BAB II PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA A. Tinjauan Umum Tentang Korporasi 1. Pengertian Korporasi - Asas Strict Liability dan Asas Vicarious Liability Dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Bidang Lingkungan Hidup (Analisis

BAB II PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA A. Tinjauan Umum Tentang Korporasi

1. Pengertian Korporasi

  Korporasi juga disebut dalam bidang hukum perdata sebagai badan hukum atau rechtspersoon. Secara etimologis kata korporasi (Belanda: corporatie, Inggris: corporation, Jerman: corporation) berasal dari kata “corporatio” dalam bahasa latin. Seperti kata-kata lainnya yang berakhiran dengan “tio” maka korporasi sebagai kata benda (substantium), berasal dari kata kerja “corporare”.

  

Corporare berasal dari kata corpus yang berarti memberikan badan atau

  membadankan.Dengan demikian, corporatio adalah hasil dari pekerjaan yang membadankan, atau dengan kata lain, badan yang dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan manusia yang

   terjadi menurut alam.

  Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh para ahli Hukum Pidana untuk menyebut apa yang dalam bidang hukum lain khususnya Hukum Perdata sebagai badan hukum atau dalam bahasa Inggris disebut legal entities atau

  

corporation . Menurut terminologi Hukum Pidana, bahwa “korporasi adalah

  66 67 Chidir Ali, Badan Hukum, (Bandung: Alumni, 1999), hlm. 66 Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Op.Cit., hlm. 11 badan atau usaha yang mempunyai identitas sendiri, kekayaan sendiri terpisah dari

  

  kekayaan anggota. Dalam Black’s Law Dictionary disebutkan pengertian korporasi sebagai

  

  badan hukum, yaitu :

  an entity (ussualy business) having authority under law to act a single person distinct from the shareholder who own it and having rights to issue stock and exist indefinitely, a group or succession of person esthabilished in accordance with legal rules into a legal or justice person that’s the legal personality distinct from the natural persons who make it up exist indefinetly apart from them, and has the legal that’s constitution gives it.

   Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Korporasi adalah : 1.

  Badan usaha yang sah; badan hukum; 2. Perusahaan atau badan usaha yang sangat besar atau beberapa perusahaan yang dikelola dan dijalankan sebagai suatu perusahaan besar. Menurut kamus hukum, korporasi adalah suatu perkumpulan atau organisasi, yang oleh hukum diperlakukan seperti seorang manusia (persona), ialah sebagai pengemban hak dan kewajiban; memiliki hak menggugat atau

   digugat dimuka pengadilan.

  Berbicara mengenai pengertian korporasi, para sarjana memberikan pengertian yang berbeda, menurut Utrecht/Moh. Soleh Djindang korporasi

  68 69 Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, Loc.Cit. 70 Mahrus Ali, Op.Cit., hlm. 2 71 Kamus Besar Bahasa Indonesia , (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), hlm. 596 N.H.T Siahaan, Hukum Lingkungan, Edisi Revisi Cetakan Kedua, (Jakarta: Pancuran Alam), 2008, hlm. 377

  51

  

  adalah: “suatu gabungan orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai suatu subjek hukum tersendiri suatu personifikasi.

  Korporasi adalah badan hukum yang beranggota, tetapi mempunyai hak dan kewajiban sendiri terpisah dari hak dan kewajiban anggota masing-masing.”

   Satjipto Rahardjo, menyatakan: “Korporasi adalah suatu badan hasil

  ciptaan hukum.Badan yang diciptakannya itu terdiri dari corpus, yaitu struktur fisiknya dan kedalamnya hukum memasukan unsur animus yang membuat badan itu mempunyai kepribadian.Oleh karena badan hukum itu merupakan ciptaan hukum kecuali penciptaannya, kematiannya juga ditentukan oleh hukum”.

  Ronald A. Anderson, Ivan Fox dan David P. Twomey dalam bukunya

  Business Law mengatakan bahwa “The corporation as a legal person”,

  

  selanjutnya dikatakan bahwa :

  a corporation is an artificial legal being, created by government grant and endowed with certain powers. That is the corporation exists in the eyes of the law as a person, separate and distinct from the people who own the corporation... The corporation can use and be used in its own name with respect to corporate rights and liabilities, but the shareholders cannot use or be used as to those rights and liabilities.

  Menurut Loebby Loqman, dalam diskusi yang dilakukan oleh para sarjana tentang apa yang dimaksud dengan korporasi terdapat dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa yang dimaksud dengan korporasi adalah suatu kumpulan dagang yang berbadan hukum.Jadi dibatasi bahwa korporasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana adalah korporasi yang sudah berbadan

  72 73 Chidir Ali, Op.Cit., hlm. 64 74 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni 1986), hlm. 110 Anderson, Ronald A, Ivan Fox, David P. Tworney, Business Law, (Cincinnati Ohio: South-Western Publishing. Co., 1984), hlm. 641-642

  hukum. Alasannya adalah bahwa dengan sudah berbadan hukum, telah jelas susunan pengurus serta sejauhmana hak dan kewajiban dalam korporasi tersebut.

  Pendapat lain adalah yang bersifat luas; dimana dikatakan bahwa korporasi tidak perlu harus berbadan hukum. Setiap kumpulan manusia, baik dalam hubungan suatu dagang ataupun usaha lainnya, dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Dalam kaitannya dengan hal ini lanjutnya bahwa ternyata terdapat kelemahan dalam bidang perUndang-undangan di Indonesia, yakni sejauh ini Indonesia belum mempunyai Undang-undang korporasi, seperti halnya corporate law di Amerika Serikat atau Undang-undang tentang perseroan di Belanda. Meskipun sudah ada Undang-undang tentang perseroan di Indonesia ternyata masih harus diperbaharui untuk disesuaikan dengan perkembangan sistem perkembangan perekonomian dunia. Dengan adanya ketentuan tentang korporasi dalam suatu perUndang-undangan akan lebihmudah untuk menunjukkan sejauh mana

   pertanggungjawaban dalam korporasi tersebut.

