Melihat Kemampuan Teroris dengan Cara Berbeda.
MELIHAT KEMAMPUAN TERORIS DENGAN CARA BERBEDA
Oleh: GPB Suka Arjawa
Poso bisa dikatakan sebagai bukti bahwa terorisme itu tidak pernan mati di Indonesia,
seperti juga Boston, Amerika Serikat sebagai bukti hidupnya teroris di dunia. Dalam
beberapa penyusuran yang dilakukan oleh pihak kepolisian di Poso, Sulawesi Tengah
ditemukannya banyak simpanan senjata di daerah-daerah pegunungan memperlihatkan
kalau lalu lintas mereka di perkotaan sudah semakin menyempit. Tetapi, sebagai sebuah
keyakinan yang bersifat ideologis, makna sebuah tempat atau lokasi mempunyai sifat
bergerak bagi teroris. Tempat itu mengikuti fisik, ideologi dan cita-cita mereka. Dengan
konteks demikian, bukan tidak mungkin lokasi itu pada akhirnya juga bersifat siklik,
melingkar. Artinya apabila kini mereka ada di pegunungan, hanya sementara saja mereka
tinggal disana untuk kemudian akan kembali ke kota desa dan akhirnya ada di
pegunungan lagi.
Masyarakat, pihak keamanan, dan negara harus waspada dengan keberadaan teroris
seperti ittu. Tidak banyak pihak yang mampu memaknai tempat/lokasi seperti apa yang
dilakukan teroris. Kemampuan memodifikasi tempat/lokasi/ruangan sesuai dengan
keberadaan fisik, ideologi dan cita-cita merupakan pencapaian yang luar biasa, baik
secara lahirian maupun metafisis. Bahwa mereka mampu memodifikasi ruangan sesuai
dengan kehadiran fisik, menandakan bahwa pihak ini telah mampu menyesuaikan
kondisi fisiknya sesuai dengan ruangan itu. Ia tidak takut dengan udara dingin,
kehujanan, panas terik atau bahkan lembab sekalipun. Hanya mereka yang fisiknya
sangat terlatih mampu menaklukkan ruangan seperti itu. Manusia pada umumnya
mendambakan tempat tinggal yang tetap karena secara sosiologis manusia terikat dengan
manusia lain dalam berinteraksi. Lebih intim lagi, manusia itu akan merasa nyaman
dengan keluarga batih, keluarga besar dan sahabatnya yang berada dalam satu
lingkungan. Tetapi, orang yang mampu melepaskan diri dari ikatan seperti ini adalah
orang-orang yang telah berhasil meninggalkan ikatan duniawi dan pasti mempunyai
cita-cita yang diperjuangkan secara lebih intens. Disinilah posisi ideologi yang menjadi
patokan nilai-nilai. Berhasilnya orang mengaitkan fisik dan pikiran dengan ideologi, tidak
lepas dari hasil perenungan, sejarah dan pembelajaran yang telah mengendap, dan paling
tidak, mengalami ujian batin bagi pihak bersangkutan. Kekuatan teroris terletak pada
ranah ini. Mereka telah mampu meninggalkan segala apa yang dipakai oleh orang-orang
normal, sehingga mampu memaknai tempat/lokasi/ruangan sesuai dengan keberadaan
dirinya. Dimana saja tempat yang ada, pasti akan mampu dimanfaatkan dan difungsikan.
Dengan cara berfikir seperti itu, maka daerah pegunungan seperti yang dipakai oleh para
teroris di Poso itu hanyalah sebagai sebuah ”olah seni” saja dan mungkin lokasi
sementara. Keterampilan mereka dalam melintasi pegunungan dengan sepeda motor,
akan mungkin ditambah lagi dengan keterampilan membuat terowongan, mendirikan
pemukiman di pegunungan untuk kemudian belajar lagi bagaimana menaklukkan
daerah perkotaan. Keterampilan-keterampilan seperti ini sesungguhnya telah ada sejak
jaman dulu tetapi akan mendapatkan pembaruan ketika munculnya berbagai informasi
berbasis media maya. Dalam konteks seperti ini, manakala cara-cara penaklukkan
hidup di gunung dan kota sudah berhasil dikuasai oleh para teroris, maka kehidupan di
desa merupakan wilayah yang lebih mudah ditaklukkan. Baik secara geografis maupun
sosiologis, pedesaan merupakan wilayah perantara antara wilayah pegunungan dengan
perkotaan. Di wilayah pedesaan, ciri-ciri dua kehidupan itu, yaitu pegunungan dan
perkotaan bisa didtemukan. Di desa kita melihat ayam masih berkeliaran di pekarangan
rumah, tetapi mereka sudah memakai mesin cuci untuk membersihkan baju. Malah sudah
ada jasa binatu di tengah kehidupan petani.
