Struktur dan Komposisi Pohon pada Habitat Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera (PPOS), Bukit Lawang

(1)

STRU

DI P

UKTUR D

ORAN

PUSAT PE

PR

UN

DAN KOM

NGUTAN

ENGAMA

BU

JANDRI MA

ROGRAM

FAKU

NIVERSIT

MPOSISI

N SUMAT

ATAN OR

UKIT LA

SKRIP HAMONA 09120 ANAJEME

M STUDI

ULTAS PE

TAS SUM

MEDA

2013

I POHON

TERA (Po

RANGUT

AWANG

PSI ANGAN MU 01093 EN HUTAN

I KEHUT

ERTANIA

MATERA

AN

3

N PADA H

ongo abeli

TAN SUM

UNTHE N

TANAN

AN

UTARA

HABITA

lii)

MATERA

T

A,


(2)

ABSTRAK

JANDRI HAMONANGAN MUNTHE. Struktur dan Komposisi Pohon pada Habitat Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Pusat Pengamatan Orangutan

Sumatera (PPOS), Bukit Lawang. Dibawah bimbingan PINDI PATANA dan SITI LATIFAH.

Hutan merupakan komponen terpenting untuk mendukung kehidupan orangutan. Kerusakan hutan yang terjadi tentu akan mengakibatkan penurunan populasi orangutan. Oleh karena itu, pengelolaan habitat secara kuantitas dan kualitas melalui struktur dan komposisi pohon perlu dilakukan sebagai upaya pelestarian orangutan. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis vegetasi dengan kurva spesies area. Hasil penelitian diperoleh 52 jenis pohon yang berasal dari 29 famili dan terdiri atas 33 spesies pakan orangutan. Komposisi jenis dengan INP paling tinggi untuk semua trail pada tingkat semai adalah Eugenia sp. 37,377 %, tingkat pancang adalah Eugenia sp. 49.258%, tingkat tiang adalah Pithecellobium jiringa 38,376 % dan tingkat pohon adalah

Litsea sp. 57,383 %. Struktur horizontal didominasi oleh jenis pohon dalam kelas diameter 20-29 cm (52,143%). Struktur vertikal terbagi dalam tiga strata, yaitu Strata A, Strata B dan Strata C. Keanekaragaman jenis termasuk sedang (Shannon-Wiener). Tingkat pertumbuhan pohon merupakan kekayaan jenis yang paling tinggi (Margalef), pada tingkat tiang dan pohon menunjukkan spesies

tersebar merata (Ludwig dan Reynold), kesamaan antar dua komunitas (Indeks of Similarity) menunjukkan tingkat kesamaan komunitas tinggi

(Sorensen).


(3)

ABSTRACT

JANDRI HAMONANGAN MUNTHE. Structure and Composition of The Tress at Sumatran Orangutan’s Habitat (Pongo abelii) in Sumatra Orangutan Observation, Bukit Lawang. Under Academic Supervision of PINDI PATANA and SITI LATIFAH

Forests are the most important component to support orangutan life. Forest destruction will necessarily lead to a decline of orangutans. Therefore, management of habitat quantity and quality through the structure and composition of the tree needs to be done as an orangutan conservation efforts. The methodology which used in this research is the analysis of vegetation by species area curve. The result showed 52 species from 29 families and consists of 33 species orangutan. Composition of species with the highest INP for all trail for seedlings is Eugenia sp. 37.377 % , the rate of saplings is Eugenia sp. 49 258 % , the level of Pithecellobium jiringa pole is 38.376 % and the level of the tree is

Litsea sp. 57.383 %. Horizontal structure is dominated by tree species in the 20 - 29 cm diameter class (52.143 %). Vertical structure is divided into three

strata, namely Strata A, B and C. Diversity of species including moderate (Shannon - Wiener). Tree growth rate is the highest species richness (Margalef), in small trees and tree species showed diffused (Ludwig and Reynolds), the similarities between the two communities (Index of Similarity) showed high levels of community similarity ( Sorensen ) .


(4)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Aek Hotang pada tanggal 28 Februari 1991 dari ayah Elinton Munthe dan ibu Lisma Manurung. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Pendidikan formal penulis dimulai dari SD Free Methodist-2 Medan pada Tahun 1998-2003, kemudian dilanjutkan di SMP Free Methodist-2 Medan pada tahun 2003-2006, lalu dilanjutkan di SMA Negri 12 Medan pada tahin 2006-2009. Pada tahun 2009, penulis diterima di program studi kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara melalui jalur Ujian Masuk Bersama (UMB).

Selama mengikuti perkuliahan, penulis telah melaksanakan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PEH) pada tahun 2011 di Tahura dan Hutan Pendidikan Gunung Barus, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara. Kemudian pada tahun 2013, penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Perum Perhutani Banyuwangi Utara, Jawa Tengah selama satu bulan dimulai Februari sampai Maret 2013.

Selama menjadi mahasiswa di Universitas Sumatera Utara penulis mengikuti beberapa organisasi seperti HIMAS (Himpunan Mahasiswa Sylva), KORIM (Komunitas Rimbawan Menulis). Pada akhir kuliah, penulis melaksanakan penelitian dengan judul “Struktur dan Komposisi Pohon pada Habitat Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di PPOS Bukit Lawang” dibawah bimbingan Pindi Patana, S.Hut., M.Sc dan Siti Latifah,S.Hut., M.Si., Ph.D


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Struktur dan Komposisi Pohon pada Habitat Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera, Bukit Lawang” di Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Dalam skripsi ini mengemukakan upaya penulis dalam mengetahui, mempelajari, dan menganalisis struktur dan komposisi pohon pada habitat Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera, Bukit Lawang. Hasil dari skripsi ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan untuk mengetahui struktur dan komposisi pohon pada habitat orangutan di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera, Bukit Lawang dalam pengelolaan lebih lanjut.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada ketua komisi pembimbing Pindi Patana, S.Hut., M.Sc dan anggota Siti Latifah, S.Hut, M.Si., Ph.D yang telah membimbing penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua staf pengajar dan pegawai di Program Studi Kehutanan serta semua teman yang telah membantu dan membimbing penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Selanjutnya kepada pihak PPOS Bukit Lawang, TNGL yang telah membantu berjalannya penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan.


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

RIWAYAT HIDUP ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 4

Perumusan Masalah ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Kondisi Lokasi Penelitian ... 5

Taksonomi Orangutan Sumatera ... 7

Morfologi dan Anatomi Orangutan ... 8

Habitat ... 9

Tingkah laku ... 12

Pakan ... 13

Distribusi Orangutan ... 15

Daya dukung habitat ... 16

Tegakan dan Struktur tegakan ... 18

Kegunaan Struktur tegakan ... 19

Komposisi vegetasi ... 20

Analisis vegetasi... 21

Stratifikasi ... 22

Spatially Explicit Individual-Based Forest Simulator (SExI-FFS) ... 24

METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ... 26

Alat dan Bahan ... 26

Pengumpulan Data ... 27

Pengukuran stratifikasi ... 30


(7)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jenis pohon ... 35

Komposisi jenis Komposisi tingkat semai ... 39

Komposisi tingkat pancang ... 40

Komposisi tingkat tiang ... 42

Komposisi tingkat pohon ... 44

Struktur tegakan Struktur Horizontal tegakan ... 48

Struktur Vertikal tegakan ... 49

Keanekaragaman jenis Pohon pada Habitat Orangutan ... 55

Kekayaan jenis pohon pada habitat Orangutan ... 56

Kemerataan jenis Pohon pada Habitat Orangutan ... 57

Kesamaan jenis pohon pada habitat Orangutan ... 58

KESIMPULAN DAN SARAN ... 60

DAFTAR PUSTAKA ... 61


(8)

DAFTAR TABEL

No. Hlm

1. Ukuran sub-petak permudaan ... 28

2. Tally sheet analisis vegetasi tingkat semai dan pancang ... 28

3. Tally sheet analisis vegetasi tingkat tiang dan pohon ... 29

4. Tally sheet stratifikasi tajuk pohon ... 31

5. Jenis pohon ... 36

6. Komposisi jenis komunitas tingkat semai ... 39

7. Komposisi jenis komunitas tingkat pancang ... 41

8. Komposisi jenis komunitas tingkat tiang ... 43

9. Komposisi jenis komunitas tingkat pohon ... 45

10. Nilai keanekaragaman shannon-wiener ... 55

11. Kekayaan jenis pohon di habitat orangutan ... 56

12. Kemerataan jenis pohon di habitat orangutan ... 57

13. Kesamaan jenis pohon di habitat orangutan ... 58


(9)

DAFTAR GAMBAR

No. Hlm

1. Grafik struktur tegakan hutan tidak seumur ... 20

2. Peta lokasi penelitian di kawasan Bukit Lawang ... 26

3. Metode kombinasi jalur dan garis berpetak ... 28

4. Kurva luas petak contoh ... 30

5. Histogram jenis pohon berdasarkan famili ... 35

6. Sebaran diameter pohon ... 49

8. Penampakan vertical diagram profil pada trail utama ... 50

9. Penampakan horizontal diagram profil pada trail utama ... 50

10. Penampakan vertical diagram profil pada trail satu ... 51

11. Penampakan horizontal diagram profil pada trail satu ... 51

12. Penampakan vertical diagram profil pada trail sebelas ... 52

13. Penampakan horizontal diagram profil pada trail sebelas... 52


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Hlm

1. Peta lokasi penelitian ... 64

2. Foto orangutan yang terdapat di lokasi penelitian ... 65

3. Foto satwa lain yang terdapat di lokasi penelitian ... 66

4. Foto jejak satwa yang ditemukan di lokasi penelitian ... 67

5. Foto jenis pohon yang di temukan di lokasi penelitian ... 68

6. Analisis vegetasi pada masing-masing tingkatan ... 73

7. Indeks kesamaan ... 85

8. Diagram profil ... 86


(11)

ABSTRAK

JANDRI HAMONANGAN MUNTHE. Struktur dan Komposisi Pohon pada Habitat Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Pusat Pengamatan Orangutan

Sumatera (PPOS), Bukit Lawang. Dibawah bimbingan PINDI PATANA dan SITI LATIFAH.

Hutan merupakan komponen terpenting untuk mendukung kehidupan orangutan. Kerusakan hutan yang terjadi tentu akan mengakibatkan penurunan populasi orangutan. Oleh karena itu, pengelolaan habitat secara kuantitas dan kualitas melalui struktur dan komposisi pohon perlu dilakukan sebagai upaya pelestarian orangutan. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis vegetasi dengan kurva spesies area. Hasil penelitian diperoleh 52 jenis pohon yang berasal dari 29 famili dan terdiri atas 33 spesies pakan orangutan. Komposisi jenis dengan INP paling tinggi untuk semua trail pada tingkat semai adalah Eugenia sp. 37,377 %, tingkat pancang adalah Eugenia sp. 49.258%, tingkat tiang adalah Pithecellobium jiringa 38,376 % dan tingkat pohon adalah

Litsea sp. 57,383 %. Struktur horizontal didominasi oleh jenis pohon dalam kelas diameter 20-29 cm (52,143%). Struktur vertikal terbagi dalam tiga strata, yaitu Strata A, Strata B dan Strata C. Keanekaragaman jenis termasuk sedang (Shannon-Wiener). Tingkat pertumbuhan pohon merupakan kekayaan jenis yang paling tinggi (Margalef), pada tingkat tiang dan pohon menunjukkan spesies

tersebar merata (Ludwig dan Reynold), kesamaan antar dua komunitas (Indeks of Similarity) menunjukkan tingkat kesamaan komunitas tinggi

(Sorensen).


