MODUL MANAJEMEN BENCANA SEPUTAR BEBERAPA BENCANA DI INDONESIA

  

MODUL MANAJEMEN BENCANA

SEPUTAR BEBERAPA BENCANA DI INDONESIA

Oleh :

Eko Teguh Paripurno

  

1

BERBAGAI POTENSI

BENCANA ALAM INDONESIA

Bencana lagi Masih kental diingatan, bencana gempa bumi dan tsunami Flores 12 Desember 1992 lalu.

  Kerusakan yang belum sepenuhnya selesai dibenahi. Berikutnya, Gunung Semeru memuntahkan material panas ke kawasan Lumajang Timur. Bencana itu mendatangkan keruguan ratusan juta rupiah, menewaskan beberapa penduduk, serta seorang wartawan. Berikutnya, gempa bumi di kekuatan 6,5 Skala Richter itu, telah menghancurkan 80% bangunan yang ada bernilai puluhan milyar rupiah. Serta lebih 200 penduduk tewas, dan 1000 penduduk luka berat dan luka ringan. Terakhir, Jum’at 3 Juni 1994 pukul 02.00 WIB dinihari,gelombang pasang menggulung di sepanjang pantai Jawa Selatan, mulai Pacitan di bagian barat, sampai Banyuwangi. Sedikitnya telah ditemukan 300 orang meninggal, tercatat jumlah terbanyak tercatat di Banyuwangi mencapai 125 orang. Konon tsunami tersebut akibat langsung dari gempa yang terjadi pukul 01.17 WIB hari itu juga. Menurut Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Jakarta, gempa berkekuatan 5,9 skala Richter. Pusat gempa pada 10.00 derajat lintang selatan dan 112,27 bujur timur,225 km dari pantai Malang Selatan pada kedalaman 33 km. Sebelah selatan ke utara, Lempeng Eurasia di sebelah utara –barat ke selatan –timur, lempeng Filipina disebelah utara bergerak ke barat, serta Lempeng Pasifik di sebelah timur,bergerak barat. Dan masing-masing lempeng itu bergerak dengan kecepatan 8 cm / tahun sampai 12 cm / tahun, dengan hubungan antar lempeng yang saling menunjam dan berpapasan. Kondisi ini yang menjadikan munculnya jajaran gunung api sepanjang pantai selatan pulau Sumatera, Jawa, dan Kepulauan Banda, serta munculnya pusat -pusat gempa patahan-patahan.

  Gempa

  Gempa bumi adalah gejala alam,berupa sentakan alamiah yang terjadi di bumi, yang bersumber di dalam bumi dan merambat ke permukaan. Gempa adalah salah satu bencana alam yang dapat diramalkan. Ada tiga kelompok pembagian gempa bumi yang lazim kita kenal. Pertama gempa tektonik, yaitu yang berkaitan erat dengan pembentukan patahan (fault), sebagai akibat langsung dari tumbukan antar lempeng pembentuk kulit bumi. Gempa ini merupakan gempa yang umumnya berkekuatan lebih dari 5 skala Richter. Gempa vulkanik, yaitu gempa berkaitan dengan aktivitas gunung api. Gempa ini merupakan gempa mikro sampai menengah, gempa ini umumnya berkekuatan kurang dari 4 skala Richter. Ketiga, terban yang muncul akibat longsoran / terban dan merupakan gempa kecil. Kekuatan gempa mungkin sangat kecil sehingga yang muncul tidak terasa, berupa tremor dan hanya terdeteksi oleh seismograf.

  Patahan-patahan besar juga merupakan penyebab gempa yang dahsyat. Misalnya patahan Semangko yang membujur membelah pulau Sumatera, patahan Palu-Koro di Sulawesi, patahan berarah Laut- Barat Daya dan Barat Laut – Tenggara yang merajam Jawa dan juga patahan Sorong di Kepala Burung Irian. Patahan-patahan tersebut merupakan zona lemah yang mudah oleh gempa tektonik. Pusat gempa itu sendiri begitu banyak dan mengerombol. Menyebabkan Indonesia ini banyak memiliki potensi bencana gempa. Antara lain Aceh, Padang, Bengkulu, Sukabumi, Wonosobo, Maluku dan Irian Jaya.

  Tsunami

  Tsunami (gelombang pasang) umumnya menerjang pantai landai. Asal-usul kejadiannya dapat dihubungkan dengan adanya tektonik (selanjutnya disebut gempa) dan letusan gunung api. Tsunami yang berhubungan dengan gempa dan letusan gunung api merupakan bencana alam lain yang kedatangannya tidak dapat diramal.

  Gempa-gempa dalam, umumnya tidak berpotensi langsung terhadap terjadinya tsunami. Contoh actual adalah gempa yang terjadi Sabtu pagi, 4 Juni 1994. Gempa tersebut berpusat di 345 km sebelah barat daya Denpasar, dan memiliki getaran sampai 6 skala Richter. Walaupun getarannya terasa kuat di Mataram, Lombok dan Denpasar, namun kenyataannya tidak menimbulkan tsunami, karena memiliki kedalaman 61 km. Gempa yang berpengaruh langsung menimbulkan tsunami umumnya merupakan gempa dangkal, yang mempunyai kedalaman sumber sekitar 50 km atau kurang. Umumnya, gempa hanya bertindak sebagai pemicu munculnya terjadinya sobekan patahan-patahan. Tsunami yang melanda Maumere Flores 12 Desember 1992 lalu, tidak langsung berhubungan dengan gempa. Gempa yang di bawah perairan Flores selatan berfungsi sebagai pemicu aktifnya patahan-patahan yang terdapat di pantai utara sehingga membentuk sobekan.

  Tsunami sepanjang pantai Jawa Timur ini, mengakibatkan korban terbanyak di Banyuwangi, jauh di timur titik gempa. Gelombang pasang paling besar memang terjadi disekitar itu, maka lebih di bawah Malang Selatan itu. Gempa diduga lebih dulu memicu patahan-patahan anjakan yang membujur ke arah timur-barat, di sepanjang dasar perairan jawa Timur. Sobekan patahan tidak akan sama besar, dan dibagian sobekan terbesar lebih memungkinkan memunculkan gelombang pasang. Tsunami lain adalah yang berhubungan dengan letusan gunungapi. Tsunami jenis ini, misalnya adalah tsunami akibat letusan G. Krakatau tahun 1883, yang dinyatakan terhebat dalam sejarah, telah merenggut lebioh dari 35.000 jiwa di kawasan Lampung dan Jawa Barat.

