Jaminan Kebebasan Beragama Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

(1)

JAMINAN KEBEBASAN BERAGAMA MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Dan Melengkapi Tugas- Tugas Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

HOT MARUDUR T S NIM : 070200176

DEPARTEMEN HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

JAMINAN KEBEBASAN BERAGAMA MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Dan Melengkapi Tugas- Tugas Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

HOT MARUDUR T S NIM : 070200176

DEPARTEMEN HUKUM TATA NEGARA Disetujui Oleh:

Ketua Departemen Hukum Tata Negara

Armansyah ,S.H., M.Hum. NIP: 195810071986011002

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Faisal Akbar Nst, SH, M.Hum. Drs. Nazarudin,SH, M.A. NIP: 195902111987031002 NIP: 19550611980031004


(3)

Kata Pengantar

Terpujilah Engkau, Tuhan di Bumi seperti di Sorga yang tetap setia memberikan perlindungan dan bantuan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Dan penulis yakin Penyertaan Tuhan tidak akan habis dan berhenti sampai disini untuk kita semua.

Penulisan skripsi ini adalah kewajiban akhir penulis sebagai mahasiswa di Fakultas Hukum- Universitas Sumatera Utara untuk mendapatkan gelar kesarjanaan. Adapun judul skripsi ini adalah ”JAMINAN KEBEBASAN BERAGAMA MENURUT UNDAN-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945.” Judul ini berangkat dari keprihatinan penulis terhadap kebebasan beragama di Indonesia, sehingga mendorong penulis untuk mempelajari konsep kebebasan beragama di Indonesia melalui Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta harapan penulis skripsi ini bermanfaat bagi banyak pihak.

Atas terselesaikannya skripsi ini, penulis sampaikan terima kasih kepada orang tua, yaitu Bapak M. Siringoringo dan Ibu D. Sormin. Kasih sayang dan Doa kalian berdua menjadi Kekuatan yang hidup bagi penulis dalam melewati hidup yang belum berakhir ini. Ada begitu banyak nasehat- nasehat sederhana yang disampaikan Bapak dan Ibu kepada penulis yang menjadi motivasi bagi penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini “ Tak ada gunung yang tak dapat didaki dan tak ada bukit yang tak dapat dituruni ” lewat nasehat ini penulis jadi pantang menyerah dan penulis semakin yakin bahwa tak ada yang tak mungkin terjadi kalau kita memperjuangkannya.


(4)

Secara khusus penulis ucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H.,M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H.,M.Hum. selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin, S.H.,M.H.,D.F.M. selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak M. Husni, S.H.,M.Hum. selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

5. Bapak Armansyah, S.H.,M.Hum. selaku Ketua Departemen Hukum Tata Negara.

6. Bapak Yusrin, S.H.,M.Hum. selaku Sekertaris Departemen Hukum Tata Negara.

7. Bapak Dr. Faisal Akbar, S.H.,M.Hum. selaku Dosen Pembimbing I yang telah membimbing penulis dalam penulisan skripsi ini. Kebaikan Bapak selalu penulis kenang.

8. Bapak Drs. Nazaruddin,S.H.,M.A. selaku Dosen Pembimbing II yang telah mengajari penulis mulai dari awal sampai pada akhir penulisan skripsi ini. Bimbingan Bapak sangat bermanfaat bagi penulis.

9. Ibu Dr. Marlina, S.H.,M.Hum. selaku Dosen Wali Penulis yang memberikan motivasi dan nasihat bagi penulis.

10. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mengajari penulis tentang ilmu hukum.


(5)

11. Alm Oppung N Br Sihombing, Bapa Tolu dan Inang Tolu, Bapa Pudan dan Inang Pudan, Semua Bapa Tua dan Inang Tua, Semua Bapa Uda dan Inang Uda, Semua Amangboru dan Namboru atas Doa dan Motivasi yang diberikan kepada Penulis.

12. Amangboru Maradu dan Namboru atas kesediaan hati menerima penulis tinggal di rumah mulai penulis berada di Medan ini sampai penyelesaian skripsi ini.

13. Oppung br Panjaitan, Semua Tulang dan Nantulang, Pariban khususnya Rosmeli atas Doa dan Semangat yang diberikan kepada penulis.

14. Adik- adik Penulis: Tiurma, Harri, Teresia, Nurmala, dan Martin. Kebersamaan bersama Kalian adalah memori yang hidup bagi penulis yang membuat penulis menjadi kuat dalam menyelesaikan skripsi ini. Dan Raih Terus Cita- cita Kalian lewat Perjuangan dan Doa.

15. Teman- teman Stambuk 2007: Lae Rudi, Agus, Howard, Adrianto, Ricardo, Lincon, Akmal, Billy, Peggi, Rina, Diandes, Oncy, Dyan Natalia, Miranda, Johannes T P, Satra, Alekson, Alfa, Tigor. Sukses selalu buat kalian Semua. Secara khusus penulis asingkan nama Lae Josua, Samuel, Kurniawan, Cristian. Semangat dan Pantang menyerah dalam menyelesaikan Studi kalian laeku. Aku duluan ya laeku..

16. Bung dan Sarinah GMNI Komisariat Fakultas Hukum-USU. Jaya.... 17. Pengurus Kordinator Daerah GMNI Sumatera Utara.

18. Adik- Adik Meriam Debating Club (MDC) Hukum USU. Semangat terus berlatih dan membangun MDC.


(6)

19. Adik-Adik Stambuk 2010.

20. Teman-teman penulis yang di Kampung: Binsar, Berto, Resdi, Alan, Iyut, Ninik, Alan, dan yang lain. Sukses terus buat kalian.

21. Yola Metafani atas doa dan semangat yang diberikan kepada penulis. dan yang paling istimewa adalah kehadiranmu dalam proses penyelesaian skripsi ini. Perjuangkan terus cita-cita mu.

22. Bung Karno, Tan Malaka, Karl Marx, Feurbach, Atas pencerahan kepada penulis.

Demikianlah kata pengantar dari penulis dan harapan penulis, semoga skripsi ini bermanfaat bagi banyak pihak dan penulis juga bersedia menerima segala kritik dan saran yang membangun untuk skripsi ini, terakhir atas segala perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.

Medan, Juni 2012 Penulis


(7)

Daftar Isi

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

ABSTRAK BAB I

A. Pendahuluan...1

B. Permasalahan...8

C. Tujuan dan Manfaat...8

D. Keaslian Penulisan...9

E. Tinjauan Kepustakaan...10

F. Metode Penelitian...23

G. Sistematika Penulisan...25

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSTITUSI, HAK ASASI MANUSIA, DAN NEGARA HUKUM A. Tinjauan Umum Tentang Konstitusi...27

B. Tinjauan Umum Tentang Hak Asasi Manusia...41

C. Tinjauan Umum Tentang Negara Hukum...52

BAB III HUBUNGAN KONSTITUSI DAN HAK ASASI MANUSIA DALAM NEGARA HUKUM A. Konstitusionalisme Hak Asasi Manusia...62

B. Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum...72


(8)

A. Kebebasan Beragama Sebagai Suatu Hak Asasi Manusia...83 B. Kebebasan Beragama Menurut UUD NRI Tahun 1945...91 C. Pelaksanaan Jaminan Kebebasan Beragama...104

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan...117 B. Saran...118


(9)

JAMINAN KEBEBASAN BERAGAMA MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

ABSTRAK

Dr. Faisal Akbar Nst, SH, M.Hum.1 Drs. Nazarudin,SH, M.A.2

Hot Marudur T S3

Penjaminan hak asasi manusia melalui Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan dua makna, pertama bahwa Konstitusi Indonesia telah memuat ciri- ciri konstitusi modern, dan kedua

merupakan tujuan negara sebagai negara hukum (rechtstaat). Penjaminan tersebut seharusnya menjadi dasar perlindungan bagi kebebasan beragama yang merupakan salah satu hak asasi manusia. Namun, kenyataannya pelanggaran terhadap kebebasan beragama terus meningkat baik yang dilakukan oleh individu, kelompok, maupun pemerintah.

Skripsi ini membahas tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dengan paham Konstitusionalisme. Metode yang digunakan dalam skripsi ini adalah yuridis normatif. Kebebasan beragama dianalisis dengan konsep hak asasi manusia, dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk menggambarkan jawaban secara konkret atas permasalahan dalam skripsi ini. Dari hasil analisis tersebut salah satu yang dapat disimpulkan bahwa sekalipun kebebasan beragama merupakan salah satu hak asasi manusia yang bersifat tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable rights). Namun, Undang-Undang Dasar memberikan batasan dalam menjalankan kebebasan beragama. Dengan kata lain, bahwa kebebasan beragama di Indonesia tidaklah kebebasan yang dijalankan secara mutlak.

Jaminan kebebasan beragama merupakan tanggung jawab negara, terutama pemerintah yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 melalui Peraturan Perundang-Undangan. Amanat itu dilaksanakan di Indonesia dalam Undang- Undang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang tentang Administrasi Kependudukan, dan Undang-Undang tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

1

Dosen Pembimbing I Skripsi Penulis, Dosen Fakultas Hukum USU

2

Dosen Pembimbing II Skripsi Penulis, Dosen Fakultas Hukum USU

3


(10)

JAMINAN KEBEBASAN BERAGAMA MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

ABSTRAK

Dr. Faisal Akbar Nst, SH, M.Hum.1 Drs. Nazarudin,SH, M.A.2

Hot Marudur T S3

Penjaminan hak asasi manusia melalui Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan dua makna, pertama bahwa Konstitusi Indonesia telah memuat ciri- ciri konstitusi modern, dan kedua

merupakan tujuan negara sebagai negara hukum (rechtstaat). Penjaminan tersebut seharusnya menjadi dasar perlindungan bagi kebebasan beragama yang merupakan salah satu hak asasi manusia. Namun, kenyataannya pelanggaran terhadap kebebasan beragama terus meningkat baik yang dilakukan oleh individu, kelompok, maupun pemerintah.

Skripsi ini membahas tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dengan paham Konstitusionalisme. Metode yang digunakan dalam skripsi ini adalah yuridis normatif. Kebebasan beragama dianalisis dengan konsep hak asasi manusia, dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk menggambarkan jawaban secara konkret atas permasalahan dalam skripsi ini. Dari hasil analisis tersebut salah satu yang dapat disimpulkan bahwa sekalipun kebebasan beragama merupakan salah satu hak asasi manusia yang bersifat tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable rights). Namun, Undang-Undang Dasar memberikan batasan dalam menjalankan kebebasan beragama. Dengan kata lain, bahwa kebebasan beragama di Indonesia tidaklah kebebasan yang dijalankan secara mutlak.

Jaminan kebebasan beragama merupakan tanggung jawab negara, terutama pemerintah yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 melalui Peraturan Perundang-Undangan. Amanat itu dilaksanakan di Indonesia dalam Undang- Undang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang tentang Administrasi Kependudukan, dan Undang-Undang tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

1

Dosen Pembimbing I Skripsi Penulis, Dosen Fakultas Hukum USU

2

Dosen Pembimbing II Skripsi Penulis, Dosen Fakultas Hukum USU

3


(11)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Jaminan terhadap kebebasan beragama pada dasarnya telah diakui dan diberikan. Hal ini secara eksplisit dituliskan dalam Undang-Undang Dasar ( UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam Pasal 28 E ayat (1), Pasal 29 ayat (2) telah tegas menyatakan bahwa negara menjamin kebebasan beragama. Bahkan dalam Pasal 28 I ayat (1) menyatakan bahwa hak beragama adalah bagian dari hak yang tidak dapat dikurangi oleh siapapun dan dalam keadaan apapun (non derogable rights).

