Pemetaan Daerah Rawan Konflik Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Menggunakan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus : Desa Aek Nabara, Batu Satail, Bulu Mario, dan Sitandiang)

(1)

PEMETAAN DAERAH RAWAN KONFLIK ORANGUTAN

SUMATERA (

Pongo abelii

) DENGAN MANUSIA

MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

(Studi Kasus : Desa Aek Nabara, Batu Satail, Bulu Mario, dan Sitandiang)

SKRIPSI

Oleh :

DIYANTI ISNANI SIREGAR 101201005

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2014


(2)

PEMETAAN DAERAH RAWAN KONFLIK ORANGUTAN

SUMATERA (

Pongo abelii

) DENGAN MANUSIA

MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

(Studi Kasus : Desa Aek Nabara, Batu Satail, Bulu Mario, dan Sitandiang)

SKRIPSI

Oleh :

DIYANTI ISNANI SIREGAR 101201005/MANAJEMEN HUTAN

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2014


(3)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Penelitian : Pemetaan Daerah Rawan Konflik Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Menggunakan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus : Desa Aek Nabara, Batu Satail, Bulu Mario, dan Sitandiang)

Nama : Diyanti Isnani Siregar NIM : 101201005

Program Studi : Manajemen Hutan

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Anita Zaitunah, S.Hut., M.Sc. Pindi Patana, S.Hut., M.Sc.

Ketua Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Kehutanan


(4)

ABSTRAK

DIYANTI ISNANI SIREGAR. Pemetaan Daerah Rawan Konflik Orangutan Sumatera (Pongo abelii) dengan Manusia Meggunakan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus : Desa Aek Nabara, Batu Satail, Bulu Mario, dan Sitandiang).

Dibimbing oleh ANITA ZAITUNAH dan PINDI PATANA

Cagar Alam Dolok Sibual-buali merupakan kawasan yang kaya akan keanekaragaman hayati dan beberapa spesies penting untuk dilindungi, diantaranya adalah Orangutan Sumatera (Pongo abelii). Akibat terfragmentasinya habitat orangutan, muncul masalah seperti konflik antara manusia dengan orangutan. Penelitian ini bertujuan untuk memetakan bentuk penggunaan lahan serta menganalisa faktor-faktor habitat yang mendukung terjadinya konflik antara orangutan dengan masyarakat di desa sekitar kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali. Dengan memanfaatkan koordinat lokasi konflik orangutan, kemudian diolah menggunakan aplikasi Sistem Informasi Geografis dapat diketahui faktor-faktor yang dapat menyebabkan konflik antara orangutan dan manusia diantaranya ketinggian tempat, kelerengan, jarak dari sungai, jarak dari jalan, jarak dari hutan, dan penggunaan lahan di desa yang berbatasan dengan Cagar Alam Dolok Sibual-buali.

Melalui penelitian ini dapat diketahui bahwa daerah yang paling rawan terjadinya konflik orangutan dengan manusia adalah lokasi dengan tipe tutupan lahan hutan lahan kering sekunder yang berada pada ketinggian antara 742-1015 m dpl, pada kelerengan 0-8%, 8-15%, dan 15-25% kemudian berjarak 0-4250 meter dari kawasan hutan Cagar Alam Dolok Sibual-buali. Hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan bahwa faktor fisik kawasan yang paling kuat mempengaruhi kejadian konflik adalah faktor jarak ladang dari hutan dan yang paling lemah adalah faktor jarak ladang dari sungai.

Kata Kunci : Orangutan, Konflik orangutan dan manusia, SIG, Cagar Alam Dolok Sibual-buali.


(5)

ABSTRACT

DIYANTI ISNANI SIREGAR. Mapping of Human Sumatran Orangutan (Pongo abelii) Conflict Area by Using Geographical Information System (Case Study Aek Nabara Village, Batu Satail Village, Bulu Mario Village, and Sitandiang Village, District Sipirok, South Tapanuli, North Sumatra Province). Supervised by ANITA ZAITUNAH and PINDI PATANA.

Dolok Sibual-buali Nature Reserve is a rich area in biodiversity and some species that very important to protected, one of those species is Orangutan Sumatera (Pongo abelii). as a result of orangutan habitat fragmentation, problems such as conflicts arise between human and orangutan. This study aims to mapping the land use and analyze the physical factors which support the conflict between orangutan and people of the villages around Dolok Sibual-buali Nature Reserve. By using the coordinates of human-orangutan conflict location, and then processed using Geographic Information System application to identified several factors are altitude, slope, distance from river, distance from road, distance from forest area, and the land use.

This research showed that the human orangutan conflict-prone area which the location with secondary tropical dry forest land cover type at an altitude between 742-1015 m asl, at 0-8%, 8-15%, 15-25% range of slope and 0-4250 meters from Dolok Sibual-buali Nature Reserve area. The result of Rank Spearman correlation test showed that the strongest effect physical factor of this case is the field’s distance from forest area and the weakest effect of it is the field’s distance from the river.

Keywords : Orangutan, Human-orangutan conflict, GIS, Dolok Sibual-buali Nature Reserve.


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 24 Agustus 1992 dari ayah Parhimpunan Siregar, S.Pd dan ibu Nur Ilham Lubis. Penulis merupakan putri kedua dari tiga bersaudara.

Tahun 2010 penulis lulus dari SMA Swasta Swasta Eria Medan dan pada tahun yang sama masuk ke Fakultas Pertanian USU melalui jalur Pemanduan Minat dan Prestasi (PMP). Penulis memilih program studi Kehutanan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai asisten praktikum Geodesi dan Kartografi tahun 2012 dan 2013 dan asisten praktikum Penarikan Contoh dan Permodelan Data tahun 2014. Selain itu, penulis aktif sebagai anggota Badan Kenaziran Musholah Baytul Asyjaar, anggota divisi Badan Usaha Milik Rain Forest di Komunitas Rain Forest Environmental Education dan Bendahara Umum di Koalisi Pemuda Hijau Reginal Sumatera Utara. Penulis melaksanakan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan di Kawasan Tahura Bukit Barisan dan Hutan Pendidikan USU/Tongkoh dari tanggal 7-16 Juli 2012. Penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Rimba Hutani Mas Region Sumatera Selatan PT. Bumi Persada Permai dari tanggal 27 Januari sampai 5 Maret 2014.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, karena atas berkat

dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pemetaan

Daerah Rawan Konflik Orangutan Sumatera (Pongo abelii) dengan Manusia Meggunakan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus : Desa Aek Nabara, Batu Satail, Bulu Mario, dan Sitandiang)”.

Pada kesempatan ini penulis menghaturkan pernyataan terima kasih sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis yang telah membesarkan, memelihara dan mendidik penulis selama ini. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dr. Anita Zaitunah, S.Hut., M.Sc dan Pindi Patana, S.Hut., M.Sc selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah membimbing dan memberikan berbagai masukan berharga kepada penulis dari mulai menetapkan judul, melakukan penelitian, sampai pada ujian akhir. Khusus untuk Bapak M. Nasir Siregar, Bapak Harianja, di Resot Cagar Alam Dolok Sibual-buali, Kecamatan Sipirok, Tapanuli Selatan dan BBKSDA Sumatera Utara serta BPKH Wilayah I Sumatera Utara, penulis menyampaikan banyak terima kasih atas bantuannya selama penulis mengumpulkan data.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua staf dan pegawai di Program Studi Kehutanan, serta semua rekan mahasiswa yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat.

Medan, September 2014


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 3

Tujuan Penelitian ... 4

Manfaat Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Cagar Alam ... 5

Kondisi Umum Habitat Orangutan Sumatera (Pongo Abelii) di Cagar Alam Dolok Sibual-buali ... 6

Orangutan Sumatera (Pongo Abelii) ... 8

Konflik Manusia dengan Orangutan ... 13

Sistem Informasi Geografis (SIG) ... 14

Penginderaan Jarak Jauh ... 17

METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ... 18

Bahan dan Alat Penelitian ... 18

Metode Pengumpulan Data ... 19

Data primer ... 19

Data sekunder ... 20

Prosedur Penelitian ... 20

Tahap Persiapan ... 20

Survei lapangan ... 20

Pengolahan Data ... 20

Analisa Data ... 21

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Kejadian Konflik Orangutan dengan Masyarakat... 29

Pemetaan Daerah Rawan Konflik ... 36


(9)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ... 48 Saran ... 48 DAFTAR PUSTAKA


(10)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Pedoman pemberian interpretasi terhadap koefisien korelasi ... 22 2. Klasifikasi lereng ... 24 3. Identifikasi kejadian konflik orangutan dengan manusia di desa Aek

Nabara ... 29 4. Identifikasi kejadian konflik orangutan dengan manusia di desa Batu

Satail ... 30 5. Identifikasi kejadian konflik orangutan dengan manusia di desa Bulu

Mario ... 31 6. Identifikasi kejadian konflik orangutan dengan manusia di desa

Sitandiang ... 32 7. Hubungan korelasi jumlah kerusakan tanaman dengan jarak ladang dari

hutan ... 44 8. Hubungan korelasi jumlah kerusakan tanaman dengan tipe tutupan lahan ... 45 9. Hubungan korelasi jumlah kerusakan tanaman dengan jarak ladang dari

jalan ... 45 10. Hubungan korelasi jumlah kerusakan tanaman dengan ketinggian ... 46 11. Hubungan korelasi jumlah kerusakan tanaman dengan kelerengan ... 46 12. Hubungan korelasi jumlah kerusakan tanaman dengan jarak ladang dari


(11)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Peta lokasi penelitian ... 26 2. Bagan alur penelitian ... 27 3. Bagan alur proses pengolahan data ... 28 4. Sarang orangutan di pohon durian (A) dan (B) kulit buah durian yang

berserakan di atas tanah di ladang milik Pak Piyan desa Bulu Mario ... 33 5. Pelepah bakal tunas buah aren yang dipatahkan oleh orangutan ... 34 6. Sebaran lokasi konflik orangutan dengan manusia berdasarkan kelas

ketinggian ... 37 7. Sebaran lokasi konflik orangutan dengan manusia berdasarkan kelas

kelerengan ... 38 8. Sebaran lokasi konflik orangutan dengan manusia berdasarkan jarak dari

sungai ... 39 9. Sebaran lokasi konflik orangutan dengan manusia berdasarkan jarak dari

jalan ... 40 10. Sebaran lokasi konflik orangutan dengan manusia berdasarkan jarak dari

batas kawasan hutan Cagar Alam Dolok Sibual-buali ... 41 11. Sebaran lokasi konflik orangutan dengan manusia berdasarkan tipe tutupan

lahan ... 42 12. Grafik persentase hubungan jumlah kerusakan tanaman dengan faktor fisik


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Kuesioner wawancara penelitian ... 52 2. Data hasil pengamatan faktor-faktor fisik yang mempengaruhi terjadinya

konflik orangutan dengan manusia ... 54 3. Skor data hasil pengamatan faktor-faktor fisik yang mempengaruhi terjadinya

konflik orangutan dengan manusia ... 56 4. Rekapitulasi kuesioner penelitian ... 57


(13)

ABSTRAK

DIYANTI ISNANI SIREGAR. Pemetaan Daerah Rawan Konflik Orangutan Sumatera (Pongo abelii) dengan Manusia Meggunakan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus : Desa Aek Nabara, Batu Satail, Bulu Mario, dan Sitandiang).

Dibimbing oleh ANITA ZAITUNAH dan PINDI PATANA

Cagar Alam Dolok Sibual-buali merupakan kawasan yang kaya akan keanekaragaman hayati dan beberapa spesies penting untuk dilindungi, diantaranya adalah Orangutan Sumatera (Pongo abelii). Akibat terfragmentasinya habitat orangutan, muncul masalah seperti konflik antara manusia dengan orangutan. Penelitian ini bertujuan untuk memetakan bentuk penggunaan lahan serta menganalisa faktor-faktor habitat yang mendukung terjadinya konflik antara orangutan dengan masyarakat di desa sekitar kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali. Dengan memanfaatkan koordinat lokasi konflik orangutan, kemudian diolah menggunakan aplikasi Sistem Informasi Geografis dapat diketahui faktor-faktor yang dapat menyebabkan konflik antara orangutan dan manusia diantaranya ketinggian tempat, kelerengan, jarak dari sungai, jarak dari jalan, jarak dari hutan, dan penggunaan lahan di desa yang berbatasan dengan Cagar Alam Dolok Sibual-buali.

