Dari orang biasa menjadi teroris: telaah psikologi atas pelaku dan perilaku teror

(1)

LAPORAN PENELITIAN KOLEKTIF

DARI ORANG BIASA MENJADI TERORIS:

TELAAH PSIKOLOGI ATAS PELAKU DAN PERILAKU TEROR

Penelitian ini dibiayai oleh dana dari Lembaga Penelitian (Lemlit)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun Anggaran 2011

Tim Peneliti

Gazi, S.Psi, M.Si

Ikhwan Lutfi, M.PsiT

FAKULTAS PSIKOLOGI

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2011


(2)

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Terorisme menjadi ancaman global. Genderang perang global melawan terorisme telah ditalukan semua bangsa. Setiap negara dan kelompok merasa berkepentingan untuk mencegah dan memberantas terorisme karena mengancam peradaban dan kemanusiaan. Banyak pendekatan yang digunakan para akademisi dan pemegang kebijakan dalam memahami terorisme dan counter-terorisme. Selama ini, pendekatan psikologi telah banyak digunakan untuk melihat dan memahami masalah-masalah yang terkait terorisme dan bagaimana memberantasnya.

Analisa dengan pendekatan psikologi terorisme relatif merupakan bidang yang baru yang muncul sebagai reaksi terhadap peristiwa-peristiwa teroris pada tahun 1970-an dan tahun 1980-an. Pendekatan psikologi dianggap sebagai salah satu pendekatan yang penting untuk memahami terorisme, terutama berkaitan dengan bagaimana memahami proses psikologis dan psikososial hingga seseorang menjadi teroris. Kajian yang umumnya digunakan dalam pendekatan psikologi dalam memahami proses seseorang menjadi teroris lebih menitikberatkan pada motivasi atau proses psikologis.

Kajian terorisme dengan menggunakan pendekatan terorisme dianggap sebagai bidang kajian dan penelitian yang rumit terutama karena kesulitan-kesulitan yang dialami peneliti dalam meneliti motivasi perilaku kaum teroris. Bahkan di awal berkembangnya kajian psikologi terorisme ada kesulitan tersendiri dalam menyepakati definisi terorisme. Namun, untuk kepentingan penelitian ini, diambil suatu definisi terorisme yang baku digunakan dan disepakati di kalangan para sarjana dan peneliti bidang terorisme, yaitu suatu varian khusus penggunaan ancaman kekerasan untuk melawan kekuasaan pemerintah (Crenshaw, 2007)

Di Indonesia, kajian tentang proses menjadi teroris atau jalur menuju terorisme atau anak tangga menuju aksi terorisme tidak banyak dilakukan oleh akademisi karena dipandang sulit dan susah untuk dicapai, padahal sebenarnya hal sangat penting dan diperlukan. Kajian dan penelitian yang komprehensif tentang hal itu akan sangat berguna dan dapat membantu pemahaman kita tentang bagaimana mencegah dan memberantas terorisme.


(3)

Harus diakui telah banyak ditulis buku-buku tentang terorisme atau yang berkaitan dengan terorisme dan para teroris, bahkan ada juga yang ditulis oleh para pelaku teror itu sendiri. Kendati demikian, tidak banyak orang yang mencoba melakukan analisa psikologis terhadap buku-buku tersebut, padahal kandungan yang terdapat di dalamnya dapat memberikan informasi dan data psikologis yang penting mengenai proses panjang keterlibatan seseorang dalam aktivitas terorisme.

Penelitian psikologi tentang terorisme mengalami dua kelemahan, yaitu: Pertama, kurangnya kerangka kerja konseptual yang kuat dan ketergantungan reduksionis-positivistik pada data yang dikumpulkan atas dasar asumsi bahwa data tersebut akan memungkinkan kita untuk meniru kesuksesan sain murni seperti fisika. Kedua, kecenderungan para peneliti psikologi untuk terpecah ke dalam dua kubu, yaitu kubu disposisi dan kubu kontek (aliran kepribadian dan aliran situasi). Faktor disposisi dan faktor konteks memiliki pengaruh yang relatif terhadap perilaku manusia.

Konsep derajat kebebasan memperjelas isu pertentangan antara kedua kubu, dalam hal ini, Mogadham menggunakan metafora “staircase to terrorism” (tangga menuju terorisme). Ada 5 lantai menuju terorisme, yaitu : Pertama, lantai dasar (interpretasi psikologis tentang kondisi materil, persepsi terhadai kejujuran dan adekuasi identitas. Kedua, lantai pertama (tahap mencari cara untuk meningkatkan kondisi yang dipengaruhi oleh peluang mobilitas dan suara individual). Ketiga, lantai kedua ( pengaruh pesan persuasif yang menyatakan bahwa akar persoalan mereka adalah musuh luar yang dipimpin Amerika), Keempat, lantai ketiga, mulai menganut moralitas yang mendukung terorisme; mereka mulai terpisah dari moralitas mainstream umat Islam. Mereka mulai menganut moralitas “the end justify the mean”. Kelima, lantai keempat, menganut gaya berpikir kategoris : kita lawan mereka, kebaikan melawan kejahatan, hitam dan putih. Muncul legitimasi psikologis untuk menyerang kekuatan-kekuatan setan dengan segala cara. Keenam, lantai kelima, mengambil peran dan secara langsung mendukung aksi terorismei.

Dilema baru Amerika saat ini: Di satu sisi, Amerika menyatakan bahwa demokrasi dan kebebasan adalah semua manusia di semua kelompok masyarakat, lalu menginvasi Irak atas nama keingina memberikan demikrasi dan kebebasan kepada masyarakat Irak. Tetapi di sisi lain, Amerika terus mendukung diktator pro Amerika di sejumlah negara Islam termasuk di Saudi dan Mesir. Publik Muslim menyebut dilema tersebut dengan istilah kemunafikan Amerika.


(4)

Spesialisasi terorisme menurut Moghadam, adalah pelaku bom bunuh diri, sumber inspirasi, ahli strategi, pembangun jaringan, ahli pembuat bom, manager sel, agitator dan guide lokal, anggota sel lokal, dan penyandang dana. Significance quest berbeda-beda untuk setiap level.

Maka, atas dasar itulah, peneliti menganggap penting untuk melakukannya agar proses psikologis menjadi seorang teroris difahami banyak orang, sehingga pada gilirannya mereka akan dapat memberikan kontribusi penting dalam mencegah dan memberantas terorisme, terutama pada level individu dan kelompok kecil.

Permasalahan Penelitian

Buku-buku yang ditulis untuk membahas dan menguraikan tentang terrorisme, termasuk biografi, otobiografi atau novel berdasarkan kisah nyata tentang teroris telah banyak beredar di masyarakat. Buku-buku tersebut cukup laris dibeli karena memiliki daya tarik tersendiri, kendati demikian, buku-buku tersebut lebih banyak ditempatkan sebagai informasi yang “common sense”, atau buku yang berfungsi sebagai kajian diluar kaidah ilmiah. Sehingga hal ini menyebabkan buku-buku tersebut belum banyak ditelaah dan diteliti oleh para akademisi dan peneliti terutama dalam konteks analisa psikologis mengenai motivasi dan proses menjadi teroris.