Meskipun, kebebasan beragama di Indonesia dijamin oleh konstitusi bukanlah berarti kebebasan tanpa batas. Karena dalam setiap pelaksanaan kebebasan tetap terikat dengan kewajiban hak asasi manusia. Dalam Pasal 28 J UUD NRI Tahun 1945 dinyatakan bahwa :

(1)Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;

(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Pembatasan hak asasi manusia di Indonesia mengartikan bahwa tidak ada kebebasan yang mutlak, sehingga perlu campur tangan pemerintah untuk menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban agar tidak ada hak yang tercederai. Pembatasan tersebut ditetapkan dalam sebuah undang-undang guna menjaga ketertiban umum.


(12)

Pengaturan kebebasan beragama melalui konstitusi telah menjadi jaminan yang sah dalam perlindungan terhadap kebebasan beragama, dan sekaligus menunjukkan prinsip-prinsip sebagai negara hukum. Dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dituliskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Setiap negara yang mengakui sebagai negara hukum tentu menjamin perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).

Menurut Scheltema yang dikutip oleh Krisna Harahap dalam bukunya Konstitusi Republik Indonesia, ada empat unsur utama negara hukum, yaitu sebagai berikut:4

Sedangkan Sri Soemantri,yang dikutip oleh Krisna Harahap melihat ada empat unsur yang dipenuhi oleh negara hukum:

1. Adanya Kepastian Hukum. 2. Asas Persamaan.

3. Asas Demokrasi.

4. Asas Pemerintahan Untuk Rakyat

5

1. bahwa pemerintah (dalam arti luas) dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis;

2. adanya jaminan terhadap hak- hak asasi (dan warga negara);

3. adanya pembagian kekuasaan (distribution of power) dalam negara dan; 4. adanya pengawasan peradilan (oleh badan-badan peradilan)

Dan menurut Jimly Asshiddiqie ada dua belas prinsip-prinsip negara hukum (rechtstaat) dan salah satunya ialah perlindungan hak asasi manusia, jadi jika dalam suatu negara, hak asasi manusia masih terabaikan atau dilanggar secara sengaja dan penderitaan yang ditimbulkan tidak dapat diselesaikan secara adil,

4

Krishna Harahap, Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta: Grafitri Budi Utami, 2004), hal 17.

5


(13)

maka negara tersebut tidak dapat dikatakan sebagai negara hukum yang sesungguhnya.6

Menurut H.M. Amin Abdullah pelaksanaan Hak Kebebasan Beragama dan Beribadah di tanah air, setidaknya ada 3 pemasalahan.

Di Indonesia, perubahan UUD memberikan perubahan atas kebebasan beragama, kebebasan berekspresi, kebebasan berorganisasi. Namun, dalam kenyataannya masih ada pelanggaran terhadap hak asasi manusia, khususnya terhadap kebebasan beragama. Bahkan, ketika pemerintahan dibentuk secara demokratis tetap saja tidak dapat mengurangi pelanggaran kebebasan beragama.

7

Pertama, masalah Perundangundangan. Ada dua sumber hukum yang ada

di tanah air untuk menangani dan menyelesaikan perselisihan pelaksanaan Hak Kebebasan Beragama dan beribadah. Pertama, adalah Undangundang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Disebutkan dalam Laporan Pelaksanaan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (ICERD) di Indonesia yang dikutip oleh H.M Amin

Pertama, Permasalahan perundangundangan. Kedua, peran aparat negara dalam penegakan hukum. Ketiga, pemahaman tentang negarabangsa (nationstates) oleh masyarakat atau warga negara penganut agamaagama, pemangku adat dan anggota ras atau etnis. Ketiganya saling berkaitan yang tidak bisa dipisahkan antara yang satu dan lainnya.

6

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, ( Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan MK RI, 2005) hal 127-128

7

H.M.Amin Abdullah, Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan dalam Prinsip Kemanusiaan Universal,Agama-Agama, Dan Keindonesiaan. (Yogyakarta, 2011), hal 16


(14)

Abdullah8, bahwa salah satu penyebab “kematian” 517 aliran kepercayaan sejak tahun 1949 hingga tahun 1992 adalah UU No. 1/PNPS/1965. Padahal menurut pasal 27 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, kelompok minoritas tidak boleh diingkari haknya untuk menjalankan dan mengamalkan agamanya sendiri. Agama dan keyakinan merupakan bagian mutlak dari identitas sebuah kelompok dan konteks etnis tidak lepas dari persoalan perlindungan kebebasan beragama atau berkeyakinan.

Surat Keputusan Bersama (SKB) baik SKB Dua Menteri (Menteri dalam negeri dan Menteri agama) tentang pendirian rumah ibadah maupun SKB Tiga Kedua, Apa yang dikenal di Indonesia dengan sebutan SKB (Surat Keputusan Bersama).

Undang-Undang No 1/PNPS/1965 telah dimohonkan pengujian undang-undang kepada Mahkamah Konstitusi pada tanggal 20 Oktober 2009. Alasan Permohonan tersebut adalah bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan negara hukum, bahwa undang-undang tersebut dikeluarkan dalam kondisi keadaan negara darurat, Dan beberapa pasal dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Namun, Mahkamah Konstitusi menganggap berbeda karena setelah memeriksa, mengadili dan memutuskan akhirnya permohonan tersebut ditolak seluruhnya. Dari sini dapatlah disimpulkan bahwa peraturan perundang-undangan yang dianggap bermasalah yaitu Undang-Undang No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama telah diputuskan tidak bermasalah dalam hal pelaksanaan kebebasan beragama di Indonesia.

8


(15)

Menteri (Menteri Dalam Negeri , Jaksa Agung dan Menteri Agama ) tentang Ahmadiyah. Kedua SKB ini masih terus diperdebatkan karena dari segi sosiologis bahwa kehadiran Surat ini tidak dapat memberikan jaminan kebebasan beragama. Dan jika kita meninjau kedudukan SKB dalam Tata Peraturan Perundang-undangan menurut Undang-Undang No 12 Tahun 2011 bahwa SKB tidak merupakan jenis peraturan perundang-undangan. Keadaan ini menimbulkan konsekuensi bahwa SKB tidak dapat diuji materi oleh Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung. Sementara mekanisme yudicial review adalah sarana bagi masyarakat yang terlanggar hak-haknya untuk mengajukan permohonan agar diberikan penjaminan hak-hak sebagai bentuk perlindungan hak asasi manusia.

Amanat konstitusi kepada pemerintah bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab pemerintah yang dalam pelaksanaannya dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Artinya, Surat Keputusan Bersama bukanlah jalan keluar terhadap pelaksanaan kebebasan beragama dan beribadah di Indonesia sesuai yang diamanatkan oleh konstitusi. Oleh karena itu, permasalahan peraturan perundang-undangan yang dimaksudkan adalah tidak adanya peraturan perundang-undangan yang menjamin secara rinci dan jelas hak-hak beragama guna penjaminan HAM sesuai tujuan negara hukum.

Kedua, masalah Penegakan Hukum. Ketika terjadi kekerasan terhadap

anggota atau pengikut golongan minoritas (baik ekstern maupun intern umat beragama), dimanakah keberadaan negara? Masyarakat merindukan keberadaan negara. Melalui para pengamat, media masa maupun media elektronik, saya


(16)

melihat seolaholah ada politik pembiaran oleh negara. Negara, dalam hal ini, pihak kepolisian dan pemerintah daerah dianggap selalu datang terlambat atau tidak dapat mengantisipasi keadaan dengan baik. Keadaan ini mengakibatkan terjadinya bentrokan, penganiyaan atas nama agama, atas dalih agama sesat karena pasifnya pemerintah dalam menanganinya.

Ketiga, peran warga negara. Yang mengkhawatirkan bagi perjalanan

bangsa ke depan adalah ditemukan indikasiindikasi bahwa pewacanaan sesat, penistaan agama, kekerasan, dan pemidanaan kasus penodaan agama telah menjadi pola umum di masyarakat untuk menyelesaikan konflik internal umat beragama terhadap pahampaham yang tumbuh berbeda. Situasi ini cukup mengkhawatirkan karena warga kehilangan mekanisme lain untuk mengelola kohesi sosialnya. Rakyat sudah jarang menggunakan jalan musyawarah mufakat untuk menyelesaikan permasalahan kebebasan beragama dan beribadah. Rakyat sudah seperti negara yang mempunyai sifat memaksa, yang melakukan tindakan kekerasan dianggap sah, dianggap benar demi bangsa, dianggap murni atas nama agama.

Gambaran di atas bertentangan dengan jaminan kebebasan beragama sebagai hak konstitutional masyarakat yang berarti hak dasar masyarakat yang dijamin oleh konstitusi. Di dalam konstitusi, hak-hak dasar warga negara merupakan salah satu bagian yang penting karena menjadi bagian yang menentukan materi dari konstitusi itu sendiri. Menurut Mr. J. G. Steenbeek


(17)

sebagaimana dikutip oleh Dahlan Thaib mengungkapkan bahwa9

Menurut Miriam Budiardjo yang dikutip oleh Vino Devanta dalam Jurnal Konstitusi

secara umum konstitusi memuat tiga hal pokok, yaitu: adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negaranya, ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental, dan adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental.

10

1. Organisasi Negara.

setiap Undang-Undang Dasar memuat ketentuan-ketentuan mengenai:

2. Hak-hak asasi manusia (biasanya disebut bill of rights kalau berbentuk naskah tersendiri).

3. Prosedur mengubah UUD (amandemen).

4. Ada kalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari Undang Undang Dasar.

5. Merupakan aturan hukum yang tertinggi yang mengikat semua warga negara dan lembaga negara tanpa terkecuali.

Dari pendapat kedua tokoh diatas mengenai materi konstitusi memang dapat dibedakan satu sama lain. Dalam hal ini, pendapat Miriam Budiardjo lebih luas karena ada prosedur perubahan konstitusi. Tetapi ada kesamaan yang paling mendasar antara keduanya, yaitu adanya pembagian kekuasaan dan perlindungan hak asasi manusia. Dengan adanya paham mengenai pembagian kekuasaan dan perlindungan hak asasi manusia maka bisa disebut bahwa suatu konstitusi yang berpaham konstitusionalisme. Dengan kata lain, semua tindakan atau perilaku seseorang ataupun penguasa berupa kebijakan yang tidak didasarkan atau menyimpangi konstitusi, berarti tindakan tersebut adalah tidak konstitusional.

9

Dahlan Thaib dkk, Teori dan Hukum Konstitusi ( Jakarta : PT RajaGrafindo Persada,1999), hal 16

10

Vino Devanta, Jurnal Konstitusi, Volume 7 Nomor 3 ( Jakarta; Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK, 2010), hal 200-201


(18)

Sehingga penguasa dalam setiap mengeluarkan kebijakan wajib mendahulukan segala aturan yang berkaitan dengan ruang lingkup kewenangan dan hak-hak konstitusional masyarakat agar kebijakannya tersebut memiliki sifat melindungi masyarakat yang dikuasainya.

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, maka Penulis mengemukakan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana Kaitan antara Konstitusi dengan Hak Asasi Manusia (HAM) di dalam Negara Hukum?

