Penguatan fungsi dan kewenangan DPD mela

“Penguatan Fungsi DPD melalui Amandemen
UUD NRI 1945”
A. Latar Belakang
DPD sebagai salah satu lembaga tinggi negara yang kewenanganya diatur dalam
UUD 1945 merupakan salah satu lembaga dalam sistem parlemen legislatif MPR yang terdiri
dari DPR dan DPD. Seblum kemerdekaan, DPD sebenarnya telah diwacanakan oleh M.
Yamin untuk dibentuk pada sidang BPUPKI. Tindak lanjut dari wacana tersebut diatur dalam
Konstitusi pertama Indonesia, gambaran umum pembentukan DPD dalam UUD 1945
menggunakan konsep utusan daerah dimana dalam MPR yang bersanding dengan utusan
golongan dan anggota DPR. Hal tersebut diatur dalam Pasal 2 UUD 1945, yang menyatakan
bahwa “MPR terdiri atas anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah
dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.”
Pengaturan yang longgar dalam UUD 1945 tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam
berbagai peraturan perundang-undangan. Pada perieode berikut konstitusi tersebut, UU
Republik Indonesi (RIS), gagasan DPD diwujudkan dalam bentuk senat Republik Indonesia
Serikat yang mewakili negara bagian dan bekerjasama dengan DPR-RIS.
Pada tanggal 1 ktober 2004 barulah dibentuk DPD yang anggotanya terdiri dari 128
anggota DPD yang terpilih untuk pertama kalinya dilantik dan diambil sumpahnya.
Pembentukan lembaga tinggi tersebut sebenarnya baru terjadi pada mas pergolakan politik
reformasi bersamaan dengan perubahan keempat konstitusi Indonesia. Pada fase perubahan
tersebut sangat banyak merubah sistem ketatanegaraan Indonesi dimulai dengan ditiadakanya

lembaga tertinggi negara hingga pada hubungan pusat daerah yang tidak lagi sentralistik
melainkan desentralistik, artinya bahwa otonomi daerah berkembang secara pesat pada era
reformasi namun dalam fase pembentukanya DPD telah mengalami masalah berupa
kewenangan yang tidak memadai dari konsep parlemen bikameral yang dianut Indonesia. Ide
pembentukan DPD merupakan representase dari sistem parlemen bikameral seperti yang
dianut pada Negara Amerika. Gagasan mengenai sistem perwakilan bikameral di Indonesia
yang mengemuka pada amandemen UUD 1945, tahun 1999-2002, berangkat dari kritik
terhadap struktur ketatanegaraan yang dianut di Indonesia, terutama hubungan antara MPR,
DPR, dan Presiden. Pemikiran mengenai hal ini telah digulirkan jauh sebelum amandemen
terhadap pasal mengenai MPR dilakukan pada tahun 2001, salah satunya dikemukakan oleh
PSHK (Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia) pada tahun 2000. PSHK melakukan
penelitian mengenai sistem ketatanegaraan, yang dituangkan dalam bukunya yang bertajuk
“Semua Harus Terwakili: Studi Mengenai Reposisi MPR, DPR dan Lembaga Kepresidenan
di Indonesia” Studi ini menunjukkan adanya beberapa persoalan mendasar dalam struktur
MPR1. Adapun permasalahan-permasalahan tersebut adalah, Pertama, permasalahan
representasi. Total keanggotaan MPR sebelum amandemen UUD 1945 ditetapkan sebanyak
1000 orang (sebelumnya 900 orang). Dari jumlah tersebut, terdapat 425 orang (sebelumnya
400 orang) anggota DPR yang merangkap sebagai anggota MPR (anggota MPR/DPR) dan
1


Jimly Asshiddiqie. 2003. Lembaga Perwakilan dan Permusyawaratan Rakyat Tingkat Pusat, Makalah, hal. 1-2.