Melalui penelitian ini dapat diketahui bahwa daerah yang paling rawan terjadinya konflik orangutan dengan manusia adalah lokasi dengan tipe tutupan lahan hutan lahan kering sekunder yang berada pada ketinggian antara 742-1015 m dpl, pada kelerengan 0-8%, 8-15%, dan 15-25% kemudian berjarak 0-4250 meter dari kawasan hutan Cagar Alam Dolok Sibual-buali. Hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan bahwa faktor fisik kawasan yang paling kuat mempengaruhi kejadian konflik adalah faktor jarak ladang dari hutan dan yang paling lemah adalah faktor jarak ladang dari sungai.

Kata Kunci : Orangutan, Konflik orangutan dan manusia, SIG, Cagar Alam Dolok Sibual-buali.


(14)

ABSTRACT

DIYANTI ISNANI SIREGAR. Mapping of Human Sumatran Orangutan (Pongo abelii) Conflict Area by Using Geographical Information System (Case Study Aek Nabara Village, Batu Satail Village, Bulu Mario Village, and Sitandiang Village, District Sipirok, South Tapanuli, North Sumatra Province). Supervised by ANITA ZAITUNAH and PINDI PATANA.

Dolok Sibual-buali Nature Reserve is a rich area in biodiversity and some species that very important to protected, one of those species is Orangutan Sumatera (Pongo abelii). as a result of orangutan habitat fragmentation, problems such as conflicts arise between human and orangutan. This study aims to mapping the land use and analyze the physical factors which support the conflict between orangutan and people of the villages around Dolok Sibual-buali Nature Reserve. By using the coordinates of human-orangutan conflict location, and then processed using Geographic Information System application to identified several factors are altitude, slope, distance from river, distance from road, distance from forest area, and the land use.

This research showed that the human orangutan conflict-prone area which the location with secondary tropical dry forest land cover type at an altitude between 742-1015 m asl, at 0-8%, 8-15%, 15-25% range of slope and 0-4250 meters from Dolok Sibual-buali Nature Reserve area. The result of Rank Spearman correlation test showed that the strongest effect physical factor of this case is the field’s distance from forest area and the weakest effect of it is the field’s distance from the river.

Keywords : Orangutan, Human-orangutan conflict, GIS, Dolok Sibual-buali Nature Reserve.


(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Secara umum pembangunan ekonomi memerlukan ruang untuk infrastruktur khususnya lahan terutama untuk industri, pertanian, pertambangan dan pemukiman. Saat ini ruang untuk pembangunan tersebut sebagian besar atau seluruhnya diperoleh dengan mengkonversi kawasan hutan di dataran rendah baik yang relatif utuh maupun yang sudah terdegradasi. Di pihak lain kawasan hutan juga merupakan ekosistem keanekaragaman hayati yang dihuni oleh berbagai jenis tumbuhan dan satwa liar yang memiliki nilai ekologis, ekonomi dan sosial yang tinggi. Semakin cepatnya upaya pembangunan maka semakin rumit upaya untuk mengalokasikan ruang bagi kelestarian keanekaragaman hayati dan ekosistem. Kondisi ini seringkali mengakibatkan terjadinya benturan kepentingan

yang pada akhirnya merugikan pemerintah dan masyarakat umum secara luas (Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, 2007).

Perlindungan keanekaragaman hayati dan sistem penyangga kehidupan (life support system) telah jelas disebutkan di dalam UU No. 5/1990 tentang “Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya” khususnya pasal 5 yang berbunyi: “Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan (a) perlindungan siste penyangga kehidupan; (b) pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; dan (c) pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.” Selanjutnya disebutkan juga pada pasal 4 bahwa “Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban pemerintah


(16)

Orangutan merupakan satu-satunya kera besar yang ada di Benua Asia, di Indonesia hanya terdapat di sebagian kecil kawasan di Pulau Sumatera dan Kalimantan (Rahman, 2010). IUCN (2007) memasukkan orangutan dalam kategori endangered species. Orangutan di Indonesia dilindungi oleh Peraturan Perlindungan Binatang Liar No. 233 tahun 1931, Undang-undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa. Orangutan Sumatra (Pongo abelii) adalah yang paling terancam punah yang hidup di Pulau Sumatra bagian utara dan barat. Orangutan Sumatera terancam punah karena hutan tempat tinggalnya dirusak untuk perdagangan kayu dan perkebunan kelapa sawit.

Berdasarkan Laporan Akhir Kampanye Bangga (Di Cagar Alam Dolok Sibual-buali dan Suaka Alam Lubuk Raya di Kawasan Hutan Batang Toru) bahwa Cagar Alam Dolok Sibual-buali dan Dolok Lubuk Raya di kawasan Hutan Batang Toru Bukit Barisan seluas 76.007 Ha yang merupakan kawasan hutan yang tersisa bagi sekitar 400-an ekor populasi orangutan seperti halnya kawasan hutan lainnya di Indonesia, mengalami berbagai ancaman menyangkut keberadaannya (Adil, 2011). Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum yang kerap berlangsung akan sangat memungkinkan kawasan ini terfragmentasi, dan akhirnya mengancam keberadaan keanekaragamanhayati yang ada di dalamnya, seperti halnya orangutan.

Orangutan sangat rentan terhadap kepunahan karena kombinasi beberapa faktor yaitu mereka memiliki laju reproduksi yang sangat lambat (orangutan sumatera betina biasanya melahirkan hanya satu bayi dalam periode 8 atau 9 tahun), mereka memerlukan wilayah hutan hujan yang luas dan bersambung untuk tempat hidup, dan mereka sangat terbatas pada kawasan hutan dataran rendah


(17)

(Wich dkk, 2011). Sebagai konsekuensi langsung dari laju reproduksi yang lambat, populasi orangutan tetap sangat rentan bahkan meskipun tingkat perburuan sangat rendah. Sesungguhnya, dengan kehilangan 1% saja dari orangutanbetina setiap tahun karena perburuan atau sebab-sebab kematian tidak wajar lainnya akan tetap menempatkan populasi ini bergerak kea rah kepunahan secara permanen (Marshall et al, 2009).

Terjadinya konflik antara orangutan dengan masyarakat di sekitar Cagar Alam Dolok Sibual-buali dikarenakan habitat orangutan telah dikonversi menjadi lahan pertanian. Biasanya orangutan masuk ke lahan masyarakat pada saat musim buah durian, petai, dan mayang aren yang sangat disukai oleh orangutan. Lokasi penelitian konflik antara orangutan dan masyarakat ini dilakukan di desa-desa sekitar Cagar Alam Dolok Sibual-buali yaitu Desa Bulu Mario, Desa Sitandiang, Desa Batu Satail dan Desa Aek Nabara.

Perumusan Masalah

1. Dimana lokasi terjadinya konflik antara orangutan (Pongo abelii) dengan masyarakat di desa sekitar kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali.

2. Apa bentuk penggunaan lahan yang menyebabkan konflik antara orangutan (Pongo abelii) dengan masyarakat di desa sekitar kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali

3. Bagaimana Sistem Informasi Geografis berperan dalam memetakan daerah rawan konflik antara orangutan (Pongo abelii) dengan masyarakat di desa sekitar kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali.


(18)

Tujuan

1. Memetakan bentuk penggunaan lahan yang menjadi konflik antara orangutan (Pongo abelii) dengan masyarakat di desa sekitar kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali.

2. Menganalisa faktor-faktor habitat yang mendukung terjadinya konflik antara orangutan (Pongo abelii) dengan masyarakat di desa sekitar kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah :

1. Dapat memberikan gambaran tentang daerah rawan konflik orangutan (Pongo abelii) dengan manusia dan sebagai bahan pertimbangan untuk langkah selanjutnya bagi para pengambil kebijakan untuk menciptakan keseimbangan antara orangutan dengan manusia di desa sekitar Cagar Alam Dolok Sibual-buali.

2. Sebagai bahan referensi untuk penelitian yang sejenis yakni dalam pemetaan konflik orangutan (Pongo abelii) di dalam maupun sekitar kawasan cagar alam sebagai sutau kawasan konservasi orangutan (Pongo abelii).


(19)

TINJAUAN PUSTAKA

A. Cagar Alam

Cagar Alam adalah Kawasan Suaka Alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan/keunikan jenis tumbuhan dan/atau keanekaragaman tumbuhan beserta gejala alam dan ekosistemnya yang memerlukan upaya perlindungan dan pelestarian agar keberadaan dan perkembangannya dapat berlangsung secara alami. Kriteria suatu wilayah dapat ditunjuk dan ditetapkan sebagai kawasan cagar alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a meliputi:

a. memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan dan/atau satwa liar yang tergabung dalam suatu tipe ekosistem;

b. mempunyai kondisi alam, baik tumbuhan dan/atau satwa liar yang secara fisik masih asli dan belum terganggu;

c. terdapat komunitas tumbuhan dan/atau satwa beserta ekosistemnya yang langka dan/atau keberadaaannya terancam punah;

d. memiliki formasi biota tertentu dan/atau unit-unit penyusunnya;

e. mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu yang dapat menunjang pengelolaan secara efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami; dan/atau

f. mempunyai ciri khas potensi dan dapat merupakan contoh ekosistem yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi


(20)

B. Kondisi Umum Habitat Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Cagar Alam Dolok Sibual-Buali

Dolok Sibual-buali dan Dolok Lubuk Raya di dalam kawasan hutan Ekosistem Batang Toru secara administrasi pemerintahan terletak di 3 (tiga) wilayah kecamatan yaitu Kecamatan Sipirok, Kecamatan Padang Sidempuan Timur dan Kecamatan Marancar, Kabupaten Tapanuli Selatan. Secara geografis terletak pada koordinat 01° 0’ - 01°37’ Lintang Utara dan 99°11’15” - 99°17’55” Bujur Timur. Cagar Alam Dolok Sibual-buali terletak pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Barumun. Berdasarkan letak pada ketinggian di atas permukaan laut (dpl) maka Cagar Alam Dolok Sibual-buali terletak pada ketinggian 750 s/d 1.819 m dpl. Kawasan ini merupakan kawasan yang kaya akan keanekaragaman hayati dan beberapa spesies penting untuk dilindungi. Kawasan ini merupakan habitat bagi setidaknya 67 jenis mamalia, 287 jenis burung, 110 jenis reptil, dan 688 jenis tumbuhan (Departemen Kehutanan, 2010).

Menurut Adil (2011) bahwa Cagar Alam Dolok Sibual-buali dan Suaka Alam Dolok Lubuk Raya di dalam Kawasan Hutan Batang Toru juga kaya dengan jenis tanaman dan satwa yang langka, disamping itu kawasan ini juga oleh World Wide Fund for Nature (WWF) memasukkan kawasan Cagar Alam Dolok Sibualbuali dan Suaka Alam Dolok Lubuk Raya ke dalam golongan 200 ekoregion dunia yang harus diperhatikan serius aspek konservasinya. Sejalan dengan WWF, lembaga konservasi lainnya juga telah menetapkan kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali dan Suaka Alam Dolok Lubuk Raya sebagai salah satu daerah prioritas dalam pelestarian keragaman hayati (key biodiversity area/KBA I) dari 15 KBA yang ada di provinsi ini. Karena keunikan dan kekayaaan keanekaragaman hayati yang dimilikinya Cagar Alam Dolok Sibual-buali dan


(21)

Suaka Alam Dolok Lubuk Raya memiliki spesies kunci yang menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat sekitar desa maupun masyarakat internasional lainnya, yaitu tentang keberadaan Orangutan Sumatera (Pongo Abelii), keberadaan Orangutan Sumatera di kawasan ini sangat terancam keberadaannya. Terutama semakin mengecil ruang hidup Orangutan Sumatera ini dan mulai menghilang beberapa jenis tanaman sebagai pakan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) diakibatkan pembukaan hutan oleh petani untuk memperluas lahan usaha perkebunan mereka atau pengambilan kayu untuk kepentingan kelangsungan ekonomi masyarakat disekitar kawasan ini. Tidak menjadi asing lagi kalau belakangan ini sering terdengar bahwa Orangutan Sumatera (Pongo abelii) masuk ke kebun masyarakat desa dan mengambil hasil kebun petani di desa. Konflik antara masyarakat petani dan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di bulan-bulan tertentu, khususnya di masa panen buah-buahan maka tingkat konflik semakin meningkat, dan terjadilah perburuan terhadap Orangutan Sumatera (Pongo abelii) yang sebelumnya juga telah masuk daftar CITES merupakan satwa yang langka dan kritis perkembangannya di bumi ini.

