RIVALITAS CINA DAN JEPANG DALAM INSTITUSI REGIONAL ASIA TIMUR Nuri Widiastuti Veronica Kedeputian Bidang Koordinasi Luar Negeri, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Email: n.widiastutigmail.com Abstrak - Rivalitas Cina dan Jepang d

  

RIVALITAS CINA DAN JEPANG DALAM INSTITUSI REGIONAL ASIA

TIMUR

Nuri Widiastuti Veronica

Kedeputian Bidang Koordinasi Luar Negeri, Kementerian Koordinator Bidang

  

Politik, Hukum, dan Keamanan

Email: n.widiastuti@gmail.com

Abstrak

East Asia has been widely known as the arena for geopolitical contestation

between the great players and has been called as 'the grand chessboard' for geopolitical

struggles, especially for the two regional powers, Japan and China. These two

powers possess huge potentials to become the driving actors for the formation of

regional mechanisms in East Asia, such as East Asian Community (EAC) dan

China-ASEAN Free Trade Area. Economic cooperation between China and Japan in

some regional forums brings hopes to end the long-term tensions and prospects for

reconciliation among them. However, the interdependence between them does not

simultaneously change the influence contestation and competition, especially for these

past decades. This paper will try to answer a question about the form of competition

between Japan and China in the context of regional institution in East Asia. By using

theoretical approach of rivalry on interdependency, this paper try to analyze the roles of

the two great powers in multilateral forums in East Asia, how those roles reflect their

competition and what obstacles are heading their ways to be the “leader” in East Asia regional forums.

  Kata Kunci East Asia, Japan, China, interdependence, regional cooperation, competition. Pendahuluan

  Kawasan Asia Timur merupakan kawasan yang menjadi arena perebutan pengaruh geopolitik atau sering disebut sebagai the grand chessboard for geopolitical

  1

struggles . Kawasan ini menjadi rumah bagi beberapa kekuatan regional seperti Jepang

  dan Cina serta menjadi arena penyebaran pengaruh kekuatan global seperti Amerika Serikat. Minimnya rasa saling percaya antar-kekuatan besar tersebut menyebabkan dinamika keamanan dan politik di kawasan menjadi rapuh dan berakibat pada sulitnya membentuk institusi regional di kawasan Asia Timur. Warisan Perang Dingin seperti konflik Cina-Taiwan atau konflik di Semenanjung Korea masih menghantui kerjasama keamanan di kawasan ini. Selain itu, terdapat beberapa sengketa teritorial dan sumber

  GLOBAL Vol. 16 No. 1 Mei 2014

  19 daya di kawasan ini seperti sengketa atas Laut Cina Selatan antara Cina dengan beberapa negara anggota ASEAN, perselisihan wilayah utara (the Northern Territories) antara Rusia dan Jepang, perebutan pulau Diaoyutai (Shenkaku) maupun Laut Cina Timur antara Cina dan Jepang, dan perebutan kawasan Tokdo (Takeshima) antara Jepang dan Korea Selatan. Beberapa permasalahan ini menyulitkan usaha negara-negara Asia Timur untuk membentuk institusi regional di kawasan.

  Dua kekuatan regional di kawasan Asia Timur, Jepang dan Cina, memiliki potensi yang besar untuk menjadi pendorong bagi terbentuknya institusi regional di Asia Timur. Jepang pernah mengusulkan pembentukan East Asian Community (EAC) untuk menciptakan komunitas berdasarkan nilai-nilai universal dengan sifat keanggotaan

  2

  tertentu. Cina merupakan inisiator pembentukan free trade agreement (FTA) dengan negara-negara ASEAN pada pertemuan ASEAN Plus Three (APT) tahun 2002 melalui

  

Sino-ASEAN Framework Protocol on Overall Economic Cooperation yang mulai

  3

  diimplementasikan tahun 2010. Selain itu, kerjasama ekonomi yang dijalankan oleh Cina-Jepang dalam berbagai forum regional membawa harapan bagi berakhirnya perselisihan yang mewarnai hubungan kedua negara dan memunculkan prospek rekonsiliasi antara keduanya.

  Interdependensi yang terjadi antara Cina dan Jepang tidak dengan serta-merta menghentikan persaingan perebutan pengaruh antara kedua negara. Persaingan ini diperburuk dengan adanya sejarah permusuhan, ketidakpercayaan yang telah mengakar, dan persaingan dalam peningkatan kapabilitas militer yang pada akhirnya membawa

  4

  pada persaingan yang semakin besar antara keduanya. Persaingan kepemimpinan antara Jepang dan Cina pada institusi regional terlihat dari adanya upaya Jepang untuk mengintensifkan perannya dalam beberapa institusi regional yang telah ada untuk menghadang kemajuan Cina yang pesat dalam hal ekonomi, diplomasi, dan keamanan di kawasan Asia Pasifik. Sementara itu, Cina sendiri menggunakan forum-forum multilateral di kawasan untuk memperkuat posisinya sebagai kekuatan regional baru,

  5 apalagi setelah mereka berhasil menggeser Jepang secara ekonomi sejak tahun 2010.

