Dinamika Faktor-Faktor Resiliensi Pada Mantan Pecandu Narkoba

(1)

1 SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan

Ujian Sarjana Psikologi

RANI PUTRI SARI PURBA

071301052

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA GENAP, 2011/2012


(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul:

Dinamika Faktor-faktor Resiliensi pada Mantan Pecandu Narkoba

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, 2011

RANI PUTRI SARI PURBA NIM 071301052


(3)

Dinamika Faktor-faktor Resiliensi pada Mantan Pecandu Narkoba Rani Putri Sari Purba dan Juliana I. Saragih

ABSTRAK

Dalam dekade terakhir ini, penyalahgunaan narkoba di Indonesia telah menjadi ancaman nasional yang perlu diperhatikan secara seksama dan multidimensional (Mabes Polri, dalam Badan Narkotika Nasional, 2009). Sasangka (2003) menyatakan penggunaan narkoba menimbulkan efek ketergantungan baik ketergantungan fisik maupun psikologis. Pengguna narkoba harus berjuang keras untuk bisa tetap bertahan tidak menggunakan narkoba di tengah-tengah banyaknya godaan yang memicu mereka relapse. Kemampuan seseorang untuk tetap berdiri teguh ditengah-tengah banyaknya kesulitan yang dihadapinya ini disebut dengan resiliensi. Penelitian ini bertujuan untuk melihat dinamikan faktor-faktor resiliensi pada manntan pecandu narkoba. Menurut Reivich dan Shatte (2002) resiliensi terdiri dari tujuh faktor yakni, regulasi emosi, pengendalian impuls, optimisme, empati, causal analysis, efikasi diri, dan

reaching out.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif agar dapat memahami pengalaman subjektif yang dirasakan responden. Responden dalam penelitian ini adalah dua orang mantan pecandu narkoba yang sudah berhenti menggunakan narkoba lebih dari 2 tahun, sudah memiliki pekerjaan (sumber penghasilan), berusia antara 25-50 tahun. Teknik pengambilan sampel adalah dengan menggunakan teknik berdasarkan teori/konstruk operasional

(theory-based/operational construct sampling). Metode pengumpulan data dilakukan

dalam penelitian adalah wawancara mendalam (in depth interviewing) dan observasi saat wawancara berlangsung.

Hasil Penelitian menunjukkan bahwa ketujuh faktor resiliensi yang ada dalam diri Responden I dan II membantu mereka dalam proses pemulihan. Pada responden I ketujuh faktor resiliensi tersebut berkembang ketika ia mengikuti pelatihan dan pendidikan dasar di PMI selama satu tahun. Sementara itu, pada Responden II ketujuh faktor resiliensi tersebut berkembang pada saat ia masuk ke rehabilitasi untuk kedua kalinya dan mengikuti berbagai training dari rehablitasi tersebut.

Saran bagi pecandu narkoba agar mengembangkan faktor-faktor resiliensi dalam diri mereka untuk membantu pada saat dalam proses pemulihan. Bagi tempat rehabilitasi, dinas kesehatan, atau lembaga-lembaga lain yang terkait dibidang pemulihan pecandu narkoba, diharapkan dapat melatih atau mengembangkan faktor-faktor resiliensi dalam diri seorang pecandu narkoba untuk membantu pada saat proses pemulihan dan membekali mereka untuk tetap bertahan tidak menggunakan narkoba.


(4)

KATA PENGANTAR

“ ...Hanya pada Allah saja kiranya aku tenang, sebab dari pada-Nyalah harapanku

Pada Allah ada keselamatanku dan kemuliaanku; Gunung batu kekuatanku,

Tempat perlindunganku ialah ALLAH....” (Mazmur 62: 6,8)

Segala puji dan syukur saya ucapkan kepada Allah Bapa di dalam nama Tuhan Yesus Kristus, karena atas anugerah keselamatan, kasih dan penyertaanNyalah saya dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Dinamika Faktor-Faktor Resiliensi Pada Mantan Pecandu Narkoba”. Sungguh karena Tuhan yang memampukan saya, sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Saya menyadari bahwa selama pengerjaan skripsi ini, saya mendapatkan banyak dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, saya ingin mengucapkan terimakasih yang kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung saya dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, M. Si, psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Juliana I. saragih, M. PSi, psikolog selaku dosen pembimbing skripsi saya. Terima kasih banyak atas waktu, kesabaran, pemikiran dalam memberikan saran, petunjuk dan bimbingan dalam proses pengerjaan skripsi ini

3. Bapak dan Ibu Dosen yang telah mendidik Penulis selama Kuliah di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ke jenjang program Sarjana.


(5)

4. Terkhusus kepada Bapak/ Ibu selaku kedua orang tua, yang telah bersusah payah untuk memberikan pendidikan terbaik, semangat dan doa restu serta dorongan moril dan materi sehingga Penulis dapat menyelesaikan penelitian ini.

5. Para responden yang telah meluangkan waktu dan bersedia berbagi cerita dan pengalaman dengan peneliti. Kedua responden sangat terbuka kepada saya sehingga sangat membantu saya dalam penelitian ini. Terima kasih buat pesan dari pengalaman hidup yang diberikan kepada peneliti.

6. Sahabat-sahabat Labsos (Esna, Tanty, Inge, Aurora, Fifi, Mufida, Martua) Teman-teman seperjuangan yang skripsi (Fifi, Christy, Debby, Kak Rini, Kak Putri, Erni, Kak Cindy, Dewi, Nela), mudah-mudahan kita semua lulus dengan nilai yang memuaskan.

7. Teman-teman satu kos saya (Agustini, Kak Lusi, Margaret, Lia). Terima kasih buat dukungan kalian selama ini.

8. Teman-teman satu timku di UKM KMK USU (Bang Candra,Trya, Sandi, Margaret, dan Meylona). Terimakasih buat dukungan dan doa kalian. 9. Rekan-rekan Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara,

khususnya buat teman-teman seperjuangan stambuk 2007 yang selalu memberikan semangat dan senyum terindah baik di saat suka maupun duka

10.Semua pihak yang telah mendukung penelitian ini, yang tidak mungkin saya sebutkan satu per satu. Semoga Tuhan memberkati saudara.


(6)

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dalam skripsi ini, oleh karena itu penulis mengharapkan masukan dan saran yang membangun dari semua pihak untuk menyempurnakan penelitian ini.

Medan, Juni 2011

Penulis Rani Putri Sari Purba


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian... 11

E. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II LANDASAN TEORI A. Resiliensi ... 14

1.Definisi Resiliensi ... 14

2. Faktor-faktor Pembentuk Resiliensi ... 15

3. Fungsi Fundamental Resiliensi ... 23

B. Narkoba ... 25

1.Definisi Narkoba ... 25

2. Jenis-jenis Narkoba ... 25

3. Ketergantungan Narkoba... ... 33

a. Definisi Ketergantungan Narkoba ... 33

b. Dampak Ketergantungan Narkoba... 34

c. Mantan Pecandu Narkoba... 38

C. Dinamika Resiliensi pada Mantan Pecandu Narkoba... 39


(8)

BAB III METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Kualitatif ... 43

B. Metode Pengambilan Data ... 44

C. Responden Penelitian... 46

1. Karakteristik Responden... 46

2. Jumlah Responden... 46

3. Prosedur Pengambilan Responden... 47

4. Lokasi penelitian... 48

D. Alat Bantu Pengumpulan Data... 48

E. Prosedur Penelitian ... 49

1. Tahap Persiapan Penelitian ... 49

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian... ... 50

3. Tahap Pencatatan Data... 52

F. Kredibilitas Penelitian... 53

G. Teknik dan Prosedur Pengolahan Data... 55

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN A. Analisa Data ... 59

1. Responden...,,,,... 59

a. Hasil observasi ... 59

b. Rangkuman hasil wawancara ... 65

c. Latar Belakang Menggunakan Narkoba... 70

d. Riwayat Usaha untuk Berhenti Menggunakan Narkoba... 72

e.Gambaran Faktor-faktor Resiliensi... 79

2. Responden II ... 107

a. Hasil observasi ... 107

b. Rangkuman hasil wawancara ... 113

c. Latar Belakang Menggunakan Narkoba... 115

d. Riwayat Usaha untuk Berhenti Menggunakan Narkoba... 118

e. Gambaran Faktor-faktor Resiliensi... 123

B. Pembahasan ... 143


(9)

a. Responden I ... ...143

b. Responden II ... 145

2. Kontrol Impuls...147

a. Responden I ... ... .. 147

b. Responden II ... 150

3. Optimisme...152

a. Responden I ... 152

b. Responden II ... 154

4. Causal Analysis... ...156

a. Responden I ... 156

b. Responden II ... 158

5. Empati... 159

a. Responden I ... ... 159

b. Responden II ... 160

6. Self-Efficacy... 161

a. Responden I ... 161

b. Responden II ... 163

7. Reaching Out... 164

a. Responden I ... 164

b. Responden II ... 165

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 173

1. Responden I ... 174

2. Responden II ... 174

C. Saran ... 175

1. Saran praktis ... 175

2. Saran penelitian lanjutan ... 176


(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Jadwal pelaksanaan wawancara ... 52

Tabel 2 Gambaran umum sosiodemografis responden ... 58

Tabel 3 Gambaran latar belakang menggunakan narkoba, riwayat usaha

untuk berhenti, dan faktor-faktor resiliensi pada Responden I... 104

Tabel 4 Gambaran latar belakang menggunakan narkoba, riwayat usaha


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Pedoman Wawancara

Lampiran 2 Lembar Observasi


(12)

Dinamika Faktor-faktor Resiliensi pada Mantan Pecandu Narkoba Rani Putri Sari Purba dan Juliana I. Saragih

ABSTRAK

Dalam dekade terakhir ini, penyalahgunaan narkoba di Indonesia telah menjadi ancaman nasional yang perlu diperhatikan secara seksama dan multidimensional (Mabes Polri, dalam Badan Narkotika Nasional, 2009). Sasangka (2003) menyatakan penggunaan narkoba menimbulkan efek ketergantungan baik ketergantungan fisik maupun psikologis. Pengguna narkoba harus berjuang keras untuk bisa tetap bertahan tidak menggunakan narkoba di tengah-tengah banyaknya godaan yang memicu mereka relapse. Kemampuan seseorang untuk tetap berdiri teguh ditengah-tengah banyaknya kesulitan yang dihadapinya ini disebut dengan resiliensi. Penelitian ini bertujuan untuk melihat dinamikan faktor-faktor resiliensi pada manntan pecandu narkoba. Menurut Reivich dan Shatte (2002) resiliensi terdiri dari tujuh faktor yakni, regulasi emosi, pengendalian impuls, optimisme, empati, causal analysis, efikasi diri, dan

reaching out.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif agar dapat memahami pengalaman subjektif yang dirasakan responden. Responden dalam penelitian ini adalah dua orang mantan pecandu narkoba yang sudah berhenti menggunakan narkoba lebih dari 2 tahun, sudah memiliki pekerjaan (sumber penghasilan), berusia antara 25-50 tahun. Teknik pengambilan sampel adalah dengan menggunakan teknik berdasarkan teori/konstruk operasional

(theory-based/operational construct sampling). Metode pengumpulan data dilakukan

dalam penelitian adalah wawancara mendalam (in depth interviewing) dan observasi saat wawancara berlangsung.

Hasil Penelitian menunjukkan bahwa ketujuh faktor resiliensi yang ada dalam diri Responden I dan II membantu mereka dalam proses pemulihan. Pada responden I ketujuh faktor resiliensi tersebut berkembang ketika ia mengikuti pelatihan dan pendidikan dasar di PMI selama satu tahun. Sementara itu, pada Responden II ketujuh faktor resiliensi tersebut berkembang pada saat ia masuk ke rehabilitasi untuk kedua kalinya dan mengikuti berbagai training dari rehablitasi tersebut.