Dalam upaya penyelamatan populasi orangutan (Pongo abelii) dan habitatnya di Hutan Batang Toru, Desa-desa yang langsung bersentuhan dengan Hutan Batang Toru di Tapanuli Selatan sangatlah penting untuk didorong berpartisipasi dalam penyelamatan itu. Melihat posisi desa yang langsung berbatasan dengan kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali menjadikannya sebagai salah satu pintu masuk ke kawasan habitat orangutan. Sebagai catatan pula, bahwa banyak tanaman masyarakat seperti karet, aren, durian dan lainnya berada dalam kawasan Cagar Alam ini (Adil, 2011).


(22)

C. Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Biologi dan Ekologi

Orangutan (Pongo sp.) sangat rentan terhadap kepunahan yang diakibatkan oleh (1) kerusakan hutan yang terjadi dalam skala besar dan perburuan untuk tujuan diperdagangkan (Rijksen dan Meijaard 1999); (2) interval kelahirannya yang jarang, yakni kira-kira mencapai 8 tahun antara satu kelahiran dengan kelahiran berikutnya (Galdikas dan Wood 1990) dan (3) ukuran tubuhnya yang relatif besar. Selain faktor kerentanan, orangutan Sumatera juga tinggal dengan densitas yang rendah (mulai dari nol sampai tujuh ekor per km2 di Sumatera), sehingga membutuhkan ruang yang sangat luas berupa blok-blok hutan yang luas (Departemen Kehutanan 2007).

Konversi hutan alam yang cepat, penebangan dan perburuan liar di Sumatera menyebabkan populasi orangutan Sumatera menurun secara drastis dalam beberapa tahun terakhir, sehingga dalam daftar merah (red list) yang dikeluarkan IUCN pada tahun 2004, orangutan Sumatera dikategorikan sebagai spesies kritis (critically endangered). Pada tahun 2007, populasi orangutan Sumatera diperkirakan hanya tersisa 6.624 ekor yang hidup di hutan-hutan Sumatera atau hanya 88,9% dari populasi tahun 2004, yakni sebesar 7.501 ekor (Singleton et al. 2004).

Menurut Groves (1972) klasifikasi dari Orangutan Sumatera adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata


(23)

Kelas : Mamalia Ordo : Primata Famili : Pongoidea

Genus : Pongo

Spesies : Pongo abelii Lesson, 1827 Morfologi

Ciri fisik famili Pongoidea adalah lengannya 200% dari panjang tubuh, kaki pendek hanya 116% dari panjang tubuh. Jari telunjuk lebih kecil daripada ibu jari. Ukuran rata-rata kepala dan tubuh jantan 956 mm serta betina 776 mm. Tinggi saat berdiri tegak adalah 1.366 mm pada jantan dan 1.149 mm pada betina. Berat badan rata-rata adalah 75 kg pada jantan dan 37 kg pada betina (Maple, 1980).

Menurut Supriatna dan Edy (2000), jika dibandingkan dengan Orangutan di Kalimantan, rambut Orangutan Sumatera lebih terang yaitu berwarna coklat kekuningan serta lebih tebal dan panjang. Berat badan rata-rata Orangutan jantan di alam yaitu berkisar antara 50-90 kg. Orangutan jantan memiliki kantung suara untuk mengeluarkan suara yang berupa seruan panjang.

Orangutan merupakan "umbrella species" dalam konservasi hutan hujan tropis di Indonesia, khususnya hutan Sumatera dan Kalimantan. Mengingat kondisi hutan sebagai habitat alami orangutan dan kebutuhan akan daerah jelajah yang luas serta keanekaragaman jenis flora fauna hidup bersamanya, orangutan dapat dianggap sebagai wakil terbaik dari struktur keanekaragaman hayati hutan hujan tropis yang berkualitas tinggi. Keberadaan dan kepadatan populasi orangutan dapat digunakan sebagai ukuran konservasi hutan hujan tropis tanpa


(24)

analisis yang lebih jauh mengenai struktur keanekaragaman jenis flora dan fauna di suatu kawasan tertentu. Hal ini dapat berarti bahwa konservasi populasi orangutan liar identik dengan melakukan konservasi terhadap ekosistem hutan

hujan tropis yang memiliki struktur keanekaragaman yang unik (Onrizal dan Perbatakusuma 2010).

Habitat

Hutan hujan tropis di Sumatera memiliki sejarah, iklim dan ekologi yang unik. Kekayaan spesies tertinggi adalah di hutan dataran rendah Dipterocarpaceae yang memang didominasi oleh pohon-pohon dari keluarga Dipterocarpaceae (Ashton; Givinish; Appanah, 1998 dalam Pujiyani, 2009). Pohon-pohon Dipterocarpaceae menyediakan buah yang secara bersamaan pada setiap dua atau lima tahun sekali. Hal tersebut mengakibatkan pada masa tertentu buah tersedia sangat banyak namun pada waktu yang lainnya buah tersebut sama sekali tidak tersedia. Hal yang berbeda terjadi pada hutan gambut Sumatera yang memiliki sedikit jenis tumbuhan endemik namun memiliki kepadatan yang tinggi, sehingga buah akan tersedia setiap tahun. Orangutan berperan penting dalam ekosistem, baik pada hutan dataran rendah Dipterocarpaceae ataupun di hutan gambut. Kebiasaan Orangutan dalam makan dan pola pergerakannya menyebabkan Orangutan merupakan penyebar biji/benih tumbuhan hutan yang sangat baik (Nellemann et. al., 2007).

Orangutan di Sumatera hidup di dalam hutan yang daunnya lebih rindang daripada Orangutan yang hidup di hutan Kalimantan (van Schaik, 2004). Orangutan mampu beradaptasi pada berbagai tipe hutan primer, mulai dari hutan rawa, hutan dataran rendah/hutan Dipterocarpaceae sampai pada tipe hutan


(25)

pegunungan dengan batas ketinggian 1.800 m dpl. (Rijksen, 1978). Namun ada pendapat lain yang menyatakan bahwa Orangutan Sumatera hidup di dataran rendah aluvial (lowland aluvial plains), daerah rawa dan daerah lereng perbukitan (Singleton et. al., 2004). Kepadatan Orangutan yang ada di daerah pada ketinggian 1.000 sampai 1.200 m dpl terus menurun.

Perilaku

Kera besar memiliki otak yang lebih besar daripada primata lain. Pada umumnya kera besar lebih banyak yang hidup secara terestrial namun pada Orangutan hidupnya arboreal (Rowe, 1996). Kehidupan Orangutan dihabiskan diatas pohon dan jarang sekali turun ke lantai hutan, kecuali untuk memakan rayap. Orangutan berpindah dengan menggunakan keempat anggota tubuhnya, berpindah dari cabang ke cabang lain. Daerah jelajah Orangutan adalah berkisar antara 2-10 km dengan luas wilayah jelajah hariannya berkisar antara 800-1200 m2 (Supriatna & Edy, 2000). Rijksen (1978) menyatakan bahwa ada 13 vokalisasi Orangutan sedangkan Nowak (1999) vokalisasi Orangutan terdiri dari 15 suara. Orangutan relatif lebih pendiam dibandingkan dengan primata besar lainnya. Suara yang paling banyak tercatat adalah berupa panggilan panjang (long call) dari jantan dewasa yang mungkin terdengar dari jarak lebih dari 1 km, hal ini mungkin merupakan mekanisme dalam mengatur jarak bagi antar individunya (Pujiyani, 2009).

Aktifitas Orangutan dipengaruhi oleh faktor musim berbuah dan cuaca. MacKinnon (1974) telah menjumpai saat buah sedang sulit didapat di hutan, Orangutan akan menghabiskan waktu menjelajah lebih banyak daripada waktu untuk makan. Demikian pula saat hari sedang kering (panas) Orangutan akan


(26)

lebih banyak beristirahat pada siang hari. Pembagian penggunaan waktu oleh Orangutan adalah pada pagi hari digunakan untuk makan, siang hari untuk menjelajah dengan diselingi waktu istirahat siang (Rijksen, 1978). Orangutan akan mulai istirahat malam antara pukul 15.00-18.00 dengan aktivitas malam hari yang sangat sedikit. Persentase aktivitas harian Orangutan menurut Rijksen (1978) adalah 47 % untuk makan, 40% untuk istirahat, 12 % untuk menjelajah dan sisa waktunya untuk aktivitas sosial.

Penggunaan ruang bagi aktivitas Orangutan yaitu pada lapisan antara 15-25 m diatas permukaan tanah hampir 70% dari waktu aktivitas hariannya, Orangutan menggunakan 20% waktu aktivitas hariannya pada lapisan lebih dari 25 m dan pada lapisan dibawah 15 m Orangutan hanya menggunakan kurang dari 10% waktu aktivitas hariannya. Orangutan biasanya selalu membuat sarang tidur di tepi sungai pada ketinggian 20-40 m diatas tanah (Pardede, 2000 dalam Ginting, 2006). Populasi Orangutan Sumatera sebagian besar sebarannya terbatas pada hutan hujan dataran rendah, sebagian besar Orangutan Sumatera berada di daerah yang memiliki ketinggian di bawah 500 m dpl dan jarang menjelajah ke tempat yang lebih tinggi dari 1.500 m dpl (Rijksen dan Meijaard, 1999).

Orangutan Sumatera sangat bervariasi dalam pemilihan jenis makanan. Secara alami Orangutan adalah pemakan buah, tetapi juga memakan berbagai jenis makanan lain seperti daun, tunas, bunga, epifit, liana, zat pati kayu, dan kulit kayu (MacKinnon, 1974). Sebagai sumber protein Orangutan juga mengkonsumsi serangga dan telur burung (Supriatna dan Edy, 2000). Orangutan memiliki kebiasaan mencoba memakan segala sesuatu yang ia temui untuk dirasakan dan kemudian menentukan benda tersebut dapat dijadikan makanan atau tidak.


(27)

Persentase jenis makanan Orangutan adalah 53,8% berupa buah, 29% berupa daun, 14,2% kulit kayu, 2,2% bunga, dan 0,8% adalah serangga (Maple, 1980). D. Konflik Manusia dengan Orangutan

Konflik antara manusia dan satwa liar adalah fenomena yang umum. Konflik antara manusia dan kera besar (Human-Great Apes Conflict) yang kemudian disingkat HGAC adalah salah satu bagian dari konflik antara manusia dan satwa liar yang secara luas dapat didefinisikan sebagai segala interaksi antara manusia dan kera besar yang mengakibatkan pengaruh negatif pada kondisi sosial, ekonomi atau budaya manusia, serta kondisi sosial, ekologi atau budaya kera besar atau konservasi kera besar dan lingkungannya.

HGAC sering kali melibatkan konflik diantara masyarakat yang memiliki sasaran, persepsi dan tingkat penguasaan yang berbeda. Saat ini kerusakan dan fragmentasi habitat di Afrika dan Asia Tenggara telah berada pada kondisi yang memprihatinkan, sehingga meningkatkan jumlah populasi kera besar yang terdesak mendekati pemukiman manusia. Sumber gangguan terhadap hutan disebabkan oleh berbagai macam hal, namun kebanyakan ditimbulkan oleh pertanian tanaman subsisten dan pertanian komersial berskala kecil maupun besar, perkebunan dan industri ekstraktif seperti industri pembalakan kayu dan pertambangan, yang secara sigifikan mengancam hutan tropis (Collishaw dan Dunbar, 2000).

Konflik antara kera besar dan manusia dilatar belakangi oleh banyak hal dan sangat bervariasi di setiap lokasinya. Konflik yang secara langsung ditimbulkan oleh perilaku manusia meliputi: perusakan dan pencemaran sumber daya alam, konversi habitat untuk pertanian, kompetisi sumber daya alam


(28)

(misalnya: pohon buah-buahan dan air), penularan penyakit secara kebetulan (misalnya: dari feses, sisa makanan maupun makanan yang dicuri dari manusia), pencederaan ataupun pembunuhan kera besar dengan jerat dan perangkap (Hockings dan Humle, 2010).