(12)

ABSTRACT

JANDRI HAMONANGAN MUNTHE. Structure and Composition of The Tress at Sumatran Orangutan’s Habitat (Pongo abelii) in Sumatra Orangutan Observation, Bukit Lawang. Under Academic Supervision of PINDI PATANA and SITI LATIFAH

Forests are the most important component to support orangutan life. Forest destruction will necessarily lead to a decline of orangutans. Therefore, management of habitat quantity and quality through the structure and composition of the tree needs to be done as an orangutan conservation efforts. The methodology which used in this research is the analysis of vegetation by species area curve. The result showed 52 species from 29 families and consists of 33 species orangutan. Composition of species with the highest INP for all trail for seedlings is Eugenia sp. 37.377 % , the rate of saplings is Eugenia sp. 49 258 % , the level of Pithecellobium jiringa pole is 38.376 % and the level of the tree is

Litsea sp. 57.383 %. Horizontal structure is dominated by tree species in the 20 - 29 cm diameter class (52.143 %). Vertical structure is divided into three

strata, namely Strata A, B and C. Diversity of species including moderate (Shannon - Wiener). Tree growth rate is the highest species richness (Margalef), in small trees and tree species showed diffused (Ludwig and Reynolds), the similarities between the two communities (Index of Similarity) showed high levels of community similarity ( Sorensen ) .


(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

lndonesia merupakan salah satu pusat keanekaragam hayati dunia. Indonesia memiliki indeks keanekaragaman hayati (Biodiversity index) yang cukup tinggi (Setiawan, 2001). Dibutuhkan upaya penanganan yang tepat dalam pengelolaan keanekaragaman hayati ini sehingga kelestariannya bisa tetap terjaga. Keanekaragaman hayati atau biodiversity merupakan ungkapan yang menjelaskan adanya berbagai macam variasi bentuk, penampilan, jumlah dan sifat yang terlihat pada berbagai tingkatan persekutuan makhluk, yaitu tingkatan ekosistem, tingkatan jenis dan tingkatan genetika. Pada dasarnya keragaman ekosistem di alam terbagi dalam beberapa tipe, yaitu ekosistem padang rumput, ekosistem hutan, ekosistem lahan basah dan ekosistem laut. Kanekaragaman tipe - tipe ekosistem tersebut pada umumnya dikenali dari ciri-ciri komunitasnya yang paling dominan dimana untuk ekosistem daratan digunakan ciri komunitas tumbuhan atau vegetasinya karena wujud vegetasi merupakan pencerminan fisiognomi atau penampakan luar interaksi antara tumbuhan, hewan dan lingkungannya.

Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan kawasan dengan tingkat biodivesitas yang tinggi. Ditetapkannya kawasan ini sebagai warisan dunia karena Leuser merupakan habitat sebagian besar fauna mulai dari mamalia, burung, reptile, ampibi, ikan, dan invertebrata. Kawasan TNGL juga memiliki daftar burung terpanjang didunia dengan 380 spesies dan 350 diantaranya merupakan spesies yang ada di TNGL. Leuser merupakan habitat bagi 36 dari 50


(14)

spesies burung egara. Hampir 65 % atau 129 spesies mamalia dari 205 spesies mamalia besar dan kecil di Sumatra tercatat ada di tempat ini. Ekosistem Leuser merupakan habitat orangutan sumatera (Pongo abelii), harimau sumatera

(Panthera tigris), badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), tapir (Tapirus indicus), gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus), owa

(Hylobathes lar), kedih (Presbytis thomasii). Selain sebagai habitat bagi berbagai fauna kunci, pada kawasan TNGL juga ditemukan lebih dari 4.000 spesies flora dan juga ditemukan tiga jenis dari 15 jenis tumbuhan parasit rafflessia di Leuser. Demikian pula, Leuser merupakan habitat dari banyak jenis tumbuhan obat (Balai Taman Nasional Gunung leuser, 2006).

Orangutan Sumatera (Pongo abelii) adalah salah satu jenis kera besar di dunia yang tempat hidupnya hanya di Indonesia, khususnya di Pulau Sumatera. Satwa ini sudah dikategorikan terancam punah dan dilindungi oleh perundangan nasional maupun konvensi global. Orangutan Sumatera telah didaftar dalam IUCN Red List of of Threatened Species (IUCN, 2004) sebagai satwa yang kritis terancam punah secara global (Critically Endangered). Di Pulau Sumatera dalam kurun waktu 25 tahun, populasinya menurun hingga 80 % dan saat ini populasinya diperkirakan tinggal 7500 individu. Menurut Galdikas (1984) dan Perbatakusuma et al., (2006) orangutan mempunyai nilai konservasi yang tinggi karena berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem dengan memencarkan biji - biji dari tumbuhan yang dikonsumsinya. Ketidakhadiran orangutan di hutan hujan tropis dapat mengakibatkan kepunahan suatu jenis tumbuhan yang penyebarannya tergantung oleh primata itu. Sebagai makhluk hidup yang sangat tergantung pada keberadaan hutan, orangutan dapat dianggap


(15)

sebagai wakil terbaik dari struktur keanekaragaman hayati hutan hujan tropis yang berkualitas tinggi.

Sumber pakan yang sangat dominan dikonsumsi oleh orangutan adalah yang berasal dari pohon. Pohon merupakan sumber pakan tertinggi yang dapat menghasilkan daun - daun, tunas muda, bunga, biji, epifit, liana, dan kulit kayu. Kelimpahan pohon pakan hingga saat ini belum dapat dipastikan dapat memenuhi kebutuhan aktivitas makan orangutan, terlebih lagi jika terdapat ancaman yang terjadi pada habitat orangutan tersebut (Galdikas, 1984).

Perlu dilakukan berbagai upaya untuk melindungi populasi orangutan sumatera (Pongo abelii) di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera (PPOS) Bukit Lawang, salah satunya dengan melakukan pengelolaan habitat satwa tersebut. Studi mengenai struktur dan komposisi pohon (tingkat pertumbuhan semai, pancang, tiang dan pohon) pada habitat orangutan diharapkan akan memberikan manfaat sebagai salah satu acuan data atau sumber informasi dalam upaya untuk mendukung upaya konservasi spesies tersebut.

Tujuan Penelitian

1. Menginventarisasi jenis pohon di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera. 2. Mengetahui komposisi pohon di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera. 3. Mengetahui struktur pohon di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera. 4. Menganalisis tingkat keanekaragaman jenis, kekayaan jenis, kemerataan


(16)

Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi mengenai struktur dan komposisi pohon yang menjadi habitat Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di PPOS.

2. Sebagai sumber informasi bagi pihak yang membutuhkan sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan dalam mengambil kebijakan terkait upaya konservasi.

Rumusan Masalah

1. Jumlah populasi Orangutan Sumatera (Pongo abelii) yang terus mengalami penurunan di Taman Nasional Gunung Leuser.

2. Profil struktur dan komposisi tegakan hutan pada habitat Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di PPOS merupakan komponen penting dalam mendukung kelestarian Orangutan Sumatra.


(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Kawasan konservasi merupakan kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Penetapan kawasan konservasi merupakan implementasi strategi konservasi ekosistem dan strategi konservasi in-situ yang diarahkan sebagai fungsi pokok perlindungan dan pelestarian alam. Taman Nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi. Adapun kawasan pelestarian alam didefinisikan sebagai kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan dan pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar (Departemen Kehutanan, 2007).

Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) adalah salah satu kawasan pelestarian alam di Indonesia seluas 1.094.692 Ha. Secara administrasi pemerintahan terletak di dua Provinsi Aceh dan Sumatera Utara. Provinsi Aceh yang terdeliniasi TNGL meliputi Kabupaten Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Singkil, Aceh Tenggara, Gayo Lues, Aceh Tamiang sedangkan Provinsi Sumatera Utara yang terdeliniasi TNGL meliputi Kabupaten Dairi, Karo dan Langkat. TNGL mengambil nama dari Gunung Leuser yang menjulang tinggi dengan ketinggian 3404 mdpl di Aceh yang meliputi ekosistem asli dari pantai sampai pegunungan tinggi yang ditutupi oleh hutan lebat khas hujan tropis.


(18)

TNGL memiliki 3 fungsi yaitu perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan, satwa beserta ekosistemnya dan

pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser, 2011).

Bukit Lawang merupakan salah satu bagian dari kawasan TNGL yang merupakan zona pemanfaatan untuk pariwisata dan penelitian Orangutan Sumatera (Pongo abelli). Ekosistemnya digunakan untuk kepentingan konservasi, penelitian, pendidikan, kebudayaan, ekowisata dan rekreasi. Bukit Lawang adalah resort dari wilayah III Bohorok yang terdiri dari empat resort, yaitu Resort Bukit Lawang, Bohorok, Marike dan Bekancan (YOSL-OIC, 2009).

Dari segi pengelolalaan hutannya, kawasan Bukit Lawang termasuk dalam kawasan kerja wilayah Langkat Selatan TNGL. Secara geografis kawasan ini terletak pada 3030 LU - 3045 LU dan 980 BT - 98015 BT. Batas sebelah utara dan timur berbatasan dengan sungai Bohorok sedangkan sisi lainya berbatasan dengan kawasan TNGL. Secara umum topografi kawasan hutan Bukit Lawang adalah datar, bergelombang dan berbukit. Kawasan ini ada pada ketinggian 100 – 700 mdpl dengan kemiringan mencapai 400 (Departemen Kehutanan, 1990).

Kawasan hutan di PPOS Bukit Lawang selain sebagai habitat Orangutan Sumatera (Pongo abelii), juga merupakan habitat dari beberapa satwa yang lainnya, diantaranya siamang (Hylobates sindactylus), kedih (Presbytis thomasii),

owa (Hylobater lar), kera ekor panjang (Macaca fascicularis), jelarang (Ratufa bicolor), beruang madu (Helarctos malayanus), babi hutan (Sus scrofa),


(19)

Taksonomi Orangutan Sumatera (Pongo abelii).

Orangutan adalah kera besar, oleh karena itu memiliki ciri - ciri khas dasar yang sama dengan saudara - saudara mereka dari Afrika. Pada saat ini, orangutan adalah kera besar satu - satunya yang masih ada di Asia, hanya dapat ditemukan di pedalaman hutan Kalimantan dan Sumatera. Nama lokal untuk sebutan orangutan berbeda - beda, orangutan jarang sekali disebut oleh penduduk di sekitar habitat alami orangutan. Di Sumatera, biasanya digunakan julukan “Mawas”, sedangkan

di Kalimantan, berbagai nama digunakan termasuk “Maias” atau “Kahiyu” (Van Schaik, 2006).

Menurut Jones et al., (2004) klassifikasi Orangutan Sumatera adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata Kelas : Mamalia Bangsa : Primata Anak bangsa : Anthropoidea Famili : Hominoidea Subfamili : Pongidae Genus : Pongo Spesies : Pongo abelii.

Morfologi dan Anatomi Orangutan

Orangutan Sumatera (Pongo abelii) memiliki penampilan rambut yang lebih terang jika dibandingkan dengan Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus),


(20)

warna rambut coklat kekuningan dan tebal (Supriatna dan Edy, 2000). Pada bagian wajah Orangutan Sumatera (Pongo abelii) terkadang memiliki

rambut putih, lebih lembut dan lemas apabila dibandingkan dengan rambut Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) yang kasar dan jarang -jarang (Galdikas, 1978). Anak orangutan yang baru lahir memiliki kulit wajah dan tubuh yang berwarna pucat dengan rambut coklat yang sangat muda dan setelah dewasa warnanya akan berubah sesuai dengan perkembangan umurnya. Ukuran tubuh orangutan jantan dua kali lebih besar daripada betina. Berat badan betina

Orangutan Sumatera (Pongo abelii) maupun Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) rata - rata 37 kg, sedangkan untuk berat badan jantan

Orangutan Sumatera (Pongo abelii) rata - rata 66 kg dan Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) rata - rata 73 kg (Galdikas, 1978).