Saran bagi pecandu narkoba agar mengembangkan faktor-faktor resiliensi dalam diri mereka untuk membantu pada saat dalam proses pemulihan. Bagi tempat rehabilitasi, dinas kesehatan, atau lembaga-lembaga lain yang terkait dibidang pemulihan pecandu narkoba, diharapkan dapat melatih atau mengembangkan faktor-faktor resiliensi dalam diri seorang pecandu narkoba untuk membantu pada saat proses pemulihan dan membekali mereka untuk tetap bertahan tidak menggunakan narkoba.


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam dekade terakhir ini, penyalahgunaan narkoba di Indonesia telah menjadi ancaman nasional yang perlu diperhatikan secara seksama dan multidimensional, baik ditinjau dari segi mikro (keluarga) maupun makro (ketahanan nasional). Hal ini semakin mengkhawatirkan dengan dampak buruk ekonomi dan sosial yang besar. Permasalahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba di Indonesia menunjukkan adanya kecenderungan yang terus meningkat, peningkatan yang terjadi tidak saja dari jumlah pelaku tetapi juga dari jumlah narkoba yang disita serta jenis narkoba (Mabes Polri, dalam Badan Narkotika Nasional, 2009).

Hasil temuan Badan Narkotika Nasional (BNN) sampai pada tahun 2008, tercatat sebanyak 175.535 orang jumlah tersangka pengguna narkoba di Indonesia, dengan persentase kenaikan jumlah tersangka rata-rata 52,8% tiap tahunnya (Dit IV/Narkoba, 2009). Kepala Direktorat IV Narkoba, Badan Reserse Kriminal Polri Brigadir Jenderal (Pol) Indradi Thanos mengatakan, sejak 2005 Indonesia menjadi pasar sabu tiga besar dunia, selain China dan Amerika Serikat. Perubahan dari negara transit menjadi negara tujuan berlangsung dalam dua tahun (Ariesta, 2010).


(14)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Poerwadarminta, 1982) narkoba adalah akronim dari Narkotika dan Obat Berbahaya. Narkoba mempunyai banyak macam, bentuk, warna dan pengaruh terhadap tubuh. Akan tetapi dari sekian banyak macam, bentuk dan lain-lain tersebut narkoba mempunyai banyak persamaan. Salah satunya adalah sifat ketergantungan terhadap obat tersebut. Sifat ketergantungan tersebut dapat menimbulkan berbagai macam dampak yang merugikan akibat dari adanya pengaruh zat-zat yang terkandung didalam zat narkotik tersebut (Adisti, 2007).

Darmono (2009) menyatakan penggunaan narkoba sangat membahayakan karena dapat mempengaruhi pikiran yang menyebabkan korban tidak sadar apa yang sedang dilakukannya. Karena efeknya yang menyebabkan adiksi maka obat tersebut harus dikonsumsi terus-menerus oleh penderita kecanduan, semakin lama semakin meningkat dosisnya. Apabila hal tersebut tidak segera ditangani akan menyebabkan overdosis yang berakhir dengan kematian si penderita.

Sasangka (2003) menyatakan penggunaan narkoba menimbulkan efek ketergantungan baik ketergantungan fisik maupun psikologis. Ketergantungan fisik terlihat pada saat penghentian penggunaan narkoba. Penghentian penggunaan narkoba ini akan menimbulkan gejala-gejala abstinensi (suatu rangkaian gejala yang hebat karena pemakaian obat dihentikan). Misalnya pada obat-obatan turunan morfin akan mengakibatkan ketakutan, berkeringat, mata berair, gangguan lambung dan usus, sakit perut dan lambung, tidak bisa tidur dan sebagainya. Gejala-gejala abstinensi tersebut hanya dapat diatasi jika


(15)

menggunakan narkoba yang sejenis. Keadaan tersebut bisa menimbulkan kematian. Rasa khawatir yang mendalam akan timbulnya gejala-gejala abstinensi mendorong seseorang menggunakan narkoba lagi. Hal ini dirasakan oleh salah seorang pecandu narkoba P (27 tahun) yang diwawancarai oleh peneliti:

“...Gimana ya mbak...kalo pagi itu kira-kira jam 2 ato jam 3 mau minta

badan ini. Kadang gak ngerti mata ini langsung terbuka sendiri, langsung

kepikiran obat, obat aja di otak ini. Karena kalo gak ada bisa sakaw, kalo dah sakaw menderita kalilah rasanya mbak badan ini keringatan terus

padahal tidur di bawah kipas, gemetaran, bolak-balik ke kamar mandi karena mules perut, gak tenanglah pokoknya, tulang-tulang ini kayak digigit-gigit rasanya. Kalo dah malam kayak gitu mau cari obat kemana? Makanyalah mbak ini aku beli sekarang buat persediaan aja nanti malam...”

(Komunikasi Personal, 5 Oktober 2010) Ketergantungan psikologis terjadi ketika pengguna narkoba ingin menghindari persoalan hidup yang dihadapi dan melepaskan diri dari suatu keadaan atau kesulitan hidup. Kesulitan hidup tersebut dapat berupa tekanan ekonomi, konflik dalam keluarga, masalah pekerjaan, atau masalah-masalah lain yang dapat menimbulkan stres. Keadaan tersebut terus-menerus terjadi atau berulang kembali. Akibatnya pengguna narkoba tergantung dengan narkoba yang dikonsumsinya. Penggunaan yang semula dalam waktu-waktu tertentu, akhirnya menjadi kebiasaan yang tidak bisa dilepaskan (Sasangka, 2003).

Sasangka (2003) menyatakan penggunaan narkoba juga berpengaruh terhadap masayarakat luas, antara lain: meningkatnya kriminalitas atau gangguan kamtibmas, menyebabkan timbulnya kekerasan baik terhadap perorangan maupun perkelompok, timbulnya usaha-usaha yang bersifat ilegal dalam masyarakat,


(16)

banyaknya kecelakaan lalu lintas, menyebarkan penyakit tertentu lewat jarum suntik yang dipakai oleh pecandu (HIV/AIDS, Hepatitis B , Hepatitis C, dll).

Melihat begitu besarnya efek dari penggunaan narkoba bagi individu itu sendiri maupun bagi masyarakat luas, pemerintah dalam Undang-Undang Narkotika pasal 45 mewajibkan pecandu untuk menjalani pengobatan dan perawatan melalui fasilitas rehabilitasiilitasi. Rehabilitasiilitasi dilakukan dengan maksud untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan fisik, mental dan sosial penderita yang bersangkutan (Supramono, 2004).

Salah satu cara untuk memulihkan pecandu narkoba adalah dengan terapi, namun terapi terhadap kasus penyalahgunaan narkoba sering kali tidak membawa hasil. Kadang-kadang justru pasien yang diterapi kembali ke panti rehabilitasiilitasi dalam keadaan lebih parah. Seseorang yang sudah dinyatakan pulih seringkali kambuh karena terpengaruh dari lingkungan (Sasangka, 2003).

Seperti hasil kutipan wawancara dengan salah seorang mantan pecandu narkoba, yaitu H (38 tahun):

“...Kalau berhenti tidak menggunakan setiap orang sebenarnya bisa tetapi mempertahanakan agar tetap bersih itu yang paling sulit. Banyak yang sudah keluar dari rehabilitasi kembali pake lagi karena mereka sugesti,

ketemu dengan teman-temannya sesama pemakai, dan kegiatan yang

kurang. Kalau memang mau benar-benar bersih harus ada banyak kegiatan biar sibuk dan jauhi lingkungan pemakai...”

(Komunikasi personal, 12 September 2010) Thombs (dalam W.Amita, 2001) menyatakan bahwa seorang pecandu narkoba tidak mampu melewati stres dan tekanan atas simptom disfungsi otak


(17)

seperti penurunan daya ingat, penurunan daya konsentrasi serta sugesti (physical

craving) yang dialaminya. Sebagian dari mereka juga sering merasa kesulitan

memaksimalkan perawatan yang mereka jalani dan merasa tidak yakin bahwa mereka dapat pulih dan terlepas dari ketergantungan narkoba yang ia alami.

Seperti hasil kutipan wawancara dengan salah seorang mantan pecandu narkoba, yaitu N (20 tahun):

“...Selama ini rasa percaya diri saya selalu kurang, takut bertemu dengan orang, selalu merasa curiga kepada setiap orang yang belum saya kenal, padahal saya hampir 3 tahun tidak menggunakan obat-obatan lagi. Namun di masa antara 2 tahun pertama tersebut memang ada lebih kurang 3 kali saya kembali terpleset menggunakan obat-obatan tersebut karena saya bergaul kembali dengan teman-teman saya yang menggunakan...” (dalam Willy, 2005).

Kunci keberhasilan untuk lepas dari kecanduan narkoba terletak dalam diri pecandu itu sendiri. Willy (2005) menyatakan niat merupakan modal yang sangat luar biasa. Niat tersebut harus dijalankan bagaimanapun risikonya. Kesulitan untuk berhenti merupakan problema yang terberat bagi seorang pecandu, apalagi yang ketergantungannya parah, karena mereka mempunyai sugesti yang sangat kuat untuk selalu menggunakan. Untuk itu sebelum benar-benar lebih parah akibatnya, sangat baik jika ada niat berhenti total.

Seperti pengakuan Ari Lasso di suatu media massa, seorang penyanyi yang juga adalah mantan pecandu narkoba:

“...Hingga saya sampai pada satu titik balik. Saya menyadari bahwa semua yang saya dapat ini tidak akan ada artinya bila diri kita sendiri hilang. Kita tidak tahu siapakah diri kita yang sesungguhnya, apakah ini yang kita cita-citakan, apakah ini yang kita cari sesungguhnya dalam hidup kita. Dulu saya

enggak sembuh-sembuh karena belum punya niat yang kuat...” (Erviani,


(18)

Proses pemulihan pecandu narkoba bukanlah suatu proses yang singkat dan dapat dilakukan dengan mudah. Sebelum benar-benar dikatakan lepas dari narkoba maka dalam perjalanannya ada saat-saatnya pecandu relapse. Relapse adalah kembali pada perilaku sebelumnya, dalam hal ini menggunakan narkoba.

Relapse sangat tinggi kemungkinannya terjadi pada minggu atau bulan pertama

berhenti dari penggunaan narkoba (Sarafino, 2006).

Beberapa hal yang dapat menyebabkan seorang pecandu relapse adalah tekanan psikologis, masalah keluarga, sakit yang dihubungkan dengan masalah medis, hubungan sosial (seperti bertemu dengan teman lama yang merupakan pengguna), atau lingkungan (seperti melintasi jalan tempat biasanya menggunakan narkoba), berhadapan dengan objek, atau bahkan mencium bau yang behubungan dengan obat-obatan dapat mempengaruhi seseorang relapse, persentasi kemungkinan pecandu narkoba relapse adalah antara 40% sampai 60% (National Institute on Drug Abuse, 2009).

Hasil penelitian dari Curry & McBride, 1994; Ossip-Klein, 1986 (dalam Sarafino, 2006) menyatakan perkiraan relapse terjadi bervariasi mulai dari 50% sampai 80 %, tergantung banyak faktor meliputi metode yang digunakan untuk berhenti, seberapa parah tingkat penggunaannya, dan lingkungannya.

Selain hal-hal di atas Witkiewitz & Marlatt (dalam Sarafino, 2006) menyatakan beberapa hal yang menyebabkan pecandu relapse adalah self-efficacy rendah, reinforcement kenikmatan, craving yang tinggi (sugesti yang sangat kuat


(19)

untuk selalu menggunakan), motivasi yang rendah, hubungan interpersonal yang tidak baik, emosi negatif dan koping yang buruk (Sarafino, 2006).

