BAB II Terbentuknya Kampung Bali 2.1 Letak Geografis dan Kondisi Alam - Kampung Bali di Desa Paya Tusam Kabupaten Langkat 1974-2002

  

Terbentuknya Kampung Bali

2.1 Letak Geografis dan Kondisi Alam

  Kampung Bali merupakan pemukiman Masyarakat Bali yang ada di pedalaman Kabupaten Langkat. Secara singkat dapat dijelaskan bahwa Langkat merupakan salah satu kabupaten yang berada di Dataran Tinggi Bukit Barisan, terletak di Bagian Barat Laut Provinsi Sumatera Utara, letak geografis Kabupaten Langkat berada pada koordinat 3° 14’ – 4° 13’ Lintang Utara dan 97° 52’ – 98° 45’ Bujur Timur. Kabupaten Langkat berada diketinggian 4-105 m dari permukaan laut.

  Secara administrasi Kabupaten Langkat mempunyai batas sebagai berikut: : Kabupaten Aceh Tamiang (Provinsi NAD) dan

  • Sebelah Utara Selat Malaka : Kabupaten Karo • Sebelah Selatan : Kabupaten Deli Serdang • Sebelah Timur : Kabupaten Aceh Tenggara/Tanah Alas • Sebelah Barat (Provinsi NAD)

  Ibukota dari Kabupaten Langkat adalah Stabat. Kabupaten Langkat memiliki luas 626.329 Ha sekarang ini Kabupaten Langkat terdiri dari 23 Kecamatan dan 277 desa/kelurahan. secara umum mayoritas penduduk Kabupaten Langkat adalah orang

16 Batak Toba, Mandailing, dll.

  Kampung Bali di Langkat merupakan wilayah dusun VI yang terletak di Desa Paya Tusam, Kecamatan Sei Wampu. Kecamatan Sei Wampu ini merupakan kecamatan yang bersebelahan langsung dengan kota Stabat. Antara kota Stabat dengan Kecamatan Sei Wampu ini dipisahkan oleh keberadaan Sungai Wampu. Sungai Wampu adalah sebuah sungai yang mengalir melalui 2 kabupaten di Sumatera Utara, Indonesia, yaitu Kabupaten Karo dan Kabupaten Langkat. Di kabupaten Karo, hulu sungai ini dikenal dengan nama Lau Biang. Airnya yang jernih dan cukup deras, mengalir langsung dari hutan-hutan lebat Taman Nasional Gunung Leuser. Sungai Wampu memiliki lebar sekitar 150 m, untuk menyeberangi sungai wampu melalui kota Stabat menuju ke kecamatan Sei Wampu dapat dilalui dengan dua cara, pertama dengan melalui jembatan sungai Wampu dan yang kedua dengan menaiki jasa angkutan penyebrangan sungai berupa getek.

  Kampung Bali yang menjadi pemukiman masyarakat Bali sebelumnya merupakan wilayah dari Desa Bingai, namun setelah adanya pemekaran pada tahun 2001 terhadap Desa Bingai ini, maka Desa Bingai terbagi menjadi tiga desa. Ketiga desa tersebut adalah Desa Bingai, Desa Paya Tusam, dan Desa Setungkit. Kampung Bali setelah pemekaran Desa Bingai masuk di dalam wilayah Desa Paya Tusam.

16 Badan Pusat Statistik Kabupaten Langkat, Kabupaten Langkat Dalam Angka 2013, BPS-

  Statistik Of Langkat Regency, 2013 menuju ke Kampung Bali jika ditempuh dari Kota Stabat akan melewati beberapa pemukiman-pemukiman masyarakat yang di dominasi oleh mayoritas Masyarakat Melayu, perjalanan ini dalam prosesnya akan membelah jalan perkebunan kelapa sawit dan karet yang merupakan tanaman para warga setempat. Akses ini sekalipun dimungkinkan untuk kendaraan roda empat namun akan terasa sangat sulit karena kondisi jalan yang kurang baik. Hal ini lebih disebabkan karena akses jalan yang berbatu dan struktur tanah yang tidak rata.

