Semangat Pasifikasi dan Etis dalam Pemba

Semangat Pasifikasi dan Etis dalam Pembangunan Aceh
Pada Era Kolonial
Oleh:
Ahmad Muhajir, Universitas Diponegoro

Periode paruh kedua abad ke-19 merupakan saat ekspansi geo-politik dan persaingan
kolonial yang sedang terjadi dengan tempo cepat, bersamaan pula dengan sistem
kapitalisme yang mulai menguasai dunia. Di Hindia Belanda, dorongan untuk
mewujudkan cita-cita pax-Neerlandica semakin menguat, daerah-daerah taklukan
semakin terintegrasi dalam kesatuan administratif dengan kecenderungan
perekonomian negara yang semakin liberal. Dalam konteks perluasan pax-Neerlandica
ini, perang kolonial di Aceh (1873-1914) memperlihatkan bahwa gerak maju
kolonialisme Belanda bukanlah kasus yang berdiri sendiri, melainkan terkait pula
dengan gerak maju kekuatan kolonial lain yang saling terlibat kontestasi, yaitu Inggris.
Berbagai peperangan yang telah dilalui untuk mewujudkan cita-cita tersebut
merupakan kelanjutan dari kebijakan pasifikasi dan ekspedisi polisional. Eksploitasi
kolonial peninggalan Van den Bosch tidak lagi efektif dan telah ditinggalkan, karena
berimbas pada kesejahteraan rakyat yang semakin merosot dan menyengsarakan.
Di parlemen Belanda, kritik terhadap prinsip eksploitasi model lama dianggap
telah usang oleh para politikus yang berhaluan agama Katolik maupun Sosialis.
Kesejahteraan rakyat mulai dipikirkan dalam gagasan kolonial baru yang notabene lebih

humanis. Golongan agama menitikberatkan pada kewajiban moral orang Belanda untuk
mengangkat derajat penduduk Bumiputra, atau lebih tepatnya berupa gerakan
penyebaran agama dan misi pengadaban. Sementara itu, golongan sosialis
menitikberatkan pada peningkatan kesejahteraan, perkembangan moral Bumiputra,
evolusi ekonomi, yang bukan eksploitatif melainkan atas dasar moralitas. Di luar kedua
golongan itu muncul gerakan perbaikan oleh golongan yang disebut kaum Etis, nama
yang dipakai untuk menyebut politik kolonial baru, yaitu Politik Etis. Mereka menuntut
agar negeri induk membayar ‘hutang kehormatan’ kepada Hindia Belanda,
sebagaimana gagasan Van Deventer. Irigasi, Edukasi dan Emigrasi merupakan tiga sila
yang dikampanyekan.1 Karena itulah untuk merealisasikan kebijakan-kebijakan yang
berbasis pada Politik Etis terlebih dahulu harus dimuluskan dengan Pasifikasi atau
‘pengamanan’ Aceh. Bahkan hutang pemerintah kolonial yang mencapai 40 juta gulden
1Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional, Jilid 2
(Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2014), hlm. 38. Prinsip-prinsip Politik Etis menuntut adanya upaya konstruktif
untuk kesejahteraan moral dan material, kontrol ketat atas pemerintah desa dan desentralisasi. Itulah intisari
kampanye Politik Etis yang penekanannya terdapat pada kata kunci: desentralisasi, efisiensi dan kesejahteraan.
Lihat J.S. Furnivall, Hindia Belanda: Studi tentang Ekonomi Majemuk, terjemahan Samsudin Berlian (Jakarta:
Freedom Institute, 2009), hlm. 244-247.

