A. Taksonomi dan Aktivitas Orangutan Sumatera (Pongo abelii) - Identifikasi dan Pemetaan Pohon Sarang Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali (Studi Kasus : Desa Bulu Mario, Aek Nabara dan Huraba)

TINJAUAN PUSTAKA A.

   Taksonomi dan Aktivitas Orangutan Sumatera (Pongo abelii)

  Menurut Groves (1972), klasifikasi dari Orangutan Sumatera adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Subkingdom : Metazoa Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Kelas : Mamalia Ordo : Primata Subordo : Anthropoidea Superfamili : Homoidea Famili : Pongoidea Genus : Pongo Spesies : Pongo abelii Lesson, 1827

  Kera besar memiliki otak yang lebih besar daripada primata lain. Pada umumnya kera besar lebih banyak yang hidup secara terestrial namun pada Orangutan hidupnya arboreal (Rowe, 1996). Orangutan berpindah dengan menggunakan keempat anggota tubuhnya, berpindah dari cabang ke cabang lain.

  Daerah jelajah Orangutan adalah berkisar antara 2-10 km dengan luas wilayah

  2 jelajah hariannya berkisar antara 800-1200 m (Supriatna dan Edy, 2000).

  Aktivitas Orangutan dipengaruhi oleh faktor musim berbuah dan cuaca. MacKinnon (1974) telah menjumpai saat buah sedang sulit didapat di hutan, Orangutan akan menghabiskan waktu menjelajah lebih banyak daripada waktu untuk makan. Demikian pula saat hari sedang kering (panas) Orangutan akan lebih banyak beristirahat pada siang hari. Menurut Rijksen (1978) pembagian penggunaan waktu oleh Orangutan adalah pada pagi hari digunakan untuk makan, siang hari untuk menjelajah dengan diselingi waktu istirahat siang.

  Orangutan akan mulai istirahat malam antara pukul 15.00-18.00 dengan aktivitas malam hari yang sangat sedikit. Persentase aktivitas harian Orangutan menurut Rijksen (1978) adalah 47% untuk makan, 40% untuk istirahat, 12% untuk menjelajah dan sisa waktunya untuk aktivitas sosial. Penggunaan ruang bagi aktivitas Orangutan yaitu pada lapisan antara 15-25 m diatas permukaan tanah hampir 70% dari waktu aktivitas hariannya, Orangutan menggunakan 20% waktu aktivitas hariannya pada lapisan lebih dari 25 m dan pada lapisan dibawah 15 m Orangutan hanya menggunakan kurang dari 10% waktu aktivitas hariannya.

  Menurut Ginting (2006) Orangutan biasanya selalu membuat sarang tidur di tepi sungai pada ketinggian 20-40 m diatas tanah.

  Populasi Orangutan Sumatera sebagian besar sebarannya terbatas pada hutan hujan dataran rendah, sebagian besar Orangutan Sumatera berada di daerah yang memiliki ketinggian di bawah 500 m dpl dan jarang menjelajah ke tempat yang lebih tinggi dari 1.500 m dpl (Rijksen dan Meijaard, 1999).

  B.

   Pohon Sarang Orangutan Sumatera (Pongo abelii)

  Orangutan membuat sarang di atas pohon sebagai tempat tidur. Fungsi lain sarang Orangutan adalah untuk digunakan sebagai tempat tidur pada siang hari, namun dalam beberapa kasus lain dijumpai sarang yang digunakan sebagai tempat bermain dan perkawinan (Van Schaik, 2006). Keberadaan Orangutan Sumatera di CA. Dolok Sibual-buali dapat diketahui dengan banyak ditemukannya sarang Orangutan di lokasi tersebut.

  Beberapa metode inventarisasi telah diujicobakan untuk mengetahui parameter demografi populasi Orangutan liar, baik yang dilakukan secara langsung maupun berdasarkan sarang (Ancrenaz et al., 2005). Inventarisasi Orangutan secara langsung merupakan pekerjaan yang sangat sulit (Mathewson et al., 2008). Hal ini berhubungan dengan kecepatan berpindah orangutan pada saat berada di pohon. Orangutan secara alami akan menghindari manusia yang mendekat. Gerakan orangutan akan sangat sulit untuk diamati oleh pengamat karena lebatnya tajuk pohon dan keterbatasan gerak pengamat pada kondisi lokasi tertentu. Sarang adalah bukti keberadaan orangutan yang paling mudah diamati (Meijaard et al. 2001).