Russel et al., 2001 (dalam Sarafino, 2006) perbedaan dari pengguna yang dapat berhenti dan tidak dapat berhenti adalah mereka yang berhasil berhenti memiliki self-esteem yang lebih tinggi, memiliki pengalaman intoksikasi yang lebih sedikit, dan memiliki jaringan sosial yang sedikit dengan para pengguna.

Menurut World Health Organization (WHO) (dalam Konsensus, 2002), seseorang dikatakan pulih dari ketergantungan narkoba apabila sudah bebas atau bersih dari narkoba selama minimal 2 (dua) tahun. Tidak semua pecandu narkoba berhasil pulih dan mendapat gelar menjadi mantan pecandu narkoba.

Seperti hasil kutipan wawancara dengan salah seorang mantan pecandu narkoba, yaitu E (38 tahun):

“...Sedikit yang berhasil bebas dari narkoba dan tetap bertahan, kami saja dari sepuluh orang yang direhabilitasi kemaren cuma dua orang yang berhasil, yang lainnya balik lagi kayak dulu, bahkan ada yang tambah parah. Bersih dari obat setelah direhabilitasi gak otomatis membuat kita bersih selamanyaa trus lepas dari narkoba begitu saja. Justru masa-masa mempertahankan untuk tetap bersih dari obat di tengah-tengah lingkungan yang bebas, gak kayak di rehab dulu ini, yang paling sulit. Adakalanya memang jatuh balik lagi make tapi pecandu harus tetap punya satu harapan bahwa dia bisa lepas dari narkoba, kalo gak bisa tambah parah. Karena waktu kita bolak-balik pngen berhenti tapi bolak-balik juga gak berhasil bisa buat kita stres sendiri dan malas untuk berusaha lagi. Kalo udah gitu, ya udahlah mau kekmana lagi balik lagi make merupakan kemungkinan yang udah gak terelakkan. Abang aja udah berapa kali relaps, tapi terus coba lagi sampe akhirnya sekarang bisa gak pake lagi...”

( Komunikasi Personal, 6 September 2010).

Pengguna narkoba harus berjuang keras untuk bisa tetap bertahan tidak menggunakan narkoba di tengah-tengah banyaknya godaan yang memicu mereka


(20)

relapse. Kemampuan seseorang untuk tetap berdiri teguh di tengah-tengah

banyaknya kesulitan yang dihadapinya ini disebut dengan resiliensi. Menurut Reivich dan Shatte (2002) resiliensi terdiri dari tujuh faktor yakni, regulasi emosi, pengendalian impuls, optimisme, empati, causal analysis, efikasi diri, dan

reaching out.

Reivich & Shatte (2002) menyatakan regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah kondisi yang menekan. Regulasi emosi erat kaitannya dengan pengendalian impuls. Pengendalian impuls adalah kemampuan individu untuk mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri. Individu yang memiliki kemampuan pengendalian impuls yang rendah, cepat mengalami perubahan emosi yang pada akhirnya mengendalikan pikiran dan perilaku mereka. Pengendalian impuls berhubungan dengan empati, orang dengan pengendalian impuls rendah akan sulit untuk berempati dengan orang lain. Empati merupakan kemampuan individu untuk membaca tanda-tanda kondisi emosional dan psikologis orang lain.

Faktor-faktor resiliensi lainnya adalah optimise. Optimisme yang dimiliki oleh seorang individu menandakan bahwa individu tersebut percaya bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk mengatasi kemalangan yang mungkin terjadi di masa depan. Hal ini juga merefleksikan Self-Efficacy yang dimiliki oleh seseorang, yaitu kepercayaan individu bahwa ia mampu menyelesaikan permasalahan yang ada dan mengendalikan hidupnya. Individu yang resilien juga memiliki fleksibilitas kognitif. Mereka mampu mengidentifikasikan semua penyebab yang menyebabkan kemalangan yang menimpa mereka, tanpa terjebak


(21)

pada salah satu gaya berpikir explanatory. Gaya berpikir mempengaruhi bagaimana pencapaian individu untuk meningkatkan aspek-aspek yang positif dalam kehidupannya. Kemampuan individu meraih aspek positif dari kehidupan setelah kemalangan yang menimpa disebut dengan reaching out.

Faktor-faktor resiliensi ini sebenarnya dimiliki oleh setiap orang namun yang membedakan antara satu orang dengan yang lainnya adalah bagaimana orang tersebut mempergunakan dan memaksimalkan faktor-faktor dalam dirinya sehingga menjadi sebuah kemampuan yang menonjol (Reivich & Shatte, 2002).

Berdasarkan penelitian Reivich dan Shatte selama lima belas tahun di universitas Pennsylvania, faktor-faktor resiliensi dapat membantu pemulihan seseorang dari adiksi. Dengan adanya faktor-faktor resiliensi dalam diri seorang pecandu narkoba, maka hal ini akan membantu mereka untuk bertahan menghadapi kesulitan-kesulitan yang dialami, masa-masa krisis, dan mengatasi hal-hal yang dapat memicu stres pada saat dalam proses pemulihan. Selain itu juga memberikan kemampuan untuk bangkit lebih baik melebihi keadaan sebelumnya (Reivich dan Shatte, 2002).

Selain itu, faktor-faktor resiliensi ini juga memberikan kemampuan pada pecandu narkoba dalam membuat keputusan secara cepat dan tabah dalam keadaan yang kacau atau masalah-masalah kehidupan yang dialaminya. Faktor-faktro resiliensi ini memampukan mereka untuk mengatasinya dengan damai, humor, dan optimis (Reivich & Shatte, 2002).

Dengan masalah-masalah yang dihadapi pecandu narkoba, banyak yang


(22)

bangkit dari masalah dan keluar dari belenggu narkoba. Tidak hanya keluar dari belenggu narkoba tetapi juga menjadi orang yang berguna bagi masyarakat bahkan menjadi motivator dan inspirator bagi teman-temannya yang mengalami hal sama dengan dia sebelumnya. Hal ini seperti yang dialami oleh A (41 tahun), salah seorang mantan pecandu narkoba yang telah menikmati kehidupannya tanpa narkoba. Ia sekarang bekerja di sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak dalam pengurangan dampak buruk bahaya narkoba dan pencegahan HIV Aids. Berikut adalah kutipan hasil wawancara dengan A:

“...teman-teman yang lain banyak yang bilang, untuk apa berhenti toh nanti gak ada kerjaan, mana ada lagi orang yang percaya sama pecandu.

Kalo didengerin ya emang gak bakalan bisa lepas, abang sih mikirnya kalo

gini terus mau jadi apa. Makanya abang tetap punya harapanlah untuk hidup lebih baik lagi, setidaknya gak jadi budak obat lagi..”

(Komunikasi Personal, 5 Oktober 2010) Untuk melihat faktor-faktor resiliensi dalam diri mantan pecandu narkoba maka peneliti memilih mantan pecandu narkoba dewasa awal yang berusia antara 25-50 tahun. Peneliti membuat batasan usia ini karena pada usia ini merupakan usia produktif dari seorang individu untuk bekerja, bebas dari tanggungan orang tua, bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri (Papalia, Wendkos, Duskin, 2007).

Selama hampir lima belas tahun di universitas Pennsylvenia Reivich dan Shatte sudah membuktikan manfaat dari resiliensi dalam kehidupan melalui sebuah penelitian yang dilakukannya bersama rekan-rekannya. Reivich dan Shatte menemukan bahwa resiliensi merupakan salah satu faktor penting untuk meraih kesuksesan dan kebahagiaan. Oleh karena itu, mereka mengembangkan suatu


(23)

metode untuk memperkaya kapasitas resiliensi diri seseorang untuk meraih tujuan hidup mereka (Reivich dan Shatte, 2002).

Faktor-faktor resiliensi ini juga memberikan kemampuan untuk meraih level tertinggi dalam suatu pekerjaan, mengalami kepenuhan, hubungan yang penuh kasih, meningkatkan kesehatan, kebahagiaan, dan anak-anak yang sukses. Hal ini memungkinkan seseorang untuk mendapatkan pekerjaan yang dibutuhkan dan dapat menikmati kebahagiaan bersama keluarga.

Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana dinamika faktor-faktor resiliensi pada mantan pecandu narkoba.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran faktor-faktor resiliensi pada mantan pecandu narkoba. Hal ini dapat dilihat dari tujuh faktor-faktor resiliensi, yakni regulasi emosi, pengendalian impuls, optimisme, empati,

causal analysis, efikasi diri, dan reaching out.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai faktor-faktor resiliensi pada mantan pecandu narkoba.

D. Manfaat Penelitian


(24)

1. Secara teoritis, menjadi masukan dan sumber informasi bagi disiplin ilmu psikologi terutama di bidang klinis, khususnya mengenai dinamika faktor-faktor resiliensi pada mantan pecandu narkoba.

2. Secara praktis, diharapkan dapat membantu para pecandu narkoba agar dapat melihat manfaat faktor-faktor resiliensi dalam diri pecandu narkoba untuk dapat pulih dari kecanduannya.

3. Bagi tempat rehabilitasi, diharapkan dapat melihat pentingnya melatih faktor-faktor resiliensi ini dalam diri seorang pecandu narkoba untuk membantu proses pemulihan mereka dan membekali mereka untuk tetap bertahan setelah keluar dari tempat rehabilitasi.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan proposal penelitian ini adalah: BAB I : Pendahuluan

Berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat peneltian serta sistematika penulisannya. Bab II : Landasan Teori

Berisikan teori – teori yang menjelaskan data penelitan yaitu teori tentang resiliensi dan narkoba


(25)

Berisi mengenai metode penelitian yang berisikan tentang metode kualitatif, metode pengumpulan data, karakteristik responden, alat bantu pengumpulan data, teknik pengambilan data, prosedur penelitian dan pengolahan data


(26)

BAB II

LANDASAN TEORI

A.Resiliensi

1. Definisi Resiliensi

Secara etimologis resiliensi diadaptasi dari kata dalam Bahasa Inggris resilience yang berarti daya lenting atau kemampuan untuk kembali dalam bentuk semula (Poerwadarminta, 1982). Menurut Reivich & Shatte (2002) resiliensi merupakan kemampuan seseorang untuk bertahan, bangkit, dan menyesuaikan dengan kondisi yang sulit. Resiliensi adalah kapasitas untuk merespon secara sehat dan produktif ketika berhadapan dengan kesengsaraan atau trauma, yang diperlukan untuk mengelola tekanan hidup sehari-hari.

Grotberg (dalam Schoon, 2006) menyatakan bahwa kemampuan seseorang untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup. Karena setiap orang itu pasti mengalami kesulitan ataupun sebuah masalah dan tidak ada seseorang yang hidup di dunia tanpa suatu masalah ataupun kesulitan.

Jadi, dapat disimpulkan resiliensi adalah suatu kemampuan untuk bertahan dan bangkit dalam menghadapi berbagai kesulitan hidup.


(27)

2. Faktor-faktor Pembentuk Resiliensi

Reivich dan Shatte (2002), memaparkan tujuh kemampuan yang membentuk resiliensi, yaitu regulasi emosi, pengendalian impuls, optimisme, empati, analisis penyebab masalah, efikasi diri, dan reaching out.

a. Regulasi Emosi

Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah kondisi yang menekan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang yang kurang memiliki kemampuan untuk mengatur emosi mengalami kesulitan dalam membangun dan menjaga hubungan dengan orang lain. Hal ini bisa disebabkan oleh berbagai macam faktor, di antara alasan yang sederhana adalah tidak ada orang yang mau menghabiskan waktu bersama orang yang marah, merengut, cemas, khawatir serta gelisah setiap saat. Emosi yang dirasakan oleh seseorang cenderung berpengaruh terhadap orang lain. Semakin kita terasosiasi dengan kemarahan maka kita akan semakin menjadi seorang yang pemarah (Reivich dan Shatte, 2002).

