BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Agensi - Analisis Perbandingan Ketepatan Model Prediksi Kebangkrutan Altman, Ohlson, Dan Springate Dalam Memprediksi Kebangkrutan Perusahaan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Agensi

  Jensen dan Meckling (1976) dalam Rismawaty (2012) menjelaskan agency

  

theory sebagai suatu bentuk hubungan keagenan (agency relationship) yang

  timbul karena adanya kontrak yang ditetapkan antara principal yang menggunakan agent untuk melaksanakan jasa yang menjadi kepentingan principal dalam hal terjadi pemisahan kepemilikan dan kontrol perusahaan. Principal dapat mendelegasikan otoritas pembuatan keputusan kepada agent agar hubungan kontraktual dapat berjalan lancar.

  Tujuan dari sistem pemisahan ini adalah untuk menciptakan efisiensi dan efektivitas dengan memperkerjakan agen-agen profesional dalam mengelola perusahaan. Manajer sebagai pengelola perusahaan bertanggung jawab terhadap pemilik yang kemudian berimbas dengan pendanaan perusahaan baik dari investor maupun kreditor. Manajer lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan principal, oleh karena itu, sebagai pengelola, manajer berkewajiban untuk selalu transparan dalam melaksanakan kendali perusahaan di bawah principal. Salah satu bentuk pertanggungjawaban adalah dengan mengajukan laporan keuangan. Laporan yang diterbitkan oleh perusahaan ini merupakan salah satu sumber informasi mengenai posisi keuangan perusahaan, kinerja dan perubahan posisi keuangan perusahaan, yang sangat berguna untuk mendukung pengambilan keputusan yang tepat. Misal, laba yang diperoleh perusahaan nilainya tinggi dalam jangka waktu yang relatif lama, maka perusahaan dapat dianggap telah menjalankan kegiatan operasi dengan baik. Hal ini turut mengindikasikan nilai laba bersih yang diperoleh, perusahaan dapat dibagikan sebagai dividen kepada setiap investor. Kepercayaan yang diberikan kepada perusahaan pun akan semakin kuat dan perusahaan akan mendapatkan kemudahan dalam mendapatkan kredit pada tiap kegiatan operasi. Sebaliknya, jika laba suatu perusahaan bernilai kecil dalam jangka waktu relatif lama, maka principle akan menganggap perusahaan tidak mampu menjalankan kegiatan operasinya dengan baik. Kondisi tersebut akan mengakibatkan perusahaan mengalami permasalahan keuangan dimulai dengan financial distress yang tak jarang berujung pada kebangkrutan perusahaan.

2.2 Laporan Keuangan

2.2.1 Pengertian Laporan Keuangan

  Laporan keuangan dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 1 Revisi 2009 bermakna suatu penyajian terstruktur dari posisi keuangan dan kinerja keuangan suatu entitas. Penyajian laporan keuangan sebagaimana terdapat pada PSAK No. 1 Paragraf 7 bertujuan memberikan informasi mengenai posisi keuangan, kinerja keuangan, dan arus kas entitas yang bermanfaat bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan dalam pembuatan keputusan ekonomi. Laporan keuangan juga menunjukkan hasil pertanggungjawaban manajemen atas penggunaan sumber daya yang dipercayakan kepada mereka. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, laporan keuangan menyajikan informasi mengenai entitas yang meliputi: a.

  Aset; b. Liabilitas; c. Ekuitas; d. Pendapatan dan beban termasuk keuntungan dan kerugian; e. Kontribusi dari dan distribusi kepada pemilik dalam kapasitasnya sebagai pemilik; dan f.

  Arus kas.

  Informasi tersebut, beserta informasi lainnya yang terdapat dalam catatan atas laporan keuangan, membantu pengguna laporan dalam memprediksi arus kas masa depan dan, khususnya, dalam hal waktu dan kepastian diperolehnya kas dan setara kas.

2.2.2 Analisis Laporan Keuangan

  Analisis laporan keuangan menurut Dewi (2004:29) dalam Ulfah et al (2012) adalah segala sesuatu yang menyangkut penggunaan informasi akuntansi untuk membuat keputusan bisnis dan investasi. Sementara Wild, et al dalam (Yanivi dan Nurwahyu 2008; Ulfah et al 2012) mengemukakan analisis laporan keuangan (financial statement analysis) sebagai aplikasi dari alat dan teknik analitis untuk laporan keuangan bertujuan umum dan data-data yang berkaitan untuk menghasilkan estimasi dan kesimpulan yang bermanfaat dalam analisis bisnis.

  Berdasarkan teori yang dikemukakan di atas, analisis laporan keuangan merupakan proses yang penuh pertimbangan dalam rangka membantu mengevaluasi posisi keuangan dan hasil operasi perusahaan pada masa sekarang dan masa lalu, dengan tujuan untuk menentukan estimasi dan prediksi yang paling mungkin mengenal kondisi dan kinerja perusahaan pada masa mendatang.

  Analisis laporan keuangan guna memprediksi kebangkrutan perusahaan terus mengalami perkembangan. Menurut Sofyan (2011:21) dalam Ulfah et al (2012), para ahli berupaya melakukan berbagai studi guna melakukan peramalan- peramalan dengan menggunakan berbagai rumus. Studi empiris dilakukan terhadap berbagai perusahaan dalam jangka waktu/periode tertentu untuk menetapkan model prediksi itu, biasanya setiap ahli memiliki berbagai metode atau model yang bisa berbeda satu sama lain tergantung data yang diperolehnya dari sumber penelitiannya. Di bawah ini terdapat gambaran dari empat macam model tersebut, yaitu: 1.

  Model untuk peramalan tingkat kualitas obligasi yang dijual di pasar modal yang dibuat oleh Ahmed Belkaoui disebut Belkaouis’ Bond Rating Model.

  2. Model untuk meramalkan kebangkrutan suatu perusahaan yang dibuat oleh Altman disebut: Altman’s Bankruptcy Prediction Model.

  3. Bernstein dan Maksy merumuskan model untuk meramalkan Net Cash Flow From Operation tahun mendatang disebut Bernstein and Maksy’s Net Cash .