E. Sistem Informasi Geografis (SIG) Definisi

Sistem informasi geografis merupakan sebuah sistem yang terdiri dari perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), data, manusia (brainware) dan lembaga-lembaga yang digunakan untuk mengumpulkan, menyimpan, menganalisa dan menyebarkan data-data dan informasi-informasi mengenai daerah-daerah di permukaan bumi. SIG sebagai sistem informasi

berbasis komputer memiliki empat kemampuan dasar (subsistem) (Prahasta, 2002):

a. Data input: subsistem ini memiliki tugas mengumpulkan dan mempersiapkan data spasial beserta atributnya dari berbagai sumber. Subsistem ini juga bertanggung jawab mengkonversi atau mentransformasikan format asli sebuah data menjadi format yang dapat digunakan dalam SIG.

b. Data output: subsistem ini menampilkan atau menghasilkan seluruh atau sebagian keluaran basis data baik dalam bentuk soft copy maupun hard copy seperti tabel, grafik dan peta,

c. Data management: subsistem ini mengkoordinasikan data spasial dan atributnya kedalam sebuah basis data sedemikian rupa sehingga mudah dipanggil, di-update dan diedit,


(29)

d. Data manipulations dan analysis: subsistem ini menentukan informasi-informasi yang dapat dihasilkan oleh SIG. Selain itu juga melakukan manipulasi dan pemodelan data untuk menghasilkan informasi yang diharapkan.

Komponen SIG

SIG merupakan sistem operasi yang komplek yang terintegrasi dengan lingkungan sistem komputer lain di tingkat fungsional dan jaringan. SIG dalam pengoperasiannya terdiri atas komponen (Batubara dan Hasibuan, 2000):

a. Perangkat keras: Terdiri atas PC dekstop, workstation, hingga multiuser host yang dapat digunakan secara bersamaan, harddisk, dan mempunyai kapasitas memori serta RAM yang besar.

b. Perangkat lunak: Software GIS menyediakan fungsi-fungsi dan alat-alat yang diperlukan untuk menyimpan, menganalisis, dan memperagakan informasi geografi. Komponen-komponen software adalah alat untuk memasukkan & memanipulasi informasi geografik, DBMS (sebuah database untuk sistem pengelolaan), Alat untuk menyokong pertanyaan-pertanyaan geografik, menganalis dan Memvisualisasikan GUI (Graphical User Interface) untuk mempermudah pengaksesan kepada alat-alat

c. Data: merupakan komponen yang amat penting dalam GIS. Data geografik dan tabulasi data yang berhubungan akan dikumpulkan dalam suatu tempat khusus yang dapat dibeli dari penyedia data komersial. GIS akan menggabungkan ruang data dengan sumber-sumber data lainnya dan menggunakan DBMS untuk mengorganisasikan dan memelihara serta mengatur data.


(30)

d. Manusia: Teknologi GIS memerlukan orang untuk mengatur sistem dan membangun rencana- rencana supaya teraplikasi dalam hal yang nyata. Pemakai GIS adalah teknikal khas yang medesain dan memelihara sistem dan pemakai untuk meningkatkan nilai kerja yang mereka lakukan sehari-hari. e. Metoda: Kesuksesan GIS beroperasi tergantung pada perencanaan desain yang

baik dan metoda- metoda bisnis, yang merupakan model dan beroperasi khusus untuk tiap-tiap organisasi. Sumber-sumber data geospasial adalah foto udara, citra satelit, tabel statistik, dan dokumen lain yang berhubungan. Data geospasial dapat dibedakan menjadi data grafis (data geometris) dan data atribut (data tematik). Data grafis terdiri atas tiga elemen yaitu: titik (node), garis (arc) dan luasan atau bidang (polygon) dalam bentuk vektor ataupun raster yang mewakili geometri topologi, ukuran, bentuk, posisi, dan arah. Fungsi pengguna adalah untuk memilih informasi yang diperlukan, membuat standar, membuat jadwal pemutakhiran, menganalisis hasil yang dikeluarkan

untuk kegunaan sesuai keinginan dan merencanakannya (Prayitno, 2002 dalam Fata, 2011).

Aplikasi GIS

Dasar pendekatan SIG terdiri dari berbagai tahapan, termasuk menyimpan, menampilkan dan menganalisa bermacam jenis data yang tersimpan dalam data, termasuk peta jenis vegetasi, iklim, tanah, topografi, geologi, hidrologi, sebaran species, kawasan yang dillindungi, pemukiman manusia dan pola ekstraksi sumber daya alam. Pendekatan SIG dapat mengungkapkan berbagai hubungan (kolerasi) antara faktor biotik dan abiotik dari suatu bentang alam, serta membantu proses perancangan kawasan agar memiliki komunitas hayati yang ada,


(31)

bahkan menampilkan kawasan-kawasan yang berpotensi untuk mencari spesies langkah maupun dilindungi (Turner et al., 2003).

Kekuatan SIG tampak pada kemampuan menganalisis data spasial dan atribut secara bersamaan. Disinilah SIG menunjukkan kemampuannya mengolah data peta, seperti pemetaan yang terotomatisasi dengan menggunakan sistem komputer. Kemampuan analisis SIG ini antara lain proses klasifikasi lahan, operasi overlay, operasi neighbourhood dan fungsi konektivitas (Elly, 2009). F. Penginderaan Jarak Jauh

Penginderaan jauh (remote sensing) adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lilesand dkk, 2004).

Data penginderaan jarak jauh merupakan sumber paling utama data dinamis dalam sistem informasi geografis. Beberapa contoh aplikasi yang dimungkinkan oleh data penginderaan jarak jauh adalah sebagai berikut: pemetaan tutupan lahan, analisa perubahan tutupan lahan, analisa deforestasi, ekspansi perkebunan, perkembangan kota, analisa dampak bencana, perhitungan cadangan karbon dan emisinya, perhitungan biofisik vegetasi (kerapatan tegakan, jumlah tegakan, biomassa), serta identifikasi dan analisa infrastruktur (jumlah dan

panjang jalan, jumlah rumah, luasan pemukiman dan lain-lain) (Ekadinata et al., 2008).


(32)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April hingga Agustus 2014 dilakukan di 4 desa yaitu Desa Aek Nabara, Desa Batu Satail, Desa Bulu Mario, dan Desa Sitandiang Kabupaten Tapanuli Selatan Sumatera Utara. Kemudian pengolahan data dilakukan di Laboratorium Manajemen Hutan Terpadu Program Studi Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa peta tutupan lahan dan peta administrasi desa Kabupaten Tapanuli Selatan yang diperoleh dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah I Sumatera Utara, data topografi dan data kondisi umum wilayah desa penelitian, data kejadian konflik orangutan dan manusia di wilayah penelitian.

Data yang diperlukan selain didapat dari hasil ground check di lapangan juga didapatkan dari instansi dan kelembagaan yang terkait dengan pengelolaan Cagar Alam Dolok Sibual-buali dan pengelolaan Orangutan Cagar Alam Dolok Sibual-buali dan Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH).

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Personal Computer (PC), perangkat lunak GIS (Geographic Information System) seperti Arcview GIS 3.3, printer untuk mencetak data/peta, Global Positioning System (GPS), Camera Digital, software SPSS 16.0, alat-alat tulis dan kuesioner.


(33)

Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan terdiri atas 2 kelompok, yaitu: 1. Data primer

Data primer adalah data yang diperoleh berdasarkan hasil pengamatan di lapangan. Data primer yang dikumpulkan, yaitu:

− Data pengecekan lapangan daerah rawan konflik orangutan (Pongo abelii) dan masyarakat di Desa Aek Nabara, Desa Batu Satail, Desa Bulu Mario, dan Desa Sitandiang yang disajikan dalam bentuk gambar/foto,

− Data sebaran titik daerah konflik orangutan (Pongo abelii) dengan masyarakat di Desa Aek Nabara, Desa Batu Satail, Desa Bulu Mario, dan Desa Sitandiang,

− Data jumlah kerusakan tanaman di ladang masyarakat di Desa Aek Nabara, Desa Batu Satail, Desa Bulu Mario, dan Desa Sitandiang yang disebabkan oleh orangutan (Pongo abelii), dan

− Data kuesioner konflik masyarakat dengan orangutan (Pongo abelii) di sekitar Desa Aek Nabara, Desa Batu Satail, Desa Bulu Mario, dan Desa Sitandiang. Penyebaran kuesioner dilakukan secara purposive sampling untuk mengetahui seberapa besar masyarakat mengetahui tentang orangutan dan kerusakan apa yang pernah terjadi. Metode purposive sampling ini disesuaikan dengan tujuan penelitian yaitu pemetaan bentuk penggunaan lahan yang menjadi daerah rawan konflik Orangutan Sumatera (Pongo abelii) dan masyarakat di Desa Aek Nabara, Desa Batu Satail, Desa Bulu Mario, dan Desa Sitandiang yang merupakan desa-desa yang berbatasan langsung


(34)

dengan Cagar Alam Dolok Sibual-Buali. Selain itu, pada kegiatan ini juga diambil data primer dan sekunder.

2. Data sekunder

Data sekunder yang mendukung penelitian ini diperoleh dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah I Sumatera Utara, yaitu:

− Peta tutupan lahan Desa Aek Nabara, Desa Batu Satail, Desa Bulu Mario, dan Desa Sitandiang Kabupaten Tapanuli Selatan Provinsi Sumatera Utara, dan

− Peta administrasi desa Kabupaten Tapanuli Selatan Provinsi Sumatera Utara. Selain itu, data konflik orangutan (Pongo abelii) dengan manusia yang diperoleh dari buku-buku, literatur, jurnal-jurnal dan sumber pustaka lainnya.

Prosedur Penelitian 1. Tahap Persiapan

Pengumpulan data dari berbagai literatur dari berbagai sumber yaitu dari lembaga atau instansi yang terkait dengan pengelolaan Cagar Alam Dolok Sibual buali, buku-buku maupun internet, data hasil survei satwa dari kegiatan patroli dan survey monitoring oleh petugas patroli Cagar Alam Dolok Sibual-buali. 2. Survei Lapangan

Survei lapangan dilakukan untuk pengambilan data kejadian konflik, pengambilan data penggunaan lahan dan data lainnya sesuai dengan kebutuhan. Pada tahap survei ini dilaksanakan pula pengamatan kondisi lapangan dan pengisian kuisioner.

3. Pengolahan Data

Pemetaan daerah rawan konflik orangutan (Pongo abelii) dengan masyarakat ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data titik daerah konflik


(35)

menggunakan GPS di Desa Aek Nabara, Desa Batu Satail, Desa Bulu Mario, dan Desa Sitandiang. Setelah itu digunakan software DNR Garmin untuk mengambil data yang terdapat pada GPS. Kemudian digunakan software Arc View GIS 3.3 untuk memasukkan semua data titik daerah rawan konflik yang ditemukan di lokasi penelitian.

4. Analisa Data

Pembuatan data spasial merupakan hal yang paling penting dalam analisa data. Data spasial didigitasi dengan menggunakan alat digitizer atau menggunakan perangkat lunak dengan teknik digitasi pada layar komputer. Peta administrasi desa Kabupaten Tapanuli Selatan Provinsi Sumatera Utara didigitasi sesuai luasan kawasan yang diteliti. Peta hasil digitasi dipakai sebagai batasan kawasan yang diteliti. Data penutupan lahan dan data ketinggian digunakan sebagai tambahan atribut untuk mengetahui kondisi lapangan dan merupakan suatu input dari pembuatan peta daerah rawan konflik orangutan di Desa Aek Nabara, Desa Batu Satail, Desa Bulu Mario, dan Desa Sitandiang.

Pembuatan Persamaan Statistik

Korelasi di artikan sebagai hubungan. Analisis korelasi bertujuan untuk mengetahui keeratan hubungan antara dua variabel atau lebih. Koefisien korelasi sering dilambangkan dengan huruf (r). Koefisien korelasi dinyatakan dengan bilangan, bergerak antara 0 sampai +1 atau 0 sampai -1. Apabila korelasi mendekati +1 atau -1 berarti terdapat hubungan yang kuat, sebaliknya korelasi yang mendekati nilai 0 bernilai lemah. Apabila korelasi sama dengan nol, maka antara kedua variabel tidak terdapat hubungan sama sekali. Pada korelasi +1 atau -1 terdapat hubungan yang sempurna antara kedua variabel (Pratisto, A. 2004).


