang dihadiri Yordania, Qatar, Saudi Arabia, Uni Emirat Arab (UEA), dan Yaman atau Institute for Peace and

  

Democracy (IPD) melalui program Workshop on Egypt-Indonesia Dialogue on

37 Democratic Transition pada Mei 2011.

  Bagi komunitas Muslim dalam negeri, perubahan politik di Timur Tengah dan Afrika Utara dapat dianggap sebagai peluang bagi Indonesia untuk menjalin hubungan yang lebih harmonis dengan dunia Islam. Komunitas Muslim memandang bahwa isu utama dalam kebijakan luar negeri Indonesia dalam hubungannya dengan Islam bukanlah bagaimana memformulasikan dan mengimplementasikan kebijakan luar negeri secara Islami. Akan tetapi, lebih pada kebutuhan untuk memperbaiki hubungan dengan negara-negara Muslim dan menaruh perhatian terhadap isu-isu di dunia Islam sekaligus melakukan inisiatif yang berarti terhadap isu tersebut. Mereka umumnya berpandangan jika Indonesia yang berpenduduk Muslim terbesar hanya menduduki posisi pinggiran

  38 dan memainkan peran marginal di dunia Islam merupakan hal yang absurd. Seiring dengan ekspektasi terhadap keharmonisan hubungan Indonesia dan Timur Tengah, muncul pula harapan agar hubungan tersebut dapat memberikan keuntungan ekonomi bagi Indonesia. Harapan ini disandarkan pada kenyataan bahwa meskipun perdagangan kedua kawasan tidak mengindikasikan penurunan, hubungan ekonomi Indonesia dengan Timur Tengah masih belum mencapai tahap yang diharapkan. Nilai dagang Indonesia dengan Timur Tengah masih jauh di bawah nilai perdagangan Indonesia dengan Amerika Serikat atau Indonesia dengan Eropa. Padahal, Timur Tengah memiliki rata-rata pertumbuhan sekitar 11 % per tahun. Sebagai salah satu mitra dagang utama Indonesia, investasi Timur Tengah dan Afrika Utara relatif minim. Dibandingkan dengan investasi Jepang dan Korea Selatan, Indonesia masih belum menjadi salah satu tempat tujuan investasi utama negara-negara Timur Tengah.

  Padahal, potensi investasi dari Timur Tengah dianggap sangat signifikan, khususnya dari Qatar dan UEA yang masuk menjadi bagian dari tiga besar negara dengan nilai PDB

  39 tertinggi di dunia versi World Bank.

  Selain itu, Timur Tengah dan Afrika Utara juga telah menjadi tujuan utama sektor jasa Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Sektor ini merupakan penyumbang devisa terbesar kedua setelah minyak dan gas. Dari sektor ini, Indonesia memperoleh devisa

  40

  sebesar USD 6,617 miliar pada tahun 2009. Berdasarkan data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BPN2TKI), dari sekitar 3,8 juta TKI yang ditempatkan di luar negeri, lebih dari 50% bekerja di kawasan Timur Tengah

  41

  dan Afrika Utara. Besarnya jumlah tersebut sudah seharusnya diiringi dengan upaya pengawasan dan perlindungan dari pemerintah agar kasus kekerasan terhadap TKI tidak

  42

  terus berulang. Sejumlah moratorium yang disepakati antara Indonesia secara bilateral dengan Saudi Arabia, Kuwait, Yordania, dan Suriah untuk melindungi TKI tetap tidak mengurangi tindak kekerasan.

  Faktor kesamaan agama ternyata tidak membuat bangsa-bangsa Arab menaruh simpati dan hormat pada Indonesia. Dunia Arab kurang menunjukan minat pada Asia

  43

  secara umum, apalagi bentuk sosio-kultural Islam di Indonesia. Terkait hal ini, Nurcholish Madjid memberikan penjelasan secara komprehensif. Secara geografis, Indonesia merupakan negeri Muslim yang paling jauh dari pusat-pusat Islam di Timur Tengah. Pada kondisi demikan, Islam di Indonesia pun berkembang dalam tradisi berbeda. Indonesia merupakan negeri Muslim yang paling sedikit mengalami Arabisasi.

  Sebagai penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia tidak menggunakan huruf Arab untuk bahasa nasionalnya. Banyaknya kompromi antara ajaran-ajaran Islam dengan unsur budaya lokal membuat Islam di Indonesia sering kali dianggap pinggiran oleh dunia Arab. Karena keadaannya yang mengesankan sebagai bersifat pinggiran itu, Islam di Indonesia sering dipandang tidak atau sekurangnya belum bersifat Islam secara

  44

  sebenarnya. Akibatnya, banyak negara-negara Arab cenderung memandang rendah muatan Islam di Indonesia.

