Pengaruh Umur Parasitoid Xanthocampoplex sp. (Hymenoptera: Ichneumonidae) terhadap Jumlah Larva Chilo sacchariphagus Bojer (Lepidoptera: Crambidae) di Laboratorium

  Chilo saccharipaghus Bojer (Lepidoptera: Pyralidae) Biologi

  Telur diletakkan pada permukaan daun, berbentuk oval, datar dan mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam sebelum menetas. Telur memiliki panjang 0,75 - 1,25 mm dengan rata-rata 0,95 mm. Masa inkubasi berkisar antara 4 - 6 hari dengan rata-rata sebesar 5,13 ± 0,78. Telur yang baru diletakkan berbaris di atas permukaan daun, (9-12 butir/cm) (David, 1986) (Gambar 1).

  Gambar 1. Telur C. sacchariphagus Sumb e

  Larva yang baru menetas berwarna oranye berukuran panjang 1,5 – 2,0 mm dengan kepala berwarna hitam. Larva instar 1 dan 2 lebih menyukai jaringan pelepah daun selama 7-8 hari dan menjelang instar 3 akan turun dari pelepah dan mulai menggerek batang. Larva berganti kulit 6-7 kali dengan lama periode larva 37-54 hari. Larva penggerek ini sangat aktif bergerak yang mengakibatkan kerusakan semakin besar (Yalawar et al., 2010) (Gambar 2).

  

Gambar 2. Larva C. sacchariphagus

Sumber

  : Larva menjelang jadi pupa akan keluar dari liang gerek dan memilih bagian tanaman yang agak kering kemudian setelah 10-18 jam pupa terbentuk.

  Garis-garis segmen akan semakin jelas dan setelah 1-2 hari warna pupa berubah jadi cokelat cerah kemudian akhirnya cokelat tua. Pupa terletak di dekat lobang atau pintu keluar pada tebu bekas gerekan. Masa pupa 6-7 hari (Kalshoven, 1981) (Gambar 3).

  

Gambar 3. Pupa C. sacchariphagus

Sumber :

  Ngengat merupakan serangga yang aktif malam hari (nokturnal),kekuning- kuningan dengan bercak-bercak hitam yang tipis pada sayap bagian depan.

  Ngengat mengembang dan terbang dengan jarak yang pendek ketika diganggu. ngengat betina lebih besar daripada ngengat jantan/ Umur ngengat jantan 4-8 hari dan ngengat betina adalah 4-9 hari (Soma dan Ganeshan, 1998) (Gambar 4).

  Gambar 4. Imago C. sacchariphagus Sumber Gejala Serangan

  Gejala kerusakan awal biasanya ditunjukkan dengan adanya garis-garis berwarna putih dan bintik-bintik halus pada daun yang telah terbuka. Kerusakan disebabkan oleh 5-15 larva yang akan menembus satu pelepah daun secara bersamaan. Setelah menembus pelepah daun, larva akan menuju ke dalam batang tebu, kemudian akan bergerak ke atas, bahkan seringkali merusak titik tumbuh tanaman tebu (Kalshoven, 1981).

  Gejala serangan hama ini dimulai dari larva muda yang baru menetas hidup dan menggerek jaringan dalam pupus daun yang masih menggulung, sehingga apabila gulungan daun ini nantinya membuka maka akan terlihat luka-luka berupa lobang gerekan yang tidak teratur pada permukaan daun. Setelah beberapa hari hidup dalam pupus daun, larva kemudian akan keluar dan menuju ke bawah serta menggerek pelepah daun hingga menembus masuk ke dalam ruas batang. Selanjutnya larva hidup dalam ruas-ruas batang tebu. Di sebelah luar ruas-ruas muda yang digerek akan didapati tepung gerek. Daun tanaman yang terserang terdapat bercak-bercak putih bekas gerekan yang tidak teratur. Bercak putih ini menembus kulit luar daun. Gejala serangan pada batang tebu ditandai adanya lobang gerek pada permukaan batang. Apabila ruas-ruas batang tersebut dibelah membujur maka akan terlihat lorong-lorong gerek yang memanjang. Gerekan ini kadang-kadang menyebabkan titik tumbuh mati, daun muda layu atau kering. Biasanya dalam satu batang terdapat lebih dari satu ulat penggerek (Yuniarti dan Yuliyanto, 2013).