  Tidak ada jalan yang jelas ataupun yang menjadi jalan umum dalam perjalanan menuju Kampung Bali dari Kota Stabat, karena jalan-jalan yang dilewati merupakan jalan-jalan perkebunan yang sengaja dibuka hanya untuk kepentingan perkebunan dan untuk menghubungkan satu pemukiman kepemukiman lain, keadaan ini membuat perjalanan menuju Kampung Bali dari kota Stabat terlihat berliku-liku dan sedikit rumit. Masyarakat setempat setelah penyebrangan getek dari kota Stabat masih banyak yang tidak mengetahui jalan menuju Kampung Bali. Karena akses jalan dari kota Stabat menuju Kampung Bali bukanlah akses jalan utama Masyarakat Bali untuk keluar kampung menuju kota, akses jalan utama masyarakat Kampung Bali untuk keluar kampung menuju kota adalah melalui Desa Perhiasan yang merupakan desa dari Kecamatan Selesai menuju kota Binjai. Akses jalan ini merupakan akses jalan yang baru dibuka untuk mempermudah masyarakat keluar dari kampung menuju ke kota. ini didominasi oleh tanaman karet yang menjadi mata pencarian masyarakat. Terdapat juga tanaman seperti sawit, kakao dan ada juga tanaman-tanaman liar lainnya. Tampilan wajah Kampung Bali sendiri menghadap Tenggara arah mata angin, apabila diamati dari jalan kedatangan menuju kampung dan pintu gerbang masuk. Setiap orang yang datang memasuki kampung harus terlebih dahulu lewat pintu gerbang untuk bisa memasuki Kampung Bali. Demikian juga warga yang berdiam di kampung itu yang hendak pergi untuk meninggalkan kampung harus melalui gerbang masuk meski memang tidak ada penjaga yang bertugas di gerbang masuk (Lihat lampiran gambar 3). Semakin kedalam memasuki kampung menuju arah Barat Laut maka kita akan menemukan Pura Penataran Agung Widya Loka Nata yang terletak di dataran tertinggi kampung, memang kampung Bali ini jika dilihat struktur tanahnya semakin memasukki kampung maka tanahnya semakin tinggi seperti menaiki bukit. Jalan-jalan di areal kampung yang menghubungkan rumah- rumah warga masih menggunakan jalan setapak, jalan-jalan ini terlihat bergelombang karena kondisi tanah diperkampungan yang pada dasarnya tidak rata, ditengah-tengah kampung ada sebuah titi dari kayu yang dibangun untuk melewati sebuah parit besar, parit ini dahulu memang sudah ada, namun menurut sumber dahulu lebar parit ini tidak sebesar seperti sekarang, karena kebutuhan sebagai saluran pembuangan air maka masyarakat memperbesar parit ini agar lebih maksimal fungsinya. Di tengah- tengah pemukiman masyarakat Kampung Bali juga akan banyak ditemui pohon

penghasilan masyarakat.

  Panorama alam Kampung Bali yang masih didominasi warna hijau memberi kenyamanan tersendiri bagi orang-orang yang rindu akan kehidupan tradisional perkampungan. Kampung Bali adalah pemukiman khas pedesaan yang masih memegang nilai-nilai luhur kebudayaannya. Kampung Bali sebagai desa tradisional ditandai dengan ciri-ciri umum antara lain: mata pencaharian penduduk relatif pada sektor pertanian, perbandingan antara lahan dan penduduk relatif besar, hubungan antar warga relatif akrab, pada umumnya tradisi leluhur masih di pegang kuat.

2.2 Latar Belakang Historis Kampung Bali.

  Meningkatnya jumlah penduduk akibat aktivitas ekonomi yang terus berkembang sehingga dapat mendorong pertambahan kebutuhan lahan yang dijadikan untuk daerah permukiman ataupun lahan usaha sehingga dapat menciptakan suatu daerah permukiman ataupun pola permukiman baru. Pola permukiman tersebut bersifat sebaran, dan lebih banyak berkaitan dengan faktor-faktor ekonomi, sejarah dan faktor budaya beserta dampaknya.

  Keberadaan Kampung Bali sendiri merupakan pemukiman yang ada akibat sebaran penduduk yang dilatarbelakangi karena faktor ekonomi. Perpindahan etnis Bali dari satu daerah kedaerah pedalaman di Langkat melewati kronologis sejarah, perpindahan ini mengubah wajah belantara menjadi pemukiman yang menghasilkan terpenting dalam proses terbentuknya Kampung Bali.

