BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Dinamika Postpurchase Dissonance Pada Wanita Dengan Tipe Kepribadian Introvert

  waktu perubahan yang luas terjadi dalam perilaku konsumen. Sebagai contohnya, lima puluh tahun yang lalu, konsumen memiliki pilihan merek yang jauh lebih sedikit dan pengaruh iklan yang diberikan juga lebih sedikit. Sebaliknya, saat ini akses komunikasi yang mudah memungkinkan mereka dapat lebih terhubung dan dengan mudah dapat mencari penawaran produk secara online, melihat promosi produk di beberapa media, dan memeriksa apa yang orang lain pikirkan mengenai merek tersebut dengan mencarinya dalam website atau dalam media sosial (Hoyer, Maclnnis & Pieters, 2008) Dalam perilaku konsumen, ditemukan beberapa tahapan proses pembelian.

  Tahapan tersebut, dikonseptualisasikan dalam model lima tahap proses membeli. Tahap pertama ialah tahap pengenalan masalah, timbulnya masalah dari dalam diri konsumen yang berupa kebutuhan. Kedua ialah tahap pencarian informasi, konsumen mencari informasi tentang objek yang bisa memenuhi keinginannya. Tahap ketiga adalah penilaian alternatif, digunakan untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai alternatif yang dihadapi serta daya tarik masing-masing alternatif. Tahap keempat merupakan keputusan membeli dan tahap terakhir ialah perilaku setelah pembelian, setelah melakukan pembelian konsumen akan merasakan kepuasan atau mungkin ketidakpuasan (Hawkins, Mothersbaugh, & Best, 2007).

  Penting bagi produsen untuk memperhatikan tindakan konsumen setelah melakukan pembelian, karena evaluasi negatif konsumen dapat berakibat buruk terhadap reputasi produk. Konsumen dalam memenuhi keinginannya mempunyai pengharapan agar bisa terpuaskan (Sunyoto, 2012).

  Dengan kata lain, tidak semua pembelian akan disusul oleh kepuasan dari konsumen. Terdapat beberapa pembelian yang mengundang ketidakpuasan konsumen, ketidakpuasan ini dapat diwujudkan dengan bentuk kecemasan psikologis atau disonansi kognitif atau disebut dengan postpurchase dissonance.

  Fenomena postpurchase dissonance diperlihatkan melalui potongan wawancara berikut dengan S (23 tahun) : “Iya aku pernah abis beli itu kayak gak puas.. ada rasa cemas apa yang aku beli ini benar-benar aku perluin… kalo udah ngerasain itu aku sering nanya-nanya sendiri dalam hati kenapa aku jadi beli ini ya .. padahal aku udah punya produk yang sama tapi modelnya aja beda..” (Wawancara personal April, 2013) Reaksi tersebut adalah reaksi konsumen setelah membuat keputusan yang sulit, keraguan dan kecemasan ini yang disebut postpurchase dissonance. Dalam buku consumers, Arnould, Prince serta Zinkhan (dalam Bowo, 2010) berpendapat bahwa disonansi kognitif adalah :

  

“that when a costumers beliefs and behavior don’t agree, in

procedures discomfort and the person is motivated to alter

something in order to bring them into digment”.

  Ketidaknyamanan yang dirasakan konsumen terjadi ketika kepercayaan konsumen tidak sejalan dengan perilakunya dan kemudian termotifasi untuk mengubah suatu agar dapat sejalan dengan harapannya.

  Simamora (2003) juga berpendapat bahwa atas produk yang dibelinya konsumen memiliki semacam keraguan (postpurchase dissonance). Keragu- raguan ini rendah jika banyak informasi yang dipakai dalam mengevaluasi, baik melalui pengalaman sendiri, pengalaman orang lain, maupun media massa.

