BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lama Hari Rawat - BAB 2.pdf

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lama Hari Rawat

  Lama hari rawat merupakan salah satu unsur atau aspek asuhan dan pelayanan di rumah sakit yang dapat dinilai atau diukur. Bila seseorang dirawat di rumah sakit, maka yang diharapkan tentunya ada perubahan akan derajat kesehatannya. Bila yang diharapkan oleh tenaga medis maupun oleh penderita itu sudah tercapai maka tentunya tidak ada seorang pun yang ingin berlama-lama di rumah sakit. Lama dirawat dihitung dari tanggal pertama pasien tersebut masuk ruang perawatan sampai tanggal pasien tersebut check out atau keluar (Indradi, 2007).

  Lama hari rawat berhubungan erat dengan mutu dan efisiensi rumah sakit, sehingga sangat berdampak dan berpangaruh pada jumlah pengeluaran biaya oleh keluarga pasien, beban kerja Rumah Sakit, dan tim kesehatan di Rumah Sakit. Lama hari rawat pasien merupakan salah satu indikator mutu pelayanan Rumah Sakit. Lama hari rawat dapat menggambarkan kondisi penyakit pasien selama menjalani perawatan dan menggambarkan efektifitas pelayanan, pengobatan dan kinerja pelayanan Rumah Sakit (Heryati, 1993 dalam Suheri, 2009).

  Departemen Kesehatan (Depkes) (2005), menyatakan lama hari rawat adalah jumlah hari di antara tanggal masuk dan tanggal keluar dari rumah sakit dari seorang pasien, dengan menghitung tanggal masuk dan tidak dihitung tanggal keluar. Lama hari rawat dapat dihitung dengan mengurangi tanggal pasien tersebut keluar dengan tanggal pasien itu masuk bila ada pada periode atau bulan yang sama, misalnya masuk tanggal 5 Mei dan keluar pada tanggal 8 Mei, maka lama hari rawat adalah (8-5) atau 3 hari. Apabila tidak pada bulan yang sama, maka perlu adanya penyesuaian, misalnya masuk tanggal 28 Mei

  (Mei) ditambah 6 (Juni) menjadi 9 hari. Apabila pasien masuk dan keluar pada hari yang sama, maka lama hari rawatnya adalah 1 hari.

  Lama hari rawat merupakan selisih dari tanggal terakhir pasien dirawat dan tanggal pasien masuk ruang perawatan. Lama hari rawat merupakan rentang waktu sejak pasien masuk perawatan hingga keluar dari Rumah Sakit. Rata- rata lama hari rawat merupakan akumulasi hari perawatan masing-masing pasien (hidup dan mati) dibagi jumlah pasien keluar (hidup dan mati). Lama hari rawat adalah rentang atau periode waktu sejak pasien diterima masuk ke Rumah Sakit hingga berakhirnya proses pengobatan secara administratif oleh suatu sebab tertentu. Berakhirnya proses perawatan pasien dapat terjadi karena dinyatakan sembuh, meninggal dunia, dirujuk atau alih rawat ke Rumah Sakit lain atau pulang paksa. Lama hari rawat pasien merupakan jumlah akumulasi lamanya pasien menjalani perawatan di Rumah Sakit (Indradi, 2007). Lama hari rawat adalah rata-rata hari perawatan di Rumah Sakit yang diterima oleh seorang pasien yang sudah memutuskan untuk pulang dalam satu jangka waktu. Rata-rata lama hari rawat merupakan indikator untuk menggambarkan tingkat efisiensi dan mutu pelayanan dan apabila diterapkan pada diagnosis tertentu dapat dijadikan sesuatu hal yang perlu pengamatan yang lebih lanjut. Secara umum nilai rata-rata lama hari rawat pasien yang ideal adalah antara 6-9 hari (Depkes, 2005). Nursalam (2011), menyatakan rata-rata lama hari rawat pasien secara umum adalah 7 sampai 10 hari. Beberapa faktor yang mempengaruhi lama hari rawat yaitu umur pasien, perawatan sebelumnya, alasan pemulangan, jenis penyakit pasien dan komplikasi yang menyertainya juga dapat mempengaruhi lamanya hari rawat contohnya pasien dengan penyakit kronik (Suheri, 2009). Yusuf (2011), menyatakan bahwa penyakit primer yang disertai dekubitus

  Lama hari rawat pada pasien tertentu yang membutuhkan perawatan khusus dan perawatan lama seperti pasien stroke, koma, dan pasien dengan imobilisasi fisik bisa sampai lebih dari 1 minggu. Dewi (2011), menyatakan bahwa pasien gangguan neurologi dengan perawatan tirah baring yang lama beresiko tinggi mengalami dekubitus. Suheri (2009), menyatakan pasien gangguan neurologi, berpenyakit kronik dalam waktu lama, penurunan kesadaran dan dirawat di ICU berpotensi tinggi mengalami luka dekubitus. Pasien stroke dengan gangguan mobilisasi fisik (kelemahan fisik dan lumpuh) dan tirah baring lebih dari 1 minggu beresiko tinggi terjadinya dekubitus (Potter dan Perry, 2010).

2.2 Dekubitus

  2.2.1 Pengertian dekubitus Dekubitus adalah kerusakan kulit akibat kekurangan aliran darah dan iritasi pada kulit yang ditimbulkan karena tekanan yang kuat oleh berat badan pada tempat tidur. Dekubitus merupakan nekrosis jaringan lokal yang cenderung terjadi ketika jaringan lunak tertekan di antara tonjolan tulang dengan permukaan eksternal dalam jangka waktu lama akibat imobilisasi fisik. Morison (2003), mendefinisikan dekubitus sebagai suatu daerah kerusakan seluler yang terlokalisasi, baik akibat tekanan langsung pada kulit, sehingga menyebabkan iskemia tekanan maupun akibat kekuatan gesekan sehingga menyebabkan stres mekanik terhadap jaringan.

  2.2.2 Penyebab dan faktor resiko terjadinya dekubitus dekubitus Hampir semua dekubitus terutama disebabkan oleh tekanan yang terus menerus dalam jangka waktu lama dan biasanya terjadi pada pasien yang mengalami imobilisasi, kelemahan atau kelumpuhan fisik berada dalam posisi setengah telentang atau pada pasien-pasien yang menjalani perawatan tirah baring di tempat tidur. Menurut Suriadi (2004), faktor ekstrinsik yaitu faktor penyebab yang berasal dari luar tubuh pasien dan faktor intrinsik yaitu faktor penyebab yang berasal dari tubuh pasien.

