Home Articles Treaty Tax Court Encyclope








Home
Articles
Treaty
Tax Court
Encyclopedia
Downloads

Search...

Login Register

Bagi Anda pengguna browserMozilla Firefox, untuk dapat Login klik kata“User
Name”dan kata“Password”agar dapat mengisi boxUser NamedanPassword.


Tax News Flash
Bagaimana membuat dan mempersiapkan SPT Tahunan PPh untuk WP yang tergolong
sebagai WP-UKM..? Baca selengkapnya di sini.

Memilah Pajak Masukan: Creditable & Uncreditable

Details
Category: Pengkreditan PM
Published on Tuesday, 03 September 2013 09:21
Hits: 1076

Hingga saat ini masih banyak Wajib Pajak, khususnya
pengusaha kena pajak (PKP) yang belum memahami dengan benar jenis Pajak Masukan (PM) yang
dapat dan tidak dapat dikreditkan di SPT Masa PPN. Memang harus diakui bahwa untuk menentukan
apakah dapat dikreditkan atau tidak, faktor penentunya bukan hanya persyaratan formal Faktur Pajaknya.
Tetapi termasuk juga persyaratan material terutama yang terkait dengan bidang usaha PKP yang
bersangkutan.

PM yang Dapat Dikreditkan
Biasanya PKP hanya mengetahui bahwa PM yang dapat dikreditkan adalah PM yang Faktur Pajaknya

memenuhi syarat formal (lengkap dan tidak cacat) dan berhubungan langsung dengan kegiatan
usahanya.
Syarat formal Faktur Pajak memang menjadi faktor penentu utama apakah PM yang tercantum dalam
Faktur Pajak, dapat dikreditkan atau tidak. Jika sebuah Faktur Pajak tergolong sebagai Faktur Pajak
Cacat, maka otomatis PM yang tercantum di Faktur Pajak tersebut tidak dapat dikreditkan tanpa perlu
melihat lagi pada persyaratan material lainnya (baca juga Faktur Pajak Cacat). Ketentuan ini bisa dilihat
pada Pasal 9 ayat (8) huruf f maupun huruf g UU PPN 2009.
Kemudian jika persyaratan formal Faktur Pajak terpenuhi, maka tidak serta merta PM yang tercantum
dalam Faktur Pajak tersebut boleh dikreditkan. Karena persyaratan berikutnya adalah bahwa PM tersebut
harus terkait atau berhubungan dengan kegiatan usaha. Artinya meskipun Faktur Pajaknya tidak cacat,
namun jika PM tersebut tidak berhubungan dengan kegiatan usaha, maka PM itu tidak boleh dikreditkan.
“...Dalam konteks PPN yang dimaksud dengan kegiatan usaha meliputi empat kegiatan, yaitu kegiatan
Produksi, Distribusi, Manajemen dan Pemasaran...”

Sedan dan Station Wagon
Terkait dengan PM atas perolehan (meliputi PM atas pembelian, perbaikan dan pemeliharaan) kendaraan
jenis sedan dan station wagon, UU PPN menyatakan bahwa PM tersebut tidak boleh dikreditkan meski
kedua syarat di atas terpenuhi. PM jenis ini hanya dapat dikreditkan oleh PKP yang bergerak di bidang
jual-beli (showroom) kendaraan atau bidang usaha persewaan kendaraan atau rental [lihat Pasal 9 ayat
(8) huruf c UU PPN 2009].

Misalnya PT ABC (sudah dikukuhkan sebagai PKP) membeli sedan dan membayar PPN Masukan atas
sedan tersebut. Jika PT ABC bergerak di bidang persewaan kendaraan (rent-car) atau jual beli
kendaraan (memiliki showroom penjualan kendaraan), maka PPN atas pembelian sedan tersebut dapat
dikreditkan di SPT Masa PPN. Tetapi jika PT ABC tidak bergerak kedua bidang usaha tersebut, maka
PPN atas pembelian sedan itu tidak dapat dikreditkan.

Terkait Kegiatan Penyerahan
Satu persyaratan lagi agar PM dapat dikreditkan, dan yang umumnya belum diketahui secara menyeluruh
oleh PKP, adalah persyaratan pengkreditan PM yang dikaitkan dengan jenis barang atau jasa yang
diekspor atau diperjualbelikan oleh PKP yang bersangkutan. Dalam hal ini, selain harus memenuhi
persyaratan yang sudah dijelaskan di atas, PKP juga harus melihat pada jenis produk (BKP/JKP) yang

diekspor mauppun yang diserahkan (diperjualbelikan) secara lokal. Untuk menjelaskan hal ini, lihat
gambar Tabel Pengkreditan Pajak Masukan (PM) di bawah ini:

Melalui gambar di atas, kita misalkan PT ABC membeli BKP dan JKP untuk keperluan kegiatan usaha
(atau proses produksinya). Atas pembelian tersebut, PT ABC telah membayar Pajak Masukan (PM)
kepada vendor dan supplier-nya yang dalam gambar di atas digambarkan sebagai Pajak Masukan 1
sampai dengan Pajak Masukan 7. Dapat atau tidaknya ketujuh PM tersebut untuk dikreditkan oleh PT
ABC, juga amat tergantung pada jenis produk yang dijual (atau ‘diserahkan’ dalam istilah UU PPN 2009).


Non-BKP atau Non-JKP
Seandainya produk yang dihasilkan dan dijual (diserahkan) oleh PT ABC tergolong sebagai barang dan
jasa yang tidak dikenakan (tidak terutang) PPN, maka ketujuh PM yang terkait dengan produk tadi tidak
dapat dikreditkan meski Faktur Pajak atas PM tersebut memenuhi semua persyaratan formal maupun
material. Pernyataan ini bisa dilihat pada Pasal 9 ayat (5) dan ayat (6) UU PPN 2009.
Misalnya PT ABC bergerak dalam bidang usaha rumah sakit (jasa di bidang medis atau kesehatan). Jika
PT ABC membeli peralatan medis dan membayar PPN (Pajak Masukan/PM), maka PM tersebut tidak

dapat dikreditkan karena jasa di bidang pelayanan medis merupakan jasa yang tidak dikenakan PPN
(Non-JKP).
Jenis barang dan jasa yang tidak dikenakan (tidak terutang) PPN dalam kesehariannya sering disebut
dengan Non-BKP atau Non-JKP. Kita bisa melihat jenis barang dan jasa ini di Pasal 4A UU PPN
2009 atau silakan baca artikel Non-BKP dan Non-JKP ini.

