MENGAPA INDONESIA DISEBUT NEGARA DUALISM

MENGAPA INDONESIA DISEBUT
NEGARA DUALISME?
Dr. Wisnu Aryo Dewanto, S.H., LL.M.,
LL.M.

#1: Apa yang dimaksud dengan teori
monisme dan dualisme dalam hukum
internasional?
 Kedua teori ini menggambarkan bagaimana perjanjian

internasional yang telah diratifkasi oleh negara-negara
berlaku di pengadilan nasional negara-negara yang
bersangkutan
 Teori monisme mengatakan bahwa “perjanjian
internasional yang telah diratifkasi oleh suatu negara
dapat diterapkan secara langsung di pengadilan nasional
tanpa bantuan undang-undang”
 Metode yang digunakan oleh teori ini adalah metode

inkorporasi atau metode secara langsung


 Teori dualisme berpendapat bahwa “perjanjian

internasional yang telah diratifkasi oleh suatu negara
tidak dapat diterapkan secara langsung di pengadilan
nasional tanpa adanya undang-undang.”
 Metode yang digunakan dalam teori ini adalah metode

transformasi atau metode perubahan

#2:Mengapa ada perdebatan mengenai
status Indonesia, apakah monisme atau
dualisme?
 Dalam dunia akademis, perbedaan pemahaman adalah

wajar karena mereka memiliki pemahaman yang
berbeda dalam memandang sesuatu, khususnya
beberapa hal yang terdapat dalam hukum
internasional.

 Ratifkasi  Ratifkasi merupakan “tindakan internasional”


negara di “level internasional” [lihat: Pasal 2 Ayat 1(b)
Konvensi Wina 1961]. Sayangnya, pemahaman ini
dimaknai berbeda oleh beberapa ahli (kebanyakan HTN)
bahwa “ratifkasi membuat perjanjian internasional
berlaku di Indonesia. Pemaknaan ini membuat seakanakan perjanjian internasional yang diratifkasi oleh Pemri
berlaku di pengadilan nasional.” Seharusnya, pemahaman
yang benar adalah “ratifkasi membuat perjanjian
internasional berlaku bagi Indonesia sebagai negara yang
meratifkasi.” Mengapa demikian? Karena perjanjian
internasional dibuat oleh negara-negara untuk
menjembatani kepentingan mereka sebagai negara.

Lanjutan…
 Pemahaman monisme dan dualisme itu sendiri  Topik

utama dalam perdebatan teori monisme dan dualisme
adalah mengenai perjanjian internasional dan pengadilan
nasional. Apakah perjanjian internasional dapat berlaku di
negara Anda secara langsung atau tidak? Pertanyaan ini

adalah pertanyaan yang harus dijawab di level nasional,
bukan level internasional karena setiap negara memiliki
tradisi atau budaya hukum sendiri-sendiri sehingga tidak
mungkin dipersamakan. Beberapa ahli hukum
(kebanyakan HTN) lupa dengan variabel kedua, yaitu
pengadilan. Oleh karena itu, jika negara Indonesia
melaksanakan kewajiban internasional yang ada di dalam
suatu perjanjian internasional yang diratifkasi, seakanakan Indonesia adalah negara monisme. Mereka
menyamakan antara kewajiban internasional yang
diemban negara dengan monisme, padahal keduanya
berbeda satu sama lain, yang satu di level internasional
dan yang lain di level nasional.

Lanjutan…
 Self-executing dan non-self-executing treaty  Para ahli

hukum (kebanyakan HTN) secara keliru memahamkan
kedua konsep ini sehingga menimbulkan kesesatan berpikir
yang masif di Indonesia. Self-executing didefnisikan
sebagai perjanjian internasional yang berlakunya tidak

memerlukan ratifkasi (cukup tandatangan). Konsep kedua
non-self-executing dimaknai sebagai perjanjian
internasional yang berlakukan memerlukan ratifkasi. Ini
adalah “the most erroneous defnition” yang pernah
diajarkan selama berpuluh-puluh tahun di Fakultas Hukum
di seluruh Indonesia. Konsep ini adalah konsep yang
diperkenalkan di negara monisme, khususnya Amerika
Serikat, ketika para hakim mempertanyakan isi dari Pasal 6
Konstitusi Amerika Serikat yang menyatakan “All treaties
are the supreme law of the Land.” Apakah semua treaty
yang diratifkasi oleh Pemerintah Amerika Serikat memiliki
kedudukan paling tinggi di pengadilan nasional?
Jawabannya tidak! Hanya perjanjian internasional yang
bersifat self-executing yang dapat diterapkan secara
langsung di pengadilan nasional Amerika Serikat.

