BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Jaminan Kebebasan Beragama Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jaminan terhadap kebebasan beragama pada dasarnya telah diakui dan

  diberikan. Hal ini secara eksplisit dituliskan dalam Undang-Undang Dasar ( UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam Pasal 28 E ayat (1), Pasal 29 ayat (2) telah tegas menyatakan bahwa negara menjamin kebebasan beragama.

  Bahkan dalam Pasal 28 I ayat (1) menyatakan bahwa hak beragama adalah bagian dari hak yang tidak dapat dikurangi oleh siapapun dan dalam keadaan apapun (non derogable rights).

  Meskipun, kebebasan beragama di Indonesia dijamin oleh konstitusi bukanlah berarti kebebasan tanpa batas. Karena dalam setiap pelaksanaan kebebasan tetap terikat dengan kewajiban hak asasi manusia. Dalam Pasal 28 J UUD NRI Tahun 1945 dinyatakan bahwa : (1)Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Pembatasan hak asasi manusia di Indonesia mengartikan bahwa tidak ada kebebasan yang mutlak, sehingga perlu campur tangan pemerintah untuk menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban agar tidak ada hak yang tercederai. Pembatasan tersebut ditetapkan dalam sebuah undang-undang guna menjaga ketertiban umum.

  Pengaturan kebebasan beragama melalui konstitusi telah menjadi jaminan yang sah dalam perlindungan terhadap kebebasan beragama, dan sekaligus menunjukkan prinsip-prinsip sebagai negara hukum. Dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dituliskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Setiap negara yang mengakui sebagai negara hukum tentu menjamin perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).

  Menurut Scheltema yang dikutip oleh Krisna Harahap dalam bukunya Konstitusi Republik Indonesia, ada empat unsur utama negara hukum, yaitu

  

  sebagai berikut: 1. Adanya Kepastian Hukum.

  2. Asas Persamaan.

  3. Asas Demokrasi.

  4. Asas Pemerintahan Untuk Rakyat Sedangkan Sri Soemantri,yang dikutip oleh Krisna Harahap melihat ada empat

  

  unsur yang dipenuhi oleh negara hukum: 1. bahwa pemerintah (dalam arti luas) dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis; 2. adanya jaminan terhadap hak- hak asasi (dan warga negara); 3. adanya pembagian kekuasaan (distribution of power) dalam negara dan; 4. adanya pengawasan peradilan (oleh badan-badan peradilan)

  Dan menurut Jimly Asshiddiqie ada dua belas prinsip-prinsip negara hukum (rechtstaat) dan salah satunya ialah perlindungan hak asasi manusia, jadi jika dalam suatu negara, hak asasi manusia masih terabaikan atau dilanggar secara 4 sengaja dan penderitaan yang ditimbulkan tidak dapat diselesaikan secara adil, 5 Krishna Harahap, Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta: Grafitri Budi Utami, 2004), hal 17.

  Ibid, hal 18 maka negara tersebut tidak dapat dikatakan sebagai negara hukum yang

   sesungguhnya.

  Di Indonesia, perubahan UUD memberikan perubahan atas kebebasan beragama, kebebasan berekspresi, kebebasan berorganisasi. Namun, dalam kenyataannya masih ada pelanggaran terhadap hak asasi manusia, khususnya terhadap kebebasan beragama. Bahkan, ketika pemerintahan dibentuk secara demokratis tetap saja tidak dapat mengurangi pelanggaran kebebasan beragama.

  Menurut H.M. Amin Abdullah pelaksanaan Hak Kebebasan Beragama dan

   Beribadah di tanah air, setidaknya ada 3 pemasalahan. Pertama, Permasalahan perundang‐undangan. Kedua, peran aparat negara dalam penegakan hukum.

  Ketiga, pemahaman tentang negara‐bangsa (nation‐states) oleh masyarakat atau warga negara penganut agama‐agama, pemangku adat dan anggota ras atau etnis.

  Ketiganya saling berkaitan yang tidak bisa dipisahkan antara yang satu dan lainnya.

  Pertama

  , masalah Perundang‐undangan. Ada dua sumber hukum yang ada di tanah air untuk menangani dan menyelesaikan perselisihan pelaksanaan Hak Kebebasan Beragama dan beribadah. Pertama, adalah Undang‐undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.

  Disebutkan dalam Laporan Pelaksanaan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (ICERD) di Indonesia yang dikutip oleh H.M Amin

  6 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, ( Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan MK RI, 2005) hal 127-128

  7 H.M.Amin Abdullah, Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan dalam Prinsip Kemanusiaan . (Yogyakarta, 2011), hal 16

  Universal,Agama-Agama, Dan Keindonesiaan

8 Abdullah , bahwa salah satu penyebab “kematian” 517 aliran kepercayaan sejak

  tahun 1949 hingga tahun 1992 adalah UU No. 1/PNPS/1965. Padahal menurut

  pasal 27 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, kelompok minoritas tidak boleh diingkari haknya untuk menjalankan dan mengamalkan agamanya sendiri. Agama dan keyakinan merupakan bagian mutlak dari identitas sebuah kelompok dan konteks etnis tidak lepas dari persoalan perlindungan kebebasan beragama atau berkeyakinan. Kedua, Apa yang dikenal di Indonesia dengan sebutan SKB (Surat Keputusan Bersama).