  Flow Next Year Prediction Model 4.

  Model untuk menilai perusahaan yang akan diambil alih (take over). Model ini dibuat oleh Ahmed Belkaoui sehingga disebut Belkaoui’s Take Over

  Prediction Model .

  Dari teori yang dikemukakan di atas bahwa model tersebut merupakan pengukuran atau penilaian terhadap kinerja keuangan perusahaan dalam jangka waktu atau periode tertentu dan hasil penilaian tersebut dapat digunakan dalam suatu pencapaian target yang telah ditetapkan oleh perusahaan.

2.3 Kebangkrutan

2.3.1 Pengertian Kebangkrutan

  Istilah “pailit” dijumpai dalam perbendaharaan bahasa Belanda, Perancis, Latin, dan Inggris. Bahasa Perancis, istilah “failite” artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan pembayaran. Orang yang mogok atau macet atau berhenti membayar hutangnya disebut dengan Le falli. Di dalam bahasa Belanda dipergunakan istilah faillit yang mempunyai arti ganda yaitu sebagai kata benda dan kata sifat, sedangkan dalam bahasa Inggris dipergunakan istilah to fail, dan di dalam bahasa Latin dipergunakan istilah failire. Di Negara-negara yang berbahasa Inggris, untuk pengertian pailit dan kepailitan dipergunakan istilah “bankrupt” dan “bankruptcy”.

  Menurut Toto (2011:332) dalam Ulfah et al (2012), kebangkrutan (bankcruptcy) merupakan kondisi di mana perusahaan tidak mampu lagi untuk melunasi kewajibannya. Kondisi ini biasanya tidak muncul begitu saja di perusahaan, ada indikasi awal dari perusahaan tersebut yang biasanya dapat dikenali lebih dini kalau laporan keuangan dianalisis secara lebih cermat dengan suatu cara tertentu. Rasio keuangan dapat digunakan sebagai indikasi adanya kebangkrutan di perusahaan.

  Kebangkrutan sebagai suatu kegagalan yang terjadi pada sebuah perusahaan didefinisikan dalam beberapa pengertian menurut Martin (1995) dalam Nugroho (2012) yaitu: 1.

  Kegagalan Ekonomi (Economic Distressed) Kegagalan dalam ekonomi artinya bahwa perusahaan kehilangan uang atau pendapatan perusahaan tidak mampu menutupi biayanya sendiri, ini berarti tingkat labanya lebih kecil dari biaya modal atau nilai sekarang dari arus kas perusahaan lebih kecil dari kewajiban. Kegagalan terjadi bila arus kas sebenarnya dari perusahaan tersebut jauh di bawah arus kas yang diharapkan.

2. Kegagalan keuangan (Financial Distressed)

  Pengertian financial distressed mempunyai makna kesulitan dana baik dalam arti dana dalam pengertian kas atau dalam pengertian modal kerja. Sebagai

  asset liability management sangat berperan dalam pengaturan untuk menjaga

  agar tidak terkena financial distressed. Kebangkrutan akan cepat terjadi pada perusahaan yang berada di Negara yang sedang mengalami kesulitan ekonomi, karena kesulitan ekonomi akan memicu semakin cepatnya kebangkrutan perusahaan yang mungkin tadinya sudah sakit kemudian semakin sakit dan bangkrut.

  Berdasarkan beberapa pendapat para ahli tersebut, kebangkrutan merupakan kondisi perusahaan yang tidak sehat dalam melanjutkan usahanya dikarenakan ketidakmampuan dalam bersaing sehingga mengakibatkan penurunan profitabilitas.

  Kebangkrutan adalah puncak dari kegagalan dalam mengelola suatu usaha. Kegagalan tersebut dapat berupa kegagalan dalam mengelola modal kerja yang terdapat di perusahaan atau kegagalan dalam bertahan dalam persaingan yang semakin tidak menentu. Brigham dan Gapenski (2008:2-3) dalam Angga (2014), menjelaskan bahwa kebangkrutan dapat diartikan dalam beberapa cara tergantung masalah yang dihadapi oleh perusahaan: a.

  Kegagalan Ekonomi (Economic Failure) Kegagalan ekonomi mengindikasikan bahwa pendapatan perusahaan tidak mampu menutupi biaya totalnya, termasuk biaya modal. Perusahaan yang mengalami kegagalan ekonomi dapat terus beroperasi selama pemilik perusahaan bersedia mendapatkan tingkat pengembalian yang lebih rendah.

  b.

  Kegagalan Usaha (Business Failure) Istilah business failure digunakan untuk mengelompokkan kegiatan bisnis yang telah menghentikan operasinya kemudian berakibat kerugian bagi para kreditur. Namun, tidak semua perusahaan yang menutup usahanya dianggap gagal.

  c.

  Insolvensi Teknis (Technical Insolvency) Perusahaan dianggap mengalami insolvensi teknis jika tidak mampu membayar kewajiban jangka pendek pada saat jatuh tempo. Insolvensi teknis mengindikasikan tingkat likuiditas yang sangat rendah dan mungkin hanya bersifat sementara. Perusahaan juga dimungkinkan untuk meningkatkan jumlah kas dan membayar kewajibannya sehingga masih dapat tetap bertahan. d.

  Insolvensi dalam Kebangkutan (Insolvency in Bankruptcy) Hal ini terjadi ketika kewajiban total perusahaan melebihi nilai total aktivanya. Kondisi ini jauh lebih serius dari insolvesi teknis dan cenderung mengarah pada likuidasi.

  e.

  Kebangkrutan secara Resmi (Legal Bankruptcy) Meskipun istilah bangkrut diperuntukkan bagi perusahaan yang mengalami kegagalan usaha, perusahaan tidak akan secara resmi dinyatakan bangkrut kecuali:

  1) Perusahaan mengalami kebangkrutan berdasarkan kriteria yang dibuat oleh federal bankruptcy act (undang-undang kebangkrutan).

2) Telah dinyatakan bangkrut oleh pengadilan.