2.2.1 Masyarakat Bali Sebelum di Kampung Bali.

  Pasca kolonial Indonesia telah menjadi sebuah negeri yang merdeka dan berdiri sendiri semenjak 17 Agustus 1945, keadaan ekonomi, politik dan kebudayaan di Indonesia tidak mengalami perubahan secara mendasar. Keterbelakangan ekonomi banyak terjadi di pedesaan yang merupakan tempat di mana mayoritas rakyat Indonesia berada khusus untuk Kepulauan Jawa. Pengangguran juga meluas di pedesaan sebagai akibat sempitnya lapangan pekerjaan. Umumnya masyarakat di daerah pedesaan menumpukkan ekonominya pada sektor pertanian, namun mayoritas kaum tani adalah kaum tani yang tidak memiliki lahan. Kalaupun ada yang memiliki lahan, maka kepemilikan lahan tersebut dalam jumlah yang sangat terbatas sehingga hasilnya tidak mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Keadaan ini terjadi karena lahan-lahan yang ada di desa rata-rata dikuasai oleh “tuan tanah”, tani kaya, dan orang kaya desa lainnya. Sehingga sedikit sekali kaum tani yang dapat memanfaatkan tanah bagi kehidupan mereka. Kemiskinan di pedesaan inilah yang menjadi salah satu sebab utama mengapa banyak penduduk desa terutama yang berusia muda melakukan migrasi baik ke kota-kota besar bahkan migrasi internasional ke negeri-negeri lain sebagai buruh migran. Alasan utama para kaum urban tersebut adalah karena sedikitnya jumlah tanah yang mereka miliki, atau karena kurangnya tanah, sehingga

  

  tanah. Tidak dapat dipungkiri Masyarakat Bali yang tinggal di Pulau Bali juga mengalami keadaan ini. Kebutuhan akan lahan untuk usaha maupun pemukiman merupakan alasan utama yang memicu perpindahan masyarakat Bali yang merasa kesusahan hidup dikampungnya sendiri, sehingga mereka melakukan perpindahan tempat tinggal dengan tujuan dasarnya untuk memperbaiki taraf hidup yang lebih baik.

  Transmigrasi oleh masyarakat Bali telah dilakukan secara terorganisir, perpindahan ini telah dimulai setelah kemerdakaan, yaitu pada tahun 1953. Antara tahun 1953 dan 1968, jumlah transmigran Bali mencapai 10,4% dari seluruh peserta transmigrasi. Selama periode tersebut, 84% orang Bali bertransmigrasi ke Sumatera.

  Jumlah transmigran yang diberangkatkan pertahun bervariasi antara dua tahun tercatat kurang dari 1.000 orang, lima tahun antara 1.000 hingga 3.000 orang, lima tahun antara 3.000 hingga 5.000 orang dan akhirnya, pada tahun 1963 sesudah

   meletusnya Gunung Agung, tercatat 12.000 pengungsi yang diberangkatkan.

  17 Muriel Charras, Dari Hutan Angker Hingga Tumbuhan Dewata. Transmigrasi di Indonesia: Orang Bali di Sulawesi, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 1997, hal. 25 18 Ibid, hal. 18 Berikut adalah jumlah dan arah tujuan transmigran Masyarakat Bali: Tabel I : Jumlah dan arah tujuan transmigran Bali

  Tujuan 1953/1968 1969/1974 1975/1976 Sebelum 1978 Kel. Jiwa Kel. JIwa Kel. Jiwa Kel. Jiwa Sumatera 8.556 35.124 264 1.132

  1

  7 Kalimantan 333 1.357 501 2.222

  4

  18 Sulawesi 1.096 5.204 4.224 19.292 1.731 7.655 500-1.000 Nusa Tenggara 100 470 410 1.162 Jumlah 10.085 41.854 5.399 23.808 1.736 7.680 Rata-rata 2.790 4.762 3.840 per tahun

  Sumber: Muriel Charras, Dari Hutan Angker Hingga Tumbuhan Dewata,

  Transmigrasi Di Indonesia, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, Hal. 32