BKP-JKP Diekspor
Jika produk yang dihasilkan atau yang diserahkan berupa BKP/JKP dan kemudian BKP/JKP tersebut
dijual ke luar negeri (diekspor), maka ketujuh PM yang terkait dengan produk tersebut dapat dikreditkan
asalkan PM-PM tersebut memenuhi persyaratan formal maupun material yang sudah dijelaskan di atas.


Penyerahan Tanpa Fasilitas
Jika produk yang dihasilkan atau yang diserahkan berupa BKP/JKP dan kemudian BKP/JKP tersebut
diserahkan atau dijual secara lokal (di dalam negeri) tanpa mendapat fasilitas PPN (kode Faktur Pajak
010, 020, atau 030), maka ketujuh PM yang terkait dengan produk tersebut dapat dikreditkan asalkan
PM-PM tersebut memenuhi persyaratan formal maupun material yang sudah dijelaskan di atas.

Mendapat Fasilitas PPN Dibebaskan
Jika produk yang dihasilkan atau yang diserahkan berupa BKP/JKP dan kemudian BKP/JKP tersebut
diserahkan atau dijual secara lokal (di dalam negeri) dengan memperoleh fasilitas PPN Dibebaskan
(kode Faktur Pajak 080), maka ketujuh PM yang terkait dengan produk yang diserahkan tersebut tidak
dapat dikreditkan. Penegasan mengenai hal ini dapat dilihat pada Pasal 16B ayat (3) UU PPN 2009.
Misalnya PT ABC berusaha di bidang perkebunan dengan produk (barang yang dijual atau diserahkan)
berupa Tandan Buah Segar (TBS). Dalam hal ini, karena TBS merupakan BKP yang atas penyerahannya
mendapat fasilitas PPN Dibebaskan, maka PM-PM yang terkait dengan TBS tersebut tidak dapat
dikreditkan.

Mendapat Fasilitas PPN Tidak Dipungut
Jika produk yang dihasilkan atau yang diserahkan berupa BKP/JKP dan kemudian BKP/JKP tersebut
diserahkan atau dijual secara lokal (di dalam negeri) dengan memperoleh fasilitas PPN Tidak Dipungut
(kode Faktur Pajak 070), maka ketujuh PM yang terkait dengan produk yang diserahkan tersebut dapat

dikreditkan asalkan memenuhi kriteria dan persyaratan formal dan material yang sudah dijelaskan di atas.
Penegasan mengenai hal ini dapat dilihat pada Pasal 16B ayat (2) UU PPN 2009.

Misalnya PT ABC merupakan pengusaha penghasil kulit untuk pembuatan sepatu. Kemudian produk kulit
sepatu itu dijual atau diserahkan kepada pengusaha lain di Kawasan Berikat dan mendapat fasilitas PPN
Tidak Dipungut. Maka dalam hal ini, seluruh PM yang terkait dengan produk tersebut pada prinsipnya
dapat dikreditkan.

Produk Dipakai Sendiri
Jika produk yang dihasilkan berupa BKP/JKP dan kemudian BKP/JKP tersebut dipakai sendiri oleh
pengusaha yang bersangkutan, maka bisa atau tidaknya pengkreditan terhadap ketujuh PM yang terkait
amat tergantung pada kategori BKP/JKP yang dipakai sendiri tersebut [baca juga artikel Pemakaian
Sendiri BKP/JKP]:

1. Jika produk (BKP/JKP) yang dipakai sendiri itu tergolong sebagai BKP/JKP yang atas
2.

penyerahannya mendapat fasilitas PPN Dibebaskan, maka ketujuh PM yang terkait dengan
produk tersebut tidak dapat dikreditkan;
Jika produk (BKP/JKP) yang dipakai sendiri itu tergolong sebagai BKP/JKP yang atas

penyerahannya mendapat fasilitas PPN Tidak Dipungut, maka ketujuh PM yang terkait dengan
produk tersebut dapat dikreditkan asalkan memenuhi persyaratan pengkreditan PM.

Penyerahan BKP/JKP Dengan Nilai Lain
Secara umum, PPN yang terutang atas suatu penyerahan BKP/JKP dihitung dengan rumus = tarif
PPN10% (x) Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Dalam konteks PPN, yang dimaksud dengan DPP terdiri
dari Harga Jual (untuk BKP), Penggantian (untuk JKP), Nilai Ekspor, Nilai Impor dan Nilai Lain [lihat
Pasal 1 angka 17 UU PPN 2009].
Nilai Lain adalah suatu nilai yang dijadikan sebagai DPP untuk menghitung PPN terutang, yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan dalam PMK Nomor 75/PMK.03/2010 stdd PMK Nomor
38/PMK.011/2013. Dalam PMK ini ditetapkan beberapa jenis usaha atau pengusaha yang diharuskan
menggunakan Nilai Lain sebagai DPP antara lain:

1. Pengusaha yang melakukan penyerahan jasa pengiriman paket;
2. Pengusaha yang melakukan penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata;
3. Pengusaha yang melakukan penyerahan emas perhiasan, termasuk jasa perbaikan dan
4.

modifikasi serta jasa-jasa lain yang berkaitan dengan emas perhiasan;
Penyerahan jasa pengurusan transportasi (freight forwarding) yang di dalam tagihannya terdapat

biaya transportasi (freight charges).

Lebih lanjut, PMK tersebut dalam Pasal 3, menyatakan bahwa PM-PM yang terkait dengan keempat jenis
penyerahan tersebut di atas tidak dapat dikreditkan.
--ooOoo--

Share
Tweet

Login to...

User Name

Password

Remember Me
 Forgot your password?
 Forgot your username?
 Create an account


Most Read Articles








PPh Final - Jasa Konstruksi
Menghitung Angsuran PPh Pasal 25
PTKP Terbaru 2013
PPh Pasal 21 Pegawai Tidak Tetap
PPh Final - Persewaan Tanah dan Bangunan
PPh Pasal 23 Jasa
SPT Tahunan PPh 1770-S dan 1770

Kurs Fiskal Minggu Ini
No Iframes


Copyright © 2014 Pembayar Pajak. All Rights Reserved.
Joomla! is Free Software released under the GNU General Public License.

o
o
o
o
o
o

P3B-Asia
P3B-Eropa
P3B-Amerika
P3B-Afrika
P3B-Australia
Related Articles









Home
Articles
Treaty
Tax Court
Encyclopedia
Downloads

Search...