  Sarang merupakan sesuatu yang sengaja atau tidak disengaja dibangun untuk digunakan sebagai tempat berkembang biak dan atau sebagai tempat istirahat atau tidur (Alikodra, 1990). Perilaku membangun sarang pada Orangutan diindikasikan sebagai suatu perilaku yang menunjukan kecerdasan kera besar (Grzimerk, 1972). Orangutan membangun sarang harian untuk tempat tidur malam dan untuk waktu tidur tambahan di siang hari. Jumlah sarang dapat dijadikan dasar perhitungan untuk mengetahui jumlah Orangutan di habitatnya. Sekurang-kurangnya Orangutan membangun 1 sarang dalam satu hari.

  Pujiyani (2009) menyatakan bahwa sarang Orangutan berbentuk lingkaran yang terbuat dari rangkaian daun dan ranting yang dipatahkan atau hanya dibengkokkan sedemikian rupa, rangkaian daun dan ranting tersebut dijalin sangat kuat sehingga aman dan nyaman digunakan. Menurut MacKinnon (1974), kegiatan pembutan sarang Orangutan terdiri dari beberapa tahap yaitu :

  1. Rimming (melingkarkan) yaitu melekukkan dahan secara horizontal sampai membentuk lingkaran sarang kemudian ditahan dengan melekukkan dahan lainnya sehingga membentuk kuncian jalinan dahan.

  2. Hanging (menggantung) yaitu melekukkan dahan ke dalam lingkaran sarang sehingga membentuk kantung sarang.

  3. Pillaring (menopang) yaitu melekukkan dahan ke bawah sarang sebagai penopang sarang.

  4. Loose (melepaskan) yaitu memutus beberapa dahan dari pohon dan diletakkan ke dalam sarang sebagai alas atau di bagian atas sebagai atap.

  Pada penelitian sebelumnya tentang penentuan pohon sarang Orangutan Sumatera (Pongo abelii) ada beberapa hal yang perlu diamati, yaitu: 1.

  Jenis Pohon Sarang Jenis pohon sarang berdasarkan penelitian Pujiyani (2009) adalah pohon jenis Hoting termasuk dalam famili Fagaceae yang diduga merupakan jenis pohon berkayu keras. Jenis pohon Hoting lebih banyak dipilih sebagi tempat membangun sarang karena secara morfologi Orangutan merupakan primata besar yaitu dengan berat tubuh rata-rata Orangutan jantan dewasa 86,3 kg sedangkan betina dewasa 38,5 kg dan hidup secara arboreal maka dibutuhkan jenis kayu yang kuat, sehingga mampu menahan beban tubuh Orangutan dan secara naluriah Orangutan di Hutan Batang Toru memilih jenis Hoting sebagai pohon tempat bersarang. Selain itu, pohon Hoting memiliki percabangan horizontal yang relatif rapat dengan daun tidak berbulu dan tidak bergetah yang tersebar merata pada seluruh cabang pohon. Ukuran daun Hoting tidak terlalu besar, yaitu memiliki ppanjang daun antara 10-20 cm. Sifat percabangan dan komposisi daun Hoting tersebut akan memudahkan Orangutan dalam membangun sarang yang kuat dan nyaman.

  Menurut Rijksen (1978), Orangutan tidak menggunakan pohon yang sedang berbuah untuk tempat bersarang sebagai strategi untuk menghindari perjumpaan dengan satwa lain yang juga memanfaatkan pohon pakan yang sama, sehingga beresiko timbul persaingan untuk mendapatkan pakan.

  Berdasarkan penelitian Kuswanda dan Siregar (2010) ada beberapa jenis vegetasi pakan dan bukan pakan yang ditemukan di wilayah Bulu Mario dan Batu Satail yang dapat menjadi koridor Orangutan di Kawasan CA. Dolok Sibual-buali dengan Kawasan Hutan Lainnya dapat dilihat pada Tabel 1.