1

sisanya merupakan anggota MPR yang bukan merupakan anggota DPR, yaitu Utusan Daerah
(UD) dan Utusan Golongan (UG). Dengan demikian, ada dua jenis keanggotaan MPR, yaitu:
anggota MPR/DPR dan anggota MPR yang bukan anggota DPR. Belum ada penjelasan yang
memadai tentang struktur MPR tersebut serta alasan mengapa ada lembaga MPR dan DPR
yang terpisah. Alasan yang bisa diperkirakan, menurut Bagir Manan, adalah keanggotaan
MPR diperluas dengan hadirnya utusan daerah dan utusan golongan, di samping anggota
DPR itu sendiri2.
Lebih jauh lagi, Utusan Golongan dan Utusan Daerah tidak merepresentasikan
kelompok masyarakat yang diwakilinya secara nyata. Utusan Golongan dimaksudkan
mewakili kelompok-kelompok masyarakat yang tidak partisan partai politik. Namun,
mekanisme penentuan “golongan” tidak jelas. Pada kenyataannya, anggota Utusan Golongan
berasal dari golongan cendekiawan hingga bintang film. Pertanyaan retorik muncul: apakah
“golongan” yang dimaksud dirasa belum cukup terwakilkan dalam partai politik? Masalah
representasi juga menyangkut intervensi dan dominasi politik Presiden terhadap penentuan
anggota MPR yang dipilih melalui pengangkatan. Hal ini terefleksikan dalam UU No. 2
Tahun 1985 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Proses pengangkatan

ini dilakukan melalui Keputusan Presiden. Anggota utusan daerah pada prakteknya
merupakan hasil pemilihan eksklusif anggota DPRD Provinsi. Kedua, ada ketidakjelasan
sistem perwakilan yang dianut yang menyebabkan tidak berjalannya mekanisme checks and
balances. Peran lembaga legislatif praktis hanya dilaksanakan oleh DPR, sementara anggota
MPR dari utusan daerah dan utusan golongan tidak bisa dikategorikan sebagai legislatif
karena kerjanya yang terbatas setiap lima tahun. Sehingga, berangkat dari keinginan untuk
mengefektifkan utusan daerah, gagasan bikameral kembali dilirik. Maka dari itu eksistensi
DPD sebagai lembaga legislasi yang fungsinya sama dengan DPR dan DPD menjadi penting
untuk dikaji dari sisi kewenanganya berdasarkan UUD NRI 1945
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kedudukan DPD sebagai lembaga legislasi dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia ?
2. Bagaimana upaya penguatan fungsi DPD menurut Konstitusi ?

C. Pembahasan
2

Ibid

2


1. kedudukan DPD sebagai lembaga legislasi dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia dan
Ada 2 sistem parlemnter yang dapat dipahami secara bersama, yakni sistem
perwakilan satu kamar (unikameral) ialah sistem perwakilan yang hanya ada satu dewan yang
menjalankan kekuasaan legislatif secara penuh. Sementara dalam sistem bikameral, ada dua
“kamar” dalam parlemen yang bekerja berdampingan. Biasanya, kamar pertama
merepresentasikan jumlah penduduk, seperti yang dapat dilihat pada DPR. Sedangkan kamar
kedua merepresentasikan konstituensi yang berbeda. Pada model Westminster (Inggris), yang
diwakilkan adalah orang-orang terpilih (bangsawan atau golongan tertentu) dan pada model
Amerika Serikat, yang diwakilkan adalah wilayah di dalam negara itu. Dua model inilah yang
dikenal luas, tentu dengan berbagai variannya3.
Konsep bikameral Indonesia mengadopsi model kedua karena dianggap lebih relevan,
yaitu suatu parlemen bikameral dengan kamar kedua yang dipilih oleh wilayah-wilayah yang
perlu diwakilkan dalam parlemen. Namun masalahnya, karena seakan identik dengan negara
federal, konsep ini menjadi tidak diterima secara utuh sewaktu proses amandemen konstitusi
berlangsung. Hantu federalisme dianggap bisa membawa perpecahan dan pemisahan diri.
Apalagi, seperti dikemukakan pada bagian awal tulisan ini, referensi bikameral dalam
konteks sejarah Indonesia hanyalah Senat RIS pada masa penerapan federalisme, yang
dipaksakan Belanda untuk memecah dan mengokupasi kembali wilayah-wilayah nusantara.4