  Kecemasan atau keraguan akan produk yang telah dibeli juga disebabkan oleh beberapa faktor. Hawkins, Mothersbaugh, & Best (2007) menyatakan bahwa salah satu faktor yang dapat mempengaruhi postpurchase dissonance adalah the

  

importance of the decision to the consumer yakni, semakin penting suatu

  keputusan dibuat oleh konsumen maka akan lebih besar kemungkinan mengalami

dissonance . Hal Ini tergantung pada prinsip kepentingan yang dimiliki konsumen.

  Bila kepentingannya adalah mengenai harga, semakin tinggi harga barang yang akan dibeli maka semakin penting tingkat keputusan yang akan diambil serta besar kemungkinan konsumen mengalami dissonance. Ini dapat diihat dari wawancara dengan N (21 tahun)

  “Jelaslah kalo misalnya aku beli barang yang agak mahal terus nyesel pasti aku lebih nyesek.. contohnya aja kayak aku beli HP kmaren, tapi kalo misalnya beli makanan biasa atau barang yang gak mahal-mahal kali paling nyeselnya bentar aja ..” (Wawancara personal Maret, 2013) Selain itu faktor pilihan akan alternatif yang banyak juga merupakan salah satu faktor penyebab postpurchase dissonance (Hawkins, Mothersbaugh, & Best,

  2007). Ini dapat terjadi pada saat membeli suatu produk yang memiliki banyak alternatif lainnya dimana masing-masing alternatif memiliki kelebihan ataupun kekurangan yang relatif sama. Begitu banyaknya pilihan alternatif yang ditawarkan pasar. Sebagai contoh, belakangan begitu banyak merek handphone yang ditawarkan pasar, dimana masing-masing merek sebenarnya memiliki kelebihan dan kekurangan yang relatif sama. Sulit dibandingkan mana yang seharusnya lebih diunggulkan dari yang lainnya. Misalnya saja pada pembelian

  

handphone dengan merek Blackberry atau I-phone seorang konsumen akan sangat

  sulit memilih dari salah satu dari kedua merek ini karena masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihan yang relatif sama. Semakin sulit keputusan itu dibuat, semakin besar pula kemungkinan dissonance yang dirasakan konsumen.

  Menurut Festinger (dalam Sweeney, Hausknecht, & Soutar, 2000)

  

cognitive dissonance merupakan suatu keadaan ketidaknyamanan psikologis yang

  mendorong seseorang untuk mengurangi keraguan (disonansi) atas keputusan yang telah terjadi. Disini Festinger (dalam Sweeney, Hausknecht, & Soutar, 2000) menyebutkan postpurchase dissonance dengan istilah cognitive dissonance. Sementara Loudon & Bitta (1993) menyatakan postpurchase dissonance merupakan hasil dari perbedaan keputusan konsumen dengan evaluasi sebelumya.

  Setelah pembelian dilakukan, konsumen mungkin akan menggunakan satu atau beberapa pendekatan untuk mengurangi dissonance yang dirasakannya (Hawkins, Mothersbaugh, & Best, 2007). Contohnya bila seseorang sudah membeli gadget dengan merek Samsung dan mengalami dissonance maka konsumen tersebut akan mencoba meningkatkan kesukaannya pada merek tersebut dibandingkan dengan merek Apple. Selain itu konsumen juga mengurangi rasa suka terhadap alternatif yang ditolak. Hal ini dapat dilihat dari pemaparan dalam wawancara singkat dengan S (23 tahun): “Siap dibeli enggakmau dipikirin kalila baju tadi.. walaupun itu bahannya lebih bagus, toh yang ini modelnya gak kalah cantik daripada yang tadi terus harganya juga lebih murah bisa dipake santai bisa dipake kerja kalo baju yang itukan kesannya formal kali.. ” (Wawancara personal April, 2013) Kecemasan dan keragu-raguan yang dirasakan tidak sama tingkatannya pada semua konsumen. Perbedaan ini dapat dihubungkan dengan kepribadian yang dimiliki masing-masing konsumen. Kepribadian merupakan faktor internal yang cukup berperan dalam kemunculan postpurchase dissonance yang dirasakan konsumen selain faktor eksternal (Kardes, 2002). Hawkins, Mothersbaught, dan Best (2007) berpendapat bahwa kepribadian merupakan kecenderungan respon karakteristik yang dimiliki individu dalam situasi serupa. Kepribadian mencakup kebiasaan-kebiasaan, sikap, dan ciri-ciri sifat dan watak yang khusus yang menentukan perbedaan perilaku dari tiap-tiap individu dan yang berkembang apabila orang tadi berhubungan dengan orang lain.