Walaupun buku-buku biografi, otobiografi atau kisah nyata dipandang sebagai sumber sekunder, tetapi data dan informasi yang terkandung di dalamnya tergolong kaya. Terutama dalam menjelaskan proses psikologis seorang “biasa” bisa menjadi teroris yang melakukan perusakan dan pembunuhan atas nama ideologi agama tertentu. Buku-buku semacam itu banyak ditemukan di berbagai tempat seperti toko buku dan perpustakaan, tetapi masalahnya adalah tidak banyak, bahkan tidak ada satu penelitian yang berusaha mengkajinya dari perspektif ilmu psikologi.

Pertanyaan Penelitian

Untuk memudahkan kajian dalam penelitian ini, peneliti merasa perlu dirumuskan pertanyaan penelitian atau rumusan masalah penelitian, dalam hal penelitian ini rumusan masalahnya adalah:


(5)

1. Faktor apa sajakah yang memiliki peran dalam terbentuknya seseorang hingga menjadi teroris?

2. Dari variable yang ada, bagaimanakah peran variable-variabel tersebut terhadap proses terbentuknya teroris?

3. Bagaimanakah interaksi antar variabael yang menyebabkan seseorang menjadi teroris?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui:

1. Variable apa saja yang memiliki peran dalam terbentuknya seseorang hingga menjadi teroris.

2. Pengaruh setiap variable yang ada terhadap proses terbentuknya teroris. 3. Interaksi antar variable yang menyebabkan seseorang menjadi teroris.

Manfaat Dan Kegunaan Penelitian

Penelitian ini mengandung beberapa manfaat dan kegunaan, yaitu:

1. Memberikan informasi dan pengetahuan yang memadai tentang proses menjadi teroris melalui pendekatan psikologi.

2. Memberikan insight dan pemahaman yang memadai tentang faktor-faktor yang mempengaruhi keterlibatan seseorang dalam aktivitas terorisme.

Sistematika Penulisan

Laporan penelitian ini disusun secara sistematis berdasarkan susunan bab-bab yang diatur sedemikian rupa. Laporang ini terdiri dari beberapa bab, yaitu:

Bab I berisi pendahuluan. Dalam bab ini diuraikan latarbelakang masalah penelitian, permasalahan penelitian, pertanyaan penelitian, dan manfaat serta kegunaan penelitian.

Bab II berisi landasan teori dan kerangka konseptual. Dalam bab ini diuraikan teori-teori yang menjadi dasar teori-teoritis dan analisis penelitian, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan mengenai kerangka konseptual penelitian yang menjadi dasar paradigma


(6)

penelitian dalam menguraikan tema dan variabel penelitian serta hubungan antar tema dan variabel.

Bab III berisi metodologi penelitian. Dalam bab ini diuraikan metode yang digunakan peneliti dalam mengumpulkan data, tehnik analisa, dan juga penjelasan tentang subjek dan objek penelitian.

Bab IV berisi pembahasan dan analisa data. Dalam bab ini diuraikan data dan temuan penelitian, kemudian analisa terhada data dan temuan penelitian serta kesimpulan.

Bab V berisi diskusi dan rekomendasi penelitian. Dalam bab ini dibuka ruang diskusi mengenai hasil penelitian dan kesimpulannya, serta posisi hasil penelitian ini dalam konteks penelitian terdahulu. Kemudian bab ini diakhir dengan rekomendasi, baik yang bersifat teoritis-metodologis maupun praktis-pragmatis kepada stakeholder.


(7)

BAB II

LANDASAN TEORI DAN KERANGKA KONSEPTUAL

Pada bab ini peneliti menguraikan landasan teori yang digunakan dalam mengkaji dan menganalisa data yang diperoleh melalui dokumen-dokumen tentang teroris dan terorisme, sekaligus membuat kerangka konseptual atau paradigma yang digunakan peneliti dalam melaksanakan penelitian ini.

Landasan Teori

Dalam penelitian ini, ada beberapa hal yang dijadikan pijakan teoritis dalam mengkaji psikologi teroris, tetapi sebelum membahas lebih lanjut tentang landasan teoritis atau penjelasan konseptual tentang proses seseorang menjadi teroris, akan dijelaskan lebih dahulu batasan dan pengertian tentang terorisme.

Definisi Terorisme

Kata teroris berasal dari kata terere yang berarti mengancam, atau membuat ketakutan. Sehingga secara harfiah, terorisme berarti adalah tindakan yang dilakukan dengan tujuan untuk menciptkan atau menimbulkan ketakutan atan ancaman.

Istilah teroris oleh para ahli kontraterorisme dikatakan merujuk kepada para pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti peraturan angkatan bersenjata tersebut. Sedangkan pengertian atau batasan terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme adalah tindakan yang tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti, waktu pelaksanaan (yang selalu tiba-tiba) dan target /korban jiwa (yang acak serta seringkali merupakan warga sipil). Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa serang-serangan


(8)

teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi, dan oleh karena itu para pelakunya ("teroris") layak mendapatkan pembalasan yang kejam.

Akibat makna-makna negatif yang dikandung oleh perkataan "teroris" dan "terorisme", para teroris umumnya menyebut diri mereka sebagai separatis, pejuang pembebasan, pasukan perang salib, militan, mujahidin, dan lain-lain. Tetapi dalam pembenaran dimata terrorism : "Makna sebenarnya dari jihad, mujahidin adalah jauh dari tindakan terorisme yang menyerang penduduk sipil padahal tidak terlibat dalam perang". Padahal Terorisme sendiri seringkali dilakukan dengan mengatasnamakan agama.

Banyak pendapat yang mencoba mendefinisikan Terorisme, satu di antaranya adalah pengertian yang tercantum dalam pasal 14 ayat 1 The Prevention of Terrorism (Temporary Provisions) act, 1984, sebagai berikut: ―Terrorism means the use of violence for political ends and includes any use of violence for the purpose putting the public or any section of the public in fear”.

Kegiatan Terorisme mempunyai tujuan untuk membuat orang lain merasa ketakutan sehingga dengan demikian dapat menarik perhatian orang, kelompok atau suatu bangsa. Biasanya perbuatan teror digunakan apabila tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh untuk melaksanakan kehendaknya. Terorisme digunakan sebagai senjata psikologis untuk menciptakan suasana panik, tidak menentu serta menciptakan ketidak percayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dan memaksa masyarakat atau kelompok tertentu untuk mentaati kehendak pelaku teror. Terorisme tidak ditujukan langsung kepada lawan, akan tetapi perbuatan teror justru dilakukan dimana saja dan terhadap siapa saja. Dan yang lebih utama, maksud yang ingin disampaikan oleh pelaku teror adalah agar perbuatan teror tersebut mendapat perhatian yang khusus atau dapat dikatakan lebih sebagai psy-war. Dalam penelitian ini, batasan teroris merujuk pada aktifitas atau tindakan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan untuk membuat ketakutan kepada masyarakat.