Dengan kemampuan modifikasi teroris seperti itu, maka cara pandang kepada mereka
ini harus dilihat sebagai kelompok yang pintar, cerdas dan berani. Hanya dengan
pengakuan seperti inilah masyarakat dan pemerintah akan mampu menjadikan dirinya
sebagai orang yang lebih pintar, lebih cerdas dan lebih berani dari para pembuat teror
tersebut.
Pada tingkat masyarakat kemampuan kerjasama diantara keluarga inti, merupakan kunci
mengatasi kepintaran para teroris. Keakraban, saling pengertian dan kasih sayang
haruslah dipelihara. Kecerdasan kelompok sepertii ini mengalahkan kecerdasan
kelompok dari para teroris itu. Kecerdasan kelompok teroris berakar pada nilai-nilai
”buatan”, dalam arti mereka mendapatkan pemahaman yang berasal dari luar orientasi
keluarga. Mereka yang tertangkap oleh nilai-nilai luar itu pastilah mereka yang telah
lepas dari keluarga generik mereka. Perpecahan, kemiskinan, kekurangakraban menjadi
momok mendasar munculnya teroris dan terorisme. Jika ada yang mengatakan bahwa
ada keluarga yang tertimpa nilai-nilai teroris, bisa dilacak dari latar keluarga itu. Dalam
kasus yang dialami oleh kjeluarga Amrozi, tidak lain adalah masalah kemiskinan yang
menjadi pembiaran. Bahkan teroris Boston yang baru-baru menggegerkan Amerika
Serikat pun bisa dilacak dari keluarga yang tidak harmonis. Amat mungkin kakak beradik
itu sangat rindu kampung halamannya di Chehnya, sehingga mereka membuat gaduh
Boston.
Pada tingkat pemerintah (negara), kecerdasan lebih yang harus diciptakan pemerintah
adalah mengolah sumber daya yang dimiliki. Teroris mampu melaksanakan tindakannya
karena mempunyai kelebihan dalam memaksimalkan sumberdaya secara maksimal.
Intinya terletak kepada keberanian, dengan wujud paling konkrit pada bom bunuh diri
itu. Meski tidak secara langsung melakukan ledakan bunuh diri, pelaku bom Boston
pada hakekatnya tidak takut mati. Dengan demikian, sumber daya yang dimiliki
pemerintah adalah memaksimalkan sumberdaya para petugas keamanan yang menangani
masalah teroris ini. Pemerintah Indonesia sudah benar ketika membentuk kelompok
khusus satuan pemburu teroris yang dikenal dengan Densus ’88. Memaksimalkan kinerja
kelompok ini perlu diperhatikan. Kesejahteraan keluarga, peningkatan karir, fasilitas
pendukung baik logistik maupun intrumen lain, latihan, pendidikan yang berkaitan
dengan hal-hal keterorisan, harus dikerahkan untuk Densus ’88. Secara umum, adalah
meningkatkan fasilitas dari petugas keamanan. Keinginan-keinginan untuk membubarkan
kelompok Densus ’88 ini harus dihindarkan. Hanya orang yang ingin mengganggu
keamanan (dan cemburu) saja yang mempunyai keinginan untuk membubarkan
kel.ompok itu.
Pada tingkat antar negara, informasi dan kerjsama internasional akan mampu
memberikan pengetahuan lebih dari perilaku teroris di berbagai belahan dunia. Setiap
negara harus mampu melakukan kerjasama ini karena para pembuat teror itu tidak hanya
beroperasi di satu negara tetapi di seluruh dunia. Hanya dengan cara itulah pasukan
teroris yang pintar dan ceras itu bisa dikalahkan. Pengakuan atas kecerdasan mereka
justru diperlukan untuk mengatasi kecerdasan dan keberaniannya. ****
Penulis adalah staf pengajar Sosiologi Fisip Universitas Udayana.
