Globalisasi dan Ketahanan Pangan (1)

GLOBALISASI DAN KETAHANAN PANGAN

TEUKU RAMZY FARRAZY
113112350750011
HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
Universitas Nasional
2015

BAB I
PENDAHULUAN

Globalisasi adalah keterkaitan dan ketergantungan antar bangsa dan antar manusia di seluruh
dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi
yang lain sehingga batas-batas suatu Negara menjadi semakin sempit. Globalisasi adalah suatu
proses di mana antar individu, antar kelompok, dan antar negara saling berinteraksi, bergantung,
terkait, dan memengaruhi satu sama lain yang melintasi batas negara.
Dunia telah berkembang menjadi tanpa batas. Perpindahan manusia dan barang nantinya akan
menjadi sedemikian bebas, tanpa peraturan berbelit, setiap orang dapat menginjakkan kakinya
dimana saja. Begitu pula komoditas kebutuhan manusia yang semakin hari semakin kompleks,
menuntut perpindahan barang menjadi semakin mudah, murah dan cepat.

Globalisasi adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan
ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia dunia melalui perdagangan,
investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas
suatu negara menjadi semakin sempit. Globalisasi adalah suatu proses di mana antarindividu,
antarkelompok, dan antarnegara saling berinteraksi, bergantung, terkait, dan memengaruhi satu
sama lain yang melintasi batas negara. Dalam banyak hal, globalisasi mempunyai banyak
karakteristik yang sama dengan internasionalisasi sehingga kedua istilah ini sering
dipertukarkan. Sebagian pihak sering menggunakan istilah globalisasi yang dikaitkan dengan
berkurangnya peran negara atau batas-batas negara. Istilah Globalisasi, pertama kali digunakan
oleh Theodore Levitt tahun 1985 yang menunjuk pada politik-ekonomi, khususnya politik
perdagangan bebas dan transaksi keuangan.

Menurut sejarahnya, akar munculnya globalisasi adalah revolusi elektronik dan disintegrasi
negara-negara

komunis.

Revolusi

elektronik


melipatgandakan

akselerasi

komunikasi,

transportasi, produksi, dan informasi. Disintegrasi negara-negara komunis yang mengakhiri
Perang Dingin memungkinkan kapitalisme Barat menjadi satu-satunya kekuatan yang
memangku hegemoni global. Itu sebabnya di bidang ideologi perdagangan dan ekonomi,
globalisasi sering disebut sebagai Dekolonisasi (Oommen), Rekolonisasi ( Oliver, Balasuriya,
Chandran), Neo-Kapitalisme (Menon), Neo-Liberalisme (Ramakrishnan).
Secara sangat sederhana bisa dikatakan bahwa globalisasi terlihat ketika semua orang di dunia
sudah memakai celana Levis dan sepatu Reebok, makan McDonald, minum Coca-Cola. Secara
lebih esensial, globalisasi nampak dalam bentuk Kapitalisme Global berimplementasi melalui
program IMF, Bank Dunia, dan WTO; lembaga-lembaga dunia yang baru-baru ini mendapat
kritik sangat tajam dari Dennis Kucinich, calon Presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat,
karena lembaga-lembaga itu mencerminkan ketidakadilan global. Program-program dari
lembaga-lembaga itu telah menjadi alat yang ampuh dari kapitalisme Barat yang
mengguncangkan, merontokkan dan meluluh-lantakkan bukan hanya ekonomi, tetapi kehidupan

negara-negara miskin dalam suatu bentuk pertandingan tak seimbang antara pemodal raksasa
dengan buruh gurem. Rakyat kecil tak berdaya di negara-negara miskin, menjadi semakin
terpuruk dan merana.Jadi walaupun ada dampak positif globalisasi seperti misalnya hadirnya
jaringan komunikasi dan informasi yang mempermudah kehidupan umat manusia, ditinjau dari
sudut kepentingan masyarakat miskin, globalisasi lebih banyak dampak negatifnya. Menurut
Kucinich, Negara-negara miskin telah diperas lewat pembayaran beban utang ke lembaga
global . Dicontohkan, setiap tahun 2,5 miliar dolar AS dana mengalir dari sub- Sahara Afrika ke
kreditor internasional, sementara 40 juta warga mereka kurang gizi.