  Tabel 1. Jenis Vegetasi yang Terdapat di Wilayah Bulu Mario dan Batu Satail

  No Nama Lokal Keterangan No Nama Lokal Keterangan 1 Akkarodon Pakan 47 Mayang Bukan Pakan 2 Ambogol Bukan Pakan 48 Mayang Batu Pakan 3 Andarasi Pakan 49 Mayang Bulan Pakan 4 Andayuk Bukan Pakan 50 Mayang Durian Pakan 5 Api-api Bukan Pakan 51 Medang Landit Bukan Pakan 6 Aren Pakan 52 Meranti Bukan Pakan

  7 Atumbus Bukan Pakan 53 Meranti Bodat Bukan Pakan 8 Baja Bukan Pakan 54 Modang Bukan Pakan 9 Balik Angin Bukan Pakan 55 Modang Hunik Pakan 10 Bayur Pakan 56 Modang Landit Bukan Pakan 11 Bintangur Bukan Pakan 57 Modang Ngeri Bukan Pakan 12 Darodong Bukan Pakan 58 Modang Pokat Bukan Pakan 13 Dori Bukan Pakan 59 Modang Ri Bukan Pakan

  14 Durian Hutan Bukan Pakan 60 Modang Sipalis Pakan 15 Gacip Gayo Bukan Pakan 61 Modang Soda Bukan Pakan 16 Golam Bukan Pakan 62 Petai Pakan 17 Goring-goring Bukan Pakan 63 Rambutan Hutan Pakan 18 Handis Pakan 64 Randuk Kambing Bukan Pakan 19 Hapas-hapas Bukan Pakan 65 Raru Bukan Pakan 20 Hase Pakan 66 Rau Bukan Pakan

  21 Hatopul Bukan Pakan 67 Riman Bukan Pakan 22 Hau Aek Bukan Pakan 68 Sapot Bukan Pakan 23 Hau Dolok Bukan Pakan 69 Siak-siak Bukan Pakan 24 Hau Dolok Jambu Pakan 70 Simar Bawang Bukan Pakan 25 Hau Dolok Salam Pakan 71 Simar Eme-eme Bukan Pakan 26 Hau Hotang Bukan Pakan 72 Simarsiala Pakan 27 Hau Umbang Bukan Pakan 73 Simartolu Bukan Pakan

  28 Hing Pakan 74 Sitarak Bukan Pakan 29 Hole Bukan Pakan 75 Songgak Bukan Pakan 30 Horsik Pakan 76 Suren Bukan Pakan 31 Hoteng Bukan Pakan 77 Talun Bukan Pakan 32 Hoteng Andihit Bukan Pakan 78 Tambiski Pakan 33 Hoteng Barangan Pakan 79 Teurep Bukan Pakan 34 Hoteng Batu Bukan Pakan 80 Tintin Urat Bukan Pakan

  35 Hoteng Bunga Bukan Pakan 81 Tipa-tipa Bukan Pakan 36 Hoteng Maranak Bukan Pakan 82 Tulasan Bukan Pakan 37 Hoteng Turi Bukan Pakan Sumber : Kuswanda dan Siregar (2010) 38 Jeruk Hutan Bukan Pakan 39 Jungjung buit Pakan 40 Kapur Bukan Pakan 41 Karet Pakan

  42 Kemenyan Bukan Pakan 43 Kulit Anjing Bukan Pakan 44 Lacat Bodat Pakan 45 Landorung Bukan Pakan 46 Losa Bukan Pakan

  2. Tinggi Pohon Sarang Menurut Pujiyani (2009) dalam penelitian Orangutan di Hutan Batang

  Toru, tinggi pohon sarang dibagi 5 kelas, yaitu pohon dengan tinggi <11 m, 11-15 m, 16-20 m, 21-25 m dan >25 m. Pohon yang tingginya lebih dari 25 meter, kurang disukai Orangutan untuk membuat sarang karena kondisinya yang tidak terlindungi dari terpaan angin. Apabila sarang berada pada ketinggian tersebut maka diperkirakan akan menyulitkan Orangutan untuk mengawasi kondisi di sekitarnya, karena dari pohon yang lebih tinggi akan sulit melihat kondisi di bawah yang tertutup tajuk pepohonan yang lebih rendah.