(36)

Notasi positif (+) atau negatif (-) menunjukkan arah hubungan antara kedua variabel. Pada notasi positif (+), hubungan antara kedua variabel searah, jadi jika satu variabel naik maka variabel yang lain juga naik. Pada notasi negatif (-) kedua variabel berhubungan terbalik, artinya jika salah satu variabel naik maka variabel yang lain turun (Pratisto, A. 2004).

Analisis statistik dalam penelitian ini adalah analisis korelasi Rank Spearman yang mengukur kuatnya hubungan antara dua variabel tidak berdasarkan nilai data yang sebenarnya tetapi berdasarkan nilai rangkingnya atau skornya. Analisis korelasi dilakukan menggunakan software SPSS 16.0. Disini kita akan melihat hubungan antara kerusakan tanaman akibat konflik orangutan yang disebabkan variabel ketinggian, kelerengan, jarak dari sungai, jarak dari jalan, dan jarak dari hutan. Untuk dapat memberi interpretasi terhadap kuatnya hubungan, digunakan Pedoman Pemberian Interpretasi terhadap Koefisien Korelasi seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Pedoman Pemberian Interpretasi terhadap Koefisien Korelasi

Koefisien Korelasi Keterangan

0,00 – 0,199 Tidak ada korelasi 0,20 – 0,399 Korelasi rendah

0,40 – 0,599 Korelasi sedang

0,60 – 0,799 Korelasi kuat

0,80 – 1,00 Korelasi sangat kuat

Sumber: Guilford (1956).

Penutupan Lahan (Land Cover)

Penafsiran untuk penutupan lahan/vegetasi dibagi kedalam tiga klasifikasi utama yaitu Hutan, Non Hutan dan Tidak ada data, yang kemudian masing- masing diklasifikasikan lagi. Kelas-kelas penutupan lahan yaitu lahan bervegetasi (hutan, perkebunan, semak- belukar, rumput,), lahan terbuka, pemukiman dan air. Contoh kelas penutupan lahan:


(37)

1. Hutan, polanya dengan bentuk bergerombol diantara semak dan permukiman, ukurannya luas, berwarna hijau tua sampai gelap dengan tekstur relatif kasar. 2. Perkebunan, memiliki karakter bentuk dan pola bergerombol hingga

menyebar terletak diantara hutan dan lahan-lahan terbuka, terkadang bercampur dengan kawasan permukiman.

3. Pemukiman, memiliki tekstur halus sampai kasar, warna magenta, ungu kemerahan, pola di sekitar jalan utama.

4. Semak, tekstur yang relatif lebih halus daripada hutan lebat, berwarna hijau agak terang dibandingkan hutan lebat, terdapat diantara perkebunan dan ada juga yang berbentuk spot.

5. Rumput mempunyai tekstur yang lebih halus daripada semak. Berwarna hijau lebih terang dibandingkan dengan semak tidak terlalu luas, terdapat diantara perkebunan dan menyebar berbentuk spot.

6. Lahan terbuka mempunyai bentuk dan pola yang menyebar di antara hutan, pemukiman, perkebunan dan jalan, berwarna putih hingga merah jambu dengan tekstur halus.

7. Tubuh air berwarna biru, untuk sungai dengan bentuk yang berkelok-kelok (meander), danau dengan bentuk mengumpul dan relatif besar, genangan-genangan air berbentuk spot.

Pembuatan Peta Ketinggian

Data citra dari SRTM harus diubah dalam bentuk format grid/DEM supaya dapat diproses dalam Model Builder. Proses pengubahan ini ini dilakukan dengan menggunakan perangklat lunak Global mapper yang prosedurnya antara lain :


(38)

a. Citra diproyeksi dalam proyeksi Geographic (Latitude/Longitude), dengan datum WGS84.

b. Setelah citra diformat sesuai dengan yang ditentukan maka tahap selanjutnya adalah citra diformat ke dalam bentuk file DEM. Proses ini menggunakan fitur Export raster and elevation data.

c. Kemudian data dalam bentuk file DEM tersebut dikonversikan ke grid dengan menggunakan Model Builder.

d. Setelah dikonversikan, data tersebut di reclassify sesuai dengan kelas ketinggian yang telah ditentukan sehingga diperoleh peta ketinggian.

Pembuatan Peta Kelerengan

Prosedur pembuatan peta kelerengan sama dengan pembuatan peta ketinggian. Peta kelerengan diperoleh dari DEM ketinggian melalui proses Derive Slope. Theme lereng tersebut kemudian dilakukan pembobotan berdasarkan nilai kemiringan lerengnya menggunakan Klasifikasi Lereng seperti pada Tabel 2. Tabel 2. Klasifikasi Lereng

Kelas Kemiringan Lereng (%) Keterangan

I 0-8 Datar

II 8-15 Landai

III 15-25 Bergelombang

IV 25-40 Curam

V > 40 Sangat curam

(Nuarsa, I. W, 2004).

Penentuan Jarak

Fasilitas penentuan jarak ini banyak digunakan untuk membuat theme grid continue yang nilai selnya merupakan jarak dari suatu objek. Objek tersebut dapat berupa theme shape file titik, garis area, atau theme grid dengan nilai integer.


(39)

Jumlah objek yang digunakan dalam proses ini dapat terdiri atas satu atau beberapa objek. Apabila kita menggunakan beberapa objek dalam penentuan jarak, arcview akan menghitung jarak dengan objek terdekat.

Fasilitas buffer digunakan dalam penentuan jarak, dilakukan pada objek tersebut yang hasilnya merupakan shapefile (feature) atau objek grafis. Pada buffer kita dapat menentukan jarak yang kita inginkan. Buffer biasanya digunakan untuk mewakili suatu jangkauan pelayanan ataupun luasan yang diasumsikan dengan jarak tertentu untuk suatu kepentingan analisis spatial (Nuarsa, I. W, 2004).

Cagar Alam Dolok Sibual-buali (CADS) merupakan salah satu kawasan konservasi di Sumatera Utara yang kaya dengan keanekaragaman hayati berupa spesies tumbuhan dan satwa liar (Hasibuan, 2011). Pada mulanya kawasan hutan Dolok Sibual-buali merupakan kawasan hutan lindung, dan baru ditetapkan sebagai cagar alam berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 215/Kpts/Um/4/1982, tanggal 8 April 1982 dengan luas kurang lebih 5.000 Ha. Berdasarkan letak pada ketinggian di atas permukaan laut maka Cagar Alam Dolok Sibual-buali terletak pada ketinggian 750-1.819 m dpl. Kemiringan lahan sebagian besar adalah curam (21-55%). Jenis tanahnya berupa tanah alluvial yang berhumus sedang dengan warna tanah coklat tua kehitaman dengan pH antara 5-6,5. Suhu maksimum 29 oC da minimum 18 oC dengan kelembaban antara 35-100% (Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam, 2011).


(40)

(41)

Overlay

Peta Titik Koordinat Daerah Rawan Konflik Orangutan (Pongo abelii)

dengan Masyarakat Ubah ke *shp ArcView GIS 3.3

DNR Garmin

Peta Daerah Rawan Konflik Orangutan (Pongo abelii) dengan

Masyarakat

di Desa Aek Nabara, Desa Batu

Peta Tutupan Lahan Desa Aek Nabara, Desa Batu Satail, Desa Bulu Mario, dan

Desa Sitandiang

Gambar 2. Bagan Alur Penelitian

Data Lapangan Berupa Titik Koordinat

Titik Koordinat Daerah Rawan Konflik Orangutan (Pongo abelii)

dengan Masyarakat

Desa Aek Nabara, Desa Batu Satail, Desa Bulu Mario, dan Desa


(42)

Gambar 3. Bagan Alur Proses Pengolahan Data Mulai

Uji statistik korelasi Rank

Spearman

Hubungan faktor biofisik dengan konflik orangutan dan manusia

Data biofisik: - ketinggian - kelerengan

- jarak lokasi dari sungai - jarak lokasi dari jalan,

dan

- jarak lokasi dari hutan. Titik Koordinat

Daerah Rawan Konflik Orangutan

(Pongo abelii) dengan

Data spasial sebaran konflik orangutan dengan manusia

Pengumpulan data

Peta Tutupan

Data spasial Penutupan Lahan


(43)

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Identifikasi Kejadian Konflik Orangutan dengan Masyarakat

Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat pemilik ladang di desa tempat terjadinya konflik, orangutan masuk ke ladang masyarakat pada saat musim buah. Musim buah durian dan petai biasanya terjadi dua kali setahun yaitu musim pertama pada bulan Desember hingga Januari dan musim kedua pada bulan Juli hingga September. Sedangkan tanaman aren menghasilkan mayang (mata aren) setiap 8-9 bulan sekali dan niranya dapat disadap setiap hari selama 3 bulan. Hal inilah yang menyebabkan masyarakat mengalami gagal panen apabila orangutan masuk dan merusak tanaman. Berikut identifikasi kejadian konflik orangutan dengan masyarakat berdasarkan jumlah tanaman yang rusak dikarenakan orangutan.

1. Desa Aek Nabara

Desa Aek Nabara memiliki luas wilayah 22,30 km2 (Koordinator Statistik Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010). Berbatasan langsung dengan hutan Cagar Alam Dolok Sibual-buali di sebelah barat. Jarak terdekat titik pengamatan konflik dengan hutan adalah 0 km dan jarak terjauhnya adalah 1,2 km. Berdasarkan hasil penelitian selama di lapangan (Mei 2014) dapat diidentifikasi kejadian konflik orangutan dengan masyarakat seperti pada Tabel 3. Tabel 3. Identifikasi kejadian konflik orangutan dengan manusia di Desa Aek Nabara

No. Koordinat

Pemilik Ladang Jenis Tanaman Jumlah Rusak (batang) Kerugian Panen (Rupiah) 1 N 05

0

22’97.3” E 01071’89.4”

Harun Hutagalung

durian 30 2.500.000

aren 5 16.200.000

2 N 01

0

32’32.5” E 99012’33.9”

Basarudin

Harahap aren 50 162.000.000


(44)

E 01072’21.6” petai 2 1.800.000

4 N 01

0

32’36.3”

E 99012’24.2” Sakti

durian 20 50.000.000

aren 5 16.200.000

5 N 01

0

32’36.7”

E 99012’27.2” Sibaratakwa durian 20 50.000.000

6 N 05

0

22’ 23.6” E 01072’35.5”

Sudin Pasaribu

durian 24 60.000.000

aren 3 9.720.000

petai 3 2.700.000

2. Desa Batu Satail

Luas wilayah Desa Batu Satail adalah 4,18 km2 (Koordinator Statistik Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010). Jarak terdekat titik pengamatan konflik yaitu 1,55 km sedangkan jarak terjauhnya yaitu 4,25 km. Bila dilihat pada peta (Gambar 1), desa ini terletak di sebelah barat Desa Bulu Mario Berdasarkan hasil penelitian selama di lapangan (Mei 2014) dapat diidentifikasi kejadian konflik orangutan dengan masyarakat seperti pada Tabel 4.

