BAB I PENDAHULUAN - Dinamika Personal Adjustment Pada Mantan PSK

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Confessions of a Former Sex Worker by Anonymous Empowered? I thought so. When I entered the sex industry at the

  young age of eighteen because of poverty. I had little life

experience, was high school dropout, and was forced out on my

own a year earlier. Initially, I did feel empowered, beautiful,

wanted, desired. I thought that I had taken control of my own life.

But I was naive and did not understand all the complexities of the

situation.

  

I wondered, “Who will accept me after committing such shameful

acts? How can I live with myself?” The empowerment I felt had

vanished; the judgments I felt from others and myself was harsh. I

was emotionally, psychologically, and spiritually wounded. I

wondered if God would ever accept me again. After five years I

left the business, and tried to start over. I attempted to block

memories of my days in the sex industry and pretend it never

happened. As much as I have tried to ignore it, the sex industry is

a part of my past, a very damaging part of my life. I haven’t

healed and I’m not sure I ever will. Now as I read about claims

that sex work is empowering, an opportunity for women to take

control of their lives, I can only assume they come from persons

who have never been in the business. My experience certainly tells

me otherwise.

  

So while I support sex workers and certainly empathize with their

lived situation, I also think there is no empowerment in sex work. I

don’t deny women’s agency, but I cannot deny the scars I carry;

my continued shame and lack of self worth have left me spiritually

lost. I post anonymously because I am unsure I will ever be able to

acknowledge my experience publicly. My fear of rejection and total loss of self is too great. Sumber : Feminism and Religion, 12 November 2012 Artikel tersebut menceritakan mengenai kehidupan seorang wanita bernama Mawar (bukan nama sebenarnya) sebelum dan sesudah keluar dari prostitusi. Ada beberapa faktor yang menyebabkan Mawar memilih bekerja di dunia prostitusi.

  Kemiskinan, tingkat pendidikan, serta lingkungan menjadi hal utama yang mendorong dirinya bekerja dalam dunia tersebut. Kebahagiaan dan perasaaan diberdayakan adalah hal yang pertama sekali dirasakan Mawar ketika menjadi seorang PSK. Kekayaan dapat diperoleh dalam waktu yang singkat. Selain itu, Mawar merasa memiliki kontrol penuh akan hidupnya, sehingga dia dapat menentukan apa yang akan dilakukan tanpa ada kontrol atau arahan orang lain.

  Perasaan dan pemikiran seperti itu membuat Mawar tidak menyadari betapa berbahaya situasi yang dihadapinya pada saat itu (Feminism and Religion, 2012).

  Ketika Mawar berhasil keluar dari prostitusi, hal pertama yang dirasakan adalah perasaan terluka secara emosional, psikologis, dan spiritual. Banyak pertanyaan yang muncul dalam dirinya, seperti adakah orang yang mau menerima dirinya ketika dia ingin kembali ke dalam masyarakat, bisakah dia hidup setelah semua yang dilakukannya, atau mungkinkah Tuhan akan memaafkan dirinya setelah semua itu. Kecemasan dan perasaan tidak berharga menjadi hal yang paling menonjol dalam kehidupannya. Hal tersebut membuat Mawar berusaha melupakan masa lalunya. Bagi wanita yang pernah bekerja sebagai seorang PSK, masa lalu akan terus menghantui orang tersebut sepanjang masa kehidupannya. Hal inilah yang diungkapkan oleh Mawar, bahwa masa lalu akan terus ada dan tidak bisa dihilangkan. (Feminism and Religion, 2011)

  Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat bahwa biasanya mantan PSK memiliki perasaan pesimis dan kecemasan dalam menghadapi masa depan. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Sihombing (2011) mengenai kecemasan pada wanita PSK. Pada penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa seorang wanita yang pernah bekerja atau masih bekerja sebagai PSK akan memiliki kecemasan yang tinggi dalam berinteraksi dengan lingkungan, baik itu lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat. Hal tersebut kemudian akan mempengaruhi keputusan mereka untuk memepertahankan pekerjaan sebagai PSK atau memutuskan berhenti sebagi seorang PSK.

  Ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang tetap mempertahankan pekerjaan sebagai PSK. Faktor ekonomi dan perasaan nyaman menjadi faktor dominan yang membuat PSK tetap bertahan dalam prostitusi (Koentjoro, 2004). Dunia prostitusi tersebut sangat menjanjikan uang atau penghasilan yang sangat besar. Bagi seseorang yang sudah terbiasa memiliki penghasilan yang besar tentu akan susah menerima perubahan menjadi penghasilan yang lebih sedikit. Ketika suatu aktivitas memberikan positive reinforcement pada seseorang, maka orang tersebut biasanya cenderung mempertahankan prilaku tersebut dan akan susah merubahnya (Skinner dalam Schultz, 1993). Hal ini sesuai dengan pernyataan Wanda (55) tahun dalam sebuah proses wawancara, yaitu :

  “Pas bibik kerja kemaren, bibik sama sekali ga niat berhenti. Orang gimanalah, uang aman, makan aman, semuanya aman. Enak kali di dalam itu kemaren, macam ga da pikiran bibik yang susah. Terus, sekali dapat uang banyak kali, ya lanjut terus lah bibik dulu tu.”

  (Komunikasi Personal, 25 Maret 2014) Di lain sisi, berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Batubara (2007) dikatakan bahwa salah satu alasan mengapa para PSK susah meninggalkan dunia prostitusi adalah kekhawatiran dan perasaan takut terhadap perlakuan masyarakat. Hal ini biasa dihubungkan dengan pandangan negatif yang diberikan oleh masyarakat kepada orang yang bekerja di bidang tersebut. Batubara (2007) menjelaskan bahwa kecemasan dan kekhawatiran menjadi faktor dominan yang membuat seorang PSK tetap mempertahankan profesinya. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Sherly (17) dalam sebuah proses wawancara, yaitu :

  “Mau gimanalah bang, ngeri kuarasa berhenti bang. Kurasa orang kan sudah tau bang kerja ku ini, takut aku bang. Tobat pun nanti aku diusir juganya, pasti ga ada nya orang nanti mau nerima aku bang. Daripada kayak gitu nanti, mending lah kayak gini dulu. Orang sama-sama aja kok.”

  (Komunikasi Personal, 29 Maret 2014) Selain faktor tersebut, ada juga beberapa faktor yang mendukung seorang PSK keluar dari prostitusi. Dalam studi yang dilakukan oleh Isni Prihatini (2010) yang meneliti mengenai hubungan antara self-esteem dan religiusitas dengan intensi berhenti menjadi PSK, ditemukan hasil bahwa ada pengaruh positif antara self-

  

esteem dan religiusitas dengan intensi berhenti. Hal ini sesuai dengan pernyataan

  yang diungkapkan oleh Sulis (35) dalam sebuah proses wawancara, yaitu : “…aku waktu kayak gitu sempat merasa berdosa kali. Semakin lama aku kerja kok semakin ga tenang hidupku. Masih maunya Tuhan maafin aku. Terus jumpa lah aku sama pertua, di nasihatinya aku. Lama-lama masih percaya kalo aku diterima sama Tuhan. Jadi sikit-sikit bisa aku keluar. Sekarang liatlah, dah ikut pelayanan pun aku. Bertobat aku udah..”