  Dengan mempertimbangkan semakin tingginya persaingan antara kedua negara, tulisan ini menjawab pertanyaan bagaimana bentuk persaingan antara Jepang dan Cina dalam institusi regional yang ada di kawasan. Dalam tulisan ini, persaingan keduanya akan dijabarkan dalam bentuk peran-peran apa saja yang telah dijalankan oleh kedua negara untuk berebut posisi sebagai “pemimpin” dalam forum multilateral di kawasan seperti ARF, APT, dan Six Party Talks (6PT). Tulisan ini juga mengidentifikasi

  GLOBAL Vol. 16 No. 1 Desember 2013

  20 hambatan bagi kedua negara untuk menjadi pemimpin di kawasan Asia Timur. Di satu sisi, negara dengan diplomasi yang bersifat mengancam, seperti yang dilakukan oleh Cina, akan lebih sulit memperoleh kepercayaan sebagai pemimpin dalam institusi regional. Di sisi lain, trauma sejarah masa lalu Jepang sebagai penjajah selama Perang Dunia II dapat menghambat peran mereka untuk memegang kepemimpinan dalam institusi regional.

  Rivalitas dalam Interdependensi

  Menurut pandangan Realisme, terdapat beberapa asumsi utama yang mendasari hubungan antara satu negara dengan negara lain. Salah satu asumsi tersebut adalah negara, sebagai aktor utama dan terpenting dalam dunia yang anarki, senantiasa

  6

  mengedepankan kepentingan nasional. Realisme memandang negara sebagai aktor yang rasional dan tunggal yang memperhitungkan cost and benefit dari setiap tindakannya untuk menjamin keamanan nasional. Fokus dari paradigma ini adalah

  7

struggle of power atau realpolitik. Mengingat paradigma Realisme memandang

  masalah keamanan nasional sebagai perhatian utama negara maka masalah militer dan

  8

  politik merupakan masalah yang paling penting bagi negara. Dalam pandangan tersebut, hubungan antara Jepang dan Cina selalu didasari oleh kepentingan nasional masing-masing, khususnya perluasan pengaruh dalam rangka memperoleh power di kawasan.

  Dalam bidang ekonomi, Realisme berpandangan bahwa proses menuju dan kemajuan ekonomi dapat menyebabkan terjadinya konflik antar-negara. Menurut Morgenthau, Realisme melihat politik sebagai sebuah area yang berkaitan dengan keinginan untuk memperoleh kekuasaan (struggle for power), termasuk di dalamnya

  9

  kekuasaan ekonomi. Dengan demikian, ekonomi tidak dapat dilepaskan dari power dan

  

interest yang dalam pemenuhannya dapat menggunakan segala cara termasuk dengan

  kompetisi yang dapat berujung pada konflik. Konsep Realisme tentang relative gains juga mendasari terbentuknya sebuah kerjasama dalam institusi regional karena hubungan aliansi dan kerja sama ekonomi yang muncul juga akan didasari oleh perhitungan relative gains dan security dilemma yang dialami oleh negara. Oleh karena itu, persaingan antara Cina dan Jepang dalam institusi regional dapat dilihat sebagai sebuah instrumen untuk mempertahankan power dalam hubungan kedua negara.

  GLOBAL Vol. 16 No. 1 Mei 2014

  21 Sementara itu, menurut Chalmers Johnson, institusi regional yang menjamin keamanan di Asia Timur dapat terbentuk apabila didasari oleh interdependensi antara

  10

  aktor-aktor besar yang ada di kawasan ini, khususnya Jepang dan Cina. Oleh karena itu, teori tentang persaingan dalam interdependensi sangat tepat untuk melihat persaingan antara Cina dan Jepang dalam konteks kepemimpinan di dalam integrasi kawasan Asia Timur. Secara umum, interdependensi dianggap sebagai sarana untuk mewujudkan perdamaian dan keamanan bagi wilayah yang bermasalah, seperti kawasan Asia Timur ini, dengan cara meningkatkan hubungan dagang dan ekonomi yang akan mencegah terjadinya konflik. Akan tetapi, di dalam interdependensi itu sendiri selalu muncul persaingan antar-aktor besar yang didasari oleh berbagai alasan sehingga dapat

  11 menyebabkan konflik.

  Ketika dua negara yang mempunyai sejarah konflik dan persaingan berada dalam satu situasi dimana keduanya terikat oleh interdependensi yang tinggi, hal ini menciptakan sensitivitas yang dapat membahayakan hubungan tersebut. Keohane dan Nye menyatakan bahwa peningkatan interdependensi dapat memperburuk ketegangan

  12

  antara kedua negara yang sebelumnya tidak terbiasa saling berhubungan dekat. Jika pemimpin politik dimotivasi oleh ambisi nasional, keinginan untuk meraih kepentingan tertentu, atau agenda militer yang ekspansionis dalam menjalankan hubungan antar-negara, persaingan (rivalry) dalam interdepensi menjadi hal yang sangat mungkin

  13

  terjadi. Interdependensi dipandang secara berbeda oleh komunitas ekonomi dan komunitas keamanan dalam sebuah sistem politik karena adanya perbedaan sifat kedua komunitas tersebut yang menyebabkan perbedaan kebutuhan untuk keberlangsungan komunitas tersebut. Manfaat utama interdependensi akan tergerus oleh sifat utama negara untuk mengedepankan kepentingan nasionalnya, seperti yang dinyatakan oleh kaum Realis. Dalam sebuah institusi regional, interdependensi ekonomi antara satu negara dengan dengan negara saingannya dapat dianggap sebagai sebuah kerentanan (vulnerability). Hal ini terjadi apabila hasil dari interdependensi yang membawa pada kemajuan ekonomi negara saingan dapat digunakan untuk meningkatkan kapabilitas militer dan sistem persenjataan yang canggih. Pada akhirnya, persaingan yang muncul di dalam proses interdependensi ini akan membawa pada konflik yang tak terhindarkan karena masing-masing negara mengedepankan kepentingan nasional dan menjadikannya

  14 sebagai instrumen untuk mengimplementasikan power.