Menurut Supriatna dan Edy (2000), pada jantan mempunyai kantung suara yang berfungsi mengeluarkan seruan panjang (longcall). Seruan panjang ialah suara orangutan yang dikeluarkan dan dapat terdengar dari jarak jauh yang berfungsi untuk merangsang perilaku seks pada betina dan memiliki peranan

penting dalam reproduksi. Untuk seruan panjang Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) terdengar hingga sejauh lebih dari 2 Km, terdengar memukau

dan menakutkan (Galdikas, 1978).

Habitat

Habitat merupakan keseluruhan resources (sumberdaya), baik biotik maupun fisik pada suatu area yang digunakan oleh suatu spesies satwaliar untuk


(21)

populasi atau individu (satwa atau tumbuhan) dengan sebuah kawasan fisik dan karakteristik biologi (Morrison, 2002).

Pemilihan habitat merupakan suatu hal yang sangat penting karena satwa liar dapat bergerak secara mudah untuk mendapatkan makanan, air, tempat

reproduksi atau menempati tempat baru yang lebih menguntungkan (Kuswanda, 2012). Berbagai hasil penelitian sebelumnya Galdikas (1978), Sinaga (1992), Van Schaik (1995) dalam Kuswanda (2012) menyebutkan bahwa ketersediaan pakan pada habitat tertentu sangat mempengaruhi sebaran dan populasi orangutan.

Orangutan hidup pada hutan tropis dataran rendah, rawa - rawa dan terkadang dapat ditemukan pada hutan perbukitan yang dapat mencapai ketinggian 1500 mdpl. Orangutan Sumatera (Pongo abelii) memiliki persebaran yang terbatas, hanya dapat dijumpai di Sumatera bagian utara sampai ke Aceh (Supriatna dan Edy, 2000). Orangutan hidup di dataran rendah dengan kepadatan populasi antara ketinggian 200 - 400 mdpl dan di daerah Sumatera orangutan terkadang dapat ditemukan di ketinggian lebih dari 1500 mdpl. Habitat yang optimal bagi orangutan paling sedikit mencakup dua tipe lahan utama yaitu tepi sungai dan dataran tinggi kering yang saling berdekatan (Meijaard et al., 2001).

Kurang dari 20.000 tahun yang lalu orangutan dapat dijumpai di seluruh Asia Tenggara, dari Pulau Jawa di ujung selatan sampai ujung utara, Pegunungan Himalaya dan Cina bagian selatan. Akan tetapi, saat ini jenis kera besar ini hanya ditemukan di Sumatera dan Kalimantan dimana 90 % berada di Indonesia. Penyebab utama terjadi penyempitan daerah sebaran adalah karena manusia dan orangutan menyukai tempat hidup yang sama terutama dataran alluvial di sekitar


(22)

daerah aliran sungai dan hutan rawa gambut. Pemanfaatan lahan tersebut untuk aktivitas sosial, ekonomi, dan budaya manusia umumnya berakibat fatal bagi kehidupan orangutan. Untuk mendukung kehidupan satwa liar diperlukan satu kesatuan kawasan yang dapat menjamin segala keperluan hidupnya baik dalam makanan, air, udara bersih, garam mineral, tempat berlindung, berkembang biak maupun tempat untuk mengasuh anak - anaknya. Kawasan tersebut terdiri dari komponen abiotik maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup yang disebut habitat (Alikodra, 2002).

Primata ini sangat peka terhadap perubahan kondisi hutan tropik yang menjadi habitatnya. Hutan tropik yang menjadi habitat orangutan harus mampu menyediakan beragam tumbuhan buah yang menjadi sumber pakan utamanya sehingga primata ini dapat bertahan hidup. Selain buah, orangutan juga memakan bagian lain dari tumbuhan seperti bunga, daun muda, kulit kayu, beberapa tumbuhan yang dihisap getahnya dan berbagai jenis serangga. Pembukaan kawasan hutan tropik sangat berpengaruh terhadap perkembangan populasi orangutan, di Kalimantan orangutan kehilangan lebih dari separuh habitatnya dari

areal hutan seluas 415.000 Km2 saat ini tersisa seluas 165.000 Km2 (39,76 %), sedangkan di Sumatera dari areal hutan seluas 89.000 Km2 saat ini

yang tersisa seluas 23.000 Km2 (25,84 %) (Supriatna dan Edy, 2000).

Ela (2001) dalam penelitiannya tentang penggunaan habitat hutan dataran tinggi, hutan dataran rendah dan hutan rawa oleh orangutan menyatakan bahwa orangutan lebih suka tinggal baik dalam mencari makan atau membuat sarang pada hutan dataran bawah, dimana diperoleh 26 jenis tumbuhan yang dimanfaatkan orangutan dalam hal aktifitas mencari makan. Jenis tumbuhan yang


(23)

mendominansi pada sebuah habitat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain faktor genetik dan lingkungan, persaingan antara tumbuhan yang ada, dalam hal ini berkaitan dengan iklim dan mineral yang diperlukan. Iklim dan mineral yang dibutuhkan akan mendukung pertumbuhan dan perkembangan suatu spesies sehingga spesies tersebut akan lebih unggul dan lebih banyak ditemukan di dalam suatu kawasan (May dan Mclean, 2007).

Degradasi hutan yang terjadi juga berdampak penting terhadap habitat dan populasi orangutan. Kerusakan hutan menyebabkan orangutan memilih tipe - tipe habitat tertentu untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan hal ini yang menjadi salah satu penyebab terjadinya gangguan antara orangutan dan manusia (Susilo, 1995).

Terjadinya gangguan satwa liar dengan manusia dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut:

1. Manusia merusak dan mengganggu habitat - habitat alam satwa liar. 2. Perburuan satwa secara liar.

3. Terpecahnya wilayah jelajah atau teritori satwa liar akibat gangguan ekosistem hutan.

4. Pengembangan wilayah budidaya yang letaknya berdekatan dengan habitat satwa liar.

5. Keterbatasan kawasan menyediakan kebutuhan yang sukup bagi satwa liar yang berhabitat didalam kawasan.


(24)

Menurut Kuswanda (2011), kriteria habitat yang sesuai dengan reintroduksi orangutan, yaitu:

1. Prioritas kawasan merupakan hutan negara.

2. Lokasi habitat merupakan habitat baru bagi orangutan. 3. Penutupan lahan masih berupa hutan primer.

Kualitas hutan sangat berpengaruh terhadap daya reproduksi orangutan (Population and Habitat Viability Assessment, 2004), selain itu juga akan mempercepat adaptasi dan meningkatkan daya reproduksi.

4. Luasan habitat yang cukup ideal.

Satu individu orangutan diperkirakan membutuhkan luasan 100 Ha atau 1 Km2. Pada habitat alaminya, orangutan dapat hidup dengan normal antara 5 – 6 individu dalam luasan 1 Km2, seperti di Ketambe, TNGL yang mencapai kepadatan 5,5 ekor/Km2 (Meijaard et al., 2001).

5. Kerapatan Vegetasi Tinggi

Kerapatan vegetasi pada habitat untuk reintroduksi diharapkan mencapai 400 -550 pohon/Ha. Indeks keanekaragaman jenis pada setiap tingkat pertumbuhan (semai, pancang, tiang dan pohon) berada pada selang 2,5 < H maks < sehingga masih tergolong stabil.

6. Persentase pohon sumber pakan orangutan

Habitat yang akan dipilih sebaiknya habitat yang paling sedikitnya 60 – 80 % jenis pohonnya teridentifikasi sebagai sumber pakan orangutan.

7. Sebaran pohon sarang yang cukup

Lokasi pelepasliaran orangutan sebaiknya telah teridentifikasi paling sedikit 30 – 40 % dari seluruh jumlah pohon dalam kawasan.


(25)

8. Menyediakan tumbuhan obat bagi orangutan

Habitat sebaiknya teridentifikasi paling sedikit 30 – 40 % dari jumlah tumbuhan sumber pakan yang berfungsi sebagai tanaman obat bagi orangutan.

Tingkah Laku

Orangutan adalah hewan diurnal yang aktif pada siang hari dan juga merupakan hewan arboreal yang biasanya menghabiskan waktunya di atas pohon (Platt dan Ghazanfar, 2010). Hal ini dibuktikan dengan aktivitas keseharian yang biasa dilakukannya yaitu berpindah dari atas pohon dan hanya sesekali berada di permukaan tanah (teresterial), beristirahat atau tidur dengan bersandar, duduk pada sebuah cabang, serta makan dan membuat sarang juga dilakukan di atas pohon (Galdikas, 1984). Hasil penelitian dari Rangkuti (2012) juga menyebutkan bahwa untuk aktivitas makan dilakukan lebih banyak dilakukan pada strata C, aktivitas bergerak, istirahat dilakukan pada strata B dan C serta untuk aktivitas membuat sarang dilakukan pada strata B.

Menurut Alikodra (1990), fungsi utama tingkah laku adalah untuk memungkinkan seekor satwa menyesuaikan diri terhadap beberapa perubahan keadaan baik dari luar maupun dari dalam. Tingkah laku ini berkembang sesuai dengan perkembangan dari proses belajar. Satwa liar mempunyai tingkah laku dan proses fisiologis untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Untuk mempertahankan hidupnya satwa liar melakukan kegiatan - kegiatan yang agresif, melakukan persaingan dan bekerja sama untuk mendapatkan makanan, perlindungan, pasangan untuk kawin dan reproduksi.


(26)

Pakan

Makanan merupakan salah satu komponen habitat yang sangat penting bagi satwa liar karena ketersediaan makanan berpengaruh terhadap perkembangbiakan dan kesejahteraan hidup satwa. Faktor makanan banyak dikategorikan sebagai faktor pembatas (limiting factor), hal ini dikarenakan makanan merupakan sumber daya yang sangat penting untuk memenuhi kebutuhan pokok setiap makhluk hidup untuk berkembang biak, meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit, sumber energi, memperbaiki bila terdapat salah satu organ tubuh yang rusak dan akan berpengaruh terhadap reproduksi. Ketersediaan makanan di suatu habitat baik dari segi jumlah maupun mutu yang cukup akan memberikan pengaruh positif terhadap perkembangan dan

pertumbuhan populasi satwa yang berada dalam habitat tersebut (Masy’ud et al.,2008)

Pada dasarnya orangutan adalah frugifora yaitu proporsi waktu untuk makan makanan jenis buah - buahan jauh melebihi untuk jenis makanan lainnya. Dari semua jenis makanan teramati yang dimakan orangutan, buah menempati proporsi tertinggi dengan rata - rata persentase 63,2 %, daun 26,2 %, kulit kayu 8,48 % dan lainnya 4,5 % (Krisdijantoro, 2007). Untuk tetap dapat bertahan hidup, orangutan menggantungkan hidupnya pada habitat dengan komposisi pepohonan dan liana yang menyediakan pakan pada musim produktif (buah) dan dapat berlangsung secara terus menerus sepanjang tahun serta tetap berada dalam jarak penjelajahannya (Meijaard et al., 2001).