Terorisme mencerminkan pertemuan antara : Pertama, suatu identitas kultural yang berbasis kuat pada kolektivisme dan pemahaman fundamentalis tentang prinsip


(9)

agama dan budaya.Kedua, suatu identitas sosial yang berbasis pertentangan yang tajam antara kelompok sendiri dan kelompok-kelompok yang dipersepsikan sebagai ancaman. Ketiga, identitas personal yang tertutup dan otoritarian atau identitas personal yang berlebihan dan tanpa tujuanii.

Karakteristik Perilaku Teror

Para ahli sepakat bahwa terdapat ciri-ciri perilaku terorisme yang dapat digunakan untuk membedakannya dengan perilaku kekerasan lainnya, yaitu: Pertama, terorisme memiliki tujuan yang jelas dan terencana. Artinya, teror yang dilakukan bukan semata-mata untuk tujuan teror itu sendiri tetapi ada tujuan di balik perilaku teror yang dilakukan.

Kedua, motivasi terorisme bisa bersifat patologis tetapi bisa juga bersifat politik, walaupun penelitian mutakhir yang dilakukan oleh sejumlah psikiater dan psikolog menyimpulkan bahwa para teroris umumnya adalah kumpulan orang-orang yang normal yang sama sekali jauh dari karakteristik abnormal atau patologis. Ketiga, selalu ditujukan kepada khalayak yang besar atau massa dalam jumlah yang banyak. Hal itu dsebabkan karena semakin banyak korban semakin cepat pesan teroris sampai ke target utama atau lawan utama. Keempat, terorisme dirancang untuk tujuan melakukan perubahan sosial dan politik. Kelima, terorisme melibatkan suatu kelompok yang terdiri dari para pemimpin dan para pengikut.

Mozarth (2006) menyebutkan ada dua perspektif yang berkembang di kalangan komunitas pengkaji terorisme dalam melihat aksi teror, yaitu :

Pertama, sudut pandang sindrome, yaitu pandangan yang menyebutkan bahwa terorisme bersifat patologis. Pandangan ini menegaskan bahwa teror dilakukan oleh orang-orang yang mengidap penyakit atau gangguan patologis. Menurut para penggagas dan pendukung perspektif ini, aktivitas teror yang dilakukan oleh orang-orang yang tergabung dalam kelompok teror memenuhi syarat patologis, baik pada tingkat individu maupun pada tingkat kelompok dengan tujuan untuk mencari penyebab.


(10)

Kedua, sudut pandang alat, yaitu pandangan yang menyebutkan perilaku teror sebagai alat atau media untuk meraih tujuan yang lain sebagai solusi. Pandangan ini menegaskan bahwa para pelaku teror sangat jelas memiliki tujuan strategis dengan ciri-ciri yang dapat diidentifikasi, yaitu bila dilihat dari sisi psikologi alat dan tujuan, teror digunakan untuk meraih tujuan ketika alat lain tidak efektif untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan; serta trait individu dan kelompok sangat sulit untuk dikenali.

Dalam konteks ini, psikologi agama berperan penting dalam menjelaskan motivasi kekerasan keagamaan dan upaya pencegahannya. Tindakan teroris dan relijiusitas kaum fundamentalis tidak dapat dijelaskan semata-mata melalui patologi psikologis atau patologi sosial. Justeru proses psikologi sosial yang normal, seperti reduksi ketidakpastian, manajemen teror, identitas sosial, dan pencarian makna melalui agama berkombinasi dengan faktor-faktor kognitif seperti intratekstualitas dan kompleksitas integratif yang rendah, memberikan pemahaman yang lebih memadai mengenai radikalisasi kaum muda yang sebagian menjadi pelaku kekerasan dan kebencian terhadap anggota kelompok lain.

Melihat Sisi Proses Psikologi Teroris

Jika penelitian psikologi tentang terorisme pada tahap awal sebagian besar berpusat pada upaya untuk menjawab kenapa individu-individu menjadi teroris atau terlibat dalam terorisme? Maka pertanyaan yang diajukan para peneliti psikologi terorisme kontemporer lebih fokus dan lebih fungsional. Horgan dan lain-lain membantu membuat kerangka penelitian masa depan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang lebih baik.

Di dalam pertanyaan ―kenapa‖ terkandung asumsi bahwa menjadi teroris mencakup pilihan diskrit untuk mengubah status. Observasi sosial dan operasi terhadap sejumlah teroris dan kelompok teroris menyimpulkan bahwa rekrutmen dan keterlibatan dalam terorisme tidak terjadi seperti itu. Horgan dan Tylor (2001) mencatat,‖Apa yang kami ketahui tentang teroris aktual menyatakan bahwa tidak banyak keputusan sadar


(11)

yang dibuat untuk menjadi teroris. Hampir sebagian besar keterlibatan dalam terorisme terjadi melalui paparan dan sosialisasi bertahap terhadap perilaku ekstrim.‖

Sebagai upaya menjadi kerangka konseptual untuk menguji pertanyaan tentang kenapa seseorang menjadi teroris, Crenshaw menyatakan bahwa isu tentang kenapa teroris bertahan dalam terorisme walaupun penuh resiko dan tanpa balasan yang jelas merupakan satu pertanyaan yang penting. Kemudian lebih lanjut ia mengatakan bahwa ada pertanyaan yang lebih penting lagi, yaitu kenapa dan bagaimana seseorang keluar dari kelompok teroris?

Psikolog John Horgan dan Max Tylor (2001) kemudian membahas terorisme dari sisi proses yaitu fase sebelum menjadi teroris, fase menjadi teroris (bisa dikonstruksi dengan : 1) tetap terlibat dan, 2) terlibat dan keluar dari terorisme. Mereka menyebutkan bahwa ada suatu distingsi mendasar yang dapat dibuat dalam menganalisa faktor-faktor yang berpengaruh pada tahap-tahap yang berbeda-beda, yaitu tahap menjadi, tahap bertahan, dan tahap meninggalkan atau mengakhiri keterlibatan.

Motif dan Vulnerabilitas. Di antara faktor psikologi utama dalam memahami bagaimana dan individu seperti apa dalam suatu lingkungan akan memasuki proses menjadi teroris adalah faktor motivasi dan vulnerabilitas. Secara definisi, yang dimaksudkan dengan motif adalah emosi, hasrat, kebutuhan psikologis, atau impuls yang menjadi pendorong utama tindakan. Sedangkan vulnerabilitas adalah kecenderungan untuk terpengaruh oleh bujukan atau ajakan.