Kekuatan globalisasi ekonomi atau globalisasi kapitalisme adalah liberalisme ekonomi .
Ilmuwan menyebutnya kapitalisme pasar bebas. Berbeda dengan kapitalisme kesejahteraan, yaitu
kapitalisme yang diregulasi dan direformasi, kapitalisme ini tidak membiarkan pasar berjalan
sebebas-bebasnya tanpa kendali, tapi perlu diatur agar kapitalismememberikan keuntungan dan
keadilan

sampai

orang-orang

dibawah


tingkat

kesejahteraan

.

Suatu system ekonomi yang mengatur proses produksi dan distribusi barang dan jasa. Ciricirinya: sebagian besar sarana produksi dimiliki individu, barang dan jasa diperdagangkan di
pasar bebas (free market) yang kompetitif (terbuka untuk siapa saja) dan modal diinvestasikan
dalam usaha intik hasilkan laba.Kenyataannya Abad ke-19, kapitalisme pasar bebas hanya
menguntungkan Negara kaya. Banyak orang yang menjadi semakin miskin karena kapitalisme
ini. Kapitalisme ini telah melampaui kesederhanaan dan tenaga kerja menjadi roda dan mesin
kapitalis raksasa. Pada akhir abad 20, kapitalisme mengendalikan hamper seluruh perekonomian
internasional.Dunia yang akan datang akan berkembang menjadi tanpa batas, borderless area.
Perpindahan manusia dan barang nantinya akan menjadi sedemikian bebas, tanpa peraturan
berbelit, setiap orang dapat menginjakkan kakinya dimana saja. Begitu pula komoditas
kebutuhan manusia yang semakin hari semakin kompleks, menuntut perpindahan barang menjadi
semakin mudah, murah dan cepat.

BAB II

PEMBAHASAN

Globalisasi pangan telah berlangsung sejak ratusan atau bahkan ribuan tahun yang lalu seiring
dengan perpindahan tumbuhan dan hewan sumber pangan sebagai “buah”. Pergerakan manusia
menembus batas-batas wilayah saat ini tidak ada satu pun negara di dunia yang bisa mengklaim
menghidupi penduduknya dengan pangan yang 100% asli setempat. Dalam konteks sistem
pangan, sejak Globalisasi secara kasat mata dapat dibaca dari perubahan-perubahan yang
berlangsung disepanjanng rantai makanan (food chain). Sejak tahap produksi dan pengolahan
hingga ke pemasaran dan penjualan produk. Di Indonesia sendiri, kehadiran sejumlah buah dan
sayuran segar (fruit and vegetables) dan ratusan item pangan olahan import di hypermart hingga
pasar becek saat ini merupakan salah satu contoh nyata hadirnya fenomena globalisasi
pangan.Globalisasi pangan pula lah yang membawa bangsa Belanda menjajah Indonesia selama
ratusan tahun.
Globalisasi mengandalkan liberalisasi dan harmonisasi sebagai salah satu subsistemnya,
Globalisasi pangan juga “takhluk” pada dua mantra itu. Liberalisasi mewujudkan dalam
keterbukaan pasar. Semua hambatan dalam bentuk tarif dan regulasi dagang harus direduksi dan
bahkan dieliminasi demi terbukanya pasar bagi produk import. Meskipun kesepakatan tentang
keamanan pangan ini pasti mengatasnamakan konsumen seluruh dunia tetapi tetap
mencerminkan “kemenangan” itu lobi ke negara-negara maju. menyikapi kesepakatan itu,
negara-negara maju melanjutkan melakukan penyesuaian penyesuaian regulasi keamanan pangan

mereka yang bertitikberat pada pengendalian proses dan pencegahan resiko dalam keseluruhan
daur produksi.Konsekuensinya produksi di negara berkembang harus mencurahkan segala daya
upaya untuk melindungi konsumen di negara-negara maju. Pada kenyataannya prinsip
harmonisasi sering menjadi penghambat eksport produksi pangan negara berkembang karena
kesenjangan know-how dan perawatan.