  Carl Jung merupakan salah satu tokoh yang menggolongkan kepribadian menjadi beberapa dimensi. Dua dimensi utama yang dikemukakannya adalah introvert dan ekstrovert. Menurut Jung (dalam Suryabrata, 1982) aktifitas psikis seseorang dapat mengarah keluar atau kedalam, demikian pula arah orientasi manusia. Apabila orientasi terhadap segala sesuatu ditentukan oleh faktor luar yang objektif, maka orang itu dikatakan ekstrovert. Sebaliknya orang yang mempunyai tipe orientasi ditentukan oleh faktor subjektif yakni faktor yang berasal dari batin sendiri, dikatakan dengan tipe orientasi introvert. Kedua sikap ini saling bertentangan, namun, salah satu cenderung menjadi dominan dan memerintah, sedangkan kepribadian yang lain cenderung ditekan dan tidak sadar.

  Introvert biasanya dijelaskan dengan istilah "penyendiri", "pendiam," "mandiri", "pribadi" yakni kata-kata yang menunjukkan parsimoni emosional dan pribadi yang sempit. Tetapi pada pria terkadang tipe kepribadian introvert diasumsikan sebagai pria yang tangguh dan kuat. Namun pada kalangan tertentu, terutama di Midwest, wanita tipe kepribadian introvert tampaknya kehilangan alternatif untuk terlihat lebih baik dan sering dianggap sebagai pemalu, suka menarik diri atau angkuh (Rauch, 2003).

  Selain itu, dalam melakukan pembelian juga, wanita berbeda dengan pria. Banyak penelitian yang telah membuktikan hal itu, contoh sederhana saja, wanita suka berlama-lama berbelanja hanya untuk mencari satu produk, sedangkan pria biasanya langsung pada tujuan produk yang akan dibeli dan tidak suka membuang waktu berlama-lama dalam belanja. Bakshi (2012) dalam penelitiannya juga mengatakan bahwa wanita dan pria berbeda dalam seluruh proses pembelian baik dari information search hingga postpurchase process. Hasilnya didapatkan bahwa disonansi ditemukan lebih besar pada wanita dari pada pria.

  Dari hasil penelitian Sitorus (2007) ditemukan bahwa tipe kepribadian introvert cenderung akan merasakan postpurchase yang lebih besar dari pada tipe kepribadian ekstrovert. Hal ini karena tipe kepribadian introvert cenderung untuk membuat keputusan yang voluntary (bebas), karena tipe kepribadian ini sangat berorientasi pada dirinya sendiri. Maka pengaruh kepribadian memiliki andil besar dalam keputusan pembelian.

  Engel, Blackwell dan Miniard (2004) menyatakan bahwa dalam pengambilan keputusan konsumen, terdapat beberapa tahapannya. Dalam tahap pencarian informasi, apabila konsumen tidak dapat menemukan solusi dari pencarian internal, maka ia kerap mencari sumber external. Dimana salah satunya ialah mencari opini dan sikap dari kelompok acuan seperti keluarga, teman, atau kenalan. Hal berbeda ditemukan dalam potongan wawancara bersama C (21 tahun) yang pernah mengikuti tes kepribadian Big five dengan hasil kepribadian introvert.