Login Register

Bagi Anda pengguna browserMozilla Firefox, untuk dapat Login klik kata“User
Name”dan kata“Password”agar dapat mengisi boxUser NamedanPassword.

Tax News Flash
Bagaimana membuat dan mempersiapkan SPT Tahunan PPh untuk WP yang tergolong
sebagai WP-UKM..? Baca selengkapnya di sini.

Koreksi PM Karena Jawaban Konfirmasi "Tidak Ada"

Details
Category: Pengkreditan PM
Written by AR Muhammad
Hits: 1058

Saat melakukan pemeriksaan, seringkali pemeriksa pajak
(fiskus) mengoreksi Pajak Masukan manakala konfirmasi terhadap Pajak Masukan tersebut mendapat jawaban
“Tidak Ada” dari kantor pajak lainnya. Asumsinya, kalau jawabannya “Tidak Ada”, maka Faktur Pajak dari Pajak
Masukan tersebut dianggap fiktif. Bahkan ada juga beberapa orang yang mengaitkannya dengan soal tanggung
jawab renteng PPN. Kedua anggapan tersebut semuanya tidak benar karena fiktif dan tanggung jawab renteng PPN
punya klasifikasi dan definisi sendiri-sendiri.

Ketentuan Umum Konfrmasi

Terkait dengan soal konfirmasi atau klarifikasi Faktur Pajak ini, Dirjen Pajak sebenarnya telah menerbitkan sebuah
aturan khusus bernomor KEP-754/PJ./2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan Konfirmasi Faktur Pajak Dengan
Aplikasi Sistem Informasi Perpajakan. Keputusan Dirjen Pajak ini digulirkan pada tanggal 26 Desember 2001.Terkait
dengan soal konfirmasi atau klarifikasi Faktur Pajak ini, Dirjen Pajak sebenarnya telah menerbitkan sebuah aturan
khusus bernomor KEP-754/PJ./2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan Konfirmasi Faktur Pajak Dengan Aplikasi
Sistem Informasi Perpajakan. Keputusan Dirjen Pajak ini digulirkan pada tanggal 26 Desember 2001. Tetapi hingga
saat ini masih belum dinyatakan dicabut alias masih berlaku dan bisa dijadikan referensi peraturan.
Pada butir 1.4.1.3. dalam penjelasan Lampiran I KEP-754/PJ./2001 ditegaskan bahwa apabila jawaban klarifikasi dari
KPP tempat PKP dikukuhkan menyatakan:

1.
2.
3.

4.

“Ada dan Sesuai” dengan penjelasan bahwa Faktur Pajak tersebut belum direkam KPP domisili PKP penjual
atau Faktur Pajak tersebut terlambat dilaporkan oleh PKP penjual, maka Faktur Pajak tersebut dapat
diperhitungkan sebagai Pajak Masukan yang dapat dikreditkan;
“Tidak Ada” dengan penjelasan bahwa Faktur Pajak tersebut belum dilaporkan oleh PKP penjual dan KPP
domisili PKP penjual telah menerbitkan SKP-KB atau SKP-KBT atas Faktur Pajak yang belum dilaporkan
tersebut, maka Faktur Pajak tersebut dapat diperhitungkan sebagai Pajak Masukan yang dapat dikreditkan;
“Tidak Ada” dengan penjelasan bahwa Faktur Pajak tersebut tidak sah karena pengusaha yang menerbitkan
belum dikukuhkan sebagai PKP, atau PKP penjual tidak pernah melakukan penyerahan BKP/JKP kepada
PKP pembeli yang bersangkutan, maka Faktur Pajak tersebut tidak dapat diperhitungkan sebagai Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan; dan
Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal dikirimkan jawaban klarifikasi belum/tidak diterima
dan apabila berdasarkan hasil pengujian arus barang dan atau arus uang dapat dibuktikan bahwa Faktur
Pajak tersebut sah adanya, maka Faktur Pajak yang dimintakan klarifikasi tersebut dapat diperhitungkan
sebagai Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.

Dalam praktik pemeriksaan yang penulis temui, jawaban klarifikasi dari KPP yang dimintai klarifikasi hampir
semuanya hanya menjawab “Tidak Ada” tanpa mencantumkan penjelasan atau keterangan apapun seperti yang
diminta oleh poin 1, 2 dan 3 di atas (poin 1, 2, 3 tersebut dalam Lampiran I KEP-754/PJ./2001 tercantum dalam
penjelasan butir 1.4.1.3.1., 1.4.1.3.2., dan 1.4.3.2.3. ~red.). Dari sinilah perdebatan antara pemeriksa pajak dan
Wajib Pajak (WP) dimulai. Dan biasanya perdebatan ini berujung di meja hijau Pengadilan Pajak.

Selalu Berpedoman Pada Hasil Klarifikasi/Konfirmasi
Saat melakukan koreksi terhadap Pajak Masukan, penulis melihat bahwa pemeriksa pajak lebih condong untuk
melihat pada jawaban klarifikasi atau jawaban konfirmasi dari KPP ‘sebelah’. Jika jawaban klarifikasi atau konfirmasi
itu berupa “Tidak Ada”, maka pemeriksa pajak akan langsung mengoreksi Pajak Masukan dan dianggap tidak dapat
dikreditkan. Apalagi jawaban konfirmasi itu tidak disertai dengan penjelasan sebagaimana dimaksud oleh Lampiran I
KEP-754/PJ./2001 khususnya butir 1.4.1.3.1., 1.4.1.3.2., dan 1.4.3.2.3. yang sudah dijelaskan di atas.
Meski kebanyakan WP dalam pemeriksaan bisa menunjukkan mengenai arus uang (maupun arus barang apabila
Faktur Pajak terkait dengan BKP), pemeriksa pajak umumnya tidak bersedia mengubah koreksinya tersebut.
Pemeriksa pajak sepertinya juga tidak mau memperhatikan penegasan yang ada pada butir 1.4.3.2.4. Lampiran I
KEP-754/PJ./2001 yang penulis kutip pada poin 4 di atas. Bahkan dalam beberapa praktik pemeriksaan pernah
penulis melihat pemeriksa yang tetap memegang teguh jawaban KPP penjual yang menyatakan “Tidak Ada”
meskipun WP telah menunjukkan photoopy pelaporan SPT Masa PPN dari PKP penjual yang menjadi lawan
transaksinya.