  Gunungapi

  Gunung api adalah suatu lubang bumi, yang dari lubang tersebut dapat dikeluarkan ini bumi berupa padatan panas, cairan panas dan gas panas. Beberapa tipe letusan gunungapi dapat diramalkan pemunculannya, karena umumnya memiliki selang waktu letusan. Bahaya yang ditimbulkan oleh gunung api dikenal sebagai bahaya primer dan bahaya sekunder. Bahaya primer merupakan bahaya yang berkaitan langsung dengan letusan, Muatan panas berupa padatan, cairan dan gas tinggi (di atas 500 derajat C) akan menghanguskan semua saja yang disentuhnya. Jatuhan langsung batu dan abu volkanik panas G. Galunggung, juga guguran lava pijar dan awan panas wedhus gembel yang dikeluarkan oleh G. Merapi merupakan contoh bahaya primer. Bahaya sekunder merupakan bahaya yang ditimbulkan secara tidak langsung. Jika hujan turun, lahar meluncur dan menutup semua yang dilewatinya. Banjir lahar gunung Merapi, dan gunung Kelud merupakan contoh bahaya sekunder. Bencana gunung api bukan barang baru. Bencana ini dapat terjadi setiap saat di banyak tempat di Indonesia, kecuali Irian Jaya, Kalimantan, Timor dan Sumba. Dari 128 gunung api ada, tercatat 70 pernah melakukan kegiatan, 26 diantaranya termasuk kategori rajin sehingga diawasi secara terus- menerus. Bahaya gunung api ini mengancam kawasan lebih kurang 16.620 km. Yang termasuk kategori rajin antara lain G. Agung, G. Merapi, G Kelud, G. Semeru, G. Raung, G. Lokon. Sepuluh tahun terakhir ini, beberapa letusan gunung api memeriahkan khasanah bencana alam Indonesia. Mulai G. Galunggung Jawa Barat, G. Colo Sulawesi Tengah, Ternate, Gunung Kelud Jawa Timur,

  G. Merapi, dan terakhir G. Semeru. Letusan Gunung Krakatau tahun 1883 yang merupakan letusan monumental yang tercatat dengan baik, menghancurkan pantai Lampung dan Banten. Yang lain, aadalah terurugnya wilayah kerajaan Mataram Hindu oleh letusan Gunung Merapi tahun 1006 sehingga pemerintah wangsa Syailendra ketika itu, hijrah ke Jawa Timur membuat negara baru.

  Banjir

  Meningkatnya banjir yang melanda beberapa daerah di wilayah Indonesia, khususnya Pulau Jawa, sering dikaitkan dengan pembabatan hutan di kawasan hulu dari sistim daerah aliran sungai

  (DAS). Banjir, sebenarnya merupakan bencana alam paling dapat diramalkan kedatangannya, karena berhubungan besar curah hujan. Secara klasik, walaupun tidak tepat betul, yang dituduh sebagai biang keladi banjir adalah petani, yang menebang hutan dibagian hulu DAS. Penebangan dan pengelolaan hutan yang terbatas, tidak begitu saja dapat sistim pengaturan air maupun pembudidayaan hutan menjadi lading, lahan pertanian atau pemukiman. Apalagi jika disertai dengan pemadatan tanah dan erosi yang berat. Penebangan hutan dan pemadatan tanah tidak memberikan kesempatan air hujan untuk meresap ke tanah. Sebagian besar menjadi aliran permukaan dengan pelumpuran. Apalagi didukung oleh sungai yang semakin dangkal dan menyempit, bantaran sungai yang penuh dengan penghuni, serta penyumbatan saluran air. Padahal, sekali kawasan terkena banjir, berikutnya akan mudah banjir lagi. Karena pori permukaan tanah tertutup sehingga air sama sekali tidak dapat meresap. Banjir umumnya terjadi didataran, hilir dari suatu DAS yang memiliki pola aliran rapat. Dataran yang menjadi langganan banjir umumnya memiliki kepadatan pendudukan tinggi. Secara geologis, berupa lembah atau bentuk cekungan bumi lainnya dengan porositas rendah. Umumnya berupa delta maupun alluvial. Selain pantai utara Jawa, dataran Bengawan Solo, dataran Sungai Citarum dan Sungai Bratas, Tinggi Bandung, dataran Sumatera Utara, Kalimantan Timur, merupakan kawasan potensi banjir.

  Longsor

  Longsor merupakan gejala alam untuk mencapai kondisi kestabilan kawasan . Seperti halnya banjir, sebenarnya gerakan tanah merupakan bencana alam yang dapat diramalkan nampak, bahwa suatu kawasan memiliki tatanan geologis lebih mudah longsor dibanding daerah lain. Batuan yang mudah desintegrasi, pola patahan batuan, perlapisan batuan, ketebalan tanah lapuk, kemiringan curam, kandungan air tinggi dan getaran gempa merupakan sifat geologis yang mempengaruhi proses longsoran, manusia dapat sebagai factor pemacu proses longsoran, misalnya secara sengaja melakukan penambahan beban, penambahan kadar air, penambahan sudut lereng. Karena faktor kadar air merupakan hal yang cukup dominan, maka longsor sering terjadi di musim hujan. Kawasan Temanggung Utara, Wangon, Wonosobo, Sukabumi, Sumedang, Padalarang, Bogor merupakan daerah potensi di Jawa. Daerah potensi longsor pada umumnya merupakan daerah di tepi pegunungan terjal.

  Amblesan

  Bencana alam geologi yang kurang disadari dan dianggap penting adalah penysupan air laut dan amblesan. Walaupun proses ini lambat laun terjadi, tetapi kurang mendapat perhatian, dalam arti kurang dibicarakan secara serius. Amblesan terjadi jika dilakukan penyedotan air melampoi batas kemampuan pada batuan endapan jenuh air, sehingga terjadi gangguan tata air tanah. Jika proses penyedotan air di luar batas kemampuan pengisian oleh air hujan ini dilakukan pada daerah landai, maka akan terjadi pengisian ruang kosong pada batuan oleh air laut. Proses ini dikenal sebagai penyusupan (intrusi) air laut. Proses penyusupan air laut ini maelanda kawasan Jakarta, Semarang dan Surabaya. Akibat kejadian ini, air tanah berubah payau, bahkan menjadi asin. Data yang ada, penyusunan air laut di tiga kota tersebut cepat dari waktu ke waktu. Di Jakarta, penyusupan telah melampaui kawasan Monas. Karena kebutuhan meningkat dan pengambilan air tanah makin tidak terkontrol bukan tidak mungkin maka masalah punyusunan air juga akan terjadi di beberapa kota lain, misalnya Medan, Menado, Cilacap, Tegal, Bojonegoro, Tuban, Pasuruan, Probolinggo, Denpasar, Mataram.

  Penutup

  Semua bencana alam, awalnya adalah gejala alam biasa. Fenomena itu dikatakan sebagai bencana karena menabrak kepentingan manusia. Untung tak dapat diduga, malang tak dapat raih, demikianlah kata pepatah. Celakanya, memang kebanyakan bencana alam sulit diramalkan. Oleh karenanya, masyarakat perlu meningkatkan kapasitas, mengetahui dan memahami tingkat potensi bencana, bentuk dan besar kekuatan bencana yang mungkin menimpa. Untuk menghadapi bencana alam masa depan, dapat dimulai dengan pemberian informasi potensi bencana alam yang tepat, akurat dari seluruh aparat dan disiplin ilmu terkait. Diharapkan dengan demikian dapat dilakukan pemilihan dan pelaksanaan langkah yang tepat, yaitu : menangatasi bencana, melawan bencana, atau menghindari bencana tersebut. Pemilihan dan penyiapan langkah tersebut dapat didekatkan ke berbagai cara, misalnya ke pola keruangan kawasan pemukiman, pola transportasi, pola informasi, dan lainnya. Jika ternyata masih tertimpa juga, minimal secara mental kita lebih siap. Karena semua bencana itu, semula memang gejala alam.