  Masyarakat Bali yang yang menjadi pemeran utama dari pembukaan Kampung Bali di Langkat mengawali kedatangan mereka dengan bertransmigrasi dari Bali ke Sumatera. Dilihat dari Tahun keberangkatan transmigran ini yaitu tahun 1963, Perpindahan masyarakat Bali ini termasuk dalam jenis perpindahan yang terpaksa. Transmigrasi merupakan satu jalan keluar yang ditawarkan kepada para korban letusan Gunung Agung di tahun 1963. Namun secara harafiah transmigrasi ini tidak merupakan “paksaan”. Para korban bencana alam yang sedang kehilangan harta benda, serta sedang dilanda kebingungan itu memang mudah dipengaruhi dan

  

  diberi anjuran untuk bertransmigrasi. Namun tujuan transmigrasi yang 19 Ibid, hal. 32 oleh masyarakat itu sendiri, itulah sebabnya migrasi orang-orang Bali ini terlepas dari bentuk sistem yang menekan. Migrasi ini juga perlu lebih lanjut dijelaskan pada tahun 1963, kira-kira 145 keluarga, yang banyak diantaranya berasal dari Gianyar Propinsi Bali, telah dikirim untuk bekerja kontrak selama 6 tahun diperkebunan karet

   di Medan dan sekitarnya.

  Orang Bali yang bermigrasi ke Medan, mengawali kedatangan mereka dengan menandatangani kontrak kerja diperkebunan Tanjung Garbus dan Bandar Selamat, perkebunan Tanjung Garbus dan Bandar Selamat merupakan perkebunan yang terletak di daerah Lubuk Pakam. Perkebunan yang ada di Tanjung Garbus dan Bandar Selamat ini merupakan perkebunan yang menghasilkan komoditi karet, kakao, gula dan tembakau. Orang Bali yang bekerja diperkebunan tersebut memulai kontrak kerja mereka dari tahun 1963 sampai dengan 1969. Setelah kontrak kerja yang pertama diselesaikan ditahun 1969, mereka kemudian menerima perpanjangan kontrak kerja untuk 6 tahun berikutnya.

  Sekalipun Masyarakat Bali ini mendapatkan fasilitas rumah atau tempat tinggal dan gaji selama kontrak kerja sebagai pekerja perkebunan. Kehidupan masyarakat Bali yang bekerja diperkebunan ini dirasa sangat kurang memuaskan. Pendapatan dari hasil perkebunan ini bagi mereka masih dianggap tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Akibatnya banyak Masyarakat Bali yang 20 Ibid, hal. 33 yang lebih baik lagi demi meningkatkan taraf hidup.

  Bentuk dari ketidakpuasan masyarakat Bali ini terbukti dengan adanya beberapa pekerja dari Masyarakat Bali yang melakukan pensiun muda pada masa itu,

  

  yaitu pada tahun 1972 dan 1973. Namun setelah pensiun masyarakat Bali ini bukannya mendapatkan kegiatan usaha yang lebih baik melainkan malah menjadi pengangguran. Kebutuhan Ekonomi yang semakin meningkat memaksa orang-orang Bali tersebut untuk segera mengambil langkah-langkah agar dapat mempertahankan keberlangsungan hidup. Berbagai macam usaha dan cara dilakukan untuk dapat meningkatkan taraf hidupnya. Sebahagian dari orang-rang Bali ini menggunakan sisa- sisa harta yang mereka miliki untuk melakukan kegiatan berdagang, akan tetapi hasilnya juga masih belum mencukupi kebutuhan hidup mereka dan keluarga dikarenakan kurangnya pengetahuan akan teknik berdagang serta minimnya modal yang mereka miliki. Sebahagian masyarakat Bali ini ada juga yang pulang ke kampung halamannya di Pulau Bali dengan harapan bahwa situasi disana sudah berubah dan ada peluang untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik dengan

   bermodalkan pengalaman selama menjadi transmigran.