2. Bagaimana Jaminan Kebebasan Beragama Menurut Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945?

C. Tujuan dan Manfaat 1. Tujuan

Adapun tujuan yang hendak dicapai dari skripsi ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui bagaimana kaitan antara Konstitusi dengan Hak Asasi Manusia (HAM).

b. Untuk mengetahui bagaimana Jaminan kebebasan beragama sebagai perlindungan HAM menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Manfaat

Diharapkan skripsi ini akan memberikan manfaat: a. Secara Teoritis


(19)

Skripsi ini diharapkan bermanfaat sebagai tambahan dokumentasi hukum berkaitan dengan jaminan kebebasan beragama menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan sebagai upaya pengembangan pengetahuan Hukum Tata Negara dalam pelaksanaan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM).

b. Secara Praktis

Skripsi ini ditujukan kepada segenap kalangan, baik itu Akademisi, Praktisi Hukum, Aparat Penegak Hukum, Para Penyelenggara Negara, dan Semua Pihak yang ingin mengetahui bagaimana Jaminan kebebasan beragama menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Skripsi ini juga ditujukan kepada organisasi- organisasi keagamaan, lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk menambah pengetahuan mengenai Hak Asasi Manusia secara umum dan Hak beragama secara khusus. Skripsi ini juga ditujukan kepada Bangsa tercinta, Indonesia dalam mencapai kerukunan beragama di Indonesia sebagai bukti bahwa Indonesia adalah Negara yang berdasar pada Ketuhanan Yang Maha Esa.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini merupakan tugas akhir yang harus dipenuhi penulis untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul “JAMINAN KEBEBASAN BERAGAMA MENURUT UUD NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945” belum pernah dibahas oleh Mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan


(20)

skripsi ini asli serta bukan plagiat ataupun diambil dari skripsi orang lain. Skripsi ini merupakan penemuan kebenaran ilmiah, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Apabila ada skripsi yang sama,maka akan dipertanggungjawabkan penulis sepenuhnya.

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Konstitusi

Istilah konstitusi berasal dari bahasa Perancis (constituer) yang berarti membentuk. Pemakaian istilah konstitusi yang dimaksudkan ialah pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan negara. Dalam bahasa latin, kata Konstitusi merupakan gabungan dari dua kata, yaitu cume dan statuere. Cume

adalah sebuah preposisi yang berarti “ bersama dengan…”, sedangkan statuere

bersal dari kata sta yang membentuk kata kerja pokok stare yang berarti berdiri. Atas dasar itu, kata statuere mempunyai arti ” membuat sesuatu agar berdiri atau mendirikan/ menetapkan”. Dengan demikian bentuk tunggal (constitutio) berarti menetapkan sesuatu secara bersama-sama dan bentuk jamak (constitusiones) berarti segala sesuatu yang telah ditetapkan. Pengertian konstitusi menurut C.F. Strong yang dikutip oleh Dahlan Thaib dalam bukunya Teori dan Hukum Konstitusi adalah 11

11

Dahlan Thaib, op cit, hal 1

constitution is a collection of principles according to which the power of the government, the rights of the governed, and the relations between the two are adjusted.

Jika dalam Bahasa Indonesia diartikan sebagai suatu kumpulan asas-asas yang menyelenggarakan :


(21)

1. Kekuasaan Pemerintah (dalam arti luas) 2. Hak-hak dari yang diperintah

3. Hubungan antara pemerintah dan yang diperintah (menyangkut di dalamnya masalah Hak Asasi Manusia)

Konstitusi memuat suatu aturan pokok (fundamental) mengenai sendi-sendi pertama untuk menegakkan suatu bangunan besar yang disebut negara. Sendi-sendi itu tentunya harus kokoh, kuat dan tidak mudah runtuh agar bangunan negara tetap tegak berdiri. Ada dua macam konstitusi di dunia, yaitu “Konstitusi Tertulis” (Written Constitution) dan “Konstitusi Tidak Tertulis” (Unwritten Constitution), ini diartikan seperti halnya “Hukum Tertulis” (Geschreven Recht) yang termuat dalam undang-undang dan “Hukum Tidak Tertulis” (Ongeschreven Recht) yang berdasar adat kebiasaan. Dalam karangan “Constitution of Nations”, Amos J. Peaslee menyatakan hampir semua negara di dunia mempunyai konstitusi tertulis, kecuali Inggris dan Kanada.

Di beberapa negara ada dokumen tetapi tidak disebut konstitusi walaupun sebenarnya materi muatannya tidak berbeda dengan apa yang di negara lain disebut konstitusi. Ivor Jenning yang dikutip oleh Mirza Nasution menyatakan di negara-negara dengan konstitusi tertulis ada dokumen tertentu yang menentukan12

a. Adanya wewenang dan tata cara bekerja lembaga kenegaraan :

b. Adanya ketentuan berbagai hak asasi dari warga negara yang diakui dan dilindungi

12


(22)

Di Inggris baik lembaga-lembaga negara termaksud dalam huruf a maupun pada huruf b yang dilindungi, tetapi tidak termuat dalam suatu dokumen tertentu. Dokumen-dokumen tertulis hanya memuat beberapa lembaga-lembaga negara dan beberapa hak asasi yang dilindungi, satu dokumen dengan yang lain tidak sama. Karenanya dilakukan pilihan-pilihan di antara dokumen itu untuk dimuat dalam konstitusi. Pilihan di Inggris tidak ada. Penulis Inggris yang akhirnya memilih lembaga-lembaga mana dan hak asasi mana oleh mereka yang dianggap “constitutional.” Ada konstitusi yang materi muatannya sangat panjang dan sangat pendek. Konstitusi yang terpanjang adalah India dengan 394 pasal. Kemudian Amerika Latin seperti uruguay 332 pasal, Nicaragua 328 pasal, Cuba 286 pasal, Panama 271 pasal, Peru 236 pasal, Brazil dan Columbia 218 pasal, selanjutnya di Asia, Burma 234 pasal, di Eropa, belanda 210 pasal. Konstitusi terpendek adalah Spanyol dengan 36 pasal, Indonesia 37 pasal, Laos 44 pasal, Guatemala 45 pasal, Nepal 46 pasal, Ethiopia 55 pasal, Ceylon 91 pasal dan Finlandia 95 pasal. 13

2. Hak Asasi Manusia

Tema Hak Asasi Manusia (HAM) walau baru dirumuskan secara eksplisit pada abad ke – 18, namun aspek hak asasi manusia telah dikenal sejak zaman Yunani dengan permunculan teori hukum kodrat sekitar 600- 400 SM. Masalah HAM juga telah dibahas oleh beragam agama ratusan tahun lampau, seperti Kristen sebagaimana termaktub dalam Alkitab dan Islam termaktub di dalam Al- Quran. Tonggak sejarah keberpihakan Islam terhadap HAM adalah dideklarasikannya Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah) atau dikenal juga

13


(23)

dengan sebutan Konstitusi Madinah. Menurut Al-Sayyid Muhammad Ma’ruf al Dawalibi dari Universitas Islam Internasional Paris, seperti dikutip Nurcholish Madjid, “yang paling menakjubkan dari semuanya tentang Konstitusi Madinah itu ialah bahwa dokumen itu memuat, untuk pertama kalinya dalam sejarah, prinsip- prinsip dan kaedah- kaedah kenegaraan dan nilai-nilai kemanusiaan yang sebelumnya tidak pernah dikenal manusia”14

Di Abad Reformasi dan Pencerahan, pribadi insan dalam hubungannya dengan penguasa memperoleh tempat yang lebih sentral dalam pemikiran hukum. Filosof John Locke, misalnya, meletakkan dasar pengakuan hak fundamental manusia, yang tidak dapat dipindahkan kepada orang lain, dan harus dijamin oleh

Muhammad Hamidullah dalam Majmu’at Watsa’iq Siyasiyyah li al-‘Ahd al-Khilafat al-Rasyidah (kumpulan-kumpulan dokumen-dokumen Politik pada masa Nabi dan al-Khulafa’ al –Rasyidun) mengatakan bahwa Piagam Madinah sangat dikagumi para sarjana modern karena meletakkan prinsip Kebebasan Beragama dan Berusaha (ekonomi). Keberpihakan Islam terhadap HAM ini melalui Piagam Madinah dilanjutkan oleh Deklarasi Kairo (The Cairo

Declaration of Human Rights in Islam) pada 5 Agustus 1990. Deklarasi ini

dinyatakan oleh 45 negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI), sebagai hasil konferensi Islam di Kairo, Mesir, pada 31 Juli- 5 Agustus 1990. Pada intinya, Deklarasi Kairo menyatakan penghapusan diskriminasi berbasis ras, warna kulit, bahasa, kepercayaan, jenis kelamin, agama, afiliasi politik, maupun status sosial dengan mendasarkan kepada Syariat Islam.

14

MK RI, Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945 Bagian 8, ( Jakarta: Sekretariat Jenderal MK-RI, 2008), hal 20


(24)

penguasa. Pemikiran Locke berpengaruh besar terhadap kemajuan di bidang kodifikadasi HAM. Kodifikasi dimaksud antar lain adalah English Bill of Rights

tahun 1689, The United States Declaration of Independence tahun 1776, dan

France Declaration Des Droits de I’homme et Du Citoyen tahun 1789.

Di Indonesia, perkembangan pemikiran Hak Asasi Manusia sudah dimulai sejak sebelum proklamasi kemerdekaan. Hal ini merupakan pendapat dari Bagir Manan dalam bukunya Perkembangan pemikiran dan pengaturan HAM di Indonesia yang dikutip oleh Dahana Putra, yaitu :15

1. Periode Sebelum Kemerdekaan (1905-1954)

Sebagai organisasi pergerakan, Boedi Utomo menaruh perhatian terhadap masalah HAM. Dalam konteks pemikiran HAM, Pemimpin Boedi Utomo memperlihatkan kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui petisi yang ditujukan kepada pemerintah kolonial maupun tulisan yang dimuat surat kabar Goeroe Desa. Selanjutnya, pemikiran HAM pada perhimpunan indonesia banyak dipengaruhi oleh tokoh organisasi seperti Muhammad Hatta, AA Maramis dsb. Pemikiran HAM para tokoh lebih menitikberatkan pada hak untuk menentukan nasib sendiri (the right of self determination). Selanjutnya, serikat islam organisasi yang dimotori oleh H. Agus Salim dan Abdul Muis menekankan pada usaha – usaha memperoleh penghidupan yang layak dan bebas dari penindasan dan diskriminasi rasial.

Sedangkan pemikiran HAM dalam PKI sebagai partai paham Marxisme condong pada hak – hak yang bersifat sosial dan menyentuh isu – isu alat produksi. Konsen kepada terhadap HAM juga ada pada Indische Partij yang menyatakan bahwa hak untuk mendapatkan kemerdekaan serta mendapat perlakuan yang sama. Sedangkan pemikiran HAM partai Nasional Indonesia mengedepankan hak memperoleh kemerdekaan. Adapun pemikiran HAM

dalam organisasi Pendidikan Nasional Indonesia yang didirikan oleh M. Hatta setelah Partai Nasional Indonesia dibubarkan lebih menekankan hak politik yaitu hak untuk menentukan nasib sendiri, hak untuk mengeluarkan pendapat, hak berserikat dan berkumpul, hak persamaan dimuka hukum serta hak untuk turut dalam penyelenggaraan negara. Pemikiran HAM sebelum Indonesia merdeka juga terjadi perdebatan disidang BPUPKI antara Soekarno dan Soepomo ( satu pihak ) dengan M. Hatta dan M. Yamin ( lain pihak ).