  Berdasarkan beberapa pendapat para ahli tersebut, kebangkrutan dapat disimpulkan sebagai suatu keadaan atau situasi dalam hal ini perusahaan gagal atau tidak mampu lagi memenuhi kewajiban-kewajiban kepada debitur karena perusahaan mengalami kekurangan dan ketidakcukupan dana untuk menjalankan atau melanjutkan usahanya sehingga tujuan ekonomi yang ingin dicapai oleh perusahaan tidak dapat dicapai, yaitu profit, karena laba yang diperoleh perusahaan dapat digunakan untuk mengembalikan pinjaman, membiayai operasi perusahaan dan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi bisa ditutup dengan laba atau aset yang dimiliki.

2.3.2 Faktor Penyebab Kebangkrutan

  Perusahaan yang berada pada negara sedang mengalami kesulitan ekonomi akan lebih cepat mengalami kebangkrutan, karena kesulitan ekonomi akan memicu semakin cepatnya kebangkrutan perusahaan yang mungkin tadinya sudah sakit kemudian semakin sakit dan bangkrut. Perusahaan yang belum sakit pun akan mengalami kesulitan dalam pemenuhan dana untuk kegiatan operasional perusahaan akibat adanya krisis ekonomi tersebut. Namun demikian, proses kebangkrutan sebuah perusahaan tentu saja tidak semata-mata disebabkan oleh faktor ekonomi saja, tetapi bisa juga disebabkan oleh faktor lain yang sifatnya non ekonomi.

  Menurut Darsono dan Ashari (2005:104) dalam Angga (2014) mendeskripsikan bahwa secara garis besar penyebab kebangkrutan bisa dibagi menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari bagian internal manajemen perusahaan. Sedangkan faktor eksternal bisa berasal dari faktor luar yang berhubungan langsung dengan operasi perusahaan atau faktor perekonomian secara makro. Faktor internal yang bisa menyebabkan kebangkrutan perusahaan meliputi: 1.

  Manajemen yang tidak efisien akan mengakibatkan kerugian terus- menerus yang pada akhirnya menyebabkan perusahaan tidak dapat membayar kewajibannya. Ketidakefisien ini diakibatkan oleh pemborosan dalam biaya, kurangnya keterampilan dan keahlian manajemen.

  2. Ketidakseimbangan dalam modal yang dimiliki dengan jumlah piutang- hutang yang dimiliki. Hutang yang terlalu besar akan mengakibatkan biaya bunga yang besar sehingga memperkecil laba bahkan bisa menyebabkan kerugian. Piutang yang terlalu besar juga akan merugikan karena aktiva yang menganggur terlalu banyak sehingga tidak menghasilkan pendapatan.

  3. Adanya kecurangan yang dilakukan oleh manajemen perusahaan bisa mengakibatkan kebangkrutan. Kecurangan ini akan mengakibatkan kerugian bagi perusahaan yang pada akhirnya membangkrutkan perusahaan. Kecurangan ini bisa berbentuk manajemen yang korup ataupun memberikan informasi yang salah pada pemegang saham atau investor.

  Sementara itu, faktor eksternal yang bisa mengakibatkan kebangkrutan dapat berasal dari faktor yang berhubungan langsung dengan perusahaan meliputi pelanggan, supplier, debitor, kreditor, pesaing atau pun dari pemerintah. Faktor eksternal yang tidak berhubungan langsung dengan perusahaan meliputi kondisi perekonomian secara makro atau pun faktor persaingan global. Faktor-faktor eksternal yang bisa mengakibatkan kebangkrutan sebagai berikut:

  1. Perubahan dalam keinginan pelanggan yang tidak diantisipasi oleh perusahaan yang mengakibatkan pelanggan lari sehingga terjadi penurunan dalam pendapatan. Untuk menjaga hal tersebut perusahaan harus selalu mengantisipasi kebutuhan pelanggan dengan menciptakan produk yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan.

  2. Kesulitan bahan baku karena supplier tidak dapat memasok lagi kebutuhan bahan baku yang digunakan untuk produksi. Untuk mengantisipasi hal tersebut perusahaan harus selalu menjalin hubungan baik dengan supplier dan tidak menggantungkan kebutuhan bahan baku pada satu pemasok sehingga risiko kekurangan bahan baku dapat diatasi.

  3. Faktor debitur juga harus diantisipasi untuk menjaga agar debitor tidak melakukan kecurangan dengan mengemplang hutang. Terlalu banyak piutang yang diberikan debitor dengan jangka waktu pengembalian yang lama akan mengakibatkan banyak aktiva menganggur yang tidak memberikan penghasilan sehingga mengakibatkan kerugian yang besar bagi perusahaan. Untuk mengantisipasi hal tersebut, perusahaan harus selalu memonitor piutang yang dimiliki dan keadaan debitor supaya bisa melakukan perlindungan dini terhadap aktiva perusahaan.

4. Hubungan yang tidak harmonis dengan kreditor juga bisa berakibat fatal terhadap kelangsungan hidup perusahaan. Apalagi dalam Undang-undang No.

  4 tahun 1998, kreditor bisa mempailitkan perusahaan. Untuk mengantisipasi hal tersebut, perusahaan harus bisa mengelola utangnya dengan baik dan juga membina hubungan baik dengan kreditur.

  5. Persaingan bisnis yang semakin ketat menuntut perusahaan agar selalu memperbaiki diri sehingga bisa bersaing dengan perusahaan lain dalam memenuhi kebutuhan pelanggan. Semakin ketatnya persaingan menuntut perusahaan agar selalu memperbaiki produk yang dihasilkan, memberikan nilai tambah yang lebih baik bagi pelanggan.

  6. Kondisi perekonomian secara global juga harus selalu diantisipasi oleh perusahaan. Dengan semakin terpadunya perekonomian dengan negara- negara lain, perkembangan perekonomian global juga harus diantisipasi oleh perusahaan. Dari teori yang dikemukakan di atas maka faktor penyebab kebangkrutan adalah faktor yang mempengaruhi terjadinya suatu kebangkrutan yang dialami oleh perusahaan yang kondisi keuangannya tidak sehat, baik itu faktor ekonomi, internal dan eksternal.