  3. Tinggi Sarang Menurut Rijksen (1978), Orangutan pada umumnya membangun sarang pada ketinggian 13-15 meter, namun hal ini bergantung pada struktur hutan tempat Orangutan tersebut berada, pemilihan tinggi tempat Orangutan membuat sarang juga sangat dipengaruhi oleh kondisi hutan seperti adanya serangan predator. Semakin tinggi sarang yang dibuat Orangutan, semakin sulit bagi predator untuk menjangkaunya.

  4. Diameter Pohon Sarang Muin (2007) menyatakan bahwa diameter pohon mempunyai pengaruh yang kecil bagi Orangutan Kalimantan dalam pemilihan pohon sarang, peran faktor diameter lebih bersifat dukungan kepada faktor jumlah jenis pakan dalam mempengaruhi keberadaan sarang pada pohon tertentu.

  5. Tipe Tajuk Menurut penelitian Pujiyani (2009) di kawasan hutan Batang Toru dan penelitian Rifai (2013) di kawasan hutan Bukit Lawang yang menjelaskan bahwa

  Orangutan lebih banyak menggunakan pohon dengan bentuk tajuk bola, karena pohon dengan tajuk bola memiliki percabangan horizontal yang relatif rapat sehingga memudahkan Orangutan dalam membuat sarang.

  6. Kerapatan Cabang Pujiyani (2009) menyatakan bahwa pohon dengan cabang rapat akan memudahkan Orangutan dalam membuat sarangnya. Percabangan semua jenis pohon akan terlihat serupa, namun jika diperhatikan dengan baik maka pada setiap jenis memiliki keunikan dan ciri percabangan yang berbeda.

  7. Posisi Sarang Penelitian Pujiyani (2009) di hutan Batang Toru bahwa Pada posisi 1, sarang Orangutan akan lebih mudah terkena hujan dan terpaan angin, selain itu kayu pada puncak tajuk (posisi 1) merupakan kayu muda yang belum terlalu kuat, sehingga sangat beresiko bagi Orangutan untuk jatuh akibat kayu pohon sarang yang patah. Namun kelebihan sarang pada posisi 1 bagi Orangutan adalah pandangan dari posisi tersebut lebih leluasa dan memudahkan Orangutan untuk memperhatikan daerah sekelilingnya.

  Keawetan sarang tergantung pada teknik konstruksi, berat dan ukuran Orangutan, suasana hati saat membangun sarang, lokasi dan karakteristik pohon, cuaca serta keberadaan satwa lain yang mungkin akan merusak sarang Orangutan tersebut, dalam waktu 2,5 bulan sarang Orangutan akan tetap terlihat sebelum pada akhirnya akan hancur dan tinggal ranting-rantingnya saja (Rijksen, 1978).

  Sarang terdistribusi secara acak dan letaknya tergantung pada beberapa pertimbangan seperti jaraknya dengan sungai, dengan pohon buah/feeding tree, keterlindungan dari matahari siang hari, angin malam hari, dan keterjangkauan pandangannya terhadap areal hutan (MacKinnon, 1974 dan Rijksen, 1978).

C. Sistem Informasi Geografis (SIG) Definisi

  Sistem informasi geografis merupakan sebuah sistem yang terdiri dari perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), data, manusia (brainware) dan lembaga-lembaga yang digunakan untuk mengumpulkan, menyimpan, menganalisa dan menyebarkan data-data dan informasi-informasi mengenai daerah-daerah di permukaan bumi. SIG sebagai sistem informasi berbasis komputer memiliki empat kemampuan dasar (subsistem) (Prahasta 2002): a.

  Data input: subsistem ini memiliki tugas mengumpulkan dan mempersiapkan data spasial beserta atributnya dari berbagai sumber. Subsistem ini juga bertanggung jawab mengkonversi atau mentransformasikan format asli sebuah data menjadi format yang dapat digunakan dalam SIG.

  b.