  (Komunikasi Personal, 13 Desember 2013) Selain itu, faktor keluarga seperti anak juga mempengaruhi pemikiran seseorang untuk bertahan di dalam masyarakat. Hal ini diungkapkan oleh Lina (30) dalam sebuah proses wawancara, yang menyatakan bahwa dia keluar dari prostitusi disebabkan oleh anak-anaknya. Berikut adalah pernyataan yang diungkapkan oleh Lina :

  “Kalo direndahkan kan dipandang hina, apalagi nanti orang ngomong ke anak kita, hei sianu mamak mu kok kerja nya gitu… apa ga malu kau…kau dah besar masa mamak mu kerjanya kayak gitu. Janganlah sampai orang ngomong gitu sama anak kita, kita kan juga menjaga perasaan anak kita. Jangan nanti anak kita juga terjerumus kayak orang tuanya”

  (Komunikasi Personal, 14 November 2013) Pernyataan Lina tersebut telah menjelaskan bahwa dia lebih takut jika anaknya dihina daripada dirinya sendiri. Ketakutan terhadap masa depan anak akan mengikuti jalan yang sama dengan dirinya membuat dia keluar dari dunia prostitusi. Ketika motivasi untuk berhenti sebagai PSK lebih besar daripada faktor yang menghambat dia berhenti, maka pada saat itulah dia akan keluar dari prostitusi dan memutuskan kembali ke dalam masyarakat. Ketika dia sudah keluar dan tidak kembali lagi ke dalam prostitusi, maka wanita tersebut akan disebut sebagai mantan PSK atau Ex Psk.

  Keluar dari prostitusi bukan berarti membuat seorang mantan PSK memperoleh kehidupan yang lebih baik. Ketika seorang sudah benar-benar berhenti sebagai seorang PSK, akan terjadi perubahan yang besar di dalam hidupnya. Perubahan-perubahan tersebut merupakan suatu kondisi ketika seseorang memasuki sebuah situasi atau lingkungan yang baru (Weiten & Lloyd, 2006). Perubahan-perubahan tersebut meliputi perubahan dalam aspek ekonomi, pekerjaan, serta peran dan prilaku di dalam lingkungan.

  Perubahan yang terjadi pada mantan PSK biasanya akan menimbulkan permasalahan atau konflik tertentu bagi mereka dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Konflik atau permasalahan tersebut secara umum dibagi menjadi dua, yaitu konflik internal dan konflik eksternal eksternal (Koentjoro, 1996). Konflik internal meliputi kecemasan, ketakutan, serta persepsi yang salah terhadap lingkungan, sedangkan konflik eksternal meliputi tekanan dari lingkungan. Suatu konflik akan terus membesar ketika seseorang tidak mampu mengatasinya dan kemudian akan memberikan efek negatif dalam kehidupan sehari-hari (Riggio & Parter, 1990). Salah satu permasalahan yang akan dihadapi oleh seorang mantan PSK adalah penolakan yang diberikan oleh masyarakat. Masyarakat cenderung memiliki pandangan yang negatif terhadap prostitusi tanpa peduli apakah seseorang sudah keluar atau belum dari dunia tersebut (Sihombing, 2011). Selain itu, seseorang yang pernah dianggap memiliki pekerjaan yang buruk akan dianggap sebagai sampah masyarakat, biang penyakit, baik penyakit kelamin maupun penyakit sosial (Rosenberg, 2008). Hal-hal seperti ini membuat seorang mantan PSK akan mengalami kesulitan dalam menjalani kehidupan sehari-hari, baik itu dalam menjalin hubungan sosial maupun mencari pekerjaan. Berikut adalah beberapa pendapat masyarakat mengenai profesi PSK :

  “Orang yang jadi PSK itu bodoh kali, kenapa harus jadi PSK sementara banyak cara untuk dapat uang, jadi pembantu misalnya.”

  (Komunikasi Personal, 11 November 2013) “PSK itu macam sampah di masyarakat, perilaku nya semua ga ada yang benar. Apa yang dibuat mereka pasti ga benar. Memang lah, ntah macam apa nya mereka.”

  (Komunikasi Personal, 11 November 2013) “Mereka itu macam penyakit di dalam masyarakat, harus lah dihapuskan mereka tu.”