Lanjutan…
 UU pengesahan perjanjian internasional  UU ini dianggap

sebagai UU yang membuat perjanjian internasional berlaku

di Indonesia. Para ahli hukum (kebanyakan HTN)
berpendapat karena di belakang UU ini dilampirkan
perjanjian internasionalnya sehingga perjanjian
internasional tersebut dapat diberlakukan secara langsung
di pengadilan. Oleh karena itu, kesimpulannya Indonesia
adalah negara monisme. Pendapat ini salah! Karena UU
pengesahan perjanjian internasional bertujuan untuk
melaksanakan Pasal 11 UUD 1945, di mana Presiden harus
mendapat persetujuan dari DPR ketika membuat perjanjian.
Presiden dan DPR adalah sebagai “treaty-making power”.
UU ini merupakan bentuk persetujuan formal DPR kepada
Presiden yang ingin meratifkasi perjanjian internasional
 Keberadaan keputusan presiden (keppres)  Pada masa
orde baru ada perjanjian internasional yang dianggap
penting dan tidak penting. Yang penting pengesahannya
menggunakan UU dan yang tidak penting menggunakan
keppres. Bagaimana menentukan suatu perjanjian
internasional penting dan tidak penting? Ini adalah
kekacauan yang diciptakan oleh ahli hukum HTN di
Indonesia.


#3: Bagaimana cara
mengetahui suatu negara itu
monisme atau dualisme?
 Sebagaimana saya sampaikan sebelumnya bahwa

pertanyaan tentang monisme dan dualisme adalah
pertanyaan di level nasional, oleh karena itu
pertanyaan ini harus dijawab oleh masing-masing
negara. Salah satu cara paling mudah adalah dengan
melihat konstitusi masing-masing negara. Biasanya
negara monisme akan mengatur secara tegas
hubungan antara hukum internasional dan hukum
nasional di pengadilan nasional mereka, sedangkan
negara dualisme tidak karena primacy-nya ada pada
hukum nasional
 Contoh:







Pasal
Pasal
Pasal
Pasal
Pasal

6 Konstitusi Amerika Serikat
55 Konstitusi Perancis 1958
94 Grundwet
15 Ayat 4 Konstitusi Russia
98 Ayat 2 Konstitusi Jepang

#4: Bagaimana ciri khusus dari
negara dualisme?
 Ciri khusus dari negara dualisme adalah keutamaan

pada hukum nasional, oleh karena itu konstitusi

negara tersebut tidak secara tegas mengatur
hubungan antara hukum internasional dan hukum
nasional
 Hakim terikat untuk melaksanakan hukum nasional,
bukan perjanjian internasional. Contoh menarik dari
negara tetangga Malaysia dalam kasus P.P. v. Wah
Ah Jee, di mana pengadilan Malaysia menjelaskan
“The Courts here must take the law as it expressed
in the Enactment. It is not the duty of a judge or
magistrate to consider whether the law so set forth
is contrary to international law or not.”

#5: Bagaimana dengan
Indonesia?
 Kondisi hukum Indonesia sangat rumit karena dibangun

dari persepsi yang salah, di mana para ahli hukum HTN
berpendapat tentang hukum internasional tanpa
membaca secara utuh apa dan bagaimana sebenarnya
hukum internasional berinteraksi, baik di level

internasional maupun di level nasional tiap-tiap negara.
 Saya melihat perjanjian internasional dari sisi
pemahaman hukum internasional terlebih dahulu,
kemudian sedikit demi sedikit masuk ke ruang HTN
untuk melihat bagaimana tradisi hukum Indonesia
terhadap perjanjian internasional yang telah diratifkasi.
1. Perjanjian internasional dibuat oleh negara-negara.
2. Negara-negara yang menentukan apa dan bagaimana

perjanjian internasional yang akan dibuat nanti.