  “aku kalo beli sesuatu itu gak mikir-mikir panjang, enggak suka tanya sana-sini, jadi asal cocok dimata, keliatan lucu dan aku suka langsung beli aja gitu, waktu udah sampe rumah aku mikir sendiri kenapa aku beli ini ya” (Wawancara personal, Maret 2013) Dapat dilihat pada potongan wawancara diatas, bahwa pencarian infromasi yang melibatkan opini dan sikap dari sumber external tidak begitu disukai oleh konsumen wanita dengan tipe kepribadian introvert. Hal ini terkait dengan tipe kepribadian introvert yang mengakibatkannya cenderung berfokus pada inner-

  

self nya. Tipe kepribadian introvert akan mempengaruhi proses membeli, yang

mengakibatkannya cenderung merasakan disonansi.

  Tipe kepribadian Introvert dapat diketahui dengan menggunakan alat ukur untuk melihat tipe orientasi seseorang. Selain Bigfive, alat ukur lain yang dapat digunakan untuk melihat tipe kepribadian adalah MBTI. MBTI adalah psikotes yang dirancang untuk mengukur preferensi psikologis seseorang dalam melihat dunia dan keputusan. Psikotes ini dirancang untuk mengukur kecerdasan individu, bakat dan tipe kepribadian seseorang (Briggs & Myers, 1976). Dalam penelitian ini pengertian Introvert yang mangacu pada pengertian dari Jung mengarahkan peneliti untuk menggunakan tes MBTI (Myerss Briggs Type Indicator). Dengan alat ukur ini dapat diketahui sampel yang memiliki tipe kpribadian introvert, agar benar-benar diperoleh sampel yang sesuai dengan tujuan penelitian untuk melihat postpurchase dissonance pada wanita dengan tipe kepribadian introvert.

  Sweeney, Hausknecht dan Soutar (2000) menyatakan bahwa dissonance dapat diukur dengan tiga dimensi yaitu emotional yang berupa ketidaknyamanan psikologis yang dialami seseorang terhadap keputusan membeli. Kedua adalah

  

wisdom of purchase , yakni ketidaknyamanan yang dialami seseorang setelah

  transaksi pembelian. Mereka bertanya-tanya apakah mereka sangat membutuhkan produk tersebut atau apakah mereka telah memilih produk yang sesuai. Dan yang terakhir concern over deal yaitu ketidaknyamanan yang dialami seseorang setelah pembelian dimana mereka bertanya – tanya apakah telah dipengaruhi oleh tenaga penjual yang bertentangan dengan kemauan atau kepercayaan mereka. Dari ketiga dimensi, dua dimensi ditemukan pada C, seorang konsumen wanita dengan tipe kepribadian introvert yang menceritakan pengalamannya yang pernah membeli produk laptop bersama dengan ibunya.

  ”Kemaren aku beli laptop, sama mama.. mama bilang suruh beli merk lain .. aku bilang aku mau sama yang ini aja.. aku udah suka sama yang putih ini, menurutku lebih bagus lebih prestige aja.. tapi memang kayaknya kalo kualitas bagus yang dipilihkan mama.. lebih tahan lama.. kayaknya sih lebih bagusla.. tapi aku gak suka modelnya.. udah suka yang ini gimana ya.. yaudah terus aku bilang enggak.. aku mau yang ini aja ma.. (Wawancara personal, Mei 2014) Introvert adalah tipe kepribadian yang ditandai dengan ketertutupan yang berorientasi terhadap pengalaman subyektif, ia cenderung untuk berfokus pada batin, dunia pribadi di mana realitas direpresentasikan sebagaimana hal itu dirasakannya, introspektif, sibuk dengan sendiri, dan urusan internal mereka (Jung dalam Hall 1985). Pada kasus C, tipe kepribadianya cenderung menuntunnya untuk berorientasi pada pengalamannya sendiri, sehingga mengabaikan pendapat orang lain dan memenangkan keputusannya sendiri.

