nasab dan suami dan istri

Nasab,Hak Dan Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak
A.Pendahuluan
Perkawinan merupakan satu jalan untuk membentuk satu keluarga yang terkecil dalam
lingkungan masyarakat dan juga sebagia bagian yang amat disenangi oleh manusia pada
umumnya.Perkawinan bukan hanya saja untuk menghalalkan hubungan intim antara suamiistri,akan tetapi juga untuk membina rumah tangga yang disertai dengan hak dan
kewajibannya agar memperoleh kebahagiaan yang tidak hanya kita naungi didunia
semata,akan tetapi juga keselamatan di akhirat kelak.
Maka dari itu sebelum melakukan prosesi akad perkawinan,yang pada akhir nanti akan
mewujudkan satu keluarga,maka perlu pengkajian yang mendalam,memerlukan pengamatan
dan penilitian yang lebih serius,guna untuk menjawab pertanyaan dengan siapa kita boleh
melakukan pernikahan,yang pada gilirannya nanti akan melahirkan hak dan kewajiban
sebagai suami-istri serta pemeliharaan terhadap anak cucu kita dibelakang hari.
Kajian-kajian yang menyangkut dengan hal ini dalam ruang lingkup perkawinan diantaranya
yaitu :
ü Nasab
ü Hak dan kewajiban orang tua terhadap anak
ü Masa pemeliharaan dan
ü Biaya-biayanya
Dengan adanya ketentuan-ketentuan yang seperti ini,maka dalam mencapai rumah tangga
yang rukun akan sangat mudah untuk dapat dijalankan oleh masing-masing keduanya (suamiistri),dan juga perjalan rumah tangga akan senantiasa terpelihara dengan baik yang dalam
jangka panjang kita mendapatkan prestasi pemimpin yang mulia bagi istri dan anak-anak

kita,jika ia seorang suami,dan istri yang taat bagi mitra suaminya.
Oleh karena demikian terlebih dahulu kita akan membicarakan perkawinan dalam ruang
lingkup nasab yang pada gilirannya untuk sampai kita kedalam hak dan kewajiban orang tua
terhadap anak-anaknya serta masa pemeliharaan dan biaya-biayanya.

B.Nasab
Pada umumnya nasab mempunyai dua tempat yang berbeda dalam
memahaminya;pertama,nasab dari garis keturunan perempuan dan laki-laki.Kedua,nasab dari
satu pernikahan hingga melahirkan keturunan.

Nasab dari garis keturunan perempuan lazimnya ditempatkan ketika kita hendak menikahi
seseorang perempuan yang biasa dikenal dengan peminangan,maka dalam hal ini dianjurkan
untuk melihat harta,kecantikan.agama dan dari garis keturunan perempuan yang akan kita
pinang tersebut.
Adapun yang kedua tadi nasab yang disebabkan karena adanya ikatan nikah,dalam hal yang
semacam ini akan melahirkan tanggun jawab terhadap satu pihak dengan pihak yang lain dan
bahkan terhadap anak sekaligus,dan begitu selanjutnya.Oleh sebab itu nasab mempunyai
makna yaitu suatu legalitas hubungan kekeluargaan yang berdasarkan pertalian darah sebagai
salah satu akibat pernikahan yang sah.Nasab merupakan sebuah pengakuan syara’ bagi
hubungan seorang anak dengan garis keturunan ayahnya,sehingga dengan itu anak tersebut