  Pengertian badan hukum itu sendiri, sebenarnya terjadi sebagai akibat dari perkembangan masyarakat menuju modernisasi. Dahulu di alam yang masih primitif ataupun didalam kehidupan yang masih sederhana, kegiatan-kegiatan usaha dijalankan secara perorangan. Perkembangannya, tumbuh kebutuhan untuk menjalankan usaha secara bekerja sama dengan beberapa orang yang mungkin atas dasar pertimbangan agar dapat menghimpun modal yang lebih berhasil

75 Kariawan Barus, Tesis: Analisis Yuridis Pemidanaan Terhadap Korporasi Yang

  Melakukan Tindak Pidana Di Bidang Lingkungan Hidup Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) , (Medan: Universitas Sumatera Utara, 2011), hlm. 60-61

  53 daripada dilaksanakan sendiri. Beranjak dari itu kemudian timbul keinginan untuk membuat suatu wadah seperti badan hukum agar kepentingan-kepentingan masing-masing lebih mudah dijalankan dan untuk membagi resiko yang mungkin

   timbul dari bentuk kerjasama yang dijalankan.

   Adapun yang menjadi ciri-ciri sebuah badan hukum/korporasi adalah : 1.

  Memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan orang lain-orang yang menjalankan kegiatan dari badan-badan hukum tersebut;

  2. Memiliki hak-hak dan kewajiban yang terpisah dari hak dan kewajiban orang- orang yang menjalankan kegiatan badan hukum tersebut;

3. Memiliki tujuan tertentu; 4.

  Berkesinambungan (memiliki kontinuitas) dalam arti keberadaannya tidak terikat pada orang-orang tertentu, karena hak dan kewajibannya tetap tetap ada meskipun orang yang menjalankannya berganti.

  Ronald A. Anderson et. al., menggolongkan korporasi berdasarkan hubungannya dengan publik, sumber kekuasaan dan sifat aktivitas dari korporasi itu sendiri. Dari penggolongan tersebut maka dalam negara Anglo Saxon, jenis-

  

  jenis korporasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 1.

  Korporasi Publik, adalah sebuah korporasi yang didirikan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan untuk memenuhi tugas administrasi di bidang urusan publik, contohnya pemerintahan Kabupaten atau Kota;

  76 77 Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Op.Cit., hlm. 13 Mochtar Kusumaadmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum: Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum , (Bandung: Alumni, 2000), hal. 81 78 Dwidja Prayitno, Op.Cit., hlm. 14-15

  55 2. Korporasi Privat, yaitu korporasi yang didirikan untuk kepentingan pribadi yang dapat bergerak di bidang industri dan perdagangan, contohnya PT.

  Garuda Tbk; 3. Korporasi Publik Quasi, atau yang lebih dikenal dengan korporasi yang melayani kepentingan umum (public service), contohnya PT. Kereta Api

  Indonesia, Perusahaan Air Minum dan Perusahaan Listrik Negara.

  Memperhatikan penggolongan korporasi di negara Anglo Saxon tersebut di atas, maka di Indonesia, penggolongan badan hukum dilihat dari jenisnya dapat dibedakan menjadi dua yakni badan hukum publik dan badan hukum privat. Badan hukum publik misalnya Negara Republik Indonesia, Pemerintah Kota/Kabupaten dan sebagainya, sedangkan badan hukum privat misalnya Perseroan Terbatas, Yayasan dan lain sebagainya. Kriteria untuk menentukan suatu badan hukum dikatakan badan hukum publik atau badan hukum privat ada dua yaitu:

   1.

  Dilihat dari pengelolaannya, badan hukum publik didirikan oelh Pemerintah/Negara, sedangkan badan hukum privat didirikan orang- perseorangan;

  2. Dilihat dari kepentingannya, pada prinsipnya didirikannya badan hukum tersebut apakah bertujuan untuk kepentingan umum atau tidak; artinya jika lapangan pekerjaannya bertujuan untuk kepentingan umum, maka badan hukum tersebut merupakan badan hukum publik, akan tetapi jika tujuannya

79 Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Op.Cit., hlm. 14

  untuk kepentingan perseorangan maka badan hukum itu merupakan badan hukum privat.

  Korporasi dapat berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum.

1. Badan hukum

  Ada beberapa teori yang sering digunakan dalam rangka mengetahui hakekat badan hukum yaitu antara lain: a.

  Teori Finctie Dari Von Savigny Menurut teori ini badan hukum itu semata-mata buatan negara saja. Badan hukum itu hanyalah fiksi, yaitu sesuatu yang sesungguhnya tidak ada tetapi orang menghidupkannya dalam bayangan sebagai subyek hukum yang dapat melakukan perbuatan hukum seperti manusia.

  b.

  Teori Harta Kekayaan Bertujuan (Doel Vermogens Theorie) Menurut teori ini hanya manusia saja yang dapat menjadi subyek hukum, namun ada kekayaan (vermogen) yang bukan merupakan kekayaan seseorang, tetapi kekayaan itu terikat dengan tujuan tertentu. Kekayaan inilah yang disebut badan hukum.

  c.

  Teori Organ dari Otto Van Gierke Badan hukum menurut teori ini bukan sesuatu yang abstrak (fiksi) dan bukan merupakan kekayaan (hak) yang tidak bersubyek, tetapi badan hukum merupakan organism yang riil, yang menjelma sungguh-sungguh dalam pergaulan hukum, yang dapat membentuk kemauan sendiri dengan perantara alat-alat yang ada padanya (pengurus dan anggota-anggotanya), seperti manusia biasa yang mempunyai panca indera.

  d.

  Teori Propriete Collective Teori ini diajarkan oleh Planiol dan Molengraff yang mengatakan bahwa hak dan kewajiban badan hukum pada hakekatnya adalah hak dan kewajiban para anggota bersama-sama. Kekayaan badan hukum adalah kepunyaan bersama semua anggotanya. Orang-orang yang berhimpun tersebut merupakan suatu kesatuan dan membentuk suatu pribadi yang dinamakan badan hukum.oleh karena itu badan hukum adalah konstruksi yuridis saja.

  e.

  Teori Kenyataan Yuridis Badan hukum merupakan suatu reliteit, konkrit, rill, walaupun tidak bisa diraba, bukan khayal tetapi kenyataan yuridis. Teori yang dikemukan oleh Mayers ini menekankan bahwa hendaknya dalam mempersamakan badan hukum dengan manusia terbatas sampai pada bidang hukum saja.