  2.2.2.1 Faktor ekstrinsik a.

  Tekanan Faktor tekanan, terutama sekali bila tekanan tersebut terjadi dalam jangka waktu lama yang menyebabkan jaringan menjadi iskemik akibat terhambatnya aliran darah dan akhirnya berkembang menjadi nekrosis atau kematian kulit dan jaringan.

  b.

  Pergesekan dan pergeseran Gaya gesekan adalah sebagai faktor yang menimbulkan luka iskemik, hal ini biasanya akan terjadi apabila pasien diatas tempat tidur kemudian sering merosot, dan kulit sering kali mengalami regangan dan tekanan yang mengakibatkan terjadinya iskemik pada jaringan.

  c.

  Kelembaban Kondisi kulit pada pasien yang sering mengalami lembab akan mengkontribusi kulit menjadi maserasi kemudian dengan adanya gesekan dan pergeseran, memudahkan kulit mengalami kerusakan. Kelembaban ini dapat akibat dari

  incontinensia, drain luka, banyak keringat dan lainnya.

  2.2.2.2 Faktor intrinsik a.

  Usia Usia seseorang juga dapat mempengaruhi terjadinya luka dekubitus. Pada pasien usia lanjut mudah sekali untuk terjadinya luka dekubitus, hal ini karena pada usia lanjut terjadi perubahan kualitas kulit dimana adanya penurunan elastisitas, menipisnya jaringan epidermis, kurangnya sirkulasi pada dermis serta berkurangnya lemak pada b.

  Temperatur Kondisi tubuh yang mengalami peningkatan temperatur akan berpangaruh pada temperatur jaringan. Setiap terjadinya peningkatan metabolism akan meningkatkan 1 derajat Celsius dalam temperature jaringan. Dengan adanya peningkatan temperature ini akan beresiko terhadap iskemik jaringan. Selain itu dengan menurunnya elastisitas kulit, akan tidak toleran terhadap adanya gaya gesekan dan pergeseran sehingga akan mudah mengalami kerusakan kulit.

  c.

  Nutrisi Nutrisi merupakan faktor yang dapat mengkontribusi terjadinya luka dekubitus. Nutrisi buruk juga mengganggu keseimbangan cairan dan elektrolit. Pada pasien yang mengalami kehilangan protein berat, hipoalbuminimea menyebabkan perpindahan volume cairan ekstrasel kedalam jaringan sehingga terjadi edema. Edema dapat meningkatkan resiko terjadi dekubitus di jaringan. Suplai darah pada suplai jaringan edema menurun dan produk sisa tetap tinggal karena terdapatnya perubahan tekanan pada sirkulasi dan dasar kapiler (Shkleton & litwalk, 1991 dalam Potter & Perry, 2010).

  Terbentuknya luka dekubitus juga dipengaruhi oleh banyak faktor, tetapi tekanan yang menyebabkan iskemik adalah penyebab utama. Setiap jaringan mempunyai kemampuan untuk mengatasi terjadinya iskemik akibat tekanan, tetapi tekanan yang lama dan melewati batas pengisian kapiler akan menyebakan kerusakan jaringan yang menetap. Penyebab luka dekubitus lainnya adalah kurangnya mobilitas atau imobilisasi, kontraktur, spastisitas, berkurangnya fungsi sensorik, infeksi bakteri. Selain itu, usia yang tua, perawatan di Rumah Sakit yang lama, inkontinesia urin dan alvi, merokok, penurunan kesadaran mental dan penyakit lain (seperti diabetes melitus dan gangguan vaskuler) akan mempermudah terjadinya luka dekubitus (Morison, 2003). Perawatan di Rumah Sakit yang lama biasanya dihubungkan dengan pasien-pasien imobilisasi dan pasien yang memerlukan perawatan tirah baring yang lama seperti pasien dengan penurunan kesadaran dan pasien dengan keterbatasan aktifitas. Pasien dengan kelemahan fisik dan penurunan kesadaran akan menjalani perawatan tirah baring yang lama. Pasien dengan penurunan kesadaran akan menjalani perawatan intensif di ruang ICU. Lamanya perawatan pasien tersebut tergantung kondisi dan jenis penyakit yan diderita pasien. Penelitian Suheri (2009), menyatakan pasien dengan hari perawatan yang lama mempunyai resiko tinggi mengalami dekubitus.

  Dekubitus dapat terjadi pada pasien dengan gangguan mobilitas seperti stroke, fraktur tulang belakang atau penyakit degenerative. Dekubitus juga dapat terjadi pada pasien dengan gangguan neurologis karena imobilisasi yang lama, dan berkurangnya kemampuan sensorik. William (2010), menyatakan kondisi pasien yang beresiko tinggi mengalami luka dekubitus diantaranya:

  2.2.2.1 Pasien yang tidak dapat bergerak (misalnya lumpuh, sangat lemah, dipasung).

  2.2.2.2 Pasien yang tidak mampu merasakan nyeri, karena nyeri merupakan suatu tanda yang secara normal mendorong seseorang untuk bergerak.

  2.2.2.3 Pasien dengan kerusakan saraf (misalnya akibat cedera, stroke, diabetes), penurunan kesadaran dan koma bisa menyebabkan

  2.2.2.4 Pasien yang mengalami kekurangan gizi (malnutrisi) tidak memiliki lapisan lemak sebagai pelindung dan kulitnya tidak mengalami pemulihan sempurna karena kekurangan zat-zat gizi yang penting.

  2.2.2.5 Gesekan dan kerusakan lainnya pada lapisan kulit pasien paling luar bisa menyebabkan terbentuknya ulkus.

  2.2.2.6 Baju pasien yang terlalu besar atau terlalu kecil, kerutan pada seprei atau sepatu yang bergesekan dengan kulit bisa menyebabkan cedera pada kulit.

  2.2.2.7 Pemaparan pada pasien oleh kelembaban dalam jangka panjang (karena berkeringat, air kemih atau tinja) bisa merusak permukaan kulit dan memungkinkan terjadinya dekubitus. Gangguan intregitas kulit yang terjadi pada dekubitus merupakan akibat tekanan, tetapi ada faktor-faktor tambahan yang dapat meningkatkan resiko terjadi luka dekubitus yang lebih lanjut pada pasien. Menurut Potter & Perry (2010), ada 10 faktor predisposisi atau faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan luka dekubitus di antaranya gaya gesek, friksi, kelembaban, nutrisi buruk, anemia, infeksi, demam, gangguan sirkulasi perifer, obsitas, kekeksia, dan usia.