1


diambil alih oleh pemerintah Belanda, sehingga Batavia dapat meningkatkan
pengeluaran untuk pembangunan tanpa harus dibebani hutang lagi. Maka berjalanlah
apa yang dimaksud Politik Etis tersebut. Sejak itu, menjelang abad ke-20, politik
kolonial meninggalkan prinsip liberalisme yang dianggap sudah usang itu dan beralih
ke prinsip-prinsip Etis. Sementara itu tokoh-tokoh pendukung ekonomi kapitalisme
telah menduduki jabatan-jabatan strategis di pemerintahan. 2 Di Hindia Belanda, periode
awal abad ke-20 ditandai sebagai era dimulainya sebuah dunia kolonial baru, yang
mana ekonomi berkembang dengan pesat, perluasan daerah ke luar Jawa dan perluasan
jabatan-jabatan di pemerintahan kolonial terjadi secara besar-besaran.
Upaya pasifikasi3 di Aceh merupakan yang paling alot dan melelahkan sepanjang
sejarah kolonial. Perang di Aceh mengajarkan Belanda bahwa penaklukan suatu daerah
tidak semata-mata bisa dicapai dengan kebijakan represif, meskipun memang aksi
militer mampu menekan intensitas perlawanan dan mempercepat konsolidasi politik
seperti yang dilakukan Van Heutsz, panglima yang disanjung sebagai sang penakluk
Aceh, demikian pula para pendahulunya. Namun rekayasa sosial adalah cara lain yang
menjadikan peluang penaklukan Aceh menjadi lebih besar, seperti kontribusi Snouck
Hurgronje4 yang mengupas orang Aceh secara agama dan kultural untuk memberikan
advis kepada pemerintah yang sebelumnya begitu ‘buta’ terhadap informasi mengenai
karakter orang Aceh.

Aceh merupakan wilayah kunci untuk mewujudkan pax-Neerlandica itu. Bagi
pemerintah kolonial, Pasifikasi Aceh harus dilalui dengan susah payah, bahkan melewati
puluhan tahun yang sangat melelahkan. Kerugian material, fisik dan mental dari kedua
pihak pada akhirnya dipertimbangkan agar diakhiri secepatnya. Pada awal abad ke-20,
2Politik Etis berakar pada masalah kemanusiaan maupun pada keuntungan ekonomi. Sebelumnya pada
era liberal (1870-1900), kapitalisme swasta memainkan pengaruh yang sangat menentukan terhadap kebijakan
penjajahan. Industri Belanda mulai melihat Hindia Belanda sebagai pasar yang potensial yang strandar hidupnya
perlu ditingkatkan. Modal Belanda maupun internasional mencari peluang-peluang baru bagi investasi dan
eksploitasi bahan-bahan mentah dan kebutuhan tenaga kerja, khususnya di Daerah Luar Jawa (Buitengewesten).
Oleh karena itulah kepentingan perusahaan-perusahaan asing mendukung keterlibatan pemerintah yang semakin
intensif untuk mencapai ketenteraman, keadilan, modernitas dan kesejahteraan. Kalangan Etis membenarkan
pandangan para pengusaha tersebut sebagai gagasan yang menguntungkan untuk terus dikampanyekan. Lihat
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, terjemahan Dharmono Hardjowidjono (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2011), 227-228.
3Pasifikasi (mengamankan) di Daerah Luar Jawa dipandang sebagai bagian dari usaha untuk
menambah daerah jajahan, hanya saja ekspansionisme Belanda hanya terbatas di kepulauan Nusantara.
Neomerkantilisme mempengaruhi politik kolonial Belanda, meskipun pemerintah Belanda hampir menjalankan
politik pintu terbuka demi posisinya di dalam kancah politik internasional. Politik kemakmuran yang dijalankan
oleh Belanda dipandang sebagai usaha untuk mendapatkan pasaran bagi hasil-hasil industrinya. Di samping itu,
kaum kapitalis yang menguasai ekonomi kolonial lebih mengutamakan upah rendah dan tanah yang murah

untuk diterapkan di daerah jajahan Hindia Belanda. Ibid., hlm. 43-44.
4Selama penugasannya sebagai advisor di Aceh, dia berhasil mempelajari watak dan kultur orang Aceh
yang terangkum dalam karyanya De Atjehers, berdasarkan pengamatan dan pengalamannya selama bertugas, dia
merumuskan gagasan yang disebut ‘Politik Islam’. Di samping menjadikan kedudukan ulèëbalang dan ulama
sebagai dua kelompok elit Aceh yang berada dalam situasi konflik, dia juga membagi Islam atas tiga bagian:
ibadah, muamalah dan politik. Dia juga memperkenalkan “Kontrak Pendek” (Korte Verklaring) sejak tahun
1898 yang merupakan bukti legal pengakuan kedaulatan Hindia Belanda atas suatu kenegerian dalam pasalpasal yang lebih singkat dibandingkan dengan versi “Kontrak Panjang” (Lange Verklaring) pada masa-masa
sebelumnya.