  

2

BENCANA GUNUNG API Merapi Meletus lagi

  Letusan gunung Merapi memang banyak meminta korban. Letusan terakhir yang fenomental, 22 November 1994 lalu misalnya, telah membawa korban langsung maupun tidak langsung. Korban langsung yang terkena awan panas tersebut sudah jelas nasibnya : rumah hancur, lahan dan tanaman rusak, sakit, atau meninggal. Lainnya, korban tidak langsung sampai saat ini masih ada yang berstatus “mengungsi” di rumah sendiri.

  Saat ini, gunung api Merapi menyimpan kubah lava baru mencapai 450.000 meter kubik. Ditambah kubah “masa lalu”, jumlah ini dianggap membahayakan. Oleh karenanya sejak beberapa waktu lalu status Merapi tidak berubah=ubah dari Siaga Merapi dan Waspada Merapi. Guguran kubah masih rajin terjadi. Jarak luncur mencapai 2,5 – 3,5 kilometer ke arah kali Bebeng, kali Krasak, kali Bedog dan kali Sat. Misalnya yang terjadi bulan Agustus dan Oktober 1996, serta yang cukup mengagetkan Januari 1997 lalu. Karenanya bukan tidak mungkin longsoran lebih panjang akan terjadi. Awal tahun ini ? Andaikan gunung Merapi benar-benar meletus, sudah siapkan kita ?. Tolok ukur kesiapan kita adalah, jumlah korban atas bencana terebut. Semakin siap kita menghadapi bencana, maka jumlah korban semakin kecil. Bahkan sangat mungkin kita mencapai sukses karena tidak ada korban sama sekali. Namun mungkinkah itu ?. Coba kita melihat kondisi para “pelaku” atau para “unsur”yang berkaitan dengan bencana ini. Jika masing-masing unsure tersebut kompak dan siap, maka “prestasi” itu bukan mustahil untuk dapat tercapai. Kita ketahui bersama bahwa “unsur” utama tersebut adalah pemerintah dengan segala perangkatnya, dan Masyarakat Merapi. Disadari bersama bahwa sampai saat ini masih ada perbedaan persepsi yang sangat mendasar antara Pemerintah dan Masyarakat Merapi dalam menilai resiko bencana. Lebih jauh, perbedaan penilaian ini disebabkan oleh perbedaan menilai tingkat bahaya (hazard) dan tingkat kerentanan (vulnerability) sebagai faktor-faktor penentu resiko bencana. Masyarakat menganggap kawasannya memiliki tingkat kerentanan rendah, atau sama sekali tidak rentan, karena seumur- umur mereka belum pernah merasakan. Bahkan barangkali, ada atau tidaknya tingkat kerentanan tersebut, terfikirpun tidak. Masyarakat lebih cenderung melihat dari sisi tngkat bahaya. Awan panas gunung Merapi berbahaya dan dapat merenggut jiwa. Sebaliknya, pemerintah menganggap bahwa kawasan pemukiman Masyarakat Merapi mempunyai tingkat kerentanan tinggi. Akibat dar perbedaan itu, jika harus memilih : Transmigrasi, relokasi, atau pindah dengan swadana dan swakarsa ? Jawabannya jelas ; menolak untuk pindah. Di sisi lain. Pemerintah Daerah tidak ingin rakyatnya menjadi korban letusan gunung merapi. Oleh karenanya, masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana diminta menyingkir.

  Dengan mempertimbangkan adanya perbedaan penilaian tersebut, bagaimana jika dicobakan alternatif penyelesaian yang lain. Yaitu sebuah upaya yang “semua menjadi pemenang”, misalnya. Masyarakat Merapi tidak perlu pindah, namun juga tidak menjadi korban letusan gunung Merapi. Apakah suatu hal yang mustahil ? Walaupun kedua keinginan tersebut dilatarbelakangi oleh niat yang baik, ternyata sampai sekarang belum juga mencapai kata sepakat. Perbedaan pendapat antara masyarakat Merapi dengan Pemerintah Daerah, seperti di atas, tentu telah banyak terjadi dan pasti masih akan terjadi. Penghapusan status pengamanan penduduk pada kawasan-kawasan Daerah bahaya, Turgo dan Tritis misalnya, serta kebijakan pemerintah melarang bertambahnya kepala keluarga baru dikawasan itu adalah wujud dari perbedaan yang tidak selesai tersebut.

  Penyadaran dan pengakuan masyarakat untuk swadaya

  Analisis resiko bencana diharapkan dapat dipertimbangkan untuk diterapkan dalam pemecahan masalah ini. Lebih jauh, tentunya cara ini juga dipertimbangkan untuk perencanaan pengembang kawasan sekitar gunung api aktif. Dalam pendekatan analisis resiko bencana ini, manusia merupakan faktor resiko tertinggi.

  Karenanya, sisi yang sangat mendasar adalah meningkatkan kesadaran masyarakat atas posisi keruangannya yang terletak pada kawasan rawan bencana. Mitigasi bencana alam akan berjalan baik jika masyarakat mengerti dan sadar akan posisinya; di kawasan terlarang, kawasan bahaya I, atau kawasan bahaya II. Kesadaran ini memungkinkan terjadinya perbedaan prilaku masyarakat pada masing-masing kawasan dalam mensikapi bencana alam tersebut. Masyarakat yang berada di kawasan yang memiliki resiko lebuh tinggi, tentunya harus lebih tangga akan kemunculan bencana. Kesadaran masyarakat atas posisi keruangannya perlu didukung dengan kemampuan dalam membaca dan memahami tanda-tanda bencana. Diupayakan kemampuan memahami dan membaca tanda-tanda “resmi” dari lembaga-lembaga pemerintah. Maupun tanda-tanda “tidak resmi” dari alam, agar masyarakat tidak memiliki ketergantungan mutlak. Tentunya masih tersisa ilmu pengetahuan tradisional untuk membaca tanda-tanda bencana tersebut. Pemaduan ilmu tradisional dengan ilmu modern bukanlah suatu hal yang buruk.

  Perihal tanda-tanda bencana “resmi”, tidak disangsikan lagi. Peralatan-peralatan monitoring untuk prakiraan bencana alam makin hari semakin canggih. Namun, kita ketahui bahwa selang waktu antara munculnya “tanda bencana” dan “peristiwa bencana” tidak pasti. Selang waktu dapat berhari-hari, berjam-jam, atau hanya beberapa saat saja. Oleh karenanya kecanggihan alat -alat tersebut perlu didukung kemantapan system informasi. Diharapkan informasi tertangkap oleh lembaga-lembaga pembaca tanda bencana dapat sampai ke masyarakat dalam waktu singkat. jika memungkinkan lembaga-lembaga pembaca “tanda bencana” perlu diberi wewenang untuk memerintahkan pelaksanaan pengungsian.