2.2.2.1 Gaya gesek

  Gaya gesek merupakan tekanan yang diberikan pada kulit dengan arah pararel terhadap permukaan tubuh. Jika terdapat gaya gesek maka kulit dan lapisan subkutan menempel pada permukaan tempat tidur, dan lapisan otot serta tulang bergeser sesuai dengan arah gerakan tubuh. Tulang pasien bergeser ke arah kulit dan memberi gaya pada kulit. Kapiler jaringan yang berada di bawahnya tertekan dan terbeban oleh tekanan tersebut. Akibatnya, tak lama setelah itu akan terjadi gangguan mikrosirkulasi lokal kemudian menyebabkan hipoksi,

  2.2.2.2 Friksi Friksi merupakan gaya mekanika yang diberikan saat kulit digeser pada permukaan kasar seperti alat tenun tempat tidur.

  Tidak seperti cedera akibat gaya gesek, cedera akibat friksi mempengaruhi epidermis atau lapisan kulit bagian atas, yang terkelupas ketika pasien mengubah posisinya. Seringkali terlihat cedera abrasi pada siku atau tumit. Karena cara terjadinya luka seperti ini, maka perawat sering menyebut luka bakar seprei

  “sheet burns”. Cedera ini dapat terjadi pada

  pasien gelisah, pasien yang gerakannya tidak terkontrol seperti kondisi kejang.

  2.2.2.3 Kelembaban Kelembaban kulit yang berlebihan umumnya disebabkan oleh keringat, urine, feces atau drainase luka. Penyebab menurunnya toleransi jaringan paling sering adalah kelembaban oleh urine dan feses pada pasien inkontinensia.

  Urine dan feses bersifat iritatif pada kulit sehingga mudah menyebabkan kerusakan jaringan, jika dikombinasi dengan tekanan dan faktor lain maka kondisi kelembaban yang berlebihan mempercepat terbentuknya luka dekubitus.

  2.2.2.4 Nutrisi buruk Pasien kurang nutrisi sering mengalami atrofi otot dan penurunan jaringan subkutan yang serius dan akibatnya jaringan yang berfungsi sebagai bantalan diantara kulit dan tulang menjadi semakin sedikit, oleh karena itu efek tekanan meningkat pada jaringan tersebut. Pasien dengan status nutrisi yang buruk biasanya akan mengalami hipoalbuminenia dan level albumin rendah dihubungkan dengan lambatnya penyembuhan luka. Nutrisi buruk juga dapat mengganggu keseimbangan cairan dan elektrolit. Pada pasien yang perpindahan volume cairan ekstra sel kedalam jaringan sehingga terjadi edema. Edema jaringan dapat meningkatkan resiko terjadinya dekubitus terutama di tempat dimana bagian tubuh yang sering mengalami terjadinya dekubitus.

  2.2.2.5 Anemia Penurunan level hemoglobin mengurangi kapasitas darah membawa nutrisi dan oksigen serta mengurangi jumlah oksigen yang tersedia untuk jaringan sehingga jaringan yang sebelumnya sudah kekurangan oksigen akibat tekanan akan lebih cepat terjadinya iskemi jaringan.

  2.2.2.6 Kakesia Kakesia merupakan penyakit kesehatan dan malnutrisi umum yang ditandai kelemahan dan kurus. Kakeksia biasanya berhubungan dengan penyakit yang berat seperti kanker dan penyakit kardiopulmonal tahap akhir. Pada dasarnya pasien kakeksia mengalami kehilangan jaringan adipose yang berguna untuk melindungi tonjolan tulang dari tekanan.

  2.2.2.7 Obesitas Jaringan adipose pada jumlah kecil berguna sebagai bantalan tonjolan tulang sehingga dapat melindungi kulit dari tekanan.Pada obesitas sedang ke berat, jaringan adipose memperoleh vaskularisasi yang buruk, sehingga jaringan adipose dan jaringan lain yang berada dibawahnya semakin rentan mengalami kerusakan akibat iskemi yang disebabkan oleh tekanan yang lama.

  2.2.2.8 Demam Infeksi disebabkan adanya patogen didalam tubuh dan pasien infeksi biasa mengalami demam. Infeksi dan demam meningkatkan kebutuhan metabolik tubuh. Metabolik dalam tubuh meningkatkan kebutuhan oksigen dan membuat jaringan iskemi. Selain itu demam menyebabkan diaporesis (keringatan) dan meningkatkan kelembaban kulit.

  2.2.2.9 Gangguan sirkulasi perifer Penurunan sirkulasi menyebabkan jaringan hipoksia, oksigen dijaringan akan kurang dan lebih rentan mengalami kerusakan iskemia. Ganguan sirkulasi terutama terdapat pada pasien- pasien yang menderita penyakit vaskuler, pasien syok, atau yang mendapatkan pengobatan sejenis vasopresor.

  2.2.2.10 Usia Lansia, bayi dan neonatal adalah kelompok umur yang beresiko tinggi terhadap kejadian dekubitus. Usia lanjut dihubungkan dengan perubahan-perubahan seperti menipisnya kulit, berkurangnya elastisitas kulit, kehilangan jaringan lemak subkutan yang berfungsi sebagai bantalan tulang, dan menurunnya fungsi persepsi sensori terhadap rangsangan nyeri. Kondisi tersebut mengakibatkan berkurangnya kemampuan jaringan lunak untuk mendistribusikan beban mekanis yang timbul akibat tekanan. Kombinasi perubahan karena proses menua dan faktor lain seperti nutrisi yang buruk menyebabkan kulit mudah rusak jika mengalami tekanan. Kejadian dekubitus 60-90% dialami oleh pasien usia 65 tahun

  Boynton et al,1999 dalam keatas ( Potter & Perry, 2010).

  Struktur kulit bayi dan neonatal yang lebih renggang dan tipis serta zat imunitas pada kulit belum kuat menyebabkan kulitnya sangat rentan terhadap iritasi, infeksi dan alergi.