Greef (dalam Reivich dan Shatte, 2002) menyatakan bahwa individu yang memiliki kemampuan untuk mengatur emosinya dengan baik dan memahami emosi orang lain akan memiliki self-esteem dan hubungan yang lebih baik dengan orang lain. Tidak semua emosi yang dirasakan oleh individu harus dikontrol. Tidak semua emosi marah, sedih, gelisah dan rasa bersalah harus diminimalisir. Hal inidikarenakan mengekspresikan emosi yang kita rasakan baik emosi positif maupun negatif merupakan hal yang konstruksif dan sehat, bahkan kemampuan untu mengekspresikan emosi secara tepat merupakan bagian dari resiliensi. (Reivich dan Shatte, 2002).


(28)

b. Pengendalian Impuls

Pada tahun 1970, Goleman (dalam Reivich dan Shatte, 2002), penulis dari

Emotional Intelligence, melakukan penelitian terkait kemampuan individu dalam

pengendalian impuls.

Penelitian dilakukan terhadap 7 orang anak kecil yang berusia sekitar 7 tahun. Dalam penelitian tersebut anak-anak tersebut masing-masing ditempatkan pada ruangan yang berbeda. Pada masing-masing ruangan tersebut telah terdapat peneliti yang menemani anak-anak tersebut. Masing-masing peneliti telah diatur untuk meninggalkan ruangan tersebut untuk beberapa selang waktu. Sebelum peneliti pergi, masing-masing anak diberikan sebuah Marshmallow untuk dimakan oleh mereka. Namun peneliti juga menawarkan apabila mereka dapat menahan untuk tidak memakan Marshmallow tersebut sampai peneliti kembali ke ruangan tersebut, maka mereka akan mendapatkan satu buah Marshmallow lagi. Setelah sepuluh tahun, peneliti melacak kembali keberadaan anak-anak tersebut dan terbukti bahwa anak-anak yang dapat menahan untuk tidak memakan

Marshmallow, memiliki kemampuan akademis dan sosialisasi yang lebih baik

dibandingkan anak-anak yang sebaliknya (Goleman dalam Reivich dan Shatte (2002).

Pengendalian impuls adalah kemampuan individu untuk mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri. Individu yang memiliki kemampuan pengendalian impuls yang rendah, cepat


(29)

mengalami perubahan emosi yang pada akhirnya mengendalikan pikiran dan perilaku mereka. Mereka menampilkan perilaku mudah marah, kehilangan kesabaran, impulsif, dan berlaku agresif. Tentunya perilaku yang ditampakkan ini akan membuat orang di sekitarnya merasa kurang nyaman sehingga berakibat pada buruknya hubungan sosial individu dengan orang lain (Reivich dan Shatte, 2002).

Individu dapat mengendalikan impulsivitas dengan mencegah terjadinya kesalahan pemikiran, sehingga dapat memberikan respon yang tepat pada permasalahan yang ada. Pencegahan dapat dilakukan dengan dengan menguji keyakinan individu dan mengevaluasi kebermanfaatan terhadap pemecahan masalah. Individu dapat melakukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat rasional yang ditujukan kepada dirinya sendiri, seperti ‘apakah penyimpulan terhadap masalah yang saya hadapi berdasarkan fakta atau hanya menebak?’, ’apakah saya sudah melihat permasalahan secara keseluruhan?’, ’apakah manfaat dari semua ini?’, dll (Reivich dan Shatte, 2002).

Kemampuan individu untuk mengendalikan impuls sangat terkait dengan kemampuan regulasi emosi yang ia miliki. Seorang individu yang memiliki skor

Resilience Quotient yang tinggi pada faktor regulasi emosi cenderung memiliki

skor Resilience Quotient pada faktor pengendalian impuls (Reivich & Shatte , 2002).


(30)

c. Optimisme

Optimisme adalah ketika kita melihat bahwa masa depan kita cemerlang, individu yang resilien adalah individu yang optimis (Reivich & Shatte, 2002). Siebert (2005) mengungkapkan bahwa terdapat hubungan antara tindakan dan ekspektasi kita dengan kondisi kehidupan yang dialami individu.

Peterson dan Chang (dalam Siebert, 2005) mengungkapkan bahwa optimisme sangat terkait dengan karakteristik yang diinginkan oleh individu, kebahagiaan, ketekunan, prestasi dan kesehatan. Individu yang optimis percaya bahwa situasi yang sulit suatu saat akan berubah menjadi situasi yang lebih baik. Mereka memiliki harapan terhadap masa depan mereka dan mereka percaya bahwa merekalah pemegang kendali atas arah hidup mereka.

Individu yang optimis memiliki kesehatan yang lebih baik, jarang mengalami depresi, serta memiliki produktivitas kerja yang tinggi, apabila dibandingkan dengan individu yang cenderung pesimis. Sebagian individu memiliki kecenderungan untuk optimis dalam memandang hidup ini secara umum, sementara sebagian individu yang lain optimis hanya pada beberapa situasi tertentu (Siebert, 2005).

Optimisme bukanlah sebuah sifat yang terberi melainkan dapat dibentuk dan ditumbuhkan dalam diri individu (Siebert, 2005). Optimisme yang dimiliki oleh seorang individu menandakan bahwa individu tersebut percaya bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk mengatasi kemalangan yang mungkin terjadi di masa depan. Orang yang resilien adalah orang yang optimis. Mereka percaya bahwa hal tersebut dapat mengubah ke arah yang lebih baik. Mereka mempunyai


(31)

harapan terhadap masa depan dan percaya bahwa mereka mengontrol kehidupan mereka. Jika dibandingkan terhadap orang yang pesimis, optimis secara fisik lebih sehat, lebih sedikit mengalami depresi, lebih baik di sekolah mereka, lebih produktif dalam pekerjaan mereka, dan lebih banyak memenangkan dalam keolahragaan. Hal ini merupakan hasil dari ratusan studi yang terkontrol dengan baik (Reivich & Shatte, 2002).

Optimisme, tentunya, berarti bahwa kita melihat masa depan kita relatif cerah. Implikasi dari optimisme adalah kita percaya kita mempunyai kemampuan untuk mengatasi kesulitan yang mungkin terjadi di masa depan (Reivich & Shatte, 2002).

d. Causal Analysis

Causal Analysis merujuk pada kemampuan individu untuk

mengidentifikasikan secara akurat penyebab dari permasalahan yang mereka hadapi. Individu yang tidak mampu mengidentifikasikan penyebab dari permasalahan yang mereka hadapi secara tepat, akan terus menerus berbuat kesalahan yang sama (Reivich & Shatte, 2002).

Seligman (dalam Reivich & Shatte, 2002) mengidentifikasikan gaya berpikir explanatory yang erat kaitannya dengan kemampuan causal analysis yang dimiliki individu. Gaya berpikir explanatory dapat dibagi dalam tiga dimensi: personal (saya-bukan saya), permanen (selalu-tidak selalu), dan pervasive (semua-tidak semua).

Individu dengan gaya berpikir “Saya-Selalu-Semua” merefleksikan keyakinan bahwa penyebab permasalahan berasal dari individu tersebut (Saya),


(32)

hal ini selalu terjadi dan permasalahan yang ada tidak dapat diubah (Selalu), serta permasalahan yang ada akan mempengaruhi seluruh aspek hidupnya (Semua). Sementara individu yang memiliki gaya berpikir “Bukan Saya-Tidak Selalu-Tidak semua” meyakini bahwa permasahalan yang terjadi disebabkan oleh orang lain (Bukan Saya), dimana kondisi tersebut masih memungkinkan untuk diubah (Tidak Selalu) dan permasalahan yang ada tidak akan mempengaruhi sebagian besar hidupnya (Tidak semua) (Reivich & Shatte, 2002).

Gaya berpikir explanatory memegang peranan penting dalam konsep resiliensi. Individu yang terfokus pada “Selalu-Semua” tidak mampu melihat jalan keluar dari permasalahan yang mereka hadapi. Sebaliknya individu yang cenderung menggunakan gaya berpikir “Tidak selalu-Tidak semua” dapat merumuskan solusi dan tindakan yang akan mereka lakukan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada (Reivich & Shatte, 2002)..

Individu yang resilien adalah individu yang memiliki fleksibilitas kognitif. Mereka mampu mengidentifikasikan semua penyebab yang menyebabkan kemalangan yang menimpa mereka, tanpa terjebak pada salah satu gaya berpikir

explanatory. Mereka tidak mengabaikan faktor permanen maupun pervasif.

Individu yag resilien tidak akan menyalahkan orang lain atas kesalahan yang mereka perbuat demi menjaga self-esteem mereka atau membebaskan mereka dari rasa bersalah. Mereka tidak terlalu terfokus pada faktor-faktor yang berada di luar kendali mereka, sebaliknya mereka memfokuskan dan memegang kendali penuh pada pemecahan masalah, perlahan mereka mulai mengatasi permasalahan yang


(33)

ada, mengarahkan hidup mereka, bangkit dan meraih kesuksesan (Reivich & Shatte, 2002).

e. Empati

Secara sederhana empati dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk memahami dan memiliki kepedulian terhadap orang lain (Greef, 2005). Empati sangat erat kaitannya dengan kemampuan individu untuk membaca tanda-tanda kondisi emosional dan psikologis orang lain (Reivich & Shatte, 2005).

Beberapa individu memiliki kemampuan yang cukup mahir dalam menginterpretasikan bahasa-bahasa nonverbal yang ditunjukkan oleh orang lain, seperti ekspresi wajah, intonasi suara, bahasa tubuh dan mampu menangkap apa yang dipikirkan dan dirasakan orang lain. Oleh karena itu, seseorang yang memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang positif (Reivich & Shatte, 2002).

Ketidakmampuan berempati berpotensi menimbulkan kesulitan dalam hubungan sosial (Reivich & Shatte, 2002). Individu-individu yang tidak membangun kemampuan untuk peka terhadap tanda-tanda nonverbal tersebut tidak mampu untuk menempatkan dirinya pada posisi orang lain, merasakan apa yang dirasakan orang lain dan memperkirakan maksud dari orang lain.

Ketidakmampuan individu untuk membaca tanda-tanda nonverbal orang lain dapat sangat merugikan, baik dalam konteks hubungan kerja maupun hubungan personal, hal ini dikarenakan kebutuhan dasar manusia untuk dipahami dan dihargai. Individu dengan empati yang rendah cenderung mengulang pola


(34)

yang dilakukan oleh individu yang tidak resilien, yaitu menyamaratakan semua keinginan dan emosi orang lain (Reivich & Shatte, 2002).

f. Self-efficacy

Efficacy adalah hasil dari pemecahan masalah yang berhasil. Self-Efficacy merepresentasikan sebuah keyakinan bahwa kita mampu memecahkan

masalah yang kita alami dan mencapai kesuksesan (Reivich & Shatte, 2002).