  (Komunikasi Personal, 12 November 2013) Pandangan masyarakat yang cenderung negatif terhadap mantan PSK menimbulkan ketakutan pada mantan PSK itu sendiri, sehingga mereka akan cenderung memandang masyarakat sebagai sumber permasalahan dalam kehidupan mereka. Seperti contoh, penolakan dari masyarakat membuat mereka susah mencari teman dan mendapatkan pekerjaan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Hal ini sesuai dengan pernyataan Yanti (35) dalam sebuah proses wawancara, yaitu :

  “Ga tau lah aku ting, sudah berhenti aja pun masi digituin aku, apalagi waktu aku masih kerja. Masao rang-orang ga mau nerima aku. Ujung- ujungnya ga ada kawan ku lagi ting. Dapat kerja pun susah. Pernah dulu kakak kerja jadi tukang cuci di rumah orang, tapi cuma seminggu. Di usir kakak dari situ, karena dituduh kakak mau nyuri suami orang. Terus siap jalan kaka di gang itu ting, kakak selalu dituduh yang gak gak. Macam ga adalah kawan kakak lagi semenjak berhenti ini.”

  (Komunikasi Personal, 15 November 2013) Permasalahan lain yang biasanya dihadapi oleh mantan PSK adalah permasalahan ekonomi. Perubahan ekonomi adalah hal yang paling tampak dari seorang mantan PSK, karena sesudah berhenti mereka akan mengalami kesulitan mencari pekerjaan dan sumber penghasilan yang baru. Hal ini di dukung oleh pernyataan Lina (30) dalam sebuah proses wawancara. Adapun pernyataan Lina tersebut adalah : “Gimana lah, banyak kali bibik rasa masalah siap bibik berhenti. Coba lah, dulu banyak kali dapat uang, sekarang susah kali cari uang. Untuk uang makan aja pun kadang gak dapat. Kalo dulu 300 sampai 400 ribu masih gampang dapt, sekarang 10 ribu aja ga dapat-dapat. Kayakmana lah, susah cari kerja sekarang, apalagi bibik kayak gini.”

  (Komunikasi Personal, 11 November 2013) Seluruh permasalahan yang dihadapi oleh mantan PSK pada dasarnya akan menimbulkan stress bagi mereka. Perubahan, tekanan, dan tuntutan lingkungan yang tidak sesuai dengan keadaan seorang individu tersebut membuat dirinya merasa tidak aman dan cemas (Sarafino, 2011). Hal-hal demikian sering membuat seseorang sedikit demi sedikit membentuk persepsi yang salah akan lingkungan sekitarnya (Weiten & Lloyd, 2006).

  Bagi mantan PSK sendiri yang telah mengalami stress akibat tuntutan lingkungan yang terlalu besar, akan membuat dirinya membentuk persepsi yang negatif terhadap lingkungan tempat dia tinggal. Kondisi tersebut berkontribusi terhadap perasaan pesimis dan cemas bagi seorang mantan PSK dalam berinteraksi dengan masyarakat umum, sehingga mereka sering merasa tidak nyaman dalam menjalani kehidupan mereka. Hal tersebut didukung oleh pendapat Lina (31) seorang mantan PSK dalam sebuah proses wawancara. Adapun hasil dari wawancara tersebut adalah :

  “Waktu bibik sudah berhenti jadi PSK, stress ya stress. Jalan diluar rumah saja cemas. Mau gimanalah, namanya pernah kerja gituan. Nanti waktu dengar orang cerita, kadang bibik ngerasa bibik yang diceritain, padahal bukan bibik nya. Jadi bibik sering ngerasa digosipin sama orang. Awalnya bibik ngerasa ga nyaman.” (Komunikasi Personal, 11 Oktober 2013)

  Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa stress yang dirasakan memberikan pengaruh negatif bagi kehidupan seseorang dalam menjalani kehidupan sehari- hari. Stress akan mempengaruhi proses kognitif, emosi, serta prilaku seseorang (Sarafino, 2011).