  2.2.3 Patofisiologi dekubitus Luka dekubitus merupakan dampak dari tekanan yang terlalu lama pada area permukaan tulang yang menonjol dan mengakibakan berkurangnya sirkulasi darah pada area yang tertekan dan lama kelamaan jaringan nekrosis. Tekanan yang normal pada kapiler adalah 32 mmHg. Apabila tekanan kapiler melebihi dari tekanan darah dan struktur pembuluh darah pada kulit, maka akan terjadi kolaps. Terjadinya kolaps akan menghalangi oksigenisasi dan nutrisi ke jaringan, selain itu area yang tertekan menyebabkan terhambatnya aliran darah. Adanya peningkatan tekanan arteri kapiler maka akan terjadi perpindahan cairan ke kapiler, ini akan menyokong untuk terjadi edema dan konsekuensinya terjadi autolysis. Hal lain juga bahwa aliran limpatik menurun, ini juga menyokong terjadinya edema dan mengkontribusi untuk terjadi nekrosis pada jaringan.

2.2.3 Manifestasi klinis dekubitus

  National Pressure Ulcer Advisory Panel (NPUAP) dalam Blaney

  (2010), membagi manifestasi klinis luka dekubitus menjadi empat derajat dengan karakteristik perubahan pada kulit dan jaringan sebagai berikut :

  2.2.4.1 Derajat 1 Kulit berwarna kemerahan, pucat pada kulit putih, biru, merah atau ungu pada kulit hitam. Bila ditekan dengan jari, tanda kemerahan tersebut tidak kembali putih. Temperatur kulit berubah hangat atau dingin, bentuk perubahan menetap dan ada sensasi gatal atau nyeri.

  2.2.4.2 Derajat 2 Hilangnya sebagian lapisan kulit namun tidak lebih dalam dari dermis, terjadi abrasi, lepuhan, luka membentuk lubang yang dangkal dan superfisial.

  2.2.4.3 Derajat 3 Kehilangan lapisan kulit secara lengkap meliputi subkutis, termasuk jaringan lemak dibawahnya atau lebih dalam lagi namun tidak sampai fascia. Luka mungkin membentuk lubang

  2.2.4.4 Derajat 4 Kehilangan lapisan kulit secara lengkap hingga tampak tendon, tulang, ruang sendi. Berpotensi untuk terjadi destruksi dan resiko osteomyelitis.

  2.2.5 Tempat dan waktu terjadinya luka dekubitus Semua bagian tubuh beresiko mengalami dekubitus, tetapi bagian bawah dari tubuhlah yang terutama beresiko tinggi dan membutuhkan perhatian khusus. Area yang biasa terjadi dekubitus adalah tempat diatas tonjolan tulang dan tidak dilindungi oleh cukup dengan lemak subkutan. Beberapa tempat yang paling sering terjadi dekubitus adalah daerah sakrum, daerah trokanter mayor dan spina ischiadica superior anterior, daerah tumit dan siku. Tempat-tempat lain yang beresiko terjadinya luka dekubitus dikarenakan posisi pasien di tempat tidur yaitu:

  2.2.5.1 Pada pasien dengan tirah baring posisi telentang, tempat terjadinya luka dekubitus pada daerah belakang kepala, daerah tulang belikat, daerah bokong dan tumit.

  2.2.5.2 Pada penderita dengan posisi miring, tempat terjadinya luka dekubitus pada daerah pinggir kepala (terutama daun telinga), bahu, siku, daerah pangkal paha, kulit pergelangan kaki, dan bagian atas jari-jari kaki.

  2.2.5.3 Pada penderita dengan posisi tengkurap, tempat terjadinya luka dekubitus pada daerah dahi, lengan atas, tulang iga, dan lutut.

  Menurut Kadir (2007), luka dekubitus terjadi dalam dua minggu pertama dalam perawatan. Kulit akan tetap utuh karena sirkulasi darah terjaga dan bila tekanan padanya masih berkisar pada batas-batas normal (16 mmHg sampai 33 mmHg). Apabila pasien imobilisasi pada tempat tidurnya secara pasif dan berbaring diatas kasur busa maka tumit mencapai 30-45 mmHg. Keadaan ini dapat menimbulkan perubahan degeneratif secara mikroskopik pada semua lapisan jaringan mulai dari kulit sampai tulang. Tekanan akan menimbulkan daerah iskemik dan bila berlanjut terjadi nekrosis jaringan kulit.

  Sabandar (2008), mengatakan tanda-tanda luka dekubitus terjadi akibat posisi pasien yang tidak berubah (imobilisasi) dalam jangka waktu lebih dari 6 jam. Menurut Yuniarti (2007) dalam Suheri (2009), jika aliran darah, nutrisi dan oksigenasi terhambat lebih dari 2-3 jam, maka kulit akan mati yang dimulai pada lapisan kulit paling atas. Secara umum, pasien yang masuk rumah sakit dan menunjukan gejala infeksi nasokomial (dekubitus) setelah 72 jam pasien berada di Rumah sakit (Depkes, 2005).

  Wim de Jong (2004) dalam Suheri (2009), menyatakan mula-mula kulit tampak kemerahan yang tidak hilang setelah tekanan dihilangkan. Pada tahap dini ini, tidak terlihat nekrosis karena permukaan kulit masih utuh. Iskemia dan nekrosis sudah terjadi pada lapisan subkutis, tetapi baru terlihat setelah beberapa hari berupa kulit yang kemerahan dan mengelupas sedikit, kemudian terlihat suatu defek kulit. Terjadi gangguan mikrosirkulasi jaringan lokal dan mengakibatkan hipoksia. Setelah satu minggu atau >10 hari, luas nekrosisi ini mencapai tulang atau fasia di dasarnya. Nekrosis sudah terjadi pada hari pertama, hanya batas kulit pada waktu itu belum jelas, umumnya luas nekrosis di lapisan subkutis lebih luas daripada permukaan kulit.

  Pengkajian fisik pada pasien dengan penurunan kesadaran, kelemahan fisik atau lumpuh yang dirawat di ruang perawatan ICU RSUD dr.H.Soemarno Sosroatmodjo Kuala Kapuas dilakukan pada saat pasien baru masuk ruang perawatan ICU dan pada hari berikutnya pasien dekubitus derajat I berupa kemerahan pada kulit setempat dan adanya hiperemis reaktif, sedangkan pada pasien yang sudah pernah menjalani perawatan di rumah seringkali ditemukan tanda-tanda dekubitus derajat

  II dan bahkan sering ditemukan sudah sampai pada dekubitus derajat III dan IV (Dokumentasi Keperawatan ICU, 2012).