2

pemerintah Hindia Belanda untuk kesekian kalinya mengubah kebijakan dalam
mengamankan Aceh. Karena hingga saat itu Aceh belum berhasil ditaklukkan
sepenuhnya. Kemudian pemerintah mencoba melaksanakan suatu kebijakan baru yang
disebut sebagai ‘Politik Pasifikasi’ sebagai lanjutan dari gagasan Snouck Hurgronje,
yaitu perlunya sebuah pendekatan yang menunjukkan sikap lunak kepada masyarakat
Aceh. Dengan demikian, tindakan-tindakan yang mengandalkan kekerasan dan
kekuatan militer mulai ditinggalkan demi upaya-upaya damai dan kooperatif yang
diharapkan akan menimbulkan simpati, meredam kebencian dan menyuburkan
kepercayaan rakyat terhadap pemerintah. Untuk itulah pasifikasi melalui pendekatanpendekatan baru dilaksanakan secara intensif ketika memasuki abad ke-20. 5 Perlu

dijelaskan bahwa upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah kolonial untuk
mengamankan Aceh secara garis besar terdiri dari beberapa segmen, yaitu: (1)
penegakan kedaulatan; (2) kontrol terhadap ulèëbalang; (3) penciptaan situasi
keamanan dan politik yang kondusif-kooperatif; (4) pembangunan prasarana fisik; (5)
pembangunan perekonomian; (6) pembangunan pendidikan rakyat; dan (7) perbaikan
kualitas kesehatan rakyat. Anggapannya adalah bahwa jika perekonomian maju, maka
penghidupan rakyat akan menjadi lebih baik dan lebih makmur, sehingga ketentraman
dan ketertiban daerah akan lebih terjamin. Dengan demikian diharapkan rakyat Aceh
menyerah secara definitif kepada Belanda dan rakyat dengan segera bisa melupakan
penderitaan yang dialami akibat perang berkepanjangan.
Penaklukan kenegerian-kenegerian di Aceh dicapai secara berangsur-angsur
selama periode 40 tahun Perang Aceh. Meskipun ibukota kesultanan berhasil direbut
dalam waktu singkat (1874), namun perang yang dihadapi oleh Belanda tidaklah
semudah seperti yang diperkirakan sebelumnya, dengan kata lain, jatuhnya kekuasaan
sultan atau negara ke tangan Belanda tidak serta-merta menjadikan seluruh wilayah
Aceh telah ditaklukkan, sebagian kekuatan rakyat masih mengobarkan perang hingga
beberapa dekade ke depan. Di samping itu, Kesultanan Aceh pada dasarnya merupakan
federasi dari kenegerian-kenegerian merdeka di seluruh Aceh yang dikuasai oleh rajaraja otonom, yaitu para ulèëbalang yang secara formal dan federatif tunduk di bawah
kedaulatan sultan. Oleh karena itu, tugas Belanda adalah mendapatkan loyalitas dan
pengakuan kedaulatan dari para ulèëbalang di seluruh Aceh, baik secara diplomatis

maupun represif. Kemudian lahir Perang di Jalan Allah, yaitu perang rakyat yang telah
5Upaya tersebut sebenarnya telah diusulkan oleh Snouck Hurgronje sejak tahun 1892, namun baru
dijalakan pada awal abad ke-20 ketika kampanye pasifikasi semakin gencar dilakukan oleh pemerintah. Dia
menginginan dikerahkannya pasukan yang cukup besar untuk menundukkan perlawanan melalui operasi militer
besar-besaran (baru direalisasikan pada tahun 1898 di bawah pimpinan Van Heutsz), sehingga penduduk
mendapat kesempatan meningkatkan kemakmurannya setelah keamanan lebih terjamin. Dia juga menyarankan
berbagai instruksi untuk dijalakan oleh pemerintah, di samping pandangannya terhadap kedudukan sultan,
strategi menghadapi para ulama, serta usul agar memajukan pertanian, peternakan dan perdagangan di Aceh.
Demikian pula hingga tahun 1904, dia terus mengusulkan pentingnya meningkatkan perekonomian rakyat selain
juga mengusulkan agar investor swasta asing agar segera mungkin masuk ke Aceh. Lihat M. Gade Ismail,
Seuneubôk Lada, Ulèëbalang dan Kumpeni: Perkembangan Sosial Ekonomi di Daerah Batas Aceh Timur, 18401942 (Disertasi pada Rijksuniversiteit Leiden, 1991), hlm. 147.