  GLOBAL Vol. 16 No. 1 Desember 2013

  22

  Hubungan Interdependensi antara Cina dan Jepang Interdependensi Cina-Jepang telah berkembang selama satu dekade terakhir.

  Cina berhasil menggeser Amerika Serikat sebagai mitra dagang utama Jepang pada

  15

  tahun 2004 dan menjadi mitra dagang terbesar Jepang pada tahun 2007. Sebagai perbandingan, nilai perdagangan Jepang dengan Cina pada tahun 1996 adalah sebesar 62,2 milyar dolar sementara nilai perdagangan Jepang-Amerika Serikat adalah 193 milyar dolar. Pada tahun 2007 nilai perdagangan Jepang-Cina mencapai 236,6 milyar dolar sedangkan nilai perdagangan Jepang-Amerika Serikat hanya 208,2 milyar dolar. Jepang juga membangun industri yang menyerap tenaga kerja seperti industri elektronik dan telekomunikasi di Cina dan produknya dikirim ke Jepang maupun pasar global. Nilai perdagangan Jepang-Cina menunjukkan tren peningkatan dari tahun 1998 hingga 2006 (lihat gambar 1).

  Gambar 1. Nilai perdagangan Jepang dengan negara-negara Asia, 1998 –2006

Sumber: International Monetary Fund Direction of Trade Statistics, CD-Rom (May 2008 edition) seperti

dikutip oleh Yul Sohn dalam Japan’s New Regionalism: China Shock, Values, and the East Asian Community Asian Survey, Vol. 50, Number 3, pp. 497 –519. 2010

  Meskipun ada kenaikan yang signifikan dalam hubungan interdependensi antara Cina dan Jepang, pertumbuhan ekonomi yang muncul akibat hubungan interdependensi tersebut juga menjadikan kedua negara saling berlomba dalam peningkatan kapabilitas pertahanan. Cina, pada tahun 1990, memiliki anggaran pertahanan yang menduduki posisi ketiga terbesar di dunia dan tahun 2010 menaikkan anggaran pertahanannya

  GLOBAL Vol. 16 No. 1 Mei 2014

  23 sebesar 7,5% dari total GDP-nya yang sebesar 8.888 milyar dolar sehingga anggaran

  16

  pertahanannya menjadi 91,5 milyar dolar. Nominal tersebut digunakan untuk memodernisasi perlengkapan militer melalui pembuatan teknologi persenjataan terbaru seperti pesawat J-20, kapal selam serang, dan kapal induk serta mengadakan uji coba rudal berjarak jangkau 1.000 km dan latihan militer di sekitar kawasan Laut Cina Timur

  17

  pada 2009. Sementara itu, Jepang menggunakan 1% dari GDP-nya yang senilai 4,138 milyar dolar untuk memodernisasi sistem persenjataan dengan melakukan burden

  

sharing bersama Amerika Serikat untuk membangun anti-ballistic missile system,

  termasuk pembuatan sistem Aegis yang dilengkapi dengan misil destroyers Patriot SD-3

  18

  dan PAC-3. Dengan adanya peningkatan anggaran pertahanan antara keduanya, rivalitas antara Jepang-Cina menjadi tidak terhindarkan, termasuk dalam hal memperoleh pengaruh dan kepemimpinan pada institusi regional.

  Rivalitas Jepang-Cina dalam Kepemimpinan Institusi Regional

  Persaingan antara Jepang dan Cina dalam merebut kepemimpinan untuk mendorong integrasi kawasan Asia Timur dapat dilihat dari peran kedua negara besar itu dalam berbagai forum multilateral seperti ASEAN Plus Three (APT), Six Party Talks (6PT), dan ASEAN Regional Forum (ARF). Di dalam berbagai institusi regional ini, terlihat adanya pengaruh dominan dari Cina maupun Jepang. Sebagai contoh, peran China di dalam APT selama ini sangat dominan sehingga seringkali organisasi regional

  19

  ini dikritik sebagai alat China untuk mendapatkan pengaruh di kawasan. Sementara itu, peran Jepang yang sangat dominan dalam forum East Asia Summit juga dianggap sebagai perpanjangan tangan kepentingan nasional Jepang yang ingin menjadi kekuatan

  20

  regional yang unggul secara ekonomi di kawasan. Oleh karena itu, perlu dilihat bagaimana kedua negara ini saling berebut pengaruh untuk menjadi kekuatan dominan, kalau tidak mau disebut pemimpin, dalam berbagai institusi regional tersebut.

  Rivalitas Cina-Jepang di APT

  Awal mula keterlibatan Cina dalam pembentukan APT adalah ketika Cina dan ASEAN mengumumkan bahwa kedua pihak akan menandatangani perjanjian FTA pada November 2001 dan akan mulai diberlakukan pada tahun 2010. APT ini kemudian digunakan oleh Cina sebagai sarana untuk memperkuat hubungan dengan ASEAN.