2.4 Model Prediksi

  Baik peneliti dalam maupun luar negeri telah melakukan penelitian terkait kemampuan perusahaan untuk terus melangsungkan usaha, atau sering digunakan kalimat lain bermakna sama, yaitu prediksi kebangkrutan. Penelitian-penelitian ini umumnya telah memperkenalkan berbagai macam alat atau model prediksi keberlangsungan maupun kebangkrutan perusahaan. Berikut model-model prediksi keberlangsungan atau kebangkrutan perusahaan:

1. Zmijewski Model

  Zmijewski Model digunakan pada 1984 dengan menganalisis rasio yang mengukur kinerja, leverage, dan likuiditas suatu perusahaan. Menurut Hadi.

  Et al, 2008 yang menggunakan model ini dalam penelitiannya mengenai pemilihan prediktor delisting terbaik, model yang dikembangkan oleh Zmijewski ini telah diujicoba pada 40 perusahaan yang telah bangkrut dan 800 perusahaan yang masih bertahan saat itu. Model yang dikembangkan oleh Zmijewski sebagai berikut:

  = − , − , + , − , Keterangan: X = Return on Asset (ROA)

  1 X = Debt Ratio (Leverage)

2 X 3 = Current Ratio (Likuiditas) 2.

  Fulmer Model Fulmer pada tahun yang sama dengan Zmijewski menggunakan analisis step- wise multiple discriminant untuk mengevaluasi 40 rasio keuangan yang diaplikasikan pada 60 perusahaan sebagai sampel, 30 gagal dan 30 sukses dengan rata-rata ukuran aset perusahaan sebesar $455.000. Fulmer melaporkan 98 persen akurat pada perusahaan satu tahun sebelum gagal dan 81 persen akurat lebih dari satu tahun sebelum kebangkrutan. Model yang dikembangkan Fulmer sebagai berikut:

  = , + , + , + , − , , + , + , + , − ,

  • Keterangan:

  � 1 = � 2 =

  3 = � � 4 = ℎ

  � 5 = � 6 =

  � 7 = � 8 =

  � 9 = Jika H > 0, perusahaan diklasifikasikan gagal.

  3. Blatsztk System William Blatszk memakai sistem ini pada 1984. Berbeda dengan Fulmer System, Blatsztk System tidak menggunakan analisis multiple discriminant dan hanya bisa digunakan untuk metode prediksi kegagalan bisnis. Esensi sistem ini adalah menghitung rasio keuangan perusahaan yang dievaluasi, dibobot, lalu dibandingkan dengan rasio rata-rata perusahaan pada industri yang sama.

  4. CA-Score Model ini dikembangkan oleh Jean Legault dari Universitas Quebec Montreal Kanada, menggunakan analisis step-wise multiple discriminant, di mana 30 rasio keuangan dianalisis pada 173 sampel perusahaan bisnis dan manufaktur yang memiliki penjualan tahunan pada kisaran antara $1-20 juta. CA-Score dirumuskan sebagai berikut: =

  ℎ ℎ (1)

  4,5193 � � +

  (1)

  4,5080 � +

  (1) (2)

  ) – 27616 � + 0,3936 (

  (1) (2)

  Keterangan: (1)

  Gambaran periode sebelumnya (2)

  Gambaran dua periode sebelumnya (3)

  CA-Score < -0,3; perusahaan diklasifikasikan gagal Kajian-kajian lanjutan pun terus dilakukan guna menemukan model yang dianggap paling baik dalam memprediksi kebangkrutan. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dikenal tiga model prediksi kebangkrutan yang dianggap unggul dibandingkan model prediksi yang telah dibahas sebelumnya, yaitu Altman, Ohlson, dan Springate.

2.4.1 Model Altman

  Altman (1968) menggunakan metode Multiple Discriminant Analysis dengan lima jenis rasio keuangan yaitu working capital to total assets, retained , earning before interest and taxes to total assets, market

  earning to total assets

  , dan sales to total assets. Penelitian ini

  value of equity to book value of total debt

  menggunakan sampel 66 perusahaan yang terbagi dua, masing-masing 33 perusahaan bangkrut dan 33 perusahaan tidak bangkrut. Hasil studi ini ternyata mampu memprediksi dengan tingkat ketepatan sebesar 95% untuk data satu tahun sebelum kebangkrutan, sementara untuk data dua tahun kebangkrutan sebesar 72%. Selain itu diketahui pula perusahaan dengan profitabilitas rendah sangat berpotensi mengalami kebangkrutan hingga saat ini, Z-Score masih lebih banyak digunakan oleh para peneliti, praktisi, serta para akademisi di bidang akuntansi dibandingkan model prediksi lain. Hasil penelitian yang dikembangkan Altman sebagai berikut:

  1

  2

  3

  4

  • 1,4 + 3,3 + 0,6 + 0,999 = 1,2

  5 Keterangan:

  Z

  1 : Working Capital/Total Assets

  Z

  2 : Retained Earning/Total Assets

  Z : Earning Before Interest and Taxes/Total Assets

  3 Z 4 : Market Capitalization/Book Value of Debt

  Z : Sales/Total Assets

5 Model yang dikembangkan oleh Altman ini mengalami suatu revisi yang

  merupakan penyesuaian agar model prediksi kebangkrutan ini tidak hanya berlaku untuk perusahaan manufaktur yang go public, melainkan juga dapat diaplikasikan untuk perusahaan-perusahaan di sektor swasta.

  Model lama mengalami perubahan pada salah satu variabel yang digunakan.

  

  = 0,171 + 0,874 + 3,107 + 0,420 + 0,988

  1

  2

  3

  4

  5 Keterangan:

  Z

  1 : Working Capital/Total Assets

  Z : Retained Earning/Total Assets

  2 Z 3 : Earning Before Interest and Taxes/Total Assets

  Z

  4 : Book Value of Equity/Book Value of Debt

  Z : Sales/Total Assets

  5

  Selanjutnya akan diuraikan masing-masing rasio yang terdapat dalam model Altman, sebagai berikut.