Perubahan ini diawali dengan lahirnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah. Lalu Amandemen kedua UUD 1945 pada tahun 2000 mempertegas
perubahan ini dengan menyatakan dalam Pasal 18 UUD NRI 1945 bahwa Pemerintahan
daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undangundang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. Pernyataan mengenai otonomi luas ini
mengandung gagasan pemberdayaan politik dan ekonomi daerah. Secara implisit ada
pernyataan bahwa pemerintahan daerah harus lebih banyak berperan, dan pada saat yang
bersamaan pemerintah pusat harus memfasilitasinya. Fasilitasi kepentingan daerah oleh
pemerintah pusat dilakukan dengan adanya urusan-urusan yang diidentifikasi sebagai
persoalan yang akan dapat mempengaruhi negara secara makro. Urusan inilah yang
diidentifikasi sebagai isu nasional, atau enam hal ‘urusan pemerintah pusat’ yang dituangkan
dalam UU 32/2004. Untuk mengurusi enam hal itu secara maksimal, pemerintah pusat
mestinya memperhatikan kebutuhan daerah dengan memfasilitasinya dalam pembentukan
kebijakan yang bersifat nasional. Bukan dalam konteks membuat kebijakan teknis dan
mengawasi pelaksanaan otonomi daerah seperti yang dilakukan oleh eksekutif melalui
Departemen Dalam Negeri. Melainkan dalam konteks pembuatan kebijakan nasional dalam
suatu lembaga legislatif. Perbedaan kapasitas berbagai daerah dalam melaksanakan
otonominya, perbedaan karakter daerah, dan perbedaan tingkat kemampuan ekonomi daerah,

3


Fajarudin, 2013. Memperkuat Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Sebagai Lembaga Legislatif. Jurnal
Hukum 2 (1) : 10
4
H.R Daeng Naja. 2004. Dewan Perwakilan Daerah : Bikameralisme Setengah Hati. Yogyakarta. Media
Pressindo. Hal 1

3

membutuhkan adanya kebijakan tingkat nasional yang bisa mengakomodasi perbedaan ini
secara makro5.
Bila cara pandang ini disetujui, maka akomodasi kepentingan dan kebutuhan daerah
dalam pengambilan keputusan di tingkat pusat melalui DPD menjadi suatu konsekuensi yang
logis, bahkan apabila dikaji lebih dalam, ada dua argumentasi mengenai kebutuhan akan
bikameral yang efektif di Indonesia .Pertama, dan yang paling utama, adalah untuk
membawa kebutuhan dan kepentingan daerah dalam pengambilan kebijakan di tingkat
nasional. DPR sendirian masih belum cukup untuk dapat melakukan peran ini. Dikatakan
belum cukup karena ada indikasi-indikasi kuat kearah itu, misalnya, masih banyaknya
undang-undang yang belum dapat secara maksimal mengakomodasi kepentingan daerah.
Buktinya adalah banyak undang-undang yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi (MK)
untuk uji materil dengan alasan tidak mengakomodasi kebutuhan daerah. Undang-Undang

No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sendiri sudah beberapa kali diajukan ke
MK oleh berbagai pihak karena muatannya tidak memperhatikan realitas politik yang ada di
daerah. Contoh lainnya adalah Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional, yang diajukan oleh DPRD Jawa Timur dan beberapa pihak lainnya
karena penyelenggaraan jaminan sosial di seluruh Indonesia, menurut undang-undang ini,
diselenggarakan hanya oleh empat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sehingga
menghambat tercapainya tujuan pemberian otonomi kepada daerah. Juga, banyak persoalan
di daerah belakangan ini yang tidak dapat direspons dengan cepat dan memadai oleh
Pemerintah, sehingga membutuhkan perwakilan rakyat yang efektif guna mendorong
pemerintahan yang lebih responsif. Kebutuhan yang kedua adalah untuk mendorong adanya
kekuatan politik penyeimbang di dalam parlemen agar kekuasaan legislatif tidak
terkonsentrasikan pada satu lembaga. Seperti dikatakan oleh Sartori: Mengonsentrasikan
seluruh kekuasaan legislatif hanya pada satu badan tidak hanya berbahaya tetapi juga tidak
bijaksana: dua mata lebih baik daripada satu mata dan kehati-hatian membutuhkan adanya
proses pengambilan keputusan yang dikontrol dan dibatasi6.
Jimly Asshiddiqie, dalam makalahnya yang disampaikan dalam Seminar tentang
Bikameralisme, mengemukakan konsep DPD sebagai berikut7:
a) Adanya gagasan pembentukan DPD, nantinya parlemen Indonesia terdiri dari dua
kamar, yaitu DPR dan DPD. Jika kamarnya dua, maka rumahnya tetap satu. MPR
masih bisa dipertahankan namanya, tetapi kedudukannya tidak lagi sebagai lembaga