Koreksi Dibatalkan Hakim
Jika sudah begitu, maka koreksi tersebut tentu akan membuat WP susah dan terpaksa harus menempuh jalur hukum
Keberatan dan Banding. Kedua proses ini harus ditempuh WP selama lebih dari 24 (dua puluh empat) bulan atau
sekitar 2 (dua) tahunan lebih.
Pada proses Keberatan, yang memakan waktu sekira 12 (dua belas) bulan, biasanya koreksi pemeriksa pajak
terhadap Pajak Masukan tersebut tetap dipertahankan oleh rekan mereka di tim penelaah/peneliti Keberatan.
Alasannya biasanya sama dengan alasan pemeriksa pajak yang sebelumnya.
Namun pada saat Banding, Majelis Hakim di Pengadilan Pajak umumnya berfokus hanya pada soal fiktif atau
tidaknya Faktur Pajak yang dikreditkan oleh WP. Para hakim biasanya tidak peduli apakah Faktur Pajak tersebut
sudah dilaporkan oleh PKP penjualnya atau belum. Artinya selama WP yang mengajukan Banding bisa membuktikan
bahwa transaksi dan Faktur Pajak yang dikreditkannya di SPT Masa PPN tidak fiktif, maka koreksi pemeriksa pajak
akan dibatalkan oleh Majelis Hakim. Permohonan Banding WP terkait dengan Faktur Pajak tersebut umumnya bisa
dikabulkan.

Sudah Perintah UU PPN
Hakim di Pengadilan Pajak umumnya berpedoman pada prinsip bahwa kesalahan PKP penjual karena tidak
melaporkan Faktur Pajak tidak dapat direntengkan kepada WP/PKP pembeli yang mengkreditkan Faktur Pajak
tersebut. Sebab sesuai dengan ketentuan umum UU PPN pembeli dalam hal ini memang sudah diwajibkan untuk
membayar PPN dan PPn-BM kepada PKP penjual. Kecuali jika pembeli berstatus sebagai Wapu PPN, maka pembeli
tidak diwajibkan untuk membayar PPN dan PPn-BM kepada PKP penjual.
Seperti sudah diketahui, sesuai dengan ketentuan Pasal 3A ayat (1) UU PPN, PKP yang melakukan penyerahan
BKP/JKP wajib memungut, menyetor dan melaporkan PPN maupun PPn-BM yang terutang. Ini artinya pembeli
diwajibkan untuk membayar PPN maupun PPn-BM kepada PKP penjual. Dan sebagai bukti bahwa pembeli sudah
membayar PPN maupun PPn-BM kepada PKP penjual, pembeli akan mendapatkan Faktur Pajak dari PKP penjual.
Bagi pembeli, PPN yang dibayar kepada PKP penjual ini disebut dengan Pajak Masukan.
Kemudian dalam Pasal 9 UU PPN secara umum ditegaskan bahwa Pajak Masukan (PM) dapat atau boleh
dikreditkan. Pengkreditan PM ini bisa dilakukan pada bulan yang sama dengan Pajak Keluaran atau dikreditkan
paling lambat tiga bulan berikutnya setelah bulan (Masa Pajak) dari Faktur Pajak Masukan tersebut.
Memang, dalam Pasal 9 UU PPN disebutkan beberapa kriteria PM yang tidak boleh dikreditkan. Begitu pun dalam
ketentuan Pasal 16B UU PPN, ada beberapa kriteria PM yang tidak dapat dikreditkan. Tetapi dari kriteria yang
ditetapkan oleh kedua pasal tersebut, tidak satupun kriteria pelaporan oleh PKP penjual. Artinya di kedua pasal
tersebut tidak ada ketentuan yang menyatakan bahwa apabila penjual belum atau tidak melaporkan Faktur Pajak
Keluarannya, maka hilang pula hak pengkreditan PM oleh pembeli.
--ooOoo--

Share
Tweet

Login to...

User Name

Password

Remember Me
 Forgot your password?
 Forgot your username?
 Create an account

Most Read Articles








PPh Final - Jasa Konstruksi
Menghitung Angsuran PPh Pasal 25
PTKP Terbaru 2013
PPh Pasal 21 Pegawai Tidak Tetap
PPh Final - Persewaan Tanah dan Bangunan
PPh Pasal 23 Jasa
SPT Tahunan PPh 1770-S dan 1770

Kurs Fiskal Minggu Ini
No Iframes

Copyright © 2014 Pembayar Pajak. All Rights Reserved.
Joomla! is Free Software released under the GNU General Public License.








Home
Articles
Treaty
Tax Court
Encyclopedia
Downloads

Search...

Login Register

Bagi Anda pengguna browserMozilla Firefox, untuk dapat Login klik kata“User
Name”dan kata“Password”agar dapat mengisi boxUser NamedanPassword.

Tax News Flash
Bagaimana membuat dan mempersiapkan SPT Tahunan PPh untuk WP yang tergolong
sebagai WP-UKM..? Baca selengkapnya di sini.

Pengkreditan PM Bagi Industri Terpadu


Details
Category: Pengkreditan PM
Written by AR Muhammad
Hits: 809
Dalam tahun 2011 lalu, Dirjen Pajak mengeluarkan Surat Edaran (SE) mengenai pengkreditan
Pajak Masukan (PM) pada perusahaan terpadu (integrated) kelapa sawit. Jika menilik pada
substansi isinya, semestinya SE ini juga berlaku bagi semua perusahaan terpadu (integrated),
tidak hanya kelapa sawit.
SE yang dimaksud adalah SE-90/PJ./2011 yang diterbitkan pada tanggal 23 November 2011.
Pada intinya, SE itu memberikan penegasan bahwa untuk perusahaan kelapa sawit yang
terpadu (integrated) yang terdiri dari unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas
penyerahannya tidak terutang PPN dan unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang
atas penyerahannya terutang PPN, maka:

1. Pajak Masukan (PM) atas perolehan Barang Kena Pajak (BKP) maupun Jasa Kena
Pajak (JKP) yang nyata-nyata untuk kegiatan menghasilkan BKP (CPO/PKO), dapat
dikreditkan;

2. PM atas perolehan BKP maupun JKP yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan
menghasilkan barang hasil pertanian yang atas penyerahannya dibebaskan dari
pengenaan PPN, seperti misalnya menghasilkan Tanda Buah Segar (TBS), tidak dapat
dikreditkan;
3. PM atas perolehan BKP maupun JKP yang digunakan untuk kegiatan menghasilkan
BKP sekaligus untuk kegiatan menghasilkan BKP strategis (c.q. TBS), dapat dikreditkan
sebanding dengan jumlah peredaran BKP terhadap peredaran seluruhnya.