  Menurut Rudhy Prasetya, sebagaimana dikutip oleh Mahmud Mulyadi,

  

  badan hukum itu dapat mengambil berbagai bentuk, yaitu antara lain: 1)

  Ada yang berbentuk perseroan terbatas seperti yang diatur dalam Bab III Buku I KUHP Pasal 36-57;

  2) Berbentuk perkumpulan sebagaiamana diatur dalam Titel IX Buku III KUHP; 80 Mahmud Mulyadi, Hakekat Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Pelestarian

  Lingkungan Hidup , (Medan: Pustaka Bangsa Pers, 2004), hal 203

  57

  3) Dapat berbentuk koperasi sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 17 tahun 2012. Dalam undang-undang tersebut yang dimaksud dengan koperasi adalah badan hukum yang didirikan oleh orang perseorangan atau badan hukum Koperasi, dengan pemisahan kekayaan para anggotanya sebagai modal untuk menjalankan usaha, yang memenuhi aspirasi dan kebutuhan bersama di bidang ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan nilai dan prinsip Koperasi;

  4) Berbentuk BUMN sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 19 tahun 2003 berupa perusahaan perseroan, perusahaan jawatan, perusahaan jawatan;

  5) Yayasan (Stichting) merupakan badan hukum berdasarkan Undang-undang

  Nomor 16 tahun 2001 jo. Undang-undang Nomor 28 tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001.

  Sedangkan menurut Pasal 1635 BW, badan hukum dapat dibagi atas tiga, yaitu: a)

  Badan hukum yang diadakan pemerintah/kekuasaan umum, misalnya Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat II/Kotamadya, bank-bank, yang didirikan oleh negara dan sebagainya; b)

  Badan hukum yang diakui oleh pemerintah/kekuasaan umum, misalnya perkumpulan,organisasi keagamaan dan sebagainya; c)

  Badan hukum yang didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang dan kesusilaan seperti perseroan terbatas, perkumpulan asuransi dan sebagainya.

2. Bukan Badan Hukum

  Adapun badan usaha yang bukan berbentuk badan hukum dapat dikategorikan menjadi tiga bentuk yaitu: persekutuan perdata, persekutuan/perusahaan firma (fa) persekutuan/perusahaan komanditer (CV). Perbedaan antara badan hukum yang berbentuk badan hukum dan bukan badan hukum terlihat dari perbedaan prosedur pendirian badan usaha tersebut. Untuk pendirian badan usaha yang berbentuk bukan badan hukum, maka syarat adanya

   pengesahan akta pendirian dari pemerintah tidak diperlukan.

  Sedangkan menurut Abdul Kadir Muhammad, badan usaha yang berbentuk bukan badan hukum dapat dikategorikan sebagai:

  1. Perusahaan perseorangan, merupakan perusahaan swasta yang didirikan dan dimiliki oleh pengusaha perseorangan, misalnya: perusahaan industri, perusahaan dagang dan perusahaan jasa.

  2. Perusahaan persekutuan, merupakan perusahaan swasta yang didirikan dan dimiliki oleh beberapa orang pengusaha secara bekerjasama. Perusahaan ini dapat menjalankan usaha dalam semua bidang perekonomian, yaitu bidang industri, dagang dan jasa yang dapat berbentuk perusahaan Firma (fa) dan

   persekutuan komanditer (CV).

  Dalam konteks mati atau bubarnya korporasi, terdapat tiga kemungkinan

  

  mengenai hal itu, yaitu:

  81 82 Ibid., hal 209 83 Ibid., hal. 210 Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti Press, 2006), hal. 47

  59

  1. Jangka waktu pendiriannya telah sampai, sedangkan para pendirinya tidak memperpanjang “usia” dari korporasi itu. Bubarnya korporasi yang demikian disebut bubar demi hukum; 2. Dibubarkan oleh para pendirinya atau oleh para pemegang saham berdasarkan keputusan RUPS;

  3. Dibubarkan oleh pengadilan berdasarkan putusan pengadilan atas pertimbangan-pertimbangan hukum yang diambil oleh hakim atau majelis hakim yang memeriksa perkara tersebut; 4. Dibubarkan oleh undang-undang.

  Berkaitan dengan badan hukum (korporasi) sebagai subyek hukum, menurut Sudikno Mertokusumo subyek hukum adalah segala sesuatu yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum. Hak dan kewajiban dari hukum itu

  

  hanyalah manusia. Kenyataan dewasa ini, dalam lapangan masyarakat bukan saja manusia yang oleh hukum diakui sebagai subyek hukum tetapi juga diberikan kepada subyek hukum yang bukan manusia yaitu badan hukum.

  Menurut Alvi Syahrin, suatu badan hukum merupakan suatu badan (entity) yang keberadaannya terjadi karena hukum atau undang-undang, dan sebagai subyek hukum secara materiil ia (badan hukum) mencakup hal-hal sebagai

  

  berikut:

  84 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1999), hal. 67 85 Alvi Syahrin, Tinjauan Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.

  862/K/PID.SUS/2010 , diakses tanggal 03 Januari 2014

1. Kumpulan atau asosiasi modal (yang ditujukan untuk menggerakkan kegiatan perekonomian dan atau tujuan khusus lainnya).

  2. Kumpulan modal ini dapat melakukan perbuatan hukum (rechtshandeling) dalam hubungan-hubungan hukum (rechtsbetrekking), dan ini menjadi tujuan dari sifat dan keberadaan badan hukum, sehingga ia dapat digugat atau menggugat di depan pengadilan.

  3. Modal yang dikumpulkan ini selalu diperuntukkan bagi kepentingan tertentu, berdasarkan pada ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Sebagai suatu perkumpulan modal, maka kumpulan modal tersebut harus dipergunakan untuk dan sesuai dengan maksud dan tujuan yang sepenuhnya diatur dalam statuta atau anggaran dasarnya, yang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  4. Kumpulan modal ini mempunyai pengurus yang akan bertindak untuk mewakili kepentingan badan hukum ini, yang berarti adanya pemisahan antara keberadaan harta kekayaan yang tercatat atas nama kumpulan modal ini dengan pengurusan harta kekayaan tersebut oleh pengurus.