Self-efficacy adalah perasaan kita bahwa kita efektif dalam dunia. Telah

dihabiskan banyak waktu untuk mendiskusikan tentang self-efficacy, karena melihat betapa pentingnya hal tersebut dalam dunia nyata. Dalam pekerjaan, orang yang memiliki keyakinan terhadap kemampuan mereka untuk memecahkan masalah, muncul sebagai pemimpin, sementara yang tidak percaya terhadap kemampuan diri mereka menemukan diri mereka “hilang dalam orang banyak”. Mereka secara tidak sengaja memperlihatkan keraguan mereka, dan teman mereka mendengar, dan belajar untuk mencari nasehat dari yang lainnya (Reivich & Shatte, 2002)..

g. Reaching Out

Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bahwa resiliensi lebih dari sekedar bagaimana seorang individu memiliki kemampuan untuk mengatasi kemalangan dan bangkit dari keterpurukan, namun lebih dari itu faktor yang terakhir dari resiliensi adalah reaching out. Reaching out adalah kemampuan individu meraih aspek positif atau mengambil hikmah dari kehidupan setelah kemalangan yang menimpa. Banyak individu yang tidak mampu melakukan


(35)

mungkin menghindari kegagalan dan situasi yang memalukan. Mereka adalah individu-individu yang lebih memilih memiliki kehidupan standar dibandingkan harus meraih kesuksesan namun harus berhadapan dengan resiko kegagalan hidup dan hinaan masyarakat. Hal ini menunjukkan kecenderungan individu untuk berlebihlebihan (overestimate) dalam memandang kemungkinan hal-hal buruk yang dapat terjadi di masa mendatang. Individu-individu ini memiliki rasa ketakutan untuk mengoptimalkan kemampuan mereka hingga batas akhir. Gaya berpikir ini memberikan batasan bagi diri mereka sendiri, atau dikenal dengan istilah Self-Handicaping (Reivich & Shatte, 2002).

Pencapaian menggambarkan kemampuan individu untuk meningkatkan aspek-aspek yang positif dalam kehidupannya yang mencakup pula keberanian seseorang untuk mengatasi segala ketakutan-ketakutan yang mengancam dalam kehidupannya (Reivich & Shatte, 2002).

3. Fungsi Fundamental Resiliensi

Menurut Reivich & Shatte (2002), resiliensi memiliki empat fungsi fundamental dalam kehidupan manusia yaitu:

a. Mengatasi hambatan-hambatan pada masa kecil

Melewati masa kecil yang sulit memerlukan usaha keras, membutuhkan kemampuan untuk tetap fokus dan mampu membedakan mana yang dapat dikontrol dan mana yang tidak.


(36)

Setiap orang membutuhkan resiliensi karena dalam kehidupan ini kita diperhadapkan oleh masalah, tekanan, dan kesibukan-kesibukan. Orang yang resilien dapat melewati tantangan-tantangan tersebut dengan baik. Penelitian menunjukkan hal esensi yang paling penting untuk menghadapi tantangan adalah

self-efficacy, yakni suatu kepercayaan bahwa kita dapat menghadapi lingkungan

dan menyelesaikan masalah.

c. Bangkit kembali setelah mengalami kejadian traumatik atau kesulitan besar Beberapa kesulitan tertentu dapat membuat trauma dan membutuhkan resiliensi yang lebih tinggi dibanding tantangan kehidupan sehari-hari. Kejatuhan yang kita alami sangat ekstrem, yang membuat kita secara emosional hancur, keadaan yang seperti ini membutuhkan pantulan resiliensi untuk pulih.

d. Mencapai prestasi terbaik

Beberapa orang memiliki kehidupan yang sempit, mempunyai kegiatan yang rutin setiap harinya. Merasa nyaman dan bahagia ketika segala sesuatunya berjalan dengan lancar. Sebaliknya, ada juga orang yang marasa senang ketika bisa menjangkau orang lain dan mencari pengalaman baru. Sebagaimana resiliensi dibutuhkan untuk mengatasi pengalaman negatif, mengatasi stres, pulih dari trauma, resiliensi juga dibutuhkan untuk memperkaya arti kehidupan, hubungan yang dalam, terus belajar dan mencari pengalaman baru.


(37)

B.Narkoba

1. Definisi Narkoba

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Poerwadarminta, 1982) narkoba adalah akronim dari Narkotika dan Obat Berbahaya. Narkoba mempunyai banyak macam, bentuk, warna dan pengaruh terhadap tubuh. Tetapi dari sekian banyak macam, bentuk, dan lain-lain tersebut narkoba mempunyai banyak persamaan, salah satunya adalah sifat ketergantungan terhadap obat tersebut. Sifat ketergantungan tersebut dapat menimbulkan berbagai macam dampak yang merugikan akibat dari adanya pengaruh zat-zat yang terkandung didalam zat narkotik tersebut (Adisti, 2007).

Istilah narkoba muncul sekitar tahun 1998 karena pada saat itu banyak terjadi peristiwa pemakaian atau pengunaan barang-barang yang termasuk narkotika dan obat-obatan aditif yang terlarang. Istilah ini digunakan untuk memudahkan orang berkomunikasi tanpa menyebutkan istilah yang tergolong panjang (Supramono, 2004).

2. Jenis-Jenis Narkoba

Istilah narkoba sudah banyak dikenal oleh masyarakat, namun belum semua orang tahu zat-zat apa saja yang termasuk dalam narkoba. Begitu pula tentang barangnya seperti apa wujudnya tidak dikenal karena memang barang ini adalah barang yang terlarang di masyarakat (Supramono, 2003).


(38)

a. Narkotika b. Psikotropika c. Alkhohol

d. Zat pelarut lainnya.

a. Narkotika

Narkotika secara umum dapat diartikan sejenis zat yang dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi orang-orang yang menggunakannya, yaitu dengan cara memasukkannya ke dalam tubuh. Istilah narkotika yang dipergunakan di sini bukanlah narcotics pada farmacologie (farmasi), melainkan sama artinya dengan drug. Drug adalah sejenis zat yang apabila digunakan akan membawa efek dan pengaruh-pengaruh tertentu pada tubuh si pemakai, yaitu: mempengaruhi kesadaran, memberikan dorongan yang dapat berpengaruh terhadap perilaku manusia (menenangkan, merangsang), dan menimbulkan halusinasi (Makarao, 2003).

Menurut UU 22./Th. 1992 pengertian narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan (dalam Supramono, 2003).

Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka obat-obat semacam narkotika berkembang pula cara pengolahannya. Namun belakangan ini diketahui pula bahwa zat-zat narkotika tersebut memiliki daya kecanduan yang


(39)

bisa menimbulkan si pemakai bergantung hidupnya terus menerus pada obat-obat narkotika itu. Dengan demikian, maka jangka waktu yang mungkin agak panjang si pemakai memerlukan pengobatan, pengawasan, dan pengendalian guna disembuhkan (Makarao, dkk, 2003).

Jenis-jenis narkotika secara umum dapat dibagi menjadi opium, ganja, dan kokain (Sasangka, 2003).

1. Opium

Opium merupakan sumber utama dari narkotika alam. Kline (dalam Sasangka, 2003) menjelaskan gejala putus obat (withdrawal) dari opium adalah gugup, cemas, gelisah, pupil mengecil, bulu roma berdiri, sering menguap, mata dan hidung berair, berkeringat, badan panas dingin, kaki dan punggung terasa sakit, diare, muntah-muntah, berat badan dan nafsu makan berkurang, tidak bisa tidur, pernafasan semakin kencang, temperatur dan tekanan darah bertambah, dan perasaan putus asa.

2. Ganja

Ganja berasal dari tanaman Cannabis Sativa, Cannabis Indica, dan Cannabis Americana. Menurut Bergel (dalam Sasangka, 2003) penggunaan ganja memiliki efek baik secara fisik maupun psikologis. Efek pemakaian secara fisik dapat menyebabkan timbulnya ataxia yaitu hilangnya koordinasi kerja otot dengan syaraf sentral, hilang atau kurangnya kedipan mata, gerak refleks tertekan, menyebabkan kadar gula darah turun naik, nafsu makan bertambah, mata menyala dan merah.


(40)

Efek secara psikologis dapat menimbulkan sensasi psikologis, gembira, tertawa tanpa sebab, lalai, malas, senang dan banyak bicara, terganggunya daya sensasi dan persepsi, khususnya terhadap ruang dan waktu, lemahnya daya pikir dan daya ingatan, cemas dan sensitif, bicaranya ngelantur. Bahaya pemakaian ganja secara sosial adalah a motivational syndrome: menarik diri dari aktivitas sosial, dan perhatian terhadap sekolah, pekerjaan, dan pencapaian tujuan menurun. 3. Kokain

Kokain berasal dari daun Erythroxylon Coca L. Gejala putus obat dari penggunaan Cocain ditandai dengan disporia (lawan euforia), depresi, rasa mengantuk yang hebat, dan kelelahan. Efek penggunaan kokain dapat membuat euforia, suka bercakap-cakap, aktivitas motorik meningkat, mencegah kelelahan, perilaku stereotip (berulang-ulang), bertambah cepat denyut nadi dan pernafasan, bertambah aktifnya kerja mental. Apabila kokain dipakai sebagai obat perangsang secara kronis, maka akan menyebabkan halusinasi, tidak bisa tidur, tidak bergairah bekerja, bekerja dan berpikir tanpa tujuan, tidak nafsu makan, dan tidak punya ambisi.

b. Psikotropika

Dalam undang-undang Nomor 5/Tahun 1997 tentang psikotropika dalam pasal 1 pengertian psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Pengertian tersebut menekankan adanya pembatasan ruang lingkup


(41)

psikotropika yang dipersempit, yaitu zat atau obat yang bukan narkotika, dengan maksud agar tidak berbenturan dengan ruang lingkup narkotika. Karena apabila tidak dibatasi demikian, nantinya akan mengalami kesulitan untuk membedakan mana zat atau obat yang tergolong psikotropika dengan mana yang tergolong narkotika (Supramono, 2003).

Obat-obatan sebagaimana dimaksud memiliki khasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat, dan mempunyai hubungan kausalitas pada aktivitas mental dan perilaku penggunaannya. Mental dan perilaku pengguna menunjukkan adanya perubahan yang khas dibandingkan yang bersangkutan mengkonsumsi psikotropika (Supramono, 2003).

Jenis-jenis psikotropika secara umum adalah stimulansia, depresiva, dan halusinogen (Sasangka, 2003).

1. Stimulansia

Obat-obatan yang digolongkan stimulansia adalah obat-obat yang mengandung zat-zat yang merangsang terhadap otak dan syaraf. Obat-obat yang termasuk golongan stimulansia adalah amfetamine beserta turunannya. Stimulansia dapat meningkatkan kinerja sistem saraf pusat sehingga merangsang dan meningkatkan kemampuan fisik, meningkatkan konsentrasi, dan mampu membuat kerja tanpa istirahat. Namun, karena dipaksa lambat laun akan menimbulkan efek yang tidak baik. Dikalangan olahragawan ada yang secara tersembunyi menggunakannnya yang disebut dengan dopping.


(42)

Pemakaian amfetamin secara terus menerus dalam waktu yang cukup lama akan menimbulkan ketergantungan terhadap zat tersebut secara fisik dan psikis. Selain itu juga akan mengakibatkan toleransi dan bila dihentikan akan menimbulkan gejala putus obat, yakni: depresi, merasa sangat lelah, bosan dan sering lapar.