  2.2.6 Diagnosis dekubitus Diagnosis luka dekubitus biasanya tidak sulit dan diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik pada area atau tempat terjadinya luka dekubitus. Beberapa pemeriksaan diagnosis yang penting untuk membantu dalam menegakkan diagnosis dan penatalaksanaan luka dekubitus adalah:

  2.2.6.1 Kultur dan analisis urin Kultur urin dibutuhakan pada keadaan inkontinensia untuk melihat apakah ada masalah pada ginjal atau infeksi saluran kencing terutama pada pasien trauma medula spinalis.

  2.2.6.2 Kultur tinja Pemeriksaan ini perlu pada keadaan inkontinesia alvi untuk melihat leukosit dan toksin Clostridium difficile ketika terjadi pseudomembranous colitis.

  2.2.6.3 Biopsi Biopsi penting pada keadaan luka yang tidak mengalami perbaikan dengan pengobatan yang intensif atau pada luka dekubitus kronik untuk melihat apakah terjadi proses yang mengarah pada keganasan. Biopsi juga bertujuan untuk melihat jenis bakteri yang menginfeksi luka dekubitus. Biopsi tulang perlu dilakukan bila dicurigai atau terjadi komplikasi osteomyelitis.

  2.2.6.4 Pemeriksaan darah Untuk melihat reaksi inflamasi yang terjadi perlu diperiksa sel dan sangat dibutuhkan untuk mengetahui apakah sudah terjadi bakteremia dan sepsis.

  2.2.6.5 Keadaan nutrisi Pemeriksaan nutrisi pada pasien penting untuk proses penyembuhan luka dekubitus. Hal yang perlu diperiksa yaitu albumin level, prealbumin level, transferrin level, dan serum protein level. Level albumin serum <3 g/100 ml dihubungkan dengan lambatnya penyembuhan luka.

  2.2.6.6 Radiologis Pemeriksaan radiologi untuk melihat adanya kerusakan tulang akibat osteomyelitis. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan sinar-X, scan tulang atau MRI.

  2.2.7 Pencegahan dan penatalaksanaan dekubitus Tujuan utama dalam pencegahan dekubitus yaitu mengurangi masa perawatan pasien dan mengurangi beban biaya perawatan Rumah Sakit serta mencegah terjadinya komplikasi dekubitus yang lebih parah seperti sepsis dan kematian. Perlu diingat pentingnya tindakan pencegahan karena pada dasarnya luka dekubitus dapat dicegah. Prevalensi dekubitus dapat menjadi parameter yang baik terhadap kualitas pelayanan keperawatan dan pengobatan, sehingga dapat diasumsikan bahwa kejadian dekubitus di ruang perawatan Rumah Sakit berawal dari buruknya pelayanan keperawatan dan pengobatan yang diberikan (Yusuf, 2011).

  Dekubitus merupakan akibat dari buruknya sistem pelayanan kesehatan, hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa sebagian besar dekubitus bisa dicegah melalui identifikasi dan pengkajian faktor resiko secara sistematis, pengkajian integument yang komprehensif, penggunaan

  support surface yang efektif, pendidikan bagi pasien, keluarga termasuk kejelian dan Ketelitian dari perawat terhadap kondisi pasien dan mempertimbangkan kemungkinan resiko yang dapat mengkontribusi terjadinya dekubitus (Morison, 2003). Dekubitus pada dasarnya dapat dicegah dan mencegah dekubitus lebih mudah daripada mengobatinya. Tetapi dekubitus tidak selalu dapat dicegah pada kondisi-kondisi tertentu pada pasien seperti lansia, pasien dengan ketidakstabilan hemodinamik yang menghalangi untuk mobilitas pasien dan pasien yang tidak kooperatif dan menolak untuk bekerja sama dalam upaya pencegahan. NPUAP (2010), dalam Wallis (2010), menyatakan bahwa kejadian dekubitus tidak selalu mencerminkan perawatan yang buruk karena beberapa situasi pada pasien membuat dekubitus tidak dapat dihindari. Contohnya termasuk pasien yang menolak untuk bekerja sama dan mereka dengan ketidakstabilan hemodinamik yang menghalangi pasien berubah posisi. Potter & Perry (2010), menyatakan tahap pertama pencegahan adalah mengkaji faktor-faktor resiko pasien, kemudian perawat mengurangi faktor-faktor lingkungan yang mempercepat terjadinya dekubitus, seperti suhu ruangan panas (penyebab diaporesis), kelembaban, atau linen dan alas tempat tidur yang berkerut. Identifikasi awal dalam pengkajian pada pasien beresiko dan faktor-faktor resikonya membantu perawat mencegah terjadinya dekubitus. Pencegahan meminimalkan atau menghilangkan akibat dari faktor-faktor resiko atau faktor yang memberi kontribusi terjadinya dekubitus. Dalam mengidentifikasi pasien yang beresiko mengalami dekubitus, ada beberapa skala pengkajian resiko/instrumen pengkajian yang dapat digunakan, antara lain: Skala Norton dan Skala Braden. Kedua skala ini bertujuan mengidentifikasi resiko tinggi-rendahnya kemungkinan untuk

terjadinya dekubitus dan segera melakukan tindakan pencegahan agar tidak terjadi dekubitus di kemudian hari sesuai tingkatan resiko.

  2.2.7.1 Skala Braden Skala Braden menurut kalangan profesional Keperawatan memiliki efektifitas tinggi dalam menentukan resiko terjadinya dekubitus. Nilai total pada pada skala Braden ini berada pada rentang 6-23, tergantung pada hasil penilaian perawat tersebut.

  Total nilai rendah menunjukkan resiko tinggi dekubitus, sehingga perlu pencegahan segera. Klien dewasa di rumah sakit dengan nilai 16 atau kurang dan klien lansia dengan 17 ataupun 18 dianggap beresiko. Berikut tingkat resiko terjadinya luka dekubitus berdasarkan skor pada Skala Braden: a.

  Skor : 20-23 point: resiko rendah b.

  Skor : 15-19 point: resiko sedang c. Skor : 11-14 point: resiko tinggi d.

  Skor : 6-10 point: resiko sangat tinggi Berikut ini adalah kriteria penilaian tingkat resiko terjadinya luka dekubitus dan skor pada Skala Braden dalam tabel 2.1 dibawah ini:

  Tabel 2.1: Skala Braden

  Faktor Deskripsi Skor Persepsi Sensorik 1. Keterbatasan penuh Tidak adanya respon pada stimulus nyeri akibat kesadaran yang menurun ataupun karena pemberian obat-obat sedasi atau keterbatasan kemampuan untuk merasakan nyeri pada sebagian besar permukaan tubuh.