15

Dahana Putra,


(25)

2. Periode Setelah Kemerdekaan ( 1945 – sekarang ) a) Periode 1945 – 1950

Pemikiran HAM periode awal kemerdekaan masih menekankan hak untuk merdeka (self Determination) hak kebebasan berserikat melalui organisasi politik yang didirikan serta hak kebebasan untuk menyampaikan pendapat di parlemen. Pemikiran HAM telah mendapat legitimasi secara formal karena memperoleh pengaturan dan masuk ke dalam hukum dasar negara (konstitusi) yaitu UUD 1945 dan prinsipkedaulatan rakyat dan berdasarkan atas hukumdijadikan sebagai sendi bagi penyelenggaraan Negara Indonesia Merdeka. Langkah selanjutnya memberikan keleluasaan kepada Rakyat untuk mendirikan partai politik. Pemerintah menyukai timbulnya partai politik karena dengan adanya partai poltik dapat dipimpin kejalan yang teratur segala aliran yang ada dalam masyarakat. Pemerintah juga berharap partai tersebut telah tersusun sebelum dilangsungkannya pemilihan Anggota Badan Perwakilan Rakyat pada Januari 1946. Hal yang sangat penting dalam kaitannya dengan HAM adalah adanya perubahan mendasar dan signifikan terhadap sistem pemerintahan dari presidensil manjadi sistem parlementer sebagaimana tertuang dalam

b) Periode 1950 – 1959

Periode 1950 – 1959 dalam perjalanan Negara Indonesia dikenal dengan sebutan periode Demokrasi Parlemen. Dalam pemikiran HAM di periode ini mendapat tempat di kalangan elit politik karena semangat, pemikiran dan aktualisasi HAM periode ini mengalami “pasang” dan menikmati “Bulan Madu” kebebasan.

Pertama : Semakin banyak tumbuh partai politikdengan beragam ideologinya masing – masing.

Kedua : kebebasan pers sebagai salah asatu pilar demokrasi menikmati kebebasannya.

Ketiga: pemilihan umum sebagai pilar lain demokrasi berlangsung dalam suasana kebebasan, fair (adil) dan demokratis.

Keempat : Parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai representasi dari kedaulatan rakyat menunjukan kinerja dan kelasnya sebagai wakil rakyat dengan melakukan kontrol yang semakin efektif.

Kelima : Wacana dan pemikiran tentang HAM mendapatkan iklim yang kondusif sejalan dengan tumbuhnya kekuasaan yang memberikan ruang kebebasan.

c) Periode 1959 – 1966

Pada periode ini sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem Demokrasi terpimpin sebagai reaksi soekarno terhadap sistem demokrasi parlementer. Pada sistem ini (Demokrasi Terpimpin) kekuasaan terpusat dan berada ditangan presiden, akibat dari sistem demokrasi terpimpin presiden melakukan tindakan Inkonstitusional baik pada tatanan supra struktur politik maupun dalam tatanan infrastruktur politik. Dalam kaitan dengan HAM telah terjadi pemasungan Hak Asasi Masyarakat yaitu hak sipil dan hak politik seperti


(26)

hak untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan fikiran dengan tulisan. Dengan kata lain telah terjadi sikap restriktif (pembatasan yang ketat oleh kekuasaan) terhadap hak sipil dan hak politik warga negara.

d) Periode 1966 – 1998

Setelah terjadi peralihan pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto ada semangat untuk menetapkan HAM dan telah diadakan berbagai seminar tentang HAM, salah satunya dilaksanakan pada tahun 1967 yang merekomendasikan gagasan tentang perlunya pembentukan pengadilan HAM. Pembentukan Komisi dan Pengadilan HAM untuk wilayah asia. Selanjutnya pada tahun 1968 diadakanseminar Nasional Hukum II yang merekomendasikan perlunya hak uji materi (Judicial review) dilakukan guna melindungi HAM. Begitu pula dalam rangka pelaksanaan TAP MPRS NO. XIV/MPRS 1966, MPRS melalui panitia Ad Hoc IV telah menyiapkan rumusan yang akan dituangkan dalam piagam tentang HAM dan hak – hak serta kewajiban warga negara. Pada awal tahun 1970 sampai periode ahir 1980 an persoalan HAM di Indonesia mengalami kemunduran karena HAM tidak lagi dihormati, dilindungi dan ditegakkan. Pemikiran elit politik pada masa ini diwarnai penolakan terhadap HAM sebagai produk barat dan individualistik serta bertentangan dengan faham kekeluargaan yang dianut bangsa Indonesia. Pemerintah pada masa ini bersifat defensif dan represif yang dicerminkan dari produk hukum yang restriktif terhadap HAM. Sikap Defensif ini berdasarkan pada anggapan bahwa isu HAM digunakan negara barat untuk memojokan negara berkembang seperti Indonesia. Meskipun fihak pemerintah mengalami kemandegan, pemikiran HAM terus ada dikalangan LSM dan akademisi yang cocern terhadap penegakkan HAM. Upaya yang dilakukan masyarakat melalui pembentukan jaringan dan lobi Internasional terkait dengan pelanggaran HAM seperti kasus tanjung priok, kedung ombo dan sebagainya. Pada periode 1990 an memperoleh hasil yang menggembirakan karena pergeseran strategi pemerintah dari represif dan depensif ke strategi akomodatif terhadap tuntutan penegakan HAM. Hal ini ditandai dengan dibentuknya KOMNAS HAM berdasar KEPRES NO. 50 tahun 1993 tanggal 7 Juni 1993 yang bertugas untuk memantau, menyelidiki pelaksanaan HAM, serta memberi pendapat, pertimbangan dan saran kepada pemerintah perihal pelaksanaan HAM sesuai dengan pancasila dan UUD 1945 (termasuk hasil amandemen) piagam PBB, Deklarasi Unuversal HAM. Dampak sikap akomodatif pemerintah dan dibentuknya KOMNAS HAM sebagai lembaga independen adalah bergesernya paradigma pemerintah terhadap HAM dari partikularistik ke Universalistik serta semakun kooperatifnya pemerintah terhadap upaya penegakan HAM di Indonesia.

Konstitusi Indonesia yang pertama yaitu UUD 1945 telah mencantumkan pengaturan mengenai hak-hak asasi. Hak-hak asasi yang tercantum dalam UUD 1945 tidak termuat dalam suatu piagam yang terpisah, tetapi tersebar dalam pasal 27-31. Pasal-pasal ini sangat terbatas jumlahnya dikarenakan dirumuskan secara


(27)

singkat. Tidak cukup waktunya untuk membahas hak-hak asasi secara mendalam karena waktu yang mendesak. Selain itu, diantara Founding Fathers kita terdapat perbedaan pendapat mengenai peranan hak-hak asasi di dalam negara demokratis. Pendapat-pendapat pada waktu itu banyak dipengaruhi oleh Declration des droits de I’homme et du citoyen, yang dianggap sebagai sumber individualisme dan liberalisme. Oleh karena itu, dianggap bertentangan dengan asas kekeluargaan dan asas gotong-royong. Mengenai hal ini Ir. Soekarno pada waktu itu menyatakan sebagai berikut : jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita kepada faham kekeluargaan, faham tolong-menolong, faham gotong-royong dan keadilan sosial, enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap-tiap faham Individualisme dan liberalisme daripadanya.

Sebaliknya Dr. Hatta berpendapat walaupun menyetujui prinsip kekeluargaan, dan menentang individualisme dan liberalisme, namun tetap masih diperlukan hak-hak asasi manusia diatur oleh Undang-Undang Dasar agar mencegah timbulnya negara kekuasaan (machtstaat). Akhirnya, tercapailah pengaturan secara terbatas HAM diatur dalam Undang-Undang Dasar

3. Negara Hukum

Secara konseptual istilah negara hukum di Indonesia dipadankan dengan dua istilah dalam bahasa asing, yaitu:

a. Bahasa Belanda istilahnya rechtstaat, digunakan untuk menuju tipe negara hukum yang diterapkan di negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental atau civil law system.


(28)

b. Bahasa Inggris menggunakan istilah rule of law untuk menunjuk tipe negara hukum dari Anglo Saxon atau negara-negara yang menganut common law system.

Perbedaan antara rechtstaat dan rule of law, antara lain dapat disebut bahwa konsep rechstaat lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme, karena itu berwatak revolusioner, sedangkan rule of law lahir dari perkembangan Yurispundensi, sehingga perkembangannya bersifat evolusioner.16

Menurut Friedrich Julius Stahl yang dikutip oleh I Dewa Gede Atmaja, unsur-unsur Rechstaat, terdiri atas empat unsur-unsur pokok, yaitu:17

a. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia

b. Negara didasarkan pada trias politika (pemisahan kekuasaan negara atas kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudisial)

c. Pemerintahan diselenggarakan atas undang-undang dasar (wetmatigheid van bestuur)

d. Ada peradilan administrasi negara yang berwenang menangani kasus perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah (

onrechtsmatigoverheidsdaad )

Ciri-ciri rechtstaat tersebut menunjukkan bahwa ide sentral rechstaat adalah pengakuan dan perlindungan hak- hak asasi manusia yang bertumpu pada prinsip kebebasan dan persamaan. Sehingga dibentuklah UUD yang akan menjadi jaminan konstitusional atas hak-hak manusia. Dan pembagian kekuasaan yang dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penumpukan kekuasaan dalam satu tangan. Kekuasaan yang berlebihan yang dimilki seseorang cenderung mengekan kebebasan dan persamaan.

Sedangkan menurut A.V. Dicey, terdiri atas tiga unsur, yaitu:18

16

Iriyanto A. Negara Hukum dan Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi ( Bandung: Alumni Bandung, 2008), hal 33

17


(29)

a. Supremasi hukum (supremacy of law)

b. Persamaan di muka hukum (equality before the law)

c. Hak asasi individu (individual rights). Tidak memerlukan peradilan administrasi, karena peradilan umum dianggap berlaku untuk semua orang baik bagi warga negara maupun pejabat pemerintah.

Keempat prinsip ‘rechtsstaat’ yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut di atas pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip ‘Rule of Law’ yang dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri Negara Hukum modern di zaman sekarang. Bahkan, oleh “The International Commission of Jurist”, prinsip-prinsip Negara Hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan bebas dan tidak memihak (Independence and Impartiality of Judiciary) yang di zaman sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara demokrasi. Prinsip-prinsip yang dianggap ciri penting Negara Hukum menurut The International Commission of Jurist yang dikutip oleh Jimly Assidhiqie adalah:19

Sebelum perubahan UUD 1945, prinsip negara hukum Indonesia ditegaskan dalam penjelasan UUD 1945, yang menentukan bahwa Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtstaat) tidak berdasar kekuasaan belaka. menurut Philiipus M. Hadjon yang berpendapat berdasar sudut pandang yuridisme Pancasila, maka negara hukum Indonesia secara ideal adalah negara hukum

1. Negara harus tunduk pada hukum.

2. Pemerintah menghormati hak-hak individu. 3. Peradilan yang bebas dan tidak memihak.

18

Ibid, hal 159

19

Jimly Asshiddiqie,http://jimly.com/makalah/namafile/57/Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf,


(30)

pancasila, yang unsur-unsurnya dikutip oleh I Dewa Gede Atmaja, sebagai berikut:

a. Keserasian hubungan antara pemerintah dan Rakyat berdasar asas kerukunan nasional

b. Hubungan yang fungsional dan proporsional antara kekuasaan negara

c. Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir

d. Keseimbangan antara hak dan kewajiban.