Amfetamin dalam dosis tinggi akan menimbulkan delusi, halusinasi, dan perasaan ingin menyakiti diri sendiri. Terkadang berlanjut ke arah gangguan jiwa. Efek-efek penggunaan amfetamin dalam jangka panjang adalah timbulnya paranoid, mudah panik, malnutrisi, kurang gizi, mudah ken ainfeksi, rusaknya sel-sel otak, dan menjadi gila.

b. Ekstasi

Ekstasi bukan merupakan nama obat yang dikenal dalam ilmu kedokteran, karena tidak digunakan sebagai obat, serta tidak terdaftar baik di Indonesia maupun di luar negeri. Efek yang ditimbulkan akibat pemakaian ekstasi adalah mulut kering, kejang, jantung berdenyut labih cepat, keringat keluar lebih banyak, mata kabur, demam tinggi paranoid, sulit berkonsentrasi, seluruh otot merasa nyeri hampir seminggu lebih. Apabila penggunaannya dihentikan akan mengakibatkan merasa lelah, tidur panjang, dan depresi berat.

c. Shabu

Nama shabu adalah julukan terhadap zat metamfetamin yang mempunyai sifat stimulansia lebih kuat dari amfetamin yang lainnya. Penggunaan shabu dalam jangka panjang dapat mengakibatkan gangguan serius kejiwaan dan mental,


(43)

denyut jantung tidak teratur, pembuluh darah rusak, rusaknya ujung syaraf dan otot, turun berat badan secara drastis, terjadi radang hati.

2. Depresiva

Depresiva adalah obat-obatan yang bekerja mempengaruhi otak dan sistem saraf pusat yang didalam pemakaiannya dapat menyebabkan timbulnya depresi pada si pemakai. Jadi, depresiva di dalam bekerjanya mempunyai efek mengurangi kegiatan dari susunan syaraf pusat, sehingga dipergunakan untuk menenangkan syaraf atau membuat seseorang mudah tidur. Efek yang dicari dalam penggunaan depresiva adalah rasa susah hilang, ada rasa tenang, dan nyaman yang kemudian membuat seseorang tidur. Psikotropika golongan depresiva dalam istilah populer di masyarakat dikenal sebagai obat tidur atau obat penenang.

3. Halusinogen

Halusinogen adalah obat-obatan yang dapat menimbulkan daya khayal (halusinasi) yang kuat, salah persepsi tentang lingkungan dan dirinya baik yang berkaitan dengan pendengaran, penglihatan, maupun perasaan. Dengan kata lain obat-obatan dengan jenis halusinogen memutar balikkan daya tangkap kenyataan objektif. Halusinasi atau khayalan adalah merupakan penghayatan semu, sehingga apa yang dilihat tidaklah sesuai dengan bentuk dan ruang yang sebenarnya (Sasangka, 2003).

Bahaya yang biasa terjadi dengan pemakaian obat-obatan ini adalah penilaian yang salah dan mengakibatkan orang akan memberikan keputusan yang salah dan


(44)

gegabah sehingga menyebabkan kecelakaan misalnya. Efek-efek setelah pemakaian halusinogen adalah rasa khawatir yang akut, gelisah dan tidak bisa tidur, biji mata yang membesar, suhu badan meningkat, tekanan darah meningkat, gangguan jiwa berat. Suatu penggunaan yang berulang-ulang menyebabkan toleransi yang condong mendorong seorang pengguna untuk menggunakan obat-obatan tersebut dalam jumlah yang meningkat atau lebih besar (Sasangka, 2003).

c. Zat-zat lainnya

Zat adiktif adalah bahan yang penggunaannya dapat menimbulkan ketergantungan psikis, (Pasal 1 angka 12 UU 23. /Th. 1992). Zat-zat lainnya yang termasuk dalam narkoba adalah alkhohol dan zat pelarut (Sasangka, 2003).

1. Alkhohol

Alkhohol adalah etanol atau etilalkhohol yang dapat diminum secara terbatas tanpa akibat yang merusak. Alkhohol merupakan cairan bening yang mudah menguap dan mudah begerak, tidak berwarna, berbau khas, rasa panas, mudah terbakar, dan nyala berwarna biru tidak berasap. Alkhohol merupakan popular

recreational drug yang dalam pengetahuan penyalahgunaana obat-obatan disebut

dalam golongan depresan. 2. Pelarut

Selain obat-obatan narkotika, psikotropika, dan alkhohol ada obat-obat bebas dan bahan lain yang dapat disalahgunakan pemakainnya yaitu: obat CTM, Dextromethorphan HBr, dan bahan pelarut (solvent). Pada umumnya yang disebut


(45)

pelarut adalah pelarut organik dan bersifat mudah menguap, seperti pelarut dalam lem, penghapus cat kuku, bensin, dan sebagainya.

Kebiasaan menghirup uap zat-zat pelarut dapat menimbulkan reaksi yang sama seperti seseorang yang meminum-minuman keras. Tentu saja kebiasaan menghirup uap zat-zat pelarut, dilihat dari segi biaya adalah yang paling murah. Di dalam pemakaian, seseorang harus meningkatkan konsentrasi gas atau mengeluarkan udara atau bisa kedua-duanya. Cara yang biasa dilakukan adalah dengan jalan menghisap uap zat-zat beracun dalam kantong plastik yang ditutupkan kepala.

3. Ketergantungan Narkoba

a. Definisi Ketergantungan Narkoba

Adiksi adalah suatu keadaan yang terjadi setelah penggunaan narkoba secara berkala dan terus-menerus, apabila pemberian atau penggunaan obat tersebut dihentikan, maka menimbulkan gejala ketergantungan psikis dan jasmani (Sasangka, 2003).

Karena menimbulkan ketergantungan, maka WHO (World Helath Organization) Expert Commite pada tahun 1964, menganjurkan penggunaan istilah ketergantungan. Pada tahun 1970 istilah ketergantungan obat didefinisikan sebagai suatu keadaan, psikis kadang-kadang juga fisik, yang diakibatkan oleh interaksi antara suatu makhluk hidup dengan suatu obat, yang ditandai oleh kelakuan-kelakuan yang didorong oleh suatu hasrat yang kuat untuk terus menerus atau secara periodik menggunakan sesuatu dengan tujuan untuk


(46)

menyelami efek-efeknya dan kadang-kadang untuk menghindarkan gejala-gejala tidak enak (discomfort) yang disebabkan obat tersebut tidak digunakan. Toleransi terhadap obat bisa timbul atau tidak timbul, sedangkan seseorang bisa tergantung pada lebih dari satu obat (Supramono, 2003).

Jadi ketergantungan obat secara singkat adalah suatu keadaan yang timbul karena penggunaan jenis-jenis narkoba secara berkala dan terus menerus, yang berakibat merusak diri si pengguna. Pengguna adalah orang yang menggunakan narkoba yang dalam penelitian ini akan disebut pecandu nakoba.

b. Dampak Ketergantungan Narkoba

Penggunaan Narkoba dapat menimbulkan ketergantungan, yakni ketergantungan psikis dan fisik (Sasangka, 2003).

a. Ketergantungan psikis

Seseorang menggunakan narkoba, biasanya bertujuan untuk menghindari persoalan hidup yang dihadapi dan melepaskan diri dari suatu keadaan atau kesulitan hidup. Setiap kali keadaan atau kesulitan tersebut datang kembali, pengguna harus menggunakan narkoba kembali. Kedaan terus-menerus terjadi atau berulang kembali. Akibatnya pengguna narkoba sudah tergantung dengan narkoba yang dikonsumsinya. Penggunaan narkoba tersebut yang semula dalam waktu-waktu tertentu, akhirnya menjadi kebiasaan yang tidak dapat dilepaskan (drug habitual).


(47)

b. Ketergantungan fisik

Penghentian penggunaan narkoba akan menimbulkan gejala-gejala abstinensi (suatu rangkaian gejala yang hebat). Misalnya pada obat-obata turunan morfin akan mengakibatkan ketakutan, berkeringat, mata berair, gangguan lambung, dan usus, sakit perut dan lambung, tidak bisa tidur dan sebagainya.

Gejala-gejala abstinensi tersebut dapat diatasi, jika menggunakan narkoba yang sejenis. Keadaaan tersebut bisa menimbulkan kematian. Rasa khawatir mendalam akan timbulnya gejala-gejala abstinensi mendorong seorang pengguna narkoba untuk menggunakan narkoba lagi (physical dependence). Jadi, keadaan jasmani pengguna akan terus menerus membutuhkan narkoba dan jika berhenti akan menimbulkan gejala-gejala abstinensi.

Penggunaan narkoba (dalam Sasangka, 2003) memiliki dampak tidak baik bagi individu itu sendiri maupun masyarakat. Narkoba yang disalahgunakan dapat membawa efek-efek terhadap tubuh si pemakai, yakni sebagai berikut:

a. Euphoria, yakni suatu perasaan riang gembira (well being), efek ini ditimbulkan dalam dosis yang tidak begitu tinggi.

b. Delirium, yaitu menurunnya kesadaran mental si pemakai disertai kegelisahan yang hebat yang terjadi secara mendadak, yang menyebabkan gangguan koordinasi otot-otot gerak motorik (mal coordination). Efek delirium ini ditimbulkan oleh pemakai dosis yang lebih tinggi dibanding dosis pada euphoria.


(48)

c. Halusinasi, yaitu suatu kesalahan persepsi panca indera, sehingga apa yang dilihat, didengar tidak seperti kenyataan sesungguhnya.

d. Drowsiness, yaitu kesadaran yang menurun, atau kesadaran antara sadar

dan tidak sadar, seperti keadaan setengah tidur disertai fikiran yang sangat kacau dan kusut.

e. Collapse, yaitu keadaan pingsan dan jika si pemakai over dosis, dapat

mengakibatkan kematian.

Bagi individu tersebut mental dan fisik adalah dua hal yang langsung terkena dampaknya (Adisti, 2003).

1. Mental

a. Terganggunya daya pikir dan persepsi b. Timbulnya sindrom motivasional

c. Tumbuhnya perilaku yang tidak lumrah/tidak wajar

d. Timbulnya keinginan untuk bunuh diri, stress dan perasaan depresi 2. Fisik

a. Gangguan pada fungsi ginjal, lever, dan pendarahan pada otak b. Impotensi

c. Konstipasi kronis d. Kanker usus

e. Perforasi sekat hidung f. Gangguan pada jantung


(49)

h. HIV/AIDS dan Hepatitis akibat alat suntik yang tidak steril

Alasan atau latar belakang pengguna zat adiktif berbeda-beda, namun biasanya akibat interaksi beberapa faktor. Beberapa orang memiliki resiko lebih besar menggunakannya karena sifat atau latar belakangnya yang disebut faktor risiko tinggi atau faktor kontributif, yang dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu faktor individu dan faktor lingkungan (Konsensus, 2002).

1. Faktor individu meliputi:

a. Faktor konstitusi atau faktor biologik dan genetik. Peran faktor genetik pada ketergantungan belum dapat dibuktikan.

b. Faktor kepribadian, yaitu mempunyai ciri-ciri tertentu, yaitu:

1. Impulsif, diekspresikan dalam bentuk tidak dapat menunda keinginan 2. Tidak mampu mengatasi perasaan-perasaan tidak enak

3. Perasaan rendah diri, tidak mempunyai keyakinan diri, kesulita mengungkapkan perasaan,

4. Toleransi terhadap frustasi yang rendah

5. Menghindar dari tanggung jawab tetapi menuntut hak 6. Mengalami depresi

2. Faktor lingkungan meliputi: a. Mudah diperolehnya zat adiktif

b. Komunikasi orang tua dengan anak yang kurang efektif c. Tekanan dari teman sebaya


(50)

e. Orangtua atau anggota keluatga lainnya menggunakan zat adkitif f. Lingkungan sekolah yang tidak tertib

g. Lingkungan sekolah yang tidak memberi fasilitas bagi penyaluran minat dan bakat para siswanya.

c. Mantan Pecandu Narkoba

Menurut Kamus umum Besar Bahasa Indonesia (Poerwadarminta, 1982) arti pecandu adalah pemakai/penggemar. Sedangkan menurut istilah narkotika (Adisti, 2003) pecandu diartikan sebagai addict, yaitu orang yang sudah menjadi “budak dari obat”, dan tidak mampu lagi menguasai dirinya apapun melepaskan diri dari cengkraman obat yang sudah menjadi tuannya. Secara fisik dan psikis seperti didorong untuk kembali lagi menggunakan obat tersebut.