  Undang-Undang No 1/PNPS/1965 telah dimohonkan pengujian undang- undang kepada Mahkamah Konstitusi pada tanggal 20 Oktober 2009. Alasan Permohonan tersebut adalah bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan negara hukum, bahwa undang-undang tersebut dikeluarkan dalam kondisi keadaan negara darurat, Dan beberapa pasal dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Namun, Mahkamah Konstitusi menganggap berbeda karena setelah memeriksa, mengadili dan memutuskan akhirnya permohonan tersebut ditolak seluruhnya. Dari sini dapatlah disimpulkan bahwa peraturan perundang-undangan yang dianggap bermasalah yaitu Undang-Undang No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama telah diputuskan tidak bermasalah dalam hal pelaksanaan kebebasan beragama di Indonesia.

  Surat Keputusan Bersama (SKB) baik SKB Dua Menteri (Menteri dalam 8 negeri dan Menteri agama) tentang pendirian rumah ibadah maupun SKB Tiga

  Ibid, hal 18 Menteri (Menteri Dalam Negeri , Jaksa Agung dan Menteri Agama ) tentang Ahmadiyah. Kedua SKB ini masih terus diperdebatkan karena dari segi sosiologis bahwa kehadiran Surat ini tidak dapat memberikan jaminan kebebasan beragama. Dan jika kita meninjau kedudukan SKB dalam Tata Peraturan Perundang-undangan menurut Undang-Undang No 12 Tahun 2011 bahwa SKB tidak merupakan jenis peraturan perundang-undangan. Keadaan ini menimbulkan konsekuensi bahwa SKB tidak dapat diuji materi oleh Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung. Sementara mekanisme yudicial review adalah sarana bagi masyarakat yang terlanggar hak-haknya untuk mengajukan permohonan agar diberikan penjaminan hak-hak sebagai bentuk perlindungan hak asasi manusia.

  Amanat konstitusi kepada pemerintah bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab pemerintah yang dalam pelaksanaannya dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Artinya, Surat Keputusan Bersama bukanlah jalan keluar terhadap pelaksanaan kebebasan beragama dan beribadah di Indonesia sesuai yang diamanatkan oleh konstitusi. Oleh karena itu, permasalahan peraturan perundang-undangan yang dimaksudkan adalah tidak adanya peraturan perundang-undangan yang menjamin secara rinci dan jelas hak-hak beragama guna penjaminan HAM sesuai tujuan negara hukum.

  Kedua , masalah Penegakan Hukum. Ketika terjadi kekerasan terhadap

  anggota atau pengikut golongan minoritas (baik ekstern maupun intern umat beragama), dimanakah keberadaan negara? Masyarakat merindukan keberadaan negara. Melalui para pengamat, media masa maupun media elektronik, saya melihat seolah‐olah ada politik pembiaran oleh negara. Negara, dalam hal ini, pihak kepolisian dan pemerintah daerah dianggap selalu datang terlambat atau tidak dapat mengantisipasi keadaan dengan baik. Keadaan ini mengakibatkan terjadinya bentrokan, penganiyaan atas nama agama, atas dalih agama sesat karena pasifnya pemerintah dalam menanganinya.

  Ketiga , peran warga negara. Yang mengkhawatirkan bagi perjalanan

  bangsa ke depan adalah ditemukan indikasi‐indikasi bahwa pewacanaan sesat, penistaan agama, kekerasan, dan pemidanaan kasus penodaan agama telah menjadi pola umum di masyarakat untuk menyelesaikan konflik internal umat beragama terhadap paham‐paham yang tumbuh berbeda. Situasi ini cukup mengkhawatirkan karena warga kehilangan mekanisme lain untuk mengelola kohesi sosialnya. Rakyat sudah jarang menggunakan jalan musyawarah mufakat untuk menyelesaikan permasalahan kebebasan beragama dan beribadah. Rakyat sudah seperti negara yang mempunyai sifat memaksa, yang melakukan tindakan kekerasan dianggap sah, dianggap benar demi bangsa, dianggap murni atas nama agama.

  Gambaran di atas bertentangan dengan jaminan kebebasan beragama sebagai hak konstitutional masyarakat yang berarti hak dasar masyarakat yang dijamin oleh konstitusi. Di dalam konstitusi, hak-hak dasar warga negara merupakan salah satu bagian yang penting karena menjadi bagian yang menentukan materi dari konstitusi itu sendiri. Menurut Mr. J. G. Steenbeek

  

  sebagaimana dikutip oleh Dahlan Thaib mengungkapkan bahwa secara umum konstitusi memuat tiga hal pokok, yaitu: adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negaranya, ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental, dan adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental.

  Menurut Miriam Budiardjo yang dikutip oleh Vino Devanta dalam Jurnal

10 Konstitusi setiap Undang-Undang Dasar memuat ketentuan-ketentuan

  mengenai: 1.

  Organisasi Negara.

  2. Hak-hak asasi manusia (biasanya disebut bill of rights kalau berbentuk naskah tersendiri).

  3. Prosedur mengubah UUD (amandemen).

  4. Ada kalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari Undang Undang Dasar.

  5. Merupakan aturan hukum yang tertinggi yang mengikat semua warga negara dan lembaga negara tanpa terkecuali.

  Dari pendapat kedua tokoh diatas mengenai materi konstitusi memang dapat dibedakan satu sama lain. Dalam hal ini, pendapat Miriam Budiardjo lebih luas karena ada prosedur perubahan konstitusi. Tetapi ada kesamaan yang paling mendasar antara keduanya, yaitu adanya pembagian kekuasaan dan perlindungan hak asasi manusia. Dengan adanya paham mengenai pembagian kekuasaan dan perlindungan hak asasi manusia maka bisa disebut bahwa suatu konstitusi yang berpaham konstitusionalisme. Dengan kata lain, semua tindakan atau perilaku seseorang ataupun penguasa berupa kebijakan yang tidak didasarkan atau 9 menyimpangi konstitusi, berarti tindakan tersebut adalah tidak konstitusional.