  1. Z 1 = Modal Kerja terhadap Total Aset

  adalah suatu rasio yang menunjukkan

  Working Capital to Total Assets

  kemampuan perusahaan untuk menghasilkan modal kerja bersih dari keseluruhan total aset yang dimilikinya (untuk mengukur likuiditas perusahaan). Rasio ini dihitung dengan membagi modal kerja bersih dengan total aset. Modal kerja bersih diperoleh dengan cara aset lancar dikurangi dengan liabilitas lancar. Modal kerja bersih yang negatif kemungkinan besar akan menghadapi masalah dalam menutupi liabilitas jangka pendeknya karena tidak tersedianya aset lancar yang cukup untuk menutupi liabilitas tersebut. Rasio Net Working Capital to Total Assets memiliki pengaruh terhadap prediksi kebangkrutan. Jika rasio Net Working Capital to Total memiliki nilai negatif, maka perusahaan tersebut diprediksikan

  Assets

  mengalami bangkrut, sedangkan jika rasio Net Working Capital to Total memiliki nilai positif, maka perusahaan tersebut diprediksikan

  Assets mengalami bangkrut.

  2. Z 2 = Saldo Laba terhadap Total Aset

  Rasio ini menunjukkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan saldo laba dari total aset perusahaan (mengukur profitabilitas perusahaan). Saldo laba merupakan laba yang tidak dibagikan kepada para pemegang saham. Dengan kata lain, saldo laba menunjukkan berapa banyak pendapatan perusahaan yang tidak dibayarkan dalam bentuk dividen kepada para pemegang saham. Saldo laba terjadi karena pemegang saham biasa mengizinkan perusahaan untuk menginvestasikan kembali laba yang tidak didistribusikan sebagai dividen. Rasio Retained Earning to Total Assets memiliki pengaruh terhadap prediksi kebangkrutan. Jika rasio Retained memiliki nilai negatif, maka perusahaan tersebut

  Earning to Total Assets

  diprediksikan mengalami bangkrut, sedangkan jika rasio Retained Earning to

  Total Assets memiliki nilai positif, maka perusahaan tersebut diprediksikan

  tidak mengalami bangkrut. Variabel profitabilitas ini digunakan hanya di model Altman saja.

3. Z 3 = Pendapatan sebelum Pajak dan Bunga terhadap Total Aset

  Rasio ini menunjukkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba dari aset perusahaan sebelum pembayaran bunga dan pajak (mengukur profitabilitas perusahaan). Rasio Earning Before Interest and Tax to Total memiliki pengaruh terhadap prediksi kebangkrutan. Jika rasio Earning

  Assets Before Interest and Tax to Total Assets memiliki nilai negatif, maka

  perusahaan tersebut diprediksikan mengalami bangkrut, sedangkan jika rasio memiliki nilai positif, maka

  Earning Before Interest and Tax to Total Assets perusahaan tersebut diprediksikan tidak mengalami bangkrut.

  4. Z 4 = Nilai Pasar Ekuitas terhadap Nilai Buku dari Total Liabilitas

  Rasio ini mengukur aktivitas perusahaan dalam memberikan jaminan kepada setiap utangnya melalui modal sendiri, di mana ekuitas diukur dengan nilai pasar gabungan dari semua saham, sementara untuk liabilitas, dihitung dengan liabilitas saat ini dan jangka panjang. Langkah itu menunjukkan berapa banyak aset perusahaan dapat digunakan untuk membayar seluruh liabilitas sebelum perusahaan menjadi bangkrut, jadi semakin tinggi kemampuan perusahaan membayar utangnya maka semakin besar peluang perusahaan tersebut untuk terhindar dari kebangkrutan perusahaan. Variabel aktivitas ini digunakan pada model Altman saja.

  5. Z 5 = Penjualan terhadap Total Aset

  Rasio ini mengukur aktivitas perusahaan dan menunjukkan apakah perusahaan menghasilkan volume bisnis yang cukup dibandingkan investasi dalam total aset. Rasio ini mencerminkan efisiensi manajemen dalam menggunakan keseluruhan aset perusahaan untuk menghasilkan penjualan dan mendapatkan laba. Implementasi dari metode Altman di atas, digunakan untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya kebangkrutan pada perusahaan manufaktur dan non manufaktur, juga akan dapat memberikan arahan bagi perusahaaan untuk melakukan tindakan pembenahan terhadap bagian-bagian perusahaan yang sedang mengalami permasalahan.

  Hasil analisis model Altman akan memberikan gambaran mengenai tiga kategori kondisi perusahaan sebagai berikut:

Tabel 2.1 Cut off Point Z-Score

  

Kategori Interpretasi

  Tidak Bangkrut Z-Score > 2,99 Zona Abu-abu 1,81 < Z-Score < 2,99 Bangkrut Z-Score < 1,81

  Sumber: Diolah dari berbagai sumber Keterangan: a.

  Z-Score > 2,99 dikategorikan sebagai perusahaan yang sangat sehat sehingga tidak mengalami kesulitan keuangan.

  b.

  1,81 < Z-Score < 2,99 dikategorikan sebagai perusahaan yang berada di daerah abu-abu yang cenderung memiliki kesulitan keuangan. Kemungkinan bangkrut dan tidak bangkrut sama besarnya.

  c.

  Z-Score < 1,81 dikategorikan sebagai perusahaan yang memiliki kesulitan keuangan yang sangat besar dan beresiko tinggi mengalami kebangkrutan.

2.4.2 Model Ohlson

  Model prediksi kebangkrutan yang juga populer adalah Model Logit Ohlson (1980). Analisis logit ini diperkenalkan pertama kali oleh Joseph Berkson pada 1944. Model Ohlson pada 1980 menggunakan analisis logit kondisional dengan mengamati 105 perusahaan bangkrut dan 2058 perusahaan tidak bangkrut pada periode 1970-1976. Hasil penelitian ini menemukan model size merupakan prediktor paling penting dalam memprediksi kebangkrutan dengan ketepatan prediksi untuk seluruh variabel laporan keuangan sebesar 96,3%.