  21 22 Wawancara Nyoman Sumandro, Kampung Bali, 8 Juni 2013 Wawancara Dewa Putu Dana, Kampung Bali, 8 Juni 2013

  Kesejahteraan adalah hal yang utama bagi para masyarakat transmigran, tujuan masyarakat transmigran sendiri dengan melakukan migrasi cenderung lebih kepada peningkatan taraf hidup. Masyarakat Bali yang sudah tidak bekerja diperkebunan merasa sudah sangat jauh dari tujuan-tujuan tersebut. Keterpurukan ekonomi melanda orang-orang Bali ini yang kemudian menghadapkan mereka kepada pilihan yang sulit. Pilihan yang ada pada saat itu mengharuskan mereka untuk segera mengambil keputusan demi kelangsungan hidup mereka, pilihan yang ada diantarnya adalah:

  1. Bekerja lagi dengan pihak perusahaan perkebunan sebagai buruh lepas.

  2. Mereka Kembali ke Pulau Bali dan memulai hidup baru disana, atau 3.

  Memiliki dan mengolah tanah sendiri dengan cara berpindah dan mencari lokasi baru untuk tempat menetap.

  Kehidupan semasa kontrak kerja di perusahaan perkebunan ini dinilai sangat kurang memenuhi kesejahteraan masyarakat Bali sehingga pilihan ini dianggap tidak tepat untuk dilakukan, sementara pilihan untuk kembali pulang ke kampung halaman adalah pilihan sulit dikarenakan beberapa pertimbangan yaitu, mereka merasa malu karena ketika pulang belum memiliki harta yang cukup dan ditambah lagi dengan asumsi bahwa kampung halaman mereka yaitu Pulau Bali yang mereka rasa sudah

  

untuk mencari lapangan pekerjaan disana.

  Akhirnya sebahagian dari masyarakat Bali ini memutuskan untuk memulai hidup mandiri dengan membuka lahan sendiri. Keputusan ini diikuti oleh beberapa masyarakat lainnya yang masih bekerja diperkebunan, mereka berencana untuk berhenti bekerja dari perkebunan dan mengikuti masyarakat yang ingin membuka lahan dan tempat tinggal sendiri. Pada tahun 1973 dengan bekal harta seadanya akhirnya orang-orang Bali yang berjumlah 56 kk tersebut mengusahakan tempat tinggal yang baru untuk keberlangsungan hidup mereka.

  Keputusan untuk mencari lahan sebagai tempat tinggal yang merupakan upaya tuntutan masyarakat Transmigran yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1972 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Transmigrasi. Dimana dalam pasal 8 berbunyi “Hak-hak transmigran untuk mendapatkan bantuan ,

  

  bimbingan dan pembinaan diatur dengan pemerintah.” Lebih lanjut mengenai tujuan masyarakat Bali memilih pilihan untuk berpindah tempat tinggal dan membuka lahan karena pemerintah dalam mendukung program transmigrasi memberikan fasilitas-fasilitas bagi para transmigran pada masa itu. Fasilitas yang disediakan pemerintah antara lain adalah lahan, bantuan dana dan alat-alat pertanian. Setiap kepala keluarga yang mengikuti program transmigrasi rata-rata mendapatkan lahan garapan seluas 2 - 2,5 hektar dan juga mendapatkan bantuan dana sebagai 23 24 Wawancara Nyoman Sumandro, Kampung Bali, 8 Juni 2013 Presiden Republik Indonesia, “Undang‐Undang RI Nomor 3 Tahun 1972 Tentang

  Ketentuan-Ketentuan Pokok Transmirasi” hal. 4 pemerintah juga menyediakan alat-alat pertanian dan brosur-brosur penyuluhan tentang cara mengelola lahan yang baik dan jenis tanaman budidaya apa yang cocok untuk ditanam pada lahan tersebut.

  Masyarakat Bali yang sudah tidak bekerja di perkebunan Tanjung Garbus dan Bandar Selamat berkumpul untuk merencanakan perpindahan mereka. Mereka menggabungkan diri dengan PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia) yang berada dikota Medan untuk memohon bantuan agar diusahakan tempat tinggal yang baru dan menerahkan proses pengurusan itu sepenuhnya kepada lembaga tersebut. PHDI menyetujui permohonan masyarakat Bali tersebut yang meminta diusahakan tempat tinggal yang baru untuk kelangsungan hidup mereka. PHDI mengambil alih rencana perpindahan ini dalam pengurusannya. Tempat tinggal yang direncanakan untuk orang-orang Bali ini dinamakan Komplek Bali.