tertinggi seperti selama ini. Ketentuan tentang kekuasaan legislatif dalam perubahan
UUD 1945 dapat dirumuskan sebagai berikut: “Kekuasaan legislatif dilakukan oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat yang terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat dan
Dewan Perwakilan Daerah”.
b) Anggota DPD mewakili rakyat dalam konteks kedaerahan dengan orientasi
kepentingan daerah. Anggota DPD dipilih langsung oleh rakyat melalui sistem distrik
murni, yaitu dengan cara memilih tokoh yang dikenal di daerah yang bersangkutan
berdasarkan perhitungan “the winner takes all”. Sedangkan anggota DPR dipilih
5

Fajarudin, Loc. at

6

wan Satriawan, , Penguatan DPD: Proporsionalitas Perwakilan Politik dan Perwakilan
Daerah, 2007, hlm 4.
7

Jimly Asshiddiqie, loc. At. Hal. 8


4

c)

d)

e)

f)

g)

h)

i)

j)

langsung oleh rakyat melalui sistem proporsional yang memang berguna dalam
memperkuat kelembagaan partai politik yang bersifat nasional (political institutional

building).
Pada prinsipnya, baik DPR maupun DPD dan anggotanya mempunyai fungsi, tugas,
dan hak yang sama. Tetapi khusus untuk tugas penentuan pengangkatan dan
pemberhentian pejabat publik, sebaiknya diberikan kepada DPR saja.
Khusus mengenai tugas meminta pertanggungjawaban terhadap pemerintah
(impeachment), tugas penuntutannya hanya diberikan kepada DPR. Sedangkan DPD
akan ikut menentukan vonisnya dalam persidangan MPR.
.Khusus untuk menjamin perlindungan terhadap hak dan kekayaan masyarakat dari
pembebanan yang dilakukan oleh negara, tugas utama sebaiknya diberikan pada DPD,
karena DPD lah yang mewakili rakyat di daerah-daerah yang dianggap akan paling
menderita akibat beban-beban yang memberatkan yang dibuat pemerintah. 15 Jimly
Asshiddiqie, “Menuju Struktur Parlemen Dua Kamar”. Makalah disampaikan dalam
Seminar Nasional tentang Bikameralisme yang diselenggarakan oleh Forum Rektor
Indonesia bekerjasama dengan National Democratic Institute. Medan, 12 Juni 2001.
Meskipun tugas pengawasan dapat dilakukan oleh DPR dan DPD di semua bidang,
namun dapat ditentukan bahwa yang diawasi oleh DPD hanyalah pelaksanaan UUD
dan UU sejauh yang berkenaan dengan urusan-urusan yang berkaitan langsung
dengan kepentingan daerah dan rakyat di daerah
DPD dan DPR memiliki fungsi legislasi yang meliputi kegiatan mengkaji, merancang,
membahas, dan mengesahkan undang-undang. Yang dapat dibedakan adalah bidang

yang diatur dalam undang-undang itu. Namun hal ini masih memungkinkan
munculnya perebutan pembahasan antara DPR dan DPD. Berkembang pendapat agar
tidak ada pembagian bidang tersebut asalkan Sekretariat Jenderal DPR dan DPD
menjadi satu dengan satu Badan Legislasi yang terdiri dari anggota DPD dan DPR
ditambah para ahli dari luar.
Jika Presiden berinisiatif mengajukan RUU, maka Badan legislasi yang menentukan
apakah pembahasannya dilakukan oleh DPR atau DPD. Jika inisiatif datang dari DPR
atau DPD, maka lembaga yang mendaftarkan RUU terlebih dahulu yang
membahasnya. Hal ini harus diikuti dengan mekanisme checks and balances diantara
kedua kamar serta presiden, yaitu dengan mengatur adanya hak veto diantara mereka.
Jika suatu RUU telah disetujui dan disahkan oleh satu kamar, dalam 30 hari mendapat
penolakan dari kamar lainnya, maka RUU itu harus dibahas lagi oleh kamar yang
membahasnya untuk mendapat persetujuan suara lebih banyak, yaitu ditentukan harus
diatas 2/3 x 2/3 jumlah anggota (overwrite).
Jika suatu RUU sudah disetujui oleh dua lembaga, tetapi diveto oleh Presiden, maka
putusan penyelesaiannya harus diambil dalam sidang MPR yang terdiri dari DPR dan
DPD dengan dukungan suara 2/3 x 2/3. Khusus mengenai penetapan dan perubahan
UUD, dapat ditentukan harus diputus dalam sidang MPR atas usul DPR atau DPD.