  2. Sangat terbatas Hanya berespon pada stimulus nyeri. Tidak dapat mengkomunikasinya ketidaknyamanan, kecuali dengan merintih dan/atau gelisah. Atau mempunyai gangguan sensorik yang membatasi kemampuan untuk merasakan nyeri atau ketidaknyamanan pada separuh permukaan tubuh.

  3. Keterbatasan ringan Keadaan klien berespon pada perintah verbal, tetapi tidak selalu dapat mengkomunikasikan ketidaknyamanan atau nyeri atau ketidaknyamanan pada 1 atau 2 ektrimitas.

  4. Tidak ada gangguan Berespon pada perintah verbal dengan baik. Tidak ada penrunan sendorik yang akan membatasi kemampuan untuk merasakan atau mengungkapkan nyeri atau ketidaknyamanan.

  Kelembapan 1. Selalu lembab Saat kulit selalu lembab karena perspirasi, urine dsb.

  Kelembapan diketahui saat klien bergerak, membalik tubuh atau dengan dibantu perawat.

  2. Umumnya lembab Saat kelembaban sering terjadi tetapi tidak selalu lembab.

  Idealnya alat tenun dalam keadaan ini harus diganti setiap pergantian jaga.

  3. Kadang-kadang lembab Pada waktu tertentu saja terjadi kelembaban. Dalam keadaan ini, idealnya alat tenun diganti dengan 1 kali pertambahan ekstra (2 x sehari).

  4. Jarang lembab Pada saat keadaan kulit biasanya selalu kering, alat tenun

hanya perlu diganti sesuai jadwal (1 x sehari).

  Aktivitas 1. Total di tempat tidur . Beraktifitas terbatas di atas tempat tidur saja.

  2. Dapat duduk Dapat bergerak (berjalan) dengan keterbatasan yang tinggi atau tidak mampu berjalan. Tidak dapat menopang berat badannya sendiri dan / atau harus dibantu pindah ke atas kursi atau kursi roda.

  3. Berjalan kadang-kadang Dapat berjalan sendiri pada siang hari, tapi hanya dalam jarak pendek/dekat, dengan atau tanpa bantuan. Sebagian besar waktu dihabiskan di atas tempat tidur atau kursi.

  4. Dapat berjalan dapat sering berjalan ke luar kamar sedikitnya 2 kali sehari dan di dalam kamar sedikitnya 1 kali tiap 2 jam selama terjaga.

  Mobilitas 1. Tidak mampu bergerak sama sekali Tidak dapat melakukan perbuahan posisi tubuh atau ekstrimitas tanpa bantuan, walaupun hanya sedikit.

  2. Sangat terbatas Klien dengan kadang-kadang melakukan perubahan kecil pada posisi tubuh dan ekstrimitas, tapi tidak mampu melakukan perubahan yang sering dan berarti secara mandiri.

  3. Tidak ada masalah Klien yang dapat dengan sering melakukan perubahan kecil pada posisi tubuh dan ekstrimitas secara mandiri.

  4. Tanpa keterbatasan Keadaan klien dapat melakukan perubahan posisi yang bermakna dan sering tanpa bantuan.

  Nutrisi 1. Nutrisi Sangat buruk Klien dengan keadaan asupan gizi yang sangat buruk, yaitu klien dengan keadaan tidak pernah makan makanan lengkap. jarang makan lebih dari 1/3 porsi makanan yang diberikan. Tiap hari asupan protein (daging / susu) 2 x atau kurang. Kurang minum. Tidak makan suplemen makanan cair. Atau Puasa dan/atau minum air bening atau mendapat infus > 5 hari.

  2. Kurang mencukupi Klien dengan keadaan mungkin kurang asupan nutrisi, yaitu klien dengan jarang makan makanan lengkap dan umumnya makan kira-kira hanya 1/2 porsi makanan yang diberikan. Asupan protein, daging dan susu hanya 3 kali sehari. Kadang-kadang mau makan makanan suplemen. Atau menerima kurang dari jumlah optimum makanan cair dari sonde (NGT).

  3. Mencukupi Klien dengan keadaan cukup asupan nutrisi, yaitu klien dengan keadaan makan makanan > 1/2 porsi makanan yang diberikan. Makan protein daging sebanyak 4 kali sehari. Kadang-kadang menolak makan, tapi biasa mau makan suplemen yang diberikan. Atau diberikan melalui sonde (NGT) atau regimen nutrisi parenteral yang mungkin dapat

memenuhi sebagian besar kebutuhan nutrisi.

  4. Sangat baik Klien dengan keadaan makan makanan yang diberikan.

  Tidak pernah menolak makan. Biasa makan 4 kali atau lebih dengan protein (daging/susu). Kadang-kadang makan di antara jam makan. Tidak memerlukan suplemen.

  Pergeseran dan 1. Bermasalah Klien yang memerlukan bantuan sedang sampai maksimum pergerakan untuk bergerak. Tidak mampu mengangkat tanpa terjatuh.

  Seringkali terjatuh ke atas tempat tidur atau kursi, sering membutuhkan maksimum untuk posisi kembali Kejang, kontraktur atau agitasi menyebabkan friksi terus menerus.

  2. Potensial bermasalah Klien yang bergerak dengan lemah dan membutuhkan bantuan minimum. Selama bergerak kulit mungkin akan menyentuh alas tidur, kursi, alat pengikat atau alat lain. Sebagian besar mampu mempertahankan posisi yang relatif baik diatas kursi atau tempat tidur, tapi kadang-kadang jatuh ke bawah.

  3. Keterbatasan ringan Sering merubah posisi badan atau ekstremitas secara mandiri meskipun hanya dengan gerakan ringan

  4. Tanpa keterbatasan Klien yang bergerak di atas tempat tidur maupun kursi dengan mandiri dan mempunyai otot yang cukup kuat untuk mengangkat sesuatu sambil bergerak. Mampu mempertahankan posisi yang baik di atas tempat tidur atau kursi.

2.2.7.2 Skala Norton

  2

  2

  1 Mobilitas

   Bergerak bebas

   Sedikit terbatas

   Sangat terbatas

   Tak bisa bergerak/imobilisasi

  4

  3

  1 Inkontinensia

  4

   Tidak ada

   Kadang-kadang

   Sering inkontinensia urin

   Inkontinensia urin/alvi

  4

  3

  2

  1 Sumber: Skala Norton dalam Morison (2003)

  3

  Kriteria penilaian resiko terjadinya luka dekubitus dengan skala Norton adalah sebagai berikut: a.