Oleh: GPB Suka Arjawa
Poso bisa dikatakan sebagai bukti bahwa terorisme itu tidak pernan mati di Indonesia,
seperti juga Boston, Amerika Serikat sebagai bukti hidupnya teroris di dunia. Dalam
beberapa penyusuran yang dilakukan oleh pihak kepolisian di Poso, Sulawesi Tengah
ditemukannya banyak simpanan senjata di daerah-daerah pegunungan memperlihatkan
kalau lalu lintas mereka di perkotaan sudah semakin menyempit. Tetapi, sebagai sebuah
keyakinan yang bersifat ideologis, makna sebuah tempat atau lokasi mempunyai sifat
bergerak bagi teroris. Tempat itu mengikuti fisik, ideologi dan cita-cita mereka. Dengan
konteks demikian, bukan tidak mungkin lokasi itu pada akhirnya juga bersifat siklik,
melingkar. Artinya apabila kini mereka ada di pegunungan, hanya sementara saja mereka
tinggal disana untuk kemudian akan kembali ke kota desa dan akhirnya ada di
pegunungan lagi.
Masyarakat, pihak keamanan, dan negara harus waspada dengan keberadaan teroris
seperti ittu. Tidak banyak pihak yang mampu memaknai tempat/lokasi seperti apa yang
dilakukan teroris. Kemampuan memodifikasi tempat/lokasi/ruangan sesuai dengan
keberadaan fisik, ideologi dan cita-cita merupakan pencapaian yang luar biasa, baik
secara lahirian maupun metafisis. Bahwa mereka mampu memodifikasi ruangan sesuai
dengan kehadiran fisik, menandakan bahwa pihak ini telah mampu menyesuaikan
kondisi fisiknya sesuai dengan ruangan itu. Ia tidak takut dengan udara dingin,
kehujanan, panas terik atau bahkan lembab sekalipun. Hanya mereka yang fisiknya
sangat terlatih mampu menaklukkan ruangan seperti itu. Manusia pada umumnya
mendambakan tempat tinggal yang tetap karena secara sosiologis manusia terikat dengan
manusia lain dalam berinteraksi. Lebih intim lagi, manusia itu akan merasa nyaman
dengan keluarga batih, keluarga besar dan sahabatnya yang berada dalam satu
lingkungan. Tetapi, orang yang mampu melepaskan diri dari ikatan seperti ini adalah
orang-orang yang telah berhasil meninggalkan ikatan duniawi dan pasti mempunyai
cita-cita yang diperjuangkan secara lebih intens. Disinilah posisi ideologi yang menjadi
patokan nilai-nilai. Berhasilnya orang mengaitkan fisik dan pikiran dengan ideologi, tidak
lepas dari hasil perenungan, sejarah dan pembelajaran yang telah mengendap, dan paling
tidak, mengalami ujian batin bagi pihak bersangkutan. Kekuatan teroris terletak pada
ranah ini. Mereka telah mampu meninggalkan segala apa yang dipakai oleh orang-orang
normal, sehingga mampu memaknai tempat/lokasi/ruangan sesuai dengan keberadaan
dirinya. Dimana saja tempat yang ada, pasti akan mampu dimanfaatkan dan difungsikan.
Dengan cara berfikir seperti itu, maka daerah pegunungan seperti yang dipakai oleh para
teroris di Poso itu hanyalah sebagai sebuah ”olah seni” saja dan mungkin lokasi
sementara. Keterampilan mereka dalam melintasi pegunungan dengan sepeda motor,
akan mungkin ditambah lagi dengan keterampilan membuat terowongan, mendirikan
pemukiman di pegunungan untuk kemudian belajar lagi bagaimana menaklukkan
daerah perkotaan. Keterampilan-keterampilan seperti ini sesungguhnya telah ada sejak
jaman dulu tetapi akan mendapatkan pembaruan ketika munculnya berbagai informasi
berbasis media maya. Dalam konteks seperti ini, manakala cara-cara penaklukkan
hidup di gunung dan kota sudah berhasil dikuasai oleh para teroris, maka kehidupan di
desa merupakan wilayah yang lebih mudah ditaklukkan. Baik secara geografis maupun
sosiologis, pedesaan merupakan wilayah perantara antara wilayah pegunungan dengan
perkotaan. Di wilayah pedesaan, ciri-ciri dua kehidupan itu, yaitu pegunungan dan
perkotaan bisa didtemukan. Di desa kita melihat ayam masih berkeliaran di pekarangan
rumah, tetapi mereka sudah memakai mesin cuci untuk membersihkan baju. Malah sudah
ada jasa binatu di tengah kehidupan petani.