  Stress yang dirasakan oleh mantan PSK akan mempengaruhi keputusan yang mereka ambil. Keputusan tersebut pada akhirnya menentukan apakah seorang mantan PSK tersebut mampu bertahan atau kembali ke prostitusi. Ketika seseorang memutuskan untuk bertahan, maka dia memutuskan untuk menghadapi stress tersebut, dan sebaliknya ketika dia merasa tidak sanggup maka dia akan memutuskan lari dari sumber stress tersebut (Cannon dalam Sarafino, 2011). Hal inilah yang banyak terjadi pada mantan PSK. Mantan PSK memiliki permasalahan yang jauh lebih besar dari kebanyakan orang pada umumnya. Banyak mantan PSK yang kembali ke prostitusi disebabkan oleh besarnya masalah yang dihadapi. Ketika ia merasa tidak sanggup mengatasi permasalahan yang ia hadapi, maka ia cenderung akan memutuskan kembali ke dalam prostitusi. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Sherly (17) dalam sebuah proses wawancara :

  “Sempatnya berhenti bang, cuma kayakmana. Susah kali jadinya, uang pun payah bang, terus kena marah terus sama mamak, banyak kali lah masalah ini bang. Kadang lebih tenang kalo tetap kerja bang, kayak gak ada beban. Jadi kerja aja aku terus.”

  (Komunikasi Personal, 29 Maret 2014) Di lain sisi, ternyata ada juga dari mantan PSK yang berhasil kembali ke dalam masyakat. Ketika seorang mantan PSK memutuskan untuk menghadapi permasalahnnya, makan besar kemungkinam mereka akan diterima kembali di dalam masyarakat. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Wanda (55), yaitu :

  “Kalo banyak ya banyak masalah ini, cuma salah siapa coba, kita lah. Terus kok takut, ga berani... bodoh kali lah balik lagi. Keluar aja gini susah, terus mau balik? Bibik ya, kalo bibik lawan semua lah. Berhasil nya itu. Liat lah bibik sekarang, sudah banyak kawan kan, kayak ornag biasa nya bibik sekarang. Makanya ya hadapi aja lah, orang kita nya itu.”

  (Komunikasi Personal, 25 Maret 2014) Untuk mantan PSK yang memutuskan bertahan, mereka untuk melakukan sesuatu dalam upaya mengatasi sumber stress tersebut. Banyak usaha yang dilakukan oleh seorang dalam mengatasi stress, baik itu yang bersifat konstruktif maupun destruktif (Weiten & Lloyd, 2006). Usaha bersifat konstruktif dapat berupa mencari pekerjaan baru, mencari kegiatan yang dapt mengalihkan stress, membentuk pola pikir positif, dan lainnya. Sedangkan upaya yang bersifat destruktif dapat berupa lari dari permasalahan, mengurung diri, serta segala bentuk defense mechanism (Lazarus & Folkman, 1984 ; Weiten & Lloyd, 2006).

  Bagi mantan PSK sendiri, upaya yang dilakukan sangat ditentukan oleh cara pandang mereka terhadap lingkungan. Ketika mereka memandang positif lingkungan tempat mereka tinggal, mereka akan cenderung menggunakan cara- cara positif dalam mengatasi stress mereka, dan sebaliknya jika mereka memandang negatif lingkungan, maka cara yang digunakan akan bersifat negatif juga. Hal ini di dukung oleh pernyataan Wanda (55) dan Linda (33) dalam proses wawancara, yaitu :

  “Memang kenapa sama lingkungan kita, ga ada apa-apa. Kalo pun kita diejek yaw ajar karena memang pernah gitu. Tapi ambil positif nya ajalah. Ga semuanya kan ngejek kita, ada juga nya yang bela kita. Pikir positif aja. Kalo baik-baik nya kita buat, lama-lama diterimanya. Kayak bibik lah, stress nya awalnya, tapi bibik coba ngilangin stress itu kyak ngumpul- ngumpul sama kawan. Awalnya payah karena mereka ga mau memang, Cuma lama-lama diterima juganya aku kan. Itulah pikir positif aja semua. Ga masalah itu.”