Terkait Produk atau Penyerahan?
Satu hal yang mengusik perhatian penulis adalah dalam SE-90/PJ./2011 itu sepertinya Dirjen
Pajak menetapkan bahwa pengkreditan PM dikaitkan dengan produk (kegiatan menghasilkan).
Jika produk yang dihasilkan adalah BKP (yang terutang PPN), maka PM yang terkait dengan
BKP tersebut dapat dikreditkan. Sementara jika produk yang dihasilkan adalah Non-BKP (tidak
terutang PPN) atau BKP yang mendapat fasilitas PPN Dibebaskan, maka PM yang terkait
dengan produk tersebut tidak dapat dikreditkan. Lalu apa salahnya?
Jika kita perhatikan ketentuan yang ada dalam Pasal 9 ayat (5) dan ayat (6) serta ketentuan
Pasal 16B ayat (3) UU PPN, penulis berkesimpulan bahwa pengkreditan PM tidak dikaitkan
dengan produk yang dihasilkan melainkan dikaitkan dengan penyerahannya.

 Pasal 9 ayat (5) UU PPN: "Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak
selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang
tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui
dengan pasti dari pembukuannya, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah
Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak.”
 Pasal 9 ayat (6) UU PPN: “Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak
selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang
tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak
tidak dapat diketahui dengan pasti, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk
penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur
dengan Peraturan Menteri Keuangan.”
 Pasal 16B ayat (3) UU PPN dan penjelasannya: “Pajak Masukan yang dibayar untuk
perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya
dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat dikreditkan.” “Berbeda
dengan ketentuan pada ayat (2), adanya perlakuan khusus berupa pembebasan dari
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai mengakibatkan tidak adanya Pajak Keluaran
sehingga Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau Jasa Kena Pajak yang memperoleh pembebasan tersebut tidak dapat
dikreditkan.”

Berbeda dengan Ketentuan UU PPN
Dengan membandingkan penegasan SE-90/PJ./2011 dengan penegasan atau penjelasan yang
ada pada Pasal 9 ayat (5) dan ayat (6) serta Pasal 16B ayat (3) UU PPN, penulis berpendapat

penegasan yang ada dalam SE-90/PJ./2011 tersebut berbeda atau bertentangan dengan UU
PPN. Penulis khawatir, penegasan yang ada dalam SE-90/PJ./2011 itu akan merugikan Wajib
Pajak atau Pengusaha Kena Pajak.
Sebelum SE-90/PJ./2011 tersebut diterbitkan, penulis sudah sering mendengar keluhan dari
rekan-rekan penggusaha yang berkecimpung dalam usaha perkebunan kelapa sawit di daerah
Sumatera dan Kalimantan. Pada saat pemeriksaan pajak dilakukan, PM yang terkait dengan
TBS, seperti PM pembelian pupuk, PM pembelian peralatan perkebunan, dan lain sebagainya,
dikoreksi positif oleh pemeriksa pajak. Padahal TBS yang dihasilkan tidak dijual langsung
melainkan diolah terlebih dahulu menjadi minyak kelapa sawit (CPO) atau minyak inti sawit
(PKO). Dan banyak di antara rekan pengusaha tadi yang memiliki pabrik pengolahan CPO/PKO
sendiri.

Jika pengolahan TBS menjadi CPO/PKO dilakukan oleh pihak lain (di-maklon-kan), OKE lah.
Penulis setuju, dalam hal ini PM atas pembelian pupuk dan peralatan perkebunan lainnya dapat
dikoreksi. Sebab dalam hal ini berarti ada penyerahan TBS dari pengusaha perkebunan
kepada pihak subkon pengolah TBS menjadi CPO/PKO. Sebab seperti diketahui, TBS
merupakan salah satu hasil perkebunan yang ditetapkan sebagai BKP strategis yang mendapat
fasilitas pembebasan PPN menurut versi SE-90/PJ./2011. Kalau penulis berpendapat, TBS
merupakan buah-buahan segar yang dimaksud dalam memori penjelasan Pasal 4A ayat (2)
huruf b.j. UU PPN, yang ditetapkan sebagai Non-BKP. Namun apapun golongannya, TBS
sebagai BKP strategis atau Non-BKP, tetap saja PM yang terkait dengan kegiatan produksi dan
distribusinya tidak dapat dikreditkan.
Tetapi lain halnya jika pengolahan TBS menjadi CPO/PKO dilakukan sendiri oleh pengusaha
yang bersangkutan. Dalam hal ini semestinya PM atas pembelian pupuk dan peralatan
perkebunan tetap dapat dikreditkan karena barang yang diserahkan (dijual) nantinya adalah
CPO/PKO yang merupakan BKP tanpa fasilitas PPN apapun.

Berlaku untuk Semua Bidang Usaha Integrated
Kejadian yang sama seperti yang dialami pengusaha perkebunan kelapa sawit tersebut dalam
praktiknya juga dialami oleh beberapa pengusaha dalam bidang lain. Misalnya pengusaha di
bidang peternakan, perikanan, dan pertambangan yang notabene juga merupakan perusahaan

terpadu (integrated) di mana produk yang dihasilkan ada yang bukan BKP atau BKP yang
mendapat fasilitas pembebasan PPN.
Seperti misalnya pengusaha peternakan ayam, mereka bisa menjual bibit (anakan) ayam, bisa
menjual ayam dewasa hidup, atau ayam potong, yang masing-masing mendapat perlakuan
PPN yang berbeda sebagai berikut:

 Bibit

(anakan) ayam, atas penyerahan (penjualannya) memperoleh fasilitas
pembebasan PPN sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 stdtd
Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007;
 Ayam dewasa hidup, atas penyerahannya terutang PPN dan tidak mendapat fasilitas
pembebasan PPN;
 Ayam potong, atas penyerahannya tidak terutang PPN karena daging segar yang tanpa
diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan,
dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain,
dan/atau direbus, merupakan salah satu barang yang tidak dikenakan PPN (alias NonBKP).
Dalam hal ini, menurut penulis pengkreditan PM bagi pengusaha peternakan tersebut
seharusnya juga tidak dilihat dari produk yang dihasilkan melainkan harus dikaitkan dengan
penyerahan atas produk-produk tersebut. Ini agar perlakuan pengkreditan PM sesuai dengan
ketentuan yang seharusnya yang diatur dalam Pasal 9 ayat (5) dan ayat (6) serta Pasal 16B
ayat (3) UU PPN.
--ooOoo--

Share
Tweet

Login to...