  

Dahlan Thaib dkk, Teori dan Hukum Konstitusi ( Jakarta : PT RajaGrafindo Persada,1999), hal

10

  16 Vino Devanta, Jurnal Konstitusi, Volume 7 Nomor 3 ( Jakarta; Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK, 2010), hal 200-201

  Sehingga penguasa dalam setiap mengeluarkan kebijakan wajib mendahulukan segala aturan yang berkaitan dengan ruang lingkup kewenangan dan hak-hak konstitusional masyarakat agar kebijakannya tersebut memiliki sifat melindungi masyarakat yang dikuasainya.

B. Permasalahan

  Berdasarkan latar belakang di atas, maka Penulis mengemukakan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana Kaitan antara Konstitusi dengan Hak Asasi Manusia

  (HAM) di dalam Negara Hukum? 2. Bagaimana Jaminan Kebebasan Beragama Menurut Undang- Undang

  Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945?

C. Tujuan dan Manfaat

  1. Tujuan Adapun tujuan yang hendak dicapai dari skripsi ini adalah sebagai berikut: a.

  Untuk mengetahui bagaimana kaitan antara Konstitusi dengan Hak Asasi Manusia (HAM).

  b.

  Untuk mengetahui bagaimana Jaminan kebebasan beragama sebagai perlindungan HAM menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

  2. Manfaat Diharapkan skripsi ini akan memberikan manfaat: a. Secara Teoritis

  Skripsi ini diharapkan bermanfaat sebagai tambahan dokumentasi hukum berkaitan dengan jaminan kebebasan beragama menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan sebagai upaya pengembangan pengetahuan Hukum Tata Negara dalam pelaksanaan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM).

  b.

  Secara Praktis Skripsi ini ditujukan kepada segenap kalangan, baik itu Akademisi,

  Praktisi Hukum, Aparat Penegak Hukum, Para Penyelenggara Negara, dan Semua Pihak yang ingin mengetahui bagaimana Jaminan kebebasan beragama menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

  Skripsi ini juga ditujukan kepada organisasi- organisasi keagamaan, lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk menambah pengetahuan mengenai Hak Asasi Manusia secara umum dan Hak beragama secara khusus. Skripsi ini juga ditujukan kepada Bangsa tercinta, Indonesia dalam mencapai kerukunan beragama di Indonesia sebagai bukti bahwa Indonesia adalah Negara yang berdasar pada Ketuhanan Yang Maha Esa.

D. Keaslian Penulisan

  Penulisan skripsi ini merupakan tugas akhir yang harus dipenuhi penulis untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

  Skripsi ini berjudul “JAMINAN KEBEBASAN BERAGAMA MENURUT

  

UUD NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945” belum pernah

  dibahas oleh Mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan skripsi ini asli serta bukan plagiat ataupun diambil dari skripsi orang lain. Skripsi ini merupakan penemuan kebenaran ilmiah, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Apabila ada skripsi yang sama,maka akan dipertanggungjawabkan penulis sepenuhnya.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Konstitusi

  Istilah konstitusi berasal dari bahasa Perancis (constituer) yang berarti membentuk. Pemakaian istilah konstitusi yang dimaksudkan ialah pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan negara. Dalam bahasa latin, kata Konstitusi merupakan gabungan dari dua kata, yaitu cume dan statuere. Cume adalah sebuah preposisi yang berarti “ bersama dengan…”, sedangkan statuere bersal dari kata sta yang membentuk kata kerja pokok stare yang berarti berdiri. Atas dasar itu, kata statuere mempunyai arti ” membuat sesuatu agar berdiri atau mendirikan/ menetapkan”. Dengan demikian bentuk tunggal (constitutio) berarti menetapkan sesuatu secara bersama-sama dan bentuk jamak (constitusiones) berarti segala sesuatu yang telah ditetapkan. Pengertian konstitusi menurut C.F.

  Strong yang dikutip oleh Dahlan Thaib dalam bukunya Teori dan Hukum

11 Konstitusi adalah “constitution is a collection of principles according to which

  

the power of the government, the rights of the governed, and the relations between

the two are adjusted.

  Jika dalam Bahasa Indonesia diartikan sebagai suatu kumpulan asas-asas 11 yang menyelenggarakan :

  Dahlan Thaib, op cit, hal 1

1. Kekuasaan Pemerintah (dalam arti luas) 2.

  Hak-hak dari yang diperintah 3. Hubungan antara pemerintah dan yang diperintah (menyangkut di dalamnya masalah Hak Asasi Manusia)

  Konstitusi memuat suatu aturan pokok (fundamental) mengenai sendi- sendi pertama untuk menegakkan suatu bangunan besar yang disebut negara.

  Sendi-sendi itu tentunya harus kokoh, kuat dan tidak mudah runtuh agar bangunan negara tetap tegak berdiri. Ada dua macam konstitusi di dunia, yaitu “Konstitusi Tertulis” (Written Constitution) dan “Konstitusi Tidak Tertulis” (Unwritten

  

Constitution ), ini diartikan seperti halnya “Hukum Tertulis” (Geschreven Recht)

  yang termuat dalam undang-undang dan “Hukum Tidak Tertulis” (Ongeschreven

  

Recht ) yang berdasar adat kebiasaan. Dalam karangan “Constitution of Nations”,

  Amos J. Peaslee menyatakan hampir semua negara di dunia mempunyai konstitusi tertulis, kecuali Inggris dan Kanada.