Setelah perubahan UUD 1945, dalam pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 dituliskan bahwa negara indonesia adalah negara hukum. Dalam konsep Negara Hukum itu, diidealkan bahwa yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum, bukan politik ataupun ekonomi. Karena itu, jargon yang biasa digunakan dalam bahasa Inggris untuk menyebut prinsip negara hukum adalah ‘the rule of law, not of man’. Yang disebut pemerintahan pada pokoknya adalah hukum sebagai sistem, bukan orang per orang yang hanya bertindak sebagai ‘wayang’ dari skenario sistem yang mengaturnya.

4. Kebebasan Beragama

Ada banyak pengertian kebebasan, dan pengertian yang paling sederhana dan klasik adalah tidak adanya larangan. Meskipun demikian konsep dasar kebebasan juga harus memperhatikan tidak adanya intervensi dari kebebasan yang telah dilakukan tersebut terhadap kebebasan orang lain. jadi, ada dua kebebasan yang seimbang, yakni bebas untuk melakukan dan bebas untuk tidak diintervensi oleh tindakan tersebut.

Dalam Blacks Law dictionary yang dikutip oleh Al-khanif mengartikan kebebasan sebagai sebuah kemerdekaan dari semua bentuk-bentuk larangan


(31)

kecuali larangan-larangan yang diatur dalam undang-undang.20

Kebebasan beragama adalah bagian dari hak beragama yang tergolong dalam Hak Asasi Manusia (HAM). hal ini dituliskan dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam pasal 28E ayat (1) “setiap orang bebas

memeluk agama dan beribadah menurut agamanya, memilih pendidikan dan

pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”

Jadi, dapatlah disimpulkan bahwa sesungguhnya manusia mempunyai hak untuk bebas selama hak-hak tersebut tidak bertentangan dengan larangan yang ada dalam hukum.

Berdasarkan definisi-definisi tersebut diatas, kebebasan didalam hak asasi manusia adalah kebebasan untuk menunggalkan atau mengerjakan sesuatu hal seperti yang telah diatur didalam peraturan-peraturan internasional dan nasional tentang hak asasi manusia. Dalam kaitannya dengan kebebasan beragama, setiap individu mempunyai kebebasan seperti yang diatur dalam sebuah peraturan misalnya dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia mengatur seperti hak untuk menganut, berpindah, mempertahankan atau tidak memeluk suatu keyakinan apapun, serta menjalankannya baik dimuka umum maupun sendiri.

21

Dalam pasal 28I ayat (1) “hak untuk hidup, hak untuk tidak dapat disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak dapat diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, hak untuk tidak

20

Al Khanif, Hukum dan Kebebasan Beragama (Yogyakarta: Laksbang Mediatama, 2010), hal 87

21

MK RI, UUD NKRI Tahun 1945& UU RI Nomor 24 Tahun 2003 (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan kepaniteraan MK RI), hal 47-48


(32)

dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”22

Sedangkan forum eksternum ialah menyangkut kebebasan memanifestasikan agama seperti; penyembahan (worship), upacara keagamaan (observance), dan pengajaran (teaching). Penyembahan mengandung arti bentuk berdoa dan kebebasan ritual, serta kotbah/dakwah. Upacara keagamaan menyangkut prosesi agama dan menggunakan pakaian agama. Sementara pengajaran menyangkut penyebaran substansi ajaran agama dan keyakinan. Kebebasan berkumpul dalam hubungannya dengan agama, mendirikan dan Hak beragama mempunyai dua dimensi yaitu forum internum (ruang privat) dan forum eksternum (ruang publik). Forum internum menyangkut eksistensi spiritual yang melekat pada setiap individu, sementara forum eksternum adalah mengkomunikasikan eksistensi spiritual individu tersebut kepada publik dan membela keyakinannya di publik.

Forum internum menyangkut kebebasan untuk memiliki dan mengadopsi agama atau keyakinan sesuai pilihan setiap individu, juga kebebasan untuk mempraktekan (to practice) agama atau keyakinannya secara privat. Hak atas kebebasan berfikir dan keyakinan juga mengandung arti setiap orang punya hak untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran dan keyakinan bebas dari pengaruh eksternal yang tidak layak (impermissible external influence) seperti doktrinisasi, cuci otak, manipulasi, mempengaruhi pikiran melalui obat-obat psikoaktif, atau koersi.

22


(33)

menjalankan institusi kemanusiaan yang layak, menerbitkan dan publikasi yang relevan. Jadi, dapatlah disimpulkan bahwa forum internum adalah internalisasi kebebasan beragama sedangkan forum eksternum adalah pengaplikasian kebebasan beribadah.

F. Metode Penelitian

Dalam rangka merumuskan isi skripsi ini, maka digunakan metode penulisan yang diuraikan sebagai berikut;

1. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini Penelitian Yuridis Normatif yaitu jenis penelitian yang dilakukan dengan cara menganalisis norma-norma hukum yang berlaku. Dalam hal ini, penelitian dilakukan dengan cara menganalisa norma-norma hukum nasional dan internasional yang berkenan dengan penelitian.

2. Data Penelitian

Penelitian ini bersumber dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yaitu sebagai berikut:

a. Bahan Hukum Primer, yaitu peraturan perundang-undangan yang relevan dengan penelitian ini seperti:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 b. Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak

Asasi Manusia)

c. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan


(34)

Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 119

d. Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165

e. Undang-Undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82

f. Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109

g. Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78

h. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 124

i. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 170

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu tulisan-tulisan atau karya-karya para ahli hukum dalam buku-buku teks, tesis, makalah, jurnal, surat kabar, internet, dan media lainnya yang relevan dengan penelitian ini, putusan


(35)

Mahkamah Konstitusi, dan Naskah Komprehensif Risalah Sidang Amandemen UUD.

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan-bahan yang digunakan guna menunjang bahan hukum sekunder seperti kamus hukum dan kamus bahasa.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik Pengumpulan Data yang digunakan adalah Tinjauan Kepustakaan (Library Research). Tinjauan Kepustakaan (Library Research) merupakan teknik pengumpulan data dengan cara penelitian kepustakaan atau data sekunder. Data sekunder adalah data-data yang berasal dari sumber-sumber atau bahan-bahan tertulis yang ditulis oleh para sarjana dan ahli sehingga datanya dapat diakui.

4. Analisis Data

Pengolahan data yang dilakukan dalam menyelesaikan skripsi ini adalah dengan menganalisa permasalahan yang dibahas. Adapun analisis data dilakukan dengan cara:

a. Mengumpulkan data-data dan bahan-bahan hukum yang relevan dengan objek penelitian.

b. Memilih kaidah-kaidah hukum ataupun doktrin-doktrin yang sesuai dengan objek penelitian.

c. Mensistematiskan kaidah-kaidah hukum dan doktrin-doktrin tersebut. d. Menjelaskan korelasi antara kaidah-kaidah hukum dan atau


(36)

e. Menarik kesimpulan dengan pendekatan deduktif. G. Sistematika Penulisan

Untuk dapat mempermudah pemahaman skripsi ini, maka pembahasan dalam skripsi ini akan diuraikan secara sistematis. Adapun penulisan skripsi ini dibagi ke dalam 5 Bab yang berhubungan satu sama lainnya, yaitu:

BAB I : Bab ini berisi Pendahuluan yang terdiri atas Latar Belakang Penulisan, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan, hingga Sistematika Penulisan.

BAB II : Bab ini membahas tentang tinjauan mengenai Konstitusi, Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum.

BAB III : Bab ini membahas tentang Hubungan ataupun Kaitan antara Konstitusi dan Hak Asasi Manusia di dalam Negara Hukum.

BAB IV : Bab ini membahas tentang Jaminan Kebebasan Beragama dalam UUD NRI Tahun 1945.

Bab V : Bab terakhir dalam skripsi ini yang berisi penutup berupa Kesimpulan dari keseluruhan penelitian yang dilakukan serta juga Saran.


(37)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG KONSTITUSI, HAK ASASI MANUSIA, DAN NEGARA HUKUM

A. Tinjauan Umum Tentang Konstitusi 1. Sejarah Pertumbuhan Konstitusi.

Dalam berbagai literatur hukum tata negara maupun ilmu politik, kajian tentang ruang lingkup paham konstitusi terdiri dari:

1. Anatomi kekuasaan (kekuasaan politik) tunduk pada hukum 2. Jaminan dan perlindungan hak asasi manusia

3. Peradilan yang bebas dan mandiri 4. Pertanggungjawaban kepada rakyat.

Keempat prinsip di atas merupakan ciri bagi suatu pemerintahan yang konstitusional. Akan tetapi, suatu pemerintahan ( negara) meskipun sudah mengatur prinsip-prinsip diatas, namun tidak di implementasikan dalam praktik penyelenggaraan negara, maka belumlah dapat dikatakan sebagai negara yang konstitutional atau mengenut paham konstitusi.

Catatan mengenai sejarah negara konstitutional dimulai sejak zaman Yunani, dimana mereka telah mengenal beberapa kumpulan hukum. Pada masa kejayaannya (624-404 S.M) athena pernah mempunyai tidak kurang dari 11 konstitusi dan koleksi aristoteles sendiri berhasil terkumpul sebanyak 158 buah konstitusi dari berbagai negara.23

23

Dahlan Thaib,dkk, op cithal 2

Pemahaman awal konstitusi pada masa itu, hanyalah kumpulan dari peraturan serta adat kebiasaan semata-mata. Kemudian


(38)

pada masa kekaisaran Roma, pengertian konstitusi menjadi lebih luas yaitu sebagai suatu kumpulan serta peraturan yang dibuat oleh para kaisar, pernyataan- pernyataan dari para ahli hukum/negarawan, serta adat kebiasaan setempat, disamping undang-undang. Konstitusi Roma sampai abad pertengahan sangat berpengaruh mengenai konsep kekuasaan tertinggi (ultimate power) dari para kaisar Roma, telah menjelma menjadi L’etat General di perancis, dan di romawi

ordo et unitas telah memberikan inspirasi bagi tumbuhnya paham “Demokrasi

Perwakilan” dan “Nasionalisme”.24

Perjalanan sejarah berikutnya, pada tahun 1789 meletus revolusi dalam Monarki Absolutisme di Perancis yang ditandai dengan ketegangan-ketegangan di masyarakat dan terganggunya stabilitas keamanan negara. Sampai pada akhirnya, Pada abad VII lahirlah Piagam Madinah yang menjadi Konstitusi Negara Madinah yang dibentuk pada awal klasik islam, tepatnya sekitar tahun 622 M. Di Eropa Kontinental, pihak rajalah yang memperoleh kemenangan yaitu ditandai dengan semakin kokohnya absolutisme, khusunya di perancis, rusia, prusia, dan austria pada abad ke -15. Sedangkan di Inggris, kaum bangsawanlah yang mendapat kemenangannya ditandai dengan pecahnya The Glorious Revolution.

Kemengan kaum bangsawan dalam revolusi istana ini telah menyebabkan berakhirnya absolitisme di Inggris, serta munculnya parlemen Inggris sebagai pemegang kedaulatan. Pada akhirnya, 12 negara koloni Inggris mengeluarkan

Declaration of Independence dan menetapkan konstitusi-konstitusinya sebagai

dasar negara yang berdaulat pada tahun 1776.