  Peran dominan Cina didasari oleh keahlian China dalam menggunakan soft power, khususnya pada masa krisis moneter Asia pada tahun 1997 ketika negara-negara Asia

  GLOBAL Vol. 16 No. 1 Desember 2013

  24

  Tenggara dan Asia Timur mengalami kejatuhan ekonomi dan membutuhkan suntikan dana. Ketika itu, Cina berhasil memanfaatkan posisinya sebagai negara yang tidak terdampak oleh krisis dengan memberikan bantuan pinjaman dengan bunga yang rendah kepada negara-negara tersebut dan tidak melakukan devaluasi mata uangnya. Langkah ini membuat Cina memperoleh kepercayaan dari sebagian besar negara ASEAN dan dalam beberapa tahun berikutnya berhasil membuat berbagai perjanjian kerjasama dengan ASEAN seperti Framework Agreement on Economic Cooperation pada tahun 2001 dan empat perjanjian lain pada tahun 2002, yaitu: Declaration on Conduct in the

  Joint Declarationon Cooperation in the Field of Nontraditional

  South China Sea,

Security Issues , Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation, dan

Memorandum of Understanding on Agricultural Cooperation . Kemudian, pada tahun

  2003, Cina menandatangani Treaty of Amity and Cooperation dan diikuti dengan

  21

  penandatanganan perjanjian dagang China –ASEAN FTA.

  Sementara itu, seolah tidak mau kalah dengan langkah Cina, Jepang juga melakukan beberapa upaya untuk meningkatkan perannya dalam APT. Jepang mengusulkan Comprehensive Economic Partnership antara Jepang dengan negara-negara ASEAN pada tahun 2002 yang di dalamnya terdapat perjanjian investasi dan perdagangan maupun pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek),

  22

  sumber daya manusia, serta pariwisata. Bagi Jepang, APT merupakan salah satu sarana untuk mengimbangi upaya Cina dalam berebut pengaruh di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara serta meningkatkan profil politik ekonominya di kawasan setelah sempat “meredup” akibat kegagalan Jepang dalam membantu negara-negara Asia Tenggara mengatasi krisis ekonomi tahun 1997. Jepang juga menandatangani TAC pada tahun 2003. Selain itu, Jepang juga mengusulkan untuk mengundang negara-negara demokratis seperti India, Australia, dan Selandia Baru untuk mengimbangi posisi Cina yang terkadang didukung oleh Korea Selatan dalam pengambilan keputusan di APT.

  Pada perkembangannya, meskipun persaingan Jepang dan Cina terlihat jelas di Asia Tenggara, kawasan ini juga menjadi arena kolaborasi kedua seteru tersebut seperti dalam pembangunan dan konservasi wilayah Mekong. Suasana persaingan antara Jepang dan Cina tetap terlihat dengan adanya pembangunan koridor ekonomi Barat-Timur yang didukung oleh Jepang dan koridor ekonomi Utara-Selatan yang didukung oleh Cina, peningkatan ekspor ASEAN ke Cina yang melebihi ekspor ke Jepang, serta persaingan pemberian bantuan dan pembangunan kepada negara-negara ASEAN. Dalam

  GLOBAL Vol. 16 No. 1 Mei 2014

  25 perkembangannya, Jepang terlihat lebih unggul dalam persaingan soft power melalui penyebaran budaya Jepang di Asia Tenggara dan peningkatan peran Jepang dalam misi-misi kemanusiaan seperti patroli bersama untuk pengamanan Selat Malaka,

  

International Monitoring Team untuk konflik intra-state seperti di Aceh dan Mindanau,

  23

  serta keterlibatan dalam peace-keeping operations. Terdapat juga kecenderungan negara-negara ASEAN seperti Vietnam, Filipina, Indonesia, dan Singapura untuk mengundang Amerika Serikat agar tetap berperan di kawasan ini meskipun mereka tetap mengadakan kerja sama politik, ekonomi, dan keamanan dengan Cina.

  Rivalitas Cina-Jepang di 6PT

  Dalam beberapa tahun terakhir, Cina telah memainkan peran yang penting khususnya dalam pembentukan forum 6PT yang membahas isu nuklir di Korea Utara. Forum yang beranggotakan enam negara utama, yaitu: Korea Utara, Amerika Serikat, Korea Selatan, Cina, Jepang, dan Russia, ini pertama kali dilaksanakan di Cina pada

24 Agustus 2003. Meskipun negara anggota lain tidak dapat menerima kepemilikan

  senjata nuklir Korea Utara, Cina berhasil melakukan mediasi antara negara-negara tersebut dengan Korea Utara. Kemudian, atas inisiatif Cina, pertemuan kedua 6PT dilaksanakan pada tahun 2004 dan untuk seterusnya dijadikan pertemuan tahunan untuk mengatasi masalah nuklir di Korea Utara.