Motivasi seseorang untuk terlibat dalam terorisme seringkali diduga adalah sebab kelompok atau ideologi kelompok. Kendati demikian, sebagaimana Crenshaw sebutkan bahwa kesan umum teroris sebagai individu yang termotivasi secara eksklusif oleh komitmen politik yang dalam dan kuat merupakan suatu realitas yang kompleks. Realitasnya adalah bahwa motif bergabung ke dalam suatu organisasi teroris dan motif terlibat dalam terorisme beragam sesuai dengan keragaman tipe kelompok dan keragaman di dalam kelompok serta berubah sesuai perubahan zaman.


(12)

Marta Crenshaw (1985) sebagai contoh, menyebutkan paling tidak ada empat kategori motivasi di kalangan para teroris, yaitu : Pertama, peluang bertindak. Kedua, kebutuhan untuk diakui. Ketiga, hasrat terhadap status sosial, dan keempat, usaha mendapatkan balasan materi. Post (1990) lebih jauh menyebutkan bahwa terorisme akan berakhir dengan sendirinya, tanpa terikat oleh tujuan politik atau ideologi. Alasannya adalah penyebab terorisme bukanlah penyebab itu sendiri (the cause is not the cause). Penyebab sebagaimana dikodifikasi dalam ideologi kelompok, menurut jalur argumen tersebut, menjadi rationale bagi tindakan kaum teroris adalah didorong untuk bertindak. Dengan kata lain, sebenarnya argumen utama pendekatan ini adalah bahwa individu menjadi teroris karena bergabung ke dalam kelompok teroris dan melakukan tindakan terorisme.

Ketiga faktor psikologis yaitu ketidakadilan, identitas dan kepemilikan ditemukan ada pada kaum teroris dan mempengaruhi pengambilan keputusan secara kuat untuk memasuki organisasi teroris dan terlibat dalam aksi terorisme. Sebagian analis terorisme berpendapat bahwa ketiga faktor tersebut saling bersinergi satu sama lain dan dinamika di antara ketiganya merupakan akar penyebab terorisme, di luar faktor ideologi. Luckabaugh dan kolega (1997) menyimpulkan bahwa penyebab riil atau motivasi psikologis untuk bergabung dalam terorisme adalah kebutuhan yang besar untuk diakui, suatu kebutuhan untuk mengkonsolidasi identitas. Kebutuhan untuk diakui sejalan dengan identitas personal yang tidak lengkap merupakan suatu faktor yang sama pada semua kelompok teroris. Dalam rumusan yang sama, Jerold Post (1984) berteori bahwa kebutuhan untuk diakui, kebutuhan untuk memiliki identitas yang stabil, untuk mengatasi keterpecahan dan menyatu dengan diri sendiri dan dengan masyarakat merupakan konsep menjembatani yang penting dan membantu menjelaskan kesamaan perilaku para teroris yang berasal dari berbagai kelompok dengan motivasi dan komposisi yang berbeda satu sama lain.

Bruce (1997) berpendapat bahwa untuk memahami proses menjadi seorang teroris dengan baik, motif tidak dapat dipisahkan dari peluang. Dalam pernyataan yang sederhana, orang-orang mengikuti jalur tertentu menuju radikalisasi, terorisme dan


(13)

organisasi teroris. Jalur menuju terorisme mungkin berbeda antara satu orang dengan orang lain, dan semuanya sangat dipengaruhi oleh faktor yang beragam. Bandura (1990) melihat bahwa jalur menuju terorisme dapat terbentuk oleh faktor-faktor yang bersifat sengaja, pengaruh rasa suka personal yang terjadi secara bersamaan, dan dorongan sosial.

Transisi menuju proses menjadi teroris tidak pernah terjadi secara tiba-tiba dan serta-merta. Horgan mengatakan bahwa proses menjadi teroris melalui proses yang panjang: paparan dan sosialisasi bertahap terhadap perilaku ekstrim. Pandangan yang sama dikemukakan oleh Luckabaugh dan rekan-rakan yang menegaskan bahwa proses menjadi teroris tidak terjadi dalam waktu semalam. Mereka yang menjadi teroris mengikuti suatu progres umum, dari alineasi sosial sampai kejenuhan sosial, kemudian ketidaksetujuan dan protes, sebelum akhirnya benar-benar berubah menjadi teroris.

McCormick (2003) menyebut proses tersebut dengan istilah pendekatan perkembangan. Terorisme dalam perspektif pendekatan perkembangan bukanlah produk dari suatu keputusan tunggal, tetapi hasil akhir dari suatu proses dialektis yang mendorong seseorang secara bertahap menuju komitmen terhadap kekerasan sepanjang waktu. Proses tersebut terjadi pada lingkungan politik yang lebih luas yang meliputi negara, kelompok teroris, dan konsituen politik. Interaksi di antara variabel-variabel tersebut dalam suatu seting kelompok digunakan untuk menjelaskan kenapa individu berubah menjadi pelaku kekerasan dan pada akhirnya dapat menjustifikasi tindakan kaum teroris.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana ideologi ekstrim berkembang menjadi radikalisasi dan pada akhirnya diterjemahkan menjadi justifikasi atau imperatif untuk menggunakan kekerasan teroris? Frederick Hacker (1983) menjelaskan progresi tersebut dalam tiga tahap, yaitu : Tahap pertama meliputi kesadaran akan penindasan; kedua, pengakuan bahwa penindasan tersebut bersifat sosial dan karenanya tidak dapat dihindarkan; ketiga, impetus atau realisasi yang memungkinkan bertindak melawan penindasan.


(14)

Erick Shaw (1986) menjelaskan eksistensi jalur perkembangan umum yang dilalui para teroris memasuki profesi mereka. Ada empat tahap proses menjadi teroris, yaitu: Pertama, proses sosialisasi dini; kedua, luka narsistik, misalnya, peristiwa hidup yang negatif dan secara negatif mempengaruhi citra diri atau harga diri; ketiga, peristiwa-peristiwa yang bersifat eskalatif (seringkali konfrontasi dengan polisi yang menyebabkan provokasi yang dipersepsikan; dan keempat, koneksi personal dengan anggota kelompok teroris yang meningkatkan peluang, akses, dan insentif untuk memasuki kelompok teroris.

Berdasarkan analisa terhadap kelompok ekstrimis militan yang beragam dengan ideologi yang juga beragam, Borum (2003) berpendapat bahwa terdapat beberapa tahap proses yang dialami individu anggota kelompok teroris dalam menganut ideologi ekstrim, baik luar negeri maupun domestik. Proses tersebut diawali dengan persepsi tentang peristiwa yang tidak memuaskan atau kondisi yang tidak adil. Ketidakadilan kemudian dicela dan dikaitkan dengan kebijakan target, person atau bangsa.