Fungsi DPD harus dapat dibedakan sebagai fungsi legislatif dan fungsi
pengawasanan, fungsi pengawasan DPD berbeda dengan fungsi pengawasan DPR
meskipun sama-sama bersifat umum (main constitusional) yang sederajat dan sama
5

penting dengan DPR itu hanyalah sebagai co-legislator di samping Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR). Sifat tugasnya dibidang legislasi hanya menunjang tugas konstitusional
DPR. Dalam proses pembentukan suatu Undang-Undang atau legislasi, DPR tidak
mempunyai kekuasaan untuk memutuskan atau berperan dalam proses pengambilan
keputusan sama sekali.padahal,persyaratan dukungan untuk menjadi anggota DPD jauh
lebih berat daripada persyaratan dukungan untuk menjadi anggota DPR. Artinya, kualitas
legitimasi anggota DPD itu sama sekali tidak diimbangi secara sepadan oleh kualitas
kewenangan sebagai wakil rakyat daerah8.
Kedudukan yang demikian sebenarnya tidak memenuhi prinsif chake and balance
dalam sistem ketatnegaraan Indonesia karena DPD hanya sebagai pelengakap dari fungsi
legislasi DPR yang tidak dapat memutuskan padahal adanya prinsif parlemen bikameral
sebagai upaya untuk menunjang keseimbangan funsi legislasi di pusat dan daerah maka
seyogianya lembaga DPR dan DPD memiliki kedudukan yang seimbang dan
menyeimbangi satu sama lain dalam pelaksanaan tugas dan wewenangya. Padahal, posisi
DPD sangat penting dalam sistem ketatanegaraan Indonesia karena struktur pemerintahan
sejak reformasi banyak mengalami perubahan, DPD sangat berperan penting dalam
hubungan pusat dan daerah. Hubungan ini sangat menunjang dalam pembangunan Daerah
karena lembaga ini menempati kedudukan sentral, selain dapat melakukakan kontrol dan
pemantauan terhadap daerah juga dapat melaporkan segala situasi daerah ke pusat untuk
segera ditindak lanjuti.
Disisi lain Pasca Amandemen ketiga UUD 1945, terjadinya pergeseran bentuk
Negara dari Negara kesatuan ke Negara federal. Kalau kita perhatikan ketentuan Pasal 22
D UUD 1945 tentang DPD ayat (1) mengatakan “DPD dapat mengajukan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat rancangan Undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan
dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah”. Pasal ini mengatur kewenangan DPD
dalam mengantisipasi konflik antara pemerintah pusat dan daerah. Padahal dalam Negara
kesatuan, pemerintah pusat sepenuhnya mengatur masalah hubungan pusat dan daerah,
sebab hal ini merupakan kekuasaan dan wewenang pemerintah pusat. Kedaulatan yang
terdapat di dalam Negara kesatuan tidak dapat di bagi-bagi. Kalaupun ada otonomi
daerah, sebagian kedaulatan itu hanya didistribusikan kepada daerah, tapi bukan diberikan
secara utuh. Kedaulatan tetap berada pada pemerintah pusat sebagai penyelenggara
kekuasaan Negara.
Serbelumnya ,Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan Nomor 92/PUU-X/2012
telah mengembalikan kewenangan DPD yang sebelumnya direduksi UU No. 27 Tahun 2009
tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), serta UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3). Hal ini disambut baik oleh DPD yang
selama ini hanya menjadi bayang-bayang di bawah dominasi DPR; dominasi berlebihan yang
mencederai sistem bikameral yang konon dibentuk untuk tujuan mulia yaitu terciptanya
sistem check and balance. Dari beberapa poin gugatan yang diajukan DPD, empat poin di
8

Saldi Isra, Penguatan fungsi legislasi perwakilan daerah, artikel elektronik, Mei 2010,