  Keterlibatan Jepang dalam 6PT sejak 2003 didasari oleh kekhawatiran negara tersebut terhadap pengembangan senjata nuklir dan program misil Korea Utara. Bersama dengan anggota-anggota 6PT lainnya, Jepang menginginkan adanya resolusi damai terhadap isu pelucutan senjata nuklir di Korea Utara. Akan tetapi, keterlibatan efektif Jepang dalam forum 6PT ini terhambat oleh agenda pribadi Jepang yang selalu mempertanyakan masalah penculikan warga Jepang yang dilakukan oleh Korea Utara selama periode 1970-an dan 1980-an. Tuntutan Jepang ini membuat anggota-anggota

  6PT yang lain merasa keberatan karena Jepang menghubungkan masalah nuklir dan masalah penculikan, yang sebenarnya merupakan masalah bilateral Jepang dan Korea

  25 Utara dan telah diselesaikan dengan Deklarasi Pyongyang tahun 2002.

  Meskipun Jepang maupun Cina berperan aktif dalam 6PT, adanya tekanan politik domestik, perbedaan prioritas antar-negara anggota, dan sejarah perselisihan antar-negara telah menyebabkan kedua negara ini tidak mampu melaksanakan peran

  26

  yang efektif. Jepang dan Amerika Serikat bertahan dengan tuntutan agar Korea Utara menghentikan secara total pengembangan senjata nuklir sedangkan Cina dan Korea

  GLOBAL Vol. 16 No. 1 Desember 2013

  26

  Selatan memilih sikap yang lebih lunak melalui pemberian insentif ekonomi. Sikap Cina dan Korea Selatan yang lebih akomodatif ini didorong oleh pertimbangan politik dalam negeri yaitu pertimbangan bahwa sebagian masyarakat mereka memiliki ikatan batin dengan Korea Utara dan meyakini bahwa Korea Utara melakukan pengembangan nuklir

  27

  karena dorongan situasi. Amerika Serikat dan Jepang memiliki keyakinan bahwa Korea Utara tidak memiliki kesungguhan untuk mengakhiri program nuklirnya dan telah menggunakan nuklir sebagai senjata untuk mendapatkan bantuan ekonomi. Akibat perbedaan tersebut, peran Cina dan Jepang menjadi tidak akan efektif. Cina juga dianggap tidak transparan dalam menjalankan peran sebagai negoisator karena bersikap terlalu lunak pada Korea Utara.

  Rivalitas Cina-Jepang dalam ARF

  ARF dibentuk sebagai wadah dialog keamanan dengan negara-negara anggota ASEAN sebagai roda penggeraknya. Keberadaan Cina dalam ARF dimulai dengan inisiatif Cina dalam pembahasan awal pembentukan ARF pada Juli 1993 dan kemudian ikut bergabung dalam ARF. Cina juga bergabung dalam trek kedua ARF, yaitu Council

  

for Security and Cooperation in the Asia Pacific (CSCAP), dan Northeast Asia

Cooperation Dialogue (NEACD) pada tahun 1991. Sementara itu, peran Jepang dalam

  ARF terlihat dari usulan Menteri Luar Negeri Jepang, Nakayama Tarô, pada tahun 1991 dalam ASEAN Post-Ministerial Conference untuk membentuk sebuah institusi

  28

  multilateral yang lebih besar daripada ASEAN itu sendiri. Pada pertemuan pertama, Jepang berhasil menarik keikutsertaan 18 negara yang kemudian menjadi anggota awal ARF sehingga dapat dikatakan bahwa peran Jepang dalam pertemuan pembentukan ARF sangatlah penting.

  Dalam perkembangannya, ARF menjadi ajang persaingan antara Cina dan Jepang yang selalu bersitegang akibat kecenderungan Cina untuk menggunakan Council

  

for Security Cooperation in the Asia Pacific (CSCAP) sebagai alat untuk menggiring

  29

  pendapat negara-negara anggota ASEAN terhadap kasus Taiwan. Meskipun ada beberapa pendapat optimis yang mengatakan bahwa keberadaan ARF telah membawa manfaat dalam membahas beberapa isu sensitif di kawasan Asia Timur seperti hubungan

30 Amerika Serikat dan Korea Utara, perkembangan forum ini sendiri sangat lamban.

  Penekanan pada konsensus yang menjadi ciri negara-negara di Asia Tenggara tidak dapat menghasilkan keputusan yang tegas.

  GLOBAL Vol. 16 No. 1 Mei 2014

  27

  Hambatan Cina dan Jepang dalam Perebutan Pengaruh di Kawasan

  Meskipun kedua negara yang berseteru ini saling berebut pengaruh untuk menjadi pemimpin regional, pada kenyataannya kedua negara memiliki hambatan yang besar untuk dapat menjadi pemimpin regional yang sepenuhnya dipercaya oleh negara-negara Asia lainnya. Kedua negara memiliki berbagai kelemahan yang menyebabkan mereka sulit untuk diterima sebagai pemimpin utama di kawasan.

  Hambatan Jepang untuk Menjadi Pemimpin Regional

  Terdapat tiga hambatan Jepang dalam memainkan perannya sebagai kekuatan regional. Pertama, Jepang masih berhadapan dengan sejarah buruk pada masa Perang Pasifik yang menyisakan kecurigaan dari negara-negara Asia lainnya yang merasa bahwa Jepang belum melakukan rekonsiliasi dengan tulus dan membangun hubungan yang baru dengan Asia. Kebrutalan Jepang pada penduduk Cina, Korea Selatan, dan negara-negara lain pada masa Perang Dunia Kedua memiliki pengaruh yang besar pada hubungan politik dengan negara-negara tersebut. Hingga saat ini, gerakan anti-Jepang masih kuat di Cina dan Korea Selatan sehingga berimbas pada berkurangnya kepercayaan keduanya kepada Jepang untuk menjadi pemimpin di kawasan Asia.