  5. Keberadaan modal badan hukum ini tidak dikaitkan dengan keanggotaan tertentu. Setiap orang yang memenuhi syarat dan persyaratan yang diatur dalam statuta atau anggaran dasarnya dapat menjadi anggota badan hukum ini dengan segala hak dan kewajibannya.

  6. Sifat keanggotaannya tidak permanen dan dapat dialihkan atau beralih kepada siapapun juga, meskipun keberadaan badan hukum ini sendiri adalah permanen atau tidak dibatasi jangka waktu berdirinya.

  61

  7. Tanggungjawab badan hukum dibedakan dari tanggungjawab pendiri, anggota, maupun pengurus badan hukum tersebut.

  Dengan demikian didalam Hukum Perdata, badan hukum sudah tidak diragukan lagi adalah merupakan subyek hukum disamping orang (natuurlijkperson), bagaimana didalam Hukum Pidana, apakah badan hukum dapat dijadikan sebagai subyek Hukum Pidana ?

  2. Perkembangan Korporasi Sebagai Subyek Hukum Pidana

  Dalam hukum dikenal pengertian subjek hukum yang dalam istilah Belanda meliputi “persoon” dan “recthpersoon”. Persoon adalah manusia atau orang yang memiliki kewenangan untuk bertindak dalam lapangan hukum, khususnya hukum perdata. Rechtpersoon ialah badan hukum yang diberi kewenangan oleh Undang-undang untuk dapat bertindak sebagaimana orang yang masuk dalam golongan persoon.

  Menurut Wirjono Prodjodikoro, dalam pandangan KUHP, yang dapat menjadi subjek tindak pidana adalah seorang manusia sebagai oknum. Ini mudah terlihat pada perumusan dari tindak pidana dalam KUHP, yang menampakkan daya berpikir sebagai syarat sebagai subjek tindak pidana, juga terlihst dsri wujud hukuman atau pidana yang termuat dalam pasal-pasal KUHP, yaitu hukuman

   penjara, kurungan dan denda.

  Korporasi sebagai subjek Hukum Pidana mulai berkembang sebagai akibat terjadinya perubahan-perubahan dalam masyarakat dalam menjalankan aktivitas

86 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Edisi Kedua Cetakan

  Keempat, Bandung: PT Eresco, 1986, hlm. 55 usaha. Pada masyarakat yang masih sederhana, kegiatan usaha cukup dijalankan secara perorangan. Namun dalam perkembangan masyarakat yang tidak lagi sederhana, timbul kebutuhan untuk mengadakan kerjasama dengan pihak lain dalam menjalankan kegiatan usahanya. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan untuk mengadakan kerjasama tersebut adalah terhimpunnya modal yang lebih banyak, tergabungnya keterampilan dalam suatu usaha jauh lebih baik dibandingkan dengan yang dijalankan seorang diri, serta dapat membagi resiko kerugian secara bersama.

  Dalam pembahasan mengenai perkembangan konsep korporasi sebagai subjek Hukum Pidana, Rudy Prasetyo mengatakan bahwa timbulnya konsep badan hukum dalam hukum perdata sebagai kebutuhan untuk menjalankan kegiatan usaha yang diharapkan lebih berhasil. Korporasi (badan hukum) merupakan suatu ciptaan hukum, yakni pemberian status sebagai subjek hukum kepada suatu badan, disamping subjek hukum yang berwujud manusia alamiah.

  Dengan demikian, badan hukum dianggap dapat menjalankan atau melakukan

   suatu tindakan hukum.

  Pemberian status subjek hukum khusus yang berupa badan tersebut, dalam perkembangannya dapat terjadi karena berbagai macam alasan dan/atau motivasi.

  Salah satunya misalnya untuk memudahkan menentukan siapa yang harus bertanggung jawab diantara mereka yang terhimpun dalam badan tersebut, yakni secara yuridis dikonstruksikan dengan menunjuk badan hukum sebagai subjek

87 Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Loc.Cit.

  63 yang bertanggung jawab. Oleh karena itu, dalam sejarah perkembangan eksistensi sebagai subjek hukum, diakui pula oleh bidang hukum di luar hukum perdata, misalnya hukum pajak, hukum administrasi negara, serta Hukum Pidana.

  Terdapat perbendaan pendapat mengenai kedudukan korporasi sebagai subjek Hukum Pidana. Beberapa sarjana menyatakan korporasi tidak dapat dijadikan subyek Hukum Pidana dengan alasan sebagai berikut : a.

  Menyangkut masalah kejahatan, sebenarnya kesengajaan dan kesalahan

  

  kesalahan hanya terdapat pada persona alamiah; b. Bahwa yang merupakan tingkah laku materiil, yang merupakan syarat dapat dipidananya beberapa macam tindak pidana, hanya dapat dilaksanakan oleh persona alamiah (mencuri barang, menganiaya orang, perkosaan dan sebagainya; “selain itu juga disebutkan dalam buku Barda Nawawi dalam perkara yang menurut kodratnya tidak dapat dilakukan oleh korporasi, misal:

  

  bigami, perkosaan, sumpah palsu” c. Bahwa pidana dan tindakan yang berupa merampas kebebasan orang, tidak dapat dikenakan pada korporasi; “hal ini juga disebutkan Barda Nawawi dalam bukunya, yaitu dalam perkara yang satu-satunya pidana yang dapat dikenakan tidak mungkin dikenakan kepada korporasi, misal pidana penjara

  

  atau pidana mati”

  88 89 Syamsul Arifin dan Muhammad Hamdan, Op.Cit., hal 34 90 Barda Nawawi Arief , Op.Cit, hal 45-46 Ibid.

  65 d. Bahwa tuntutan dan pemidanaan terhadap korporasi dengan sendirinya mungkin menimpa pada orang yang tidak bersalah, misalnya para pemegang saham dan karyawan;

   e.

  Bahwa didalam praktik tidak mudah untuk menentukan norma-norma atas dasar apa yang dapat diputuskan, apakah pengurus saja atau korporasi itu sendiri atau kedua-duanya harus dituntut dan dipidana;

   f.

  Sulit untuk membuktikan unsur kesengajaan dan perencanaan dari suatu perbuatan badan hukum.