  Di beberapa negara ada dokumen tetapi tidak disebut konstitusi walaupun sebenarnya materi muatannya tidak berbeda dengan apa yang di negara lain disebut konstitusi. Ivor Jenning yang dikutip oleh Mirza Nasution menyatakan di negara-negara dengan konstitusi tertulis ada dokumen tertentu yang

  

  menentukan : a.

  Adanya wewenang dan tata cara bekerja lembaga kenegaraan b. Adanya ketentuan berbagai hak asasi dari warga negara yang diakui 12 dan dilindungi

  Mirza Nasution, Negara dan Konstitusi, ( Medan: FH-USU, 2004), hal 3

  Di Inggris baik lembaga-lembaga negara termaksud dalam huruf a maupun pada huruf b yang dilindungi, tetapi tidak termuat dalam suatu dokumen tertentu.

  Dokumen-dokumen tertulis hanya memuat beberapa lembaga-lembaga negara dan beberapa hak asasi yang dilindungi, satu dokumen dengan yang lain tidak sama.

  Karenanya dilakukan pilihan-pilihan di antara dokumen itu untuk dimuat dalam konstitusi. Pilihan di Inggris tidak ada. Penulis Inggris yang akhirnya memilih lembaga-lembaga mana dan hak asasi mana oleh mereka yang dianggap “constitutional.” Ada konstitusi yang materi muatannya sangat panjang dan sangat pendek. Konstitusi yang terpanjang adalah India dengan 394 pasal. Kemudian Amerika Latin seperti uruguay 332 pasal, Nicaragua 328 pasal, Cuba 286 pasal, Panama 271 pasal, Peru 236 pasal, Brazil dan Columbia 218 pasal, selanjutnya di Asia, Burma 234 pasal, di Eropa, belanda 210 pasal. Konstitusi terpendek adalah Spanyol dengan 36 pasal, Indonesia 37 pasal, Laos 44 pasal, Guatemala 45 pasal,

   Nepal 46 pasal, Ethiopia 55 pasal, Ceylon 91 pasal dan Finlandia 95 pasal.

2. Hak Asasi Manusia

  Tema Hak Asasi Manusia (HAM) walau baru dirumuskan secara eksplisit pada abad ke – 18, namun aspek hak asasi manusia telah dikenal sejak zaman Yunani dengan permunculan teori hukum kodrat sekitar 600- 400 SM. Masalah HAM juga telah dibahas oleh beragam agama ratusan tahun lampau, seperti Kristen sebagaimana termaktub dalam Alkitab dan Islam termaktub di dalam Al- Quran. Tonggak sejarah keberpihakan Islam terhadap HAM adalah 13 dideklarasikannya Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah) atau dikenal juga

  Ibid, hal 3 dengan sebutan Konstitusi Madinah. Menurut Al-Sayyid Muhammad Ma’ruf al Dawalibi dari Universitas Islam Internasional Paris, seperti dikutip Nurcholish Madjid, “yang paling menakjubkan dari semuanya tentang Konstitusi Madinah itu ialah bahwa dokumen itu memuat, untuk pertama kalinya dalam sejarah, prinsip- prinsip dan kaedah- kaedah kenegaraan dan nilai-nilai kemanusiaan yang

  

  sebelumnya tidak pernah dikenal manusia” Muhammad Hamidullah dalam Majmu’at al- Watsa’iq al- Siyasiyyah li al-

  ‘Ahd al-Khilafat al-Rasyidah (kumpulan-kumpulan dokumen-dokumen Politik pada masa Nabi dan al-Khulafa’ al –Rasyidun) mengatakan bahwa Piagam Madinah sangat dikagumi para sarjana modern karena meletakkan prinsip Kebebasan Beragama dan Berusaha (ekonomi). Keberpihakan Islam terhadap HAM ini melalui Piagam Madinah dilanjutkan oleh Deklarasi Kairo (The Cairo

  

Declaration of Human Rights in Islam) pada 5 Agustus 1990. Deklarasi ini

  dinyatakan oleh 45 negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI), sebagai hasil konferensi Islam di Kairo, Mesir, pada 31 Juli- 5 Agustus 1990. Pada intinya, Deklarasi Kairo menyatakan penghapusan diskriminasi berbasis ras, warna kulit, bahasa, kepercayaan, jenis kelamin, agama, afiliasi politik, maupun status sosial dengan mendasarkan kepada Syariat Islam.

  Di Abad Reformasi dan Pencerahan, pribadi insan dalam hubungannya dengan penguasa memperoleh tempat yang lebih sentral dalam pemikiran hukum.

  Filosof John Locke, misalnya, meletakkan dasar pengakuan hak fundamental 14 manusia, yang tidak dapat dipindahkan kepada orang lain, dan harus dijamin oleh

  

MK RI, Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945 Bagian 8, ( Jakarta: Sekretariat Jenderal MK-RI, 2008), hal 20 penguasa. Pemikiran Locke berpengaruh besar terhadap kemajuan di bidang kodifikadasi HAM. Kodifikasi dimaksud antar lain adalah English Bill of Rights tahun 1689, The United States Declaration of Independence tahun 1776, dan France Declaration Des Droits de I’homme et Du Citoyen tahun 1789.

  Di Indonesia, perkembangan pemikiran Hak Asasi Manusia sudah dimulai sejak sebelum proklamasi kemerdekaan. Hal ini merupakan pendapat dari Bagir Manan dalam bukunya Perkembangan pemikiran dan pengaturan HAM di

   Indonesia yang dikutip oleh Dahana Putra, yaitu : 1.

