Agama Asli dan Pengaruh Agama Modern pad

Tugas Agama-agama Asli di Indonesia / Adeline M.T. / 0140110101 / Page 1 of 7

Agama Asli dan Pengaruh Agama Modern
pada Suku Ekagi
I. Keseharian Suku Ekagi1
Berbeda dengan suku Marind-Anim Yah’ray dan Asmat yang berbudaya peramu, orang Ekagi
telah mengenal cocok tanam. Pada 1988, populasi masyarakat peladang di sekitar Danau Paniai,
Danau Tage dan Danau Tigi, juga di Dataran Kamu dan daerah Mapia ini sekitar seratus ribu.
Perawakan mereka kecil (pygmoid), tinggal di rumah-rumah sederhana 3,5 kali 3,5 meter dengan
atap dedaunan, ranting atau kulit kayu dan lantai dari batang kayu.
Kebutuhan pangan (“jalan-atas”) dipenuhi dengan hasil kebun (kuantitatif) dan daging
(kualitatif). Pembagian kerja: perempuan melakukan “kerja tangan” seperti mengurus kebun dan
beternak babi; kaum pria “kerja rohani” yaitu mengurus ekonomi eksternal seperti menjual babi,
mencari kayu bakar, mengatur urusan politik dan hukum di lingkungannya.
Orang Ekagi bekerja sebagai pelaku tunggal, tidak terbiasa bekerja untuk dan bersama orang
lain, tidak mengenal konsep upah/imbalan. Hukum permintaan dan penawaran timbul alami untuk
memenuhi kepentingan tiap keluarga/klen, tanpa kesepakatan imbalan. Pola hubungan sosial
berputar di sekitar masalah pembagian makanan/harta, apa yang diterima atau tidak diterima
individu/keluarga tertentu, serta peneguhan atau pengingkaran hubungan timbal balik. Orang
Ekagi seperti anak kecil yang pusat perhatiannya ada pada diri sendiri.
“Jalan-bawah” berhubungan dengan kebutuhan seksual. Hawa nafsu dibangkitkan roh-roh

yang merupakan manifestasi kekuatan-kekuatan misterius. Orang Ekagi bersikap ambivalen
terhadap hubungan seksual dan perkawinan: di satu pihak penting untuk status sosial, keturunan
(anak akan membantu ekonomi), namun baik suami maupun istri masing-masing diliputi perasaanperasaan negatif mengenai (lembaga) perkawinan dan hubungan seksual itu sendiri.
Perkawinan biasanya diatur keluarga, bukan kesalingtertarikan antara sepasang muda-mudi.
Motivasi untuk menikah berlainan dari pihak pemuda, gadis, dan orangtua mereka. Seorang
pemuda menikah berarti kehilangan ketergantungannya pada ibu atau saudarinya dalam hal
makanan, namun penting bagi gengsi dan pemenuhan kebutuhan seksual—menghindarkannya
dari perzinahan. Maka siapa calon istri tidaklah penting, ibunyalah yang mengatur perkawinan. Si
gadis yang di rumah kurang dihargai, akan menduduki tempat terhormat sebagai isteri dan ibu.
Harapannya terletak pada anak lelakinya kelak, maka siapa/bagaimana watak sang calon suami
tidak diperhatikan, sebab perempuan tahu cara menyelamatkan diri dan mendesakkan
keinginannya pada suami manapun juga. Orang tua pemuda ingin menjauhkan putra mereka dari
perzinahan—yang berakibat hukuman mati. Selain itu dengan adanya rumah tangga baru,
kesejahteraan dan kekuatan klen meningkat. Orang tua gadis memikirkan mas kawin setinggi
mungkin. Pengakuan resmi perkawinan ditandai pembayaran mas kawin, maka sebelumnya terjadi
tawar-menawar antar kedua keluarga. Mas kawin akan memperoleh imbalan dalam diri anak.
Terjadinya anak dimulai dari sperma yang mengalir dari otak karena kekuatan matahari,
mengalir melalui sumsum tulang belakang dan melalui penis masuk vagina. Dalam rahim ibu,
darah yang mendidih bangkit menari-nari, pertemuan darah dan sperma menghasilkan jantung