  Langkah selanjutnya yang diambil oleh PHDI adalah dengan mengutus beberapa orang untuk meninjau daerah-daerah yang menjadi tujuan masyarakat Bali.

  Ditemukanlah pada masa itu beberapa daerah oleh utusan ini namun hasilnya belum ada yang cocok. Akhirnya ditemukan daerah pedalaman di Kabupaten Langkat yang dirasa cocok setelah melalui berbagai pertimbangan untuk menjadi tempat tinggal masyarakat Bali. Dikirim utusan sebanyak 11 orang yang merupakan dari masyarakat Bali tersebut untuk melakukan survey ke daerah pedalaman Kabupaten Langkat. masyarakat Bali ini menuju Kabupaten Langkat.

  Kawasan yang menjadi tempat tinggal masyarakat Bali ini memiliki luas 180 ha. Status daerah tempat tinggal masyarakat Bali yang dirujukkan ini merupakan Tanah Negara Bebas (TNB). Tanah Negara Bebas adalah tanah negara yang langsung dibawah penguasaan negara, diatas tanah tersebut tidak ada satupun hak yang dipunyai oleh pihak lain selain negara. Tanah negara bebas bisa langsung dimohon oleh masyarakat kepada negara/ Pemerintah dengan melalui suatu prosedur yang

   lebih pendek daripada prosedur terhadap tanah negara tidak bebas.

  Sebelum berakhir tahun 1973 PHDI berhasil mengurus segala kebutuhan bagi masyarakat Bali yang akan membuka tempat tinggal didaerah Langkat tersebut, termasuk didalamnya segala urusan izin tanah dan tempat tinggal sementara bagi masyarakat dikawsan ini. Dengan demikian, maka terjadilah migrasi spontan dari Tanjung Garbus dan Bandar Selamat ke daerah pedalaman Kab. Langkat yang bernama Kampung Bali. Jadi lebih tepat disimpulkan bahwa masyrakat Bali yang berperan dalam pembukaan dan yang tinggal dikampung Bali sejak pertama kali bukanlah masyarakat yang datang langsung dari Bali melainkan masyarakat Bali yang sebelumnya sudah bekerja dan tinggal di Sumatera yaitu di perkebunan Tanjung Garbus dan Bandar Selamat.

25 Saputera Rekky, “Pensertipikatan Tanah Negara Menjadi Tanah Hak Di Kecamatan Ilir

  

Barati Kota Palembang ” Tesis Program Sudi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana

Universitas Diponegoro, 2010, Hal 33

  Tahun 1974 masyarakat Bali telah bermukim di pedalaman Kab. Langkat. Perpindah masyarakat yang terproses ini telah memberikan dampak yang begitu besar terhadap perkembangan masyarakat Bali dari segala aspek kehidupan. Alasan utama masyarakat Bali memilih kawasan ini sebagai tempat tinggal mereka hanya karena keseluruhan jumlah lahan yang disediakan sebagai tempat tinggal dan lahan pertanian nantinya dirasa mereka sudah cukup untuk dibagi kesetiap kepala keluarga masyarakat Bali. Dimana setiap keluarga mendapatkan sekitar 2 hektar tanah untuk di olah dan kerjakan sebagai penghasilan. Pertimbangan lainnya adalah karena kesuburan tanah dikawasan ini yang mereka rasa sudah baik untuk ditanami tanaman perkebunan yaitu karet dan sawit.

  Dimasa awal-awal kehidupan masyarakat kampung, banyak sekali permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi, tantangan dan kesulitan pada awal- awal bermukimnya warga Bali ini sangat terasa bagi masyarakat sejak lima tahun pertama tinggal yaitu dari tahun 1974 sampai dengan 1979. Permasalahan yang paling utama pada masa awal berdirinya kampung Bali adalah masalah kesehatan. Dalam urusan kesehatan pada masa itu bahkan ada warga yang meninggal karena tidak mendapatkan pengobatan yang layak, umumnya masyarakat hanya mengobati dengan cara-cara tradisional. Selanjutnya permasalah sandang dan pangan. Masyarakat di Kampung Bali pada masa awal berdirinya kampung kesulitan untuk mencari makan, menurut sumber yang diperoleh peneliti diakui mereka bahwa tak dipersulit karena tempat tinggal mereka yang mulai rusak karena alam.