menjadi salah seorang anggota keluarga dari keturunan itu,dengan demikian anak tersebut
berhak mendapatkan hak-hak sebagai akhibat adanya hubungan nasab seperti hak
warisan,pernikahan,perwalian dan lain sebagainya.
Hak-hak sebagai adanya hubungan nasab juga akan mengakibatkan terhadap suatu
larangan,yaitu larangan untuk menikahi,baik sifatnya selamanya dalam artian sampai
kapanpun dan dalam keadaan apapun laki-laki dan perempuan itu tidak boleh melakukan
perkaawinan,larangan dalam bentuk ini disebut dengan mahram muabbad.ataupun bersifat
sementara dalam artian larangan itu berlaku dalam keadaan dan waktu tertentu;suatu ketika
bila keadaan dan waktu tertentu itu sudah berubah ia sudah tidak lagi menjadi haram,yang
lazimnya kita kenal dengan mahram mauqqat[1].
Dalam pengertian yang riil mahram muabbad juga dibagi kedalam tiga
kelompok;pertama,disebabkan oleh adanya hubungan kekerabatan atau nasab,kedua,larangan
perkawinan karena adanya hubungan perkawinan yang disebut dengan hubugan
mushaharah,dan ketiga,karena hubungan persusuan.
Adapun mahram muaqqat yang merupakan larangan kawin yang sifatnya sementara yang
disebabkan oleh waktu tertentu,bilamana waktu tersebut sudah tidak ada lagi,maka larangan
tersebut menjadi gugur,sebab itu dalam katagori yang seperti ini berlaku dalam keadaan :
ü Mengawini dua orang saudara dalam satu masa.
ü Poligami diluar batas,dalam artian seorang laki-laki mengawini lebih dari empat
perempuan,dengan tidak menceraikan salah satunya.

ü Larangan karena ikatan perkawinan terhadap perempuan yang masih ada hubungannya
dengan suami dalam perkawinan yang sah.
ü Larangan karena talak tiga.
ü Larangan kerana ihram.

ü Larangan karena perzinaan.
ü Larangan karena beda agama.
C.Hak Dan Kewajiban Orang Tua Terhadap anak
Sebagaimana kita ketahui bahwa perkawinan merupakan suatu perjanjian hidup bersama
antara dua jenis kelamin untuk menempuh kehidupan rumah tangga,semenjak dari
keberlangsungan perjanjian melalui akad,kedua belah pihak telah terikat dan sejak itu mereka
mempunyai hak dan kewajiban yang tidak mereka miliki sebelumnya.Maka dalam hal yang
seperti ini focus kita terhadap hak dan kewajiban orang tua terhadap anak atau disebut juga
hak dan kewajiban bersama,bukan hak dan kewajiban terhadap salah satu keduanya suamiistri.
Yang dimaksud dengan hak bersama suami-istri ini adalah hak bersama secara timbal balik
dari pasangan suami istri terhadap yang lain,yakni[2] :
ü Boleh bergaul dan bersenang-senang diantara keduanya.
ü Timbulnya hubungan suami dengan keluarga istrinya dan begitu juga sebaliknya,yang
lazim disebut hubungan mushaharah.
ü Hubungan saling mewarisi diantara suami-istri.Setiap pihak berhak mewarisi pihak lain

bila terjadinya kematian.
Sedangkan kewajiban keduanya secara bersama dengan terjadinya perkawinan itu secara
garis besar adalah:
ü Memelihara dan mendidik anak keturunan yang lahir dari perkawinan tersebut.
ü Memelihara kehidupan rumah tangga yang sakinah,mawaddah dan warahmah.
Dari item diatas pada bagian kedua yang merupakan kewajiban orang tua terhadap anaknya
dan tidak terlepas dari tanggung jawab untuk membekali anak dengan kebutuhan yang
seharusnya menjadi hak anak tersebut,baik itu pemeliharaan maupun didikan.Maka dalam hal
ini memelihara dan mendidik mempunyai penjabaran yang sangat luas,sehingga peran orang
tua dalam hal ini sangat membantu akan tumbuh kembang anak tersebut.
Dalam pengertian yang lebih spesifik para ulama figh menyebutnya dengan hadanah yang
berarti pemeliharaan terhadap anak yang masih kecil atau sudah besar sekalipun,akan tetapi
belum bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk (mumayyiz),menyediakan
sesuatu yang menjadikan kebaikannya,menjaga dari sesuatu yang menyakiti dan
merusaknya,mendidik jasmani,rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi
hidup dan memikul tanggung jawabnya[3].
Berbicara masalah mengasuh atau mendidik anak yang merupakan sebagian dari bagian
tanggung jawab orang tua yang tidak akan terlepas sampai kapanpun sebelum hak-hak anak

ini diprioritasi,yang bukan hanya terbatas pada materi yang di perlukan oleh anak,akan tetapi