Sebagai suatu disiplin ilmu, psikologi memiliki sejarah yang panjang dalam menjelaskan perilaku menyimpang sebagai suatu fungsi psikopatologi (misalnya penyakit mental, gangguan, atau disfungsi) atau sindrom kepribadian malasuai. Menurut Schmid dan Jongman (1988), asumsi umum yang mendasari banyak teori psikologi adalah bahwa para teroris dalam satu hal atau beberapa hal merupakan orang yang tidak normal, dan bahwa pemahaman dari psikologi dan psikiatri menjadi kunci yang memadai untuk memahaminya. Pada kenyataannya, psikopatologi terbukti hanyalah faktor penentu yang umum bagi kekerasan biasa, tetapi tidak relevan untuk memahami terorisme. Dalam realitasnya, ide tentang terorisme sebagai produk gangguan mental atau psikopati tidak tepat lagi.

Penelitian tentang psikologi terorisme hampir seragam menyimpulkan bahwa penyakit mental dan abnormalitas secara tipikal bukanlah faktor penting dalam perilaku kaum teroris. Studi-studi yang dilakukan peneliti dari kalangan psikolog menemukan bahwa tingkat penyakit mental di kalangan sampel teroris


(15)

yang tertangkap adalah rendah atau lebih rendah dibandingkan populasi umum. Lebih lanjut, walaupun kaum teroris seringkali melakukan tindakan yang gila tetapi jarang sekali mereka dicap sebagai psikopat klasik. Secara tipikal kaum teroris memiliki keterkaitan dengan prinsip atau ideologi, termasuk teroris lain atau orang lain yang berbagi dengan mereka. Padahal, psikopat tidak memiliki bentuk hubungan seperti itu dan tidak pula mau mengorbankan diri termasuk bunuh diri atau mati untuk suatu sebab.

Trait kepribadian secara konsisten telah gagal dalam menjelaskan sebagian besar tipe perilaku manusia, termasuk perilaku kekerasan. Pendekatan tidak dapat memberikan sumbangan yang lebih banyak dan lebih signifikan dibandingkan faktor situasi atau faktor konteks. Crenshaw (2001) misalnya menyebutkan bahwa komitmen ideologi bersama dan solidaritas kelompok merupakan determinan yang lebih penting bagi perilaku kaum teroris dibandingkan karakteristik individual. Bandura agaknya sepakat, sebagaimana tercermin dalam sejumlah tulisannya, bahwa diperlukan kondisi sosial yang kondusif dibandingkan orang-orang gila untuk melakukan tindakan yang gila. Oleh karena itu, metode yang paling efektif untuk menjelaskan perilaku adalah dengan mengkombinasikan antara faktor personal dan faktor situasi.

Sejumlah literatur secara tegas menyebutkan bahwa tidak ada kepribadian teroris dan tidak ada pula profil psikologis atau profil lainnya tentang teroris. Bahkan, kepribadian sendiri cenderung tidak bisa menjadi prediktor yang sangat baik terhadap perilaku. Upaya memahami terorisme dengan mengkaji trait kepribadian teroris merupakan bidang yang tidak produktif untuk menghasilkan investigasi dan studi selanjutnya.

Pengaruh Pengalaman Hidup Terhadap Terorisme

Pengalaman hidup tertentu secara umum cenderung ditemukan pada kaum teroris. Sejarah pengalaman kekerasan dan trauma agaknya sesuatu yang umum pada mereka. Selain itu, tema-tema persepsi tentang ketidakadilan dan keterhinaan seringkali


(16)

mengemuka dalam biografi kaum teroris dan sejarah personal mereka. Namun, tidak ada satupun dari semua itu yang memberikan kontribusi yang banyak terhadap penjelasan sebab-akibat mengenai terorisme, tetapi bisa terlihat sebagai penanda vulnarebilitas, sebagai sumber motivasi atau sebagai mekanisme untuk memperoleh atau menguatkan ideologi kaum militan.

Peran Ideologi Dalam Terorisme

Ideologi seringkali didefinisikan sebagai serangkaian aturan yang umum dan disepakati secara luas serta menjadi patokan individu yang membantunya mengatur dan menentukan perilaku. Ideologi-ideologi yang mendukung terorisme yang sangat beragam agaknya mengandung tiga karakteristik struktural yang umum. Karakteristik-karakteristik tersebut mencakup: Satu, harus memberikan sehimpunan keyakinan yang membimbing dan menjustifikasi serangkaian mandat perilaku. Kedua, keyakinan-keyakinan tersebut harus dihargai dan tidak boleh dipersoalkan atau dipertanyakan. Ketiga, perilaku-perilaku tersebut harus memiliki tujuan yang terarah dan terlihat memberikan sebab tertentu dan sasaran yang bermakna. Budaya merupakan faktor penting dalam perkembangan ideologi, tetapi dampaknya terhadap ideologi kaum teroris secara khusus belum dipelajari. Ideologi membimbing dan mengendalikan perilaku dengan memberikan satu himpunan penghantar perilaku yang menghubungan perilaku langsung dan aksi terhadap hasil dan ganjaran yang positif atau dilihat sebagai satu bentuk aturan perilaku yang berdasarkan aturan.


(17)

Untuk menjelaskan tahapan-tahapan atau proses psikologis yang dialami seseorang dari seorang yang biasa atau bukan teroris menjadi seorang teroris, akan digunakan teori ―Staircases to terrorism‖ dari Fathali Moghaddam (2005). Tangga menuju terorisme adalah metafor yang digunakan Moghaddam untuk menggambarkan dan menjelaskan proses menjadi terorisme. Tangga-tangga menuju terorisme terdiri dari :

1. Ground floor: Search for meaning. Mencari makna diri dan sosial menjadi awal atau modal dasar menjadi terrorisme, walaupun tidak semua orang yang sedang mencari makna akan terjerumus ke dalam aktivitas terorisme. Pada tahap ini, ada kekecewaan dan deprivasi atas kondisi pribadi terutama kondisi kelompok lain yang lebih baik dari kelompok sendiri. Kondisi seperti ini sering disebut dengan istilah krisis identitas yang melahirkan persepsi ketidakadilan terhadap kelompok sendiri yang dilakukan oleh kelompok lain.

2. First floor : Presenting the ideology. Pada saat ini, muncul semangat untuk mencari musuh dan melawan pihak (kambing hitam) yang dianggap melakukan ketidakadilan terhadap kelompok sendiri. Maka, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana melawan ketidakadilan tersebut?

3. Second floor: Cultivation stage. Pada tahap ini terjadi proses pengolahan ideologi untuk melakukan perlawanan terhadap pihak-pihak yang telah membuat ketidakadilan terhadap kelompok sendiri. Bentuk dasarnya adalah displacement aggression. Aktifitas yang sering muncul adalah dalam


(18)

bentuk pencelaan dan pengutukan pihak-pihak yang telah dianggap menjadi penyebab ketidakadilan tersebut.

4. Third floor : yaitu aktifitas yang dilakukan dalam bentuk melihat dunia sebagai hal yang hitam dan putih. Hanya ada benar atau salah. Dimana penilaian benar dan salah didasarkan pada ―fatwa leader‖. Leader melakukan control, Control over member, dalam bentuk penanaman ide dan keyakinan moral yang bersifat benar vs salah. Pada tahap ini, semua cara dihalalkan asalkan bisa digunakan untuk mencapai tujuan.