Proses pemulihan pecandu narkoba bukanlah suatu proses yang singkat dan dapat dilakukan dengan mudah. Sebelum benar-benar dikatakan lepas dari narkoba maka dalam perjalanannya ada saat-saatnya pecandu relapse. Relaps adalah kembali pada perilaku sebelumnya, dalam hal ini menggunakan narkoba. Relapse sangat tinggi kemungkinannya terjadi pada minggu atau bulan pertama berhenti dari penggunaan narkoba (Sarafino, 2006).

Menurut WHO (World Health Organization) seseorang dapat dikatakan sebagai mantan pecandu narkoba jika telah berhasil bersih dari obat atau abstinesia minimal selama 2 (tahun). (Konsensus, 2002).


(51)

C. Dinamika Resiliensi pada Mantan Pecandu Narkoba

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Poerwadarminta, 1982) narkoba adalah akronim dari Narkotika dan Obat Berbahaya. Narkoba mempunyai banyak macam, bentuk, warna dan pengaruh terhadap tubuh. Akan tetapi dari sekian banyak macam, bentuk dan lain-lain tersebut narkoba mempunyai banyak persamaan. Salah satunya adalah sifat ketergantungan terhadap obat tersebut. Sifat ketergantungan tersebut dapat menimbulkan berbagai macam dampak yang merugikan akibat dari adanya pengaruh zat-zat yang terkandung didalam zat narkotik tersebut (Adisti, 2007).

Darmono (2009) menyatakan penggunaan narkoba sangat membahayakan karena dapat mempengaruhi pikiran yang menyebabkan korban tidak sadar apa yang sedang dilakukannya. Karena efeknya yang menyebabkan adiksi maka obat tersebut harus dikonsumsi terus-menerus oleh penderita kecanduan, semakin lama semakin meningkat dosisnya. Apabila hal tersebut tidak segera ditangani akan menyebabkan overdosis yang berakhir dengan kematian si penderita.

Salah satu cara untuk memulihkan pecandu narkoba adalah dengan terapi, namun terapi terhadap kasus penyalahgunaan narkoba sering kali tidak membawa hasil. Kadang-kadang justru pasien yang diterapi kembali ke panti rehabilitasi dalam keadaan lebih parah. Seseorang yang sudah dinyatakan pulih seringkali kambuh karena terpengaruh dari lingkungan (Sasangka, 2003).


(52)

Thombs (dalam W.Amita, 2001) menyatakan bahwa seorang pecandu narkoba tidak mampu melewati stres dan tekanan atas simptom disfungsi otak seperti penurunan daya ingat, penurunan daya konsentrasi serta sugesti (physical

craving) yang dialaminya. Sebagian dari mereka juga sering merasa kesulitan

memaksimalkan perawatan yang mereka jalani dan merasa tidak yakin bahwa mereka dapat pulih dan terlepas dari ketergantungan narkoba yang ia alami.

Proses pemulihan pecandu narkoba bukanlah suatu proses yang singkat dan dapat dilakukan dengan mudah. Sebelum benar-benar dikatakan lepas dari narkoba maka dalam perjalanannya ada saat-saatnya pecandu relapse. Relapse adalah kembali pada perilaku sebelumnya, dalam hal ini menggunakan narkoba.

Relapse sangat tinggi kemungkinannya terjadi pada minggu atau bulan pertama

berhenti dari penggunaan narkoba (Sarafino, 2006).

Witkiewitz & Marlatt (dalam Sarafino, 2006) menyatakan beberapa hal yang menyebabkan pecandu relapse adalah self-efficacy rendah, reinforcement kenikmatan, craving yang tinggi (sugesti yang sangat kuat untuk selalu menggunakan), motivasi yang rendah, hubungan interpersonal yang tidak baik, emosi negatif dan koping yang buruk (Sarafino, 2006).

Russel et al., 2001 (dalam Sarafino, 2006) perbedaan dari pengguna yang dapat berhenti dan tidak dapat berhenti adalah mereka yang berhasil berhenti memiliki self-esteem yang lebih tinggi, memiliki pengalaman intoksikasi yang lebih sedikit, dan memiliki jaringan sosial yang sedikit dengan para pengguna.

Menurut World Health Organization (WHO) (dalam Konsensus, 2002), seseorang dikatakan pulih dari ketergantungan narkoba apabila sudah bebas atau


(53)

bersih dari narkoba selama minimal 2 (dua) tahun. Tidak semua pecandu narkoba berhasil pulih dan mendapat gelar menjadi mantan pecandu narkoba.

Pengguna narkoba harus berjuang keras untuk bisa tetap bertahan tidak menggunakan narkoba di tengah-tengah banyaknya godaan yang memicu mereka

relapse. Kemampuan seseorang untuk tetap berdiri teguh di tengah-tengah

banyaknya kesulitan yang dihadapinya ini disebut dengan resiliensi. Menurut Reivich dan Shatte (2002) resiliensi terdiri dari tujuh faktor yakni, regulasi emosi, pengendalian impuls, optimisme, empati, causal analysis, efikasi diri, dan

reaching out.

Faktor-faktor resiliensi ini sebenarnya dimiliki oleh setiap orang namun yang membedakan antara satu orang dengan yang lainnya adalah bagaimana orang tersebut mempergunakan dan memaksimalkan faktor-faktor dalam dirinya sehingga menjadi sebuah kemampuan yang menonjol (Reivich & Shatte, 2002).

Berdasarkan penelitian Reivich dan Shatte selama lima belas tahun di universitas Pennsylvania, faktor-faktor resiliensi dapat membantu pemulihan seseorang dari adiksi. Dengan adanya faktor-faktor resiliensi dalam diri seorang pecandu narkoba, maka hal ini akan membantu mereka untuk bertahan menghadapi kesulitan-kesulitan yang dialami, masa-masa krisis, dan mengatasi hal-hal yang dapat memicu stres pada saat dalam proses pemulihan. Selain itu juga memberikan kemampuan untuk bangkit lebih baik melebihi keadaan sebelumnya (Reivich dan Shatte, 2002).

Berdasarkan uraian di atas dinamika faktor-faktor resiliensi pada mantan pecandu narkoba.


(54)

D. Paradigma Penelitian

Ada Faktor-faktor yang membentuk

resiliensi

Tidak ada Faktor-faktor yang membentuk resiliensi Maintenance Maintenance Relapse

Tidak ada Faktor-faktor yang membentuk resiliensi Ada Faktor-faktor yang membentuk resiliensi Pasrah Ada niat berhenti Belum ada niat berheti Action Abstinensia Kecanduan psikologis Kecanduan fisik Merasa terikat pada

narkoba Faktor risiko

-faktor individu

-faktor lingkungan Coba-coba Penyalahgunaan

Kecanduan

= saling berhubungan


(55)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan unsur yang penting dalam suatu penelitian ilmiah, karena metode yang digunakan dalam penelitian dapat menentukan apakah penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan (Hadi, 2003). Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, yakni dinamika faktor-faktor resiliensi pada mantan pecandu narkoba.

A. Pendekatan Kualitatif

Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2005) mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Salah satu kekuatan dari pendekatan kualitatif adalah dapat memahami gejala sebagaimana subjek mengalaminya, sehingga dapat diperoleh gambaran yang sesuai dengan diri subjek dan bukan semata-mata penarikan kesimpulan sebab akibat yang dipaksakan.

Menurut Creswell (1994) penelitian kualitatif adalah suatu proses penelitian yang memungkinkan peneliti memahami permasalahan sosial atau individu secara lebih mendalam dan kompleks, memberikan gambaran secara holistik, yang disusun dengan kata-kata, mendapatkan kerincian informasi yang diperoleh dari informan dan berada dalam setting alamiah. Penelitian kualitatif dalam hal ini dipandang dapat menyampaikan dunia partisipan secara keseluruhan


(56)

dari perspektif subjek sendiri. Instrumen dalam mengumpulkan data adalah peneliti sendiri (Banister, 1994).

Menurut Patton (dalam Afiatin, 1997) metode kualitatif memungkinkan peneliti untuk meneliti isu terpilih, kasus-kasus atau kejadian secara mendalam dan detail, fakta berupa kumpulan data tidak di batasi oleh kategori yang ditetapkan sebelumnya. Selanjutnya dijelaskan bahwa kelebihan metode kualitatif adalah dengan prosedur yang khusus menghasilkan data detail yang kaya tentang sejumlah kecil orang dan kasus-kasus. Penelitian kualitatif juga menghasilkan data yang mendalam dan detail serta penggambaran yang hati-hati tentang situasi, kejadian-kejadian, orang-orang, interaksi dan perilaku teramati.

Berdasarkan hal di atas, pemilihan metode kualitatif menjadi metode dalam penelitian ini karena peneliti ingin melihat pengalaman subjektif mantan pecandu narkoba, sehingga hasil yang didapat dari penelitian ini dapat melihat dinamika faktor-faktor resiliensi pada mantan pecandu narkoba.

B. Metode Pengambilan Data

Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data melalui wawancara. Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu (Poerwandari, 2007). Menurut Banister dkk. (dalam Poerwandari, 2007) wawancara kualitatif dilakukan untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti, dan bermaksud mengadakan eksplorasi terhadap isu tersebut.


(57)

Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara semi terstruktur, yaitu wawancara dengan pertanyaan yang telah ditentukan dan berbentuk open-ended question (Gay & Airasian, 2003). Dalam penelitian ini, peneliti dilengkapi dengan pedoman wawancara yang bertujuan menjaga agar arah wawancara tetap sesuai dengan tujuan penelitian (Poerwandari, 2007). Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (in-depth interviewing) sebagai metode utama dan observasi pada saat wawancara dilakukan dengan alasan yang akan diuraikan selanjutnya.

Observasi dalam penelitian ini digunakan hanya sebagai alat tambahan yang dilakukan pada saat wawancara berlangsung untuk melihat reaksi partisipan, antara lain: ekspresi wajah, gerakan tubuh, intonasi suara, melihat bagaimana reaksi calon partisipan ketika peneliti meminta kesediaannya untuk diwawancara, bagaimana sikap partisipan terhadap peneliti, bagaimana sikap dan reaksi partisipan terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, bagaimana keadaan partisipan pada saat wawancara, hal-hal yang sering dilakukan partisipan dalam proses wawancara.

Patton (dalam Poerwandari, 2001) menegaskan bahwa observasi merupakan metode pengumpulan data esensial dalam penelitian, apalagi penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Tujuan observasi adalah mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam aktivitas, dan makna kejadian dilihat dari perspektif mereka yang terlibat dalam kejadian yang diamati tersebut. Deskripsi harus akurat, faktual sekaligus teliti tanpa harus dipenuhi berbagai hal yang tidak


(58)

relevan Hal yang sangat penting dalam melakukan observasi adalah peneliti melaporkan hasil observasinya secara deskriptif, tidak interpretatif. Pengamat tidak mencacat kesimpulan atau interpretasi, melainkan data konkrit berkenaan dengan fenomena yang diamati (Poerwandari, 2007).

C. Responden Penelitian 1. Karakteristik Responden

a. Dalam penelitian ini responden yang dipilih adalah mantan pecandu narkoba yang sudah berhenti lebih dari 2 tahun. Menurut WHO (World Health Organization) seseorang dapat dikatakan menjadi seorang mantan pecandu narkoba setelah berhenti menggunakan narkoba minimal 2 tahun (dalam Konsensus, 2002).

b. Untuk melihat faktor-faktor resiliensi dalam diri mantan pecandu narkoba maka peneliti memilih mantan pecandu narkoba dewasa awal yang berusia antara 25-50 tahun. Peneliti membuat batasan usia ini karena pada usia ini merupakan usia produktif dari seorang individu untuk bekerja, bebas dari tanggungan orang tua, bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri (Papalia, Wendkos, Duskin, 2007).

c. Sudah memiliki pekerjaan (sumber penghasilan).