  Selanjutnya, system informasi yang baik perlu didukung kemapanan dan kelayakan infra struktur seperti jaringan transportasi dan jaringan telekomunikasi.Kondisi infra struktur yang tidak memadai menjadikan kemampuan masyarakat untuk melaksanakan mobilisasi pengungsian menjadi rendah. Kenyataan menunjukkan, sebagian besar kawasan yang rawan bencana gunungapi tidak memiliki jaringan infra struktur yang memadai; kecuali jika kawasan tersebut merupakan kawasan pengembangan wisata. Kondisi kesadaran dan kemampuan masyarakat yang tinggi dalam mitigasi bencana alam mungkinkan dilakukan mitigasi secara swadaya. Tapi mungkinkah itu terjadi ?. Diakui atau tidak, operasional mitigasi bencana sangat masih kental nuansa strukturalnya. Kebenaran langkah yang dipilih harus sesuai dengan kekakuan aturan-aturan structural. Sebagai contoh, tidak berkembangnya model mitigasi dengan menggunakan bangunan pelindung (bunker) adalah contoh penerapan kekakuan itu. Karena penguasa tidak merestui (sama dengan melarang) maka bunker tidak pernah ada. Bahkan kalau ada melanggar hokum. Keswadayaan mitigasi jelas bertumpu pada masyarakat. Karenanya langkah awal yang perlu dilakukan adalah penguatan kesadaraan dan kemampuan masyarakat. Untuk mendukung kegiatan ini, tentunya peran “masyarakat luar” masih dimungkinkan dan diperlukan. Sesuai dengan kemampuannya, lembaga- lembaga kemasyarakatan seperti Lembaga Swadaya Masyarakat, Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), dapat mencari peluang untuk ikut berperan. Dalam mensosialisasikan dan mengembangkan program tersebut, nampaknya terdapat porsi peran untuk LSM-LSM developmentalist. Kemampuan LSM-KSM dalam menggamit masyarakat sudah tidak perlu diragukan lagi. Terlepas dari adanya perbedaan pendapat dalam mensikapi dan kiprah LSM-KSM, namun dipastikan, kiprah LSM-KSM yang praktis dan mengena “langsung” lebih dapat diterima secara jujur oleh masyarakat. Karenanya LSM-KSM cukup berpeluang dalam melakukan penyadaran dan penguatan masyarakat dalam mitigasi bencana alam sehingga keswadayaan itu terwujud. Program diharapkan dapat dilaksanakan dengan asas kerakyatan dan kejujuran. Perlu dihindari kecurigaan dan prasngka buruk yang kurang beralasan. Kelaziman yang ada. LSM-KSM berprasangka buruk bahwa pemerintah cederung membelit dan mempersulit ijin melaksanakan kegiatan. Atau, pemerintah curiga bahwa pasti LSM-KSM mempunyai “udang dibalik batu” untuk menghasut rakyat, jika melakukan kegiatan di suatu kawasan.

  Dengan didukung dan berkoordinasi dengan instansi terkait, LSM-KSM dapat berperan dalam penguatan masyarakat dalam pengelolaan mitigasi bencana alam seperti : pengelolaan pencarian korban, pengelolaan proses evakuasi, pengelolaan proses pengungsian, pengelolaan barak pengungsian, pengelolaan dapur umum, pengelolaan dana bantuan untuk pengungsi, dan lainnya.

  Jika hal-hal tersebut telah berjalan baik, maka akan terhindari adanya peristiwa dan munculnya suara-suara sumbang seperti : bantuan menumpuk dan tak tersalur, dana bantuan raib tidak sampai pada pengungsi, dana bantuan dialokasikan untuk kegiatan tidak jelas, panitia barak pengungsian untung, penyaluran dana tidak adil, dan sebagainya. Dan yang penting adalah sedikit korban langsung maupun tidak langsung. Lantas, bagaimana jika dimulai sekarang ?. Sehingga jika gunungapi itu meletus, kita sudah mampu dan diakui dalam berswadaya mitigasi bencana. Bukankah bencana di suatu saat, adalah anugerah untuk waktu yang lain.

  

3

MEMAHAMI GEJALA ALAM

GEMPA BUMI

Macam dan kejadian gempa

  Ada tiga kelompok pembagian gempa bumi yang lazim kita kenal. Pertama, gempa tektonik, disebabkan oleh getaran bumi sebagai akibat dari tumbukan antar lempeng pembentuk kulit bumu, merupakan gempa besar yang umumnya berkekuatan lebih dari 5 skala Richter. Kedua gempa Volkanik, yang disebabkan oleh aktivitas gunung api, merupakan gempa mikro sampai sedang, yang umumnya berkekuatan kurang dari 4 skala Richter. Ketiga gempa terban yang muncul akibat longsoran / terban, yang merupakan gempa kecil . Kekuatan gempa mungkin sangat sehingga getaran yang muncul tidak terasa, dan hanya dapat terdeteksi oleh seismograf. Gejala demikian disebut (tremor). Secara umum, gempa bumi merupakan gerakan tiba-tiba yang akibat pelepasan yang terakumulasi akibat tumbukan lempeng / kulit bumi, pergeseran sesar, aktivitas gunung api atau yang lain. Titik pelepasan sebagai sumber energi,melepaskan energi membentuk gelombang ke segala arah, termasuk ke permukaan. Teori yang dapat digunakan sebagai pendekatan untuk mengetahui penyebab kejadian gempa tektinik adalah menerapkan Teori bingkas Elastik (Elastic Rebound Theory) dan Teori Tektonik Lempeng (Plate Tectonic Theory). Teori Bingkas Elastik menjelaskan proses pelepasan energi dalam bentuk getaran. Pada Teori Bingkas Elastik,fase pertama dimulai dari bekerjanya gaya dari dua arah mulai bekerja terjasi penahanan oleh kohesi maupun adhesi batuan (bahan). Fase kedua terjadi sampai pelenturan maksimal dan terjadi akumulasi pada batas batuan. Fase ketiga, terjadi patahan pada daya tahan batuan mencapai maksimal namun gaya yang masih berlangsung. Fase ketiga segera diikuti fase keempat berupa fase pelepasan energi. Pada fase terakhir batuan yang melengkung kembali ke posisi semula dengan oleh pelepasan energi gelombang ke segala arah, dalam gelombang tranversal maupun gelombang longitudinal. Teori Tektonik Lempeng diterapkan untuk menjelaskan gaya tektonik regional yang bekerja disuatu kawasan. Untuk Indonesia, tektonik regionalnya sangat dipengaruhi oleh keberadaan Lempeng Hindia-Australia di sebelah Selatan, Lempeng di sebelah Utara Barat, Lempeng Filipina di sebelah timur, serta Lempeng Pasific disebelah timur, yang masing-masing bergerak mendekat dengan kecepatan 8 km / tahun samapai 12 km / tahun. Pada peristiwa gempa, biasanya diikuti dengan gempa susulan yang muncul. Menurut K. Mogi, ahli Seismologi jepang akan menyertai gempa utama. Umumnya tidak akan lebih dari gempa utama namun terjadi berulang-ulang. Pusat gempa susulan dapat berada disekitar maupun jauh dari gempa utama. Pada kasus-kasus tertentu gempa susulan akan relative lebih besar dengan gempa utama. Hal ini terajadi jika gempa utama justru berfungsi sebagai pemicu munculnya gempa ikutan.