  Skor <14 : resiko tinggi terjadi luka dekubitus b.

  3

  Skor <12 : peningkatan resiko luka dekubitus 50 x c.

  Skor 12-13 : resiko sedang d.

  Skor ≥14 : resiko sangat kecil

  Berikut adalah Skala Norton untuk mengukur resiko luka dekubitus seperti pada tabel 2.2 dibawah ini: Tabel 2.2: Skala Norton

  Kondisi Klien Skor Kondisi fisik umum

   Baik  Cukup/lumayan

   Buruk  Sangat buruk

  4

  2

   Hanya bisa duduk

  1 Kesadaran

   Kompos metis

   Apatis  Confused  Stupor

  4

  3

  2

  1 Tingkat aktivitas

   Ambulatori  Berjalan dengan bantuan

   Hanya bisa tiduran Suriadi (2004), menyatakan intervensi keperawatan yang dilakukan untuk mencegah terjadinya dekubitus yaitu:

  2.2.7.1 Lakukan pengkajian pada pasien tentang riwayat kesehatan atau penyakit.

  2.2.7.2 Lakukan penilaian resiko terjadinya dekubitus dengan menggunakan skala Braden atau skala Norton pada pasien yang mengalami gangguan mobilisasi atau terbatas kemampuan untuk bergerak.

  2.2.7.3 Kaji penggunaan matras atau posisi pasien apakah cenderung terjadi pergesekan atau pergeseran di atas tempat tidur.

  Pergesekan dan pergeseran akan sering terjadi apabila posisi kepala pasien lebih tinggi atau posisi setengah duduk.

  2.2.7.4 Hindari pasien dari dampak tekanan yang berlebihan di atas tempat tidur atau kursi, tidur dengan miring kiri-kanan secara bergantian paling kurang setiap 1 jam, setelah miring kiri- kanan kemudian telentang, posisi badan miring kira-kira 30 derajat.

  2.2.7.5 Hindari tekanan yang berlebihan dengan menggunakan matras khusus bila ada seperti matras udara, air, atau lainnya yang dapat mengurangi tekanan pada area permukaan tulang yang menonjol.

  2.2.7.6 Sokong daerah lutut dan siku dengan bantal atau busa pada saat baring.

  2.2.7.7 Pertahankan daerah kepala tidak terlalu tinggi yang dapat menyebabkan terjadinya pergeseran dan pergesekan kecuali ada pembatasan lain.

  2.2.7.8 Hindari kulit dari kelembapan, sesering mungkin mengkaji kondisi kulit. Pada pasien dengan inkontenesia urin atau fekal perlu penatalaksanaan khusus.

  2.2.7.9 Gunakan kream kulit setelah mandi untuk mencegah kulit dari kekeringan karena dapat mengkontribusi mudah terjadinya pergesekan dan pergeseran .

  2.2.7.10 Bila pasien dapat duduk di kursi, perlu diperhatikan postur tubuh, keseimbangan, stabilitas dan tekanan.

  2.2.7.11 Berikan pemasukan nutrisi yang mencukupi: 30-35 kalori/kg BB.

  2.2.7.12 Kaji serum albumin pada pasien yang malnutrisi. Blaney (2010), menyatakan bahwa langkah-langkah untuk mencegah terjadinya dekubitus yaitu:

2.2.7.1 Langkah 1: Mengidentifikasi dan mengevaluasi faktor resiko a.

  Kaji kulit pasien dari kepala sampai kaki.

  b.

  Kaji riwayat pasien yang berhubungan dengan dekubitus.

  c.

  Lakukan penilaian resiko terjadinya dekubitus d.

  Dokumentasi hasil penilaian e. Menilai kembali integritas kulit dan tingkat resiko

  2.2.7.1 Langkah 2: pencegahan langsung kepada pasien a Meminimalkan tekanan b

  Menjaga nutrisi yang cukup c Minimalkan dan mengelola kelembaban d

  Meminimalkan gesekan e Mendidik pasien dan keluarga f

  Berkomunikasi dengan rekan-rekan di unit keperawatan Morison (2003), menyatakan sampai saat ini tidak ada pengobatan dekubitus yang definitif, tetapi prinsip umum tentang penatalaksanaannya adalah:

  2.2.7.1 Menghilangkan faktor-faktor ekstrinsik yang signifikan didalam terjadinya dan terlambatnya penyembuhan dekubitus, seperti tekanan yang terus menerus, kekuatan gesekan dan kekuatan friksi.

  2.2.7.2 Mengurangi pengaruh faktor eksaserbasi intrinsik yang dapat menambah kerusakan jaringan seperti malnutrisi, inkontenensia, dan penyakit yang terjadi bersamaan.

  2.2.7.3 Menyediakan lingkungan lokal yang optimum untuk penyembuhan daerah luka.

  Penatalaksanaan pasien dekubitus memerlukan pendekatan holistik atau menyeluruh yang menggunakan keahlian pelaksana yang berasal dari beberapa disiplin ilmu kesehatan. Selain perawat, keahlian pelaksana termasuk dokter, ahli fisiotrapi, ahli terapi okupasi, ahli gizi, dan ahli farmasi. Beberapa aspek dalam penatalaksanaan dekubitus antara lain pengobatan dan perawatan luka secara lokal dan tindakan pendukung seperti gizi yang adekuat dan cara penghilang tekanan (Potter & Perry, 2010).

  2.2.7.1 Penatalaksanaan medik Antibiotik spektrum luas bisa diberikan sebagai pencegahan terjadinya sepsis. Debridemen perlu dilakukan untuk membuang bagian kulit yang mati dengan bantuan pisau bedah. Debridement merupakan tindakan pembedahan untuk membersihkan dan mengangkat jaringan kulit ataupun otot yang nekrosi/mati atau terinfeksi. Tindakan debridement ini akan menyebabkan luka menjadi luas tetapi luka tersebut menjadi lebih sehat dan penyembuhannya menjadi lebih cepat.

  Luka yang dalam sulit untuk diobati, perlu dilakukan pencangkokan kulit sehat pada pasien di daerah yang mengalami kerusakan. Pencangkokan ini tidak selalu dapat dilakukan, terutama pada usia lanjut yang menderita malnutrisi. Jika tulang dibawahnya terinfeksi (osteomielitis) diberikan antibiotik jangka panjang karena osteomielitis sulit disembuhkan dan bisa menyebar melalui aliran darah.