  Data output: subsistem ini menampilkan atau menghasilkan seluruh atau sebagian keluaran basis data baik dalam bentuk soft copy maupun hard copy seperti tabel, grafik dan peta, c. Data management: subsistem ini mengkoordinasikan data spasial dan atributnya kedalam sebuah basis data sedemikian rupa sehingga mudah dipanggil, di-update dan diedit, d. Data manipulations dan analysis: subsistem ini menentukan informasi- informasi yang dapat dihasilkan oleh SIG. Selain itu juga melakukan manipulasi dan pemodelan data untuk menghasilkan informasi yang diharapkan.

  Komponen SIG

  SIG merupakan sistem operasi yang komplek yang terintegrasi dengan lingkungan sistem komputer lain di tingkat fungsional dan jaringan. SIG dalam pengoperasiannya terdiri atas komponen (Batubara dan Hasibuan, 2000):

  a) Perangkat keras: Terdiri atas PC dekstop, workstation, hingga multiuser host yang dapat digunakan secara bersamaan, harddisk, dan mempunyai kapasitas memori serta RAM yang besar.

  b) Perangkat lunak: Software GIS menyediakan fungsi-fungsi dan alat-alat yang diperlukan untuk menyimpan, menganalisis, dan memperagakan informasi geografi.

  c) Data: merupakan komponen yang amat penting dalam GIS. Data geografik dan tabulasi data yang berhubungan akan dikumpulkan dalam suatu tempat khusus yang dapat dibeli dari penyedia data komersial. GIS akan menggabungkan ruang data dengan sumber-sumber data lainnya dan menggunakan Data Base Management System (DBMS) untuk mengorganisasikan dan memelihara serta mengatur data.

  d) Manusia: Teknologi GIS memerlukan orang untuk mengatur sistem dan membangun rencana-rencana supaya teraplikasi dalam hal yang nyata.

  e) Metoda: Menurut (Fata, 2011) kesuksesan GIS beroperasi tergantung pada perencanaan desain yang baik. Sumber-sumber data geospasial adalah foto udara, citra satelit, tabel statistik, dan dokumen lain yang berhubungan. Data geospasial dapat dibedakan menjadi data grafis (data geometris) dan data atribut (data tematik). Data grafis terdiri atas tiga elemen yaitu: titik (node), garis (arc) dan luasan atau bidang (polygon) dalam bentuk vektor ataupun raster yang mewakili geometri topologi, ukuran, bentuk, posisi, dan arah.

  Aplikasi SIG

  Sistem Informasi Geografi (SIG) yang merupakan metode analisis untuk menyatukan beragam data dan menyajikannya dalam bentuk peta. Jenis vegetasi, sebaran hewan dan wilayah dilindungi saling ditumpangtindihkan (Scott et al., 1991).

  Dasar pendekatan SIG terdiri dari berbagai tahapan, termasuk menyimpan, menampilkan dan menganalisa bermacam jenis data yang tersimpan dalam data, termasuk peta jenis vegetasi, iklim, tanah, topografi, geologi, hidrologi, sebaran species, kawasan yang dilindungi, pemukiman manusia dan pola ekstraksi sumber daya alam. Pendekatan SIG dapat mengungkapkan berbagai hubungan (kolerasi) antara faktor biotik dan abiotik dari suatu bentang alam, serta membantu proses perancangan kawasan agar memiliki komunitas hayati yang ada, bahkan menampilkan kawasan-kawasan yang berpotensi untuk mencari species langkah maupun dilindungi (Turner et al., 2003).

  Kekuatan SIG tampak pada kemampuan menganalisis data spasial dan atribut secara bersamaan. Disinilah SIG menunjukkan kemampuannya mengolah data peta, seperti pemetaan yang terotomatisasi dengan menggunakan sistem komputer. Kemampuan analisis SIG ini antara lain proses klasifikasi lahan, operasi overlay, operasi neighbourhood dan fungsi konektivitas (Elly, 2009).