User Name

Password

Remember Me
 Forgot your password?
 Forgot your username?
 Create an account

Most Read Articles








PPh Final - Jasa Konstruksi
Menghitung Angsuran PPh Pasal 25
PTKP Terbaru 2013
PPh Pasal 21 Pegawai Tidak Tetap
PPh Final - Persewaan Tanah dan Bangunan
PPh Pasal 23 Jasa
SPT Tahunan PPh 1770-S dan 1770

Kurs Fiskal Minggu Ini
No Iframes

Copyright © 2014 Pembayar Pajak. All Rights Reserved.
Joomla! is Free Software released under the GNU General Public License.








Home
Articles
Treaty
Tax Court
Encyclopedia
Downloads

Search...

Login Register

Bagi Anda pengguna browserMozilla Firefox, untuk dapat Login klik kata“User
Name”dan kata“Password”agar dapat mengisi boxUser NamedanPassword.

Tax News Flash
Bagaimana membuat dan mempersiapkan SPT Tahunan PPh untuk WP yang tergolong
sebagai WP-UKM..? Baca selengkapnya di sini.

Pengkreditan PM - #2


Details
Category: Pengkreditan PM
Written by AR Muhammad
Hits: 577
Dalam artikel sebelumnya, sudah dibahas mengenai PKP yang wajib menggunakan pedoman
penghitungan PM yang dapat dikreditkan. Dalam artikel ini, akan dibahas mengenai PKP
lainnya yang boleh (TIDAK WAJIB) menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan PM.
Bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang kegiatan usahanya semata-mata hanya melakukan
penyerahan kendaraan bermotor bekas secara eceran wajib menggunakan pedoman
penghitungan PM yang dapat dikreditkan. Begitupun dengan PKP yang kegiatan usahanya
semata-mata hanya menyerahkan emas perhiasan secara eceran, mereka juga wajib
menggunakan pedoman penghitungan PM yang dapat dikreditkan. Kewajiban kedua PKP
tersebut untuk menggunakan pedoman penghitungan PM ditetapkan oleh PMK Nomor
79/PMK.03/2010.

PKP Dengan Jumlah Omset Tertentu

Berkenaan dengan penggunaan pedoman penghitungan PM, selain PMK Nomor
79/PMK.03/2010 Menteri Keuangan juga menerbitkan PMK Nomor 74/PMK.03/2010. PMK yang
disebut terakhir ini mengatur soal penggunaan pedoman penghitungan PM bagi PKP dengan
omset yang tidak melebihi jumlah tertentu.
Menurut PMK Nomor 74/PMK.03/2010, PKP yang jumlah peredarannya dalam satu tahun buku
tidak lebih dari Rp 1,8 milyar dapat memilih untuk menggunakan pedoman penghitungan PM.
Namun untuk dapat menggunakan pedoman penghitungan PM ini, PKP harus memenuhi
persyaratan yang sudah ditetapkan, yaitu:

1. Jumlah peredaran usaha dalam dua (2) tahun buku sebelumnya masing-masing tidak
melebihi Rp 1,8 milyar; dan

2. Harus menyampaikan surat pemberitahuan kepada KPP tempatnya dikukuhkan sebagai
PKP, paling lama pada saat batas waktu penyampaian SPT Masa PPN yang akan
menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan PM.
Misalnya PT ABC ingin menggunakan pedoman penghitungan PM pada tahun buku 2012 ini:
 Jika PT ABC dikukuhkan sebagai PKP dalam tahun 2012, misalnya pada bulan Agustus

2012, maka PT ABC diperkenankan untuk langsung menggunakan pedoman
penghitungan pengkreditan PM mulai Masa Pajak Agustus 2012. Dalam hal ini, surat
pemberitahuan bahwa PT ABC akan menggunakan pedoman penghitungan
pengkreditan PM dapat disampaikan ke KPP-nya berbarengan dengan saat PT ABC
menyampaikan SPT Masa PPN Masa Pajak Agustus 2012 (SPT Masa PPN Agustus
2012 paling lambat harus dilaporkan akhir bulan September 2012).
 Jika PT ABC dikukuhkan sebagai PKP sejak 2011, maka untuk dapat menggunakan
pedoman penghitungan PM di tahun 2012 PT ABC harus bisa membuktikan bahwa
selama 2011 jumlah peredaran usahanya tidak melebihi Rp 1,8 milyar. Dalam hal ini,
surat pemberitahuan bahwa PT ABC akan menggunakan pedoman penghitungan
pengkreditan PM dapat disampaikan ke KPP-nya berbarengan dengan saat PT ABC
menyampaikan SPT Masa PPN Masa Pajak Januari 2012 (atau bulan/Masa Pajak
pertama tahun buku jika seandainya tahun buku PT ABC selain Januari-Desember).
 Jika PT ABC dikukuhkan sebagai PKP sebelum tahun 2011, maka untuk dapat
menggunakan pedoman penghitungan PM di tahun 2012 ini PT ABC harus bisa
membuktikan bahwa selama tahun 2010 dan 2011 jumlah peredaran usahanya dalam
masing-masing tahun tersebut tidak lebih dari Rp 1,8 milyar. Dalam hal ini, surat
pemberitahuan bahwa PT ABC akan menggunakan pedoman penghitungan
pengkreditan PM dapat disampaikan ke KPP-nya berbarengan dengan saat PT ABC
menyampaikan SPT Masa PPN Masa Pajak Januari 2012 (atau bulan/Masa Pajak
pertama tahun buku jika seandainya tahun buku PT ABC selain Januari-Desember).
Masa Peralihan
Dalam praktek bisa saja terjadi kondisi di mana pada awal-awal bulan jumlah omset (peredaran
usaha) PKP tidak lebih dari Rp 1,8 milyar tetapi dalam bulan-bulan (Masa Pajak) berikutnya,
secara akumulatif jumlah omsetnya ternyata melebihi Rp 1,8 milyar. Dalam kondisi seperti ini,
PKP wajib beralih ke mekanisme biasa mulai bulan (Masa Pajak) berikutnya setelah bulan
terlampauinya batasan omset Rp 1,8 milyar.