3

disusupi ideologi jihad atau perang sabil oleh golongan ulama menambah beban
Belanda untuk merumuskan solusi dan kebijakan atas orang-orang Aceh. 6
Elit di Aceh terdiri dari tiga golongan, yaitu: sultan, ulèëbalang dan ulama.
Setelah kesultanan direbut, jabatan sultan pun dilenyapkan, yang menandakan bahwa
Aceh sebagai suatu negara merdeka telah tiada.7 Di samping itu, jabatan ulèëbalang
justru dipertahankan oleh pemerintah kolonial sebagai elit Bumiputra yang legal,

sedangkan posisi ulama yang populis dan berkaitan langsung dengan keagamaan,
cenderung diberi ruang bergerak yang luas, kecuali mereka yang memimpin kelompok
perlawanan rakyat secara militan, maka segera diberangus oleh kekuatan militer
Belanda. Memelihara ulèëbalang sebagai elit dan pejabat resmi Bumiputra dipandang
memberikan banyak keuntungan bagi Belanda, seperti halnya terhadap pejabat bupati
di Jawa.8 Respons rakyat pada mulanya bervariasi. Para pemimpin adat atau kelompok
ulèëbalang terbelah, ada yang kooperatif dan ada juga yang masih terus melakukan
perlawanan. Begitu pula dengan para pemimpin agama atau pihak ulama, ada yang
bersikap netral, ada yang kooperatif dan ada yang terus membakar semangat jihad
rakyat. Sementara itu, di pihak rakyat pun demikian, mereka mengikuti sikap di bawah
pimpinan adat maupun pemimpin agamanya. Para ulèëbalang yang telah tunduk,
dilibatkan dalam struktur birokrasi ciptaan Belanda mewakili elit Bumiputra disertai
sokongan gaji tetap dan berbagai keistimewaan lainnya, sehingga semakin menciptakan
citra mereka di mata rakyat sangat eksklusif dan prestisius.
Setelah melenyapkan kedudukan sultan dan ulama yang anti-Belanda dan
menjamin eksistensi ulèëbalang dalam pemerintahan, maka persoalan keamanan dan
6T. Ibrahim Alfian membagi Perang Aceh menjadi tiga tahap, yaitu: pertama, perang antara dua negara
(Kesultanan Aceh dan Belanda); kedua, perang antara para ulèëbalang di daerah-daerah dengan Belanda; ketiga,
perang antara rakyat dengan Belanda. Dua tahap perang paling awal berlangsung singkat, hanya beberapa tahun
saja, namun perang tahap ketiga adalah yang paling lama, perang disakralkan dan dipersuci dengan ideologi

jihad fi sabilillah yang dipimpin oleh para ulama. Mengenai Perang Aceh lihat T. Ibrahim Alfian, Perang di
Jalan Allah: Perang Aceh, 1873-1912 (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987).
7Upaya Belanda untuk melenyapkan posisi sultan sudah dirintis sejak mangkatnya Sultan Mahmud
Syah II. Suksesornya, Daud Syah dinobatkan sebagai sultan oleh pembesar istana. Setelah turun dari gerilya dan
menyerahkan diri kepada pemerintah Hindia Belanda, dia menolak menandatangani surat penyerahan
kedaulatan, seandainya dia bersedia, pemerintah akan tetap mempertahankan statusnya sebagai sultan secara
simbolik. Aktivitas politik perlawanannya terus dilakukan secara sembunyi-sembunyi yang mengakibatkan dia
dibuang ke Ambon dan selanjutnya ke Batavia, di mana dia mangkat pada tahun 1939 sebagai sultan terakhir.
Hal itu mengakibatkan posisi sultan dihapus secara permanen oleh pemerintah kolonial. Lihat M. Mansyur
Amin, “Sultan, Ulèëbalang dan Ulama Masa Pemerintahan Hindia Belanda” dalam M. Mansyur Amin, dkk.,
Kelompok Elite dan Hubungan Sosial di Pedesaan (Jakarta: PT. Pustaka Grafika Kita, 1988), hlm. 27-28.
8Kedudukan ulèëbalang dalam pemerintahan Hindia Belanda terbagi dua, yaitu mereka yang
diperintah langsung (ditaklukan dengan kekerasan) dan mereka yang diperintah tidak langsung (mengakui
kedaulatan dalam Korte Verklaring). Secara struktural, organisasi pemerintahannya serupa seperti pada masa
kesultanan, namun kekuasaanya dibatasi oleh pemerintah. Di dalam struktur birokrasi kolonial, mereka diberi
dukungan politik melalui jabatan zelfbestuurder (penguasa negeri) di landschap (kenegerian swapraja) masingmasing. Urusan luar negeri, militer, pertanian, percetakan uang dan telepon diurus oleh pemerintah, sedangkan
urusan pertanian, pendidikan dasar, penerangan dan sosial diserahkan kepada mereka. Para ulèëbalang yang
anti-Belanda akan diganti oleh kerabatnya yang lebih moderat, mereka juga tetap diberi dukungan ekonomi,
mereka digaji oleh pemerintah melalui kas negara, walaupun sebagian besar sumber-sumber pemasukan di
negerinya telah berada di tangan pemerintah. Selain itu, masih banyak hak-hak istimewa lain yang diberikan,