  Periode Sebelum Kemerdekaan (1905-1954) Sebagai organisasi pergerakan, Boedi Utomo menaruh perhatian terhadap masalah HAM. Dalam konteks pemikiran HAM, Pemimpin Boedi Utomo memperlihatkan kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui petisi yang ditujukan kepada pemerintah kolonial maupun tulisan yang dimuat surat kabar Goeroe Desa. Selanjutnya, pemikiran HAM pada perhimpunan indonesia banyak dipengaruhi oleh tokoh organisasi seperti Muhammad Hatta, AA Maramis dsb. Pemikiran HAM para tokoh lebih menitikberatkan pada hak untuk menentukan nasib sendiri (the right of self determination). Selanjutnya, serikat islam organisasi yang dimotori oleh H. Agus Salim dan Abdul Muis menekankan pada usaha – usaha memperoleh penghidupan yang layak dan bebas dari penindasan dan diskriminasi rasial. Sedangkan pemikiran HAM dalam PKI sebagai partai paham Marxisme condong pada hak – hak yang bersifat sosial dan menyentuh isu – isu alat produksi. Konsen kepada terhadap HAM juga ada pada Indische Partij yang menyatakan bahwa hak untuk mendapatkan kemerdekaan serta mendapat perlakuan yang sama. Sedangkan pemikiran HAM partai Nasional Indonesia mengedepankan hak memperoleh kemerdekaan. Adapun pemikiran HAM dalam organisasi Pendidikan Nasional Indonesia yang didirikan oleh M. Hatta setelah Partai Nasional Indonesia dibubarkan lebih menekankan hak politik yaitu hak untuk menentukan nasib sendiri, hak untuk mengeluarkan pendapat, hak berserikat dan berkumpul, hak persamaan dimuka hukum serta hak untuk turut dalam penyelenggaraan negara. Pemikiran HAM sebelum Indonesia merdeka juga terjadi perdebatan disidang BPUPKI antara Soekarno dan Soepomo ( satu pihak ) 15 dengan M. Hatta dan M. Yamin ( lain pihak ).

  

Dahana Putra,iakses pada tanggal

13 Januari 2012

  2. Periode Setelah Kemerdekaan ( 1945 – sekarang )

  a) Periode 1945 – 1950 Pemikiran HAM periode awal kemerdekaan masih menekankan hak untuk merdeka (self Determination) hak kebebasan berserikat melalui organisasi politik yang didirikan serta hak kebebasan untuk menyampaikan pendapat di parlemen. Pemikiran HAM telah mendapat legitimasi secara formal karena memperoleh pengaturan dan masuk ke dalam hukum dasar negara (konstitusi) yaitu UUD 1945 dan prinsipkedaulatan rakyat dan berdasarkan atas hukumdijadikan sebagai sendi bagi penyelenggaraan Negara Indonesia Merdeka. Langkah selanjutnya memberikan keleluasaan kepada Rakyat untuk mendirikan partai politik. Pemerintah menyukai timbulnya partai politik karena dengan adanya partai poltik dapat dipimpin kejalan yang teratur segala aliran yang ada dalam masyarakat.

  Pemerintah juga berharap partai tersebut telah tersusun sebelum dilangsungkannya pemilihan Anggota Badan Perwakilan Rakyat pada Januari 1946. Hal yang sangat penting dalam kaitannya dengan HAM adalah adanya perubahan mendasar dan signifikan terhadap sistem pemerintahan dari presidensil manjadi sistem parlementer sebagaimana tertuang dalam

  b) Periode 1950 – 1959 Periode 1950 – 1959 dalam perjalanan Negara Indonesia dikenal dengan sebutan periode Demokrasi Parlemen. Dalam pemikiran HAM di periode ini mendapat tempat di kalangan elit politik karena semangat, pemikiran dan aktualisasi HAM periode ini mengalami “pasang” dan menikmati “Bulan Madu” kebebasan. Pertama : Semakin banyak tumbuh partai politikdengan beragam ideologinya masing – masing.

  Kedua : kebebasan pers sebagai salah asatu pilar demokrasi menikmati kebebasannya. Ketiga : pemilihan umum sebagai pilar lain demokrasi berlangsung dalam suasana kebebasan, fair (adil) dan demokratis. Keempat : Parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai representasi dari kedaulatan rakyat menunjukan kinerja dan kelasnya sebagai wakil rakyat dengan melakukan kontrol yang semakin efektif. Kelima : Wacana dan pemikiran tentang HAM mendapatkan iklim yang kondusif sejalan dengan tumbuhnya kekuasaan yang memberikan ruang kebebasan.

  c) Periode 1959 – 1966 Pada periode ini sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem

  Demokrasi terpimpin sebagai reaksi soekarno terhadap sistem demokrasi parlementer. Pada sistem ini (Demokrasi Terpimpin) kekuasaan terpusat dan berada ditangan presiden, akibat dari sistem demokrasi terpimpin presiden melakukan tindakan Inkonstitusional baik pada tatanan supra struktur politik maupun dalam tatanan infrastruktur politik. Dalam kaitan dengan HAM telah terjadi pemasungan Hak Asasi Masyarakat yaitu hak sipil dan hak politik seperti hak untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan fikiran dengan tulisan. Dengan kata lain telah terjadi sikap restriktif (pembatasan yang ketat oleh kekuasaan) terhadap hak sipil dan hak politik warga negara.

  d) Periode 1966 – 1998 Setelah terjadi peralihan pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto ada semangat untuk menetapkan HAM dan telah diadakan berbagai seminar tentang