(27)

Distribusi Orangutan

Pola penyebaran individu maupun kelompok satwa disebabkan oleh faktor - faktor seperti aktifitas mencari makan, persaingan, konflik antar individu atau kelompok lainnya untuk kelangsungan hidup satwa liar. Penggunaan kawasan sebagai sumber pakan bagi orangutan sangat ditentukan oleh pola berbunga atau berbuahnya suatu jenis pohon di hutan serta variasi kualitas sumber pakan (Saimin, 2001). Menurut Meijaard et al., (2001) pada hutan yang masih utuh tidak semua areal dimanfaatkan oleh orangutan, diperkirakan orangutan hanya menggunakan ruang antara 35 - 60 % dari luasan habitatnya.

Di daerah hutan hujan tropis pola berbunga atau berbuahnya suatu jenis pohon serta variasi kualitas sumber pakan mempunyai waktu yang sangat terbatas dan bersifat terpencar. Menurut Meijaard et al., (2001) menyebutkan bahwa sifat nomadis musiman pada sebagian besar anggota komunitas orangutan pada umumnya berdasarkan penyebaran makanan menurut ruang dan waktu serta variasi kualitas sumber pakan. Selain dari pola penyebaran buah (pakan), ketinggian suatu tempat juga mempengaruhi daerah jelajah orangutan. Hasil penelitian Marliansyah (2010) menyebutkan bahwa persentase orangutan mendatangi lokasi dengan ketinggian 200 – 299 mdpl sekitar 61,05%. Hal ini disebabkan karena daerah tersebut merupakan daerah jelajah orangutan untuk mencari makan, memiliki jenis pohon yang tinggi dan merupakan lokasi untuk pemberian makan orangutan (feeding area).


(28)

Daya Dukung Habitat

Habitat yang terbaik adalah habitat yang mampu mendukung beberapa orangutan sepanjang tahun, sedangkan habitat yang tidak baik adalah habitat yang hanya mampu mendukung satu ekor orangutan dalam beberapa minggu. Fakta tersebut mempunyai peranan penting dalam merancang suatu kawasan konservasi. Reintroduksi orangutan merupakan metode pelepasliaran orangutan ke wilayah hutan yang dulunya pernah didiami oleh orangutan. Metode reintroduksi ini dilakukan untuk melestarikan orangutan yaitu dengan melepasliarkan orangutan ke wilayah hutan yang tidak ada orangutan liarnya serta secara ekologi mampu mendukung kehidupan orangutan tersebut (tersedia cukup pohon pakan) (Susilo, 1995).

Daya dukung habitat adalah kemampuan suatu wilayah untuk dapat menampung sejumlah satwa liar. Pada kondisi wilayah yang memiliki jumlah satwa yang masih sedikit persaingan di antara individu sangat kecil. Faktor lain yang menentukan daya dukung habitat adalah faktor kesejahteraan yang ditinjau dari aspek kebutuhan dasar, aspek kualitas dan kuantitas habitatnya. Penurunan daya dukung habitat dapat menyebabkan pergerakan dari satwa liar, salah satu pergerakan tersebut adalah migrasi. Migrasi merupakan pola adaptasi perilaku yang dilakukan oleh beberapa jenis satwa liar yang tergantung pada keadaan dan kondisi penyebabnya. Migrasi pada umumnya dilakukan untuk memperoleh makanan dan perkembangbiakan sehingga terkadang satwa liar memasuki lahan masyarakat atau diluar kawasan yang menjadi habitatnya (Alikodra, 2002).

Orangutan telah dijadikan simbol pelestarian hutan Indonesia dan merupakan key species dalam melindungi keanekaragaman hayati. Populasi


(29)

orangutan secara umum banyak tersebar pada kawasan yang masih utuh terutama yang statusnya sebagai kawasan konservasi. Penurunan kualitas dan kuantitas habitat diduga menyebabkan perubahan perilaku pada Orangutan Sumatera (Pongo abelii). Orangutan Sumatera harus mampu beradaptasi pada habitat yang sempit dan kurang mencukupi kebutuhannya. Dalam proses adaptasi tersebut diperkirakan orangutan akan memilih tipe - tipe habitat ideal yang lebih menguntungkannya termasuk kawasan pertanian dan perkebunan milik warga (Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, 2007).

Habitat orangutan dengan variasi kerapatan pohon dari keragaman jenis dan potensi pohon yang tinggi sangat menentukan bagi pelestarian populasi orangutan. Orangutan dikenal sebagai satwa penyebar biji di alam dan pemelihara hutan. Dalam kaitannya sebagai satwa penyebar biji, orangutan membuang biji -biji dari buah yang dimakan yang kemudian tumbuh menjadi tumbuhan baru. Sebagai pemelihara hutan, orangutan dalam kaitan asosiasi dengan spesies lainnya menciptakan kestabilan ekosistem sehingga hutan tetap dapat memberikan manfaatnya sebagai sumber plasma nutfah. Regenerasi anakan pohon terutama jenis pohon-pohon intoleran yang telah ada sebelumnya pada ekosistem hutan pun dapat tumbuh baik dengan adanya kehadiran orangutan pada suatu habitat. Berdasarkan pentingnya peranan orangutan dalam ekosistem termasuk terhadap kesejahteraan masyarakat sekitar hutan, maka orangutan disebut sebagai salah satu spesies payung (umbrella species) yaitu spesies yang kelestariannya

berpengaruh terhadap kelestarian ekosistem dimana spesies tersebut ditemukan (Santosa dan Rahman, 2012).


(30)

Tegakan dan Struktur Tegakan

Salah satu pengertian yang dapat digunakan untuk menggambarkan tegakan dan struktur tegakan dalam bidang kehutanan yaitu menurut Suhendang (1985) yang menyebutkan jika dilihat berdasarkan kepentingan manajemen hutan, tegakan merupakan suatu hamparan lahan hutan secara geografis terpusat dan memiliki cirri - ciri kombinasi dari sifat-sifat vegetasi (komposisi jenis, pola pertumbuhan, kualitas pertumbuhan), sifat-sifat fisik (bentuk lapangan, kemiringan lapangan) yang relatif homogen dan memiliki luasan minimal tertentu.

Oliver dan Larson (1990) yang mengacu dalam Boreel (2009) mengemukakan bahwa struktur tegakan adalah penyebaran fisik dan temporal dari pohon-pohon dalam tegakan yang penyebarannya tersebut berdasarkan jenis, pola penyebaran vertikal atau horizontal, ukuran pohon termasuk volume tajuk, indeks luas daun, batang, penampang lintang batang dan umur pohon. Dijelaskan lebih lanjut bahwa struktur tegakan adalah distribusi jenis dan ukuran pohon dalam tegakan atau hutan yang menggambarkan komposisi jenis, distribusi diameter, distribusi tinggi dan kelas tajuk.

Kegunaan Struktur Tegakan

Menurut Suhendang (1985), pengetahuan tentang struktur tegakan hutan berguna untuk penentuan kerapatan pohon pada berbagai kelas diameter, penentuan luas bidang dasar tegakan dan penentuan biomassa tegakan. Untuk pertimbangan faktor ekonomi, struktur tegakan dapat menunjukkan potensi minimal yang harus tersedia, sedangkan untuk pertimbangan ekologis dari


(31)

struktur te tegakan y informasi tingkat per Po pohon, str berasal da Recknagel tegakan n jumlah po tegakan d

Allegheny menyataka grafik stru egakan akan yang bersan mengenai d rtumbuhan ola struktur ratifikasi ta ari pemanf l, Stevenso normal dari ohon dengan dari hutan t

y National

an bahawa uktur tegaka

n diperoleh ngkutan. S dinamika po

semai, panc hutan trop ajuk pohon faatan ruang on, dan Bar

hutan tidak n kelas diam idak seumu

Forest. Me umumnya annya berbe h gambaran Struktur teg opulasi suat cang, tiang pis paling dan tumbu ng oleh tan

rtoo (1961) k seumur m ameter. Gam

ur (Uneven

eyer et al. untuk tega entuk huruf

mengenai k gakan hutan tu jenis atau dan pohon

jelas deng uhan bawah naman dalam

) dalam W mempunyai mbar 1 mem

-aged fores

, (1961) d

akan norma ‘J’ terbalik.

kemampuan n juga dap u kelompok

(Istomo, 19 gan penamp

h. Struktur m hutan. M Wahyu (2002

rasio yang mperlihatkan

st) dengan

dalam Wahy al dari huta

.

n regeneras pat membe k jenis mula 994).

pakan arsit r yang terb

Menurut M 2) menyeb g konstan a

n grafik str luas 21,4 H hyu (2002)

an tidak seu i dari erikan ai dari tektur entuk Meyer, utkan antara ruktur Ha di yang umur,


(32)

Komposisi Vegetasi

Istilah komposisi digunakan untuk menjelaskan keberadaan jenis - jenis pohon dalam hutan. Penutup tumbuhan (plant cover) dalam sebuah kawasan yang terdiri dari beberapa komunitas tumbuhan yang membentuk suatu vegetasi. Vegetasi didefinisikan sebagai kumpulan tumbuh - tumbuhan terdiri dari beberapa jenis seperti herba, pohon dan perdu yang hidup bersama - sama pada suatu tempat, saling berinteraksi satu dengan yang lain termasuk dengan lingkungannya dan memberikan ciri fisiognomi (kenampakan luar) vegetasi (Krisnawati, 2003).

Penutupan vegetasi memperlihatkan bentuk - bentuk dan keanekaragaman yang berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Suatu vegetasi merupakan asosiasi nyata dari semua spesies tumbuhan yang menempati suatu habitat. Selain itu vegetasi juga terkait dengan jumlah individu dari setiap spesies organisme yang akan menyebabkan kelimpahan relatif suatu spesies sehingga mempengaruhi fungsi suatu komunitas, distribusi individu antar spesies dalam komunitas, bahkan dapat berpengaruh pada keseimbangan sistem dan akhirnya berpengaruh pada stabilitas komunitas hutan (Indriyanto, 2006).

Menurut Irwanto (2006), besaran indeks nilai penting menunjukkan kedudukan dominansi suatu jenis terhadap jenis lain dalam suatu komunitas. Adanya dominansi antar jenis di setiap fase dan setiap jenis akan saling mempertahankan diri untuk bisa tetap tumbuh dan berkembang, makin besar indeks nilai penting suatu jenis, maka peranannya dalam komunitas tersebut semakin penting.

Unsur struktur vegetasi adalah bentuk pertumbuhan, stratifikasi dan penutupan tajuk. Analisis vegetasi adalah suatu cara mempelajari susunan dan


(33)

komposisi vegetasi secara bentuk (struktur) vegetasi dari masyarakat tumbuh - tumbuhan. Untuk keperluan analisis vegetasi diperlukan data - data jenis, diameter dan tinggi untuk menentukan indeks nilai penting dari penvusun komunitas hutan tersebut. Dengan analisis vegetasi dapat diperoleh informasi kuantitatif tentang struktur dan komposisi suatu komunitas tumbuhan. Berdasarkan tujuan pendugaan kuantitatif komunitas vegetasi dikelompokkan ke dalam 3 kategori yaitu :

1. Pendugaan komposisi vegetasi dalam suatu areal dengan batas - batas jenis dan membandingkan dengan areal lain atau areal yang sama namun waktu pengamatan berbeda.