juga dari segi pendidikan agama yang bersifat aqidah,amaliah dan lain sebagainya,sehingga
anak ini mengetahui akan keesaan Allah yang merupakan perkara wajib bagi seluruh ummat.
Oleh sebab itu pembekalan anak dengan ilmu agama hendaknya dilakukan sedini mungkin
dengan berbagai upaya,karena ia merupakan farzhu ‘ain yang bersifat individual.Hal ini
ditegaskan para ulama dengan pernyataan bahwa haram terhadap seseorang menuntut ilmu
selain ilmu agama sebelum ia membekali diri dengan ilmu agama tersebut,yakni ilmu Tauhid
yang mengesakan Allah,ilmu Fiqih yang sifatnya tata cara pelaksanaan ibadah dan ilmu
lainnya.
D.Masa Pemeliharaan
Sebagai yang kita maklum bahwa pemeliharaan yang dalam bahasa Arab disebut juga dengan
hadhanah yang berarti pemeliharaan atau pengasuhan anak yang masih kecil,baik sebelum
putusnya ikatan perkawinan maupun setelah terjadinya percerain,hal ini bukan hanya saja
tertentu terhadap satu pihak dengan mengabaikan yang lain,akan tatapi hendaklah keduanya
ibu dan bapak.
Oleh karena demikian,pengasuhan atau pemeliharaan anak itu berlaku antara dua unsur yang
merupakan rukun dalam hukumnya,yaitu orang tua yang mengasuh dan anak yang
diasuh,maka keduanya harus memenuhi syarat yang ditentukan untuk wajib dan sahnya
pengasuhan tersebut,hal ini tentu saja dalam masalah pengasuhan setelah terjadinya
perceraian,maka ibu dan bapak berkewajiban memelihara anaknya secara terpisah.sebab
itulah ibu dan bapak bisa mengasuh anaknya dengan ketentuan-ketentuan pengasuh yang

disyaratkat[4] :
ü Berakal.
ü Merdeka.
ü Konsisten dalam beragama.
ü Dapat menjaga kehormatan dirinya.
ü Menetap ditempak anak yang diasuh.
ü Keadaan perempuan tidak bersuami.
Ada enam motif utama disini sebagai persyaratan terhadap ibu dan bapak untuk bisa
mengasuh anak yang tidak boleh luput dari salah satunya.Sejalan dengan ini,maka ketentuan
terhadap anak yang diasuh disyaratkan pula sebagai berikut :
ü Ia masih berada dalam usia kanak-kanak atau belum balig.
ü Ia berada dalam keadaan yang tidak sempurna,boleh jadi seperti idiot atau
lainnya,sekalipun dia sudah dewasa.

Persyaratan demikian terkait juga dengan masa pemeliharaan yang merupakan masa yang
harus dijalani oleh kedua orang tua selama keadaan anak belum balig dan anak yang sudah
balig,tetapi kondisinya tidak sempurna.Balig bukan hanya saja diukur dari sampainya usia
lima belas tahun,bisa jadi juga dengan sebab mimpi,meskipun usianya masih dibawah lima
belas tahun.
E.Biaya-Biayanya

Dari berbagai gambaran yang telah tersebut diatas,hal ini tidak terlepas dari biaya yang harus
dikeluarkan yang berupa material,ini merupakan tanggung jawab suami,maka suamilah yang
paling berperan untuk mencukupi keperluannya yang sesuai dengan kesanggupannya.hal
tersebut bisa jadi dalam ikatan perkawinan,boleh juga jadi setelah perceraian yang dalam
masa pemeliharaan,sebagaimana yang tersebut dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 233 :
‫ال وعهاا ل تضار والدة بولدها ول مولد له بولده‬