  Gempa ikutan tersebut mungkin muncul kuat jika kawasan yang telah mengalami akumulasi energi maksimal.

  Kekuatan gempa

  Untuk mengetahui kekuatan gempa dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu dengan mengukur energi yang dilepaskan dan mengukur akibat yang ditimbulkan oleh gempa tersebut. Pengenalan kekuatan cara pertama gempa bersifat kuantitatif,dilakukan pengukuran dengan skala Richter yang umumnya dikenal sebagai pengukuran magnetudo gempa bumi. Magnetudo gempa bumi adalah ukuran mutlak yang dikeluarkan oleh pudat gempa. Pendapat ini pertama kali dikemukakan oleh Richter, dengan amplitude antara 0 sampai 9. Selama ini gempa terbesar tercatat sebesar 8,9 skala Richter terjasi di Columbia tahun 1906 Pengenalan kekuatan cara kedua bersifat kualitatif, melihat besarnya kerusakan yang diakibatkan oleh gempa. Kerusakan tersebut dapat dikatakan sebagai intensitas gempa bumi. Pada kerusakan yang sama dapat ditarik dalam satu kesamaan kerusakan sebagai satu isoseisme. Selanjutnya, daerah-daerah memiliki kesamaan kerusakan dipetakan dan buat peta isoseisme. Suatu peta isoseisme selalu terdiri oleh garis-garis yang tertutup (kontur). Bagian pusat dari garis-garis melingakr disebut episentrum gempa bumi. Intensitas ini merupakan akibat maksimun, karena kerusakan yang diderita merupakan kerusakan maksimum. Tentunya intensitas maksimum ini tergantung dari besarnya energi yang dilepas oleh gempa bumi. Intensitas gempa nampaknya lebih penting bagi manusia menyangkut rusaknya bentukan- bentukan fisik yang dibuat oleh manusia. Di Indonesia digunakan skala intensitas MMI (Modified mercarlli Intensity) versi tahun 1931.

  Gempa Lampung

  Gempa bumi melanda dan memporak-porandakan kota Liwa, lampung barat. Tercatat korban tewas 184 orang,luka berat 690 orang, dan luka ringan tidak kurang dari 849 orang. Gempa tersebut berpusat di perairan Laut Indonesia, pada 6,72 derajat Lintang selatan dan 102,93 derajat Bujur Timur dengan kedalaman 58 km dibawah permukaan laut. Menurut catatan-catatan stasiun Branti lampung, gempa terjadi rabu 16 Februari 1994 pukul 00.07,35 selama lima menit, dengan kekuatan 6,5 Skala Richter. Sedang menurut United States Geological Survey, gempa tersebut berkekuatan 7,2 Skala Richter. Gempa dapat terasa dengan tidak merata pada radius sekitar 500 km. Tercatat di Jakarta intensitas gempa sebesar 2 MMI, di Lampung Utara 4 MMI, di Bengkulu dan lampung 3 MMI, dan Kotabumi 4 MMI. Daerah Sumatera bagian Selatan merupakan salah satu dari sekian banyak kawasan rawan gempa yang ada di Indonesia. Di pulau Sumatera sebagai daerah rawan gempa tentu tidak dapat dilepaskan dari tatanan tektonik Indonesia, khususnya Indonesia Barat. Tatanan tektonik pulau Sumatera merupakan bagian dari system kepulauan vulkanik yang terjadi padanya interaksi penyusupan Lempeng Hindia- Australia di Selatan Indonesia. Interaksi lempeng berupa jalur tumbukan (subduction zone) tersebut memanjang mulai sebelah timur Sumatera sampai ke kepulauan Tanimbar di sebelah Timur. Hasilnya adalah terbentuknya busur gunungapi (magmatic arc) yang sekaligus kawasan rawan gempa yang membujur mulai pulau-pulau Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Alor, Wetar dan Ambon.

  Tatanan tektonik pulau Sumatera memang relative lebih rumit disbanding dengan Indonesia Barat pada umumnya, walaupun tidak serumit Indonesia Timur. Penyebab rumitnya tatanan ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, sudut penyusupan lempeng Hindia-Australia ke Utara di Selatan pulau Sumatera bersudut besar. Sudut tumbukan lebih besar disbanding di Selatan pulau Jawa. Kedua arah gaya dari gerak Lempeng Hindia-Australia yang berada di sekitar 45 derajat terhadap pulau sumatera. Sementara arah tumbukan tersebut untuk pulau Jawa relative tegak lurus. Fenomena tektonik ini menyebabkan titik-titik pusat gempa relative lebih berhimpit dengan titik pemunculan gunungapi (magmatic arc), yaitu G.Krakatau, G. Dempo, G. Kaba, G. Talang, G. marapi, G. Tandikat, G. Sarik Merapi, G. Bur Ni Telong, dan G. Peuet Sague yang membentuk Pegunungan Bukit Barisan. Juga, fenomena tektonik tersebut menjadikan adanya titik pemunculan gunungapi aktif ini berhimpit dengan kompleks patahan Semangko (Great Semangko Fault) yang begitu besar, membujur dari Aceh sampai teluk Semangko di Lampung. Kondisi inilah yang menyebabkan kawasan pulau sumatera lebih sering terjadi gempa besar. Zona ini merupakan zona paling rawan. Umumnya gerakan tanah terjadi pada zona ini. Sebelum gempa terjadi di Liwa ini,misalnya juga pernah terjadi di Tarutung.

  Lempeng Hindia-Australia yang menyusup ke lempeng Asia boleh jadi yang menjadi gaya utama penyebab gempa. Gerakan terjadi akibat adanya gaya dorong melebihi gaya adhesi kedua lempeng. Akibatnya terjadi pelepasan gaya guna mencapai kondisi stabil. Titik pelepasan gaya ini dianggap terletak pada kedalaman 58 kilometer dari muka laut. Pelepasan gaya tersebut sebagai pengaktif patahan semangko. Kenampakan menarik adalah terjadinya penyebaran intensitas gempa yang cenderung kea rah timur dan Utara. Adanya gaya ini sekaligus mengaktifkan patahan- patahan yang ada dengan arah Utara-Selatan, yang terdapat di Sumatera Selatan, selat Sunda,dan Jawa Barat, dan memanfaatkannya penghantar.

  Gempa susulan yang terjadi di Lampung makin menurun baik frekuensi maupun magnetudo. Dengan adanya gempa susulan tersebut sebenarnya kita diuntungkan. Dengan adanya gempa susulan maka kemungkinan munculnya gempa besar akan berkurang, karena energi tidak terakumulasi. Namun bagaimana kita menunggu hasil telitian detil yang dilakukan.