  Ohlson (1980:114) tidak menggunakan teknik matched-pair sampling. Model yang dibangun Ohlson memiliki 9 variabel yang terdiri dari beberapa rasio keuangan, sebagai berikut (Ohlson, 1980:117-118):

  O = -1,32 - 0,407X 1 + 6,03X 2 – 1,43X 3 + 0,0757X 4 – 2,37X 5 – 1,83X +

  6 0,285X – 1,72X – 0,521X

  7

  8

9 Keterangan:

  X

  

1 = Log (total assets/GNP price-level index). Total aset diperoleh dari

  neraca perusahaan, sedangkan data GNP index Indonesia diperoleh dari www.bi.go.id

  X

  2 = Total liabilities/total assets*

  X = Working capital/total assets*

  3 X 4 = Current liabilities/current assets*

  X

  5 = 1 jika total liabilities > total assets ; 0 jika sebaliknya

  X = Net income/total assets Laba bersih diperoleh dari laporan laba rugi,

  6 sedangkan total aset diperoleh dari neraca.

  X = Cash flow from operations/total liabilities Arus kas dari kegiatan operasi

  7 diperoleh dari laporan arus kas, sedangkan total kewajiban diperoleh dari neraca.

  X

  8 = 1 jika Net income negatif ; 0 jika sebaliknya

  X = (NIt – NIt-1) / (NIt + NIt-1), di mana NIt adalah net income untuk

  9

  periode sekarang** * Semua data diperoleh dari neraca perusahaan.

  • Semua data diperoleh dari laporan laba rugi perusahaan.

  Ohlson (1980) menyatakan bahwa model ini memiliki cut off point optimal pada nilai 0,38. Ohlson memilih cut off sebesar 0,38 karena dengan nilai ini, jumlah error dapat diminimalkan. Cut off ini menunjukkan bahwa perusahaan yang memiliki nilai O skor lebih dari 0,38 diprediksi mengalami kebangkrutan, sementara itu, jika nilai O skor perusahaan kurang dari 0,38, maka perusahaan diprediksi tidak mengalami kebangkrutan.

Tabel 2.2 Cut off Point O-Score Kategori Interpretasi

  Tidak Bangkrut O-Score > 0,38 Bangkrut O-Score < 0,38

  Sumber: Diolah dari berbagai sumber Berikut akan diuraikan masing-masing rasio yang terdapat dalam Model

  Ohlson:

  1. X 1 = Log (Total Assets/GNP Price-level Index)

  Rasio ini mengukur ukuran perusahaan (firm size), di mana rasio ini lebih fokus pada eksternal perusahaan, seperti ketidakpastian kondisi ekonomi makro (GNP price-level index). Semakin besar nilai rasio ini, maka semakin baik kinerja perusahaan. Rasio ini memiliki koefisien negatif yang mengakibatkan nilai O skor semakin kecil.

  2. X 2 = Total liabilities/Total Assets

  Rasio ini merupakan salah satu rasio leverage yang menunjukan tingkat sejauh mana aset perusahaan telah dibiayai oleh penggunaan utang. Rasio ini memiliki koefisien positif, yang menyebabkan nilai O skor semakin besar, yang menunjukan bahwa semakin besar nilai X , maka semakin buruk pula

  2 kinerja perusahaan.

  3. X 3 = Working Capital/Total Assets

  Rasio ini dapat dikategorikan dalam rasio likuiditas yang mengukur kemampuan perusahaan memenuhi liabilitas jangka pendek. Semakin baik kemampuan perusahaan, maka semakin besar nilai X

  3 tersebut. Rasio ini

  memiliki koefisien negatif, yang dapat memperkecil nilai O skor. Nilai yang semakin kecil menunjukan kinerja perusahaan yang semakin baik. Rasio ini sama dengan model Altman, dan Springate.

  4. X 4 = Current Liabilities/Current Assets

  Rasio ini mengukur likuiditas perusahaan, namun difokuskan dalam jangka pendek. Hal ini menunjukan tingkat sejauh mana aset perusahaan telah dibiayai oleh penggunaan utang. Semakin besar nilai X

  4 yang dimiliki

  perusahaan, maka semakin besar nilai O skor dari perusahaan tersebut, karena memiliki koefisien positif, dalam model ini, semakin kecil nilai O skor menunjukan kinerja perusahaan yang semakin baik.

  5. X = 1 jika Total Liabilities > Total Assets; 0 jika sebaliknya

  5 Rasio ini mengukur likuiditas perusahaan. Cara menghitungnya adalah

  dengan memberikan nilai 1 jika total liabilitas perusahaan melebihi total aset dan sebaliknya, jika total liabilitas perusahaan lebih rendah dibandingkan dengan total aset, maka diberikan nilai 0.

  6. X 6 = Net Income/Total Assets

  Rasio ini mengukur profitabilitas perusahaan. Rasio ini juga disebut sebagai (ROI). Semakin besar nilai rasio ini, maka semakin baik

  ratio on investment

  kinerja perusahaan. O skor semakin kecil karena rasio ini memiliki koefisien negative yang berakibat pada kinerja perusahaan semakin baik.

  7. X = Cash Flow from Operations/Total Liabilities

  7 Rasio ini mengukur solvabilitas perusahaan, di mana dana yang digunakan

  untuk kegiatan utama perusahaan berupa dana yang tersedia dari kegiatan operasi yang dibiayai dengan kewajiban perusahaan atau dengan uutang.

  Rasio tersebut menunjukan kemampuan perusahaan memberikan jaminan kepada debitur.

8. X

  8 = 1 jika Net Income negatif; 0 jika sebaliknya

  Rasio ini mengukur profitabilitas perusahaan. Cara menghitungnya adalah dengan memberikan nilai 1 jika laba bersih perusahaan negatif dua tahun berturut-turut.

9. X

  9 = (NIt – NIt-1) / (NIt + NIt-1)

  Rasio ini mengukur perubahan profitabilitas perusahaan. NI merupakan laba bersih untuk periode t dan sebelumnya. Nilai positif rasio ini menunjukan kondisi yang baik.