Tabel 4. Identifikasi kejadian konflik orangutan dengan manusia di Desa Batu Satail

No. Koordinat

Pemilik

Ladang Jenis Tanaman

Jumlah Rusak (batang)

Kerugian Panen (Rupiah)

1 N 01

0

33’ 11.5”

E 99011’41.7” Sampit

aren 2 6.480.000

durian 28 70.000.000

petai 7 6.300.000

2 N 01

0

33’52.7” E 99010’20.3”

Ardes Simanjuntak

aren 1 3.240.000

durian 17 42.500.000

petai 2 1.800.000

3 N 01

0

34’15.0” E 99010’56.3”

Koster Harahap

aren 1 3.240.000

durian 10 25.000.000

petai 3 2.700.000

4 N 01

0

34’09.7” E 99011’13.4”

Gatti Simbolon

aren 3 9.720.000

durian 20 50.000.000

petai 7 6.300.000

5 N 01

0

33’42.5” E 99010’52.9”

Muktar Simanjuntak

aren 3 9.720.000

petai 30 27.000.000

6 N 01

0

33’54.0”

E 99011’20.9” Maringan

aren 1 3.240.000

durian 10 25.000.000

petai 4 3.600.000

7 N 01

0

33’08.6” E 990 11’41.6”

Amsar Harianja

aren 2 6.480.000

durian 20 50.000.000


(45)

3. Desa Bulu Mario

Desa Bulu Mario terletak di sebelah barat daya hutan Cagar Alam Dolok Sibual-buali. Desa ini memiliki luas wilayah sebesar 4,18 km2 (Koordinator Statistik Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010). Jarak terdekat titik pengamatan konflik dengan hutan yaitu 700 meter dan jarak terjauhnya yaitu 1,9 km. Berdasarkan hasil penelitian selama di lapangan (Mei 2014) dapat diidentifikasi kejadian konflik orangutan dengan masyarakat seperti pada Tabel 5. Tabel 5. Identifikasi kejadian konflik orangutan dengan manusia di Desa Bulu Mario

No. Koordinat

Pemilik

Ladang Jenis Tanaman

Jumlah Rusak (batang)

Kerugian Panen (Rupiah)

1 N 01

0

34’29.9”

E 99012’30.1” Arip

aren 3 9.720.000

durian 30 75.000.000

petai 3 2.700.000

2 N 01

0

35’08.4” E 99012’37.8”

Samsul Rizal

aren 2 6.480.000

durian 22 55.000.000

petai 1 900.000

3 N 01

0

34’34.9” E 99012’24.5”

Martunas Dalimunthe

durian 31 77.500.000

petai 14 12.600.000

4 N 01

0

34’13.7” E 99012’28.6”

Parlagutan Simanjuntak

aren 1 3.240.000

durian 2 5.000.000

petai 1 900.000

5 N 01

0

35’14,1”

E 99012’35.6” Mahran

aren 1 3.240.000

durian 13 32.500.000

petai 3 2.700.000

6

N 01035’16.2”

E 99012’33.7” Piyan

aren 2 6.480.000

durian 15 37.500.000

petai 3 2.700.000

7 N 01

0

34’31.8”

E 99012’32.2” Hamdan

aren 1 3.240.000

durian 15 37.500.000

petai 7 6.300.000

4. Desa Sitandiang

Desa Sitandiang terletak di sebelah barat daya Desa Bulu Mario. Desa ini memiliki luas wilayah sebesar 2,8 km2 (Koordinator Statistik Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010). Jarak terdekat titik pengamatan konflik dengan hutan yaitu 2,25 km dan jarak terjauhnya yaitu 2,65 km. Berdasarkan hasil


(46)

penelitian selama di lapangan (Mei 2014) dapat diidentifikasi kejadian konflik orangutan dengan masyarakat seperti pada Tabel 6.

Tabel 6. Identifikasi kejadian konflik orangutan dengan manusia di Desa Sitandiang

No. Koordinat

Pemilik

Ladang Jenis Tanaman

Jumlah Rusak (batang)

Kerugian Panen (Rupiah)

1 N 01

0

35’07.2” E 99012’05.6”

Basaruddin Harahap

aren 3 9.720.000

durian 30 7.500.000

petai 22 19.800.000

2 N 01

0

35’21.9”

E 99012’13.4” Basanuddin

aren 3 9.720.000

durian 24 60.000.000

petai 8 7.200.000

3 N 01

0

35’26.2”

E 99012’06.0” Samia

aren 2 6.480.000

durian 20 50.000.000

petai 8 7.200.000

4 N 01

0

35’17.4” E 99012’11.4”

Muhammad

Yunus petai 35 31.500.000

5 N 01

0

35’20.4” E 99012’07.7”

Rostina

Siregar petai 31 27.900.000

Dalam survey lapangan yang dilakukan pada Mei 2014 di empat desa yaitu Desa Aek Nabara, Desa Batu Satail, Desa Bulu Mario, dan Desa Sitandiang telah terjadi 25 konflik orangutan dengan masyarakat. Adapun keempat desa tersebut saling berbatasan yang mempermudah pergerakan orangutan dari satu desa ke desa lainnya. Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat pemilik lahan maupun masyarakat di sekitar daerah konflik, orangutan masuk ke desa sejak dahulu dikarenakan keempat desa tersebut berbatasan langsung dengan hutan yang merupakan habitat asli orangutan. Orangutan masuk ke ladang-ladang masyarakat untuk mencari buah pakan. Hal tersebut dikarenakan semakin berkurangnya tanaman pakan yang ada di hutan. Orangutan biasanya masuk pada saat buah akan masak dan masuk ke ladang pada pagi atau siang hari. Dapat dilihat pada tabel 3, 4, 5, dan 6 bahwa tanaman yang paling banyak mendapat gangguan adalah durian, petai, dan aren. Ketiga tanaman tersebut merupakan komoditas utama pertanian masyarakat Tapanuli Selatan. Tiap pohon durian yang siap dipanen biasanya menghasilkan 500-600 buah dengan harga jual 5.000-7.000


(47)

rupiah per buahnya. Biasanya orangutan yang masuk ke dalam ladang akan memakan sebagian besar buah durian yang akan masak. Kerugian panen buah durian paling banyak dialami oleh Pak Martunas Dalimunthe di Desa Bulu Mario (Tabel 5) yaitu sebesar Rp 77.500.000 (31 pohon yang dirusak) pada saat menjelang masa panen buah durian musim kedua. Tanaman aren yang disadap niranya di daerah tersebut memiliki harga jual Rp 12.000/kg. Kerugian panen aren terbesar dialami oleh Pak Basarudin Harahap di Desa Aek Nabara (Tabel 3) yaitu sebesar Rp 162.000.000 (50 batang yang dirusak). Sedangkan petai memiliki apabila dipanen buahnya dapat menghasilkan pendapatan sebesar 900.000-1.000.000 rupiah per pohon dengan harga jual petai Rp 5000 perikat. Kerugian terbesar panen buah petai dialami oleh Pak Muhammad Yunus di Desa Sitandiang (Tabel 6) yaitu sebesar Rp 31.500.000 (35 pohon yang dirusak).

Buah durian merupakan buah yang paling disukai dan merupakan sumber pakan utama bagi orangutan. Pada saat masa panen buah durian, orangutan masuk ke ladang masyarakat dan membuat sarang di atas pohon tersebut. Hal tersebut sesuai dengan pengamatan di lapangan yang dapat dilihat pada Gambar 4:

A B

Gambar 4. Sarang orangutan di pohon durian (A) dan (B) kulit buah durian yang berserakan di atas tanah di ladang milik Pak Piyan Desa Bulu Mario.


(48)

Pada Gambar 4 dapat diketahui bahwa setelah orangutan menghabiskan seluruh buah dalam satu pohon, orangutan akan berpindah ke pohon lain yang ada di sekitarnya. Berdasarkan hasil wawancara dengan Pak Piyan pemilik ladang tersebut, orangutan menetap di suatu ladang selama seminggu dan membangun sarang di pohon pakannya sebagai tempat beristirahat di malam hari. Hal ini sesuai dengan pernyataan SOCP (2014) bahwa orangutan membangun sarang dari dedaunan di atas pohon untuk tidur dan beristirahat. Orangutan masuk ke ladang masyarakat pada pagi atau siang hari dikarenakan aktivitas harian orangutan untuk makan dan melakukan perjalanan pada siang hari dan beristirahat pada saat malam hari. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rijksen (1978) bahwa orangutan akan mulai istirahat malam antara pukul 15.00-18.00 dengan aktivitas malam hari yang sangat sedikit.

Gambar. 5 Pelepah bakal tunas buah aren yang dipatahkan oleh orangutan. Selain memakan buah pakan, di daerah pengamatan ditemukan bahwa orangutan juga mematahkan pelepah bakal tunas buah aren yang masyarakat menyebutnya dengan “mata aren” (Gambar 5). Hal tersebut sesuai dengan pernyataan McKinnon (1974) bahwa secara alami orangutan adalah pemakan buah, tetapi juga memakan berbagai jenis makanan lain seperti daun, tunas,


(49)

bunga, epifit, liana, zat pati kayu, dan kulit kayu. Perilaku orangutan tersebut menimbulkan kerugian bagi petani karena bakal tunas buah aren tersebut adalah bakal dari buah kolang-kaling atau air nira yang dapat dipanen dalam waktu sekitar 3 bulan setelah munculnya “mata aren”. Orangutan sangat menyukai tunas buah aren karena selain rasanya yang manis, aren termasuk tanaman yang banyak ditanam oleh masyarakat dan berada sangat dekat dengan tanaman pakan yang lainnya.

Pemicu Konflik Orangutan dengan Manusia

Keempat desa yang menjadi lokasi penelitian merupakan desa-desa yang berbatasan langsung dengan Cagar Alam Dolok Sibual-buali yang masih termasuk ke dalam kawasan Hutan Batang Toru yang merupakan habitat asli Orangutan Sumatera (Pongo abelii). Hal tersebut yang menyebabkan Desa Aek Nabara, Desa Batu Satail, Desa Bulu Mario, dan Desa Sitandiang masih menjadi areal jelajah orangutan liar.

Menurut pengamatan di lapangan dan hasil wawancara dengan masyarakat setempat dapat diketahui beberapa faktor penyebab terjadinya konflik orangutan dengan manusia sebagai berikut:

1. Desa berbatasan langsung dengan hutan yang memudahkan orangutan untuk masuk ke lahan-lahan masyarakat. Sebagaimana pernyataan Adil (2011) bahwa melihat posisi desa yang langsung berbatasan dengan kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali menjadikannya sebagai salah satu pintu masuk ke kawasan habitat orangutan. Sebagai catatan pula, bahwa banyak tanaman masyarakat seperti karet, aren, durian, dan lainnya berada dalam kawasan Cagar Alam ini.


(50)

2. Pembukaan hutan yang dilakukan oleh petani untuk memperluas lahan pertanian mereka menyebabkan semakin mengecilnya ruang hidup satwa khususnya orangutan. Lahan hutan yang dibuka oleh petani ditanami dengan tanaman-tanaman komoditas utama seperti kopi, aren, durian, petai, dan karet untuk memenuhi kebutuhan ekonomi petani. Namun, hal tersebut menyebabkan mulai menghilangnya beberapa jenis tanaman pakan pokok orangutan sehingga orangutan mencari pakannya ke lahan-lahan masyarakat. 3. Konflik antara orangutan dan manusia paling banyak terjadi pada saat masa

panen buah. Pada saat itu orangutan keluar dari hutan untuk mencari makan dan masuk ke ladang-ladang masyarakat untuk mengambil hasil panen masyarakat.

B. Pemetaan Daerah Konflik Orangutan dengan Masyarakat

Pengambilan titik pengamatan daerah rawan konflik orangutan dengan masyarakat dilakukan di 4 (empat) desa yang berdekatan dengan Cagar Alam Dolok Sibual-buali yaitu Desa Aek Nabara, Desa Batu Satail, Desa Bulu Mario, dan Desa Sitandiang. Alasan pemilihan lokasi di keempat desa tersebut adalah selain jaraknya yang sangat dekat dengan kawasan cagar alam, dua diantara empat desa ini merupakan areal peruntukan koridor orangutan. Sesuai dengan penelitian Kuswanda dan Siregar (2010) tentang survei penutupan lahan, populasi dan komposisi vegetasi pada areal peruntukan koridor Orangutan untuk hutan Batang Toru blok barat tepatnya berada di wilayah Bulu Mario dan Batu Satail yang dapat menjadi koridor Orangutan di Kawasan CA. Faktor-faktor fisik yang mempengaruhi terjadinya konflik seperti ketinggian lokasi, kelerengan lokasi, tipe tutupan lahan, jarak lokasi dari sungai, jarak lokasi dari batas kawasan hutan, dan


(51)

jarak lokasi dari jalan kemudian dipetakan menggunakan software Arcview 3.3 dan ArcGIS 10.1.

Pada Gambar 6 dapat dilihat bahwa lokasi pengamatan berada pada ketinggian 300-1.800 m dpl. Sebagian besar titik konflik antara orangutan dan manusia yang kemudian disebut dengan HOC (Human Orangutan Conflict) berada di daerah dengan ketinggian 600-900 m dpl yaitu sebanyak 18 titik dan selebihnya di daerah dengan ketinggian 900-1200 m dpl. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rijksen dan Meijaard (1999) bahwa populasi Orangutan Sumatera sebagian besar sebarannya terbatas pada hutan hujan dataran rendah, sebagian besar Orangutan Sumatera berada di daerah yang memiliki ketinggian di bawah 500 m dpl dan jarang menjelajah ke tempat yang lebih tinggi dari 1.500 m dpl.