93 Sedangkan yang setuju menempatkan korporasi sebagai subyek Hukum

  Pidana menyatakan : a.

  Mengingat di dalam kehidupan sosial-ekonomi, korporasi semakin memainkan peranan yang penting pula;

   b.

  Hukum Pidana harus mempunyai fungsi didalam masyarakat dan menegakkan norma-norma dan ketentuan yang ada dalam masyarakat;

   c.

  Dipidananya korporasi dengan ancaman pemidanaan adalah salah satu upaya untuk menghindari tindakan pemidanaan terhadap para pegawai itu sendiri;

   d.

  Ternyata dipidananya pengurus saja tidak cukup untuk mengadakan represif terhadap delik-delik yang dilakukan oleh atau dengan suatu korporasi.

  91 Syamsul Arifin dan Muhammad Hamdan, Op.Cit., hal 35 92 Ibid. 93 Ibid. 94 Mahmud Mulyadi dan Ferri Antoni Surbakti, Op.Cit., hal 18 95 Ibid. 96 Muladi dan Dwidja Prayitno, Op.Cit., hal 47 Karenanya diperlukan pula untuk dimungkinkan memidana korporasi;

   korporasi dan pengurus; atau pengurus saja.

  Pengakuan korporasi (rechtsperson) sebagai subjek hukum dalam Hukum Pidana penuh dengan hambatan-hambatan teoritis, tidak seperti pengakuan subjek Hukum Pidana pada manusia. Terdapat dua alasan mengapa kondisi tersebut terjadi. Pertama, begitu kuatnya pengaruh teori fiksi (fiction theory) oleh Von Savigny, yakni kepribadian hukum sebagai kesatuan-kesatuan dari manusia merupakan hasil suatu khayalan. Kepribadian sebenarnya hanya ada pada manusia. Negara-negara, korporasi-korporasi, ataupun lembaga-lembaga, tidak dapat menjadi subjek hak dan perseorangan, tetapi diperlakukan seolah-olah badan-badan itu manusia. Semua hukum ada demi kemerdekaan yang melekat pada tiap individu. Oleh karena itu konsep asli kepribadian harus sesuai dengan

   cita-cita manusia.

  Kedua, masih dominannya asas universalitas delinguere non potest yang berarti badan-badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana dalam sistem Hukum Pidanadi banyak negara.Asas ini merupakan hasil pemikiran dari abad ke- 19, dimana kesalahan menurut Hukum Pidana selalu diisyaratkan dan sesungguhnya hanya kesalahan dari manusia, sehingga erat kaitannya dengan individualisasi KUHP. Dalam konteks, KUHP yang hingga saat ini masih diberlakukan di Indonesia, asas tersebut ternyata begitu mempengaruhi

  

  kemunculan Pasal 59 KUHP yang berbunyi sebagai berikut: “Dalam hal-hal di 97 98 Syamsul Arifin dan Muhammad Hamdan, Loc.Cit. 99 Mahrus Ali, Op.Cit., hlm. 64-65 R.Soesilo, Loc.Cit. mana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus, atau komisaris ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tindak pidana.”

  Pasal 59 KUHP tersebut esensinya berbicara tentang tindak pidana yang hanya bisa dilakukan oleh manusia, tidak termasuk korporasi. Oemar Seno Adji berpendapat, sebagaimana yang dikutip oleh Mahrus Ali, bahwa Pasal 59 KUHP menunjukkan bahwa tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh seorang/manusia.

  Fiksi badan hukum tidak berlaku dalam KUHP. Sedangkan Van Bemmelen secara lebih rinci menyatakan bahwa pasal itu tidak membicarakan tindak korporasi, iahanya memuat dasar penghapus pidana bagi anggota pengurusnya atas suatu

   pelanggaran yang dilakukan tanpa sepengetahuannya.

  Dalam perkembangannya dua alasan tersebut lama kelamaan mulai melemah pengaruhnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya usaha untuk menjadikan korporasi sebagai subjek hukum dalam lingkungan pidana, yaitu adanya hak dan kewajiban yang melekat padanya.Usaha tersebut dilatarbelakangi fakta bahwa tidak jarang korporasi mendapat keuntungan yang banyak dari hasil kejahatan yang dilakukan oleh pengurusnya. Begitu juga dengan kerugian yang dialami oleh masyarakat yang disebabkan oleh tindakan-tindakan pengurus-

  

  pengurus korporasi. Oleh karenanya, dianggap tidak adil bila korporasi tidak dikenakan hak dan kewajiban seperti halnya manusia.Kenyataan inilah yang 100 101 Ibid ., hlm. 65-66 Ibid .

  67 kemudian memunculkan tahap-tahap perkembangan korporasi sebagai subjek huku m dalam Hukum Pidana.

  Adapun tahapan-tahapan perubahan dan perkembangan kedudukan korporasi sebagai subjek Hukum Pidana dapat dibedakan dalam tiga tahap,

  

  yaitu: 1.

  Tahap Pertama Tahap ini ditandai dengan usaha-usaha agar agar sifat delik yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan (natuurlijk persoon).Sehingga apabila suatu tindak pidana terjadi dalam lingkungan korporasi, maka tindak pidana tersebut dianggap dilakukan oleh pengurus korporasi tersebut.Tahap ini merupakan dasar bagi Pasal 59 KUHP.

  Melihat ketentuan tersebut diatas, maka para penyusun kitab Undang- undang Hukum Pidana dipengaruhi oleh asas societas delinquere non potest, yaitu badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana.

  Pengurus pada tahap ini tidak memenuhi kewajiban yang sebenarnya merupakan kewajiban korporasi dapat dinyatakan bertanggungjawab.Kesulitan yang timbul dalam Pasal 59 KUHP ini adalah apabila hal pemilik atau pengusahanya adalah korporasi, sedangkan tidak ada pengaturan bahwa pengurusnya bertanggungjawab, maka bagaimana memutuskan tentang pembuat dan pertanggungjawabannya? Kesulitan ini dapat diatasi dengan perkembangan kedudukan dalam tahap kedua.

  2. Tahap Kedua 102

  Dwidja Prayitno, Op.Cit., hlm. 24-28 Tahap kedua ini ditandai dengan pengakuan yang timbul sesudah Perang Dunia I dalam perumusan Undang-undang bahwa suatu tindak pidana, dapat dilakukan oleh perserikatan atau badan usaha (korporasi).Tanggung jawab untuk itu juga menjadi beban dari pengurus badan hukum tersebut.