2.4.3 Model Springate

  Springate membuat model prediksi kebangkrutan pada tahun 1978. Dalam pembuatannya, Springate menggunakan metode yang sama dengan Altman, yaitu (MDA). Seperti Beaver dan Altman, pada

  Multiple Discriminant Analysis

  awalnya Springate mengumpulkan rasio-rasio keuangan populer yang bisa dipakai untuk memprediksi kebangkrutan (Springate, 1978 dalam artikel Hadi dan Atika Anggraeni, 2008). Jumlah rasio awalnya adalah 19 rasio. Setelah melalui uji yang sama dengan yang dilakukan Altman, Springate menggunakan 4 rasio yang dipercaya bisa membedakan antara perusahaan yang mengalami kebangkrutan dan yang tidak mengalami kebangkrutan. Sampel yang digunakan Springate berjumlah 40 perusahaan yang berlokasi di Kanada. Model yang dihasilkan adalah sebagai berikut (Springate, 1978 dalam artikel Hadi dan Atika Anggraeni, 2008):

  S = 1,03X + 3,07X +0,66X +0,4X

  1

  2

  3

4 Keterangan:

  X

  1 = Working Capital/Total Assets

  X = Net Profit before Interest and Taxes/Total/Assets

  2 X 3 = Net Profit before Taxes/Current Liabilities diperoleh dari laporan laba rugi, sedangkan kewajiban jangka pendek

  EBT diperoleh dari neraca perusahaan.

  X

  4 = Sales/Total Assets

  Jika memiliki skor kurang dari 0,862 maka perusahaan diklasifikasikan sebagai perusahaan bangkrut dan sebaliknya, jika skor lebih dari 0,862, maka perusahaan diklasifikasikan sebagai perusahaan yang tidak bangkrut.

Tabel 2.3 Cut off Point S-Score Kategori Interpretasi

  Tidak bangkrut S-Score > 0,862 Bangkrut S-Score < 0,862

  Sumber: Diolah dari berbagai sumber Model ini menghasilkan tingkat keakuratan sebesar 92,5% dengan menggunakan 40 perusahaan yang diuji oleh Springate. Beberapa peneliti lain juga telah menguji model ini dan menemukan tingkat akurasi yang berbeda-beda. Berikut diuraikan masing-masing rasio yang terdapat dalam model Springate:

  1. X 1 = Working Capital / Total Assets

  Rasio yang mengukur likuiditas perusahaan. Rasio ini juga digunakan pada model Altman.

  2. X = Net Profit before Interest and Taxes/Total Assets

  2 Rasio ini digunakan untuk mengukur profitabilitas perusahaan. Rasio profitabilitas ini juga digunakan pada model Altman.

  3. X 3 = Net Profit before Taxes/Current Liabilities

  Rasio ini menunjukkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba dari utang jangka pendek sebelum pembayaran pajak (mengukur profitabilitas perusahaan). Rasio ini yang membedakan model Springate dengan model Altman.

  4. X 4 = Sales/Total Assets

  Rasio ini mengukur kemampuan perusahaan dalam menciptakan penjualan dengan aset yang ada (mengukur aktivitas perusahaan). Rasio ini juga digunakan pada model Altman.

  Hal yang membedakan model Springate dengan model Altman dalam penggunaan model prediksi kebangkrutan ini adalah dihilangkannya beberapa rasio yang digunakan model Altman, yaitu X

  2 = laba yang ditahan terhadap total

  aset, dan X = nilai pasar ekuitas terhadap nilai buku dari utang, kemudian

  4

  menambahnya dengan rasio EBT (Net profit before taxes/current liabilities), yang dipercaya bisa membedakan antara perusahaan yang mengalami kebangkrutan dan yang tidak mengalami kebangkrutan.

2.5 Penelitian Terdahulu

  Penelitian mengenai perbandingan ketepatan model-model prediksi telah banyak dilakukan, salah satunya oleh Hadi dan Anggreini pada 2008. Keduanya meneliti tentang tiga model prediksi Altman, Springate, dan Zmijewski guna mengetahui prediktor terbaik bagi perusahaan delisting. Hadi dan Anggreini berhasil mencapai kesimpulan The Zmijewski tidak mampu memprediksi delisting sementara Altman menjadi model prediksi terbaik dibandingkan dengan dua model lainnya, namun penelitian ini tidak mengklasifikasikan sampel delisting berdasarkan alasan mengapa perusahaan dikeluarkan dari BEI. Alasan perusahaan delisting bisa saja karena keinginan perusahaan sendiri, sehingga penggabungan perusahaan ini bisa menimbulkan salah interpretasi.

  Beragamnya model prediksi yang telah ditemukan, membuat peneliti lain kembali mencoba membandingkan model-model prediksi yang ada, seperti dilakukan Moghadam et al (2010) dengan melakukan penelitian mengenai perbandingan Model Altman dan Ohlson dalam memprediksi kebangkrutan perusahaan. Hasil yang didapat menyatakan Model Ohlson memprediksi lebih baik dibandingkan dengan Altman.

  Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Renanta (2011) mendukung penelitian Hadi dan Anggreini (2008), di mana Model Altman kembali menjadi model prediksi yang lebih baik dibandingkan dengan Springate. Sementara Avenhuis pada 2013, melalui penelitiannya kembali memperkuat penelitian Moghadam, bahwa Ohlson mampu memprediksi kebangkrutan lebih baik dari Altman, dan Zmijewski.

  Penelitian yang dilakukan Angga (2014) mendukung penelitian Hadi dan Anggreini, di mana Altman dinyatakan lebih baik memprediksi kebangkrutan dibandingkan dengan Springate dan Ohlson yang bertolak belakang dengan penelitian Moghadam et al (2010), Renanta (2011), dan Avenhuis (2013).