2. Menduga tentang keragaman jenis dalam suatu areal.

3. Melakukan korelasi antara perbedaan vegetasi dengan faktor lingkungan tertentu atau beberapa faktor lingkungan.

Stratifikasi

Stratifikasi adalah distribusi tumbuh - tumbuhan dalam ruangan vertikal. Semua spesies tumbuh - tumbuhan dalam komunitas tidak sama ukurannya serta

secara vertikal tidak menempati ruang yang sama (Indriyanto, 2006). Studi mengenai komposisi dan struktur hutan yang mempelajari profil

(stratifikasi) sangat penting artinya untuk mengetahui dimensi (bentuk) atau struktur vertikal dan horizontal suatu vegetasi dari hutan yang dipelajari dengan melihat bentuk profilnya akan dapat diketahui proses dari masing - masing pohon dan kemungkinan peranannya dalam komunitas tersebut serta dapat diperoleh informasi mengenai dinamika pohon dan kondisi ekologinya.


(34)

Pohon - pohon yang terdapat di dalam hutan hujan tropika berdasarkan arsitektur dan dimensi pohonnya digolongkan menjadi tiga kategori pohon, yaitu:

1. Pohon masa depan (trees of the future) yaitu pohon yang masih muda, mempunyai kemampuan untuk tumbuh dan berkembang di masa datang, pohon tersebut pada saat ini merupakan pohon kodominan.

2. Pohon masa kini (trees of the present) yaitu pohon yang saat ini sudah tumbuh dan berkembang secara penuh serta pohon paling dominan.

3. Pohon masa lampau (trees of the past) yaitu pohon - pohon yang sudah tua, mulai mengalami kerusakan dan akan mati.

(Onrizal dan Kusmana, 2008).

Stratifikasi tajuk dalam hutan hujan (Soerianegara dan Indrawan, 1988):

a. Stratum A: Lapisan teratas, terdiri dari pohon - pohon yang tinggi totalnya 30 m ke atas. Biasanya tajuknya saling tidak bersambung,

batang pohon tinggi dan lurus, batang bebas cabang (clear bole) tinggi. Jenis - jenis pohon dari stratum ini pada waktu mudanya (tingkat semai hingga pancang) perlu naungan sekedarnya, tetapi untuk pertumbuhan selanjutnya perlu cahaya yang cukup banyak.

b. Stratum B: Terdiri dari pohon - pohon yang tingginya 20 - 30 m, tajuknya saling bersambung, batang pohon biasanya banyak bercabang, batang bebas cabang tidak terlalu tinggi. Jenis - jenis pohon dari stratum ini kurang memerlukan cahaya atau tahan naungan.


(35)

c. Stratum C: Terdiri dari pohon - pohon yang tingginya 4 - 20 m, tajuknya saling bersambung. Pohon - pohon dalam stratum ini rendah, kecil dan banyak bercabang.

d. Stratum D: Lapisan perdu dan semak, tingginya 1 - 4 m

e. Stratum E: Lapisan tumbuh-tumbuhan penutup tanah (ground over) dan tingginya 0 - 1 m.

Diagram profil hutan menunjukkan situasi nyata posisi pepohonan dalam hutan, sehingga dapat langsung dilihat ada tidaknya strata hutan secara visual dan kualitatif. Dalam kasus tertentu, histogram kelas ketinggian atau biomassa dibuat sebagai pelengkap diagram profil hutan. Suatu stratum pohon dapat membentuk suatu kanopi yang kontinue atau diskontinue. Hal ini kemungkinan disebabkan adanya tajuk-tajuk yang saling bersentuhan secara lateral.

Spatially Explicit Individual-Based Forest Simulator (SExI-FS)

Simulator hutan SExI-FS berfokus pada interaksi pohon - pohon di agroforestri dengan sistem tanaman campuran. Tingginya tingkat kompleksitas struktural seperti sistem agroforestry tradisional menentang pendekatan kehutanan klasik untuk mengoptimalkan praktik manajemen. Untuk mengatasi kondisi ini, peneliti telah mengadopsi pendekatan manajemen pohon dengan pohon, yang lebih dekat dengan sistem berkebun daripada sistem model kehutanan tropis biasa. Pemeliharaan individu pohon dan tindakan perawatan dilakukan secara teratur saat setelah persemaian bibit, membersihkan dan penebangan selektif yang kemudian disesuaikan dengan intensitas panen (Hardja dan Gregoire, 2008).


(36)

Model ini menggunakan pendekatan orientasi objek di mana setiap pohon diwakili dengan sebuah contoh dari kelas generik pohon. Gambaran dari objek pohon - pohon yang terdapat dalam model ini meniru pohon nyata dan berinteraksi satu dengan yang lain. Modifikasi model ini dimediasi melalui dua sumber utama yaitu ruang dan cahaya yang menghasilkan sebuah representasi 3D dari plot - plot pada tegakan yang terdapat dikawasan hutan.

Software SExI-FS ini bermanfaat untuk penelitian - penelitian yang menggunakan data tegakan hutan atau vegetasi lainnya. Output yang bisa digambarkan melalui hasil pengolahan dengan menggunakan program ini berupa bentuk 3 dimensi tegakan pada semua bagian tegakan atas, bawah, kiri dan kanan. Tujuan utamanya adalah untuk mendapatkan sebuah representasi dinamis dari suatu sistem kompleks yang mengacu pada kumpulan dari interaksi lokal individu pohon yang memiliki karakteristik yang berbeda (Hardja dan Gregoire, 2008).


(37)

0 1 2 3 4 5 6 7

Styraceae Myrtaceae Lauraceae Myristicaceae Leguminoceae

Ebenaceae

Dipterocarpaceae

Verbenaceae Apocynaceae

Euphorbiaceae Bombacaceae Elaeocapaceae

Gu

tti

ferae

Hamamelidaceae

Sapindaceae Meliaceae Clusiaceae Rubiaceae

Anacardiaceae

Moraceae Fagaceae Dilleniaceae Annonaceae

Phyllanthaceae Podocarpaceae Pandanaceae Papilionaceae

Fabaceae

Malvaceae

Jum

lah jenis

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jenis Pohon

Hasil analisis vegetasi pada lokasi penelitian di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera (PPOS) diperoleh 52 jenis pohon untuk seluruh tingkat pertumbuhan (semai, pancang, tiang dan pohon) yang berasal dari 29 famili. Berdasarkan informasi dari pemandu lapangan di lokasi penelitian dan didukung

oleh data sekunder, dari 52 jenis pohon tersebut diperoleh 33 jenis pohon yang merupakan pohon pakan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) dan jenis yang

berasal dari famili Dipterocarpaceae merupakan yang lebih banyak dijumpai pada lokasi penelitian, dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Histogram jenis pohon berdasarkan famili di PPOS

Jenis pohon pakan maupun non pakan yang diperoleh dari hasil kegiatan analisis vegetasi di PPOS disajikan pada Tabel 5, sedangkan untuk foto untuk jenis yang diperoleh disajikan pada Lampiran 5.


(38)

Tabel 5. Jenis pohon pakan maupun non pakan yang terdapat pada lokasi penelitian di PPOS berdasarkan informasi pemandu lapangan dan data sekunder.

No Nama Jenis Nama ilmiah Famili

1. Kemenyan Styrax benzoin Styraceae

2. Jambu hutan * Eugenia sp. Myrtaceae

3. Tiga urat * Cinnamomum sp. Lauraceae

4. Pala Hutan * Knema sp Myristicaceae

5. Lenggeris * Milletia atropurpurea Leguminoceae 6. Kayu itam Diospiros celebica Ebenaceae

7. Meranti merah * Shorea pinanga Dipterocarpaceae 8. Halban* Paropsida vareciformis Verbenaceae

9. Bintaro Cerbera manghas Apocynaceae.

10. Jarak-jarak Ricinus sp. Euphorbiaceae

11. Medang * Litsea sp. Lauraceae

12. Meranti Kuning * Shorea balanocarpoides Dipterocarpaceae

13. Randu hutan Bombax sp. Bombacaceae

14. Keruing * Dipterocarpus haseltii Dipterocarpaceae 15. Ganitri Elaeocarpus sphaericusschum Elaeocarpaceae 16. Gerunggang Cratoxylon arborescens Bl Guttiferae 17. Petaling Ochanostachys sp. Hamamelidaceae

18. Kelat * Syzygium spp. Myrtaceae

19. Pakam gunung * Pometia pinnata Sapindaceae 20. Rambutan hutan * Nephelium mutabile Sapindaceae 21. Lansat hutan * Aglaia tomentosa Meliaceae 22. Kandis * Garcinea dioica Clusiaceae 23. Kandis Gajah * Garcinea gifthii Clusiaceae

24. Kopi-kopi Petungah spp Rubiaceae

25. Mangga hutan * Mangifira indica. Anacardiaceae 26. Bintangur Calophyllum inophyllum Guttiferae

27. Terep * Artocarpus sp. Moraceae

28. Tampu/mahang Macaranga sp. Euphorbiaceae 29. Damar laut * Shorea macroptera Dipterocarpaceae 30. Sentul Sandoricum koetjape Meliaceae

31. Malu tua * Tristanopsis whiteana Myrtaceae 32. Kayu arang * Diospiros malam Ebenaceae 33. Resak/vatica Vatica wallichii Dipterocarpaceae 34. Kecing bunga * Castanopsisi tengurut Fagaceae 35. Simpur Dillenia indica Dilleniaceae 36. Beringin * Ficus benjamina Moraceae 37. Mempisang * Mezzetia parviflora Annonaceae

38. Rambe hutan * Baccaurea brevipes Phyllanthaceae

39. Mindi Melia azedarch L. Meliaceae

40. Melur Podocarpus spp. Podocarpaceae

41. Rusip Baccaurea racemosa Euphorbiaceae 42. Pandan hutan * Pandanus sp. Pandanaceae

43. Cengal * Hopea sangal Dipterocarpaceae

44. Jamblang * Eugenia cumini Myrtaceae

45. Ketapang Terminaliaspp Euphorbiaceae

46. Kempas Koompassia exelsa Papilionaceae 47. Kecing batu * Quercus spiciata Fagaceae

48. Petai * Parkia speciosa Leguminoceae

49. Kana * Mangifera sp. Anacardiaceae

50. Redas/jering * Pithecellobium jiringa Fabaceae 51. Kelumpang * Sterculia foetida Malvaceae

52. Sibolangit * Anonace sp. Annonaceae

*Pakan Orangutan Sumber: Pemandu lapangan (Iskandar, 2013).


(39)

Jenis-jenis pohon pada semua tingkat pertumbuhan yang diperoleh dari hasil analisis vegetasi di lapangan yang disajikan pada Tabel 5 di atas, diketahui bahwa jumlah jenis pohon yang diperoleh pada lokasi penelitian didominasi oleh jenis pohon pakan orangutan. Hal ini berbanding lurus dengan tujuan penelitian untuk mengetahui struktur dan komposisi pohon pada habitat Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di PPOS Bukit Lawang dengan menempatkan titik - titik lokasi penelitian pada area yang memiliki jumlah pohon pakan orangutan yang melimpah sebagai salah satu kriteria yang menunjukan bahwa lokasi tersebut merupakan habitat dari orangutan. Kuswanda (2012) menyebutkan bahwa pemilihan habitat merupakan suatu hal yang sangat penting karena orangutan dapat bergerak secara mudah untuk mendapatkan makanan, air, tempat reproduksi atau menempati tempat baru yang lebih menguntungkan. Hal ini juga didukung

dengan berbagai penelitian yang dilakukan oleh Galdikas (1978), Sinaga (1992), Van schaik (1995) yang menyebutkan bahwa ketersediaan pakan pada habitat

tertentu sangat mempengaruhi sebaran dan populasi orangutan.