D. Penginderaan Jarak Jauh

  Penginderaan jauh berasal dari kata remote sensing memiliki pengertian bahwa penginderaan jauh merupakan suatu ilmu dan seni untuk memperoleh data dan informasi dari suatu objek dipermukaan bumi dengan menggunakan alat yang tidak berhubungan langsung dengan objek yang dikajinya. Jadi, penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk mengindera/menganalisis permukaan bumi dari jarak yang jauh, dimana perekaman dilakukan di udara atau di angkasa dengan menggunakan alat (sensor) dan wahana (Lillesand dan Kiefer, 1979).

  Data penginderaan jarak jauh merupakan sumber paling utama data dinamis dalam sistem informasi geografis. Beberapa contoh aplikasi yang dimungkinkan oleh data penginderaan jarak jauh adalah sebagai berikut: pemetaan tutupan lahan, analisa perubahan tutupan lahan, analisa deforestasi, ekspansi perkebunan, perkembangan kota, analisa dampak bencana, perhitungan cadangan karbon dan emisinya, perhitungan biofisik vegetasi (kerapatan tegakan, jumlah tegakan, biomassa), serta identifikasi dan analisa infrastruktur (jumlah dan panjang jalan, jumlah rumah, luasan pemukiman dan lain-lain) (Ekadinata et al., 2008).

  Citra adalah representasi dua dimensi dari permukaan bumi yang dilihat dari luar angkasa. Terdapat dua macam citra, yaitu: analog dan digital. Citra analog membutuhkan proses pencetakan sebelum dapat dianalisa, contoh dalam hal ini adalah foto udara. Citra digital mengandung informasi dalam format digital, contohnya adalah citra satelit. Citra digital dibangun oleh struktur dua dimensi dari elemen gambar yang disebut piksel. Setiap piksel memuat informasi tentang warna, ukuran dan lokasi dari sebagian/sebuah objek (Ekadinata et al. 2008).

  NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) adalah perhitungan citra yang digunakan untuk mengetahui tingkat kehijauan, yang sangat baik sebagai awal dari pembagian daerah vegetasi. NDVI dapat menunjukkan parameter yang berhubungan dengan parameter vegetasi, antara lain, biomassa dedaunan hijau, daerah dedaunan hijau yang merupakan nilai yang dapat diperkirakan untuk pembagian vegetasi (Forest Watch Indonesia, 2010). Berikut adalah contoh klasifikasi kelas tutupan lahan berdasarkan indeks vegetasi menurut Forest Watch Indonesia (2010).

  Tabel 2. Klasifikasi Kelas Tutupan Lahan Berdasarkan NDVI (Forest Watch Indonesia, 2010)

  Daerah Pembagian Nilai NDVI

  Awan es, awan air, salju <0 Batuan dan lahan kosong 0-0,1

  Padang rumput dan semak belukar 0,2-0,3 Hutan daerah hangat dan hutan hujan tropis 0,4-0,8

E. Cagar Alam Dolok Sibual-Buali

  Cagar Alam Dolok Sibual-buali (CADS) merupakan salah satu kawasan konservasi di Sumatera Utara yang kaya dengan keanekaragaman hayati berupa spesies tumbuhan dan satwaliar (Hasibuan, 2011). Kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali (CADS) merupakan Kawasan Suaka Alam. Menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Kawasan Suaka Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. Sedangkan Cagar Alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami.

  Menurut Kuswanda dan Sugiarti (2005) kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali dan hutan penyangganya merupakan habitat Orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson) sehingga kualitas dan luasan hutan primernya harus dilestarikan. Orangutan adalah satwa langka yang dalam Red List of Threatened

  

Species dikategorikan sebagai satwa yang kritis terancam punah secara global

  (critically endangered) yang sebagian besar populasinya hanya mampu hidup pada hutan primer. Adanya kawasan hutan yang terdegradasi di sekitar CADS akan semakin menyempitkan ruang jelajah Orangutan yang dapat mempercepat laju kepunahan lokal bagi Orangutan. Populasi Orangutan di dan sekitar CADS hanya tersisa sekitar 27 individu. Menurut informasi yang didapatkan dari bagian pengelola resort Cagar Alam Dolok Sibual-Buali pada tahun 2014, keberadaan pohon sarang Orangutan Sumatera (Pongo abelii) terdapat di desa Huraba, Bulu Mario, Aek Nabara, Sitandiang, Tanjung Rompa, Simaretung, Poken Arba, Sugi, Aek Sabaon, Sialaman dan Sibio-Bio.