  Gambar 5. Gejala Serangan C. sacchariphagus Sumber

  Serangan penggerek batang pada tanaman tebu muda berumur 3-5 bulan atau kurang dapat menyebabkan kematian tanaman karena titik tumbuhnya mati.

  Sedang serangan pada tanaman tua menyebabkan kerusakan ruas-ruas batang dan pertumbuhan ruas diatasnya terganggu, sehingga batang menjadi pendek, berat batang turun dan rendemen gula menjadi turun pula. Tingkat serangan hama ini dapat mencapai 25% (Indrawanto et al., 2010).

  Cara Pengendalian

  Pengendalian hama penggerek batang tebu bergaris (C. sacchariphagus) pada tanaman tebu dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu :

  1. Secara Mekanis Pengendalian mekanis dapat langsung dilakukan pada saat melakukan pengamatan di kebun yaitu dengan memungut atau mengambil telur atau kelompok telur, larva atau ulat atau pupa atau serangga dewasa pada bagian tanaman yang terserang secara langsung dan membunuhnya.

  2. Secara Kultur Teknis

  • Penggunaan bibit unggul
  • Penggunaan pupuk berimbang yang sesuai dengan jenis, dosis, waktu dan cara pemakaian yang dianjurkan.
  • Pengaturan pola tanam.
  • Penanaman serentak.
  • Pengaturan jarak tanam.
  • Pergiliran tanaman.

  3. Pengendalian Hayati a.

  Konservasi musuh alami Konservasi musuh alami merupakan cara yang paling murah dan mudah dilakukan oleh petani baik sendiri atau berkelompok. Konservasi musuh alami merupakan usaha untuk membuat lingkungan kebun disenangi dan cocok untuk kehidupan musuh alami terutama kelompok predator atau parasitoid.

  b.

Pelepasan musuh alami

  Pelepasan musuh alami dilakukan dengan mencari atau mengumpulkan musuh alami dari tempat lain, kemudian langsung dilepas ditempat yang dituju.

  Musuh alami penggerek batang berupa parasit larva.

  (Nugroho, 2009).

  Pengendalian penggerek batang bergaris juga dapat menggunakan parasitoid Xanthopimpla stemmator. Menurut Way et al., (2004) dari penangkapan 30 telur dengan waktu pencarian dua jam diperoleh bahwa 29 diantaranya terparasit secara total. Sementara secara umum ditemui bahwa X. stemmator memparasit larva. Banyak juga larva ditemukan mati karena terinfeksi oleh Bacillus thuringensis sedangkan jamur entomopatogen

  Beauveria bassiana ditemukan 3 larva yang mati karena infeksi (Conlong dan Goebel, 2002).

  Salah satu pengendalian penggerek batang bergaris adalah dengan menggunakan perangkap berupa feromon buatan. Hasil percobaan di Marromeu diperoleh bahwa pada sebuah botol tertangkap 14 ngengat C. sacchariphagus selama delapan malam. Penangkapan tertinggi dengan perangkap tunggal yaitu diperoleh sembilan individu (Way et al., 2004).

  Xanthocampoplex sp. (Hymenoptera: Ichneumonidae)

  Famili Ichneumonidae merupakan salah satu keluarga terbesar dalam

  dunia serangga dengan lebih dari 3300 jenis yang diuraikan terdapat di Amerika Utara, dan anggota-anggota ditemukan hampir dimana-mana. Serangga dewasa cukup bervariasi dalam ukuran, bentuk dan warna, tetapi kebanyakan menyerupai tabuhan-tabuhan yang langsing, mempunyai sungut-sungut (antena) yang lebih panjang dengan ruas-ruas yang lebih banyak serta tidak mempunyai sebuah sel kosta pada sayap-sayap depan (Borror et al., 1992).

  Daur hidup Xanthocampoplex sp. mulai dari telur, larva, kokon, imago. Periode praoviposisi 3 – 4 hari, periode telur hingga menjadi larva mulai

  

16-28 hari, kemudian akan membentuk sutra, kokon berbentuk bulat panjang

kekuningan (7,8 x 2,0 mm) (Fernandes et al., {2008} dalam Manik, 2012).

  Periode kokon antara 11 – 13 hari dan masa hidup imago 10 – 24 hari.