  Kesimpulan

  Sebagai hasil dari pengamatan diusungnya identitas Islam moderat dalam praktik kebijakan luar negeri Indonesia, studi ini memperoleh beberapa temuan sebagai berikut. Pertama, adanya keinginan negara-negara Barat untuk mengembangkan jaringan Islam moderat sebagai rekan potensial untuk mengimbangi jaringan terorisme di sejumlah negara Muslim. Pertimbangan tersebut juga tidak lepas dari persamaan prinsip antara dunia Barat dan Muslim moderat yang memuat demokrasi dan penghormatan terhadap HAM. Pada gilirannya, kehadiran Muslim moderat tampak dibutuhkan dunia Barat untuk memediasi hubungan antara dunia Barat dan dunia Islam yang selama ini terkesan konfliktual. Kedua, keinginan Indonesia untuk memperoleh peranan di ranah internasional merupakan bentuk konsistensi dan kontinuitas cara pandangnya terhadap dunia. Meski di bawah kepemimpinan yang berbeda, Indonesia selalu menjaga eksistensinya di dunia internasional dengan mengambil sejumlah peranan. Ketiga, identitas Islam moderat bukanlah menjadi bagian dari identitas resmi Indonesia. Berdasarkan RPJMN I 2005-2009, identitas nasional Indonesia adalah negara demokrasi. Hal ini mengindikasikan, Islam moderat hanyalah identitas komplementer dari demokrasi itu sendiri.

  Berdasarkan temuan tersebut, alasan Indonesia untuk mempromosikan identitas Islam moderat dalam kebijakan luar negerinya dapat ditarik menjadi empat argumen utama. Alasan pertama, Indonesia ingin mengidentifikasi dirinya dengan membedakan dari negera-negara Muslim lain, khususnya kawasan Timur Tengah. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi stigma berkelanjutan tentang Muslim yang dipersepsikan media dan akademisi Barat sebagai intoleran, ekstrimis, dan anti-Barat. Identifikasi juga dimaksudkan untuk menjaga hubungan antara Indonesia dengan negara-negara Barat.

  Alasan kedua, adanya ekspektasi dunia internasional, khususnya negara-negara Barat, untuk memahami dan mendekatkan diri dengan dunia Muslim. Karena itu, negara-negara Barat membutuhkan negara-negara Muslim yang memiliki kesamaan prinsip dengan Barat dalam rangka mediasi dengan dunia Islam. Alasan ketiga, pemerintah Indonesia ingin mengakomodasi suara komunitas Muslim dalam negeri yang selama ini mengharapkan adanya perbaikan hubungan dengan dunia Islam. Bagaimanapun juga, komunitas Muslim merupakan konstituen terbesar di Indonesia yang aspirasinya tidak dapat diabaikan dalam pertumbuhan demokrasi di tanah air. Alasan keempat, adanya motivasi Indonesia untuk mengambil peran dalam hubungan internasional sesuai dengan konsistensi cara pandangnya terhadap dunia (worldview). Indonesia mencoba mengambil peranan sebagai mediator antara dunia Barat dan Islam melalui dialog-dialog antar peradaban, budaya, dan agama. Indonesia kembali menemukan momentum untuk mengambil peran lain ketika terjadi pergolakan politik di Timur Tengah dan Afrika Utara.

  Daftar Pustaka Abdelal, Rawi, Yoshiko M. Herrera, Alastair Iain Johnston, dan Rose Mcdermott. 2009.

  Measuring Identity: a Guide for Social Scientist . UK: Cambridge University Press.

  Alie, Marzuki. Tahun tidak tersedia. TKI, Permasalahan, antara Beban dan Kewajiban? . (tanggal rilis artikel). Web.

  10 Desember 2012. <http://migrantinstitute.net/tki-permasalahan-antara-beban-dan-kewajiban>

  Anwar, Dewi Fortuna. 2010. “Foreign Policy, Islam, and Democracy in Indonesia.” Journal of Indonesian Social Sciences and Humanities , Vol. 3, hlm. 37-54. Asila, Sobhi. 2007.

  “Confusing Hearts and Minds: Public Opinion in the Arab World.” Arab Insight , Vol. 1, No. 2, hlm. 13-30. Beneš, Vit. “Role Theory: a Conceptual Framework for the Constructivist Foreign

  Policy Analysis?” disampaikan dalam the Third Global International Studies

  Conference “World Crisis: Revolution or Evolution in the International Community?” University of Porto, Portugal, 17-20 Agustus 2011.

  BNP2TKI. Tahun tidak tersedia. Penempatan Per Tahun Per Negara (2006-2012).

  Diakses pada

  11 Desember 2012 dari http://www.bnp2tki.go.id/statistik-mainmenu-86/penempatan/6756-penempatan

  • per-tahun-per-negara-2006-2012.html Bruinessen, Martin van. 2012. "Indonesia Muslims and Their Place in the Larger World of Islam" dalam Indonesia Rising: The Repositioning Of Asia's Third Giant. Singapore: ISEAS Publishing.

  Chair's Statement of the Fourth Bali Democracy Forum disampaikan di Nusa Dua, Bali, 8-9 December 2011. “Diperpanjang Moratorium TKI ke Timur Tengah.” 5 Mei 2012. Republika. Diakses pada

  10 Desember 2012 dari http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/01/05/lxbset- Hinnebusch, Raymond. 2007. “The US Invasion of Iraq: Explanations and Implications.