6

antaranya merupakan pokok eksistensi dan jati diri DPD sebagai lembaga negara yang perlu
ditegakkan kembali, sebagaimana telah diamanatkan UUD 1945, yaitu: (1) Kewenangan
DPD dalam mengajukan RUU setara dengan DPR dan presiden; (2) Kewenangan DPD ikut
membahas RUU; (3) Kewenangan DPD memberikan persetujuan atas RUU; dan (4)
Keterlibatan DPD dalam menyusun prolegnas9.
UU MD3 dan UU P3 telah mereduksi kewenangan legislasi DPD menjadi setara
dengan kewenangan legislasi Anggota, Komisi, dan Gabungan Komisi DPR. Ketentuan
dalam Pasal 102 ayat (1) huruf d dan huruf e UU MD3, Pasal 48 ayat (2) dan (4) UU P3
mengatur bahwa RUU yang diajukan oleh DPD, oleh DPR dilakukan kegiatan harmonisasi,
pembulatan, dan pemantapan konsepsi terlebih dahulu. Dengan ketentuan ini maka RUU dari
DPD yang jelas ditentukan dalam ketentuan Pasal 22D ayat (1) UU 1945, kedudukannya
direduksi menurut Pasal 102 ayat (1) huruf d dan huruf e UU MD3, Pasal 48 ayat (2) dan (4)
UU P3. UU 1945 dalam hal ini telah mendudukan RUU dari DPD seperti halnya RUU dari
Presiden [Pasal 20 ayat (1) UU 1945]. Ketentuan Pasal 102 ayat (1) huruf d dan huruf e UU
MD3, Pasal 48 ayat (2) dan (4) UU P3, jelas bertentangan dengan ketentuan Pasal 22D ayat
(1), karena telah memperlakukan RUU yang diajukan DPD menjadi sama seperti usul RUU
dari Anggota DPR atau alat kelengkapan DPR yang masih harus “diharmonisasi, dibulatkan,
dan dimantapkan” oleh Badan Legislasi yang notabene merupakan bagian dari institusi DPR.
Kondisi ini diakibatkan karena, para penyusun UU MD3 dan UU P3 mempersepsikan
kedudukan RUU dari DPD sama dengan kedudukan usul RUU dari anggota DPR [Pasal 21
UUD 1945], sehingga secara kelembagaan, kedudukan DPD hanya disetarakan dengan alat
perlengkapan DPR yang difungsikan sebagai badan pertimbangan dalam pembentukan
Undang-Undang. Hal ini tidak sesuai dengan jiwa dan semangat dari Perubahan UUD 1945
yang bermaksud untuk menciptakan proses checks and balances dalam pembentukan undangundang dalam sistem ketatanegaraan Indonesia10.
UU MD3 secara sistematis tidak mengikutsertakan DPD dari awal proses pengajuan
Rancangan Undang-Undang. Peniadaan kewenangan DPD dalam proses legislasi telah
dimulai secara sistematis, sejak awal proses pengajuan RUU. Hal tersebut terlihat jelas di
dalam Pasal 143 ayat (5) dan Pasal 144 UU MD3 yang tidak mengatur dalam hal RUU
diajukan oleh DPD, padahal dalam Pasal 142 ayat (1) UU MD3 jo. Pasal 22D ayat (1) UUD
1945 secara jelas disebutkan bahwa RUU dapat berasal dari DPR, Presiden, atau DPD.
Seharusnya untuk RUU yang telah disiapkan oleh DPR yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada pimpinan DPD
dan Presiden.
Makna ikut membahas sebagaimana ketentuan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 secara
ekstensif adalah keterlibatan DPD dalam seluruh proses pembahsan sebuah RUU bidang
9

Sekretariat Jenderal DPD-RI, 2014, Fungsi Legislasi DPD Pasca Putusan Mahkamah Kontitusi,
Jakarta: DPD-RI h. 2
10
Aldis Ruly Subardi, Iwan Rachmad Soetijono, Warah Atikah, KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH
DALAM PROSES LEGISLASI DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA (Studi Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012), Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiwa 2014, hal. 3