Gambar 6. Sebaran Lokasi Konflik Orangutan dengan Manusia Berdasarkan Kelas Ketinggian


(52)

Lokasi penelitian berada pada daerah dengan kelerengan datar sampai dengan curam (0- >40%) dan titik terjadinya konflik tersebar pada kelas kelerengan I sampai kelas IV (Gambar 7) yaitu 0-8% (datar) sebanyak 7 titik konflik, 8-15% (landai) sebanyak 11 titik konflik, 15-25% (bergelombang) sebanyak 6 titik konflik, dan 25-40% (curam) sebanyak 2 titik konflik. Titik-titik pengamatan yang diambil pada kelas kelerengan I-IV hal ini dikarenakan sebagian besar masyarakat menanam tanaman pertanian mereka di lahan yang datar sampai dengan curam.

Gambar 7. Sebaran Lokasi Konflik Orangutan dengan Manusia Berdasarkan Kelas Kelerengan

Dalam penentuan jarak lokasi konflik dari sungai, jalan, dan batas kawasan cagar alam digunakan fasilitas buffer yang merupakan salah satu operasi dalam ArcView. Buffer bukanlah bagian dari Geoprocessing, namun buffer merupakan salah satu analasis spasial. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nuwarsa (2004) bahwa buffer biasanya digunakan untuk mewakili suatu jangkauan


(53)

pelayanan ataupun luasan yang diasumsikan dengan jarak tertentu untuk suatu kepentingan analisis spasial.

Ladang masyarakat yang menjadi lokasi pengamatan konflik umumnya berada pada radius 100-1600 meter dari sungai-sungai kecil (Gambar 8). Jarak ladang dengan sungai sangat mempengaruhi terjadinya konflik karena orangutan membuat sarangnya di pohon yang berada dekat dengan tepi sungai dan ini sesuai dengan penelitian Pardede (2000) bahwa orangutan biasanya selalu membuat sarang tidur di tepi sungai pada ketinggian 20-40 m diatas tanah.

Gambar 8. Sebaran Lokasi Konflik Orangutan dengan Manusia Berdasarkan Jarak dari Sungai

Pembuatan buffer bertujuan untuk mengetahui jarak lokasi konflik terhadap jalan akses yang meghubungkan satu desa dengan desa lainnya. Adapun jarak terdekat lokasi konflik dengan jalan berada di Desa Bulu Mario yaitu 3 (tiga) titik lokasi berjarak 100 meter dari jalan desa sedangkan jarak terjauh lokasi konflik dengan jalan terdapat di Desa Sitandiang yaitu 1500 meter (Lampiran 2).


(54)

Pembukaan jalan menyebabkan fragmentasi habitat yang pada akhirnya menyebabkan isolasi pada sub-populasi orangutan misalnya dan kompetisi dalam habitat tidak dapat dihindari. Berdasarkan pernyataan TFCA Sumatera (2010) bahwa akibat fragmentasi habitat, kebutuhan pakan tidak terpenuhi dengan baik dan menyebabkan kualitas perkembangan spesies akan mengalami penurunan. Isolasi habitat akibat fragmentasi juga memacu kepunahan lokal dan terbentuknya metapopulasi. Sempitnya daerah jelajah dan isolasi populasi akan menyebabkan berkurangnya ukuran populasi dan kemampuan untuk bertahan hidup. Buffer sebaran lokasi konflik orangutan dengan manusia berdasarkan jarak ladang dari jalan dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Sebaran Lokasi Konflik Orangutan dengan Manusia Berdasarkan Jarak dari Jalan

Dari 25 tiitk terjadinya konflik orangutan dengan masyarakat hanya 1 titik yang masuk ke dalam kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali (Gambar 10).


(55)

Titik tersebut berada di Desa Aek Nabara yang sebagian wilayahnya masuk ke dalam kawasan hutan Cagar Alam Dolok Sibual-buali. Berdasarkan survey yang dilakukan di lapangan bahwa ladang tersebut merupakan ladang milik Bapak Marsilo yang terletak pada koordinat N 05022’15.7” E 01072’21.6” dengan luas lahan 0,5 Ha. Ladang tersebut ditanami dengan tanaman durian dan petai. Jumlah tanaman yang gagal panen sebanyak 21 pohon (Tabel 4) dikarenakan orangutan bersarang di pohon tersebut dan memakan seluruh buahnya.

Gambar 10. Sebaran Lokasi Konflik Orangutan dengan Manusia Berdasarkan Jarak dari Batas Kawasan Hutan Cagar Alam Dolok Sibual-buali. Berdasarkan klasifikasi citra tahun 2013 yang bersumber dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah I Sumatera Utara (Gambar 11) dapat dilihat bahwa terdapat 6 tipe tutupan lahan yang terdapat di wilayah penelitian yaitu hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campur semak, sawah, dan semak belukar. Berdasarkan klasifikasi citra tersebut, seluruh lokasi terjadinya konflik orangutan dengan


(56)

manusia yang ada di Desa Aek Nabara merupakan semak belukar (Lampiran 2). Di Desa Batu Satail terdapat dua titik yang merupakan semak belukar, empat titik yang merupakan hutan lahan kering sekunder dan satu titik pertanian lahan kering. Sedangkan di Desa Bulu Mario, dua titik lokasi terjadinya konflik merupakan semak belukar, dan lima titik lokasi merupakan lahan dengan tipe tutupan lahan hutan lahan kering sekunder. Dan di Desa Sitandiang terdapat lima titik lokasi terjadinya konflik orangutan dengan manusia yang merupakan hutan lahan kering sekunder.

Gambar 11. Sebaran Lokasi Konflik Orangutan dengan Manusia Berdasarkan Tipe Tutupan Lahan

Berdasarkan klasifikasi tersebut dapat diketahui bahwa konflik paling banyak terjadi di lahan dengan tipe tutupan lahan hutan lahan kering sekunder. Ladang-ladang masyarakat desa di sekitar Cagar Alam Dolok Sibual-buali merupakan kebun campuran yang banyak ditanami tanaman-tanaman yang termasuk pohon pakan orangutan seperti durian, petai, aren, dan lain-lain.


(57)

C. Uji Statistik Korelasi Rank Spearman

Untuk mengetahui faktor fisik yang paling kuat mempengaruhi kejadian konflik orangutan bisa digunakan parameter banyaknya jumlah kerusakan tanaman yang ditemukan di lapangan. Uji statistik korelasi Rank Spearman digunakan untuk melihat pengaruh faktor-faktor fisik yaitu ketinggian lokasi, kelerengan lokasi, jarak lokasi dari sungai, jalan, dan batas kawasan hutan terhadap kejadian konflik.

Berdasarkan pengamatan dan pengambilan titik sampel di lapangan didapat data-data pendukung faktor terjadinya konflik (Lampiran 2). Hasil tersebut kemudian diolah menggunakan SPSS 16.0 dengan membuat pengklasan atau penskoran pada masing-masing variabel supaya mudah diolah dalam SPSS 16.0. Jumlah kerusakan merupakan hasil identifikasi dan wawancara yang diperoleh dari lapangan. Hasil dari pengolahan data di SPSS 16.0 tersebut dapat dilihat pada pembahasan berikut ini.

Faktor Kuat yang Mempengaruhi Kejadian Konflik Orangutan Jarak Ladang dari Batas Kawasan Hutan

Salah satu cara untuk melihat kuatnya hubungan faktor jarak ladang dari hutan terhadap jumlah kerusakan tanaman yaitu menggunakan uji korelasi Rank Spearman. Uji korelasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Hubungan Korelasi Jumlah Kerusakan Tanaman dengan Jarak Ladang dari Hutan

Jlh_Kerusakan_Tana

man Jarak_dari_Htn

Spearman's rho Jlh_Kerusakan_ Tanaman

Correlation

Coefficient 1.000 .722

**

Sig. (2-tailed) . .000


(58)

Jarak_dari_Htn Correlation

Coefficient .722

**

1.000

Sig. (2-tailed) .000 .

N 25 25

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Berdasarkan Tabel 7 dapat dilihat bahwa angka koefisien korelasi antara jumlah kerusakan tanaman dengan jarak ladang dari hutan adalah 0,722 dengan melihat nilai probabilitas (sig) 0,000<0,05 atau bahkan lebih kecil 0,01 sehingga dapat diketahui bahwa hubungan kedua variabel sangat signifikan artinya hubungan antara kejadian konflik dengan jarak ladang dari batas kawasan hutan adalah kuat. Hal tersebut sesuai dengan Pedoman Pemberian Interpretasi terhadap Koefisien Korelasi oleh Guilford (1956) (Tabel 1) bahwa rentang nilai koefisien korelasi 0,60-0,799 memiliki korelasi kuat. Korelasi bertanda positif (+) artinya hubungan antara jumlah kerusakan tanaman dengan jarak ladang dari hutan searah, yaitu jika jarak ladang semakin dekat dengan kawasan hutan maka tingkat kerusakan tanaman semakin meningkat dan begitu juga sebaliknya.

Jarak dari Jalan

Hubungan korelasi jarak ladang dari jalan yang sangat kuat mempengaruhi jumlah kerusakan tanaman adalah seperti pada Tabel 8.

Tabel 8. Hubungan Korelasi Jumlah Kerusakan Tanaman dengan Jarak Ladang dari Jalan

Jlh_Kerusakan_Tana

man Jarak_dari_Jln Spearman's rho Jlh_Kerusakan_

Tanaman

Correlation

Coefficient 1.000 .516

**

Sig. (2-tailed) . .008

N 25 25

Jarak_dari_Jln Correlation

Coefficient .516

**

1.000

Sig. (2-tailed) .008 .


(1)

15 N 01035’08.4” E 99012’37.8”

25 1000 8-15 100 300 1250 Hutan lahan kering sekunder 0,35- <0,43 Bulu Mario 16 N 01034’344.9”

E 99012’24.5”

45 1015 8-15 100 400 1200 Hutan lahan kering sekunder 0,48-0,60 Bulu Mario 17 N 01034’13.7”

E 99012’28.6”

4 1040 8-15 100 1100 700 Semak belukar <0,24 Bulu Mario

18 N 01035’14,1” E 99012’35.6”

17 952 15-25 700 300 1800 Hutan lahan kering sekunder 0,43 - <0,48 Bulu Mario 19 N 01035’16.2”

E 99012’33.7”

20 970 0-8 800 300 1900 Hutan lahan kering sekunder 0,48-0,60 Bulu Mario 20 N 01034’31.8”

E 99012’32.2”

23 1051 0-8 300 600 900 Semak belukar 0,43 - <0,48 Bulu Mario

21 N 01035’07.2” E 99012’05.6”

55 903 0-8 1100 300 2250 Hutan lahan kering sekunder 0,48-0,60 Sitandiang 22 N 01035’21.9”

E 99012’13.4”

35 900 0-8 1200 200 2400 Hutan lahan kering sekunder 0,43 - <0,48 Sitandiang 23 N 01035’26.2”

E 99012’06.0”

30 872 8-15 1500 200 2650 Hutan lahan kering sekunder 0,43 - <0,48 Sitandiang 24 N 01035’17.4”

E 99012’11.4”

35 892 8-15 1100 100 2350 Hutan lahan kering sekunder 0,43 - <0,48 Sitandiang 25 N 01035’20.4”

E 99012’07.7”

31 891 8-15 1300 200 2500 Hutan lahan kering sekunder 0,43 - <0,48 Sitandiang

Sumber: Data Lapangan (2014).