Persentase jenis pohon yang teridentifikasi sebagai pohon pakan pada lokasi penelitian mencapai 64,444 %, hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan pohon yang dapat dimanfaatkan orangutan sebagai sumber makanan pada wilayah PPOS tergolong baik. Kawasan PPOS mampu menjadi habitat yang baik untuk pelestarian orangutan karena sesuai dengan salah satu kriteria habitat untuk orangutan yang dinyatakan oleh Kuswanda (2011) bahwa habitat yang akan dipilih sebagai habitat orangutan sebaiknya habitat yang paling sedikitnya antara 60 – 80 % jenis pohonnya (diameter pohon > 10 cm) teridentifikasi sebagai sumber pakan orangutan.


(40)

Komposisi Jenis

Komposisi jenis menggambarkan variasi jenis tumbuhan yang ada dalam suatu komunitas dan dapat dijadikan sebagai ciri dari suatu komunitas. Indeks nilai penting (INP) dapat digunakan dalam menentukan jenis - jenis yang dominan dalam suatu komunitas hutan. Untuk indeks nilai penting pada masing-masing tingkatan disajikan dalam Tabel 6, 7, 8 dan 9.

a. Tingkat semai

Indeks nilai penting komunitas tingkat semai di PPOS dapat dilihat pada Tabel 6, sedangkan data hasil penghitungan INP disajikan pada Lampiran 6, 7, 8.

Tabel 6. Indeks nilai penting pada tingkat semai yang terdapat pada lokasi penelitian di PPOS Bukit Lawang.

No Jenis Pohon Trail Utama (%) Trail Sebelas (%) Trail Satu (%)

1. Nephelium mutabe 2,065 - -

2. Shorea balanocarposides 6,721 - -

3. Eugenia sp. 31,133 29,762 37,377*

4. Styrax benzoin 34,939 * 36,905* 34,650

5. Litsea sp. 7,247 13,333 16,246

6. Cinnamomum sp. 11,376 7,857 7,004

7. Shorea pinanga 28,057 28,095 25,448

8. Aglaia tomentosa 2,065 -

-9. Ricinus communis 8,300 12,619 14,163

10. Pithecellobium jiringa 26,154 20,476 9,202

11. Garcinea dioica 5,708 10,714 35,445

12. Garcinea giffthii 3,117 - -

13. Terminalia cattapa 2,065 - -

14. Petugah spp. 6,194 2,381 -

15. Mangifera sp. 5,708 - -

16. Artocarpus elastica 2,065 - 10,566

17. Diospiros malam 2,065 - -

18. E.sphaericusshum 5,182 2,381 -

19. Shorea macroptera 5,182 - -

20. Baccaurea brevipes 2,065 3,095 -

21. Knema sp. 2,591 4,762 2,802

22. Quercus spiciata - 2,381 -

23. Macaranga sp. - 2,381 -

24. Pometia pinnata - 10,238 2,802

25. Diospiros celebica - 2,381 -

26. Dillenia grandifolia - 2,381

-27. Ficus benjamina - 2,381 -

28. Sterculia foetida - 2,381 -

29. Cerbera manghas - 3,095 -

30. Tristanopsis whiteana - - 4,241


(41)

Hasil identifikasi jenis pohon pada tingkat semai diketahui jumlah jenis

yang ditemukan pada lokasi penelitian sebagai habitat Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di PPOS tercatat 30 jenis. Hasil penelitian yang disajikan pada

Tabel 6, dapat dilihat bahwa jenis yang mendominasi untuk tingkat semai pada lokasi Trail Utama adalah jenis kemenyan (Styrax benzoin) dengan INP sebesar

34,939 % sedangkan jenis yang sedikit ditemukan adalah rambutan hutan (Nephelium mutabile), lansat hutan (Aglaia tomentosa), ketapang (Terminalia

cattapa), kayu arang (Diospiros malam), dan rambe hutan (Baccaurea brevipes) dengan masing-masing INP sebesar 2,065 %. Pada lokasi Trail Sebelas jenis yang mendominasi adalah kemenyan (Styrax benzoin) dengan INP sebesar 36,905 %, sedangkan jenis yang sedikit dijumpai adalah jenis kopi-kopi (Petugah spp.), kecing batu (Quercus spiciata), tampu atau mahang (Macaranga sp.), simpur

(Dillenia grandifolia), beringin (Ficus benjamina) dan kelumpang (Sterculia foetida) dengan INP sebesar 2,381 %. Pada lokasi Trail Satu jenis yang

mendominasi adalah jenis jambu hutan (Eugenia sp.) dengan INP terbesar yakni 37,377 % sedangkan jenis yang sedikit jumlahnya adalah jenis pala hutan (Knema sp.), pakam gunung (Pometia pinnata) masing - masing 2,802 %.

Hasil penelitian pada Trail Satu menunjukkan bahwa jambu hutan (Eugenia sp.) memiliki INP yang tertinggi, hal ini dapat disebabkan karena jambu hutan merupakan salah satu jenis pakan yang paling disukai orangutan di PPOS Bukit Lawang dan jumlah jambu hutan pada tingkat semai yang tinggi dapat dikaitkan dengan perilaku orangutan yang suka membuang biji-bijian dari buah yang dimakan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Santosa dan Rahman (2012) yang menyebutkan bahwa orangutan merupakan salah satu spesies payung yang


(42)

kelestariannya berpengaruh terhadap kelestarian ekosistem dimana spesies tersebut ditemukan dan menyebarkan biji - biji dari sisa makanan yang dikonsumsinya.

b. Tingkat pancang

Indeks nilai penting komunitas tingkat pancang pada habitat Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di PPOS, Bukit Lawang dapat dilihat pada Tabel 7, sedangkan data hasil penghitungan INP disajikan pada Lampiran 9, 10 dan 11.

Tabel 7.Indeks nilai penting pada tingkat pancang yang terdapat pada lokasi penelitian di PPOS Bukit Lawang.

No Jenis Pohon Trail Utama (%) Trail Sebelas (%) Trail Satu (%)

1. Shorea pinanga 33,804 * 26,152* 25,649

2. Eugenia sp. 30,987 16,281 49,258 *

3. E. sphaericusshum 7,043 11,932 15,213

4. Shorea balanocarposides 9,155 6,300 5,334

5. Syzygium sp. 2,113 - -

6. Petugah spp. 2,113 6,914 4,314

7. Knema sp. 8,451 8,809 11,920

8. Pometia pinnata 7,043 12,545 3,293

9. Nephelium mutabile 2,113 4,405 -

10. Calophyllum inophyllum L. 7,747 - -

11. Milletia atropurpurea 14,085 - 4,314

12. Paropsida vareciformis 11,972 1,896 5,334

13. Garcinea dioica 5,634 24,367 10,668

14. Sterculia foetida 4,226 10,036 -

15. Ricinus communis 8,451 23.753 19,527

16. Diospyros celebica 4,930 - -

17. Artocarpus elastic 3,521 - -

18. Cratoxylon arborescens Bl 3,521 - -

19. Styrax benzoin 2,113 - 4,314

20. Dipterocarpus haseltii 2,113 3,123 7,375

21. Litsea sp. 8,451 4,405 6,586

22. Quercus spiciata 6,338 - -

23. Ochanostachys sp. 2,113 4,405 -

24. Pithecellobium jiringa 2,817 5,018 10,436

25. Mezzetia parviflora 2,113 - -

26. Vatica wallichii 2,817 - -

27. Shorea maroptera 4,225 - -

28. Mangifera indica. - - 3,293

29. Cinnamomum sp. - 9,478 6,586

30. Baccaurea brevipes - - 6,586

31. Mangifera sp. - 2.509 -

32. Diospiros malam - 5,687 -

33. Podocarpus spp. - 1.896 -

34. Sandoricum koetjape - 1,896 -

35. Macaranga sp. - 6,300


(43)

Hasil identifikasi jenis pohon tingkat pancang pada Tabel 7 di atas,

diketahui jumlah jenis yang ditemukan di habitat Orangutan Sumatera (Pongo abelii) tercatat 35 jenis. Jenis yang mendominasi tingkat pancang pada

lokasi Trail Utama adalah jenis meranti merah (Shorea pinanga) dengan INP sebesar 33,804 %, sedangkan jenis yang sedikit ditemukan adalah kopi-kopi (Petugah spp.), kelat (Syzygium sp.), rambutan hutan (Nephelium mutabile),

gerunggang (Cratoxylon arborescens Bl), kemenyan (Styrax benzoin), keruing

(Dipterocarpus haseltii), petaling (Ochanostachys sp.), dan mempisang (Mezzetia parviflora) dengan masing-masing INP sebesar 2,113 %. Pada lokasi

Trail Sebelas jenis yang mendominasi adalah jenis meranti merah (Shorea pinanga) dengan INP sebesar 26,152 %, sedangkan jenis yang sedikit

dijumpai adalah jenis halban (Paropsida vareciformis), melur (Podocarpus spp.) dan sentul (Sandoricum koetjape) dengan INP masing-masing sebesar 1,896 %. Pada lokasi Trail Satu, jenis yang banyak dijumpai adalah jenis jambu hutan (Eugenia sp.) dengan INP terbesar yakni 49,258 % sedangkan jenis yang sedikit jumlahnya adalah jenis pakam gunung (Pometia pinnata), mangga hutan

(Mangifera sp.) dengan INP 3,293 %.

Hasil pemaparan di atas dapat diketahui bahwa pada tiga lokasi tersebut meranti merah (Shorea pinanga) dan jambu hutan (Eugenia sp.) merupakan pohon penting untuk kelestarian orangutan. Hal ini berbanding lurus dengan kebutuhan orangutan dalam habitatnya karena meranti merah (Shorea pinanga) merupakan pohon penting yang dimanfaatkan orangutan sebagai sumber makanan, sarang dan jambu hutan (Eugenia sp.) juga dimanfaatkan sebagai sumber makanan. Hal ini membuktikan bahwa ketersediaan akan pohon penting untuk kelestarian


(44)

Orangutan Sumatera (Pongo abelii) yang terdapat di PPOS Bukit Lawang untuk kedepannya akan tetap terpenuhi.

c. Tingkat tiang

Indeks nilai penting komunitas tingkat tiang pada habitat Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera, Bukit lawang dapat dilihat pada Tabel 8, sedangkan data hasil penghitungan INP disajikan pada Lampiran 12, 13 dan 14.

Tabel 8. Indeks nilai penting pada tingkat tiang yang terdapat pada lokasi penelitian di PPOS Bukit Lawang.