  Penelitian Kuswanda dan Siregar (2010) tentang survei penutupan lahan, populasi dan komposisi vegetasi pada areal peruntukan koridor Orangutan untuk hutan Batang Toru blok barat tepatnya berada di wilayah Bulu Mario dan Batu Satail yang dapat menjadi koridor Orangutan di Kawasan CA. Dolok Sibual-buali dengan Kawasan Hutan Lainnya. Survei tutupan lahan dilakukan dengan cara tipe tutupan lahan dicatat pada setiap jarak 100 meter pada jalur pengamatan. Survei sebaran Orangutan dilakukan dengan mengamati secara langsung maupun tidak langsung berdasarkan penemuan sarang pada lokasi pengamatan. Metode pengumpulan data menggunakan metode line transect.

  Lokasi pengamatan dibagi dalam lima blok dan pada setiap blok pengamatan dibuat dua jalur dengan panjang masing-masing jalur sejauh1000- 1100 meter dan jarak antar jalur 400. Lebar jalur penelitian ditentukan berdasarkan nilai rata-rata jarak tegak lurus terhadap objek penelitian (individu orangutan dan/atau sarang). Survei vegetasi dilakukan dengan membuat plot analisis vegetasi menggunakan metode garis berpetak (strip transect method). Plot analisis vegetasi dibuat di setiap jalur pengamatan Orangutan. Jumlah plot analisis vegetasi pada setiap jalur pengamatan dibuat sebanyak 10-11 plot (luas setiap plot 400 m

  2

  ). Plot analisi vegetasi diletakkan secara acak sistematik dengan jarak antar plot sekitar 100 meter. Hasil pengamatan klasifikasi lahan pada setiap blok dan jalur penelitian dapat dilihat pada Tabel 2. Hasil pengamatan sarang pada lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.

  Tabel 3. Kondisi Dominan Penutupan Lahan Setiap Blok Survei

  Blok Jalur Penelitian Kode Koordinat Jalur Dominansi Penutupan Lahan Awal Akhir I (Kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali) 1 52 522 Hutan Primer 2 523 532 Hutan Primer II (Daerah Penyangga CADS) 3 151 170 Dominansi hutan sekunder dan sebagian kecil hutan primer 4 Dominansi hutan primer dan sebagian kecil hutan sekunder III (Lintasan jalan Bulu Mario ke Batu Satail / Lahan Masyarakat) 5 270 250 Dominansi kebun campur dan sebagian hutan sekunder 6 201 220 Dominansi hutan sekunder dan sebagian kebun campur dan sawah/kolam IV (Lahan Olahan Masyarakat) 7 370 352 Campuran hutan sekunder dan kebun campur 8 302 330 Dominansi hutan sekunder dan pertanian lahan kering (kebun kopi) V (Lahan Olahan Masyarakat) 9 470 450 Campuran pertanian lahan kering kebun kopi, kebun campur dan sedikit hutan primer 10 402 440 Hutan sekunder (Log Over Area/LOA)

  Sumber : Kuswanda dan Siregar (2010)

  Berdasarkan hasil pengamatan tipe tutupan lahan seperti pada Tabel 2 diperoleh informasi bahwa tipe penutupan lahan pada lokasi berpotensi sebagai koridor Orangutan cukup bervariasi. Kondisi lahan sebagian besar telah berubah menjadi areal hutan sekunder dan kebun campur. Keadaan ini tentunya telah memutus jalur jelajah bagi Orangutan. Orangutan yang berada di kawasan CA. Dolok Sibual-buali tentunya akan terisolasi dan sulit untuk berimigrasi (memperluas areal jelajah) pada kawasan hutan lainnya. Melihat kondisi lahan seperti ini, maka pembangunan koridor sangatlah penting.