  ”Udah pas lah ya yang kubeli ini.. ragu-ragu sih.. dipikirin lagi belinya itu memang bukan karena modelnya ajakan atau takutnya malah sebaliknya.. tapi nguatkan dirinya gitu.. ah udah pas lah ini yang kubeli gitu-gitu haha.. soalnya itu seingatnya aku gak lama- lama kali mutusin itunya.. beli apa enggaknya gitu..” (Wawancara personal, Mei 2014) Dapat dilihat dalam potongan wawancara diatas C merasakan keragu- raguan setelah transaksi pembelian. Sehingga muncullah pertanyaan-pertanyaan mengenai keputusan yang telah diambilnya. Hal ini menggambarkan aspek

  

wisdom of purchase yang dirasakan C. Tidak berhenti sampai disitu, perasaan

  keragu-raguan C diiringi pula dengan kecemasan akan kualitas produk yang telah dibelinya.

  ”.. Ini bener gak ya yang aku beli.. ada rasa-rasa insecure sama yang aku beli ini.. udah pas gak ya.. pas liat yang lain aku takut- takut kalo yang kubeli ini punya kualitas yang.. rendah gitu soalnya gak begitu ngerti juga” (Wawancara personal, Mei 2014) Saat seseorang merasakan keadaan yang tidak nyaman secara psikologis setelah membeli suatu produk yang dirasakan sebagai produk yang penting bagi dirinya, maka dapat dikatakan orang tersebut mengalami postpurchase dissonance (Sweeney, Hausknecht, and Soutar, 2000). Keadaan yang dipaparkan C merupakan kecemasan yang memicu dimensi emotional yang dirasakan C setelah melakukan pembelian.

  Kejadian yang mirip juga terjadi pada FR. FR merupakan salah seorang konsumen wanita dengan tipe kepribadian introvert. Sebelumnya FR diberikan alat ukur MBTI dengan hasil INFJ yang berarti ia tergolong tipe kepribadian introvert dengan tingkat moderate. FR menceritakan mengenai pengalamannya dalam membeli produk sepatu croccs. Dalam melakukan pembelian FR mempercayai evaluasi produk yang dibuatnya sendiri dan mengabaikan saran yang diberikan oleh teman belanjanya.

  ”.. kata mama udah beli yang nomer 8 aja biasanya juga beli kan nomer 8 .. kekgitu terus aku bilang tapi yang 8 kegedean aku gak suka pake sepatu yang gede-gede lebih .. terus mama bilangkan kak itu kekecilan lo.. Terus kubilang alah sepatu-sepatu kekgini paling kalo keseringan gede sendiri nanti dia.. (Wawancara personal, Maret 2014) Dari potongan wawancara diatas dapat dilihat beberapa ciri-ciri kepribadian introvert yang dikemukakan oleh Jung (dalam Schultz & Schultz,

  1994) yakni tipe kepribadian introvert merupakan individu yang cenderung berpusat pada diri mereka sendiri, terdapat pada FR. Hal ini membuat FR lebih mempercayai dirinya sendiri dan cenderung membuat keputusan yang bebas (mandiri). Namun setelah pembelian dilakukan FR merasa cemas dan ragu. Ia mulai mengevaluasi kembali keputusan membelinya dan bertanya-tanya apakah sudah membeli produk yang tepat.