Tabel 2.4 Daftar Penelitian Terdahulu No Nama Peneliti Judul Penelitian Sampel Penelitian Variabel Hasil

  3. Vahdat

  11 Perusahaan Delisted Tahun 2009 Model Altman,

  Ketepatan Prediksi Kebangkrutan Perusahaan (Perbandingan antara Model Altman dengan Model Springate)

  Famia Renanta (2011) Analisis

  4. Erizka

  Model Springate mampu memprediksi kebangkrutan dengan tingkat keakuratan lebih tinggi dibandingkan model SAF.

  Springate, Model SAF) Y (Kebangkrutan)

  30 Perusahaan Delisted (2003-2011) X (Model

  30 Perusahaan Listed dan

  The Creation Of Bankruptcy Prediction Model Using Springate and SAF Models

  Ahgajani, Abolfazl Ghadiri Moghadam

  Both original Ohlson bankruptcy prediction model in 1980 without any modification of multipliers and coefficients and Logistic regression technique showed better prediction results than original Atman model in 1983 or Discriminat analysis technique.

  1 Syamsul

  Altman, Model Ohlson) Y (Kebangkrutan)

  20 Perusahaan Delisted 1998-2005 X (Model

  20 Perusahaan Listed dan

  Review of the prediction power of Altman and Ohlson Models in predicting bankruptcy of Listed Companies in Tehran Stock Exchange – Iran

  Ghadiri Moghadam , Farzane Nasir Zadeh, Mohamma d Masoud Gholampo ur Fard (2010)

  2 Abolfazl

  The Zmijewski tidak mampu memprediksi kebangkrutan, sementara Altman dan Springate mampu memprediksi kebangkrutan dengan Altman dinyatakan sebagai model prediksi terbaik.

  Altman, Model Springate, dan Model Zmijewski) Y (Kebangkrutan)

  42 perusahaan, 21 listed dan 21 delisted dari BEI pada 2003- 2007 X (Model

  Pemilihan Prediktor Delisting Terbaik (Perbandingan antara The Zmijewski Model, The Altman Model, dan The Springate Model)

  Hadi, Atika Anggreini (2008)

  Model Springate Model Altman lebih tinggi sebesar 87,5% dibanding dengan model Springate sebesar 81,3% dalam memprediksi kebangkrutan.

  Nama Judul Sampel No Variabel Hasil Peneliti Penelitian Penelitian

  Jeroen Testing

  14 Model Altman, Model Ohlson 5.

  Generalizability Oude perusahaan Model Ohlson, mampu Avenhuis of Bankcruptcy bangkrut, dan Model memprediksi

  Prediction

(2013) dan 326 Zmijewski kebangkrutan lebih

  Models of perusahaan baik dibandingkan Altman, Ohlson, tidak dengan Altman dan and Zmijewski bangkrut Springate. for Dutch Listed dari Bursa and Large Non- Efek Listed Firms

  Belanda Stevanus Perbandingan

  22 Model Altman, Model Altman 6. Aditya Model Prediksi perusahaan Model Ohlson, mampu Bayu Kebangkrutan manufaktur dan Model memprediksi

Angga Perusahaan dan non Springate kebangkrutan lebih

(2014) Publik manufaktur, baik dibandingkan

  11 dengan Springate diantaranya dan Ohlson. delisted dan 11 lainnya listed pada 2001-2012

  2.6 Kerangka Konseptual H 1 MODEL ALTMAN

  (X 1 ) H 2 MODEL OHLSON KEBANGKRUTAN

  (X 2 ) (Y) MODEL SPRINGATE

  H 3 (X 3 )

  H 4

  2.7 Hipotesis

  Berdasarkan teori dan hasil penelitian terdahulu mengenai ketepatan model-model prediksi kebangkrutan dalam memprediksi kemampuan perusahaan, maka perumusan hipotesis dalam penelitian ini sebagai berikut: H

  1 = Model Altman dapat digunakan untuk memprediksi kebangkrutan

  H = Model Ohlson dapat digunakan untuk memprediksi kebangkrutan

  2 H 3 = Model Springate dapat digunakan untuk memprediksi kebangkrutan

  H

  

4 = Model Altman mampu memprediksi kebangkrutan lebih baik dibandingkan

dengan Ohlson dan Springate.

Dokumen yang terkait

Analisis Laporan Keuangan dengan Model Springate dalam Memprediksi Potensi Kebangkrutan Perusahaan Pertambangan Sub Sektor Batu Bara yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

1 85 111

Analisis Perbandingan Ketepatan Model Prediksi Kebangkrutan Altman, Ohlson, Dan Springate Dalam Memprediksi Kebangkrutan Perusahaan

7 131 79

Analisa Perbandingan Model Prediksi Kebangkrutan Dengan Menggunakan Model Z – Score Dan O-Score Pada Laporan Keuangan PT PLN (Persero)

5 128 128

Perbandingan Model Altman Z-Score, Zmijewski, Springate, dan Grover Dalam Memprediksi Kebangkrutan Perusahaan Perbankan

0 0 12

Prediksi Kebangkrutan Perusahaan Yang Berorientasi Ekspor Pada Masa Krisis

0 0 21

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Laporan Keuangan - Analisis Laporan Keuangan dengan Model Springate dalam Memprediksi Potensi Kebangkrutan Perusahaan Pertambangan Sub Sektor Batu Bara yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 0 24

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebangkrutan 1. Pengertian Kebangkrutan - Analisis Prediksi Kebangkrutan Pada Perusahaan Perbankan Yang Telah Go Publik Di Bursa Efek Indonesia (Dengan Menggunakan Metode Altman Z-Score)

0 0 35

Prediksi Kebangkrutan Model Altman Z”-Score, Grover, Springate, Dan Zmijewski Pada Perusahaan Tekstil Dan Garmen Di Bursa Efek Indonesia

0 0 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Uraian Teoritis 2.1.1 Laporan Keuangan - Prediksi Kebangkrutan Model Altman Z”-Score, Grover, Springate, Dan Zmijewski Pada Perusahaan Tekstil Dan Garmen Di Bursa Efek Indonesia

0 0 28

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Prediksi Kebangkrutan Model Altman Z”-Score, Grover, Springate, Dan Zmijewski Pada Perusahaan Tekstil Dan Garmen Di Bursa Efek Indonesia

0 6 8