24


(39)

20 juni 1789 Estaaats Generaux memproklamirkan dirinya constituante, walaupun baru pada tanggal 14 september 1791 konstitusi pertama di Eropa diterima oleh Louis XVI. Di Perancis muncul sebuah buku yang berjudul Du

Contract Social karya J.J Rousseau. Dalam bukunya Rousseau mengatakan bahwa

“ manusia itu lahir bebas dan sederajat dalam hak-haknya” sedangkan hukum meupakan ekspresi dari kehendak umum. Tesis Rousseau ini sangat menjiwai De

Declaration des Droit de I’Homme et du Citoyen, karena deklarasi ini yang

mengilhaminya pembentukan konstitusi Perancis (1791) khususnya yang menyangkut hak asasi manusia.25

Konstitusi model Amerika (yang tertulis) ini kemudian diikuti oleh berbagai konstitusi tertulis di berbagai negara di Eropa. Seperti Konstitusi SpanPada masa inilah awal dari munculnya konstitusi dalam arti tertulis (Modern) seperti yang ada di Amerika. Konstitusi model Amerika (yang tertulis) ini kemudian diikuti oleh berbagai konstitusi tertulis di berbagai negara di Eropa. Seperti Konstitusi Spanyol (1812), Konstitusi Norwegia (1815), Konstitusi Nederland (1815), Konstitusi Belgia (1861), Konstitusi italia (1848), Konstitusi Austria (1861), dan Konstitusi Swedia (1866). Sampai pada abad XIX, tinggal Inggris, Hongaria, dan Rusia yang belum mempunyai Konstitusi secara tertulis.

Pada masa inilah awal dari munculnya konstitusi dalam arti tertulis (Modern) seperti yang ada di Amerika.

26

Konstitusi sebagai undang-undang dasar dan hukum dasar yang mempunyai arti penting baru muncul bersamaan dengan semakin berkembangnya “sistem demokrasi perwakilan dan konsep nasionalisme”. Alasan inilah yang

25

Ibid, hal 5

26


(40)

menjadikan konstitusi sebagai hukum dasar yang lebih tinggi daripada raja, sekaligus terkandung maksud memperkokoh Lembaga Perwakilan Rakyat.

Pada masa Perang Dunia I tahun 1914 telah banyak memberikan dorongan yang dahsyat bagi konstitusionalisme, yaitu dengan jalan menghancurkan pemerintahan yang tidak liberal, dan menciptakan negara-negara baru dengan konstitusi yang berasaskan demokrasi dan nasionalisme. Upaya ini dikonkretkan dengan didirikannya Liga Bangsa Bangsa untuk perdamaian dunia. Tiga tahun kemudian muncul reaksi keras melawan konstitusionalisme politik yang ditandai dengan Revolusi Rusia (1917), diikuti meletusnya fasisme di Italia, dan pemberontakan Nazi di Jerman, sampai akhirnya terjadi Perang Dunia II. Pengaruh perang dunia II terhadap konstitusionalisme adalah menjadi kesempatan kepada bangsa-bangsa menerapkan metode-metode konstitusionalisme terhadap bangunan internasional melalui Piagam Perserikatan bangsa-Bangsa untuk mencapai perdamaian dunia yang permanen.

2. Pengertian Konstitusi

Pengertian Konstitusi sebagaimana dikenal dalam berbagai literatur dapat diartikan secara sempit maupun secara luas. Konstitusi dalam arti sempit menyangkut aspek hukum saja dan konstitusi dalam arti luas tidak hanya sebagai aspek hukum melainkan juga non-hukum.27

27

Krisna Harahap, op cit, hal 169

Pembedaan pengertian konstitusi secara sempit maupun luas adalah berdasarkan dikotomi antara istilah constitution

dengan gronwet (Undang-Undang Dasar). Sri Soemantri dalam disertasinya yang dikutip oleh Dahlan Thaib dalam bukunya Teori dan Hukum Konstitusi


(41)

mengartikan bahwa konstitusi sama dengan Undang-Undang Dasar28. Sedangkan pendapat L.J. Van Apeldoorn yang dikutip dalam buku Teori dan Hukum Konstitusi membedakan secara jelas antara konstitusi dan Undang-Undang Dasar29

Penganut paham yang membedakan pengertian konstitusi dengan Undang-Undang Dasar antara lain Herman Heller dan F. Lasalle. Herman Heller yang dikutip oleh Taufiqrrohman Syahuri dalam bukunya Hukum Konstitusi

memberikan pengertian konstitusi menjadi tiga yaitu :

. konstitusi adalah bagian tertulis dari suatu konstitusi, sedangkan konstitusi memuat peraturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis.

Penyamaan pengertian antara Konstitusi dengan Undang-Undang Dasar, sudah dimulai sejak Oliver Cronwell (Lord Protector Republik Inggris 1649-1660) yang menamakan Undang-Undang Dasar itu sebagai Instrument of

Government, yaitu bahwa Undang-Undang Dasar dibuat sebagai pegangan untuk

memerintah dan disinilah timbul identifikasi dari pengertian Konstitusi dan Undang-Undang Dasar hingga sampai saat ini beberapa ahli hukum ada yang mendukung antara yang membedakan dengan yang menyamakan pengertian konstitusi dengan Undang-Undang Dasar.

30

1. Die Politische verfassung als geselschaftlich wirk lichkeit.

Konstitusi adalah mencerminkan kehidupan politik di dalam masyarakat sebagai suatu kenyataan. Jadi mengandung pengertian politis dan sosiologis

2. Die Verselbtandigte revhtsverfassung.

Konstitusi merupakan suatu kesatuan yang hidup dalam masyarakat. Jadi mengandung pengertian yuridis

3. Die geshereiben verfassung.

28

Dahlan Thaib, op cit, hal 8

29

ibid

30


(42)

Konstitusi yag ditulis dalam suatu naskah sebagai undang-undang yang tertinggi yang berlaku dalam suatau negara.

Dan pendapat F. Lassale dalam bukunya Uber Verfassungwesen uang dikutip oleh Dahlan Thaib dalam bukunya Teori dan Hukum Konstitusi membagi Konstitusi dalam dua pengertian, yaitu:31

1. Pengertian sosiologis atau politis. Konstitusi adalah sintesis faktor-faktor kekuatan yang nyata (dereele machtsfactoren). Jadi konstitusi menggembarkan hubungan antara kekuasaan-kekuasaan yang terdapat dengan nyata dalam suatu negara. Kekuasaan tersebut diantaranya : raja, parlemen, kabinet, pressure groups, partai politik, dan lain-lain; itulah sesungguhnya konstitusi.

2. Pengertian yuridis. Konstitusi adalah suatu naskah yang memuat semua bangunan negara dan sendi-sendi pemerintahan.

Dari pendapat Herman Heller dan F. Lassalle di atas dapatlah disimpulkan bahwa Undang-Undang Dasar itu baru merupakan sebagian dari pengertian konstitusi, yaitu konstitusi yang tertulis saja. Dan sesungguhnya konstitusi mengandung pengertian yang lebih luas dari sekedar Undang-Undang Dasar yang hanya mengandung pengertian yuridis.

Adapun penganut paham yang menyamakan pengertian konstitusi dan Undang-Undang Dasar, adalah C.F Strong dan James Bryce. Pendapat James Bryce sebagaimana dikutip oleh Dahlan Thaib dalam bukunya Teori dan Hukum Konstitusi menyatakan konstitusi adalah: A Frame of political society, organised through and by law, that is to say on in which law has established permanet institutionts with recognised functions and definte rights32

31

Dahlan Thaib, op cit, hal 10

32

Ibid, hal 11

Dari definisi itu, pengertian konstitusi dapat disederhanakan rumusannya sebagai kerangka negara yang diorganisir dengan dan melalui hukum, dalam hal mana hukum menetapkan:


(43)

1. Pengaturan mengenai pendirian lembaga-lembaga yang permanent. 2. Fungsi dari alat-alat perlengkapan.

3. Hak-hak tertentu yang telah ditetapkan.

Kemudian C.F.Strong melengkapi pendapat tersebut dengan pendapatnya sebagaimana dikutip oleh Dahlan Thaib dalam bukunya Teori dan Hukum Konstitusi yaitu33

4. Kekuasaan Pemerintah (dalam arti luas)

: constitution is a collection of principles according to which the power of the government, the rights of the governed, and the relations between

the two are adjusted.” Jika dalam Bahasa Indonesia diartikan sebagai suatu

kumpulan asas-asas yang menyelenggarakan :

5. Hak-hak dari yang diperintah

6. Hubungan antara pemerintah dan yang diperintah (menyangkut di dalamnya masalah Hak Asasi Manusia)

Jadi dari pendapat para ahli di atas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa pengertian konstitusi adalah meliputi konstitusi tertulis dan tidak tertulis. Undang-Undang Dasar merupakan konstitusi yang tertulis. Adapun batasan-batasan yang dapat dirumuskan dalam pengertian tersebut yaitu :

1. Suatu kumpulan kaidah yang memberikan pembatasan-pembatasan kekuasaan kepada para penguasa.

2. Suatu dokumen tentang pembagian tugas dan sekaligus petugasnya dari suatu sistem politik.

3. Suatu deskripsi dari lembaga-lembaga negara.

33


(44)

4. Suatu deskripsi yang menyangkut masalah hak asasi manusia.

Berdasarkan pengertian konstitusi di atas dapatlah dipahami bahwa Undang-Undang Dasar Negara Repulik Indonesia 1945 merupakan konstitusi dalam arti luas. Karena Undang-Undang Dasar Negara Repulik Indonesia 1945 bukan hanya dokumen hukum, melainkan juga mengandung aspek non-hukum, seperti pandangan hidup, cita-cita moral, dasar filsafati, keyakinan religius, dan paham politik suatu bangsa

3. Materi Muatan Konstitusi

Menurut Henc Van Maarseven yang dikutip oleh Krisna Harahap dalam bukunya Konstitusi Republik Indonesia bahwa konstitusi harus dapat menjawab berbagai persoalan pokok, antara lain:34

1. Konstitusi merupakan hukum dasar suatu negara

2. Konstitusi harus merupakan sekumpulan aturan-aturan dasar yang menetapkan lembaga-lembaga penting negara.

3. Konstitusi melakukan pengaturan kekuasaan dan hubungan keterkaitannya.

4. Konstitusi mengatur hak-hak dasar dan kewajiban-kewajiban warga negara dan pemerintah, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama. 5. Konstitusi harus mengatur dan membatasi kekuasaan negara dan

lembaga-lembaganya.

6. Konstitusi merupakan idiologi elit penguasa.

7. Konstitusi menetukan hubungan materil antara negara dan masyarakat. Kemudian A.A.H Struycken berpendapat yang dikutip oleh Dahlan Thaib dalam bukunya Teori dan Hukum Konstitusi bahwa konsitusi tertulis merupakan dokumen formal yang berisi yaitu:35

1. Hasil perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau;

2. Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa;

3. Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan baik waktu sekarang maupun untuk masa yang akan datang;

34

Krisna Harahap, op cit hal 179

35


(45)

4. Suatu keinginan, dengan mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan

5. bangsa hendak dipimpin.

Apabila dicermati dari pendapat kedua ahli di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa di samping sebagai dokumen nasional dan tanda kemerdekaan sebagai bangsa, konstitusi juga sebagai alat yang berisi sistem politik dan sistem hukum yang hendak diwujudkan.