misalnya pendidikan modern dan terbaik bagi anak-anak mereka. Lihat Ibid, hlm. 28-29.

4

ketertiban menjadi perhatian, baik dipandang untuk kepentingan politik dalam negeri
maupun kepentingan ekonomi yang akan dibangun di Aceh kala itu. Penciptaan situasi
keamanan dan politik yang kondusif-kooperatif antara penjajah dan terjajah sangat
diharapkan bisa diwujudkan segera mungkin melalui berbagai kebijakan kolonial,
tentunya kebijakan yang telah melalui pertimbangan-pertimbangan politik khas Aceh
(Atjeh-politiek) sebagai solusi untuk memecahkan masalah Aceh (Atjeh-probleem) yang
sangat rumit. Penumpasan sisa-sisa perlawanan rakyat yang anti-Belanda secara
kekerasan tetap dipandang urgen, terlebih orang Belanda selama berkuasa di Aceh
tetap diselimuti rasa khawatir dan terancam dengan serangan-serangan kelompok jihad,
yang sewaktu-waktu bisa mengancam hidup mereka dengan cara pembunuhan,
penikaman, penyerangan, sabotase dan lainnya, walaupun secara umum kehidupan
yang baru dengan semangat moralitas semakin terarah pada kemakmuran dan
kesejahteraan yang dicita-citakan. Selanjutnya, pemerintah merawat dengan serius
hubungan yang berbasis pada kolaborasi dengan para ulèëbalang dan ulama yang lebih
moderat, karena merekalah yang bersentuhan langsung dengan rakyat Bumiputra.
Selain itu, kebijakan-kebijakan yang dimaksudkan untuk meringankan beban

penderitaan rakyat juga semakin diperhatikan, misalnya yang paling dibenci rakyat
adalah beban kerja wajib. Aparat kepolisian dan peradilan modern juga ditingkatan
peranannya sebagai pengawal hukum yang baru di perkotaan.
Pembangunan prasarana fisik di Aceh dimulai setelah Belanda sukses
mengamankan Kutaraja. Daerah-daerah lainnya, terutama di sepanjang pantai timur
menyusul kemudian, terlebih karena memiliki potensi lebih banyak untuk kepentingan
ekonomi Belanda. Jalur trem, jalan raya dan pelabuhan merupakan alat untuk
memuluskan Pasifikasi Aceh. Pembangunan jalur Trem Aceh merupakan yang paling
awal, yaitu jalur Ulèë Lheuë – Kutaraja sejak tahun 1874. Setelah lima dasawarsa yang
panjang dan melalui ratusan proyek-proyek pembangunan rel dan jembatan yang sangat
melelahkan, akhirnya jalur Trem Aceh telah mencapai kota terakhir yang berbatasan
dengan Keresidenan Sumatera Timur, yaitu Kuala Simpang pada tahun 1912 hingga
selanjutnya terhubung dengan jaringan kereta api Deli (DSM) beberapa tahun
kemudian. Jalan-jalan raya lintas pantai timur juga diburu pengerjaannya, terutama
membangun kembali jalan-jalan lama yang sebelumnya telah ada sejak era kesultanan.
Selain itu juga dibangun jalan-jalan patroli dan jalan raya yang menghubungkan daerahdaerah di pedalaman dengan daerah di pesisir. Pembangunan pelabuhan-pelabuhan laut
yang baru dipandang sangat vital, bahkan pelabuhan-pelabuhan tradisional yang telah
eksis pada era kesultanan tetap dipertahankan dan diteruskan pembangunannya hingga
layak digunakan untuk mendukung aktivitas pelayaran kawasan Selat Malaka.
Pelabuhan Lhokseumawe, Idi, Peureulak dan Langsa merupakan yang paling penting di

pantai timur Aceh, yaitu daerah yang paling intensif dipengaruhi oleh investasi modal
asing di bidang perkebunan dan pertambangan.