  Tabel : Scala Intensitas gempa MMI 1. Dapat dirasakan oleh beberapa orang saja.

  3. Dirasakan lebih keras. Kendaraan atau benda lain yang berhenti dapat bergerak.

  4. Dirasakan lebih keras baik didalam bangunan atau diluar. Jendela dan pintu mulai bergetar.

  5. Dirasakan hamper oleh semua orang. Pigura di dinding mulai berjatuhan,jendela kaca pecah.

  6. Dirasakan oleh semua orang. Orang mulai ketakutan. Kerusakan mulai nampak.

  7. Setiap orang mulai lari ke luar. Bisa dirasakan di dalam kendaraan yang bergerak.

  8. Sudah membahayakan bagi setiap orang. Bangunan lunak mulai runtuh.

  9. Mulai dengan kepanikan. Sudah ada kerusakan yang berarti bagi semua bangunan.

  10. Kepanikan lebih hebat.hanya gedung-gedung kuat dapat bertahan Terjadi arah longsor dan rekahan.

  11. Lebih panih lagi. Hanya beberapa bangunan bertahan.Jembatan rusak.

  12. Kerusakan total. Gelombang terlihat ditanah. Benda-benda berterbangan.

  4 MASALAH BANJIR DAN AIR Banjir lagi

  Belakangan, bencana banjir menjadi fenomena rutin di musim penghujan, merebak di berbagai daerah aliran sungai (DAS) di beberapa wilayah di Bengawan Solo mengirim air berlebihan ke hilir,sehingga Waduk Kedung Ombo yang sebenarnya sudah ombo tidak mampu lagi menampung. Sungai juga tidak mampu menahan beban, walhasil,kota bandung yang terletak di cekungan dataran tinggi Bandung tertimpa banjir. Dan nampaknya masih banyak lagi yang masih akan dating, sehingga banjir menjadi semacam langganan bagi kita. Di waktu lain, ketika musim kemarau kekeringan menjadi fenomena umum. Perbandingan keseterdiaan air tanah kawasan Yogyakarta saat kemarau dan musim hujan merosot tajam. Kualitas air kawasan Semarang semakin buruk. Walaupun tidak separah Jakarta, intrusi air laut diduga mencapai Tugu Muda.

  Melihat permasalahan air belakangan ini, nampaknya seperti bermain dengan sekeping mata uang. Banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau, akan hadir beriringan. Namun jika dicermati lebih lanjut,nampaknya bukanlah semata-mata sebagai bencana alam.

  Meningkatnya banjir yang melanda beberapa daerah di wilayah Indonesia, khususnya Pulau Jawa, sering dikaitkan dengan aktifitas pembabatan hutan di kawasan hulu dari system daerah aliran sungai (DAS). Secara klasik,walaupun tidak tepat benar, yang dituduh sebagai biang keladi banjir adalah petani, peladang yang menebang hutan di bagian hulu DAS. Penebangan dan pengelolaan hutan yang terbatas tidak lantas begitu saja dapat mengganggu sistim pengaturan air maupun system keseimbangan air. Kecuali jika dilakukan secara besar- besaran, dan pembudidayaan hutan menjadi lading, pertanian atau pemukiman yang disertai dengan pemadatan tanah dan yang berat.

  Pemukiman dan pemadatan tanah tidak memberikan kesempatan air hujan meresap ke tanah. Sebagaian besar menjadi aliran air permukaan. Apalagi didukung oleh sungai yang semakin dangakl dan menyempit bantaran sungai yang penuh sesak dengan penghuni, serta penyumbatan air didaerah hulu. Maka datanglah banjir. Padahal, sekali kawasan banjir, berikutnya akan lebih mudah banjir lagi. Karena pori permukaan tanah tertutup Lumpur sehingga air sama sekali tidak dapat meresap.

  Banjir umumnya terjadi di dataran rendah hilir dari suatu system DAS memiliki pola aliran rapat. Dataran yang menjadi langganan banjir memiliki kepadatan penduduk yang tinggi. Secara geologis,berupa atau bentuk cekungan bumi lainnya dengan porositas rendah. Umumnya dataran delta maupun alluvial. Selain pantai utara jawa, dataran Solo, dataran Sungai Citarum dan Sungai Brantas, dataran tinggi, dataran Sumatera Utara, Kalimantan bandung,dari kawasan konsevasi menjadi pemukiman, adalah contoh pemicu karena aktivitas manusia. Kasus sungai- sungai yang mengalir ke Semarang misalnya; secara umum menunjukkan amplitude debit yang besar antara musim penghujan dan kemarau. Kondisi tersebut sedikitnya dapat menunjukkan terjadinya aliran permukaan yang maksimal di daerah hulu. Potensi banjir tersebut di daerah dataran. Semarang menjadi sangat besar karena merupakan dataran yang didominasi pasir lempungan,pantai yang pasang surut, yang secara alamiah air sulit meresap ke dalam tanah.

  Masalah air Perkembangan jumlah penduduk cenderung mengakibatkan kualitas lingkungan menurun.

  Perkembangan jumlah penduduk secara tidak langsung akan memburuk pada kualitas air tanah dan potensi banjir. Walaupun tidak separah Jakarta, nampaknya kondisi air tanah potensi banjir di beberapa kota Yogyakarta dan Semarang perlu perhatian serius. Kita ketahui bahwa sebagaian besar kebutuhan air tercukupi oleh air tanah, baik pengambilan air tanah dangkal maupun dalam.Pemanfaatan air hendaknya mengikuti konsep “hasil aman” (safe yield) atau konsep “hasil tetap” (sustained yield). “Hasil aman”adalah jumlah air yang dapat untuk kepentingan manusia tanpa menguras persediaannya sampai batas, sedang “hasil tetap” adalah yaitu jumlah air yang diambil namun dipertanggungjawabkan kelangsungan pengambilannya. Jumlah air yang dimanfaatkan hendaknya seimbang dengan jumlah air yang terbentuk alamiah. Kawasan Yogyakarta secara geologis terdiri dari Formasi Yogyakarta , Formasi Sleman. Berupa endapan vulkanik muda hasil letusan Gunung yang terdiri dari perselingan tidak menerus antara kerakal, kerikil,pasir dan lempung. Karakteristik akifer tanah seperti ini sebenarnya menguntungkan karena memiliki kemampuan meresap dan menyimpan yang besar. Sehingga membentuk berbagai ragam akifer.

  Pemanfaatan air tanah pada musim kemarau sekitar sepuluh tahun terakhir meningkat cepat. Untuk kawasan Yogyakarta dan sekitarnya perbedaan air tanah antara musim hujan dengan kemarau mencapai 129 km3, padahal tahun 1983 hanya 91 km3. Akibat keadaan ini penurunan air tanah di Yogyakarta dalam sepuluh tahun terakhir mencapai 5 sampai 10 meter dari kondisi sebelumnya.