  Tanggung jawab pada tahap ini perlahan-lahan beralih dari anggota pengurus kepada mereka yang memerintahkan, atau dengan larangan melakukan apabila melalaikan memimpin secara sesungguhnya. Tahap ini menyebabkan korporasi dapat menjadi pembuat delik, akan tetapi yang dipertanggungjawabkan adalah para anggota pengurus, asal dinyatakan dengan tegas dalam peraturan itu. Walaupun pertanggungjawaban pidana secara langsung dari korporasi masih belum muncul.

3. Tahap Ketiga

  Tahap ketiga ini merupakan permulaan adanya tanggung jawab yang langsung dari korporasi yang dimulai pada waktu dan sesudah Perang Dunia II.

  Pada tahap ini dibuka kemungkinan untuk menuntut korporasi dan meminta pertanggungjawabannya menurut Hukum Pidana. Alasan lain adalah karena misalnya dalam delik-delik ekonomi dan fisik keuntungan yang diperoleh korporasi atau kerugian yang diderita masyarakat dapat demikian besarnya sehingga tidak akan mungkin seimbang bilamana pidana hanya dijatuhkan kepada pengurus korporasi saja. Alasan yang diajukan bahwa dengan memidana para pengurus tidak atau belum ada jaminan bahwa korporasi tidak akan mengulangi delik tersebut. Pemidanaan korporasi dengan jenis dan beratnya yang sesuai

  69 dengan sifat korporasi itu, diharapkan dapat memaksa korporasi untuk menaati peraturan bersangkutan.

  Adapun tahap-tahap perkembangan korporasi sebagai subjek Hukum Pidana di Indonesia ternyata mengikuti perkembangan yang terjadi di Belanda.

  Pada tahap pertama dalam W.v.S. Belanda, Pasal 51 sebelum diadakan perubahan ketentuan tersebut rumusannya sama dengan ketentuan Pasal 59 KHUP. Hal ini dipengaruhi oleh asas universitas delingquere nonpotest, yaitu sifat delik yang

   dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan.

  Pada tahap kedua baik di Belanda maupun di Indonesia, di dalam perumusan Undang-undang dikenal bahwa suatu tindak pidana dapat dilakukan oleh korporasi, akan tetapi pertanggungjawaban pidana secara langsung belum timbul, sehingga yang dapat dipertanggungjawabkan adalah pengurus

   korporasi.

  Tahap ketiga di negeri Belanda maupun di Indonesia, pertanggungjawaban pidana korporasi secara langsung sudah dikenal.Di negeri Belanda perkembangan pertanggungjawaban langsung pidana korporasi pada mulanya terdapat dalamperUndang-undangan khusu di luar KUHP, seperti Pasal 15 Wet op de

  

Ecconomische Delicten Tahun 1950, Pasal 74 jo.Pasal 2 Rijksbelastingen Wet

  Tahun 1959. Perkembangan ini juga terjadi di Indonesia, seperti yang terdapat dalam Pasal 15 Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi (Undang-undang Nomor

  7 Drt. Tahun 1955), Pasal 17 Undang-undang Nomor 11 PNPS Tahun 1963

  103 104 Muladi dan Dwidja Prayitno, Op.Cit., hlm. 61 Ibid . tentang Tindak Pidana Subversi. Tetapi, perkembangan pertanggungjawaban pidana secara langsung terhadap korporasi di negeri Belanda akhirnya berlaku secara umum dalam Hukum Pidana, dengan mengadakan perubahan Pasal 15 W.v.S Belanda pada tahun 1976. Akan tetapi perkembangan tersebut di Indonesia

   belum terjadi.

  Dengan demikian di dalam Hukum Pidana umum belum dikenal pertanggungjawaban pidana korporasi secara langsung. Indonesia dewasa ini, pertanggungjawaban pidana korporasi secara langsung hanya terdapat dan berlaku dalam terhadap beberapa perUndang-undangan khusus diluar KUHP. Ternyata dalam prospek pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi menganut pula perkembangan yang terjadi di negeri Belanda. Hal ini terlihat dalam Rancangan KUHP Buku I Tahun 2011-2012 Pasal 182 yang berbunyi: “Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”.

B. Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana

1. Pertanggungjawaban Pidana

  Pertanggungjawaban pidana, dalam istilah asing disebut juga

  

Torekenbaardheid atau criminal responsibility, yang menjurus kepada

  pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang

  105 Ibid .

  71 terjadi atau tidak. Pertanggungjawaban pidana itu adalah diteruskannya celaan

   objektif yang ada pada tindak pidana.

  Terdapat dua pandangan tentang pertanggungjawaban pidana, yaitu pandangan monistis dan pandangan dualistis. Pandangan monistis atau monisme dikemukakan antara lain oleh Simon. Menurut aliran monisme, unsur-unsur

  

strafbaar feit itu meliputi baik unsur perbuatan yang lazim disebut unsur objektif,

  maupun unsur pembuat yang lazim dinamakan unsur subjektif. Oleh karena itu, dicampurnya unsur perbuatan dan unsur pembuatnya, maka dapat disimpulkan bahwa strafbaar feit adalah sama dengan syarat-syarat penjatuhan pidana, sehingga seolah-olah dianggap bahwa kalau terjadi strafbaar feit, maka pasti

   pelakunya dapat dipidana.

  Penganut pandangan monistis tentang strafbaar feit atau criminal act berpendapat, bahwa unsur-unsur pertanggungjawaban pidana yang menyangkut

  

  pembuat delik meliputi : a.

  Kemampuan bertanggungjawab; b. Kesalahan dalam arti luas, sengaja dan/atau kealpaan; c. Tidak ada alasan pemaaf.