5

Pemerintah Gubernemen Aceh memandang bahwa pengakuan kedaulatan Hindia
Belanda oleh para ulèëbalang saja belumlah cukup untuk memastikan Aceh telah
sepenuhnya ditundukkan. Pasifikasi Aceh tidak hanya sebatas soal kekuasaan,
melainkan juga terdapat upaya untuk menciptakan situasi keamanan dan membuat
penduduk bersikap kooperatif tanpa melakukan pemberontakan terhadap pemerintah.
Salah satu caranya adalah menghentikan sikap kebencian rakyat melalui perbaikan
perekonomian yang hancur akibat perang berkepanjangan. Pembangunan
perekonomian di Aceh terdiri dari banyak bidang, yang semuanya terkait upaya
perbaikan dan peningkatan perekonomian rakyat pasca perang, antara lain: Penyediaan
tanah untuk pengembangan pertanian rakyat; peningkatan usaha pertanian rakyat
seperti padi, lada, pinang dan kelapa; pembangunan irigasi; penyuluhan pertanian
modern, pengenalan bibit-bibit unggul; pendirian bank-bank kecil untuk memberi
suntikan kredit modal usaha pertanian rakyat yang bebas bunga; membuka pintu
seluas-luasnya kepada investor asing di bidang perkebunan dan pertambangan,
khususnya di Aceh Timur yang tujuan lainnya juga penyerapan tenaga kerja lokal; serta
penciptaan berbagai lapangan pekerjaan dan mendorong arus emigrasi tenaga kerja
dari luar (kuli kontrak).9
Perintisan ke arah perbaikan ekonomi dalam rangka politik pasifikasi di Aceh,
sebenarnya sudah dimulai pada era Van Heutsz (1898-1904), berbarengan dengan
politik ‘keras’ yang dilaksanakannya. Dia berusaha agar investasi modal asing bisa
memberikan pengaruh langsung kepada perbaikan perekonomian rakyat, meskipun
keinginannya tidak sepenuhnya terlaksana. Akan tetapi, Pasifikasi Aceh secara lebih
intensif baru dilaksanakan pada era Swart (1908-1918) yang berhasil meletakkan dasar
bagi pengembangan perekonomian Aceh. Politik keras yang dianut oleh para
pendahulunya (Van Heutsz, Van der Wijk dan Van Daalen) mulai disingkirkan. Dia
berusaha untuk mendekati rakyat dengan memperlihatkan sikap damai dan bijaksana,
terutama berhasil merawat hubungan dengan para ulèëbalang yang sering mendapat
bentuk-bentuk apresiasi dan kehormatan selama era pemerintahannya, sehingga dia
berhasil meyakinkan dan mengikutsertakan mereka untuk bekerjasama dalam
membangun ekonomi Aceh.10 Selama era Swart, upaya-upaya perbaikan kualitas hidup
9J. Langhout, Economische Staatkunde in Atjeh (Den Haag: W.P. van Stockum & Zoon, 1923), hlm.
84. Berdasarkan gagasan untuk memajukan perekonomian rakyat, investasi modal asing di Aceh secara tidak
langsung tetap berkontribusi terhadap upaya pasifikasi, meskipun tidak langsung berkontribusi terhadap
kemakmuran rakyat, namun terbukanya lapangan kerja yang seluas-luasnya pasca penetrasi modal asing
sesungguhnya diprioritaskan untuk rakyat setempat serta tersedianya pasar untuk penjualan produksi penduduk.
Ternyata emigrasi juga dipandang sebagai salah satu upaya menciptakan masyarakat yang multietnik agar
mereduksi sifat-sifat perlawanan. Lihat juga M. Gade Ismail (1991), op.cit., hlm. 149.
10Oleh karena jasa-jasanya selama sepuluh tahun menjabat sebagai gubernur sipil dan militer, Swart
berhasil memajukan pendidikan dan perekonomian Aceh yang kemudian diberi gelar sebagai ‘Pacificator van
Atjeh’. Dia juga begitu dikenang dengan baik oleh para ulèëbalang yang merasakan perubahan baik selama
pemerintahannya. Para suksesornya, Van Sluys (1918-1923), Hans (1923-1926), Goedhart (1926-1930), Philips
(1930-1933), Van Aken (1933-1936), Jongejans (1936-1940) dan Pauw (1940-1942) tetap melaksanakan
kebijakan-kebijakan pemerintahan yang mengarah ke Politik Pasifikasi. Lihat Rusdi Sufi, “Pasifikasi dan
Pertumbuhan Ekonomi di Aceh”, peper pada Seminar Nasional ke-IV di Yogyakarta, 16-19 Desember 1985
(Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1985), hlm. 3-4.