Ringkasan buku J.Boelaars, Manusia Irian, Jakarta (Gramedia), 1988. Hal. 85-107 (deskripsi Suku Ekagi), hal.160174 (Pengaruh Luar), hal.175-206 (Usaha Mempertahankan Diri) dan hal. 222-228 (Masa Depan: aspek perkembangan
rohani). Dibuat sebagai tugas terstruktur untuk mata kuliah Agama-Agama Asli di Indonesia.
1
Boelaars (1988) menyebut suku di sekitar Danau Paniai ini suku Ekagi. Namun Koentjaraningrat (Irian Jaya:
Membangun Masyarakat Majemuk , Jakarta: 1994) menyebut mereka Suku Ekari. Sementara penduduk asli menyebut
diri mereka suku Me.

Tugas Agama-agama Asli di Indonesia / Adeline M.T. / 0140110101 / Page 2 of 7

anak. Mulai bulan kelima anak sudah terbentuk, hubungan seksual dilarang. Anak kembar
mengkhianati roh Utiya, yaitu pasangan pria dan dari Madou (roh air di bawah tanah). Abortus
dianggap akibat roh ini, hubungan seksual sesudah bulan kelima atau ibu yang tidak menikah.
Kelahiran di atas tanah dan rumah ayah. Ayah mempercepat dengan meloncat dari ketinggian.
Jika tidak berhasil berarti istrinya pernah berzinah. Dalam proses kelahiran, ibu menutup dubur
supaya anak tidak lahir melalui jalan itu. Pemotongan tali pusat membebaskan anak dari dunia
roh. Daun-daun bekas persalinan disimpan agar roh-roh seperti Teege tidak merugikan anak.
Sepertiga keluarga di Danau Tage menganut sistem perkawinan poligami. Mereka percaya,
pria punya satuan sperma dalam otak sebanyak wanita yang dibutuhkannya. Semakin banyak istri,
banyak kebun, babi, anak pria untuk memperkuat klen atau anak wanita untuk memperluas

hubungan dengan klen-klen lain. Istri pertama harus berusaha sebagai pemimpin para saingan.
Jika bercerai, emas kawin tidak perlu dikembalikan jika sudah memberikan anak.
Masalah atau kesulitan yang biasa muncul dalam keseharian mereka: perselisihan dengan
tetangga soal kebun dan babi; pembagian makanan; kenakalan anak dan remaja (mencuri dari
tetangga, dll); penyakit dan kematian; perzinahan (diancam hukuman mati); kematian
mencurigakan (dianggap akibat zinah atau magi hitam).
Pendidikan anak melalui peristiwa sehari-hari. Seorang Ekagi dianggap berhasil jika bisa
mencapai status “tonowi” (pemuka). Kematian dianggap perbuatan roh jahat dan praktek magi
hitam. Penyembuhan bukan dengan pertobatan tapi dengan mengusir roh atau menangkal magi
hitam. Setelah kematian, seorang Ekagi tetap terikat—menguntungkan maupun merugikan—pada
kerabatnya sebagai realitas tidak kelihatan.

II. Pengaruh Luar
1. Kontak-kontak pertama
Zending Kristen (Protestan) masuk daerah pantai (Fakfak, Manokwari, Teluk Cenderawasih)
tahun 1855. Tokoh pendatang yang berperan besar dalam masa itu adalah para guru dan isteri
mereka. Kehadiran guru membantu pembentukan desa; mengolah kebun sekolah jadi produktif;
membangun rumah-rumah dengan lebih baik; mengenalkan kebersihan; membacakan,
menjelaskan dan menjaga pelaksanaan instruksi-instruksi pemerintah; memimpin kebaktian
Minggu; mengajar agama (katekisasi) untuk orang dewasa; dan membereskan perkelahianperkelahian. Sementara isterinya membantu mengajarkan pemeliharaan ibu dan anak.