  Tabel 4. Hasil Pengamatan Karakteristik Sarang di Lokasi Survei Jalur Jumlah

  Sarang Karakteristik Sarang

  Kelas Posisi Jarak (meter)

1 Kosong (tidak ditemukan sarang)

  1

  2

  Berdasarkan hasil pengamatan pada lokasi survei seperti Tabel 3 di atas ditemukan bahwa sebaran Orangutan (berdasarkan penemuan sarang) justru banyak ditemukan pada hutan sekunder dan kebun campur, seperti pada jalur 3 dan jalur 7. Pada jalur yang di buat di Kawasan CA. Dolok Sibual-buali tidak ditemukan satupun sarang Orangutan (jalur 1 dan jalur 2). Hasil ini menunjukkan

  10 Kosong (tidak ditemukan sarang) Total 15 5,73 Sumber : Kuswanda dan Siregar (2010)

  15

  3

  10 C

  1

  5 C

  10 9 3 C

  4 C 1 1 C 1 1 B 1 2 4 2 C

  3

  3 B 2 3 C 3 10 C 3 10 8 1 D

  2 Kosong (tidak ditemukan sarang) 3 4 C

  6 Kosong (tidak ditemukan sarang) 7 4 D

  3

  3

  5 B 2 4 5 1 C

  1

  2 bahwa sebaran Orangutan pada waktu survei banyak terdistribusi di daerah penyangga dan dekat dengan olahan masyarakat.

  Pada penelitian Kuswanda dan Siregar (2010) diketahui bahwa jumlah sarang yang ditemukan pada areal secara keseluruhan ditemukan sebanyak 15 sarang, yang didominasi pada kelas C dengan posisi sarang 1 dan 3. Penemuan sarang pada waktu survei secara umum termasuk pada kelas C mengindikasikan Orangutan pada waktu penelitian sudah berpindah tempat. Begitu pula, banyaknya sarang yang ditemukan pada posisi 1 dan 3 menunjukkan Orangutan cenderung memilih lokasi untuk penempatan sarang.

  Kawasan hutan Dolok Sibual-buali merupakan kawasan hutan lindung dan baru ditetapkan sebagai cagar alam berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 215/Kpts/Um/4/1982, tanggal 8 April 1982 dengan luas kurang lebih 5.000 Ha. Berdasarkan letak pada ketinggian di atas permukaan laut maka Cagar Alam Dolok Sibual-buali terletak pada ketinggian 750-1.819 m dpl. Kemiringan lahan sebagian besar adalah curam (21-55%). Jenis tanahnya berupa tanah aluvial yang berhumus sedang dengan warna tanah coklat tua kehitaman

  o o

  dengan pH antara 5-6,5. Suhu maksimum 29 C dan minimum 18 C dengan kelembaban antara 35-100% (Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam, 2011).

Dokumen yang terkait

Pendugaan Produktivitas Pohon Pakan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) pada Kawasan Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera (PPOS), Bukit Lawang

1 40 84

Pemetaan Daerah Rawan Konflik Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Menggunakan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus : Desa Aek Nabara, Batu Satail, Bulu Mario, dan Sitandiang)

8 69 76

Pemetaan Sebaran Vegetasi Pakan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali (Studi Kasus : Desa Bulu Mario, Aek Nabara dan Huraba)

5 74 99

Identifikasi dan Pemetaan Pohon Sarang Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali (Studi Kasus : Desa Bulu Mario, Aek Nabara dan Huraba)

4 89 78

Struktur dan Komposisi Pohon pada Habitat Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera (PPOS), Bukit Lawang

0 57 74

Pendugaan Produktivitas Pohon Pakan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) pada Kawasan Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera (PPOS), Bukit Lawang

0 0 34

Pendugaan Produktivitas Pohon Pakan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) pada Kawasan Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera (PPOS), Bukit Lawang

0 0 14

Pendugaan Produktivitas Pohon Pakan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) pada Kawasan Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera (PPOS), Bukit Lawang.

0 0 34

A. Cagar Alam - Pemetaan Daerah Rawan Konflik Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Menggunakan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus : Desa Aek Nabara, Batu Satail, Bulu Mario, dan Sitandiang)

0 0 13

Pemetaan Daerah Rawan Konflik Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Menggunakan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus : Desa Aek Nabara, Batu Satail, Bulu Mario, dan Sitandiang)

1 1 12