  Banyaknya tantangan hidup yang berdatangan tak membuat masyarakat kampung menyerah dan putus asa. Bahkan dimasa awal-awal tinggal di Kampung Bali masyarakat Bali berusaha mengutamakan beberapa aspek yang menunjang peningkatan kehidupan masyarakat.

2.3.1 Agama

  Masyarakat Bali yang tinggal dan menetap di kampung Bali keseluruhannya beragama Hindu Dharma atau Agama Tirtha (Agama Air Suci) yaitu agama Hindu yang merupakan sinkretisme unsur-unsur Hindu aliran Siwa, Waisnawa, dan Brahma yang dipadukan dengan kepercayaan lokal masyarakat Bali.

  Dalam masyarakat Bali berlaku sistem Catur Varna yang memiliki pengertian empat pembagian kehidupan berdasarkan atas bakat (guna) dan keterampilan (karma) seseorang, serta kualitas kerja yang dimiliki sebagai akibat pendidikan, pengembangan bakat yang tumbuh dari dalam dirinya yang ditopang oleh ketangguhan mentalnya dalam menghadapi pekerjaan. Empat golongan yang kemudian dikenal dengan nama Catur Varna itu ialah Brahmana (pendeta), Ksatria (tentara), Waisya (pedagang), dan Sudra (pekerja/buruh). Dalam perjalanan kehidupan di masyarakat dari masa ke masa pelaksanaan sistem Catur Varna cenderung berbaur mengarah kepada sistem yang tertutup yang disebut Catur Wangsa fungsional sedangkan Catur Wangsa menunjukkan Turunan Darah.

  Kematangan masyarakat Hindu yang tinggal di kampung Bali ini ditandai dengan perencanaan pembangunan Pura sebelum mereka tinggal di kampung Bali.

  Pada masa awal-awal terbentuknya kampug Bali kematangan ini direalisasikan dengan dibangunnya Pura Penataran Agung Widya Loka Nata yang didirikan pada tanggal 16 November 1976. Walaupun dengan kondisi ekonomi yang belum stabil pada masa itu, tidak menutup kemungkinan pembangunan pura terselesaikan. Bagi masyarakat Hindu Bali agama adalah hal yang paling diutamakan. Karena mereka beranggapan semakin taat mereka menjalanakan agamanya maka kehidupan yang baik dan ideal menurut mereka akan terwujud.

  Pembangunan pura ini pada prosesnya dilakukan dengan cara bergotong royong dengan melibatkan seluruh anggota masyarakat. Dimana setiap anggota masyarakat yang terdiri dari orang tua dan anak mengambil bagiannya masing- masing dalam pengerjaan pura. Anak muda umumnya membawa bahan baku pembangunan pura ini yang didatangkan dari luar kampung dengan berjalan kaki. Baik perempuan maupun laki-laki terjun membawa bahan-bahan tersebut yang

  

  jaraknya sekitar 3 jam perjalanan. Keadaan ini menunjukkan solidaritas masyarakat yang masih sangat kental dalam sistem kepercayaan ditengah-tengah kehidupan masyarakat kampung pada masa awal berdirinya Kampung Bali. 26 Wawancara I nyoman Sumandro, Kampung Bali, 18 Desember 2012.

  Kawasan kampung Bali pada awalnya merupakan kawasan hutan tropis, dimana pohon-pohon dalam hutan ini berdaun rindang dan lantai hutan gelap karena sinar matahari tidak dapat menembus daun-daun rindangnya. Pepohonan yang tumbuh didaerah ini rata-rata sudah berumur dengan batang yang besar-besar, sebut saja seperti pohon meranti dan jati, Tanah dan udara dalam hutan lembap karena uap airnya sukar naik terevaporasi ke atas. Tak jarang ditemukan pohon-pohon dalam hutan tersebut sering dibelit oleh tumbuhan sulur, seperti rotan dan tumbuhan- tumbuhan pasrasit. Kondisi alam yang masih sangat belantara ini tentunya menyulitkan kehidupan masyarakat dalam melangsungkan kehidupan.