Pemerintah, zending (Protestan), dan misi (Katolik) masuk daerah pegunungan sekitar
Danau Paniai tidak lama sebelum Perang Dunia II, namun saat perang, Jepang menghancurkan
karya-karya mereka. Akibatnya perkembangan daerah yang mayoritas didiami suku Ekagi ini baru
mulai sekitar tahun 1950.
2. Perubahan besar pertama
Perubahan yang terjadi dengan masukknya pengaruh luar (misionaris dan pemerintah
Indonesia) antara lain terbentuk kehidupan sosial yang terstruktur (desa, rumah-rumah yang
berdekatan dan teratur, komunitas gereja); penggunaan pakaian; mulai mengenal nasi selain ubi
dan sagu; anak-anak dan kaum muda mulai bersekolah. Aturan adat setempat pun mulai berubah,
perkawinan dan seksualitas yang semula diatur adat kini mulai mengikuti cara Kristiani; poligami
menjadi monogami; hubungan homoseksualitas yang semula dianggap biasa bahkan menjadi
salah satu unsur adat kini ditentang; dikenakan hukuman bagi pembunuh anak-anak; hukum mati
untuk perzinahan dihapus. Pelanggaran-pelanggaran adat seperti pencurian, perselisihan tentang

Tugas Agama-agama Asli di Indonesia / Adeline M.T. / 0140110101 / Page 3 of 7

perempuan yang semula ditangani pemuka adat kini diserahkan pemerintah/kehakiman.
Ungkapan-ungkapan religi tradisional seperti mengayau dan pertukaran pasangan ditentang.
Perkembangan yang lebih tinggi terjadi dengan perbaikan sekolah-sekolah desa,
didirikannya Universitas Cenderawasi (1962), sekolah-sekolah lanjutan dengan asrama, dan

akademi-akademi (pemerintah sipil, polisi, kesehatan, pendidikan dan keagamaan).
3. Urbanisasi
Tumbuhnya instansi-instansi pemerintah, usaha/bisnis swasta, maupun lembaga-lembaga
agama di kota-kota menarik masyarakat desa ke kota. Timbullah urbanisasi di kota-kota seperti
Fakfak, Teminabuan, Manokwari di daerah Kepala Burung; Nabire dan Enarotali di Teluk
Cenderawasih dan Paniai; Wamena di Lembah Baliem; dan Agats untuk daerah Asmat. Namun
urbanisasi penduduk asli di Irian pada awalnya tidaklah untuk mencari pekerjaan seperti di Pulau
Jawa. Masyarakat desa yang datang ke kota karena tertarik kekayaan penduduk kota mengalami
culture shock setelah mengalami bahwa kekayaan harus diperjuangkan (sistem kerja-upah).

III. Usaha Mempertahankan Diri
1. Reaksi terhadap kontak-kontak pertama
a. Kerusuhan Obano
Pada 4 November 1956 terjadi pembunuhan seorang guru Protestan, istri dan kedua anaknya,
juga seorang guru Katolik dan istrinya, teman mereka serta seorang bayi dan seorang polisi di
desa Obano, Paniai. Kerusuhan berawal dari seorang narapidana di Enarotali yang dipenjarakan
karena menyuruh orang membunuh perempuan yang berzinah. Napi ini melarikan diri, lalu merasa
mendapat penampakan dan memimpin pemberontakan melawan semua orang yang memakai
pakaian. Memang Lembah Obano-Muye sejak awal menolak kontak dengan orang-orang kulit
putih. Beberapa kemungkinan penyebab sikap ini: rasa takut terhadap “roh-roh” kulit putih; dengki