  HAM, salah satunya dilaksanakan pada tahun 1967 yang merekomendasikan gagasan tentang perlunya pembentukan pengadilan HAM. Pembentukan Komisi dan Pengadilan HAM untuk wilayah asia. Selanjutnya pada tahun 1968 diadakanseminar Nasional Hukum II yang merekomendasikan perlunya hak uji materi (Judicial review) dilakukan guna melindungi HAM. Begitu pula dalam rangka pelaksanaan TAP MPRS NO. XIV/MPRS 1966, MPRS melalui panitia Ad Hoc IV telah menyiapkan rumusan yang akan dituangkan dalam piagam tentang HAM dan hak – hak serta kewajiban warga negara. Pada awal tahun 1970 sampai periode ahir 1980 an persoalan HAM di Indonesia mengalami kemunduran karena HAM tidak lagi dihormati, dilindungi dan ditegakkan. Pemikiran elit politik pada masa ini diwarnai penolakan terhadap HAM sebagai produk barat dan individualistik serta bertentangan dengan faham kekeluargaan yang dianut bangsa Indonesia. Pemerintah pada masa ini bersifat defensif dan represif yang dicerminkan dari produk hukum yang restriktif terhadap HAM. Sikap Defensif ini berdasarkan pada anggapan bahwa isu HAM digunakan negara barat untuk memojokan negara berkembang seperti Indonesia. Meskipun fihak pemerintah mengalami kemandegan, pemikiran HAM terus ada dikalangan LSM dan akademisi yang cocern terhadap penegakkan HAM. Upaya yang dilakukan masyarakat melalui pembentukan jaringan dan lobi Internasional terkait dengan pelanggaran HAM seperti kasus tanjung priok, kedung ombo dan sebagainya. Pada periode 1990 an memperoleh hasil yang menggembirakan karena pergeseran strategi pemerintah dari represif dan depensif ke strategi akomodatif terhadap tuntutan penegakan HAM. Hal ini ditandai dengan dibentuknya KOMNAS HAM berdasar KEPRES NO. 50 tahun 1993 tanggal 7 Juni 1993 yang bertugas untuk memantau, menyelidiki pelaksanaan HAM, serta memberi pendapat, pertimbangan dan saran kepada pemerintah perihal pelaksanaan HAM sesuai dengan pancasila dan UUD 1945 (termasuk hasil amandemen) piagam PBB, Deklarasi Unuversal HAM. Dampak sikap akomodatif pemerintah dan dibentuknya KOMNAS HAM sebagai lembaga independen adalah bergesernya paradigma pemerintah terhadap HAM dari partikularistik ke Universalistik serta semakun kooperatifnya pemerintah terhadap upaya penegakan HAM di Indonesia.

  Konstitusi Indonesia yang pertama yaitu UUD 1945 telah mencantumkan pengaturan mengenai hak-hak asasi. Hak-hak asasi yang tercantum dalam UUD 1945 tidak termuat dalam suatu piagam yang terpisah, tetapi tersebar dalam pasal 27-31. Pasal-pasal ini sangat terbatas jumlahnya dikarenakan dirumuskan secara singkat. Tidak cukup waktunya untuk membahas hak-hak asasi secara mendalam karena waktu yang mendesak. Selain itu, diantara Founding Fathers kita terdapat perbedaan pendapat mengenai peranan hak-hak asasi di dalam negara demokratis.

  Pendapat-pendapat pada waktu itu banyak dipengaruhi oleh Declration des droits de I’homme et du citoyen, yang dianggap sebagai sumber individualisme dan liberalisme. Oleh karena itu, dianggap bertentangan dengan asas kekeluargaan dan asas gotong-royong. Mengenai hal ini Ir. Soekarno pada waktu itu menyatakan sebagai berikut : jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita kepada faham kekeluargaan, faham tolong-menolong, faham gotong-royong dan keadilan sosial, enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap-tiap faham Individualisme dan liberalisme daripadanya.

  Sebaliknya Dr. Hatta berpendapat walaupun menyetujui prinsip kekeluargaan, dan menentang individualisme dan liberalisme, namun tetap masih diperlukan hak-hak asasi manusia diatur oleh Undang-Undang Dasar agar mencegah timbulnya negara kekuasaan (machtstaat). Akhirnya, tercapailah pengaturan secara terbatas HAM diatur dalam Undang-Undang Dasar

3. Negara Hukum

  Secara konseptual istilah negara hukum di Indonesia dipadankan dengan dua istilah dalam bahasa asing, yaitu: a.

  Bahasa Belanda istilahnya rechtstaat, digunakan untuk menuju tipe negara hukum yang diterapkan di negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental atau civil law system. b.

  Bahasa Inggris menggunakan istilah rule of law untuk menunjuk tipe negara hukum dari Anglo Saxon atau negara-negara yang menganut common law system. Perbedaan antara rechtstaat dan rule of law, antara lain dapat disebut bahwa konsep rechstaat lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme, karena itu berwatak revolusioner, sedangkan rule of law lahir dari perkembangan

   Yurispundensi, sehingga perkembangannya bersifat evolusioner.

  Menurut Friedrich Julius Stahl yang dikutip oleh I Dewa Gede Atmaja, unsur-

  

  unsur Rechstaat, terdiri atas empat unsur pokok, yaitu: a.

  Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia b. Negara didasarkan pada trias politika (pemisahan kekuasaan negara atas kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudisial) c.

  Pemerintahan diselenggarakan atas undang-undang dasar (wetmatigheid

  van bestuur) d.