2. Jumlah Responden

Menurut Patton (dalam Poerwandari, 2007), desain kualitatif memiliki sifat yang luwes, oleh sebab itu tidak ada aturan yang pasti mengenai jumlah sampel yang harus diambil dalam penelitian kualitatif. Jumlah sampel sangat


(59)

tergantung pada apa yang dianggap bermanfaat dan dapat dilakukan dengan waktu dan sumber daya yang tersedia. Prosedur penentuan responden atau sumber data dalam penelitian kualitatif umumnya menampilkan karakteristik sebagai berikut (Sarakantos, dalam Poerwandari, 2007) :

1. Diarahkan tidak pada jumlah sampel besar, melainkan pada kasus-kasus tipikal sesuai kekhususan masalah penelitian.

2. Tidak ditentukan secara kaku sejak awal, tetapi dapat berubah baik dalam hal jumlah maupun karakteristik sampelnya, sesuai dengan pemahaman konseptual yang berkembang dalam penelitian.

3. Tidak diarahkan pada keterwakilan arti jumlah atau peristiwa acak, melainkan kecocokan konteks.

Pada penelitian ini jumlah responden yang direncanakan adalah sebanyak dua orang mantan pecandu narkoba.

3. Prosedur Pengambilan Responden

Prosedur pengambilan sampel dalam penelitian ini berdasarkan konstruk operasional (theory-based/operational construct sampling). Sampel dipilih berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, berdasarkan teori atau konstruk operasional sesuai studi-studi sebelumnya, atau sesuai dengan tujuan penelitian (Patton, dalam Poerwandari, 2007). Prosedur pengambilan responden ini dilakukan agar responden benar-benar mewakili fenomena penelitian.

Peneliti mengenal kedua orang responden dalam penelitian ini sejak 6 bulan sebelum penelitian dilakukan. Pada waktu itu peneliti mendapatkan tugas


(60)

kuliah yang mengharuskan magang di sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). LSM tempat peneliti magang bergerak di bidang pengurangan dampak buruk narkoba sesuai dengan topik penelitian peneliti. Selama magang di LSM tersebut peneliti banyak belajar tentang dunia adiksi dan bagaimana kehidupan seseorang yang kecanduan narkoba.

Melihat dan mendengar sejarah kehidupan kedua calon responden, peneliti melihat kedua calon responden tersebut sesuai dengan karakteristik responden dalam penelitian ini. Kemudian peneliti menceritakan maksud dan tujuan peneliti dan penelitian ini. Akhirnya, kedua calon responden tersebut bersedia dijadikan responden dalam penelitian ini.

4. Lokasi penelitian

Penelitian ini dilakukan di Jl. Sei Asahan No.36 Tanjung Rejo, Medan. Pengambilan daerah penelitian tersebut dilakukan dengan alasan kemudahan untuk mendapatkan sampel penelitian, karena peneliti berdomisili di daerah tersebut.

D. Alat Bantu Pengumpulan Data

Pencatatan data selama penelitian penting sekali karena data dasar yang akan dianalisis berdasarkan kutipan hasil wawancara dan observasi sebagai pendukung. Oleh karena itu, pencatatan data harus dilakukan dengan cara yang sebaik dan setepat mungkin. Kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif cukup rumit, untuk itu diperlukan instrumen atau alat penelitian agar dapat membantu


(61)

peneliti dalam pengumpulan data (Moleong, 2005). Alat bantu yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Alat Perekam (Tape Recorder)

Alat perekam digunakan untuk memudahkan peneliti untuk mengulang kembali hasil wawancara yang telah dilakukan. Dengan adanya hasil rekaman wawancara tersebut akan memudahkan peneliti apabila ada kemungkinan data yang kurang jelas sehingga peneliti dapat bertanya kembali kepada responden. Penggunaan alat perekam ini dilakukan setelah memperoleh persetujuan dari responden. Selain itu penggunaan alat perekam memungkinkan peneliti untuk lebih berkonsentrasi pada apa yang akan dikatakan oleh subjek, alat perekam dapat merekam nuansa suara dan bunyi aspek-aspek wawancara seperti tertawa, desahan, sarkasme secara tajam (Padget, 1998).

b. Pedoman wawancara

Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) apakah aspek-aspek relevan tersebut telah dibahas atau dinyatakan (Poerwandari, 2001). Pedoman wawancara bertujuan agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian dan juga sebagai alat bantu untuk mengkategorisasikan jawaban sehingga memudahkan pada tahap analisa data nantinya.


(1)

PEDOMAN WAWANCARA

I. Data Diri Responden 1. Nama Responden 2. Usia Responden 3. Jenis Kelamin

4. Latar Belakang Pendidikan Responden 5. Riwayat pekerjaan responden

6. Status

7. Jenis Narkoba yang pernah digunakan 8. cara penggunaan narkoba

II. Riwayat Penggunaan Narkoba Responden 1. Kapan awal menggunakan narkoba

2. Alasan atau latar belakang menggunakan narkoba 3. Lama waktu menggunakan narkoba

III. Riwayat Usaha untuk Berhenti Menggunakan Narkoba 1. Apa yang dilakukan responden saat pertama kali sakau 2. Kapan pertama kali melakukan usaha untuk berhenti

3. Bagaimana proses dari usaha untuk berhenti sampai akhirnya berhenti menggunakan narkoba

IV. Faktor-faktor Pembentuk Resiliensi a. Regulasi Emosi

1. Bagaimana perasaan responden saat mengalami tekanan hidup (masalah keluarga/ekonomi/pekerjaan/hubungan sosial)

2. bagaimana hubungan responden dengan orang-orang di sekelilingnya (keluarga/tetangga/sahabat/rekan kerja, dll)

3. Kemana biasanya responden melampiaskan emosinya

4. apakah responden merupakan orang yang mampu mengekspresikan emosinya

a. Jika ya, bagaimana responden mengekspresikan emosinya b. Jika tidak, mengapa

5. bagaimana reaksi responden ketika tidak diterima kelompok karena tidak mau menggunakan narkoba lagi

b. Pengendalian Impuls

1. apa yang responden lakukan jika teringat pada kenikmatan melakukan ritual-ritual penggunaan narkoba


(2)

2. apa yang responden lakukan ketika timbul rasa ingin menikmati efek narkoba kembali

3. apa yang responden lakukan ketika melintasi atau berada di lingkungan tempatnya dahulu menggunakan narkoba

4. bagaimana tindakan responden ketika ada teman lamanya menawarkan kembali narkoba

5. bagaimana tindakan responden ketika teman lamanya membujuknya kembali untuk menggunakan narkoba

c. Optimisme

1. bagaimana responden memandang masa depannya sebagai seorang mantan pecandu narkoba

2. apakah responden yakin akan tetap dapat abstinensia atau tidak relaps kedepannya

3. apakah responden yakin akan bisa bekerja selayaknya orang normal lainnya

4. apakah responden yakin bisa menjadi orang yang sukses dengan latar belakang seorang pecandu narkoba

5. apakah responden yakin orang-orang di sekitarnya mau menerima kehadirannya

6. apa yang dilakukan responden jika ada yang menolak mereka karena latar belakang yang ia miliki sebagai seorang mantan pecandu narkoba

7. apakah responden tidak malu bersosialisasi di masyarakat dengan label seorang mantan pecandu narkoba

8. apakah responden memiliki harapan mengenai masa depannya 9. apa yang responden pikirkan ketika relaps pertama kali setelah

abstinensia d. Causal analysis

1. Bagaimana responden memandang setiap masalah yang dihadapinya 2. menurut responden, siapakah yang menyebabkan ia menjadi pecandu narkoba dahulunya

3. menurut responden, siapakah yang paling menentukan ia bisa lepas dari belenggu narkoba

4. menurut responden, siapakah yang harus bertanggung jawab jika ia relaps

5. bagaimana responden memandang mengenai sumber dari setiap masalah yang dialaminya


(3)

6. Sejauh mana responden memandang latar belakangnya sebagai pecandu narkoba mempengaruhi kehidupannya

7. Menurut responden, apakah kegagalan dalam satu hal berarti gagal dalam semuanya

8. bagaimana pendapat responden terhadap pernyataan “setiap masalah pasti ada solusinya”

e. Empati

1. Apa yang responden pikirkan mengenai orang tuanya pada saat ia menjadi pecandu narkoba

2. apa yang akan responden lakukan bagi para pecandu yang belum bisa pulih dari kecanduannya

3. menurut responden bagaimana pandangan masyarakat terhadap dirinya sewaktu masih menjadi pecandu narkoba

4. apa yang responden pikirkan ketika melihat temannya masih menggunakan narkoba

5. jika teman responden yang masih menjadi pecandu meminta pertolongan padanya apa yang akan responden lakukan

6. apa yang responden pikirkan mengenai orangtua yang ditinggalkan anaknya karena overdosis

7. bagaimana kira-kira perasaan orangtua melihat responden sewaktu masih menjadi pecandu narkoba

8. setelah menjadi mantan pecandu narkoba, menurut responden bagaimana pandangan orang lain mengenai latar belakangnya sevagai pecandu narkoba

9. bagaimana jika ada yang tidak menerima responden karena latar belakang yang ia miliki sebagai pecandu narkoba

f. Self-efficacy

1. bagaimana responden memandang dirinya 2. bagaimana responden menilai kemampuannya

3. ketika masih menjadi pecandu narkoba, apakah responden yakin bahwa ia dapat lepas dari narkoba

4. apakah responden yakin setelah menjadi mantan pecandu narkoba ia akan diterima oleh keluarga dan masyarakat dengan baik

5. apakah responden yakin bahwa ia dapat bekerja sebagaimana orang normal lainnya

6. apakah responden yakin dengan dirinya, bahwa ia akan dapat meraih kesuksesan


(4)

g. Reaching Out

1. apa yang responden pelajari dari kejatuhannya dalam penggunaan narkoba

2. apa yang responden harapkan didapatkannya dalam kehidupan ini 3. bagaimana kehidupan yang ingin diraih oleh responden setelah

lepas dari belenggu narkoba

4. bagaimana pandangan responden mengenai kegagalan-kegagalan yang pernah dialaminya

5. apakah responden termasuk orang yang mau mengambil risiko 6. apa harapan responden setelah pulih dari kecanduan narkoba

7. hal-hal apa saja yang ingin diraih oleh responden setelah pulih dari kecanduan narkoba


(5)

LEMBAR OBSERVASI

Responden penelitian : Tanggal/Hari wawancara : Wawancara ke :

Waktu wawancara : Hal-hal yang diobsevasi : 1. Penampilan fisik responden 2. Setting wawancara

3. Sikap responden terhadap pewawancara 4. Sikap responden selama wawancara 5. Ekspresi wajah responden

6. Hal-hal yang mengganggu wawancara:

7. Hal-hal yang unik, menarik, dan tidak biasa dalam wawancara 8. Hal-hal yang sering dilakukan participan dalam wawancara


(6)

SURAT PENYATAAN PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN PENELITIAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini Nama (Inisial) :

Jenis Kelamin :

Usia :

Alamat :

Menyatakan bahwa saya setuju untuk menjadi responden penelitian setelah mendapat penjelasan mengenai penelitian yang dilakukan. Saya memahami bahwa identitas responden terjamin kerahasiaannya dan informasi yang diperoleh hanya digunakan untuk kepentingan ini saja.

Medan, Februari 2011 Peneliti Yang menyatakan