Dengan kemampuan modifikasi teroris seperti itu, maka cara pandang kepada mereka
ini harus dilihat sebagai kelompok yang pintar, cerdas dan berani. Hanya dengan
pengakuan seperti inilah masyarakat dan pemerintah akan mampu menjadikan dirinya
sebagai orang yang lebih pintar, lebih cerdas dan lebih berani dari para pembuat teror
tersebut.
Pada tingkat masyarakat kemampuan kerjasama diantara keluarga inti, merupakan kunci
mengatasi kepintaran para teroris. Keakraban, saling pengertian dan kasih sayang
haruslah dipelihara. Kecerdasan kelompok sepertii ini mengalahkan kecerdasan
kelompok dari para teroris itu. Kecerdasan kelompok teroris berakar pada nilai-nilai
”buatan”, dalam arti mereka mendapatkan pemahaman yang berasal dari luar orientasi
keluarga. Mereka yang tertangkap oleh nilai-nilai luar itu pastilah mereka yang telah
lepas dari keluarga generik mereka. Perpecahan, kemiskinan, kekurangakraban menjadi
momok mendasar munculnya teroris dan terorisme. Jika ada yang mengatakan bahwa
ada keluarga yang tertimpa nilai-nilai teroris, bisa dilacak dari latar keluarga itu. Dalam
kasus yang dialami oleh kjeluarga Amrozi, tidak lain adalah masalah kemiskinan yang
menjadi pembiaran. Bahkan teroris Boston yang baru-baru menggegerkan Amerika
Serikat pun bisa dilacak dari keluarga yang tidak harmonis. Amat mungkin kakak beradik
itu sangat rindu kampung halamannya di Chehnya, sehingga mereka membuat gaduh
Boston.
Pada tingkat pemerintah (negara), kecerdasan lebih yang harus diciptakan pemerintah
adalah mengolah sumber daya yang dimiliki. Teroris mampu melaksanakan tindakannya
karena mempunyai kelebihan dalam memaksimalkan sumberdaya secara maksimal.
Intinya terletak kepada keberanian, dengan wujud paling konkrit pada bom bunuh diri
itu. Meski tidak secara langsung melakukan ledakan bunuh diri, pelaku bom Boston
pada hakekatnya tidak takut mati. Dengan demikian, sumber daya yang dimiliki
pemerintah adalah memaksimalkan sumberdaya para petugas keamanan yang menangani
masalah teroris ini. Pemerintah Indonesia sudah benar ketika membentuk kelompok
khusus satuan pemburu teroris yang dikenal dengan Densus ’88. Memaksimalkan kinerja
kelompok ini perlu diperhatikan. Kesejahteraan keluarga, peningkatan karir, fasilitas
pendukung baik logistik maupun intrumen lain, latihan, pendidikan yang berkaitan
dengan hal-hal keterorisan, harus dikerahkan untuk Densus ’88. Secara umum, adalah
meningkatkan fasilitas dari petugas keamanan. Keinginan-keinginan untuk membubarkan
kelompok Densus ’88 ini harus dihindarkan. Hanya orang yang ingin mengganggu
keamanan (dan cemburu) saja yang mempunyai keinginan untuk membubarkan
kel.ompok itu.
Pada tingkat antar negara, informasi dan kerjsama internasional akan mampu
memberikan pengetahuan lebih dari perilaku teroris di berbagai belahan dunia. Setiap
negara harus mampu melakukan kerjasama ini karena para pembuat teror itu tidak hanya
beroperasi di satu negara tetapi di seluruh dunia. Hanya dengan cara itulah pasukan
teroris yang pintar dan ceras itu bisa dikalahkan. Pengakuan atas kecerdasan mereka
justru diperlukan untuk mengatasi kecerdasan dan keberaniannya. ****
Penulis adalah staf pengajar Sosiologi Fisip Universitas Udayana.