  Ada peradilan administrasi negara yang berwenang menangani kasus perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah (

  onrechtsmatigoverheidsdaad )

  Ciri-ciri rechtstaat tersebut menunjukkan bahwa ide sentral rechstaat adalah pengakuan dan perlindungan hak- hak asasi manusia yang bertumpu pada prinsip kebebasan dan persamaan. Sehingga dibentuklah UUD yang akan menjadi jaminan konstitusional atas hak-hak manusia. Dan pembagian kekuasaan yang dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penumpukan kekuasaan dalam satu tangan. Kekuasaan yang berlebihan yang dimilki seseorang cenderung mengekan kebebasan dan persamaan.

   16 Sedangkan menurut A.V. Dicey, terdiri atas tiga unsur, yaitu:

Iriyanto A. Negara Hukum dan Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi ( Bandung:

17 Alumni Bandung, 2008), hal 33

  I Dewa Gede Atmadja, Hukum Konstitusi ( Malang: Setara Press, 2010), hal 158 a.

  Supremasi hukum (supremacy of law) b. Persamaan di muka hukum (equality before the law) c. Hak asasi individu (individual rights). Tidak memerlukan peradilan administrasi, karena peradilan umum dianggap berlaku untuk semua orang baik bagi warga negara maupun pejabat pemerintah. Keempat prinsip ‘rechtsstaat’ yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut di atas pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip ‘Rule of Law’ yang dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri Negara Hukum modern di zaman sekarang. Bahkan, oleh “The International Commission of Jurist”, prinsip-prinsip Negara Hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan bebas dan tidak memihak (Independence and Impartiality of Judiciary) yang di zaman sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara demokrasi. Prinsip-prinsip yang dianggap ciri penting Negara Hukum menurut The

   International Commission of Jurist yang dikutip oleh Jimly Assidhiqie adalah: 1. Negara harus tunduk pada hukum.

  2. Pemerintah menghormati hak-hak individu.

  3. Peradilan yang bebas dan tidak memihak. Sebelum perubahan UUD 1945, prinsip negara hukum Indonesia ditegaskan dalam penjelasan UUD 1945, yang menentukan bahwa Negara

  Indonesia berdasar atas hukum (rechtstaat) tidak berdasar kekuasaan belaka. menurut Philiipus M. Hadjon yang berpendapat berdasar sudut pandang yuridisme 18 Pancasila, maka negara hukum Indonesia secara ideal adalah negara hukum 19 Ibid, hal 159

Jimly Asshiddiqie,http://jimly.com/makalah/namafile/57/Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf,

  diakses pada tanggal 04 Februari 2012 pancasila, yang unsur-unsurnya dikutip oleh I Dewa Gede Atmaja, sebagai berikut:

  a.

  Keserasian hubungan antara pemerintah dan Rakyat berdasar asas kerukunan nasional

  b.

  Hubungan yang fungsional dan proporsional antara kekuasaan negara c. Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir

  d.

  Keseimbangan antara hak dan kewajiban. Setelah perubahan UUD 1945, dalam pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 dituliskan bahwa negara indonesia adalah negara hukum. Dalam konsep

  Negara Hukum itu, diidealkan bahwa yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum, bukan politik ataupun ekonomi.

  Karena itu, jargon yang biasa digunakan dalam bahasa Inggris untuk menyebut prinsip negara hukum adalah ‘the rule of law, not of man’. Yang disebut pemerintahan pada pokoknya adalah hukum sebagai sistem, bukan orang per orang yang hanya bertindak sebagai ‘wayang’ dari skenario sistem yang mengaturnya.

4. Kebebasan Beragama

  Ada banyak pengertian kebebasan, dan pengertian yang paling sederhana dan klasik adalah tidak adanya larangan. Meskipun demikian konsep dasar kebebasan juga harus memperhatikan tidak adanya intervensi dari kebebasan yang telah dilakukan tersebut terhadap kebebasan orang lain. jadi, ada dua kebebasan yang seimbang, yakni bebas untuk melakukan dan bebas untuk tidak diintervensi oleh tindakan tersebut.

  Dalam Blacks Law dictionary yang dikutip oleh Al-khanif mengartikan kebebasan sebagai sebuah kemerdekaan dari semua bentuk-bentuk larangan

  

  kecuali larangan-larangan yang diatur dalam undang-undang. Jadi, dapatlah disimpulkan bahwa sesungguhnya manusia mempunyai hak untuk bebas selama hak-hak tersebut tidak bertentangan dengan larangan yang ada dalam hukum.

  Berdasarkan definisi-definisi tersebut diatas, kebebasan didalam hak asasi manusia adalah kebebasan untuk menunggalkan atau mengerjakan sesuatu hal seperti yang telah diatur didalam peraturan-peraturan internasional dan nasional tentang hak asasi manusia. Dalam kaitannya dengan kebebasan beragama, setiap individu mempunyai kebebasan seperti yang diatur dalam sebuah peraturan misalnya dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia mengatur seperti hak untuk menganut, berpindah, mempertahankan atau tidak memeluk suatu keyakinan apapun, serta menjalankannya baik dimuka umum maupun sendiri.

  Kebebasan beragama adalah bagian dari hak beragama yang tergolong dalam Hak Asasi Manusia (HAM). hal ini dituliskan dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam pasal 28E ayat (1) “setiap orang bebas

  

memeluk agama dan beribadah menurut agamanya , memilih pendidikan dan

  pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat

  

  tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.” Dalam pasal 28I ayat (1) “hak untuk hidup, hak untuk tidak dapat disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak dapat diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, hak untuk tidak

  20 21 Al Khanif, Hukum dan Kebebasan Beragama (Yogyakarta: Laksbang Mediatama, 2010), hal 87

MK RI, UUD NKRI Tahun 1945& UU RI Nomor 24 Tahun 2003 (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan kepaniteraan MK RI), hal 47-48 dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak

  

  dapat dikurangi dalam keadaan apapun” Hak beragama mempunyai dua dimensi yaitu forum internum (ruang privat) dan forum eksternum (ruang publik). Forum internum menyangkut eksistensi spiritual yang melekat pada setiap individu, sementara forum eksternum adalah mengkomunikasikan eksistensi spiritual individu tersebut kepada publik dan membela keyakinannya di publik.