  Adapun orang pertama yang menganut pandangan dualistis adalah Herman Kontorowicz, pada tahun 1933 sarjana Hukum Pidana Jerman yang menentang kebenaran pendirian mengenai kesalahan (schuld) yang ketika itu berkuasa yang beliau namakan objective schuld oleh karena kesalahan disitu dipandang sebagai 106 107 Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Op.Cit., hlm. 34 108 Muladi dan Dwidja Prayitno, Op.Cit., hlm. 63 A.Z Abidin, Op.Cit., hlm. 44-45 sifat daripada kelakuan (merkmal der handlung). Untuk adanya

  

Strafvoraussetzungen (syarat-syarat penjatuhan pidana terhadap pembuat)

  diperlukan lebih dahulu pembuktian adanya strafbare handlung (perbuatan

   pidana), lalu setelah itu dibuktikan schuld atau kesalahan subjektif.

  Menurut ajaran dualistis, tindak pidana dipisahkan dari pertanggungjawaban pidana. Kesalahan sebagai penentu utama berat ringannya pidana yang dijatuhkan meliputi dua hal, yakni menunjuk kepada tindakan yang tercela atau actus reus yaitu dilanggarnya standar etis masyarakat yang telah diformulasikan dalam Undang-undang sebagai delik, dan pertanggungjawaban pidana atau mens rea, yaitu sikap bathin atau keadaan psikologis pelaku diukur menurut nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat, yang seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan oleh pelaku, tetapi dilanggar.

  Hubungan kesalahan dengan pemidanaan menurut ajaran dualistis dapat

  

  digambarkan sebagai berikut: 1.

  Kesalahan actus reus menentukan batas minimal dan maksimal yang dibolehkan oleh undang-undang;

2. Kesalahan pada mens rea menentukan range pemidanaan; 3.

  Hal-hal lain yang memberatkan maupun yang meringankan menentukan pemidanaan antara batas range bawah sampai range atas.

  109 110 Muladi dan Dwidja Prayitno, Op.Cit., hlm. 66 Prayitno Imam Santoso, Pertanggungjawaban Pidana Menurut Ajaran Dualistis, akses tanggal 16 Desember 2013

  73 Berdasarkan uraian diatas, bahwa masalah pertanggungjawaban pidana berkaitan erat dengan unsur kesalahan, membicarakan unsur kesalahan dalam Huku m Pidana ini berarti mengenai jantungnya. Sejalan dengan itu, menurut Sauer ada tiga pengertian dasar dalam Hukum Pidana, yaitu:

   1.

  Sifat melawan hukum (unrecht); 2. Kesalahan (schuld); 3. Pidana (strafe).

  Menurut Roeslan Saleh, dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk hal pertanggungjawaban. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya perbuatan.Apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana, tergantung apakah dia dalam melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila memang mumpunyai kesalahan tentulah akan dipidana.

  

  Berhubungan dengan pertanggungjawaban pidana, Sudarto menyatakan pendapatnya sebagai berikut:

   111

  Muladi dan Dwidja Prayitno, Op.Cit., hlm. 14-15 112 Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta: Aksara Baru, 1983), hlm. 75 113 Mahrus Ali, Op.Cit., hlm. 95

  Dipidananya sesorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum.Jadi meskipun pembuatnya memenuhi rumusan delik dalam Undang-undang dan tidak dibenarkan (an objective breach of a penal

  provision ), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk menjatuhkan

  pidana.Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective

  guilt ). Orang tersebut harus dipertanggungjawabkan atas perbuatannya

  atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut.

  Secara lebih rinci, Sudarto menyatakan bahwa agar seseorang memiliki aspek pertanggungjawaban pidana, dalam arti dipidananya pembuat, terdapat

  

  beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu: 1.

  Adanya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat; 2. Adanya unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan; 3. Adanya pembuat yang bertanggung jawab; 4. Tidak ada alasan pemaaf.

  Dalam Hukum Pidana konsep liability atau “pertanggungjawaban” merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa latin ajaran kesalahan dikenal dengan sebutan mens rea. Doktrin mens rea ini dilandaskan pada konsepsi bahwa suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat.Disini berlaku apa yang disebut asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (keine strafe ohne schuld atau geen straf zonder

  schuld atau nullapoena sine culpa). Dalam Hukum Pidana Inggris asas ini dikenal

  dalam bahasa Latin yang berbunyi “actus non facit reum misi mens sit rea” (an

   act does not make a person guilty, unless the mind is guilty ). Di dalam doktrin

  ini terdapat dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat memidana seseorang, yaitu ada perbuatan lahiriah yang terlarang/tindak pidana (actus reus) dan ada sikap batin jahat/tercela (mens rea).

  Asas tersebut disebut juga dengan asas legalitas dan tercantum secara implisit dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) atau dalam 114 115 Ibid .

  Moeljatno, Op.Cit., hlm. 153

  75 peraturan lain, akan tetapi berlakunya asas tersebut tidak diragukan lagi. Pasal 6 ayat (2) Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

  

  berbunyi: “Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut Undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.”Dari bunyi pasal tersebut jelas unsur kesalahan sangat penting bagi penentuan akibat dari perbuatan yang dilakukan seseorang yaitu berupa penjatuhan pidana.

  Terdapat beberapa pengertian dari kesalahan menurut para sarjana, antara

  

  lain : 1.

  Mazger mengatakan: “Kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat pidana.

  2. Simons mengartikan kesalahan itu sebagai pengertian yang “social-ethisch”, dan mengatakan antara lain: “sebagai dasar untuk pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana ia berupa keadaan psikis (jiwa) dari si pembuat, dan hubungannya terhadap perbuatannya dan di dalam arti bahwa berdasarkan psikis (jiwa) itu perbuatannya dicelakan kepada si pembuat.

  3. Van Hamel mengatakan bahwa “kesalahan dalam suatu delik merupakan pengertian psikologis, perhubungan antara keadaan jiwa si pembuat dan terwujudnya unsur-unsur delik karena perbuatannya. Kesalahan adalah

  116 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 157 Tambahan Lembaran Negara Republik

  Indonesia Nomor 5076) 117 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1986, hlm. 88-89 pertanggungjawaban dalam hukum (schuld is de verantwoor- delijkheidrechtens )”.

  4. Pompe mengatakan antara lain : “pada pelanggaran norma yang dilakukan karena kesalahannya, biasanya sifat melawan hukum itu merupakan segi luarnya. Yang bersifat melawan hukum adalah perbuatannya. Segi dalamnya yang bertalian dengan kehendak si pembuat adalah kesalahan. Kesalahan ini dapat dilihat dari dua sudutmenurut akibatnya ia adalah hal yang dapat dicelakan (verwijtbaarheid) dan menurut hakikatnya ia adalah hal yang dapat dihindarkannya (vermijdbaarheid) perbuatan melawan hukum”.