Misalnya sejak awal tahun 2012, PT ABC memilih menggunakan pedoman penghitungan
pengkreditan PM. Tetapi pada bulan Agustus 2012 total omsetnya secara akumulatif ternyata
melebihi Rp 1,8 milyar. Berarti PT ABC bisa menggunakan pedoman penghitungan PM hanya
sampai bulan Agustus 2012 sedangkan untuk bulan September 2012 dan seterusnya PT ABC
harus menggunakan mekanisme biasa.
PT ABC tersebut harus menggunakan mekanisme biasa sampai akhir tahun 2014. Dan jika
ingin kembali menggunakan pedoman penghitungan PM, ini hanya dapat diterapkan mulai awal
tahun 2015. Itu pun jika omset di tahun 2013 dan 2014 masing-masing tidak melebihi Rp 1,8
milyar.

Besarnya PM yang Dikreditkan
Besarnya persentase (%) untuk menghitung besarnya PM yang dikreditkan, yang diatur dalam
PMK No. 74/PMK.03/2010 adalah sebagai berikut:

 Jika kegiatan usaha PKP melakukan penyerahan BKP, PM dihitung sebesar 70% x
Pajak Keluaran (PK);

 Jika kegiatan usaha PKP melakukan penyerahan JKP, PM dihitung sebesar 60% x
Pajak Keluaran (PK).
Misalnya PT ABC kegiatan usahanya adalah melakukan penyerahan BKP (apapun selain
showroom kendaraan bermotor bekas atau emas perhiasan secara eceran) dan PT ABC
memilih menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan PM. Total penyerahan BKP
selama bulan Agustus 2012 = Rp 200 juta. Dengan demikian:

 PK bulan Agustus 2012 = Rp 200 juta x 10% = Rp 20 juta.
 PM bulan Agustus 2012 = 70% x Rp 20 juta (PK) = Rp 14 juta.
 PPN KB Agustus 2012 = Rp 20 juta (-) Rp 14 juta = Rp 6 juta.
Jika PT ABC di atas kegiatan usahanya bukan penyerahan BKP melainkan penyerahan JKP,
maka penghitungan PM dan PPN KB Agustus 2012 adalah:

 PK bulan Agustus 2012 = Rp 200 juta x 10% = Rp 20 juta.
 PM bulan Agustus 2012 = 60% x Rp 20 juta (PK) = Rp 12 juta.
 PPN KB Agustus 2012 = Rp 20 juta (-) Rp 12 juta = Rp 8 juta.
Jika PT ABC melakukan penyerahan integrated BKP maupun JKP secara sekaligus, maka
harus diketahui terlebih dahulu berapa omset masing-masing untuk BKP maupun JKP.
Misalnya dari Rp 200 juta itu diketahui omset penyerahan spare-parts (BKP) sebesar Rp 140
juta sedangkan omset penyerahan jasa pemasangan spare-parts (JKP) sebesar Rp 60 juta,
maka penghitungan PM dan PPN KB Agustus 2012 adalah:

 PK BKP bulan Agustus 2012 = Rp 140 juta x 10% = Rp 14 juta.
 PK JKP bulan Agustus 2012 = Rp 60 juta x 10% = Rp 6 juta.
 PM bulan Agustus 2012 = (70% x Rp 14 juta) + (60% x Rp 60 juta).

 Total PM Agustus 2012 = Rp 9.800.000,- + Rp 3.600.000,- = Rp 13.400.000, PPN KB Agustus 2012 = Rp 20 juta (-) Rp 13,4 juta = Rp 6,6 juta.

--ooOoo--

Share
Tweet

Login to...

User Name

Password

Remember Me
 Forgot your password?
 Forgot your username?
 Create an account

Most Read Articles









PPh Final - Jasa Konstruksi
Menghitung Angsuran PPh Pasal 25
PTKP Terbaru 2013
PPh Pasal 21 Pegawai Tidak Tetap
PPh Final - Persewaan Tanah dan Bangunan
PPh Pasal 23 Jasa
SPT Tahunan PPh 1770-S dan 1770

Kurs Fiskal Minggu Ini
No Iframes

Copyright © 2014 Pembayar Pajak. All Rights Reserved.
Joomla! is Free Software released under the GNU General Public License.








Home
Articles
Treaty
Tax Court
Encyclopedia
Downloads

Search...

Login Register

Bagi Anda pengguna browserMozilla Firefox, untuk dapat Login klik kata“User
Name”dan kata“Password”agar dapat mengisi boxUser NamedanPassword.

Tax News Flash
Bagaimana membuat dan mempersiapkan SPT Tahunan PPh untuk WP yang tergolong
sebagai WP-UKM..? Baca selengkapnya di sini.

Pengkreditan PM - #1


Details
Category: Pengkreditan PM
Written by AR Muhammad
Hits: 648
Dalam bidang PPN kita sering mendengar istilah ‘pengkreditan Pajak Masukan’. Istilah ini
sebenarnya merujuk pada suatu proses di mana kita menandingkan jumlah Pajak Masukan
dengan Pajak Keluaran pada suatu bulan (masa pajak) untuk menentukan jumlah PPN yang
harus kita setorkan ke Kas Negara.
Dalam mekanisme biasa, jumlah Pajak Masukan yang ditandingkan (baca: dikreditkan) dihitung
berdasarkan Faktur Pajak Masukan. Misalnya begini: PT ABC, sudah dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak (PKP) dalam bulan September 2012 melakukan penjualan BKP dengan
total Rp 200 juta. Terhadap penjualan misalnya terutang PPN (Pajak Keluaran/PK) sebesar
10% x Rp 200 juta = Rp 20 juta.
Pada bulan yang sama, PT ABC tersebut misalnya juga membeli BKP maupun JKP dari
supplier, vendor atau rekanannya dengan total pembelian Rp 150 juta dan dikenakan PPN
(Pajak Masukan/PM) sebesar 10% x Rp 150 juta = Rp 15 juta. PT ABC dalam hal ini harus
meminta Faktur Pajak kepada supplier, vendor atau rekanannya untuk membuktikan bahwa PT
ABC sudah dikenakan PPN.