Sedangkan menurut Mr.J.G. Stenbeek, sebagaimana dikutip oleh Dahlan Thaib dalam bukunya Teori dan Hukum Konstitusi bahwa konstitusi berisi tiga hal yaitu:36

1. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warganya;

2. Ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental;

3. Adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang bersifat fundamental.

Pada umumnya isi dari suatu konstitusi di tiap-tiap negara di dunia ini mencakup tiga hal di atas, karena pada hakekatnya adalah mengatur pembatasan kekuasaan dalam negara dan memberikan jaminan hak-hak asasi warga negara.

4. Kedudukan, Fungsi dan Tujuan Konstitusi

Kedudukan, fungsi, dan tujuan konstitusi dalam negara selalu berubah-ubah. Pada masa peralihan dari negara feodal monarki atau oligarki dengan kekuasaan mutlak penguasa ke negara nasional demokrasi, konstitusi berkedudukan sebagai benteng pemisah antara rakyat dan penguasa yang kemudian secara perlahan-lahan mempunyai fungsi sebagai alat rakyat dalam perjuangan kekuasaan melawan golongan penguasa.37

36

Ibid, hal 16

37

Ibid, hal 18


(46)

perjuangan dimenangkan oleh rakyat, konstitusi bergeser kedudukan dan perannya dari sekedar penjaga keamanan dan kepentingan hidup rakyat terhadap kekejian golongan penguasa, menjadi sebuat senjata untuk mengakhiri kekuasaan sepihak satu golongan dalam sistem monarki dan oligarki, serta untuk membangun tata kehidupan baru atas dasar landasan kepentingan bersama rakyat dengan menggunakan berbagai ideologi seperti : Individualisme, Liberalisme, Demokrasi. Selanjutnya konstitusi dipengaruhi oleh ideologi yang melandasi negara.

Negara yang mendasarkan diri atas ideologi demokrasi, maka konstitusi mempunyai fungsi yang khas, yaitu membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak sewenang-wenang. Dengan demikian konstitusi mampu menjamin dan memberikan perlindungan hak-hak warga negaranya. Jaminan perlindungan ini hampir dianut oleh negara-negara modern yang mempunyai political will untuk memajukan, melindungi, dan menegakkan hak-hak rakyatnya dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Menurut Komisi Konstitusi Majelis Permusyawaratan Rakyat RI yang dikutip oleh Nukhtoh Arfawie Kurde dalam bukunya Teori Negara Hukum bahwa kedudukan dan fungsi konstitusi adalah sebagai berikut:38

1. Konstitusi berfungsi sebagai dokumen nasional yang mengandung perjanjian luhur, berisi kesepakatan-kesepakatan tentang politik, hukum, kebudayaan, ekonomi, kesejahteraan, dan aspek fundamental yang menjadi tujuan negara.

2. Konstitusi sebagai piagam kelahiran negara baru (a birth certificate of

new state). Hal ini juga merupakan bukti adanya pengakuan

masyarakat internasional, termasuk untuk, menjadi anggota PBB, karena itu dikap kepatuhan suatu negara terhadap hukum internasional

38


(47)

ditandai dengan adanya ratifikasi terhadap perjanjian-perjanjia internasional.

3. Konstitusi sebagai sumber hukum tertinggi. Konstitusi mengatur maksud dan tujuan bentuknya suatu negara dengan sistem administrasinya melalui adanya kepastian hukum yang terkandung dalam pasal-pasalnya, unifikasi hukum nasional, social control, memberikan legitimasi atas berdirinya lembaga-lembaga negara termasuk pengaturan tentang pembagian dan pemisahan kekuasaan antara organ legislatif, eksekutif, dan yudisial.

4. Konstitusi sebagai identitas nasional dan lambang persatuan. Konstitusi menjadi suatu saran untuk memperhatikan berbagai nilai dan norma suatu bangsa negara, misalnya simbol demokrasi, keadilan, kemerdekaan, negara hukum, yang dijadikan sandaran umtuk mencapai kemajuan dan keberhasilan tujuan negara, konstitusi suatu negara diharapkan dapat menyatakan persepsio masyarakat dan pemerintah, sehingga memperlihatkan adanya nilai identitas kebangsaan, persatuan dan kesatuan, perasaan bangga dan kehormatan sebagai bangsa yang bermartabat. Konstitusi dapat memberikan pemenuhan atas harapan-harapan sosial, ekonomi dan kepentingan politik. Konstitusi tidak daja mengatur pembagian dan pemisahan kekuasaan dalamlembaga-lembaga politik seperti legislatif, eksekutuif, dan yudisial, akan tetapi juga mengatur tentang penciptaan keseimbangan hubungan antara aparat pemerintah pusat dan daerah. 5. Konstitusi sebagai alat untuk membatasi kekuasaan, mengendalikan

perkembangan dan situasi politik yang selalu berubah, serta berupaya untuk menghindarkan adanya penyalahgunaan kekuasaan. Berdasarkan alasan tersebut, menjadi sangat penting diperhatikan seberapa jauh formulasi pasal-pasal dalam konstitusi mengakomodasikan materi muatan pokok dan pentinh sehingga dapat mencegah timbulnya penafsiran yang beraneka ragam.

6. Konstitusi sebagai pelindung HAM dan kebebasan warga negara. Konstitusi dapat memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dan hak-hak dan kebebasan warga negaranya.

7. Berfungsi mengatur hubungan kekuasaan antar organ negara.

8. Fungsi pemberi atau sumber legitimasi terhadap kekuasaan negara ataupun kegiatan penyelenggaraan negara

9. Fungsi penyalur atau pengalih kewenangan dari sumber kekuasaan yang asli (yang dalam sistem demokrasi adlah rakyat) kepada organ negara.

10. Fungsi simbolik sebagai rujukan identitas dan keagungan kebangsaan (Unity Nation)


(48)

Menurut Mirza Nasution Tujuan konstitusi adalah juga tata tertib terkait dengan: 39

5. Klasifikasi Konstitusi

a). Berbagai lembaga-lembaga negara dengan wewenang dan cara bekerjanya, b) hubungan antar lembaga negara, c) hubungan lembaga negara dengan warga negara (rakyat) dan d) adanya jaminan hak-hak asasi manusia serta e) hal-hal lain yang sifatnya mendasar sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapatlah disimpulkan bahwa pada prinsipnya tujuan konstitusi adalah untuk membatasi kekuasaan agar mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pemerintah, untuk menjamin hak-hak yang diperintah, dan merumuskan pelaksanaan kekuasaan yang berdaulat.

Dalam buku K.C. Wheare “Modern Constitution” (1975) yang dikutip oleh Mirza Nasution mengklasifikasikan konstitusi sebagai berikut:40

1. Konstitusi tertulis dan konstitusi tidak dalam bentuk tertulis (written

constitution and unwritten constitution);

2. Konstitusi fleksibel dan konstitusi rigid (flexible and rigid constitution) 3. Konstitusi derajat tinggi dan konstitusi derajat tidak derajat tinggi

(Supreme and not supreme constitution)

4. Konstitusi Negara Serikat dan Negara Kesatuan (Federal and Unitary Constitution)

5. Konstitusi Pemerintahan Presidensial dan pemerintahan Parlementer (President Executive and Parliamentary Executive Constitution)

Pertama, yang dimaksud dengan konstitusi tertulis ialah suatu konstitusi (UUD) yang dituangkan dalam dokumen formal. Sedangkan konstitusi yang bukan dalam bentuk tertulis ialah suatu konstitusi yang tidak dituangkan dalam dokumen formal. Seperti konstitusi yang berlaku di Inggris, Israel, New Zaeland.

39

Mirza nasution, op cit hal 3

40


(49)

Kedua, pembedaan antara konstitusi yang fleksibel dan rigid adalah berdasarkan cara dan prosedur perubahannya. Jika konstitusi itu mudah mengubahnya, maka ia digolongkan pada konstitusi yang fleksibel. Sebaliknya jika sulit cara dan prosedur perubahannya, maka ia termasuk jenis konstitusi yang rijid. Dalam konteks ini, UUD 1945 dalam realitanya termasuk konstitusi yang rijid. Adapun ciri- ciri khusus menurut J. Bryce yang dikutip oleh Dahlan Thaib dalam bukunya Teori dan Hukum Konstitusi adalah sebagai berikut:41

Keempat, bentuk suatu negara sangatlah menentukan konstitusi negara.

Jika suatu negara itu serikat, maka akan didapatkan sistem pembagian kekuasaan antara pemerintah negara serikat dengan pemerintah negara bagian. Pembagian (1) Konstitusi fleksibel: elastis,diumumkan dan diubah dengan cara yang samaseperti undang-undang. Sedangkan (2) Konstitusi rigid: mempunyai kedudukan dan derajat yang jauh lebih tinggi dari peraturan perundang-undangan yang lain, hanya dapat diubah dengan cara yang khusus atau istemewa atau dengan persyaratan yang berat.

Ketiga, yang dimaksud dengan konstitusi derajat tinggi ialah suatu

konstitusi yang mempunyai kedudukan tertinggi dalam negara. Disamping itu jika dilihat dari segi bentuknya, konstitusi ini berada di atas peraturan perundang-undangan yang lain. Sementara konstitusi derajat tidak derajat tinggi ialah suatu konstitusi yang tidak mempunyai kedudukan serta derajat seperti derajat tinggi. Persyaratan mengubah konstitusi ini tidak sesulit mengubah konstitusi derajat tinggi, melainkan sama dengan pengubahan undang-undang.

41


(50)

tersebut diatur dalam konstitusinya atau undang-undang dasar. Dalam negara kesatuan pembagian kekuasaan tersebut tidak dijumpai, karena seluruh kekuasaannya tersentralkan di pemerintah pusat, walaupun dikenal juga dalam desentralisasi. Hal ini juga diatur dalam konstitusi kesatuannya.

Terakhir klasifikasi konstitusi sistem pemerintahan presidensial dan sistem pemerintahan parlementer. Pendapat C.F Strong yang dikuti oleh Dahlan Thaib mengemukakan bahwa di negara-negara di dunia ini ada dua macam sistem pemerintahan, dan adapun perbedaan ciri-cirinya. Pertama sistem pemerintahan presidensial yang mempunyai ciri-ciri pokok sebagai berikut:42

1. Di samping mempunyai kekuasaan sebagai kepala negara, presiden juga berkedudukan sebagai kepala pemerintahan.

2. Presiden tidak dipilih oleh pemegang kekuasaan legislatif, akan tetapi dipilih langsung oleh rakyat atau dewan pemilih seperti Amerika Serikat.

3. Presiden tidak termasuk pemegang kekuasaan legislatif.

4. Presiden tidak dapat membubarkan pemegang kekuasaan legislatif dan tidak dapat memerintahkan diadakan pemilihan.

Konstitusi yang mengatur beberapa ciri di atas, diklasifikasikan konstitusi sistem pemerintahan presidensial. Adapun sistem pemerintahan parlementer mempunyai ciri-ciri, yaitu:

1. Kabinet yang dipilih oleh perdana menteri dibentuk atau berdasarkan kekuatan-kekuatan yang menguasai parlemen.

2. Para anggota kabinet mungkin seluruhnya, mungkin sebagian adalah anggota parlemen.

3. Perdana menteri bersama kabinet bertanggung jawab kepada parlemen. 4. Kepala negara dengan saran atau nasihat perdana menteri dapat membubarkan parlemen dan memerintahkan diadakannya pemilihan umum.