  ”terus pas pulang.. Waktu dijalan itu sedikit sedikit aku liatin kotaknya.. cobak lagi liat kotaknya coba lagi.. kubilang sama mama ah bisanya itu ma.. padahal dalem hati aduh ini nomornya udah sesuai gak ya sama aku.. gimana ya.. gimana ya..” (Wawancara personal, Maret, 2014)

  Kecemasan dan keraguan yang dirasakan FR merupakan bentuk

  

postpurchase dissonance sesuai pengertian Hawkins, Mothersbaugh & Best

  (2007). Setelah pembelian, tipe kepribadian introvert juga berperan dalam munculnya postpurchase dissonance. Tipe kepribadian introvert memiliki kecenderungan akan keberfokusan pada batin serta menjadi introspektif (Jung dalam Hall, 1985). Hal ini membuat FR menyimpan sendiri dilema yang dialaminya pasca pembelian, sehingga berkontribusi menambah kecemasan (emotional) yang dirasakannya.

  Selain FR, RP juga merupakan salah seorang responden yang menggunakan MBTI sebagai alat ukur untuk melihat orientasi kepribadiannya.

  Hasil MBTI yang didapatkan RP adalah INFJ yang berarti ia termasuk dalam tipe kepribadian introvert. Namun tidak seperti FR, RP mendapatkan hasil introvert dalam tingkat slight (ringan). RP merasakan postpurchase dissonance pada pembelian handphone. Sebelum memutuskan membeli, RP mencari informasi mengenai produk dari berbagai media yaitu internet, dan beberapa kali juga bertanya pada orang lain yang sudah memiliki pengalaman terhadap produk yang ingin dibelinya. Namun saat produk yang diinginkan RP tidak tersedia, ia memutuskan untuk membeli produk yang lain. Hal ini mengakibatkan RP tidak begitu mengetahui produk baru yang akan dibelinya.

  ”Alhasil sony gaada, samsung juga barangnya mengecewakan. Disitu aku udah bingung.. yah udah gajadi beli nih kayaknya.. padahal nyarinya udah capek dari pagi sampe sore. Aku sempet duduk diem mikir, yaudah deh belinya yang lain aja selain yang dari awal diincar (Wawancara personal, Desember 2013)

  Setelah membeli, RP tidak dapat berhenti memikirkan pembelian yang baru saja dilakukannya. RP merasa ragu terhadap produk yang dipilihnya sebab ia belum begitu mengenal produk tersebut. Akibatnya RP menghindari toko yang menjual produk handphone untuk mengurangi pengalaman dissonance yang dirasakannya setelah membeli.

  ”Kupikirin aja sih kak, kayak orang… kata kakakku ”kau kok stress kali dari tadi kenapa kau salah beli ya yang tadi” terus besoknya aku ke toko-toko lagi aku jadi melewatkan toko handphone kak hhaha biar gak ngeliat lagi..” (Wawancara personal, Desember 2013) Pada beberapa konsumen dissonance dirasakan sangat besar dan mengganggu. Namun terdapat beberapa konsumen yang tidak terlalu merasakan

  

dissonance . Ini terbukti dari hasil wawancara dengan F (21 tahun). Hal berbeda

  ditunjukkan dari wawancara ini, meski dalam tes kepribadian Big Five ia termasuk wanita berkepribadian introvert dan mengalami postpurchase

  dissonance , namun ia tidak terlalu merasakan sesuatu yang mengganggu,

  “Sebenarnya enggak gimana-gimana kali, tapi yah paling ada kepikiran bentar aja apa yang dibeli ini udah tepat apa gimana, apa mestinya beli yang gede aja.. abis itu udah biasa-biasa aja gakmau dipikirin kali” (Wawancara personal, Maret 2013 ) F tidak terlalu merasakan kecemasan meski ia kurang puas dengan pembelian yang dilakukannya. Sangat menarik melihat bagaimana perilaku konsumen dengan kepribadian introvert dapat sangat mempengaruhi proses pembelian hingga mengakibatkan pospurchase dissonance.

  Kepribadian introvert pada wanita mengakibatnya cenderung merasakan

  

postpurchase dissonance yang lebih besar dari pada tipe kepribadian lain. Selain itu faktor gender “feminism” dari wanita juga mendukung disonansi yang terjadi pada mereka (Bakshi, 2012). Hal ini sangat tidak menguntungkan bagi para produsen karena disonansi yang terjadi akan mengakibatkan konsumen memberi evaluasi negatif terhadap produk. Maka penting untuk marketers mengetahui bagaimana pengalaman seorang wanita introvert hingga merasakan postpurchase dissonance .