  Menurut salah satu sumber yang peneliti dapatkan, ia mengatakan bahwa tak jarang masyarakat Bali dalam kesehariannya memakan ubi yang dicampur dengan

  

  nasi. Hal ini dilakukan karena faktor keadaan, dimana masyarakat masih belum berpenghasilan karena mereka masih dalam tahap awal pengerjaan lahan, akibatnya kondisi ekonomi yang sangat buruk menerpa masyarakat, sehingga masyarakat sangat kesulitan untuk membeli kebutuhan pokok.

  Pada dasarnya Masyarakat Bali adalah masyarakat dengan mata pencaharian sebagai petani. Orang Bali dalam memperjuangkan kehidupan bertumpu pada hasil perkebunan yang mereka olah. Hal ini pula yang tercermin dari kehidupan masyarakat Bali yang tinggal di Kampung Bali dimana mereka mengusahakan penghidupannya dengan bercocok tanam. 27 Wawancara Dewa Putu, Kampung Bali, 14 Agustus 2013. Bali yang tinggal didalamnya bertarung dengan waktu. Mereka dalam pengerjaan lahan yang dibagi kesetiap kepala keluarga umumnya menanami lahan ini dengan tanaman keras seperti sawit dan karet. Pengolahan ini merupakan bentuk kontrak kepada pemerintah atas lahan yang diberikan agar sesegera mungkin dikelola. Dalam proses penanamannya tanaman karet dan sawit merupakan tanaman tahunan. Sehingga masyarakat Bali dituntut untuk mengolah lahan tapi harus juga mencari penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Orang-orang Bali mensiasati keadaan ini dengan menanam lahan secara bersamaan dengan tanaman palawija sebagai sumber penghasilan sementara hingga tanaman keras itu menghasilkan nantinya. Terbukti orang-orang Bali ini dapat bertahan dimasa awal- awal tinggal dikampung Bali dengan menggunakan strategi ini, hingga tanaman sawit dan karet yang mereka tanam menghasilkan selanjutnya mereka berhenti menanam tanaman palawija.

3.3.3 Pendidikan

  Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana dalam usaha mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Pentingannya pendidikan dalam kehidupan sumberdaya manusia yang berfungsi pada peningkatan sumber daya alam nantinya.

  Pendidikan termasuk dalam permasalahan yang sangat dicemaskan oleh Masyarakat Kampung dimasa awal-awal berdirinya Kampung Bali. Belum adanya sekolah menjadi penghalang bagi anak-anak untuk belajar. Adapun sekolah letaknya sangat jauh dari kampung, dimana faktor geografis Kampung Bali tidak memungkinkan masyarakat kampung untuk menyekolahkan anak-anak mereka.

  Akibatnya tidak ada anak-anak yang sekolah pada masa itu. Umumnya anak-anak dimasa awal-awal terbentuknya Kampung Bali pekerjaannya sehari-hari hanyalah membantu orangtuanya berladang ataupun berkebun. Sampai akhirnya para orang tua berinisiatif membangun sebuah tempat sebagai prasana belajar dan mengajar yang tidak resmi pada tahun 1977. Tenaga pengajar yang diangkat juga merupakan warga

  

  kampung. Mereka adalah orang-orang yang dianggap mampu untuk mengajarkan pengetahuan di sekolah dasar. Sekolah yang dibangun pada masa awal berdirinya Kampung Bali secara nyata menunjukan bentuk pemikiran maju masyarakat kampung. Hingga keadaan menjadi baik dan akses yang memungkinkan baru masyarakat Bali ini menyekolahkan anak-anak mereka keluar kampung.

  Umumnya anak-anak di Kampung Bali bersekolah keluar kampung pada tingkat SMP dan SMA, karena sekolah yang dibuat di Kampung Bali statusnya disetarakan untuk tingkat SD. Sekolah ini menjadi resmi dan terdaftar di pemerintahan menjadi SD inpres pada tahun 1991. 28 Wawancara Nengah Samba, Kampung Bali, 8 Juni 2013.