terhadap lembah-lembah lain yang lebih dulu dikunjungi sehingga lebih pesat perkembangannya;
atau kasus tanah yang belum dibayar lunas oleh zending untuk mendirikan asrama di Obano.
Pandangan negatif lain: kehadiran “orang-orang berpakaian” dalam jangka pendek tidak
membawa kemakmuran; orang-orang asing ternyata hanya unggul sedikit terhadap penyakit dan
kematian; tingkah laku generasi muda Kristen tidak lebih baik dari generasi tua yang tidak Kristen;
orang-orang tua jengkel terhadap kebebasan dan hak-hak baru kaum muda dengan pengetahuan
bahasa Indonesia mereka; sanksi-sanksi sipil maupun gereja tidak disesuaikan dengan tingkat
perkembangan/pandangan terhadap kehidupan penduduk.
b. Cargo cultus dan gerakan mesianistis
Reaksi penduduk asli di seluruh Irian Jaya terhadap munculnya para pendatang sering disebut
cargo cultus—keterpesonaan penduduk setempat menyaksikan barang-barang (misalkan lampu
petromaks dan radio transistor) yang dibawa masuk para pendatang (kargo) melalui laut maupun
udara. Mereka menganggap barang-barang itu tidak dapat dibuat manusia, berarti ada sesuatu
yang disembunyikan orang-orang kulit putih, seperti kunci yang diperoleh Petrus (bdk. Mat 16).
Maka mereka mengharapkan kunci diberikan kepada orang Irian. Kerajaan surga terletak di dalam
gudang barang-barang, kegiatan keagamaan mempersiapkan orang menerima kunci itu. Dengan
watak eskatologis manusia, mereka percaya pemusnahan dunia milik sendiri yang lama dan
miskin akan memunculkan dunia baru kulit putih yang kaya. Untuk itu mereka berjaga-jaga dan
berpuasa, berdoa, menari-nari dan melatih diri secara militer. Mereka menantikan kesamaan dan
persaudaraan dalam dunia tanpa sakit dan penderitaan, keselamatan manusiawi yang indah bagi

semua orang dalam kosmos besar (dunia baru).

Tugas Agama-agama Asli di Indonesia / Adeline M.T. / 0140110101 / Page 4 of 7

c. Gerakan Zakheus
Di kalangan orang Ekagi muncul gerakan yang akhirnya menjadi sinkretis antara agama asli
dengan Kristen. Dimulai seorang putra Ekagi yang pernah belajar di Australia dan belajar teologi di
Makassar. Zakheus Pakage, kakaknya Yordan Pakage dan para pengikutnya menentang sistem
uang siput (uang yang diperoleh dari penjualan babi hasil ternak para istri, dipergunakan untuk
mas kawin dan memperoleh lebih banyak istri). Secara mitologis uang siput dikaitkan dengan dewi
di kebun, maka para pengikut Zakheus menghancurkan pagar-pagar kebun. Akibatnya mereka
disebut Wegee-bage (=kaum perusak).
Kaum Wegee-bage membangun rumah-rumah semi modern, memperhatikan higiene,
berkebun jenis-jenis tanaman yang berbeda, panen memasak dan makan dengan cara berbeda
(makan bersama didahului doa, dengan piring di tangan kanan dan cawan di kiri membuat isyarat
serupa salib). Pemimpin tinggal di lereng tinggi, dipercaya punya bungkusan rahasia berisi
pengetahuan istimewa tentang masa depan dan cerita-cerita tentang mereka yang sudah
meninggal. Kalangan wegee-bage mencampuradukkan mite-mite rakyat dengan cerita Alkitab di
mana Yesus disamakan dengan Koyeidaba, tokoh legenda Ekagi.
d. Mite Mansren