Seekor parasit Xanthocampoplex sp. adalah 37 – 66 hari. Kokon berbentuk bola

agak lonjong berukuran diameter 3 – 5 mm, berwarna cokelat bening dan gelap kuning di tengahnya (Penteado, {2008} dalam Manik, 2012).

  Imago yang keluar berukuran 5 – 8 mm, toraks berwarna hitam, abdomen

berwarna merah cokelat. Jantan dan betina dapat dibedakan dari ada tidaknya

ovipositor pada tubuhnya. Seekor parasitoid Xanthocampoplex sp. betina memiliki panjang sayap 3,5 mm (Rao, 1953) (Gambar 6).

  Gambar 6. Imago Xanthocampoplex sp.

  

Sumber

Imago betina dewasa akan mencari habitat inang dan kemudian dapat bertelur didalam tubuh inang dan larva dapat makan diatas induk dari bagian luar

menembus kutikulanya (sebagai ektoparasitoid) atau dapat hidup didalam

hemocoel inang (sebagai endoparasitoid). Kebanyakan Ichneumonidae adalah

soliter, satu individu berkembang dalam satu induk (Borror et al., 1992).

  Umur Parasitoid

  Nisbah kelamin dan reproduksi parasitoid dipengaruhi oleh umur dan kepadatan populasi inang dan umur parasitoid juga mempengaruhi kemampuan reproduksi dan penurunan proporsi betina. Persentase betina yang banyak akan menguntungkan bagi perbanyakan massal. Jumlah betina yang keluar dari inangnya merupakan faktor penting keberhasilan parasitoid mengendalikan populasi inangnya dan dapat menjadi indikator potensi parasitoid dalam mempertahankan hidupnya di lapangan (Mangangantung, 2001).

  Semakin banyak betina yang dihasilkan, maka semakin banyak keturunan yang dapat dihasilkan. Dalam suatu populasi, kecenderungan betina untuk menghasilkan keturunan betina lebih banyak daripada keturunan jantan akan menguntungkan populasi tersebut, karena betina lebih menentukan eksistensi suatu populasi dibandingkan jantan. Jadi, populasi yang memiliki individu- individu yang cenderung untuk mempunyai keturunan betina akan lebih bugar.

  Proporsi jumlah keturunan betina yang lebih banyak diduga karena kecenderungan imago betina parasitoid meletakkan telur-telur jantan pada inang yang kecil dan meletakkan telur-telur betina pada inang yang besar (Clausen 1939 dalam Godfray, 1994).

  Tipe reproduksi dimana parasitodi betina yang tidak kawin akan menghasilkan jantan dan betina disebut deuterotoki. Jantan yang bersidfaat haploid diproduksi karena terjadi secara alamiah maupun diakibatkan oleh lingkungan, betina menghasilkan keturunan betina pada kondisi diploid yang dikarenakan mekanisme sitogenesis. Pada spesies deuterotoki nisbah kelamin jantan mengarah ke total semua keturunan dengan kondisi antara lain suhu, pada teliotoki, betina yang tidak kawin hanya memproduksi keturunan betina. Pada beberapa kasus, spesies deuterotoki dibawah kondisi cekaman suhu ekstrim menghasilkan jantan haploid sebaik betina diploid. Pada teliotoki betina yang tidak kawin hanya menghasilkan keturunan betina dan jantan tidak diketahui. Mekanisme sitogenesis untuk memperbaiki kondisi di dalam telur merupakan penyebabnya seperti pada deuterotoki (Bosch, 1985).

  Umur parasitoid Microplitis crocipes (Hymenoptera: Braconidae) juga

dapat mempengaruhi nisbah kelamin, pembentukan pupa dan persentase imago

yang keluar dari pupa inang Heliothis zea (Harrison et al., 1993). Nisbah kelamin

dipengaruhi oleh faktor internal yaitu jenis telur yang diletakkan dalam satu kali

tusukan oviposisi, jumlah telur yang diletakkan dan kemampuan poliembrioni

(Doutt, 1973).

  Menurut Drost dan Carde (1992, dalam Darwati ,1999) umur parasitoid

juga mempengaruhi perilaku oviposisi. Parasitoid berumur lebih muda lebih aktif

dalam mencari inang dibandingkan umur yang lebih tua. Proporsi jantan dan

betina (nisbah kelamin) keturunan parasitoid juga ditentukan oleh suhu, umur

imago, dan kesesuaian nutrisi (Vinson dan Iwantsch, 1980).