7

tertentu, termasuk didalamnya pemberian persetujuan. Makna tersebut, dicederai dengan
adanya Pasal 147 ayat (7), Pasal 150 ayat (5) UU MD3, serta Pasal 68 ayat (5) UU P3 telah
mereduksi kewenangan DPD dengan mengatur bahwa pembahasan rancangan undangundang tetap dilaksanakan meski tanpa keterlibatan DPD. Selain hal tersebut, UU MD3 dan
UU P3 masih mendudukan DPD secara lemah dengan memberikan peran kepada DPD pada
pembicaraan tingkat I, itupun DPD hanya dilibatkan dalam dua tahap dari tiga tahap proses
pembahasan tingkat I, yakni tahap pengantar musyawarah dan tahap pendapat mini. Kedua
tahapan tersebut merupakan tahap pertama dan ketiga dari pembahsan tingkat I, sementara
kegiatan inti pembahasan ada pada tahap kedua, yakni pengajuan dan pembahasan Daftar
Inventaris Masalah (DIM), DPD tidak dilibatkan11.
Pasal 150 ayat (3) UU MD3 dan Pasal 68 ayat UU P3 telah mengecualikan DPD dari
pengajuan dan pembahasan DIM yang justru merupakan “inti” dari pembahasan RUU. Tidak
hanya melakukan rekayasa politik terhadap representasi DPD dalam pembahasan awal dan
pembahasan DIM, UU MD3 dan UU P3 juga telah melakukan marjinalisasi secara politik dan
konstitusional terhadap kepentingan daerah dalam rangka pembahasan sebuah RUU dengan
tidak dilibatkannya DPD sampai pada tahapan pengambilan keputusan. Hal tersebut dapat
dilihat dari ketentuan Pasal 147 ayat (7), Pasal 150 ayat (5) UU MD3, serta Pasal 68 ayat (5)
UU P3 telah mereduksi kewenangan DPD dengan mengatur bahwa pembahasan Rancangan
Undang-Undang tetap dilaksanakan meski tanpa keterlibatan DPD. Hal ini semakin
menguatkan konstruksi kelembagaan DPD sub-ordinat sebagai co-legislator DPR. Karena
DPD tidak pernah mendapatkan ruang untuk ikut serta dalam pembahasan secara aktif dalam
pengertian bertemu muka (face to face) baik dengan DPR saja, Pemerintah saja, maupun
dengan DPR dan Pemerintah sekaligus (tripartit)12.
Putusan MK itu tegas menyatakan, pasal 102 ayat 1 huruf a, d, e, h dan pasal 147 UU
MD3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Artinya, setiap RUU yang diajukan DPD tidak lagi melalui proses di badan legislasi,
melainkan diperlakukan setara dengan RUU yang diajukan presiden dan akan tetap dianggap
sebagai RUU yang diajukan DPD. Putusan ini jelas mengembalikan jati diri DPD sebagai
lembaga negara yang kedudukannya setara dengan DPR dan presiden. Meskipun demikian,
peran dan eksistensi DPD pasca putusan MK tidak berjalan mulus dan sesuai dengan yang
telah ditetapkan lembaga yudikatif. Hal ini karena peran DPD pasca putusan MK tidak
dijalankan oleh lembaga setingkatnya seperti DPR dan presiden. Padahal, MK dalam
amanatnya memberikan porsi kewenangan lebih besar kepada DPD, meskipun belum kuat
dalam hal legislasi seperti halnya DPR.
Hal yang menjadi kemunduran eksistensi DPD adalah disahkannya UU No. 17 Tahun
2014 tentang MD3. Dalam ketentuan UU itu justru tidak mengakomodasi putusan MK yang
telah mengembalikan pokok eksistensi DPD. Tentu saja para wakil rakyat (baca DPR) tidak
rela menguatnya peran DPD, sehingga berbagai cara dilakukan untuk bisa menghambat
eksistensi DPD. Oleh sebab itu, hal yang patut dilakukan untuk kembali menegakan
eksistensi DPD adalah mengamandemen pasal menyangkut DPD. Setidaknya, amandemen
11
12