Di pantai utara dan pulau-pulau di Teluk Cendrewasih, timbul mite yang merupakan sinkretis
antara unsur agama asli (dewaraja, teofani) dengan unsur Kristiani (mesias). Konon hidup seorang
tua yang jelek bernama Manamakari, ia mendapat kekuatan magis dari bintang kejora,
melontarkan suatu benda ke seorang gadis yang sedang menari hingga gadis itu hamil dan
melahirkan anak laki-laki bernama Konoor. Manamakari menjadi muda kembali dengan berganti
kulit, ia berganti nama menjadi Mansren Manggundi. Karena pemberontakan, Mansren lari ke
barat yang jauh. Namun setelah tujuh generasi ia akan kembali, saat itu akan terjadi zaman emas
(=Koreri) di mana tiap orang mati hidup kembali, yang hidup menjadi muda kembali, sehat,
sejahtera, tidak ada lagi pajak dan tidak perlu bekerja.
2. Identitas Sendiri Orang Irian
Walau ke-252 suku di Irian punya nilai-nilai, cara pandang terhadap lingkungan, sesama dan
dunia rohani yang beragam, namun ada sesuatu yang mengikat mereka sebagai orang Irian dan
membatasi dengan yang bukan orang Irian. Dalam pergaulan dengan alam, orang Irian bersikap
pragmatis (melihat, menimbang, kalau ada gunanya: tangkap), hidup dari hari ke hari, dan efisien
(seminim mungkin usaha semaksimal mungkin hasil).
Dalam pergaulan dengan sesama, mereka independen, individualis dan tanpa basa-basi.
Walau yakin akan kemampuannya, orang Irian juga sadar keterbatasannya, maka ia punya humor
sejati: dapat menertawakan dirinya. Namun ia tidak bisa berpikir dan berbuat untuk jangka
panjang, merupakan pengembara yang konsumtif, juga tidak suka pembatasan/ikatan. Maka
struktur masyarakat Irian “longgar”, walau ada sistem kerabat/klen, namun lebih kuat ikatan

persahabatan pribadi dan emosional. Mereka bisa sangat baik satu sama lain namun jika konflik,
balas dendam mudah terjadi. Wewenang berlaku sejauh langsung bermanfaat. Sistem perkawinan
polygyny dianggap mempertinggi kegunaan kerjasama. Budaya mereka berlawanan dengan kaum
petani imigran yang menunggu panen, bekerja sama dan punya struktur pemimpin turun-temurun.
Orang Irian tidak mengenal feodalisme, menghadapi seseorang apa adanya, tidak berbelit.
Orang Irian percaya dan bisa mengandalkan kekuatan dan makhluk dunia yang tidak kelihatan.
Mereka mengenal keterikatan timbal-balik dengan dunia tersebut, dapat memberi-menerima, dapat
bertanya dan menjadi marah bila hasilnya bukan yang diharapkan. Pergaulan dengan dunia tidak
kelihatan ini merupakan permainan demi dampak yang berguna (pragmatis), berorientasi tujuan
(maka menghalalkan cara-cara magi hitam). Ia tidak merasa malu/bersalah terhadap sesama,
hanya merasa malu jika bertindak bodoh dan merugikan diri sendiri.

Tugas Agama-agama Asli di Indonesia / Adeline M.T. / 0140110101 / Page 5 of 7

3. Identitas Sendiri dan Pengalaman Beragama
Pengaruh inkulturasi Kristen (84% penduduk Irian pada 1988): menghilangnya perkelahian,
balas dendam dan pengayauan; tempat tinggal terpisah untuk suami-istri ditentang; animisme dan
dinamisme ditentang. Perkembangan positif misi dan zending menyangkut pendidikan dan
pengajaran, perawatan kesehatan, dan penyuluhan pertanian. Melalui pendidikan, iklim Kristen
mulai diinternalisasi dalam keseharian sejak kelahiran sampai kematian melalui doa, bacaan,

pemberkatan, dan lambang-lambang seperti gereja, salib, lagu-lagu rohani, gambar para kudus.
Kegiatan dan pengabdian para misionaris menimbulkan kepercayaan pada apa yang dibayangkan
sebagai kehidupan yang lebih indah dan lebih baik.
Namun kontak dengan umat Kristen yang muda ini lama-kelamaan menimbulkan pertanyaan
dan perlunya penyelidikan lebih mendalam tentang pengalaman dan penghayatan religius.
Misalkan tentang perkawinan levirat, sebagai tindakan penampungan para janda. Pertanyaan lain
mengenai “pengalaman religius” mencapai puncak atau mendekati rahasia kehidupan seperti
“dalam orgasme menikam musuh dan hubungan homoseksual”, “mengalami hidup dalam bentuk
tertinggi setelah mengayau (tanda kehormatan derajat)”, “kekayaan yang membuat seseorang
dapat sesuka hati membantu sahabat atau menyuruh membunuh musuh”. Selain pengalamanpengalaman ekstase tersebut, tampaknya mereka menghayati makna kebebasan/penentuan
sendiri hidupnya sebagai kepuasan tertinggi. Pertanyaan besarnya bukanlah apa yang membantu
mereka berpindah ke agama Kristen, melainkan bagaimana pengalaman ‘Allah’ mereka yang
nyata itu bisa berdampingan dengan pengalaman Allah orang Kristen sehingga saling membantu
dan bersama melangkah lebih jauh mencari pengalaman yang semakin kaya.