  Untuk hal itu kita harus mengetahui proses pembelian yang dilakukan wanita introvert terlebih dahulu hingga ia mengalami postpurchase dissonance.

  Disonansi yang dirasakan konsumen sangat beragam karena pada saat proses pembuatan keputusan dalam membeli berbeda-beda. Oleh karena itu penelitian yang dilakukan akan menggunakan pendekatan kualitatif agar dapat memahami proses pembuatan keputusan oleh wanita dengan kepribadian introvert, hingga ia mengalami postpurchase dissonance sebagaimana individu yang mengalaminya, sehingga dapat diperoleh gambaran yang sesuai dengan diri individu dan bukan semata-mata penarikan kesimpulan sebab akibat yang dipaksakan (Bogdan & Taylor, dalam Moloeng, 2005). Selain itu penelitian sebelumnya telah mendukung gagasan bahwa tipe kepribadian introvert cenderung merasakan disonansi yang lebih besar. Oleh karena itu, bagaimana dinamika postpurchase dissonance yang dialami oleh wanita dengan tipe kepribadian introvert, cukup penting untuk ditelusuri secara kualitatif.

  Berdasarkan asumsi diatas peneliti tertarik untuk melihat dinamika mengenai postpurhase dissonance pada konsumen wanita dengan tipe kepribadian introvert.

  B. Pertanyaan Penelitian

  Bagaimana gambaran postpurchase dissonance pada konsumen wanita dengan tipe kepribadian introvert?

  C. Tujuan Penelitian

  Mengetahui bagaimana gambaran postpurchase dissonance pada seorang wanita dengan tipe kepribadian introvert.

  D. Manfaat Penelitian

  Ada dua manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini, yaitu :

  D.1. Manfaat teoritis

  Dapat memberikan masukan dan sumber informasi bagi disiplin ilmu psikologi terutama pada bidang psikologi industri dan organisasi, tentang Dinamika

  postpurhase dissonance pada konsumen dengan tipe kepribadian introvert.

  D.2. Manfaat praktis a.

  Menjadi sumber informasi bagi pembaca agar dapat menangani permasalahan yang terjadi pada wilayah marketing khususnya pada perilaku konsumen setelah pembelian b. Sebagai sumber informasi bagi konsumen khususnya wanita dengan tipe kepribadian introvert, agar dapat lebih memahami proses yang terjadi dalam pembelian sehingga dapat mengurangi kecenderungan mengalami

  postpurchase dissonance .

  c.

  Sebagai rujukan bagi marketers agar lebih memahami proses pembelian yang dilakukan oleh wanita introvert hingga mengalami postpurchase dissonance.

  Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah :

  BAB I : Pendahuluan berisi tentang uraian singkat mengenai latar belakang masalah, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, dan sistematika penelitian.

  BAB II : Landasan teori berisi landasan teoritis yang bersumber dari literatur dan pendapat para ahli/pakar yang dapat digunakan sebagai landasan berpikir dalam pembahasan penelitian ini.

  BAB III : Metode penelitian menjelaskan mengenai metode penelitian kualitatif, responden penelitian, metode pengambilan data, alat bantu pengumpulan data, kredibilitas dan validitas penelitian, dan prosedur penelitian.

  Analisa Data dan Pembahasan berisi pendeskripsian data responden,

  BAB IV :

  analisa dan interpretasi data yang dperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan dan pembahasan data-data penelitian sesuai dengan teori yang relevan.

  BAB V : Kesimpulan, dan Saran yang menjelaskan kesimpulan dari penelitian

ini, serta saran-saran yang dianjurkan mengenai penelitian ini.