‫لتكلف نس‬

‫وعلاى المولود له رزقان وكسوتان بالمهرو‬

Artinya :kewajiban ayah untuk memeberikan belanja dan pakaian untuk istrinya dengan cara
yang makruf,seseorang tidak dibebani kecuali semampunya,seseorang ibu tidak mendapatkan
kesusahan karena anaknya dan seorang ayah tidak mendapatkan kesusahan karena anaknya.
Kewajiban membiayai oleh suami kepada istrinya yang berlaku dalam Fiqh didasarkan
kepada pemisahan harta antara suami dan istri,sebab dalam kitab-kitab Fiqh tidak dikenal
dengan adanya pembauran harta suami setelah berlansungnya perkawinan.Suami memiliki
hartanya sendiri dan istri juga demikian,sebagai kewajibannya suami memberikan sebagian
dari hartanya itu kepada istri atas nama nafakah,yang pada gilirannya istri menggunakan
untuk keperluan rumah tangga.Tidak ada penggabungan harta,kecuali dalam bentuk

syirkah,yang untuk itu dilakukan dalam suatu akad khusus untuk syirkah,tanpa adanya akad
tersebut harta tetap terpisah.Prinsip ini mengikuti alur pikiran bahwa suami itu adalah pencari
reziki;rezeki yang telah diperolehnya itu menjadi haknya secara penuh dan untuk selanjutnya
suami berkedudukan sebagai orang yang membiayai.Sebalik dari itu istri bukanlah sebagai
pencari rezeki dan untuk memenuhi kebutuhannya ia berkedudukan sebagai penerima.
Dan dalam al-Qur’an surat at-Thalak ayat 6 juga menyebutkan tentang kewajiban terhadap
suami untuk membiayai istrinya,yakni:
‫وان كن أولت حمل فأنسقوا عليان حتاى يضهن حملان فان أرضهن لكم فأتوهن أجورهن‬
Artinya :Dan jika mereka istri-istrinu yang telah kamu talak itu sedang hamil,maka
berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin,kemudian jika mereka
menyusukan anak-anakmu untukmu,maka berikanlah mereka berikanlah biaya-biayanya.
Sungguhpun demikian,bila istri tidak menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri atau
dengan bahasa lain istri nusyuz (durhaka) kepada suaminya,menurut jumhur ulama suami

tidak wajib memberikan nafakah dalam masa nusyuznya itu,yang namun tetap berkewajiban
terhadap anaknya yang dalam masa pemeliharaan.

G.kesimpulan
Dari berbagai meteri yang telah dibahas di halaman sebelumnya,maka dapat kami aplikasikan
yang bahwa nasab merupakan suatu legalitas hubungan kekeluargaan yang berdasarkan

pertalian darah sebagai salah satu akibat dari perkawinan yang sah.Oleh karena itu anak
tersebut berhak mendapatkan hak-haknya sebagai akibat adanya hubungan nasab seperti hak
warisan,perwalian dan lain sebagainya.Dengan demikian hal ini pun juga lahirnya tanggung
jawab terhadap keturunan yang diperani oleh orang tua yang bersifat hak dan kewajiban.
Hak dan kewajiban dapat diklasifikasi kedalam hak suami terhadap istri,hak istri terhadap
suami,kewjiban istri terhadap suami dan kewjiban suami terhadap istri,serta hak dan
kewajiban keduanya terhadap anak dari hasil suatu perkawinan yang sah yang merupakan
bagian tanggung jawab mendidik dan mengasuh melalui tahapan-tahapan tertentu,dalam
artian sebelum dan sesudah wujudnya anak tersebut sampai anak itu mencapai usai balig.
Dalam hal mengasuh dan mendidik anak,disini ada dua hal dengan keadaan yang
berbeda;pertama,dalam keadaan rumah tangga masih utuh dan kedua,setelah terjadinya
perceraian,yang namun kewajiban untuk membiayai hanya kepada satu pihak saja,yaitu
suami

Dartar Pustaka
Prof.Dr.Amir Syarifuddin (Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia antara fiqh munakaht dan
undang-undang perkawinan.Jakarta : 2006).
Aminuddin,Slalmat Abidin.(Fiqih Munakahat II Bandung.cv Pustaka Setia).
H.Sulaiman Rasjid.(Fiqh Islam .Attahiriyah.Jakarta.1976).
[1] Prof.Dr.Amir Syarifuddin (Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia antara fiqh munakahat

dan undang-undang perkawinan..Jakarta : 2006).hlm 110
[2] Ibid.hlm 163

[3] Aminuddin,Slalmat Abidin.(Fiqih Munakahat II Bandung.cv Pustaka Setia).hlm 171
[4] H.Sulaiman Rasjid.(Fiqh Islam .Attahiriyah.Jakarta.1976).hlm 404