Sebaliknya, produksi pangan dari negara maju dengan mudah “melenggang” masuk ke pasar
negara-negara berkembang. Keadaan ini mengakibatkan apa yang di kenal sebagai paradoks
keamanan pangan. Globalisasi pangan telah menimbulkan berbagai dampak negatif maupun
positif. Pembahasan kali ini dibatasi pada dampak Globalisasi Pangan terhadap ketahanan
pangan dan pertanian lokal, keragaman produk pangan, keamanan pangan dan lingkungan, serta
keragaman hayati. Salah satu dampak terpenting Globalisasi pangan adalah semakin rumitnya
penjaminan kecukupan pangan, karena semakin terbukannya pasar. Import menjadi salah satu
strategi utama bagi negara manapun dalam memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya. Globalisasi
berhasil menempatkan Amerika Serikat sebagai salah satu eksportir pangan terbesar di Dunia
pada tahun 1994 saja, eksport AS telah mencapai 36% (gandum), 64% (jagung, barley, sorgum
dan oats), 40% (kedelai), 17% (beras), dan 33% (kapas) volume yang diperdagangkan di dunia.
Sebagai gambaran, Indonesia adalah salah satu importir terbesar bagi AS. Pada tahun 2000, total
import kedelai (biji, minyak, dan tepung) Indonesia dari AS mencapai 1,2 juta ton bernilai sekitar
seperempat miliar dolar AS. Seperti telah diungkapkan sebelumnya, kehadiran supermarket

selain memberikan kenyamanan belanja juga telah mendorong pemasaran produk-produk dengan
standart mutu dan keamanan pangan yang lebih baik dengan harga yang kompetitif. Jika
Indonesia tidak dapat beranjak mencari alternative pangan lain, maka akan selama nya Indonesia
begantung tehadap Amerika Serikat dalam hal pangan.

BAB III
PENUTUP

Dalam sektor pangan, globalisasi memiliki efek yang cukup berbahaya jika tidak di diantisipasi
secara baik. Globalisasi dapat meruntuhkan sistem ketahanan pangan sebuah bangsa. Karena
dengan adanya globalisasi maka dengan mudah, setiap barang produksi dari luar dapat masuk
dan bersaing secara langsung dari hasil produksi dalam negeri. Bisa saja harga yang ditawarkan
lebih murah, karena mereka memiliki efesiensi dan teknologi tinggi sehingga dapat menekan
cost produksi mereka. Globalisasi menuntut setiap produsen untuk menjadi lebih efesien,
memiliki kualitas produk prima dan terjangkau di masyarakat. Hal ini disebabkan persaingan
akan semakin ketat dan yang menjadi pemenang ialah produsen dengan kualifikasi terbaik. Jika
tidak mempersiapkan dan merasa puas dengan pencapaian selama ini, maka bisa jadi masyarakat
akan lebih memilih membeli dan mengkonsumsi barang produksi orang lain. Sisi produksi yang
sudah efisien akan jadi tidak berarti jika proses distribusi bermasalah. Maka efesiensi di sisi
distribusi juga sangat penting. Semakin panjang jalur distribusi maka akan semakin menaikkan

harga. Disamping itu semakin sulit daerah dijangkau juga menjadi masalah.Globalisasi menuntut
survival of the fittest bagi pemain industry pangan global.

Referensi:
1. Annual Report UNDP 2012-2013
2. Stigltiz,Joseph (2002). Globalization and Its Discontent. New York: W.W. Norton