No Jenis Pohon Trail Utama (%) Trail Sebelas (%) Trail Satu (%)

1. Shorea balanocarposides 22,618 8,904 -

2. Pometia pinnata 12,770 11,395 13,592

3. Cerbera manghas 4,998 - -

4. Hopea sangal 17,279 - -

5. E. sphaericusshum 4,055 - -

6. Cratoxylon arborescens Bl. 4,218 - -

7. Eugenia sp. 29,324 11,831 29,854

8. Ricinus communis 4,998 10,552 17,562

9. Mangifera indica. 4,582 12,049 -

10. Garcinea dioica 11,426 32,611 4,205

11. Quercus spiciata 38,340* 18,221 27,099

12. Dipterocarpus haseltii 20,576 5,879 15,583

13. Milletia atropurpurea 9,443 8,731 9,431

14. Litsea sp. 14,636 36,652 * 14,569

15. Shorea pinanga 36,617 - 29,765

16. Knema sp. 9,618 15,242 -

17. Ochanostachys sp. 18,989 25,014 18,388

18. Nephelium mutabile 4,783 - -

19. Pithecellobium jiringa 13,917 13,966 38,376 *

20. Sterculia foetida 4,214 22,736 20,424

21. Macaranga sp. 4,783 10,836 -

22. Cinnamomum sp. 7,811 11,713 5,342

23. Diospiros celebica - 24,064 20,712

24. Mezzetia parviflora - 7,113 -

25. Syzygium sp. - 5,371 -

26. Bacaurea racemosa - 7,113 -

27. Styrax benzoin - - 8,272

28. Paropsida vareciformis - - 4,205

29. Bombac sp. - - 10,955

30. Mangifera sp. - - 4,708

31. Melia azedarach L. - - 6,952


(45)

Hasil identifikasi jenis pohon tingkat tiang diketahui jumlah jenis yang ditemukan pada habitat Orangutan Sumatera (Pongo abelii) tercatat 31 jenis. Jenis yang mendominasi tingkat tiang pada lokasi Trail Utama adalah jenis kecing batu (Quercus spiciata) dengan INP sebesar 38,340 %, sedangkan jenis yang

sedikit ditemukan adalah ganitri (E. sphaericusshum) dengan INP sebesar 4,055 %. Pada lokasi Trail Sebelas, jenis yang mendominasi adalah jenis medang

(Litsea sp.) dengan INP sebesar 36,652 %, sedangkan jenis yang sedikit dijumpai adalah jenis kelat (Syzygium spp.) sebesar 5,371 %. Pada lokasi Trail Satu, jenis yang banyak dijumpai adalah jenis redas (Pithecellobium jiringa) dengan INP yakni 38,376 %, sedangkan jenis yang sedikit ditemukan adalah jenis kandis (Garcinea dioica)dan halban (Paropsida vareciformis) dengan INP 4,205 %.

Komposisi tumbuhan pada tingkat tiang memperlihatkan bahwa kecing batu (Quercus spiciata) dominan pada Trail Utama dengan INP sebesar 38,340 %, medang (Litsea sp.) dominan pada Trail Sebelas dengan INP sebesar 36,652 % dan redas (Pithecellobium jiringa) dominan pada Trail Satu dengan INP yakni 38,376 %. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa ketiga jenis tersebut memiliki tingkat kelimpahan yang tinggi pada lokasi penelitian, hal ini berbanding lurus dan sesuai dengan kebutuhan orangutan karena merupakan jenis yang penting bagi orangutan karena digunakan sebagai sumber makanan dan pohon sarang.

d. Tingkat pohon

Indeks nilai penting komunitas tingkat pohon pada habitat Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera, Bukit lawang


(46)

dapat dilihat pada Tabel 9, sedangkan data hasil penghitungan INP disajikan pada Lampiran 15, 16 dan 17.

Tabel 9.Indeks nilai penting pada tingkat pohon yang terdapat pada lokasi penelitian di PPOS Bukit Lawang.

No Jenis Pohon Trail Utama (%) Trail Sebelas (%) Trail Satu (%)

1. Shorea pinanga 9,004 18,970 13,359

2. Sandoricum koetjape 8,834 5,241 -

3. Shorea balanocarposides 7,664 4,476 -

4. Garcinea dioica 8,541 - 3,462

5. Litsea sp. 31,138 - -

6. Dipterocarpus haseltii 22,703 10,996 23,632

7. Styrax benzoin 22,510 7,473 12,001

8. Quercus spiciata 36,515 26,780 20,148

9. Tristanopsis whiteana 7,169 - -

10. Milletia atropurpurea 2,797 2,346 10,550

11. Macaranga sp. 8,150 2,992 -

12. Koompassia exelsa 6,883 - -

13. Eugenia sp. 13,294 - 31,772

14. Parkia sp. 5,716 - -

15. Shorea maroptera 45,014 * - -

16. Pithecellobium jiringa 9,716 4,435 10,928

17. Ochanostachys sp. 6,685 10,819 14,572

18. Syzygium spp. 12,144 9,319 10,984

19. Diospiros malam 3,656 5,037 -

20. Castanopsisi tengurut 8,729 9,902 16,589

21. Vatica wallichi 2,797 - -

22. Cerbera manghas 2,744 10,966 3,693

23. E.sphaericusschum 2,986 - 3,462

24. Pometia pinnata 2,825 8,586 3,693

25. Garcinea giffthii - 4,380 -

26. Sterculia foetida - 14,464 9,929

27. Mangifera indica. 11,784 30,484 3,308

28. Litsea sp. - 39,411* 57,383 *

29. Calophyllum inophyllum L. - 6,617 -

30. Garcinea dioica - 16,940 -

31. Annonace sp. - 2,.471 -

32. Mangifera sp. - 4,313 -

33. Melia azedarach L. - 5,194 -

34. Cratoxylon arborescens Bl - 2,689 -

35. Ricinus sp. - 4,335 -

36. Mezzetia parviflora - 6,118 3,693

37. Baccaurea brevipes - 3,383 -

38. Shorea macroptera - 8,236 20,661

39. Knema sp. - - 7,530

40. Bombax sp. - - 3,274

41. Paropsida vareiformis - - 3,505

42. Eugenia cumini - - 3,693

43. Ficus benjamina - - 8,186


(47)

Hasil identifikasi jenis pohon jumlah yang ditemukan di di habitat Orangutan Sumatera (Pongo abelii) tercatat 43 jenis. Jenis yang mendominasi pada lokasi Trail Utama adalah jenis damar laut (Shorea maroptera) dengan INP sebesar 45,014 %, sedangkan jenis yang jarang ditemukan adalah Bintaro (Cerbera manghas) dengan INP 2,744 %. Jenis yang mendominasi pada lokasi Trail Sebelas adalah jenis medang (Litsea sp.) dengan INP sebesar 39,411 %, dan mangga hutan (Mangifera indica) dengan INP sebesar 30,484 %, sedangkan jenis yang jarang dijumpai adalah jenis lenggeris (Milletia atropurpurea) dengan INP 2,346 %. Pada lokasi Trail Satu, jenis yang mendominasi adalah jenis medang (Litsea sp.) dengan INP terbesar yakni 57,383 % sedangkan jenis yang sedikit jumlahnya adalah jenis mangga hutan (Mangifera indica) dengan INP 3,308 %.

Dapat disimpulkan berdasarkan INP dari masing - masing tingkatan pohon, menunjukkan jenis yang memiliki INP yang paling tinggi adalah jenis pohon yang menjadi pakan orangutan maupun yang digunakan sebagai pohon sarang. Damar laut (Shorea maroptera) dan medang (Litsea sp.)merupakan jenis pohon penting, karena selain digunakan sebagai sumber makanan, orangutan juga menggunakannya sebagai pohon sarang karena memiliki struktur yang kuat untuk menahan beban orangutan. Sebagai informasi tambahan, pada daerah penelitian juga ditemukan keanekaragaman jenis tumbuhan lainnya seperti pisang akar, pakis, rambutan ayam, bunga jarum, perdu, rotan, putar balik, dan akar pelas. Sebagian besar merupakan jenis liana yang juga merupakan pakan dari Orangutan Sumatera (Pongo abelii) yang terdapat di PPOS Bukit Lawang. Liana dimanfaatkan oleh orangutan untuk bergantungan, membuat sarang dan tempat


(48)

Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Galdikas (1984) yang menyatakan bahwa daerah inti hutan yang banyak ditumbuhi liana, juga menjadi tempat tinggal orangutan karena orangutan biasa membuat sarang di pohon besar yang dirambati liana.

Orangutan yang terdapat pada kawasan Bukit Lawang merupakan satwa semiliar, dalam memenuhi kebutuhan makanan selain berasal dari pakan yang diberikan oleh petugas TNGL dan wisatawan biasanya dilakukan dilakukan di

feeding area, orangutan juga mendapatkan makanan dari alam dengan mencari makan sendiri, yaitu tumbuhan (daun, bunga, kulit kayu) dan serangga yang terdapat pada habitatnya untuk tetap mempertahankan hidupnya dan akan mempengaruhi pola penyebarannya. Hal ini sesuai Alikodra (2002) yang menyatakan dalam mempertahankan hidupnya satwa liar memiliki suatu pola penyebaran satwa yang merupakan strategi dari individu atau kelompok suatu organisme dan Saimin (2001) yang menyatakan bahwa pola penyebaran individu maupun kelompok satwa disebabkan oleh faktor - faktor seperti aktifitas mencari makan, persaingan, konflik antar individu atau kelompok lainnya untuk kelangsungan hidup satwa liar.

Hasil analisis vegetasi yang dilakukan pada lokasi penelitian di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera diperoleh juga beberapa jenis pohon pakan. Keberadaan pohon pakan dalam suatu habitat satwa liar sangat mempengaruhi pola penyebaran dan perilaku dari satwa tersebut, selain itu kondisi pohon pakan yang sedang berbuah ataupun tidak juga akan memberi dampak bagi satwa liar tersebut. Buah yang berasal dari pohon pakan merupakan makanan utama yang disukai orangutan, saat penelitian ini dilakukan kondisi beberapa pohon pakan


(49)

tidak sedang berbuah, sehingga sulit untuk menemukan buah – buahan. Kulit kayu redas yang terkelupas bekas gigitan orangutan yang ditemukan di lokasi penelitian menunjukkan bahwa selain buah orangutan juga mengkonsumsi kulit kayu dan kambium dapat dilihat pada Lampiran 4b. Hal ini sesuai dengan sesuai dengan Krisdijantoro (2007) yang menyatakan bahwa dari semua jenis makanan yang dimakan orangutan, buah menempati proporsi tertinggi (63,2 %). Hal ini disebabkan buah kaya akan kandungan air, karbohidrat dan energi serta rendah protein, sehingga orangutan memilih buah sebagai makanan utama. Sebaliknya, orangutan memilih biji, bunga, daun muda, kambium dan batang muda sebagai makanan alternatif yang lebih sedikit dimakan dengan proporsi yang lebih rendah dari buah.

Struktur Tegakan

Struktur pada suatu tegakan dalam kawasan hutan dapat dilihat dari dua arah, yaitu struktur tegakan horizontal dan vertikal. Struktur tegakan horizontal untuk menggambarkan sebaran jenis pohon dengan dimensinya, yaitu diameter pohon yang terdapat dalam kawasan hutan, sedangkan truktur tegakan vertikal

menggambarkan sebaran jumlah pohon dalam berbagai lapisan tajuk (stratifikasi tajuk).

Struktur tegakan horizontal

Hubungan antara kerapatan pohon dan kelas diameter tersebut akan memperlihatkan struktur horizontal suatu tegakan (penyebaran jumlah individu pohon dalam kelas diameter berbeda). Hasil pengamatan struktur tegakan pada lokasi penelitian yang dicirikan oleh sebaran jumlah pohon berdasarkan kelas


(50)

146

70

30

17

8 6 3

0 20 40 60 80 100 120 140 160

20-29 30-39 40-49 50-59 60-69 70-79 80-90

Juml

ah Pohon

(N)

Sebaran Kelas Diameter Pohon

Diameter (cm)

diameter pada habitat Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera (PPOS) yang diamati disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Sebaran diameter pohon di PPOS

Sebaran diameter pohon yang sangat bervariasi menunjukkan bahwa komposisi vegetasi yang terdapat di TNGL terdiri dari perpaduan seluruh kelas diameter vegetasi dan didominasi oleh pohon berdiameter kecil yang dapat menjamin sampai regenerasi tegakan di masa mendatang. Sebaran diameter yang menunjukkan struktur horizontal suatu tegakan pada lokasi penelitian seperti tampak pada Gambar 5, struktur tegakan berbentuk huruf ‘J’ terbalik. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Meyer et al., (1961) dalam Wahyu (2002) yang menyatakan bahwa umumnya untuk tegakan normal dari hutan tidak seumur, grafik struktur tegakannya berbentuk huruf ‘J’ terbalik.