  Kedua, kedekatan Jepang dengan Amerika Serikat. Negara superpower tersebut seringkali menjadi faktor penghambat karena setiap kerjasama multilateral yang mengancam vital interest

  Amerika Serikat menjadi “terlarang” bagi Amerika Serikat dan oleh karenanya terlarang juga bagi Jepang. Hubungan aliansi tersebut menempatkan Jepang sebagai negara yang terlihat “tunduk” pada kepentingan Amerika Serikat. Hal ini dipandang negatif oleh negara-negara di kawasan Asia yang kurang menyukai keberadaan Amerika Serikat dan menganggap Jepang sebagai perpanjangan tangan Amerika Serikat dalam forum-forum regional di kawasan ini. Tunduknya Jepang pada Amerika Serikat membuat negara-negara Asia lain merasa bahwa kepemimpinan Jepang hanya akan didikte oleh Amerika Serikat dan tergantung pada kepentingan Amerika Serikat.

  Ketiga, sebagai negara demokrasi-kapitalis, Jepang diidentikkan sebagai bagian dari “Barat.” Identifikasi ini menimbulkan dilema bagi Jepang untuk menjembatani Barat dan Timur. Jepang tidak merasa “sepenuhnya” Asia karena besarnya pengaruh Barat yang mulai dirasakan sejak Restorasi Meiji sampai pada masa modern ini.

  Kebanggaan Jepang sebagai aliansi Amerika Serikat juga menyebabkan perasaan

  GLOBAL Vol. 16 No. 1 Desember 2013

  28 superioritas yang menjadikan Jepang “selalu merasa bisa” memimpin kawasan ini. Padahal, pada krisis finansial 1997, misalnya, Jepang tidak bisa berbuat banyak sebagai

  

regional power . Masalah identitas ini akan menjadi penghambat bagi Jepang untuk

menjadi pemimpin regional di Asia.

  Hambatan Cina untuk Menjadi Pemimpin Regional Terdapat beberapa hambatan bagi Cina untuk dapat menjadi pemimpin regional.

  Pertama, Cina mempunyai sifat yang mengancam dan cenderung bullying dalam mengatasi masalah sengketa perbatasan. Hal ini dapat dilihat dari sikap Cina kepada beberapa negara yang juga mengklaim Laut Cina Selatan seperti Vietnam dan Filipina. Cina cenderung menggertak dan mengatakan bahwa masalah di Laut Cina Selatan hanya

  31 dapat diselesaikan dengan the sounds of cannons atau dengan kekuatan militer.

  Pernyataan ini diperparah oleh beberapa insiden penangkapan kapal nelayan Vietnam dan Filipina di Laut Cina Selatan yang masih menjadi sengketa. Selain itu, tindakan sepihak Cina yang melanggar Declaration of Conduct on South China Sea yang ditandatangani tahun 2002 telah memunculkan rasa terancam dari negara-negara di kawasan Asia Tenggara terhadap Cina sehingga mereka cenderung sulit untuk mempercayai Cina sebagai pemimpin regional.

  Faktor penghambat kedua adalah ketiadaan transparansi yang ditunjukkan oleh pemerintah Cina, khususnya dalam hal anggaran pertahanannya. Selama ini Cina terkenal dengan

  “ketidakterbukaan” (opaqueness) pembangunan militer padahal menunjukkan kenaikan anggaran militer selama beberapa tahun terakhir. Cina mengumumkan kenaikan belanja militer sebesar 12,7% menjadi 601,1 milyar yuan atau 91,7 milyar dolar pada tahun 2011 yang digunakan untuk membeli rudal canggih, satelit,

  32 senjata siber, dan jet tempur yang mendukung kebijakan militer defensive in nature.

  Meskipun laporan resmi mengenai jumlah anggaran militer telah diumumkan oleh pemerintah Cina, tidak ada jaminan bahwa laporan tersebut merupakan laporan yang benar-benar transparan karena diperkirakan jumlah anggaran yang sesungguhnya adalah 10 kali lipat dari anggaran yang dilaporkan. Tanpa adanya keterbukaan maka kepercayaan akan sangat sulit diperoleh Cina dari negara-negara Asia.

  Ketiga, kebijakan luar negeri Cina cenderung bersifat ekspansif dan ekspansionis. Harold McKinder menyatakan bahwa Cina yang memiliki 9.000 mil garis pantai dan wilayah daratan luas yang terhampar dari Asia Tengah sampai Lautan Pasifik

  GLOBAL Vol. 16 No. 1 Mei 2014

  29

  33

  merupakan negara dengan kekuatan darat sekaligus kekuatan laut. Dengan keyakinan akan identitas sebagai negara yang sangat kuat ini, Cina memiliki arogansi dan ambisi untuk melebarkan wilayah kekuasaannya di kawasan Laut Cina Timur dan Laut Cina Selatan. Selain itu, kebutuhan sumber daya alam dan energi yang besar bagi industri Cina yang sedang maju pesat menyebabkan Cina tidak segan-segan untuk mencaplok wilayah negara lain seperti kepulauan Spratly dan Paracel yang menjadi sengketa antara Cina, Vietnam, dan Filipina. Faktor gigantis lain yang membuat Cina menjadi sangat ekspansif adalah jumlah populasinya yang besar, sejarahnya yang ternama, luas wilayahnya yang luar biasa besar, dan kekuatan ekonomi yang maju pesat yang semakin membuat Cina menjadi ancaman bagi negara-negara di sekitarnya. Rasa terancam ini pada gilirannya akan menimbulkan keraguan mereka untuk memilih Cina sebagai pemimpin regional.