  (Komunikasi Personal, 25 Maret 2014) “Bibik takut jugalah, kayakmana nanti kalo bibik dihina-hina, terus diusir pula. Mampus lah bibik. Bibik ngerasa ga enak, tetangga-tetangga semua kayaknya jijik sama bibik. Makin stress lah kalo berhubungan sama mereka. Mending bibik di rumah aja, lebih tenang bibik. Ga bekawan pun gapapa lah, yang penting bibik nyaman.

  (Komunikasi Personal, 11 Oktober 2013) Pernyataan tersebut membuktikan bahwa cara pandang terhadap lingkungan akan mempengaruhi cara yang dilakukan seseorang dalam mengatasi stress. Selain itu, dalam sebuah studi kualitatif yang dilakukan oleh Utami (2010) dalam penelitian yang berjudul “Managemen Konflik Pada PSK Yang Berkeluarga”, diperoleh hasil bahwa managemen konflik yang baik akan membuat seseorang mampu bertahan dalam suatu kondisi tertentu. Managemen konflik merupakan salah satu upaya untuk mengatasi stress, terlepas dari hal tersebut bersifat positif atau negatif. Semua upaya yang dilakukan untuk mengatasi stress disebut sebagai

  

Coping Stress (Weiten & Lloyd, 2006 ; Lazarus, 1999 ; Lazarus & Folkman ,

1984).

  Selain coping stress, upaya lain yang dapat dilakukan oleh seseorang dalam menghadapi masalah adalah dengan cara membangun hubungan dengan orang lain. Hal tersebut bertujuan untuk mencari dukungan sosial yang dapat membantu orang lain dalam menghadapi permasalahan yang dihadapi. Hal tersebut meliputi pencarian teman, berinteraksi dengan tetangga, bahkan menjalin hubungan romantis (Weiten & Lloyd, 2006). Bagi mantan PSK sendiri, hal tersebut menjadi proses yang penting karena dapat mendukung mereka masuk kembali ke dalam masyarakat. Hal tersebut dirasakan oleh Wanda (55) yang diungkapakan dalam sebuah pernyataan, yaitu :

  “Bagi mereka yang pernah kerja jadi PSK terus sudah berhenti, mereka ga akan bisa kembali ke masyarakat kalo gak mau membangun hubungan sama orang lain. Memang awalnya susah, tapi di situ lah usaha. Kita-kita ini orang jahat, ga mungkin kita bisa langsung diterima. Tapi, waktu kita sudah bisa bergaul sama orang, misalnya tetangga, tanpa kita sadari kita sudah diterima dan kemabli ke dalam masyarakat. Itulah yang bibik rasakan.”

  (Komunikasi Personal, 21 Maret 2014) Selain hal tersebut, dalam penelitian berjudul “Pengungkapan Diri Dalam

  

Proses Coming Together Pada Mantan PSK Yang Menikah” yang dilakukan oleh

  Agustina (2010), ditemukan bahwa upaya yang dapat dilakukan untuk membangun hubungan dengan orang lain adalah dengan pengungkapan diri.

  Ketika seseorang PSK berani mengungkapkan dirinya di dalam masyarakat, maka ada kemungkinan ia akan diterima oleh masyarakat. Hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan Sulis (35) melalui sebuah pernyataan, yaitu :

  “…Kalau kita ga berani bilang siapa kita sebenarnya, gimana orang tau kita kayak mana. Kayak aku lah, ku bilang sama orang, aku dulu memang pernah jadi PSK, tetapi aku bertobat. Aku sudah kembali ke jalan Tuhan. Nah, hasilnya apa, mereka lebih nerima sama lebih percaya dibandingkan yang lain.”

  (Komunikasi Personal, 13 Desember 2013) Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dilihat bahwa bagi seorang mantan PSK yang terbuka terhadap lingkungan dan berani menyatakan dirinya akan lebih diterima dibandingkan yang tidak. Semua hal tersebut, keseluruhan upaya dan proses yang dilakukan oleh seseorang dalam membangun hubungan dengan orang lain disebut dengan interpersonal realm.