5. Fourth floor : Moral engagement. Pada tahap ini terjadi proses polarisasi kelompok kawan dan lawan. ―Mereka adalah lawan yang hendak menyerang dan menghancurkan kita.‖ Identitas sosial terbentuk secara mantap, yaitu identitas sebagai mujahid, dan orang/kelompok yang tidak sejalan adalah musuh.

6. Fifth floor : Recruitment. Pada tahap ini seseorang mulai terlibat dalam aksi terorisme yang mencengangkan dunia. Keterlibatan secara aktif mulai dari perencanaan, penentuan target, penentuan tehnik, waktu dan tempat/lokasi sasaran, hingga yang aktifitas yang menentukan dalam rekrutmen pelaksana.

Basis Dukungan Terorisme

Selama ini persepsi publik selalu mengaitkan terorisme pada pelaku teror yang terlibat secara langsung dalam kegiatan destruktif, padahal terorisme tidak hanya melibatkan orang atau kelompok tertentu yang teridentifikasi oleh pihak intelijen atau aparat. Terorisme melibatkan suatu jaringan luas yang terdiri dari berbagai lapis. Bila merujuk kepada pendapat Mozarth M.A (2006), basis dukungan terorisme terdiri dari :


(19)

 Teroris aktual yaitu pelaku teror yang terlibat secara langsung di lapangan.

 Pendukung aktif, yaitu orang-orang yang menjadi perencana, mentor dan pengatur tenaga lapangan.

 Pendukung pasif yaitu orang-orang yang tidak terlihat atau tidak terdeteksi oleh aparat atau intelijen tetapi memiliki kontribusi yang besar atas terlaksananya aksi teror. Kelompok ini terdiri dari penyandang dana atau ideolog.

 Simpatisan, yaitu orang-orang yang sefaham dengan kelompok teroris tetapi tidak terlibat secara langsung dalam aksi teror. Mereka umumnya adalah kelompok radikal yang mengusung ideologi yang sama dengan para teroris.

Islam dan Radikalisme

Ada tiga prinsip kunci ideologi radikal, yaitu intoleransi relijius, sentralitas jihad militan terhadap penerapan Islam, dan upaya formalisasi syariat dalam hukum kenegaraan. Argumen teologis berbasis penafsiran radikal terhadap suatu keimanan melegitimasi, menjustifikasi dan mendorong tindakan terorisme. Walaupun kaum Muslim mainstream di seluruh dunia mengutuk ideologi radikal tersebut, satu sekte kecil kaum ekstrimis telah berusaha menggunakan agama sebagai senjata perang selama satu abad. Mereka bukan musuh dalam bentuk individu atau kelompok tetapi dalam bentuk jaringan organisasi transnasional yang kompleks. Ideologi tersebut membuat radikal individu dari berbagai macam ras, etnik, status sosial-ekonomi, dan tingkat pendidikan, serta mengubah menjadi kaum militant.iii


(20)

Penelitian ini dilakukan berdasarkan kerangka konseptual sebagai berikut: Perilaku teror dilakukan oleh para teroris yang memilih jalan ini sebagai alat untuk meraih tujuan jangka panjang. Para teroris memilih jalan teror karena mereka tidak menemukan jalan lain yang memungkinkan untuk dilakukan dalam melawan ―musuh‖ yang dianggap bertanggungjawab atas kesulitan, nestapa dan malapetaka yang menimpa kaumnya.

Siapa saja bisa menjadi teroris. Artinya, orang biasa yang tidak berdosa sama sekali bisa terlibat dalam aksi teror, karena proses menjadi teroris merupakan rangkaian panjang dari sebuah proses sosial dan psikologis. Tahap awal kemungkinan seseorang menjadi teroris ketika ia mengalami semacam krisis identitas sosial yang ditandai oleh upaya pencarian jati diri dan kelompok. Pada tahap ini seseorang merasakan ketidakadilan telah dilakukan pihak-pihak tertentu terhadap kaumnya, lalu ia akan mencari siapakah sesungguhnya yang bertanggungjawab atas ketidakadilan dan kezaliman yang menimpa kaumnya? Setelah diperoleh informasi tentang siapa yang bertanggungjawab atas ketidakadilan dan kezaliman yang ada di depan mata –biasanya informasi ini diperoleh dari seorang tokoh atau pemimpin kharismatik—maka terjadi proses pengolahan ideologi atau kaderisasi atau ideologisasi atau pencucian otak oleh sang ideolog atau pemimpin yang bertugas merekrut dan mengkader para pelaku teror. Pada saat itu, mentalitas lawan dan kawan atau ingroup dan outgroup yang sangat bernuansa hitam-putih dalam menilai segala hal. Proses penempaan terus berlangsung sampai tiba saatnya seseorang berkomitmen untuk menjadi bagian dari jaringan perilaku teror. Pada saat ini, seseorang sudah pantas dianggap sebagai teroris yang tunduk pada normal dan moral yang berlaku di kelompok teroris. Setelah itu, tentu saja ada dua kemungkinan yang terjadi, yaitu terus bertahan sebagai teroris atau berubah menjadi orang biasa melalui beragam cara. Bila digambarkan dalam bentuk bagan maka prosesnya sebagai berikut:

Praradicalisation Radicalisation Pre-involvement searching

Violent radicalisation

Remaining involved and

engaged

Disengagem


(21)

Keterangan:

 Pra radikalisasi: orang biasa

 Radikalisasi : Orang biasa berubah menjadi radikal

 Pra pencarian keterlibatan : Orang yang radikal mencari cara dan kelompok untuk melakukan aksi teror.

 Radikalisasi kekerasan: Orang yang radikal memilih jalan teror, menemukan kelompok teroris dan mulai melakukan teror.

 Tetap terlibat dalam kelompok teroris : seorang teroris tetap bertahan dalam kelompok teroris dan konsisten memilih jalan teror.

 Disengagement: Seorang teroris mulai berubah menjadi bukan teroris atau orang biasa.

 Deradikalisasi: Seorang mantan teroris yang mulai mengubah ideologinya menjadi ideologi yang moderat dan tidak memilih jalan teror dan kekerasan.

Penelitian ini akan menggunakan teori staircases to terrorism dari Moghaddam (2005). Teori ini dikembangkan setelah Moghaddam mengamati bahwa penelitian psikologi tentang terorisme mengalami dua kelemahan, yaitu: Pertama, kurangnya kerangka kerja konseptual yang kuat dan ketergantungan reduksionis-positivistik pada data yang dikumpulkan atas dasar asumsi bahwa data tersebut akan memungkinkan kita untuk meniru kesuksesan sain murni seperti fisika.