6

rakyat Aceh yang telah dilakukan antara lain: peningkatan pertanian rakyat, pendidikan
rakyat, kesehatan rakyat, serta pembangunan jalan-jalan. Ia juga pelan-pelan
menghapus beban kerja wajib terhadap rakyat dengan sistem kerja upahan,
peningkatan fungsi kepolisian, gerakan vaksinasi cacar, serta menggerakkan minat
rakyat untuk membudidayakan karet.
Di bidang pendidikan, pasifikasi diutamakan menyentuh segmen pendidikan
rakyat Bumiputra yang telah digagas dalam Politik Etis. Pembangunan-pembangunan
Sekolah Rakyat atau Volkschool adalah yang paling banyak dilakukan pemerintah.11
Sementara itu, usaha yang telah dirintis oleh Van Daalen untuk mendirikan sekolahsekolah desa sejak 1907 diteruskan. Di Aceh, pada mulanya pendidikan Barat diterima
oleh sebagian kalangan ulèëbalang, tetapi pada umumnya belum diterima oleh kalangan
ulama dan rakyat. Sejak tahun 1901, putera-putera ulèëbalang mulai disekolahkan ke
Kutaraja dan sejak tahun 1904 ada yang dikirim ke Bukittinggi untuk memasuki sekolah
semi-profesional, yaitu Sekolah Raja (Kweekschool).12 Selain itu juga mendukung
pendidikan untuk anak-anak Eropa dan Timur Asing seperti pembangunan sekolahsekolah HIS, ELS, HCS, MULO dan sekolah-sekolah keterampilan di seluruh Aceh.
Untuk menggenjot program percepatan pemerataan pendidikan, pemerintah juga
melibatkan peran pihak swasta, yaitu organisasi-organisasi besar yang peduli pada
pendidikan Bumiputra seperti Muhammadiyah dan Taman Siswa.13 Namun pemerintah
melakukan intervensi terhadap sistem pendidikan tradisional rakyat Aceh (meunasah
dan dayah), yang condong bercorak Islami dan banyak dari para ulama yang disangka
radikal diberantas. Di mata Belanda, semua pendidikan tradisional yang berbasis Islam
yang diberikan oleh kaum ulama hanya mengajari orang-orang Aceh “rasa benci dan
cemoohan untuk orang kafir” dan kemampuan “untuk mendengungkan isi Al-Quran
yang tak bisa dimengerti”. Oleh karena itu, suatu usaha keras dilakukan untuk
11Untuk rakyat biasa, sejak tahun 1907 dibangun volkschool yang merupakan sekolah tiga tahun
dengan tujuan mengajar membaca dan menulis dalam bahasa Melayu dengan aksara Latin. Sekolah ini kurang
mendapat sambutan pada 10 tahun pertama, karena dianggap sebagai pendidikan untuk menjadi orang kafir.
Meskipun awalnya terlihat tidak menjanjikan, namun pada awal tahun 1935 jumlah siswa volkschool yang
bersekolah dengan suka rela telah mencapai lebih dari 33.000 orang. Perubahan sikap terhadap pendidikan
modern ini sejalan dengan sikap positif terhadap modernisasi yang pada saat itu dipelopori oleh generasi baru di
gelanggang politik Bumiputra, seperti Sarekat Islam dan inisiasi organisasi-organisasi pro pendidikan seperti
Muhammadiyah dan Taman Siswa. Lihat J. Kreemer, Atjeh: Algemeen Samenvattend Overzicht van Land en
Volk van Atjeh en Onderhoorigheden, II (Leiden: E.J. Brill, 1923), hlm. 159-169. Lihat juga J. Jongejans, Land
en Volk van Atjeh: Vroeger en Nu (Den Haag: Hollandia Drukkerij NV. Baarn, 1939), hlm. 249-250. Periksa
Anthony Reid, Sumatera: Revolusi dan Elite Tradisional, terjemahan Tom Anwar (Jakarta: Komunitas Bambu,
2012), hlm. 32-33.
12M.H. Du Croo, Generaal Swart: Pacificator van Atjeh (Maastricht: NV. Leiter-Nypels, 1943), hlm.
133-135. Lihat juga T. Ibrahim Alfian (1987), op.cit., hlm. 204. Bandingkan dengan Rusdi Sufi, “Pengaruh
Pendidikan Barat terhadap Kedudukan Ekonomi Ulèëbalang di Aceh”, peper pada Seminar Sejarah Nasional keIII di Jakarta, 10-15 November 1981 (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan
Nilai Tradisional, 1982), hlm. 40-48.
13Masing-masing masuk ke Aceh sejak tahun 1928 dan 1932. Pada tahun 1938, keduanya telah
menjalankan tujuh HIS swasta di berbagai kota di Aceh, hampir sama banyaknya dengan HIS yang dijalankan
oleh pemerintah. Selain itu, mereka juga menjalankan sekolah-sekolah Taman Kanak-Kanak, sekolah
‘penghubung’ atau Vervolgschool dari sekolah sekolah menengah Melayu dan sekolah pendidikan guru atau
Kweekschool. Lihat Anthony Reid (2012), loc.cit.