(2)

Lampiran 3. Skor Data Hasil Pengamatan Faktor-Faktor Fisik yang Mempengaruhi Terjadinya Konflik Orangutan dengan Manusia

No Koordinat Jlh

Keru- sakan

Ketinggian (m dpl)

Kelerengan (%)

Jarak dari Jalan

(m)

Jarak dari Sungai

(m)

Jarak dari Hutan

(m)

Tipe Tutupan Lahan Nilai NDVI Desa Lokasi HOC (Human-Orangutan

Conflict) 1 N 05022’97.3”

E 01071’89.4”

35 2 4 5 5 5 5 0,43 - <0,48 Aek Nabara

2 N 01032’32.5” E 99012’33.9”

50 2 3 4 1 5 5 0,43 - <0,48 Aek Nabara

3 N 05022’15.7” E 01072’21.6”

21 2 3 4 4 2 5 0,43 - <0,48 Aek Nabara

4 N 01032’36.3” E 99012’24.2”

25 2 3 4 1 5 5 0,43 - <0,48 Aek Nabara

5 N 01032’36.7” E 99012’27.2”

20 2 2 4 1 5 5 0,43 - <0,48 Aek Nabara

6 N 05022’ 23.6” E 01072’35.5”

30 2 2 4 4 2 5 0,43 - <0,48 Aek Nabara

7 N 01033’ 11.5” E 99011’41.7”

27 2 1 5 5 1 5 0,24- <0,35 Batu Satail

8 N 01033’52.7” E 99010’20.3”

20 2 3 3 4 1 1 0,43 - <0,48 Batu Satail

9 N 01034’15.0” E 99010’56.3”

14 2 2 2 5 1 1 0,48-0,60 Batu Satail

10 N 01034’09.7” E 99011’13.4”

30 2 1 3 5 1 1 0,35- <0,43 Batu Satail

11 N 01033’42.5” E 99010’52.9”

33 2 1 4 4 1 1 0,43 - <0,48 Batu Satail

12 N 01033’54.0” E 99011’20.9”

15 2 2 5 5 1 2 <0,24 Batu Satail

13 N 010 33’08.6” E 990 11’41.6”

27 2 3 5 4 1 5 0,43 - <0,48 Batu Satail

14 N 01034’29.9” E 99012’30.1”


(3)

15 N 01035’08.4” E 99012’37.8”

25 3 2 5 5 1 1 0,35- <0,43 Bulu Mario

16 N 01034’344.9” E 99012’24.5”

45 3 2 5 4 2 1 0,48-0,60 Bulu Mario

17 N 01034’13.7” E 99012’28.6”

4 3 2 5 2 3 5 <0,24 Bulu Mario

18 N 01035’14,1” E 99012’35.6”

17 3 3 3 5 1 1 0,43 - <0,48 Bulu Mario

19 N 01035’16.2” E 99012’33.7”

20 3 1 3 5 1 1 0,48-0,60 Bulu Mario

20 N 01034’31.8” E 99012’32.2”

23 3 1 5 4 3 5 0,43 - <0,48 Bulu Mario

21 N 01035’07.2” E 99012’05.6”

55 3 1 2 5 1 1 0,48-0,60 Sitandiang

22 N 01035’21.9” E 99012’13.4”

35 2 1 2 5 1 1 0,43 - <0,48 Sitandiang

23 N 01035’26.2” E 99012’06.0”

30 2 2 1 5 1 1 0,43 - <0,48 Sitandiang

24 N 01035’17.4” E 99012’11.4”

35 2 2 2 5 1 1 0,43 - <0,48 Sitandiang

25 N 01035’20.4” E 99012’07.7”

31 2 2 1 5 1 1 0,43 - <0,48 Sitandiang

Sumber: Data Lapangan (2014).

Keterangan Rentang Skor:

Ketinggian (m)

: 1 (300-600); 2 (600-900); 3 (900-1200); 4 (1200-1500); dan 5 (>1500).

Kelerengan (%)

: 1 (0-8); 2 (8-15); 3 (15-25); 4 (25-40); dan 5 (>40).

Jarak dari sungai, jalan, dan hutan (m) : 1 (>1200); 2 (901-1200); 3 (601-900); 4 (301-600), dan 5 (0-300)

Tipe tutupan lahan

: 1 (hutan lahan kering sekunder); 2 (pertanian lahan kering); 3 (pertanian lahan kering campur semak);

4 (sawah); dan 5 (semak belukar).


(4)

Lampiran 4. Rekapitulasi Kuesioner Penelitian

No Nama

Jenis

Kelamin Pekerjaan

Orangutan Masuk ke

Desa

Intensitas Konflik

Kerugian Akibat

Orangutan Penyebab Konflik Orangutan

Cara Mengatasi Gangguan Orangutan Lokasi 1 Harun Hutagalung L Tani >20 tahun Sering Tetap Kekurangan makanan di hutan Dibiarkan saja Aek Nabara 2 Basarudin Harahap L Tani >40 tahun Jarang Menurun Lokasi lahan berdekatan

dengan habitat orangutan

Penangkapan dan pemindahan orangutan

Aek Nabara 3 Marasilo L Tani >40 tahun Sering Meningkat Kekurangan makanan di hutan Dibiarkan saja Aek Nabara

4 Sakti L Tani >40 tahun Jarang Tetap Kekurangan makanan di hutan Penangkapan dan

pemindahan orangutan

Aek Nabara 5 Sibaratakwa L Tani >60 tahun Sering Tetap Kekurangan makanan di hutan Dibiarkan saja Aek Nabara 6 Sudin Pasaribu L Tani >40 tahun Sering Meningkat Kekurangan makanan di hutan Penangkapan dan

pemindahan orangutan

Aek Nabara 7 Sampit Simanjuntak L Tani >40 tahun Sering Tetap Kekurangan makanan di hutan Penangkapan dan

pemindahan orangutan

Batu Satail 8 Ardes Simanjuntak L Tani >40 tahun Sering Meningkat Kekurangan makanan di hutan Penangkapan dan

pemindahan orangutan

Batu Satail

9 Koster Harahap L Tani >40 tahun Sering Meningkat Musim buah Penangkapan dan

pemindahan orangutan

Batu Satail

10 Gatti Simbolon L Tani >40 tahun Sering Meningkat Musim buah Tidak tahu Batu Satail

11 Muktar Simanjuntak L Tani <5 tahun Sering Meningkat Kekurangan makanan di hutan Pengawasan negara Batu Satail 12 Maringan L Tani <5 tahun Jarang Tetap Kekurangan makanan di hutan buffer Batu Satail 13 Amsar Harianja L Tani >5 tahun Sering Meningkat Kekurangan makanan di hutan buffer Batu Satail 14 Arip L Tani >20 tahun Sering Meningkat Kekurangan makanan di hutan Penangkapan dan

pemindahan orangutan

Bulu Mario 15 Samsul Rizal L Tani >10 tahun Sering Meningkat Kekurangan makanan di hutan Penangkapan dan

pemindahan orangutan

Bulu Mario 16 Martunas

Dalimunthe

L Tani >40 tahun Sering Tetap Kekurangan makanan di hutan buffer Bulu Mario 17 Parlagutan

Simanjuntak

L Tani >20 tahun Sering Meningkat Kekurangan makanan di hutan Membuat bunyi-bunyian

Bulu Mario 18 Mahran L Tani >10 tahun Jarang Tetap Kekurangan makanan di hutan Ditakut-takuti

menggunakan ketapel


(5)

19 Piyan L Tani >40 tahun Jarang Tetap Kekurangan makanan di hutan Dibiarkan saja Bulu Mario 20 Hamdan L Tani >20 tahun Sering Meningkat Kekurangan makanan di hutan Penangkapan dan

pemindahan orangutan

Bulu Mario 21 Basaruddin Harahap L Tani <5 tahun Jarang Meningkat Kekurangan makanan di hutan Ditakut-takuti

menggunakan ketapel

Sitandiang 22 Basanuddin L Tani >40 tahun Sering Meningkat Kekurangan makanan di hutan buffer Sitandiang 23 Samia P Tani >40 tahun Sering Meningkat Kekurangan makanan di hutan buffer Sitandiang 24 Muhammad Yunus L Tani >40 tahun Jarang Tetap Kekurangan makanan di hutan Ladang dipelihara

kebersihannya

Sitandiang 25 Rostina Siregar P Tani >40 tahun Jarang Tetap Kekurangan makanan di hutan Buffer Sitandiang

Lampiran 5. Rekapitulasi Kuesioner Penelitian

No Nama

Luas Lahan

(Ha)

Orangutan Dilindungi/ Dipelihara

Upaya Menanggulangi

Serangan Orangutan Pergerakan Orangutan

Perubahan Penggunaan

Lahan

Perubahan

Hutan/Vegetasi Lokasi 1 Harun Hutagalung 1 Dilindungi Ditakut-takuti dengan

dilempar

Musim buah Tidak berubah Tidak berubah Aek Nabara 2 Basarudin Harahap 1 Dilindungi Tidak ada Musim buah Tidak berubah Tidak berubah Aek Nabara

3 Marasilo 0,5 Dilindungi buffer Setiap saat Tidak berubah Tidak berubah Aek Nabara

4 Sakti 1 Tidak buffer Musim buah Tidak berubah Tidak berubah Aek Nabara

5 Sibaratakwa 1 Tidak Tidak ada Musim buah Tidak berubah Meningkat Aek Nabara

6 Sudin Pasaribu 1 Dilindungi buffer Musim buah Tidak berubah Tidak berubah Aek Nabara

7 Sampit Simanjuntak 0,5 Dilindungi buffer Musim buah Tidak berubah Tidak berubah Batu Satail 8 Ardes Simanjuntak 1,5 Dilindungi buffer Musim buah Tidak berubah Tidak berubah Batu Satail

9 Koster Harahap 3 Dilindungi buffer Musim buah Meningkat Meningkat Batu Satail

10 Gatti Simbolon 1,5 Tidak Diusir dengan diketapel Musim buah Meningkat Meningkat Batu Satail 11 Muktar Simanjuntak 2 Dilindungi Diusir dengan diketapel Musim buah Tidak berubah Tidak tahu Batu Satail

12 Maringan 6 Dilindungi Dilempar menggunakan

kayu

Musim buah Meningkat Tidak berubah Batu Satail

13 Amsar Harianja 1 Dilindungi buffer Musim buah Tidak berubah Tidak tahu Batu Satail


(6)

15 Samsul Rizal 1 Dilindungi Mengusir dengan bunyi-bunyian

Musim buah Tidak berubah Meningkat Bulu Mario 16 Martunas

Dalimunthe

3,5 Dilindungi Mengusir dengan bunyi-bunyian

Musim buah Tidak berubah Tidak tahu Bulu Mario 17 Parlagutan

Simanjuntak

3 Dilindungi Mengusir dengan bunyi-bunyian

Musim buah Tidak berubah Meningkat Bulu Mario

18 Mahran 5 Dilindungi Diusir dengan diketapel Musim buah Meningkat Meningkat Bulu Mario

19 Piyan 2 Dilindungi Diusir dengan diketapel Setiap saat Tidak berubah Meningkat Bulu Mario

20 Hamdan 1,2 Dilindungi Mengusir dengan mercon Musim buah Meningkat Meningkat Bulu Mario

21 Basaruddin Harahap 2,5 Tidak Diusir dengan diketapel Setiap saat Tidak berubah Meningkat Sitandiang

22 Basanuddin 3 Dilindungi buffer Musim buah Tidak berubah Tidak berubah Sitandiang

23 Samia 0,5 Dilindungi buffer Musim buah Tidak berubah Tidak tahu Sitandiang

24 Muhammad Yunus 1,25 Dilindungi Diusir dengan diketapel Musim buah Tidak berubah Tidak berubah Sitandiang


Dokumen yang terkait

Pemetaan Sebaran Vegetasi Pakan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali (Studi Kasus : Desa Bulu Mario, Aek Nabara dan Huraba)

5 74 99

Identifikasi dan Pemetaan Pohon Sarang Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali (Studi Kasus : Desa Bulu Mario, Aek Nabara dan Huraba)

4 89 78

Sebaran Pohon Pakan Orangutan Sumatera (Pongo abelii. Lesson,1827.) Menggunakan Aplikasi Sistem Informasi Geografis

5 53 57

Studi Mitigasi Konflik Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berbasis Sistem Informasi Geografis di Sekitar Taman Nasional Gunung Leuser

3 18 113

Studi Mitigasi Konflik Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berbasis Sistem Informasi Geografis di Sekitar Taman Nasional Gunung Leuser

0 0 12

Studi Mitigasi Konflik Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berbasis Sistem Informasi Geografis di Sekitar Taman Nasional Gunung Leuser

0 0 2

KUESIONER WAWANCARA PENELITIAN PEMETAAN DAERAH RAWAN KONFLIK ORANGUTAN (Pongo abelii) DENGAN MANUSIA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI

0 0 9

A. Cagar Alam - Pemetaan Daerah Rawan Konflik Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Menggunakan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus : Desa Aek Nabara, Batu Satail, Bulu Mario, dan Sitandiang)

0 0 13

Pemetaan Daerah Rawan Konflik Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Menggunakan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus : Desa Aek Nabara, Batu Satail, Bulu Mario, dan Sitandiang)

1 1 12

A. Taksonomi dan Aktivitas Orangutan Sumatera (Pongo abelii) - Identifikasi dan Pemetaan Pohon Sarang Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali (Studi Kasus : Desa Bulu Mario, Aek Nabara dan Huraba)

0 0 16