Ibid
Ibid

8

tersebut dimaksudkan untuk memperkokoh eksistensi dan kewenangan DPD agar diberikan
porsi setingkat dengan DPR, terutama kewenangan legislasi untuk seketika bisa memutuskan
setiap RUU sesuai ruang lingkupnya, tanpa harus mengamputasi kewenangan DPR.
2. Penguatan fungsi DPD melalui Amandemen pasal dalam UUD 1945
Pasal 22D UUD 1945 diusulkan dirubah sebagai berikut: Ayat (1) diusulkan dirubah
sehingga berbunyi: “Dewan Perwakilan Daerah memegang kekuasaan membentuk undang
undang bersama Dewan Perwakilan Rakyat yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan
dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah”. Ayat (2) diusulkan dirubah sehingga
berbunyi: “Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas serta memberikan pertimbangan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan
belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan
agama”. Ayat (3) diusulkan dirubah sehingga berbunyi: “Dewan Perwakilan Daerah
melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang undang mengenai: otonomi daerah,
pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran
pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil
pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah untuk ditindaklanjuti13.
Berdasarkan uraian di atas, kedudukan DPD sangat penting untuk diperhatikan untuk
menjamin stabilitas sistem ketatanegaraan Indonesia dalam era reformasi ini karena sebagai
fungsi perwalian daerah dalam era otonomi daerah menjadi penting untuk melakukan
penguatan dan mengefektifkan fungsi dan wewenang DPD meskipun fungsinya terbatas pada
hal-hal tertentu namun DPD tetap penting untuk dipertahankan melalui amandemen terhadap
UUD 1945 khususnya pada pasal yang terkait dengan fungsi dan wewenang DPD. Hal
tersebut akan bisa direalisasikan hanya dengan cara mengamandemen ulang UUD 1945,
khususnya tentang pasal-pasal yang mengatur lembaga MPR dan DPD berikut
kewenangannya. Menurut pendapat beberapa ahli dan politisi, beberapa pasal dalam UUD
1945 yang harus di amandemen agar terbangun sistem bikameral yang efektif pada parlemen
Indonesia adalah: Pasal 2 (1) diusulkan dirubah sehingga berbunyi: “Majelis
Permusyawaratan Rakyat terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum yang diatur lebih lanjut dengan undangundang”. Pasal 7 (A) diusulkan dirubah sehingga berbunyi: “Presiden dan/atau Wakil
Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
atas usul Dewan Perwakilan Rakyat dan/atau Dewan Perwakilan Daerah.Pasal 7 (C )
diusulkan dirubah sehingga berbunyi: “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau
membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah14.

13

wan Satriawan, , Penguatan DPD: Proporsionalitas Perwakilan Politik dan Perwakilan
Daerah, 2007, hlm 4.
14
Saldi Isra,loc. At

9

D. Penutup
Simpulan
Kedudukan DPD dalam Sistem Ketatnegaraan Republik Indonesia membuat sistem
parlemen Indonesia menjadi 2 kamar atau bikameral, akan tetapi dalam prakteknya
kedudukan DPD dalam prakteknya kedudukan DPD dalam sistem ketatanegaraan Republik
10

Indonesia hanya sebagai badan pembantu DPR saja sehingga kewengan DPD dalam proses
legislasi menurut sistem pembagiaan kekuasaan yang diterapkan dalam sistem ketatnegaraan
Indonesia hanyalah sebatas di tingkat pengususlan dan pembahasan RUU saja, tidak sampau
pada tahap pengesahan.
Perubahan UUD 1945 menjadi agenda mendesak. Secara konstutusional, UUD 1945
memberi ruang kelanjutan reformasi konstutusi. Sementara menunggu perubahan itu, penguatan
bisa saja dilakukan dengan membangun kebiasaan ketatanegaraan (convention). Bagaimanapun,
tanpa menguatkan fungsi legislasi, kehadiran DPD sebagai representasi kepentingan daerah
dalam proses pengembilan keputusan di tingkat nasional (pusat) akan kehilangan maknanya yang
hakiki. Tak terbantahkan, penguatan fungsi legislasi DPD menjadi ujian sesungguhnya political
will pelaku politik di negeri ini.

Daftar Pustaka
Fajarudin, 2013. Memperkuat Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Sebagai Lembaga Legislatif. Jurnal Hukum
Vol 2 (1)
Jimly Asshiddiqie. 2003. Lembaga Perwakilan dan Permusyawaratan Rakyat Tingkat Pusat, Makalah
H.R Daeng Naja. 2004. Dewan Perwakilan Daerah : Bikameralisme Setengah Hati. Yogyakarta. Media Pressindo.

11

wan Satriawan, 2007, Penguatan DPD: Proporsionalitas Perwakilan Politik dan Perwakilan Daerah
Saldi Isra, Penguatan fungsi legislasi perwakilan daerah, artikel elektronik, Mei 2010
Sekretariat Jenderal DPD-RI, 2014, Fungsi Legislasi DPD Pasca Putusan Mahkamah Kontitusi, Jakarta: DPD-RI
Aldis Ruly Subardi, Iwan Rachmad Soetijono, Warah Atikah, KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH
DALAM PROSES LEGISLASI DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA (Studi Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012), Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiwa 2014,

12