  Penggunaan air selalu meningkat. Bahkan mungkin terjasi percepatan yang lebih besar dari yang diperkirakan. Pemanfaatan air tanah dengan menggunakan sumur bor sampai kedalaman lebih dari 60 meter belum begitu banyak sebagaimana Jakarta. Surabaya dan Semarang menunjukkan kenaikan yang pesat. Memang, instansi pemerintah sedang getol- getolnya membuat sumur bor untuk memanfaatkan air tanah.

  Karakteristik akifer air tanah yang sangat berpori cukup menguntungkan dari sisi pengelolaan kuantitas air, namun sebaliknya akan merepotkan dari sisi kualitas air. Karakteristik akifer dari endapan vulkanik muda yang berporositas tinggi menyebabkan kualitas air mudah terkontaminasi. Penurunan kualitas air tanah lebih sulit diatasi dibanding dengan penurunan kuantitas air. Kesulitan penanganan antara lain disebabkan oleh model pemukiman di Yogyakarta dan kawasan pedesaan sekitarnya pada negara dunia ketiga umumnya, masih terpencar-pencar. Juga system septic tank juga masih sendiri-sendiri dengan menggunakan septic tank resapan konvensional. Sistem sanitasi dan pembuangan limbah yang konvensional menyebabkan kondisi kualitas air semakin memburuk.

  Untuk Yogyakarta, kandungan bakteri Colliform dalam air tanah (sumur) rata-rata lebih besar dari 2.400 mpn. Suatu jumlah yang sangat tinggi. Kondisi tersebut juga berlaku untuk air tanah dangkal kawasan desa-desa di lereng Selatan Gunung Merapi. Lebih lanjut, kajian eksploratif oleh KAPPALA menunjukkan bahwa semakin ke hilir kondisi air tanah akan lebih memprihatinkan. Di beberapa tempat, misalnya kawasan Papringan, Sagan, Terban, Lempuyangan, air tanah oleh deterjen, zat organic KMnO4 bukan suatu hal yang aneh lagi. Juga kandungan beberapa unsure seperti N, Fe, Hg, yang secara setempat -setempat melebihi Kasus lain, adalah kondisi air tanah, pada jalur utama Weleri – Semarang-Demak. Kajian eksploratif dan dokumentatif Kappala Yogyakarta, menunjukkan penyebaran air payau semakin meluas dan kadar garam semakin tinggi. Pemanfaatan air tanah kawasan pantai yang dilakukan berlebihan dan di luar perhitungan akan menjadikan air laut meresap ke daratan, atau lebih dikenal dengan intrusi air laut. Penurunan kualitas air karena meningkatnya kandungan garam menunjukkan gejala meluas. Untuk kawasan Semarang dan sekitarnya kondisi air tanah akifer dangkal sampai kedalaman 40 meter sudah menjadi payau. Tingkat salinitas tertinggi terletak di Tambaksari dengan nilai daya hantar listrik (DHL) 1000 m /mm (mikro ohm tiap centimetre). Sebagai ukuran baku, air memiliki nilai DHL kurang dari 400 m / mm, air payau antara 400 m /mm sampai 2.500 m /mm, dan air asin lebih dari 2.500 m /mm. Penurunan muka air tanah bukan hanya meningkatkan kandungan garam, termasuk jumlah koloid yang ikut, sehingga air berwarna kuning kecoklatan. Akibatnya, beberapa air sumur bor di kawasan Semarang menjadi tak dapat di minum, hanya layak untuk kebutuhan mandi dan cuci.

  Hampir semua air tanah dangkal di kawasan Semarang, terutama pada sumur gali dengan kedalaman sekitar 5 meter, memiliki salinitas tinggi. Umumnya nilai DHL di atas 1.000 m /mm. Bahkan untuk kawasan-kawasan tertentu mencapai nilai DHL 9.000 m /mm. Penyebaran air payau ke Selatan mencapai Kalijati, dan Kalimas di Semarang Selatan, sekitar 10 kilom dari pantai. Di kawasan tersebut nilai DHL mencapai 4.500. Kajian eksploratif KAPPALA menunjukkan bahwa air tanah dangkal kawasan Kalisari, Tapak, Beji, dan Pertamina mengandung unsure CaCO3, Mg dan fe. Kekeruhan melampaui batas yang dipersyaratkan. CaCO3 mencapai 522 mg / l, Mg 177,7 mg/ l fe 11,7 mg / l. Kelebihan unsur-unsur serta kekeruhan tersebut begitu tinggi, hingga air berwarna kecoklatan serta terasa asin.

  Secara geologis, salinitas air tanah yang tinggi tidak selalu disebabkan oleh intrusi air laut. Air tanah dangkal pada kawasan-kawasan bekas pantai tertutup seperti lagoon,maupun rawa pantai yang telah menjadi dataran akan memiliki salinitas tinggi. Kawasan dengan kondisi demikian, antara lain di sekitar Kalimas, Karang Tengah, Bumiharjo Kawasan tersebut berjarak sekitar 20 km dari pantai utara. Namun air tanah dangkal dengan kedalaman kurang dari 6 meter memiliki nilai sekitar 2.700 m /mm. Bahkan dibeberapa tempat mencampai 4500 m / mm.

  Memahami itu,jauh hari sebenarnya beberapa Pemeritah Daerah Tingkat I Jawa Tengah telah melakukan tindakan untuk mengantisipasi adanya penurunan kualitas maupun kuantitas air tanah. Diberlakukannya kawasan konservasi air, pembuatan waduk dan “kantung” air, maupun pemasyarakatan sumur resapan. Air dari resapan tersebut akan mensuplai air bersih melampaui kebutuhan, sehingga secara alamiah akan mampu “menggelontor” air payau. Minimal, dengan peningkatan air tanah, maka akan terjadi keseimbangan antara pengisian dan pengair dari akifer dengan lebih baik.

  Propinsi Jawa Tengah misalnya, membuat kawasan konservasi air bagi kawasan resapan potensial. Untuk ketersediaan air permukaan di wilayah Semarang dan Demak, dibuat kawasan konservasi air, yang dituangkan dalam Surat Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Tengah Nomor : 647 / tanggal 1 Juni 1990 tentang Pelestarian Alam Jalur Jalan Semarang- Ungaran dan DAS Garang dan Jragung.