IV. Masa Depan – Aspek Perkembangan Rohani
Orang Irian berpandangan dunia kosmologis. Alam semesta mengandung segala kekuatan
yang dikenal dan tidak; makhluk-makhluk saling mempengaruhi secara profan atau sakral. Suku
petani/peladang Irian memandang alam (Pemberi) seperti ibu. Hubungan dengan yang illahi bagi
mereka dapat secara langsung, sementara petani non-Irian/pendatang meyakini hubungan dengan

yang illahi melalui perantaraan kata-kata, sikap, dan lambang-lambang. Jika petani pendatang
mempersalahkan orang lain dalam suatu kegagalan, orang Irian sadar menggunakan teknik keliru
dalam pergaulan dengan kekuatan-kekuatan yang dikenal maupun yang gaib. Mereka bisa
mengakui kesalahan dan mengemukakan kebodohan sendiri di muka umum. Pandangan Kristen
bahwa nilai-nilai yang merupakan kodrat manusia masih ditambah lagi dengan wahyu Perjanjian
Lama dan Perjanjian Baru, secara historis berhasil menyapa orang Irian. Maka masuknya Islam
jika dipaksakan membuat orang Irian merasa terancam dalam kehidupan agamannya.
Hal lebih penting adalah kebutuhan akan pengakuan dan pertahanan diri yang terancam
dengan adanya transmigrasi. Mereka bertanya-tanya dengan cemas, “Haruskan kita tenggelam
selamanya dalam arus zaman baru? Haruskah kita biarkan segala sesuatu datang atas kita entah
untuk dibinasakan karena pemberontakan kita, entah untuk dimatikan karena apati kita?”. Memang
ada perubahan-perubahan besar, dan penduduk asli harus menyesuaikan diri demi integrasi
dalam dunia baru. Tetapi penyesuaian ini boleh dan bisa mereka lakukan sendiri dengan
mempertahankan nilai-nilai terbaik identitas mereka sendiri. Bhinneka Tunggal Ika merupakan
keyakinan pemerintah (jangan hanya jadi slogan).
Mereka sudah menjalani banyak perubahan, melepaskan pandangan dunia tradisional guna
menerima agama Kristen, namun dapat mempertahankan identitas sendiri bahkan memberi
sumbangan untuk suatu jenis manusia yang lebih kaya. Sekalipun dia berusaha mengasah terus

Tugas Agama-agama Asli di Indonesia / Adeline M.T. / 0140110101 / Page 6 of 7

kemampuan ilmiah dan teknisnya, dia tidak perlu menyerahkan keyakinannya, bahwa dunia yang
tidak kelihatan itu demikian pentingnya bila menyangkut urusan mencapai keselamatan bagi
dirinya dan sekalian orang yang dikasihinya.