2.2.7.2 Penataksanaan keperawatan

  Selama penyembuhan dekubitus, maka luka harus dikaji untuk lokasi, tahap, ukuran, traktusinus, kerusakan luka, kedalaman luka, adanya eksudat, jaringang nekrotik, dan keberadaan atau tidak adanya jaringan granulasi maupun epitelialisasi, hal ini penting dalam penentuan perawatan luka dekubitus. Dekubitus harus dikaji ulang minimal 1 kali dalam sehari. Pada perawatan rumah, banyak pengkajian dimodifikasi oleh perawat dan harus konsisten karena pengkajian mingguan tidak mungkin dilakukan oleh pemberi perawatan. Dekubitus yang bersih harus menunjukkan proses penyembuhan dalam waktu 2 sampai 4 minggu (Potter & Perry, 2010). Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam perawatan luka dekubitus, antara lain: a.

  Mengurangi tekanan lebih lanjut pada daerah luka. Secara umum sama dengan tindakan pencegahan yang sudah disebutkan diatas. Pengurangan tekanan sangat penting karena luka tidak akan sembuh selama masih ada tekanan yang berlebihan dan terus menerus.

  b.

  Mempertahankan keadaan bersih pada luka dan sekitarnya.

  Keadaan tersebut akan menyebabkan proses penyembuhan luka lebih cepat dan baik. Untuk hal tersebut dapat dilakukan kompres, pencucian, pembilasan, pengeringan dan pemberian bahan-bahan topikal seperti larutan NaC10,9%, larutan H2O2 3% dan NaC10,9%, larutan plasma dan larutan Burowi serta larutan antiseptik lainnya.

  c.

  Mengangkat jaringan nekrotik. Adanya jaringan nekrotik pada luka akan menghambat aliran bebas dari bahan yang jaringan granulasi dan epitelisasi. Oleh karena itu pengangkatan jaringan nekrotik akan mempercepat proses penyembuhan luka.

  2.2.7.3 Penatalaksanaan gizi Dukungan nutrisi yang baik sangat diperlukan untuk membantu mempercepat proses penyembuhan luka dekubitus.

  Nutrisi yang adekuat sangat diperlukan pada pasien yang dilakukan pencangkokan kulit. Pemberian diet tinggi kalori, protein dan vitamin dengan tujuan untuk mempertahankan balans nitrogen tetap positif dan dengan meningkatkan kadar protein serum hingga 6 mg/100 ml atau lebih. Konsultasikan dengan ahli gizi tentang pengaturan jenis diet, yang sesuai dengan kondisi pasien dan jenis penyakitnya serta pengaturan jadwal pemberian diet khusus bagi pasien yang tidak sadar.

  2.2.8 Komplikasi dekubitus Dekubitus jika tidak ditangani dengan baik maka dekubitus dapat meningkat dari iritasi yang kecil tanpa disertai dengan robeknya kulit sampai tahap yang dapat mengancam jiwa pasien, baik oleh luasnya kerusakan kulit maupun infeksi. Bagi beberapa pasien, dekubitus menyebabkan peningkatan nyeri, penurunan kualitas hidup, infeksi, dan peningkatan morbiditas bahkan mortalitas. Dekubitus dapat membuat frustasi perawat dan pasien, dan yang terpenting adalah dekubitus akan meningkatkan biaya perawatan dan lama hari rawat (Yusuf, 2011).

  Menurut Sabandar (2008), komplikasi sering terjadi pada luka dekubitus derajat III dan IV, walaupun dapat juga terjadi pada luka yang superfisial. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain:

  2.2.8.1 Infeksi, umumnya bersifat multibakterial baik yang aerobik maupun anaerobik.

  2.2.8.2 Sepsis, terjadi ketika bakteri memasuki aliran darah melalui kulit yang rusak dan menyebar ke seluruh tubuh dengan cepat berkembang dan mengancam kehidupan. kondisi ini dapat menyebabkan kegagalan organ.

  2.2.8.3 Selulitis, merupakan infeksi akut jaringan ikat kulit yang menyebabkan rasa sakit, kemerahan dan pembengkakan, yang dapat parah. Selulitis juga dapat menyebabkan komplikasi yang mengancam jiwa, termasuk sepsis dan meningitis.

  2.2.8.4 Infeksi tulang dan sendi, terjadi ketika infeksi dari luka sampai ke dalam sendi dan tulang. Infeksi sendi (arthritis septik atau infeksi) dan tulang infeksi (osteomielitis) dapat mengurangi fungsi sendi dan anggota badan.

  2.2.8.5 Kanker, jenis karsinoma sel skuamosa yang berkembang di luka yang kronis, luka nonhealing (Marjolin luka). Kanker jenis ini adalah agresif dan memerlukan perawatan bedah.

  2.2.8.6 Kematian, komplikasi terburuk dari dekubitus adalah kematian. Angka mortalitas pasien meningkat jika dampak dari semua komplikasi sepsis tidak segara ditangani.

2.3 Pasien yang Dirawat di Ruang ICU (Intensive Care Unit)

  Protokol dan prosedur tentang indikasi masuk dan keluar ICU harus dimiliki setiap ICU. Kebijaksanaan ini harus disusun oleh tim disiplin multi medis, perawat dan direktus Rumah Sakit. Kebijaksanaan harus selalu ditinjau secara teratur dan kalau perlu diadakan koreksi atau revisi. Pada saat-saat penggunakan yang tinggi dan fasilitas tempat perawatan terbatas, maka dilakukan prioritas. Kriteria masuk ICU harus disusun berdasarkan masalah klinis, harapan untuk pulih kembali dan keuntungan terapi intensif. Dokter perujuk atau pemilik pasien bertanggung jawab untuk meminta perawatan intensif dan segera memindahkan pasien ke ruang perawatan lain jika telah memenuhi kriteria pindah. Pimpinan atau staf medis memutuskan apakah kasus yang menimbulkan konflik untuk menentukan kriteria masuk dan keluar ICU, maka pimpinan atau staf medis ICU menentukan prioritas ICU.

2.3.1 Indikasi pasien masuk ruang perawatan ICU

  Pasien yang memerlukan perawatan di ICU adalah pasien dengan krisis atau kegagalan pada sistem pernapasan, sistem hemodinamik, sistem syaraf pusat, sistem endokrin dan metabolik, overdosis obat, reaksi obat dan keracunan, sistem pembekuan darah, infeksi berat (sepsis). Indikasi masuk ICU juga ada karena indikasi sosial yaitu masuknya pasien ke