  Seluruh bentuk penyesuaian diri yang dilakukan seseorang, dimulai dari munculnya perubahan kehidupan, stress dan coping stress, serta interpersonal

  

realm dinamakan sebagai proses personal adjustment (Weiten & Lloyd, 2006).

  Pada mantan PSK proses penyesuaian diri memiliki tantangan yang lebih kompleks dibandingkan dengan masyarakat umum. Hal ini terjadi karena mantan PSK mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang mengakibatkan mereka mengalami penolakan dari masyarakat itu sendiri (Rosenberg, 2008). Tantangan yang dihadapi oleh mantan PSK akan sangat mempengaruhi keputusan yang mereka ambil. Ketika mereka memutuskan untuk menghadapi hal tersebut, maka besar kemungkinan mereka akan kembali diterima di dalam masyarakat. Sebaliknya, ketika mereka memutuskan untuk lari, besar kemungkinan mereka akan kembali ke dalam prostitusi. Kedua hal tersebut sangat dipengaruhi oleh proses personal adjustment yang dijalani, baik itu positif ataupun negatif. Untuk

  

personal adjustment yang positif mengarah pada penggunaan coping yang positif,

  membangun hubungan dengan orang lain, dan menerima diri sendiri serta perubahan yang ada. Sebaliknya, untuk personal adjustment negatif mengarah pada menarik diri dari lingkungan, penggunaan coping negatif, serta tidak mampu melupakan masa lalu.

  Berdasarkan pemaparan diatas, dapat dilihat bahwa proses penyesuaian diri pada mantan PSK memiliki tantangan yang lebih besar dibandingkan dengan masyarakat secara umum. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melihat dinamika personal adjustment pada mantan PSK untuk kembali ke dalam masyarakat.

  B. Rumusan Masalah

  Adapun pertanyaan penelitian yang diajukan oleh peneliti adalah : Bagaimana dinamika personal adjustment yang dijalani mantan PSK untuk kembali ke dalam masyarakat?

  C. Tujuan Penelitian

  Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana dinamika proses personal adjustment yang dijalani mantan PSK untuk kembali ke dalam masyarakat.

  D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Praktis

  Adapun manfaat praktis dari penelitian ini adalah: a. Memberikan informasi mengenai proses personal adjustment yang dilakukan mantan PSK kepada masyarakat umum. Diharapkan dengan melihat usaha yang dilakukan, masyarakat dapat mengubah pandangannya terhadap mantan PSK. b.

  Memberikan informasi mengenai proses personal adjustment mantan PSK kepada pihak-pihak lain seperti LSM, panti sosial, dan pihak yang ingin memberikan bantuan.

  c.

  Memberikan informasi tentang proses personal adjustment yang dapat dilakukan mantan PSK agar dapat masuk kembali ke dalam masyarakat.

2. Manfaat Teoritis

  Adapun manfaat teoritis penelitian ini adalah mendapatkan teori baru mengenai

  

personal adjustment yang berguna untuk mengembangkan teori yang sudah ada

  sebelumnya

E. Sistematika Penulisan

  Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.

  Bab I Latar Belakang Pada bab ini berisi penjelasan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan

  2. Bab II Landasan Teori Pada bab ini berisi teori mengenai personal adjustment dan mantan PSK.

  3. Bab III Metode Penelitian Pada bab ini berisi penjelasan mengenai metode penelitian yang berisi tentang pendekatan kualitatif, responden penelitian, teknik pengambilan responden, teknik pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data serta prosedur penelitian.

4. Bab IV Analisa dan Pembahasan

  Pada bab ini berisi deskripsi data responden, analisa dan pembahasan data yang diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan dan pembahasan data data penelitian sesuai dengan teori yang relevan 5.

Bab V Kesimpulan, Saran, dan Diskusi Pada bab ini berisi kesimpulan, diskusi dan saran mengenai dinamika personal

  adjustment pada mantan PSK