Kedua, kecenderungan para peneliti psikologi untuk terpecah ke dalam dua kubu, yaitu kubu disposisi dan kubu kontek (aliran kepribadian dan aliran situasi). Faktor disposisi dan faktor konteks memiliki pengaruh yang relatif terhadap perilaku manusia. Artinya, mereka yang menganut kubu disposisi terlalu berlebihan dalam menganggap trait dan kepribadian sebagai satu-satunya faktor yang kuat dari perilaku teror. Sebaliknya, kubu situasi atau konteks terlalu berlebihan juga menganggap kekuatan situasi atau konteks tidak bisa dilawan oleh siapapun. Jalan tengah yang baik adalah melakukan sinergi atas kedua pandangan tersebut, yaitu membangun suatu asumsi


(22)

teoritis yang mencakup kedua kubu, yaitu bahwa perilaku teror adalah sinergi antara kekuatan disposisi dan kekuatan situasi.

Konsep derajat kebebasan memperjelas isu pertentangan antara kedua kubu, dalam hal ini, Mogadham menggunakan metafora ―staircase to terrorism‖ (tangga menuju terorisme). Ada 5 lantai menuju terorisme, yaitu : Pertama, lantai dasar (interpretasi psikologis tentang kondisi materil, persepsi terhadai kejujuran dan adekuasi identitas. Kedua, lantai pertama (tahap mencari cara untuk meningkatkan kondisi yang dipengaruhi oleh peluang mobilitas dan suara individual). Ketiga, lantai kedua ( pengaruh pesan persuasif yang menyatakan bahwa akar persoalan mereka adalah musuh luar yang dipimpin Amerika), Keempat, lantai ketiga, mulai menganut moralitas yang mendukung terorisme; mereka mulai terpisah dari moralitas mainstream umat Islam. Mereka mulai menganut moralitas ―the end justify the mean‖. Kelima, lantai keempat, menganut gaya berpikir kategoris : kita lawan mereka, kebaikan melawan kejahatan, hitam dan putih. Muncul legitimasi psikologis untuk menyerang kekuatan-kekuatan setan dengan segala cara. Keenam, lantai kelima, mengambil peran dan secara langsung mendukung aksi terorismeiv


(23)

METODOLOGI PENELITIAN

Pendekatan penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, menyesuaikan dengan objek penelitian, dimana objek penelitian ini adalah isi dari buku atau tulisan tentang biografi teroris. Pada mulanya, metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode yang biasa disebut dengan istilah mixed methode (metode campuran). Metode campuran ini adalah sebuah pendekatan baru yang menggabungkan pendekatan kualitatif dan kuantitatif baik dalam hal pengambilan data, pengolahan dan analisa. Tetapi karena keterbatasan peneliti dari sisi waktu, tenaga dan biaya maka pendekatan yang akhirnya digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif saja. Sedangkan untuk penelitian kuantitatifnya akan dilakukan sebagai tindak lanjut dari penelitian ini.

Dalam penelitian gabungan ini metode penelitian kualitatif dan kuantitatif dilakukan secara bertahap. Metode pertama adalah pendekatan kualitatif, dan selanjutnya hasil dari penelitan pertama digunakan sebagai data untuk penelitian tahap ke-2 (kuantitatif).

 Metode pertama yang digunakan adalah metode kualitatif digunakan dengan pendekatan Analisa isi dari Tulisan (juga dikenal sebagai Documentary Hypothesis). Teknik yang digunakan adalah penelitian biografi. Penelitian biografi adalah studi tentang individu dan pengalamannya yang dituliskan kembali dengan mengumpulkan dokumen dan arsip-arsip.. Pendekatan ini menekankan pada analisa terhadap isi atau konten suatu informasi tertulis atau tercetak dalam media massa. Pelopor analisis isi adalah Harold D. Lasswell, yang memelopori teknik symbol coding, yaitu mencatat lambang atau pesan secara sistematis, kemudian diberi interpretasi. Tujuan penelitian ini adalah mengungkap turning point


(24)

moment atau epipani yaitu pengalaman menarik yang sangat mempengaruhi atau mengubah hidup seseorang Dimana analisa isi biografi dibatasi pada factor-faktor psikologis dan situasi/lingkungan yang secara teoritis dianggap memiliki pengaruh terhadap perilaku terorisme.. Peneliti menginterpretasi subjek seperti subjek tersebut memposisikan dirinya sendiri.

Metode ini digunakan untuk menganalisa data-data yang dihasilkan dari metode analisa isi biografi. Hasil yang ditemukan dengan metode analisa isi, faktor-faktor tersebut kemudian di jadikan variabel yang akan dianalisa. Teknik analisa regresi digunakan dalam metode ini. Analisa digunakan untuk menjelaskan hubungan dan interaksi antar variabel dan pengaruhnya terhadap terorisme. Teknik analisa ini menggunakan soft ware SPSS dan Lisrel.

Objek penelitian

Objek dalam penelitian ini adalah buku tentang pelaku terorisme, yang terdiri dari 3 buku, yaitu:

1. Temanku teroris oleh Noor Huda Ismail (2010), yang secara umum berisi tentang Apa sebenarnya yang terjadi ketika dua santri menerapkan ilmu agama pada jalan hidup masing-masing? Penulis buku mengangkat kisah dirinya dan pelaku teroris (Fadlullah Hasan) dengan empati dan simpati, menyisakan perenungan tentang terorisme, jihad Islam dan arti sebuah persahabatan.

2. Demi Allah aku seorang teroris oleh Damien Dematra adalah kisah tentang pencarian kebenaran yang dilakukan seorang anak manusia namun malah dipelintir oleh sejumlah oknum dengan mengatasnamakan agama. Dalam kerinduannya mencari Tuhan, seseorang bergabung dengan sebuah


(25)

kelompok pengajian dan diminta mengucapkan janji setia pada sebuah organisasi dan mulai mempercayai pandangan bahwa negara yang benar adalah negara yang berlandaskan hukum syariat agama. Ia pun percaya bahwa perlakuan orang-orang non-Muslim di Indonesia adalah kafir, apalagi mereka yang berasal dari negara barat.

3. Aku melawan teroris ditulis oleh Imam Samudra. Berisi tentang proses dan ungkapan-ungkapan kesadaran mengenai jalan yang ia tempuh, dari sekian ragam jalan yang ditempuh oleh umat Islam. Agaknya ungkapan ini mewakili metode pemahaman yang ia anut.

4. Fuad Hussein

Generasi Kedua Al-Qaidah; Apa dan Siapa Zarqawi, Ikon Kelompok Perlawanan Iraq Masa Kini/ Fuad Hussein; Penerjemah, Ahmad Syakirin; Editor, Tony Syarqi, -- Solo:Jazeera, 2009

5. Noor Huda Ismail(2010). Temanku, Teroris?. Jakarta: Penerbit Hikmah 6. N. Bin Laden, O. Bin Laden, Sasson, J. Growing Up Bin Laden (2010).