Struktur vertikal tegakan (stratifikasi tajuk)

Stratifikasi atau pelapisan tajuk merupakan susunan tumbuhan secara vertikal didalam suatu komunitas tumbuhan atau ekosistem hutan. Stratifikasi pohon dapat diperoleh melalui pengukuran tinggi pohon di lapangan. Berdasarkan hasil penelitian di tiga lokasi diperoleh bahwa pohon memiliki lapisan atau


(51)

profil huta membuat pengukura Be dengan m sedangkan

an hujan tro profil dia an tinggi po erikut meru

enggunakan n data yang

Gambar

Gambar 7

opis di Boda agram poho ohon, tinggi upakan has n software S

digunakan

6. Penampaka

7. Penampakan

as, Brunei D on - pohon tajuk, lebar sil stratifik

SEXI-FS ya disajikan pa

an vertikal dia

n horizontal d

Darussalam n, perlu d r tajuk dan d

asi tajuk ( ang dapat d ada Lampir

agram profil p

diagram profil

menyebutk dicatat jeni

diameter po (struktur v dilihat pada

an 19.

pada Trail Utam

pada Trail Ut

kan bahwa u snya, dilak ohon. vertikal teg Gambar 6 ama tama Cerbera m untuk kukan akan) – 11, manghas


(52)

Gam

Gambar 9

Gamba

mbar 8. Penam

9. Penampaka

ar 10. Penamp

mpakan vertika

an horizontal d

pakan vertikal

al diagram pro

diagram profil

diagram profi

ofil Trail Sat

l pada Trail Sa

fil Trail Sebela atu.


(53)

Or tergantung stratifikasi Trail Satu Trail Utam (Shorea m

terdapat 1 kecing bu bunga (E. sphae

(Litsea sp

Untuk Str Trail Satu (Litsea sp

(Litsea sp

yaitu red (Milletia a

Pada loka

Gambar

rangutan se g dari jeni i tajuk, ma u) terdapat ma terdapat

macroptera) 11 jenis ya unga (Casta

(Castanops ericusschum p.), kecing b ratum C ha u terdapat ya

p.). Untuk

p.) dan keci das (Pithec atropurpure

asi Trail Seb

11. Penampak

ering ditemu s pohon y aka pada lo

3 stratifika t 2 jenis ya ) dan mang aitu kecing

anopsisi ten sisi tengu m), merant

batu (Querc

anya ada 1 j ang termasu Stratum B ing batu (Q ellobium j ea), kelump belas terdap

akan horizonta

ui pada ke yang diguna

okasi peneli asi tajuk ya

ang termasu gga hutan (M

batu (Que ngurut), dam

urut), re ti kuning

cus spiciata

jenis yaitu r uk dalam St ada 3 jenis

Quercus spic jiringa), ra pang (Stercu

pat 1 jenis y

al diagram pro

tinggian po akan untuk itian (Trail kni Stratum uk dalam S

Mangifera rcus spicia

mar laut (S

sak (Vat

(Shorea b a) dan kayu

randu hutan tratum A h s yaitu kela

ciata). Untu andu hutan

ulia foetida) yang terma

ofil Trail Sebe

ohon yang k beraktivit Utama, Tr m A, B dan Stratum A y

indica). Un

ata), kelat (

Shorea macr tica wall

alanocarpo

u arang (Di

n (Bombax s

anya 1 jen at (Syzygium

uk Stratum (Bombax

) dan kelat asuk dalam

elas

berbeda - tas. Berdas rail Sebelas n C. Pada l

yaitu damar ntuk Stratu (Syzygium croptera), k

lichii), g

osides), me

iospiros ma sp.). Pada l nis yaitu me

m spp.), me m C ada 5

sp.), leng (Syzygium Stratum A beda, arkan s dan lokasi r laut um B spp.), kecing ganitri edang alam). lokasi edang edang jenis, ggeris spp.). yaitu


(1)

(Garc

(K

(Pet

(Quer

cinea dioica )

Knema sp)

tungah spp)

rcus spiciata)

(M

(Pi

Milletia atrop

ithecellobium

(E.sphaericus

( Cinnamomu urpurea )

m jiringa )

sschum)

um sp )

(Ma

(Diosp

(Macar

( Dios

angifera sp.)

piros celebica

ranga giganta

spiros malam a)

ae)


(2)

Lampiran.

(Ochan

(Shore

( Ficus

( Vatic

. Jenis poho

nostachys sp.)

ea pinanga )

s benjamina )

ca wallichii )

on yang diju

)

(P

umpai di Lo

( Garcinea g

(Pandanus

( Hopea san

Paropsida var

okasi Penelit

gifthii )

s sp.)

ngal )

reciformis)

tian

( Man

( Diptero

( Ter

( Agla

ngifira indica.)

ocarpus hasel

rminalia spp )

aia tomentosa )

ltii )


(3)

Lampiran. Indeks Kesamaan Jenis

Tingkat Pertumbuhan Jumlah spesies dalam komunitas

Trail Utama Trail Sebelas Trail Satu

Semai 21 20 12

Pancang 27 23 18

Tiang 22 20 19

Pohon 25 29 24

Tingkat Pertumbuhan Jumlah spesies yang sama dalam komunitas

TU- TS TU-T1 TS-T1

Semai 12 9 9

Pancang 16 15 14

Tiang 15 13 14

Pohon 18 17 17

1.

Semai (TU,TS)

IS= 2.12/(21+20) x 100% = 58,573 %

2.

Pancang (TU,TS)

IS= 2.16/(27+23) x 100% = 64 %

3.

Tiang (TU,TS)

IS= 2.15/(22+20) x100% = 71,429%

4.

Pohon (TU,TS)

IS= 2.18/(25+29) x 100% = 66,667%

5.

Semai (TU,T1)

IS= 2.9/(21+12) x 100 % = 54,545%

6.

Pancang (TU,T1)

IS= 2.15/(27+18) x 100% = 66.667%

7.

Tiang (TU,T1)

IS= 2.13/(22+19) x 100% = 63,415%

8.

Pohon (TU,T1)

IS= 2.17/(25+24) x 100% = 69,388%

9.

Semai (TS,T1)

IS= 2. 9/(20+12) x 100% = 56,25%

10.

Pancang (TS,T1)

IS= 2.14/(23+18) x 100% = 68,293%

11.

Tiang (TS,T1)

IS= 2.14/(20+19) x 100% = 71,795%

12.

Pohon (TS,T1)

IS= 2.17/(29+24) x 100% = 64,151%

Ket: TU= Trail Utama

TS= Trail Sebelas

T1= Trail Satu


(4)

Lampiran. Diagram Profil

Data Profil Trail Sebelas

Id y x spesies Dbh (m)

Height (m)

cr depth

cr curve

cr radius 1 1,3 1 Ochanostachys sp. 0.41 23 19 9.5 2.5;3 2 5 2 Litsea sp. 0.83 26 21 10.5 3.5;3 3 5 10 Syzygium spp. 0.22 26 17 8.5 2;2 4 19 0.5 Litsea sp. 0.25 26 22 11 2;2 5 20 3 Litsea sp. 0.45 31 25 12.5 4.5;5 6 20 5 Calophyllum inophyllum L. 0.22 20 16 8 2.5;2 7 33 2 Mangifera sp. 0.33 26 18 9 3.5;3 8 35 2 Castanopsisi tengurut 0.26 21 18 9 2.5;2 9 48 1 Baccaurea brevipes 0.20 22 13 6.5 1.5;1.5 10 49 8 Sterculia foetida 0.25 19 17 8.5 2.5;2 11 52 5 Garcinea dioica 0.22 21 19 9.5 2.5;2.5 12 52 10 Sandoricum koetjape 0.32 23 18 9 2.5;2.5 13 58 2 Litsea sp. 0.31 25 19 9.5 3.5;4 14 60 5 Baccaurea brevipes 0.26 19 16 8 1.5;3 15 60 9.5 Litsea sp. 0.29 22 18 9 3.5;4

Data Profil Trail Satu

Id y x spesies Dbh (m)

Height (m)

cr depth cr curve

cr radius 1 2 8 Syzygium spp. 0.25 27 13 6.5 3.5;4 2 8 5 Pithecellobium jiringa 0.21 19 17 8.5 3;3.5 3 8,5 7 Litsea sp. 0.60 31 19 9.5 4.5;5 4 10 1 Bombax sp. 0.20 16 10 5 2;2 5 10 2.5 Milletia atropurpurea 0.21 18 12 6 2.5;1.5 6 20,5 2 Sterculia foetida 0.20 18 16 8 2;1.5 7 28 7 Litsea sp. 0.47 25 18 9 5;4.5

8 36 0.8 Syzygium spp. 0.21 18 15 7.5 2.5;3 9 38 8 Syzygium spp. 0.26 21 14 7 2.5;2.5 10 41 10 Litsea sp. 0.51 21 19 9.5 4.5;5

11 55 9 Querqus spiciata 0.40 24 17 8.5 3.5;3

Data Profil Trail Utama

Id y x spesies Dbh (m)

Height (m)

cr depth cr curve

cr radius 1 3,5 1 Querqus spiciata 0.41 21 18 9 4;5.5 2 6 2.5 Shorea maroptela 0.50 35 25 12.5 5.5;6

3 11 4.5 Syzygium spp. 0.35 25 18 9 3;3.5 4 17 7 Castanopsisi tengurut 0.28 25 12 6 3;2.5

5 22 2 Diospiros malam 0.43 22 12 6 4;4.5 6 26 5 Shorea maroptela 0.35 35 27 13.5 3.5;3 7 26 8 Shorea maroptela 0.54 26 15 7.5 3;2.5 8 27 9 Mangifera indica. 0.34 32 22 12.5 3;3.5 9 28 6 Castanopsisi tengurut 0.26 27 19 9.5 2;1.5 10 30 2 Shorea maroptela 0.60 30 17 10.5 5;5.5 11 35.5 3 Vatica wallichii 0.22 27 15 10.5 1.5;2 12 40 10 E. sphaericusschum 0.28 23 17 8.5 3.5;4 13 43 2 Castanopsisi tengurut 0.23 26 14 10 3;3.5 14 43 3 Shorea balanocarposides 0.22 23 18 9 3:3 15 45 05 Litsea sp. 0.23 21 15 7.5 3.5;4,5 16 50 5 Querqus spiciata 0.27 21 18 9 2.5:3 17 58 9 Cerbera manghas 0.20 19 15 7.5 2;2.5


(5)

Plot I Plot II Plot III Plot IV Plot V Plot VI Plot VII Plot I Plot II Plot III Plot I Plot II Plot III Plot IV Trail Utama I Trail Utama II Trail Utama III 0 10 20 30 40 50 60 70

Lokasi penelitian di PPOS

Juml ah jeni s 0 10 20 30 40 50 60 Plot I Plot II Plot III Plot IV Plot V Plot VI Plot I Plot II Plot III Plot IV Plot I Plot II Plot III Plot IV Plot V Trail Sebelas I Trail Sebelas II Trail Sebelas III

Jumlah

 

jenis

Lokasi penelitian di PPOS

0 10 20 30 40 50 60 Plot I Plot II Plot III Plot IV Plot V Plot VI Plot I Plot II Plot III Plot IV Plot I Plot II Plot III Plot IV Trail Satu I Trail Satu II Trail Satu III

Jumlah

 

jenis

Lampiran. Data kurva spesies area

1.

Trail Sebelas

2.

Trail Utama


(6)