  Dari pendapat-pendapat diatas, dapat dikatakan bahwa kesalahan itu mengandung unsur pencelaan terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana.Pencelaan disini bukan pencelaan berdasarkan kesusilaan, melainkan pencelaan berdasarkan hukum yang berlaku. Sebagaimana yang dikatakan oleh Sudarto bahwa untuk adanya kesalahan maka harus ada pencelaan ethics, betapa

   pun kecilnya.

  Sudarto membedakan pengertian kesalahan psikologis dan pengertian kesalahan normatif.Pengertian kesalahan psikologis yaitu bahwa kesalahan hanya dipandang sebagai hukum psikologis (batin) antara sipembuat dan perbuatannya.Hubungan batin tersebut dapat berupa keengajaan atau kealpaan.Pada kesengajaan hubungan batin itu berupa menghendaki perbuatan (beserta akibatnya) dan pada kealpaan tidak ada kehendak demikian.Sehingga

  118 Ibid ., hlm. 89

  77 hanya menggambarkan keadaan batin sipembuat, sedangkan yang menjadi ukurannya adalah sikap batin yang berupa kehendak terhadap perbuatan atau

   akibat perbuatan.

  Adapun pengertian kesalahan normatif, menentukan kesalahan seseorang tidak hanya berdasarkan sikap batin atau hubungan batin antara pembuat dan perbuatannya, tetapi disamping itu harus ada unsur penilaian atau unsur normatif perbuatannya. Penilaian dari luar ini merupakan pencelaan dengan memakai ukuran yang terdapat dalam masyarakat, ialah apa yang seharusnya diperbuat oleh si pembuat. Dalam pengertian ini, sikap batin si pembuat adalah merupakan kesengajaan dan kealpaan tetap diperhatikan, namun hanya merupakan unsur dari kesalahan atau unsur lain yaitu penilaian mengenai keadaan jiwa si pembuat, ialah

   kemampuan bertanggungjawab dan tidak hanya penghapus kesalahan.

  Berdasarkan uraian mengenai pengertian kesalahan di atas, dapat dikatakan bahwa kesalahan adalah dasar untuk pertanggungjawaban pidana.Kesalahan merupakan keadaan jiwa dari si pembuat dan hubungan batin antara si pembuat dan perbuatannya.Adanya kesalahan pada seseorang maka orang tersebut dapat dicela. Mengenai keadaan jiwa seseorang yang melakukan perbuatan merupakan apa yang lazim disebut sebagai kemampuan bertanggung jawab, sedangkan hubungna batin antara si pembuat dan perbuatannya itu merupakan kesengajaan, kealpaan, serta alasan pemaaf. Dengan demikian, untuk

  119 120 Ibid ., hlm. 90 Ibid ., hlm. 91 menentukan adanya kesalahan seseorang harus memenuhi beberapa unsur antara

  

  lain : 1.

  Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat; 2. Hubungan batin antara si pembuat dan perbuatannya yang merupakan kesengajaan (dolus) datau kealpaan (culpa) ini disebut bentuk kesalahan;

3. Tidak adanya alasan penghapusan kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf.

  Ketiga unsur tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Yang satu bergantung kepada yang lain, yang disebutkan kemudian bergantung kepada yang disebutkan terlebih dahulu, artinya ketiganya berhubungan satu dengan yang lainnya. Konkretnya tidaklah mungkin dapat dipikirkan tentang adanya kesengajaan ataupun kealpaan, apabila orang itu tidak mampu bertanggung jawab.Begitupula tidak dapat dipikirkan tentang alasan pemaaf apabila orang tidak mampu bertanggung jawab dan tidak pula adanya kesengajaan atau kealpaan.Selanjutnya karena tidak ada gunanya mempertanggungjawabkan terdakwa yang melakukan perbuatan apabila perbuatannya tidaklah bersifat melawan hukum, maka lebih lanjut sekarang dapat pula dinyatakan bahwa terlebih dahulu harus ada kepastian tentang adanya perbuatan pidana, dan kemudian unsur kesalahan tadi harus dihubungkan pula dengan perbuatan pidana yang dilakukan. Sehingga untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa, maka terdakwa haruslah: (a) melakukan

Dokumen yang terkait

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Pengertian - Pengertian 2.1.1 Pengertian Tekanan Udara - Analisis Pengaruh Curah Hujan Di Kota Medan

0 0 15

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Analisis Pengaruh Curah Hujan Di Kota Medan

0 0 7

BAB II PENGATURAN IZIN USAHA PARIWISATA BERDASARKAN PERATURAN DAERAH KOTA MEDAN NO. 4 TAHUN 2014 TENTANG KEPARIWISATAAN A. Pengertian Usaha Pariwisata - Pengawasan Izin Usaha Pariwisata Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Ke

0 0 11

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pengawasan Izin Usaha Pariwisata Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Kepariwisataan(Studi Pemko Medan)

0 1 21

Asuhan Keperawatan pada Tn. J dengan Prioritas Masalah Kebutuhan Dasar Personal Hygiene Mandi dan Berhias di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara

0 0 25

CHAPTER II REVIEW OF LITERATURE

0 1 9

BAB II STRUKTUR SOSIAL DAN BUDAYA MASYARAKAT KARO 2.1 Domisili Orang Karo - Garamata : Sebuah Gerakan Nativistik Di Dataran Tinggi Karo

0 0 12

BAB II LANDASAN HUKUM MENGENAI REKSA DANA PERSEROAN A. Ketentuan Undang-Undang Pasar Modal Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal - Hubungan Hukum Para Pihak dalam Reksa Dana Perseroan terkait Transaksi Reksa Dana Saham

0 0 23

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Hubungan Hukum Para Pihak dalam Reksa Dana Perseroan terkait Transaksi Reksa Dana Saham

0 0 20

Asas Strict Liability dan Asas Vicarious Liability Dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Bidang Lingkungan Hidup (Analisis Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 862 K/Pid.Sus./2010)

0 0 9