Mekanisme Pengkreditan Biasa
Dari ilustrasi tersebut, jika menggunakan mekanisme pengkreditan PM yang biasa (umum),
maka PM yang dapat dikreditkan (ditandingkan) terhadap PK adalah Rp 15 juta. Ini adalah PPN
yang dikenakan kepada PT ABC berdasarkan Faktur Pajak Masukan oleh supplier, vendor,
maupun rekanannya pada saat PT ABC membeli BKP maupun JKP.
Notes: Pajak Masukan (PM) yang dapat dikreditkan terhadap PK harus memenuhi persyaratan
baik formal maupun material, sesuai dengan ketentuan peraturan PPN yang berlaku.
Dengan asumsi bahwa semua PM yang dikenakan terhadap PT ABC tersebut dapat
dikreditkan, maka dalam hal ini berarti PM (Rp 15 juta) lebih kecil jumlahnya dibanding PK (Rp
20 juta). Dengan demikian, selisihnya sebesar Rp 5 juta merupakan PPN kurang bayar (KB)
yang harus disetorkan oleh PT ABC kepada kas negara.
Jika seandainya terjadi kondisi sebaliknya, di mana PM lebih besar dari pada PK, maka
selisihnya disebut lebih bayar (LB) yang dapat ditandingkan (dikreditkan) lagi dengan PK bulan
berikutnya.

Pedoman Pengkreditan PM
Bagi PKP tertentu, jumlah PM yang dapat dikreditkan tidak dihitung berdasarkan Faktur Pajak
Masukan, seperti yang diilustrasikan di atas. Seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan (PMK) Nomor 79/PMK.03/2010 maupun PMK Nomor 74/PMK.03/2010, bagi PKP
tertentu penghitungan dan penetapan jumlah PM yang dapat dikreditkan dihitung berdasarkan
pedoman penghitungan pengkreditan PM. Jadi sekali lagi, bagi PKP yang dimaksud di kedua
PMK ini PM-nya tidak dihitung berdasarkan Faktur Pajak Masukan melainkan dengan pedoman
penghitungan PM.
Secara umum, PM yang dapat dikreditkan—berdasarkan pedoman penghitungan PM—dihitung
sekian persen (%) dari jumlah PK bulan yang bersangkutan. Persentase (%) yang digunakan
untuk menetapkan atau menghitung jumlah PM yang dapat dikreditkan ini beragam, tergantung
dari ‘siapa’ PKP-nya.

Pengusaha Kendaraan Bermotor Bekas
Bagi PKP yang kegiatan usahanya semata-mata hanya menyerahkan kendaraan bermotor
bekas secara eceran, mobil atau sepeda motor, maka penghitungan PM yang dapat
dikreditkannya harus menggunakan pedoman penghitungan PM. Mereka tidak dibolehkan
menggunakan mekanisme biasa seperti yang diuraikan di atas. Ketentuan ini diatur dalam
PMK Nomor 79/PMK.03/2010.

Note: Kata ‘menyerahkan’ dalam konteks ini adalah segala bentuk penyerahan BKP yang
terutang PPN sebagaimana dimaksud Pasal 1A ayat (1) UU PPN, seperti penjualan, tukarmenukar, pemberian cuma-cuma, dlsb.
Bagi PKP kendaraan bermotor bekas, besarnya PM yang dapat dikreditkan untuk suatu bulan
(masa pajak) dihitung sebesar 90% dari PK bulan yang bersangkutan.
Misalnya jika PT ABC dalam ilustrasi sebelumnya adalah pedagang kendaraan bermotor bekas
dan total penjualan atau penyerahan kendaraan bekasnya dalam bulan September 2012
berjumlah Rp 200 juta. Dengan demikian, berarti PK untuk bulan September 2012 adalah 10%
x Rp 200 juta = Rp 20 juta. Kemudian untuk menentukan besarnya PM untuk bulan September
2012 tersebut, dihitung sebesar = 90% x Rp 20 juta = Rp 18 juta. Jadi untuk bulan September
2012, PT ABC wajib menyetor PPN kurang bayar Rp 2 juta.
Perhitungan seperti ini diterapkan secara terus menerus dalam setiap bulan (masa pajak)
sehingga untuk setiap masa pajak PT ABC akan selalu dalam kondisi PPN kurang bayar. Ini
terjadi karena PM yang ditetapkan lebih kecil dari pada PK yaitu hanya 90% dari PK bulan yang
bersangkutan.

Pengusaha Emas Perhiasan Eceran
PKP lainnya yang juga WAJIB menggunakan pedoman penghitungan PM adalah PKP yang
kegiatan usahanya semata-mata hanya menyerahkan (penjualan, tukar-menukar, pemberian
cuma-cuma, dlsb) emas perhiasan secara eceran. Ini juga diatur dalam PMK Nomor
79/PMK.03/2010.
Bagi PKP emas perhiasan ini, besarnya PM bulan yang bersangkutan ditetapkan sebesar 80%
dari PK bulan tersebut. Jadi seandainya PKP emas perhiasan dalam bulan September 2012
melakukan penyerahan sebesar Rp 200 juta, maka berarti PK = 10% x Rp 200 juta = Rp 20 juta
sedangkan PM-nya sebesar 80% x Rp 20 juta = Rp 16 juta. Jadi sama seperti PKP kendaraan
bermotor bekas, PKP emas perhiasan eceran juga akan selalu dalam kondisi PPN kurang
bayar pada setiap bulan (masa pajak).
Note:Jika PKP perhiasan itu tidak hanya melakukan penyerahan perhiasan emas, misalnya
termasuk perhiasan dari perak atau logam mulia lainnya, maka PKP tidak wajib menggunakan
pedoman penghitungan PM.

--ooOoo-Share
Tweet

Login to...

User Name

Password

Remember Me
 Forgot your password?
 Forgot your username?
 Create an account

Most Read Articles








PPh Final - Jasa Konstruksi
Menghitung Angsuran PPh Pasal 25
PTKP Terbaru 2013
PPh Pasal 21 Pegawai Tidak Tetap
PPh Final - Persewaan Tanah dan Bangunan
PPh Pasal 23 Jasa
SPT Tahunan PPh 1770-S dan 1770

Kurs Fiskal Minggu Ini
No Iframes

Copyright © 2014 Pembayar Pajak. All Rights Reserved.
Joomla! is Free Software released under the GNU General Public License.