V. Tanggapan
Pada teks Boelaars maupun berita-berita di media massa2 tampak bahwa budaya (sekaligus
seluruh keberadaan/identitas orang Irian) sedang terancam. Pendatang (pemerintah Indonesia)
yang memandang manusia Irian terbelakang dan ‘tidak berbudaya’ tanpa lebih dahulu mempelajari
nilai-nilai budaya asli Papua langsung menerapkan kebijakan-kebijakan yang bukannya
memajukan tapi malah semakin meminggirkan penduduk asli. Manusia Papua seperti orang Indian
Amerika yang terdesak bangsa kulit putih di rumah sendiri.
Pendekatan Boelaars yang tak hanya antropologis tapi juga sedikit menyiratkan refleksi iman
(Kristiani), memandang manusia Irian sebagai subyek—sesama makhluk Tuhan yang harus
didengarkan, dimengerti dan dihargai keasliannya. "Pertanyaan besarnya bukanlah apa yang
membantu mereka berpindah ke agama Kristen, melainkan bagaimana pengalaman 'Allah' mereka
yang nyata itu bisa berdampingan dengan pengalaman Allah orang Kristen sehingga saling
membantu dan bersama melangkah lebih jauh mencari pengalaman yang semakin kaya3."
Pernyataan ini harusnya menjadi pegangan para pendatang (misionaris, pemerintah, guru) yang
hendak membawa kemajuan (meminjam istilahnya Orde Baru: “pembangunan”). Pendekatan yang
memaksakan kacamata kita (kacamata Negara Kesatuan Republik Indonesia, Jawa, atau Kristen)
dan dengan demikian mengobyekkan penduduk asli harus ditinggalkan.
Gaya misionaris abad ke-19 (zaman Gold, Glory & God) yang tidak disesuaikan dengan tingkat
perkembangan/pandangan terhadap kehidupan penduduk kerap terbukti tidak efektif, bahkan
berakibat buruk seperti kerusuhan Obano 1956. Bahkan pandangan Gereja Katolik sejak Konsili
Vatikan II, “dengan usaha-usahanya menyebabkan segala kebaikan yang tertaburkan dalam hati
serta budi orang-orang atau dalam upacara-upacara kdan kebudyaan para bangsa sendiri, bukan
saja tidak hilang, melainkan disehatkan, diangkat dan disempurnakan demi kemuliaan Allah, demi
tersipu-sipunya setan dan kebahagiaan manusia4.”
Lebih jauh, menyangkut integrasi Papua dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
kini kembali dipertanyakan dengan alternatif merdeka atau otonomi khusus, perlulah didengar dan
dihargai sang Manusia Papua. Protes anggota Komisi II DPR menyangkut 80% pendapatan
daerah dikembalikan ke Papua5 sangat tidak masuk akal dan menunjukkan dengan jelas
ketamakan manusia kota yang selama ini telah diuntungkan dengan eksploitasi sumber daya alam
maupun manusia Papua. Undang-Undang Otonomi Khusus Papua haruslah mencerminkan
pendapat dan kepentingan rakyat daerah tersebut.
Satu hal penting yang pemerintah Indonesia hingga kini tidak mampu: mendengarkan dan
menghargai mereka yang berbeda. Walau mungkin terdengar naif, penulis berharap mempelajari
mata kuliah seperti Agama-Agama Asli di Indonesia ini bisa menggantikan ketidakmampuan
mendengar dengan dialog yang sejati berdasarkan penghargaan terhadap sesama manusia.
***

2

Misalkan pada artikel “Pengembangan Masyarakat Irian Jaya – Penghapusan Koteka hingga Pendampingan Usaha
Kecil” (Kompas, 28 Agustus 2001, hal.20), juga pada kajian “(e)Mas, Mesiu & Misi – Hibriditas (Identitas) Papua”
(buletin Lembaga Studi Realino No.25/Thn.VII/Desember 2000)
3
Boelaars, Manusia Irian, hal.206
4
Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium, Bab II butir 17 “Sifat misioner Gereja”
5
“RUU Otonomi Khusus Papua – Pusat Harus Dipertimbangkan”, Kompas, 20 September 2001, hal.6

Tugas Agama-agama Asli di Indonesia / Adeline M.T. / 0140110101 / Page 7 of 7

Peta: desa-desa di Kabupaten Paniai tempat kediaman suku Ekagi

Sumber : Benny Giay, Zakheus Pakage and His Communities – Indigenous Religious Discourse,
Socio-political Resistance, and Ethnohistory of the Me of Irian Jaya, Amsterdam, 1995, hal.xv