  ” Critique: Critical Middle Eastern Studies, Vol. 16, No. 3, hlm. 9-27.

  İnaç, Hüsamettin. 2004. “Identity Problems of Turkey during the European Union Integration Process. ” Journal of Economic and Social Research,Vol. 6, No. 2, hlm. 33-62.

  “Implikasi Gejolak Politik Timur Tengah Terhadap Kepentingan Ekonomi Indonesia.

  “Kebijakan Luar Negeri Indonesia terhadap Gejolak di Kawasan Timur Tengah: Pendekatan Adaptif dalam Bingkai Konsistensi Historis.

  “Refleksi Tahun 2003 dan Proyeksi Tahun 2004” dalam paparan lisan yang disampaikan di Departemen Luar Negeri RI, Jakarta, 6 Januari 2004. Yuliantoro, Ronny Prasetyo. 2011.

  Wawancara dengan P. L. E. Priatna, Direktur Informasi dan Media Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, pada 12 Juni 2012. Wirajuda, Hassan.

  ” International Organization, Vol. 46, No. 2, hlm. 391-425. Wendt, Alexander. 1999. Social Theory of International Relations. New York: Cambridge University Press.

  1992. “Anarchy is What States Make of it: the Social Construction of Power Politics.

  Viotti, Paul R. dan Mark V. Kaupi. 2007. International Relations and World Politics: Security, Economy, Identity . United States: Pearson Prentice Hall. Wendt, Alexander.

  Kebijakan Luar Negeri Indonesia . Jakarta: Centre for Strategic and Internatonal Studies (CSIS).

  ” dalam Bantarto Bandoro. Ed. Mencari Desain Baru

  “Demokratisasi dan Kebijakan Luar Negeri Indonesia: Membangun Citra Diri.

  ” Arab Human Development Report. New York: UNDP. Vermonte, Philips J. 2005.

  ” Jurnal Diplomasi, Vol. 3, No. 2, hlm. 35-42. UNDP Regional Bereau for Arab States (RBAS). 2009. “Challenges to Human Security in the Arab Countries.

  Thaib, Fachry. 2011.

  Kay, Lena. 2005.

  “Navigating a Turbulent Ocean: Indonesia’s Worldview and Foreign Policy. ” Asian Perspective, Vol. 31, No. 3, hlm. 147-181.

  Suryokusumo, Sumaryo. 2004. Praktik Diplomasi. Jakarta: STIH IBLAM. Tan, Paige Johnson. 2007.

  “Mengelola Paradoks: Identitas, Citra, dan Posisi Internasional Indonesia. ” Analisis CSIS, Vol. 39, No. 4, Desember 2010, hlm. 432-445.

  ” dalam Juan dan Linz Yossi. Eds. Between States: Interim Governments and Democratic Transitions. Cambridge: Cambridge University Press. Sukma, Rizal. 2003. Islam in Indonesian Foreign Policy. London: RoutledgeCurzon. Sukma, Rizal. 2010.

  “Democratization and the International System: the Foreign Policy: the Foreign Policies of Interim Governments.

  Sjahrir. 2004. Transisi menuju Indonesia Baru. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Stanger, Alison. 1955.

  1-40. Sheikh, Naved S. 2003. The New Politic of Islam: Pan-Islamic Foreign Policy in a World of States . London & New York: RoutledgeCurzon.

  “Genealogy of Iranian Foreign Policy: Identity, Culture, and History. ” The Iranian Journal of International Affairs, Vol. XX, No. 4, hlm.

  “Skepticism in the Arab World: the Base of Conspiracies.” Arab Insight , Vol 2, No. 2, hlm. 103-113. Rabasa, Angel M., Cheryl Benard, Peter Chalk, C. Christine Fair, et.al. 2004. The Muslim World after 9/11 . Santa Monica: Rand Corporation. Rabasa, Angel, Cheril Benard, Lowell H. Schwartz, et.al. 2007. Building Moderate Network . RAND Corporation: Santa Monica. Sadeghi, Ahmad. 2008.

  ” Issue and Insight, Vol. V, No. 4, hlm. 1-43. Leifer, Michael. 1989. Kebijakan Luar Negeri Indonesia. Jakarta: PT Gramedia. Madjid, Nurcholish. 2008. Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan. Nasira, Hani. 2008.

  “Indonesian Public Perceptions of the US and Their Implications for US Foreign Policy.

  ” Jurnal Diplomasi, Vol. 3, No. 2, hlm. 1-16.

  1 Catatan Belakang Houssain Kettani. 2010. “World Muslim Population: 1950-2020.” International Journal of 2 Environmental Science and Development (IJESD), Vol. 1, No. 2, hlm. 7. 3 Michael Leifer. 1989. Kebijakan Luar Negeri Indonesia, Jakarta: PT Gramedia, hlm. xvi.

  

Rizal Sukma. 2010. “Mengelola Paradoks: Identitas, Citra, dan Posisi Internasional Indonesia.” Analisis

4 CSIS , Vol. 39, No. 4, hlm. 439.