  Kesimpulan

  Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, persaingan kepemimpinan antara Cina dan Jepang dalam institusi regional di kawasan Asia masih akan tetap terjadi meskipun kedua negara terlibat dalam hubungan interdependensi yang sangat kuat. Bagi Jepang, perannya dalam organisasi regional merupakan salah satu cara untuk menghadang kemajuan Cina yang pesat dalam hal ekonomi, diplomasi, dan keamanan di kawasan Asia Pasifik. Sementara itu, bagi Cina, forum-forum multilateral tersebut bermanfaat untuk memperkuat posisinya sebagai kekuatan regional baru. Pada akhirnya, hanya kepentingan nasional saja yang memotivasi kedua negara untuk mengambil langkah-langkah dalam institusi regional yang mereka ikuti, sesuai dengan pandangan Realisme. Interdependensi ekonomi antara Jepang dan Cina yang pada awalnya merupakan hal yang baik serta mampu membawa integrasi regional pada akhirnya akan menjadi rivalitas apabila hubungan kedua negara didasari oleh oleh ambisi nasional atau keinginan untuk meraih kepentingan tertentu serta didorong oleh agenda militer yang ekspansionis. Hal inilah yang terlihat dalam hubungan antara Cina dan Jepang dalam menjalankan perannya di institusi regional.

  Baik Cina maupun Jepang memiliki perannya masing-masing dalam beberapa institusi regional seperti APT, ARF dan 6PT. Dalam forum APT, peran Cina selama ini sangat dominan sehingga seringkali organisasi regional ini dikritik sebagai alat Cina untuk mendapatkan pengaruh di kawasan. Peran Jepang lebih terlihat dalam persaingan

  

soft power seperti penyebaran budaya Jepang di Asia Tenggara dan peningkatan peran

GLOBAL Vol. 16 No. 1 Desember 2013

  30

  Jepang dalam misi-misi kemanusiaan. Dalam 6PT dan ARF, peran kedua negara tidak efektif akibat ketidakpercayaan dan perbedaan kepentingan yang muncul. Meskipun kedua negara memiliki peran dalam institusi-institusi regional yang sudah ada, beberapa hambatan membuat kedua negara tidak dapat sepenuhnya dipercaya sebagai pemimpin regional. Hambatan yang dihadapi Jepang adalah sejarah masa lalu Jepang dalam Perang Pasifik, kedekatan dengan Amerika Serikat, dan identitas ambigu Jepang. Hambatan yang dihadapi Cina adalah sikap penindas Cina, ketiadaan transparansi, dan kebijakan yang ekspansif.

  Ke depan, kedua negara masih harus berjuang keras untuk memperoleh keyakinan dan kepercayaan dari negara-negara lain di kawasan sebagai pemain utama dengan mengatasi berbagai hambatan tersebut. Kedua negara juga harus lebih mengedepankan kepercayaan dan hubungan yang baik ketimbang ambisi sebagai pemimpin regionalkarena berebut pengaruh di tengah ketidakpercayaan negara-negara Asia lainnya hanya akan berakhir sia-sia.

  Daftar Pustaka

  Buszynski, Leszek. 2009. “Sino-Japanese Relations: Interdependence, Rivalry, and Regional Security .” Contemporary Southeast Asia, Vol. 31, No. 1, hlm. 143–71. Chung, Chien-Peng. 2011. “Japan’s Involvement in Asia-Centered Regional Forums in the Context of Relations with China and the United States

  .” Asian Survey, Vol. 51, No. 3, hlm. 407 –428. Kaplan, Robert D. 2010. “The Geography of Chinese Power: How Far Can Beijing Reach on Land and at Sea?” Foreign Affairs, Vol. 89, No. 3.

  Keohane, Robert O dan Joseph S. Nye. 1989. Power and Interdependence 2nd edition.

  New York: Harpers. Morgenthau, Hans J. 1993. Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace . MacGraw-Hill.

  Paul, Joshy M. 14 July 2010. “Japan-China Spat Over Nuclear Arsenal: Is Tokyo Hardeni ng its Security Policy?” RSIS Commentaries. Perwita, Anak Agung Banyu dan Yanyan Mochamad Yani. 2005. Pengantar Ilmu

hubungan Internasional . Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.

Ruisken, Ron. 2009. Architecture of Asia Pacific Security. Canberra: ANU Press. Sohn, Yul. 2010. “Japan’s New Regionalism: China Shock, Values, and the East Asian Community .” Asian Survey, Vol. 50, No. 3, hlm. 497–519. The National Institute for Defense Studies. Tahun tidak tersedia. East Asian Strategic Review 2011 . Japan: The Japan Times.

  GLOBAL Vol. 16 No. 1 Mei 2014

  31

  • –519.
  • 3 Xiaoming. Op.Cit. 4 Leszek Buszynski. 2009. “Sino-Japanese Relations: Interdependence, Rivalry, and Regional Security.” Contemporary Southeast Asia

      32 GLOBAL Vol. 16 No. 1 Desember 2013 Viotti, Paul R dan Mark Kauppi. 2010. International Relation Theory. New York: Pearson Education Inc.

      Xiaoming, Zhang. 2006. “The Rise Of China And Community Building In East Asia.” Asian Perspective, Vol. 30, No. 3, hlm. 129-148.