Lanjutan…
3. Kesepakatan negara menghasilkan sebuah perjanjian

internasional, apapun itu namanya, bisa berbentuk
konvensi, protokol, statuta, agreement dan
sebagainya.
4. Consent to be bound negara terhadap suatu
perjanjian internasional ditentukan oleh negara dan
dituliskan dalam perjanjian internasional tersebut.

Pada umumnya perjanjian internasional meminta
tindakan ratifkasi dari negara-negara. Contoh: Pasal
306 UNCLOS “This Convention is subject to ratifcation
by States…”
5. Bagaimana jika negara hanya bertandatangan? Maka
negara penandatangan dikenai Pasal 18 Konvensi
Wina 1969, yaitu “obligation not to defeat the object
and the purpose of a treaty prior to its entry into
force.”

Lanjutan…
6. Jika suatu perjanjian internasional meminta ratifkasi,

maka makna tandatangan adalah bentuk persetujuan
terhadap isi atau substansi dari perjanjian internasional
tersebut.
7. Hal yang perlu dipahami yang mungkin tidak banyak
diketahui karena tidak melakukan penelitian secara
mendalam bahwa tidak semua negara membawa pulang
perjanjian internasional untuk dimintakan persetujuan

dari lembaga legislatif, seperti yang dilakukan oleh
Amerika Serikat dan Indonesia.
8. Ada negara-negara yang bisa langsung meratifkasi
perjanjian internasional tanpa melibatkan lembaga
legislatif, seperti Kanada dan Australia. Namun demikian,
ratifkasi yang dilakukan bertujuan untuk membuat
perjanjian internasional tersebut berlaku (entry into force)
di level internasional, tanpa memiliki konsekuensi apapun
di level nasional. Ini yang saya sebut dengan negara
dengan pemisahan kekuasaan secara murni.

Lanjutan…
9. Contoh: Pasal 308 UNCLOS 1982 “This Convention shall

enter into force 12 months after the date of deposit of
the 60th instrument of ratifcation or accession.” Perlu
dipahami bahwa ratifkasi bertujuan untuk membuat
perjanjian internasional berlaku di level internasional
karena setiap perjanjian internasional selalu
mensyaratkan hal tersebut.
10. Berbeda dengan Indonesia, perwakilan Indonesia harus
membawa pulang ke Indonesia untuk mendapatkan
persetujuan dari DPR sesuai dengan amanat Pasal 11
UUDNRI 1945. Persetujuan DPR diwujudkan dalam
bentuk UU pengesahan perjanjian internasional tanpa
memiliki konsekuensi yuridis apapun, dengan kata lain,
persetujuan DPR tidak membuat perjanjian internasional
tersebut berlaku di Indonesia [baca: pengadilan].
11. Inilah yang membedakan dengan persetujuan Senat
Amerika Serikat, di mana persetujuan Senat akan
membuat perjanjian internasional berlaku di Amerika
Serikat [baca: pengadilan nasional] kecuali ditentukan
lain.

Lanjutan…
11. Setelah Presiden meratifkasi, ada kewajiban yang harus

dilaksanakan oleh negara, yaitu Pasal 102 Piagam PBB,
di mana negara harus mendaftarkan dan menyerahkan
instrument ratifkasi kepada Sekretariat Jenderal PBB
untuk diumumkan.
12. Apakah Indonesia telah terikat oleh perjanjian
internasional tersebut? Iya, Indonesia sebagai negara
terikat oleh perjanjian internasional tersebut dan
sebagai negara pihak, Indonesia memiliki kewajiban
untuk melaksanakan isi perjanjian internasional
tersebut. Contoh: Indonesia meratifkasi Konvensi Buruh
Migran 1990. Apa kewajiban Indonesia sebagai negara
pihak? Pasal 84: “Each State Party undertakes to adopt
the legislative and other measures that are necessary to
implement the provisions of the present Convention.”