42


(51)

B. Tinjauan tentang Hak Asasi Manusia 1. Sejarah Hak Asasi Manusia

Hak asasi adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat. Dianggap bahwa beberapa hak itu dimilikinya tanpa ada perbedaan atas dasar bangsa, ras, agama, dan karena itu bersifat asasi serta universal.

Setelah dunia mengalami dua perang yang melibatkan hampir seluruh negara dan disadari bahwa hak asasi telah dilanggar, maka timbullah keinginan untuk merumuskan hak-hak asasi manusia dalam suatu naskah internasional. Usaha ini pada tahun 1948 berhasil dengan diterima Universal Declaration of Human Rights (pernyataan sedunia tentang hak-hak asasi manusia) oleh negara-negara yang tergabung dalam perserikatan bangsa-bangsa.

Dalam sejarah umat manusia telah tercatat banyak kejadian dimana seseorang atau segolongan manusia mengadakan perlawanan terhadap penguasa atau segolongan manusia mengadakan perlawanan terhadap penguasa atau golongan lain untuk memperjuangkan apa yang dianggap haknya. Kenyataan ini terjadi di beberapa negara di benua Eropa dan Amerika yang menginspirasi secara berangsur-angsur pembuatan naskah yang menjamin hak-hak yang bersifat asasi dan universal. Pembuatan naskah tersebut menurut Miriam Budiarjo adalah sebagai berikut:43

1. Magna Charta (Piagam Agung, 1215), suatu dokumen yang mencatat beberapa hak yang diberikan oleh raja Jhon dari Inggris kepada beberapa bangsawan bawahannya atas tuntutan mereka. Piagam ini menjadi pembatas kekuasaan raja.

43


(52)

2. Bill of rights(Undang-Undang Hak, 1689), suatu undang-undang yang diterima oleh Parlemen Inggris sesudah berhasil dalm tahun sebelumnya mengadakan perlawanan terhadap raja James II, dalam suatu revolusi tak berdarah (The Glorious Revolution of 1688)

3. Declaration des droits de I’homme et du citoyen ( Pernyataan hak-hak manusia dan warga negara, 1789), suatu naskah yang dicetuskan pada permulaan Revolusi Perancis, sebagai perlawanan terhadap kesewenangan dari rezim lama.

4. Bill of rights ( Undang-Undang Hak), suatu naskah yang disusun oleh Rakyat Amerika dalam tahun 1789, dan yang menjadi bagian dari Undang-Undang Dasar pada tahun 1791.

Naskah-naskah di atas sangat dipengaruhi oleh pengaruh Hukum Alam seperti yang dirumuskan oleh John Locke (1632-1714) dan Jean Jaques Rousseau (1712-1778) yang terbukti bahwa naskah-naskah di atas hanya terbatas hak-hak politis saja seperti kesamaan hak, hak atas kebebasan, hak untuk memilih dan sebagainya.

Pada Abad ke-20, naskah-naskah di atas masih dianggap kurang sempurna, sehingga muncullah hak-hak lain yang lebih luas lingkupannya. Yang sangat terkenal ialah empat hak yang dirumuskan oleh Presiden Amerika Serikat, Franklin D.Rossevelt pada permulaan Perang Dunia II ketika berhadapan dengan agresi Nazi-Jerman yang menginjak-injak hak asasi manusia. Hak-hak tersebut terkenal dengan istilah The Four Fredoms (Empat Kebebasan), yaitu:

1. Kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat (freedom of speech) 2. Kebebasan beragama (freedom of religion)

3. Kebebasan dari ketakutan (freedom from far) 4. Kebebasan dari kemelaratan (freedom from want)

Adanya hak atas kebebasan dari kemelaratan menunjukkan bahwa hak-hak politik tidak cukup memberikan kesejahteraan bagi manusia. Karena ada


(53)

anggapan bahwa hak politik, yaitu hak memilih dalam pemilihan umum tidak ada artinya jika kebutuhan sandang, pangan, dan perumahan, tidak dapat dipenuhi. Oleh karena itu, hak manusia tidak cukup hanya hak politik tetapi juga hak ekonomi, sosial, budaya.

Atas dasar itu, Komisi hak-hak asasi (Commission on Human Rights) yang didirikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1946, yang ditugaskan merancang pernyataan hak –hak asasi manusia. Akhirnya, pada tahun 1948 Komisi ini menetapkan Pernyataan Sedunia tentang Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) yang di dalamnya merinci beberapa hak politik, dan juga hak ekonomi dan sosial. Pernyataan ini jauh lebih lengkap dari Declaration of Independence dan Declaration des droit de I’homme et du citoyen, namun pengaruh kedua Deklarasi itu sangat besar.

Universal Declaration of Human Rights dianggap sebagai langkah awal untuk melaksanakan tindak lanjutnya, yaitu menyusun suatu perjanjian

(Covenant) yang mengikat secara yuridis. Sehingga pada tahun 1966 dalam

sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa menyetujui Perjanjian tentang Hak-Ha Ekonomi, sosial, dan budaya (Covenant on Economic, Social, and Cultural rights) serta perjanjian tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (Covenant on Civil and Political Rights). Hak-Hak yang terdapat dalam dua perjanjian itu yang dikutip oleh Miriam Bidiarjo dalam bukunya Dasar-Dasar Ilmu politik adalah sebagai berikut :44

1. Hak-Hak Sipil dan Politik :

1.1 Pasal 6 : Right to life- Hak atas hidup

44


(1)

kebebasan yang tiada batas karena setiap kebebasan asasi dibatasi oleh kewajiban asasi untuk menjaga ketertiban umum. Pengaturan hak asasi manusia melalui Pasal 29 UUD NRI Tahun 1945, Pasal 28 E ayat (1), dan Pasal 28 I ayat (1) adalah turunan konkret dari nilai-nilai Ketuhanan dalam Pancasila, dan sebagai jaminan kebebasan beragama di Indonesia. Pelaksanaan Jaminan kebebasan beragama sebagai bentuk perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan diatur dalam sebuah peraturan perundang-undangan. Jadi, pembatasan hak asasi manusia di Indonesia yang dilakukan melalui SKB Tiga Menteri dan Peraturan Bersama Dua Menteri tidaklah sesuai dengan perintah konstitusi karena kedua peraturan ini bukanlah peraturan perundang-undangan yang diatur dalam UU No 12 Tahun 2012.

Dan saran dalam skripsi ini adalah, yaitu:

1. Menyarankan kepada pemerintah agar membentuk sebuah peraturan perundang-undangan mengenai kebebasan beragama di Indonesia sebagai pengganti dan perluasan dari SKB Tiga Menteri dan Peraturan Bersama Dua Menteri.

2. Menyarankan kepada masyarakat agar menjaga kerukunan umat beragama, dengan mengutamakan dialog dan tidak melakukan aksi main hakim sendiri yang dapat merugikan kebebasan orang lain, dan melanggar prinsip negara hukum.


(2)

Daftar Pustaka

Al Khanif. Hukum dan Kebebasan Beragama di Indonesia. Yogyakarta: Laksbang Mediatama, 2010

Arifin, Syamsul. Studi Agama Perseptif Sosiologis dan Isu-Isu Kontemporer. Malang: UMM Press, 2009

Arfawie Kurde, Nukhtoh. Teori Negara Hukum. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005

Asshiddiqie,Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme. Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan MK RI, 2005

Asshiddiqie , Jimly dan M. Ali sa’faat. Teori Hans Kelsen tentang Hukum. Jakarta: Setjen & Kepaniteraan MK-RI, 2006

Asshidiqqie, Jimly. Kumpulan Pemikiran Hukum. Jakarta: Sekretariat Jenderal MK RI, 2008

Asshidiqie, Jimly. http:// Jimly.com/ makalah/namafile/57/ konsep negara hukum

Asshiddiqie, Jimly. Menuju Negara Hukum yang Demokratis. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008

indonesia.pdf

Azhary. Negara Hukum Indonesia. Jakarta: UI Press, 1995

Baso Ence, Iriyanto A. Negara Hukum dan Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi. Makassar: P.T ALUMNI Bandung 2008

Budiarjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama


(3)

Devanta,Vino. Jurnal Konstitusi

Fahmi, Agung Ali. Implementasi Kebebasan Beragama menurut UUD Republik Indonesia tahun 1945. Jakarta: FH- UI, 2010

Volume 7 Nomor 3. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK, 2010

Fatmawati. Perlindungan Hak Atas Kebebasan Beragama dan Beribadah dalam Negara Hukum Indonesia. Jakarta: Mahkamah Konstitusi RI, 2011

Frans H Winarta, Agama Tidak Memerlukan Pengakuan Negara Secara Resmi dan Diatur Hukum ( Tangerang: FH- Universitas Pelita Harapan, 2008)

Gede Atmaja, I Dewa. Hukum Konstitusi.Malang: Setara Press, 2010 Harahap, Krisna. Konstitusi Republik Indonesia. Jakarta: Grafitri Budi Utami, 2004

Huda, Ni’matul dan Sri Hastuti Puspitasari. Kontribusi Pemikiran Untuk 50 Tahun Prof. DR. Moh. Mahfud MD. Yogyakarta: FH UII Press, 2007

Institute, The Wahid. Lampu Merah Kebebasan Beragama. Jakarta: The Wahid Institute, 2011

Jahfar, Wahyudi. Jurnal Konstitusi Volume 7 Number 5. Jakarta: Mahkamah Konstitusi RI, 2010

Johanes Suhardjana. Supremasi Konstitusi adalah Tujuan Negara. Purwokerto: Universitas Jenderal Sudirman, 2010

Kansil, C.S.T. Sekitar Hak Asasi Manusia Dewasa Ini. Jakarta: Karya Unipress, 2003


(4)

Kusnardi, Moh dan Hermaily Ibrahim. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: CV Sinar Bakti, 1981

Lindholm, Tore. Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan:Seberapa Jauh?. Yogyakrta: Kanisius, 2010

M Rahmat,Alef dan Tedy Sudrajat. Jurnal Dinamika Hukum Volume 9 Nomor 2. FH- Universitas Jenderal Sudirman, 2009

Mahkamah Konstitusi RI. Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945 bagian 8. Jakarta: Sekretariat Jenderal MK-RI, 2008

Mahfud MD, Moh. Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi. Yogyakarta: Gama Media, 1999

Muqodas, Busyro M. Negara Hukum, Ham, dan Peran Masyarakat Sipil. Bandung: Komisi Yudisial RI, 2010

Nasution, Mirza. Negara dan Konstitusi. Medan: FH-USU, 2004

Putra, Dahana Putusan Nomor 140/PUU-VII/2009 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

R. Herlambang P W, Konstitusionalisme dan Hak-Hak Asasi Manusia (UNAIR: FH- UNAIR, 2005

Sukarno. Dibawah Bendera Revolusi. Jakarta: Dibawah Bendera Revolusi, 1964


(5)

Strong,C. F. Konstitusi-Konstitusi Politik Modern (Bandung: Nusamedia, 2004)

Soegiharti, Novie. Kajian Hegemoni Gramshi Tentang Reaksi Sosial Formal Terhadap Kebebasan Beragama Dan Berkeyakinan Di Indonesia. Jakarta: FISIP-UI, 2009

Siahaan, Maruarar. Hak Asasi Manusia dan Konstitusi. Jakarta: Sekretariat Jenderal MK RI, 2010

Thaib, Dahlan, dkk. Teori dan Hukum Konstitusi. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada,1999

Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia)

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 119

Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165

Undang-Undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82

Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109


(6)

Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 124

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 170