      Catatan Belakang 1 Zhang Xiaoming. 2006. “The Rise Of China And Community Building In East Asia.” Asian Perspective, Vol. 30, No. 3, hlm. 129-148. 2 Yul Sohn. 2010. “Japan’s New Regionalism: China Shock, Values, and the East Asian Community.” Asian Survey, Vol. 50, No. 3, hlm. 497

      , Vol. 31, No. 1, hlm. 143 –71. 5 Chien-Peng Chung. 2011.

      “Japan’s Involvement in Asia-Centered Regional Forums in the Context of Relations with China and the United States.” Asian Survey, Vol. 51, No. 3, hlm. 407–428. 6 Paul R. Viotti dan Mark Kauppi. 2010. International Relation Theory 4 th Edition . New York: Pearson Education Inc. 7 Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani. 2005. Pengantar Ilmu hubungan Internasional . Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, hlm. 126. 8 Ibid. 9 Hans J. Morgenthau. 1993. Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace.

      MacGraw-Hill, hlm. 50 10 Buszynski. Op.Cit. 11 Ibid. 12 Robert O. Keohane dan Joseph S. Nye. 1989. Power and Interdependence 2nd edition. New York: Harpers, hlm. 247. 13 Ibid. 14 Ibid. 15 Buszynski. Op.Cit. 16 The National Institute for Defense Studies. Tahun tidak diketahui. East Asian Strategic Review 2011.

      Japan: The Japan Times, hlm. 52. 17 Joshy M. Paul. 14 Juli 2010. “Japan-China Spat Over Nuclear Arsenal: Is Tokyo Hardening its Security Policy? ” RSIS Commentaries, hlm. 2-3. 18 Buszynski. Op.Cit. 19 Ron Ruisken. 2009. Architecture of Asia Pacific Security. Canberra: ANU Press. 20 Ibid. 21 Sohn. Op.Cit. 22 Ibid. 23 Chung. Op.Cit. 24

    diakses pada 4 Februari 2013 pukul 14.00

    WIB. 25 Chung. Op.Cit. 26

    diakses pada 5 Februari

    2013 pukul 14.21 WIB. 27 Ruisken. Op.Cit. 28

    diakses pada 4 Februari

    2013 pukul 14.21 WIB. 29 Ruisken. Op.Cit. 30 Ibid. 31

    diakses pada 4 Februari 2013 pukul 15.00 WIB.

      32

    iakses pada 4

    33 Februari 2013 pukul 15.09 WIB.

      

    Robert D. Kaplan. 2010. “The Geography of Chinese Power: How Far Can Beijing Reach on Land

    and at Sea?” Foreign Affairs, Vol. 89, No. 3.

      GLOBAL Vol. 16 No. 1 Mei 2014

      33

Dokumen yang terkait

PENGARUH MEDIA VIDEO TERHADAP PENGETAHUAN DALAM PENCEGAHAN PERILAKU SEKS PRANIKAH SISWA SMP

0 1 6

PROSIDING SEMINAR NASIONAL HASIL PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT SERI KE 1: MEMBANGUN MASYARAKAT SEHAT SEJAHTERA MENUJU PENCAPAIAN SDGs

0 1 12

PENGARUH PENERAPAN COMMUNITY MENTAL HEALTH NURSING TERHADAP KEMAMPUAN PERAWAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA DI WILAYAH KERJA DINAS KESEHATAN KABUPATEN MOJOKERTO

0 1 9

Intervensi Militer Indonesia di Timor Portugis 7 Desember 1975: Analisis Kebijakan Luar Negeri pada Level Sistem Internasional, Politik Domestik, dan Individu

0 0 21

Dinamika Kerjasama Keamanan Selandia Baru-Amerika Serikat Sejak Tahun 2000

0 0 18

RADIKALISME DALAM AKSI PERGERAKAN LINGKUNGAN: STUDI KASUS TERHADAP EARTH LIBERATION FRONT (PERIODE 1996-2011) Annisa Nirbito Indonesia Mengajar E-mail: annisa.nirbitogmail.com

0 0 12

IDENTITAS ISLAM MODERAT DALAM KEBIJAKAN LUAR NEGERI INDONESIA Lelly Andriasanti Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta Email: lelly15agmail.com Abstrak - Identitas Islam Moderat dalam Kebijakan Luar Negeri Indonesia

0 1 18

KOREAN WAVE SEBAGAI INSTRUMEN SOFT POWER UNTUK MEMPEROLEH KEUNTUNGAN EKONOMI KOREA SELATAN Ni Putu Elvina Suryani Alumni Program Magister Terorisme dalam Keamanan Internasional, Universitas Indonesia Email: seabalineseyahoo.com Abstrak - Korean Wave sebag

0 1 15

PROBLEMS IN ACCEPTING INDONESIAN CANDIDATES FOR NURSES AND CERTIFIED CAREGIVERS IN JAPAN: CAREER ACHIEVEMENT OF THE CANDIDATES BASED ON QUALITATIVE INTERVIEWS Ayami Saito Hachinohegakuin University Email: a_saito2020hotmail.com Abstrak - Problems in Accep

0 0 20

Email: darang.sahdanaui.ac.id Abstrak - Perkembangan Five Power Defence Arranggements dalam Menanggapi Dinamika Keamanan Asia Tenggara pasca Perang Dingin

0 0 13