7

mengganti pendidikan tradisional ini dengan sistem sekolah modern yang dipakemkan
oleh pemerintah, bukan sekadar karena idealisme atau keinginan untuk mencetak
pegawai-pegawai yang terpelajar, melainkan sebagai bagian tak terpisahkan dari
strategi pasifikasi untuk penertiban Aceh. Pasifikasi terutama berarti mendidik puteraputera ulèëbalang, calon penguasa masa depan, mengenai bahasa, pandangan hidup
dan praktik-praktik birokrasi dari kekuatan yang sedang berkuasa. 14 Perlakukan
istimewa diperoleh putera-putera bangsawan Aceh, memberikan kesempatan untuk
duduk di bangku sekolah-sekolah modern dari tingkat pendidikan dasar hingga tinggi
yang semuanya difasilitasi penuh oleh pemerintah.
Perbaikan kualitas kesehatan rakyat tidak begitu menonjol dibandingkan fokus
pemerintah terhadap perekonomian dan pembangunan prasarana fisik. Akan tetapi
pemerintah tetap melaksanakan pembangunan berbagai rumah sakit umum maupun
rumah sakit jiwa. Di samping itu, dinas lain juga ikut membantu terpenuhinya
penyediaan sarana air bersih untuk masyarakat umum. Program-program penyuluhan
kesehatan dan vaksinasi juga tidak luput dari perhatian pemerintah untuk mendukung
terwujudnya Pasifikasi Aceh.
Usaha-usaha yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda dalam mewujudkan
Pasifikasi Aceh bisa dikatakan cukup berhasil. Keadaan perekonomian dan politik pasca
perang semakin meningkat, di samping rakyat kian percaya terhadap kebijakankebijakan pemerintah. Aceh pada abad ke-20 diklaim oleh banyak pengamat telah
sejajar dengan daerah-daerah lain di Hindia Belanda. Masyarakat Aceh telah banyak
mengalami perubahan, walaupun sebenarnya diakui bahwa pembangunan Aceh lebih
ditekankan pada kepentingan politik di atas kepentingan ekonomi. Meskipun pasifikasi
dianggap berhasil, fakta sejarah justru membuktikan bahwa Belanda tidak pernah
mengalami masa damai yang sesungguhnya di Aceh hingga kekuasaan mereka berakhir.

14Ini diwujudkan dalam bentuk sekolah-sekolah yang dikenal sebagai HIS (Hollandsch Inlandsche
School). Pada tahun 1938 sudah terdapat 8 buah HIS di Aceh dengan total 1.500 murid. Beberapa siswa yang
berprestasi lebih baik dikirim ke Bukittinggi atau ke Jawa untuk belajar di sekolah lanjutan Belanda, meskipun
ada yang berpendapat bahwa lebih baik mereka tetap di Aceh, di mana sekolah MULO (Meer Uitgebreid Legere
Onderwijs) telah didirikan untuk mereka pada tahun 1930. Sebagian besar ulèëbalang menyambut dengan
secara antusias, karena sesuai dengan perubahan peran mereka di dalam masyarakat Aceh kala itu. Ibid., hlm.
31-32.

8