  Forum internum menyangkut kebebasan untuk memiliki dan mengadopsi agama atau keyakinan sesuai pilihan setiap individu, juga kebebasan untuk mempraktekan (to practice) agama atau keyakinannya secara privat. Hak atas kebebasan berfikir dan keyakinan juga mengandung arti setiap orang punya hak untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran dan keyakinan bebas dari pengaruh eksternal yang tidak layak (impermissible external influence) seperti doktrinisasi, cuci otak, manipulasi, mempengaruhi pikiran melalui obat-obat psikoaktif, atau koersi.

  Sedangkan forum eksternum ialah menyangkut kebebasan memanifestasikan agama seperti; penyembahan (worship), upacara keagamaan (observance), dan pengajaran (teaching). Penyembahan mengandung arti bentuk berdoa dan kebebasan ritual, serta kotbah/dakwah. Upacara keagamaan menyangkut prosesi agama dan menggunakan pakaian agama. Sementara pengajaran menyangkut penyebaran substansi ajaran agama dan keyakinan. 22 Kebebasan berkumpul dalam hubungannya dengan agama, mendirikan dan

  Ibid., hal 50 menjalankan institusi kemanusiaan yang layak, menerbitkan dan publikasi yang relevan. Jadi, dapatlah disimpulkan bahwa forum internum adalah internalisasi kebebasan beragama sedangkan forum eksternum adalah pengaplikasian kebebasan beribadah.

F. Metode Penelitian

  Dalam rangka merumuskan isi skripsi ini, maka digunakan metode penulisan yang diuraikan sebagai berikut;

  1. Jenis Penelitian Jenis Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini Penelitian Yuridis Normatif yaitu jenis penelitian yang dilakukan dengan cara menganalisis norma-norma hukum yang berlaku. Dalam hal ini, penelitian dilakukan dengan cara menganalisa norma-norma hukum nasional dan internasional yang berkenan dengan penelitian.

  2. Data Penelitian Penelitian ini bersumber dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yaitu sebagai berikut: a.

  Bahan Hukum Primer, yaitu peraturan perundang-undangan yang relevan dengan penelitian ini seperti: a.

  Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 b. Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak

  Asasi Manusia) c. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan

  International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan

  Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 119 d. Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor

  165 e. Undang-Undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

  Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82 f. Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor

  109 g. Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

  Nasional dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78 h. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi

  Kependudukan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 124 i.

  Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 170 b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu tulisan-tulisan atau karya-karya para ahli hukum dalam buku-buku teks, tesis, makalah, jurnal, surat kabar, internet, dan media lainnya yang relevan dengan penelitian ini, putusan Mahkamah Konstitusi, dan Naskah Komprehensif Risalah Sidang Amandemen UUD.

  c.

  Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan-bahan yang digunakan guna menunjang bahan hukum sekunder seperti kamus hukum dan kamus bahasa.

  3. Teknik Pengumpulan Data Teknik Pengumpulan Data yang digunakan adalah Tinjauan Kepustakaan (Library Research). Tinjauan Kepustakaan (Library Research) merupakan teknik pengumpulan data dengan cara penelitian kepustakaan atau data sekunder. Data sekunder adalah data-data yang berasal dari sumber-sumber atau bahan-bahan tertulis yang ditulis oleh para sarjana dan ahli sehingga datanya dapat diakui.

  4. Analisis Data Pengolahan data yang dilakukan dalam menyelesaikan skripsi ini adalah dengan menganalisa permasalahan yang dibahas. Adapun analisis data dilakukan dengan cara: a.

  Mengumpulkan data-data dan bahan-bahan hukum yang relevan dengan objek penelitian.

  b.

  Memilih kaidah-kaidah hukum ataupun doktrin-doktrin yang sesuai dengan objek penelitian.

  c.

  Mensistematiskan kaidah-kaidah hukum dan doktrin-doktrin tersebut.

  d.

  Menjelaskan korelasi antara kaidah-kaidah hukum dan atau doktrin- doktrin tersebut. e.

  Menarik kesimpulan dengan pendekatan deduktif.

G. Sistematika Penulisan

  Untuk dapat mempermudah pemahaman skripsi ini, maka pembahasan dalam skripsi ini akan diuraikan secara sistematis. Adapun penulisan skripsi ini dibagi ke dalam 5 Bab yang berhubungan satu sama lainnya, yaitu:

  BAB I : Bab ini berisi Pendahuluan yang terdiri atas Latar Belakang Penulisan, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan, hingga Sistematika Penulisan. BAB II : Bab ini membahas tentang tinjauan mengenai Konstitusi, Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum. BAB III : Bab ini membahas tentang Hubungan ataupun Kaitan antara Konstitusi dan Hak Asasi Manusia di dalam Negara Hukum. BAB IV : Bab ini membahas tentang Jaminan Kebebasan Beragama dalam UUD NRI Tahun 1945. Bab V : Bab terakhir dalam skripsi ini yang berisi penutup berupa Kesimpulan dari keseluruhan penelitian yang dilakukan serta juga Saran.