  Namun belakangan ini, di kawasan konservasi air tersebut, dilakukan pengambilan air secara cukup besar oleh perusahaan makanan maupun air minum. Belum jelas benar, apakah pernah dilakukan penelitian tentang pengambilan air di kawasan tersebut. Penelitian yang dikaitkan dengan kuantitas dan kualitas air tanah kawasan tersebut, yang peruntukannya untuk ketersediaan air tanah permukaan di wilayah Kabupaten Semarang dan Demak. Jika pengambilan dilakukan berlebihan, tanpa mempertimbangkan peruntukan konservasi, atau dilakukan melebihi hasil tetap, maka sebenarnya sia-sia saja dikeluarkan Surat Kepala

  Peran serta masyarakat dan LSM

  Melihat kenyataan bahwa manusia juga berperan kuat dalam “mencipta” banjir, maka untuk menguranginya perlu dikaji perlunya jaringan drainase yang tepat lingkungan. Diharapkan kondisi penurunan muka air tanah dan munculnya banjir nampaknya dapat dikurangi. Sedikitnya ada hal yang dapat dilaksanakan, antara lain. Pertama, meningkatkan peran masyarakat dalam “mengatur air”, dengan pembuatan sumur resapan secara ketat. Sesuai kemampuan, sumur resapan akan meredam air hujan yang terbuang. Model-model sumur resapan juga banyak pilihan. Prinsip sumur ini adalah mengurangi terjadinya aliran permukaan yang terbuang dengan memperbesar jumlah resapan sebagai air bawah permukaan. Pembangunan sumur resapan ini tidak perlu teknologi canggih. Pada prinsipnya sama dengan membuat sumur gali biasa. Hanya saja di atas ditutup beton dan diberi saluran masuk, serta saluran limpasan. Dengan saluran tersebut air hujan yang jatuh ke genting akan mengisi sumur resapan, dan baru terbuang jika sumur terpenuhi air. Yang perlu diperhatikan, permukaan dasar sumur resapan harus lebih tinggi dari muka air tanah, dengan jarak cukup untuk memperkecil kontaminasi pada air tanah.

  Kedua, perlu menghindari penggunaan system drainasi konvensional yang tertutup. Konsep dasar system drainasi konvensional adalah merupayakan agar suatu kawasan terbebas dari genangan dengan cara mengalirkan air rendahan, dan mendatangkan banjir. Air limpahan dari pemukiman,jalan, lapangan terbang, pertokoan, dan semua fasilitas-fasilitas kehidupan yang menutup permukaan tanah umumnya terbuang dan tersalurkan melalui drainase ini akan berpengaruh pada pembentukan air tanah. Padahal di kawasan tersebut air sama sekali tidak teresapkan, sehingga “memodali” aliran permukaan yang besar. Air terbuang percuma ke saluran, ke sungai, akhirnya ke laut. Pembuangan percuma berarti memperbesar aliran permukaan,yang selanjutnya berarti mengundang banjir. Padahal pembuangan air hujan ke sungai sekaligus berarti memperkecil pembentukan air tanah.

  Kalau masyarakat, dan LSM-nya saja kurang mempermasalahkan air ini, maka jadinya masalah air akan Cuma “masalah pemerintah”, yang kemampuannya terbatas. Terus, kalau tidak mampu, masalah air ini menjadi masalah siapa ?. Atau perlu LSM berkegiatan khusus melakukan penguatan dan penyadaran pada LSM untuk masalah ini, sebelum penguatan dan penyadaran masyarakat ?

  

5

AIR DAN PERAN MASYARAKAT Perkembangan jumlah penduduk cederung mengakibatkan kualitas lingkungan menurun.

  Salah satunya adalah kondisi air tanah. Walaupun belum separah Jakarta, nampaknya kondisi air di beberapa kota besar lainnya memasuki fase mengkhawatirkan. Kita ketahui bahwa sebagian besar kebutuhan air tercukupi oleh air tanah, baik pengambilan air tanah dangkal dengan digali maupun pengambilan air tanah dalam dengan sumur pompa. Perkembangan jumlah pendudukan secara tidak langsung akan memperburuk kualitas air tanah. Dengan jumlah penduduk yang meningkat serta system sanitasi maupun pembuangan limbah rumah tangga yang apa adanya, maka wajar jika kualitas dan kuantitas air cenderung menurun. Pemanfaatan air tanah hendaknya mengikuti konsep “hasil aman” (safe yield) atau konsep “hasil tetap” (sustained yield). “Hasil aman” adalah jumlah air yang dapat diambil untuk kepentingan manusia tanpa menguras persediaannya sampai bernilai ekonomis, sedang “hasil tetap” adalah yaitu jumlah air diambil namun dapat dipertanggungjawabkan kelangsungan keberadaannya. Jumlah air tanah yang dimanfaatkan hendaknya seimbang dengan jumlah air yang terbentuk secara alamiah. Pengambilan air tanah yang berlebihan tanpa perhitungan menyebabkan terjadinya penurunan muka air tanah yang cukup besar. Air tanah yang terbentuk lebih banyak dipengaruhi oleh factor alamiah, antara lain curah hujan tahunan, karakter akifer dan kemiringan lahan.

  Permasalahan air di Yogyakarta

  Kawasan Yogyakarta secara geologis terdiri dari Formasi merapi dan Formasi Sleman. Berupa endapan vulkanik muda hasil letusan Gunung Merapi, yang terdiri dari perselingan tidak menerus antara kerakal, kerikil, pasir dan lempung. Sifat akifer tanah seperti ini sebenarnya cukup mendukung karena memiliki kemampuan meresap dan menyimpan air cukup besar. Sehingga membentuk berbagai ragam akifer. Pemanfaatan air tanah pada musim kemarau sekitar sepuluh tahun terakhir meningakt cepat. Untuk kawasan Yogyakarta dan yang seluas 191 km2. Seperti yang telah diteliti Suharyadi dan Agus Medi, ahli geohidrologi dari UGM, perbedaan air tanah antara musim hujan dengan kemarau mencapai 128.817.000 m3. Pembentukan air tanah tahun 1983 pada musim hujan 147.471.793,40 m3 dan musim kemarau 16.793.940,39 m3. Pada tahun 1991 pada musim hujan 121.559.275,50 m3 dan pada musim kemarau 6.625.734,492 m3. Pemanfaatan air tanah tahun 1989 pada musim hujan 6.796.291,95 m3 dan musim kemarau 1.826.697,95 m3, sedang tahun 1991 pada musim hujan 16.095.710,37 m3 dan musim kemarau 16.922.408,32 m3. Dengan membandingkan antara pembentukan air tanah dan pemanfaatan air, tahun 1983 masih kelebihan 141.175.502,40 m3 pada musim hujan dan kelebihan 8.967.242,94 m3 pada musim kemarau. Sementara tahun 1991, pada musim hujan masih kelebihan air tanah 105.667.273,20 m3 , namun pada musim kemarau telah kekurangan air tanah sebesar 10.296.673,84 m3. Melihat keadaan ini penurunan air tanah di Yogyakarta dalam tahun terakhir mencapai 5 sampai 10 meter dari kondisi sebelumnya. Penggunaan air selalu meningkat. Bahkan mungkin terjadi peningkatan yang lebih besar dari yang diperkirakan. Pemanfaatan air tanah dalam dengan menggunakan sumur bor dengan kedalaman lebih dari 60 meter walaupun belum begitu besar sebagaimana Jakarta, Surabaya dan Semarang juga menunjukkan kenaikan yang pesat. Memang instansi pemerintah sedang getol-getolnya membuat sumur bor untuk memanfaatkan air tanah. Salah satunya untuk irigasi. Namun sebelum berlarut-larut, penelitian yang cermat perlu dilakukan agar secara dini penggunaan air yang terlalu besar bisa dihindari.