  Tingkat keperidian dipengaruhi oleh umur parasitoid selain makanan

imago. Semakin tua umur parasitoid jumlah telur yang dihasilkan semakin

menurun. Keperidian yang tinggi dan lama hidup yang pendek merupakan

karakter penting parasitoid sebagai agens hayati (Clausen, 1940).

  Total produksi telur bergantung pada jumlah inang yang ditemuinya, hal

teresbut menunjukkan bahwa parasitoid mengatur produksi telur pada inang yang

tersedia. Dari hasil penelitian ini tampaknya ada dua fenomena yang terjadi yaitu

1) ketiadaan inang akan menyebabkan hilangnya stimulasi pendorong produksi

dan peletakkan telur dan 2) ketiadaan inang akan menyebabkan reabsorpsi telur.

Kedua faktor tersebut dapat terjadi pada individu yang sama sehingga mengakibatkan reaksi yang semakin kuat pada parasitoid. Jenis kelamin parasitoid sangat ditentukan oleh ada tidaknya pembuahan telur oleh sperma sebelum imago betina meletakkan telurnya pada inang (Akbar dan Buchori, 2012).

  Proses penemuan inang oleh parasitoid merupakan sebuah proses yang sangat kompleks dimana proses itu perbedaannya tergantung pada jarak inang.

  Hal itu merupakan proses yang dilakukan oleh parasitoid betina sebelum meletakkan telurnya pada permukaan kutikula inang atau dengan tusukan

ovipositornya telur langsung dimasukkan dalam tubuh inang

(Soviani, 2012).

  \

Dokumen yang terkait

Pengaruh Lama Inokulasi dan Ukuran Larva Chilo sacchariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae) untuk Perbanyakan Sturmiopsis inferens Towns. (Diptera: Tachinidae) di Laboratorium

3 43 55

Pengaruh Pakan Dan Inang Terhadap Perkembangan Imago Parasitoid Xanthocampoplex Sp. ( Hymenoptera : Ichneumonidae) Di Laboratorium

3 34 62

Pengaruh Umur Parasitoid Xanthocampoplex sp. (Hymenoptera: Ichneumonidae) terhadap Jumlah Larva Chilo sacchariphagus Bojer (Lepidoptera: Crambidae) di Laboratorium

4 47 68

Pengaruh Umur Imago dan Metode Parasitisasi Terhadap Keefektifan Parasitoid Cotesia flavipes Cam. (Hymenoptera:Braconidae) Pada Larva Chilo sacchariphagus Boj.(Lepidoptera:Crambidae) Di Laboratorium

2 55 86

Pengaruh Nisbah Kelamin Parasitoid Cotesia flavipes Cam. (Hymenoptera : Braconidae) dan Ukuran Inang Chilo sacchariphagus Boj. (Lepidoptera : Crambidae) Terhadap Fekunditas Cotesia flavipes Cam. di Laboratorium

2 64 82

Pengaruh Umur Parasitoid Xanthocampoplex sp. (Hymenoptera : Ichneumonidae) dan Waktu Inokulasi Terhadap Jumlah Larva Chilo sacchariphagus Bojer (Lepidoptera: Crambidae) di Laboratorium

3 58 80

Uji Daya Parasitoid Cotesia flavipes Cam.(Hymenoptera: Braconidae) Pada Larva Chilo sacchariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae) dan Chilo auricilius Dudg. (Lepidoptera: Crambidae) di Laboratorium

4 72 70

Pengaruh Lama Inokulasi dan Ukuran Larva Chilo sacchariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae) untuk Perbanyakan Sturmiopsis inferens Towns. (Diptera: Tachinidae) di Laboratorium

0 0 13

Pengaruh Pakan Dan Inang Terhadap Perkembangan Imago Parasitoid Xanthocampoplex Sp. ( Hymenoptera : Ichneumonidae) Di Laboratorium

0 0 15

Pengaruh Pakan Dan Inang Terhadap Perkembangan Imago Parasitoid Xanthocampoplex Sp. ( Hymenoptera : Ichneumonidae) Di Laboratorium

0 0 13