Lanjutan…
13. Dengan demikian, ratifkasi yang selama ini

dilakukan oleh Indonesia bertujuan untuk
membuat perjanjian internasional berlaku di
level internasional, tanpa memiliki
konsekuensi apapun di level nasional
karena UU pengesahan perjanjian
internasional hanya merupakan bentuk
persetujuan formal DPR kepada Presiden
sebagai amanat dari Pasal 11 UUDNRI. Ini
dikuatkan dengan putusan MK Nomor
Perkara 33/PUU-IX/2011.

#6: KAPAN PERJANJIAN
INTERNASIONAL DIBERLAKUKAN DI
INDONESIA?
 Sebagaimana yang telah saya jelaskan di awal bahwa

perjanjian internasional tidak dapat berlaku di
Indonesia, tetapi berlaku bagi Indonesia.
 Kewenangan dalam membuat peraturan perundangundangan diatur oleh Pasal 20 UUDNRI, di mana DPR
sebagai legislative power.
 Dalam Pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Per-UU-an, diatur bentuk
peraturan dan hirarkinya, antara lain:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

UUDNRI 1945
Tap MPR
UU/Perppu
PP
Perpres
Perda

Lanjutan…
 Dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, secara tegas

diatur bahwa dalam hubungan ke luar (external afairs)
kewenangan utama ada pada lembaga eksekutif, dalam
hal ini Presiden dan kabinetnya, dan hubungan ke dalam
(internal afairs) kewenangan utama diberikan kepada
lembaga legislatif, dalam hal ini DPR.
 Bagaimana dengan lembaga yudikatif? Lembaga
yudikatif terikat peraturan hukum yang dibuat oleh DPR,
bukan perjanjian internasional yang dibuat oleh Presiden
dan kabinet. Oleh karena itu, sangat masuk akal
mengapa hakim tidak menerapkan perjanjian
internasional yang dibuat oleh negara [baca: eksekutif]
dalam persidangan karena perjanjian internasional
hanya mengikat Indonesia sebagai negara, bukan
masyarakat. Keterikatan masyarakat di wilayah
Indonesia adalah pada peraturan hukum yang dibuat
oleh DPR.

Lanjutan…
 Berlakunya perjanjian internasional di pengadilan

nasional Indonesia membutuhkan bantuan undangundang, seperti:
1. Isi Konvensi Wina 1961, 1963 dan Konvensi New York

1969 diimplementasikan ke dalam Pasal 9 KUHP
2. Isi Protokol Konvensi Palermo 2000 dijabarkan ke
dalam UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang TPPO
3. Isi Konvensi Berne yang diaksesi oleh Indonesia pada
5 Juni 1997 dituangkan dalam UU 15 Tahun 2001
tentang Merek
4. Isi Konvensi Wina 1988 tentang Narkotika dituangkan
dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
dan UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang TPPU

Lanjutan…
 Menurut konsep Koskenniemi dalam bukunya David

Haljan yang berjudul “Separating Powers:
International Law before National Courts”
menyatakan bahwa “International law acts sort of
conscience for states authorities, then we are using
international law as a sounding board for domestic
policy and law. We rely on international not as law
per se but a moment of sober second thought
instead.”

 Maknanya:
√ Hukum internasional adalah alat penggugah atau penyadar
bagi otoritas negara-negara bahwa mereka telah
menyepakati suatu perjanjian internasional;
√ Hukum internasional digunakan sebagai pedoman bagi
negara-negara dalam membuat atau menentukan
kebijakan nasional dan peraturan hukum nasional;
√ Negara-negara sama sekali tidak bergantung pada hukum
internasional sebagai aturan hukum tetapi sebagai momen
untuk berfkir kembali.

#7: Bagaimana keberadaan UU Nomor 24
Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional?
 Sejujurnya keberadaan UU ini sangat membingungkan

karena dalam pembentukannya tidak memahami makna
dan flosof dari sebuah perjanjian internasional dibuat
oleh negara-negara. Selain itu ada tumpang tindih makna
karena UU ini dibuat oleh ahli hukum HTN yang mungkin
tidak paham tentang bagaimana perjanjian internasional
berevolusi dalam sistem hukum di Indonesia
 Saya ingin mengatakan bahwa keberadaan UU ini harus
dicabut sebagai ius constitutum di Indonesia karena
memberikan “kesesatan berfkir” kepada para
mahasiswa hukum
 UU ini adalah “copas” dari Konvensi Wina 1969 dan
bertentangan dengan makna dan flosof dari sebuah UU,
yaitu untuk mengatur kepentingan negara dengan
individu dalam suatu negara

Lanjutan…
 Keberadaan Pasal 9 Ayat 1 yang mengatakan bahwa

“Pengesahan perjanjian internasional oleh Pemri
dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian
internasional tersebut.”

 Pasal 9 ini sebenarnya ingin menjelaskan Pasal 11 UUD

1945 tetapi tidak berbunyi karena para ahli hukum
(kebanyakan HTN) menyamakan istilah “ratifkasi” dengan
istilah “pengesahan”. Ratifkasi menurut Konvensi adalah
“international act…consent to be bound by a treaty.”
Sedangkan pengesahan adalah persetujuan DPR yang
diatur dalam Pasal 11.
 Pasal 9 ini sebenarnya pasal untuk menjabarkan Pasal 11
UUD 1945 mengenai bentuk persetujuan DPR kepada
Presiden yang akan meratifkasi perjanjian internasional
tetapi menjadi tidak jelas peruntukkannya
 Inilah yang saya katakan bahwa mereka
mencampuradukkan kondisi di level internasional dengan
di level nasional

Lanjutan…
 Ayat 2 menjelaskan bahwa “pengesahan dalam bentuk

UU atau keppres”. Pasal 11 UUD 1945 meminta istilah
persetujuan, tetapi dalam UU ini menjadi
pengesahan/ratifkasi. Ini bertentangan dengan asas lex
superior derogat legi inferiori. Mengenai keppres,
bagaimana mungkin eksekutif membuat perjanjian
internasional kemudian disetujui sendiri melalui sebuah
keppres. Di mana check and balance-nya? Kemudian
muncul isu perjanjian internasional penting dan tidak
penting. Apakah ada perjanjian internasional yang tidak
penting? UU ini secara sah dan meyakinkan bertentangan
dengan UUD 1945.
 Pasal 18 huruf h, bagaimana mungkin UU yang dibuat
legislatif yang notabene untuk keberlakuan di level
nasional bisa membatalkan perjanjian internasional yang
dibuat oleh eksekutif yang berlaku di level internasional.
Ketika negara meratifkasi maka negara pihak harus
menghormati Pasal 26 dan 27 Konvensi Wina 1969
kecuali ada kondisi rebus sic stantibus

#7 Apa kesimpulannya?
 Indonesia tidak pernah menjadi negara monisme.
 Ketidakpahaman antara kewajiban internasional yang

diemban negara dengan keberlakuan perjanjian
internasional di pengadilan nasional yang membuat orang
menganggap Indonesia adalah negara monisme.
 UUDNRI 1945 tidak mengatur hubungan antara hukum
internasional dan hukum nasional karena primatnya adalah
hukum nasional.
 Perjanjian internasional hanya mengatur hubungan antar
negara di level internasional, dan hukum nasional mengatur
hubungan negara dengan masyarakat.
 Pengintegrasian perjanjian internasional ke dalam sistem
hukum nasional Indonesia melalui proses persetujuan DPR
yang diwujudkan dalam bentuk UU pengesahan yang tidak
memiliki konsekuensi apapun, kecuali hanya sebagai bentuk
persetujuan formal DPR kepada Presiden untuk menjalankan
amanat Pasal 11 UUDNRI 1945.

Lanjutan…
 Ratifkasi yang dilakukan oleh Pemri bertujuan untuk

membuat perjanjian internasional berlaku di level
internasional, sebagaimana yang selalu disyaratkan
dalam setiap perjanjian internasional.
 Implementasi perjanjian internasional di Indonesia
[baca: pengadilan] tidak dapat dilakukan secara
langsung, oleh karena itu membutuhkan proses
transformasi dari bentuk perjanjian internasional ke
dalam bentuk UU. Selanjutnya, UU inilah yang berlaku
di pengadilan.
 UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional memberikan kesesatan berpikir karena
pengaturannya tumpang tindih antara level
internasional dan level nasional.
 Kewajiban internasional yang diemban negara tidak
sama dengan konsep monisme.