Jakarta:Penerbit Literati

7. Ed Husain (2007). The Islamist. London: Penguin Book

8. Al-Maqdisi, Abu Muhammad Mereka Mujahid tapi Salah Langkah/Abu Muhammad Al-Maqdisi; Penerjemah, Abu Sulaiman; Editor, Fahmi Suwaidy – Solo: Jazeera, 2007

9. Damien Dematra (2009). Demi Allah, Aku Jadi Teroris. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama

10. Imam Samudra (2004). Aku Melawan Teroris. Jakarta: Jazeera


(26)

Instrument Penelitian 1. Metode kualitatif

Instrument dalam penelitian tahap pertama ini adalah panduan analisa isi buku, biografi.

Teknik analisa

Analisa dilakukan dengan mengumpulkan informasi atau data yang terkati deng hal-hal yang menyebabkan seseorang menjadi teroris, tentunya dalam ranah psikologi. Informasi yang didapatkan dari satu pelaku dengan pelaku yang lain kemudian dicari karakteristik yang mirip/sama. Kemudian dijadikan tabulasi factor psikologis yang dominan dari tokoh-tokoh tersebut.


(27)

BAB IV

DATA DAN TEMUAN PENELITIAN

Pada bab ini tim penulis akan menguraikan profil singkat teroris, sejumlah data dan informasi terkait tema dan tujuan penelitian, serta temuan penting yang hendak dibahas berdasarkan pendekatan ilmu psikologi.

Profil Singkat Teroris

Profil singkat para teroris sengaja dikemukakan dalam laporan penelitian ini dengan tujuan agar penelitian memiliki kekuatan utama yang berpijak pada aspek kepribadian atau psikologi. Dengan mengemukakan profil singkat teroris ini, diharapkan penelitian ini dapat memberikan gambaran awal tentang aspek psikologis dari para teroris.

Ada dua tokoh yang dikaji dalam penelitian ini, yaitu Abu Musab dan Utomo Pamungkas. Pemilihan kedua tokoh ini dasarkan atas argumentasi bahwa yang pertama mewakili profil teroris dari Timur Tengah dan yang kedua mewakili profil teroris dari Indonesia. Pemilihan teroris dari Timur Tengah dan teroris dari Indonesia dimaksudkan untuk melihat bagaimana pengaruh latarbelakang kondisi geografis dan corak keagamaan mempengaruh keterlibatan seseorang dalam terorisme.

Argumen di atas didasarkan atas keinginan untuk menguji gagasan seorang peneliti psikologi sosial atau ahli psikologi lintas budaya dari negeri Belanda, yaitu Geert Hofsted yang sangat berpengaruh dalam hal pengujian konsep psikologi berdasarkan perbedaan budaya. Pada tahun 1960an sampai tahun 1970an, Hofsted terlibat dalam suatu penelitian besar dengan ruang lingkup penelitian yang sangat besar, yaitu melibatkan lebih dari 60 negara di seluruh


(28)

dunia. Proyek penelitian massif ini menghasilkan akumulasi respon sebanyak 116.000 respon sehingga memungkinkan bagi Hofstede untuk melakukan analisa data yang ekstensif yang kemudian ia publikasikan dalam bentuk buku yang berjudul ―Culture’s Consequence” pada tahun 1980.

Penelitian Hofsted mendukung hasil penelitian dua peneliti dari Amerika, Alex Inkles, seorang sosiolog dan Daniel Levinson seorang psikolog, yaitu bahwa semua masyarakat menghadapi empat tantangan berikut ini:

 Ketidakadilan sosial, termasuk hubungan dengan penguasa.

 Hubungan antara individu dan kelompok

 Konsep maskulinitas dan feminitas : implikasi sosial dan emosional akibat terlahir sebagai laki-laki dan perempuan.

 Cara menghadapi ketidakpastian dan ambiguitas dikaitkan dengan kontrol terhadap agresi dan ekspresi emosi.

1. Abu Mus’ab Al-Zarqawi

Abu Musab al-Zarqawi (bahasa Arab: يواقرزلا‎بعصموبأ‎) (± Oktober 1966 – 7 Juni 2006) adalah pemimpin kelompok militan Islam Al-Qaeda di Irak. Zarqawi termasuk daftar orang yang sangat dicari di Yordania dan Irak karena telibat dalam serangkaian serangan, termasuk pembunuhan tentara dan polisi, serta beberapa penduduk sipil. Pemerintah Amerika Serikat menawarkan hadiah 25 juta USD untuk penangangkapan Zarqawi, jumlah yang sama dengan yang ditawarkan untuk penangkapan Osama bin Laden sebelum Maret 2004. Zarqawi terbunuh di suatu serangan udara AS di Baquba pada 7 Juni 2006. Sebagai penggantinya, Al-Qaeda di Irak telah menunjuk Syeikh Abu Hamza al-Muhajir sebagai penggantinya.


(29)

Dilahirkan di Zarqa, Yordania pada tanggal 20 Oktober 1966 dengan nama Ahmad Fadil Nazal Al Khalaylah dalam sebuah lingkungan pemukiman yang kumuh dan didominasi pemandangan kemiskinan. Zarqowi pernah mendekam di penjara selama beberapa waktu karena beberapa kasus kriminal ringan yang pernah ia lakukan. Setelah beberapa lama mendekam di sel, ia mengalami transformasi personal yang mengejukan banyak orang. Selanjutnya ia berubah menjadi seorang Islamis militan yang menganut ajaran Islam radikal dan garis keras. Zarqowi pernah ikut bergabung bersama mujahidin Afganistan untuk berperang melawan aneksasi Uni Sovyet. Pergaulannya bersama kaum mujahidin lainnya di Tanah Afganistan membentuk karakter dan kepribadian khas pada diri Zarqowi. Nilai-nilai jihad dan perlawanan terhadap kaum yang dipandang kafir, munafik dan sesat amat mendarah daging pada dirinya sehingga ia tampil sebagai sosok yang menonjol di antara kawan-kawannya.

Abu Musa Al-Zarqawi, adalah salah seorang tokoh terkenal dalam deretan kelompok teroris kelas dunia dan cukup ditakuti karena sepak terjangnya dalam dunia teror yang mencemaskan banyak pihak. Untuk memudahkan penulisan tokoh ini selanjutnya disebut Al-Zarqawi saja. Ia dilahirkan di negeri Yordania, Timur Tengah. Bayi Al-Zarqawi dilahirkan di sebuah pemukiman miskin dan sangat kumuh di tengah padang pasir yang panas yang bernama Al-Zarqa.

Masa kecil Al-Zarqawi sangat sarat dengan nilai-nilai budaya dan kehidupan Kaum Badui yang dicirikan dengan watak yang baik, misalnya, gampang memaafkan dan melupakan kesalahan orang lain, termasuk gampang suka dan menyayangi orang lain. Al-Zarqawi juga dikenal sebagai pribadi yang berakhlak mulia, pemberani dan sangat ramah kepada siapa saja, kendati ia dikenal juga sebagai orang yang sangat pendendam.


(30)

Ada beberapa faktor penting yang membentuk pribadi dan karakter Al-Zarqawi sehingga ia tumbuh menjadi sosok dengan karakter khas Badui yang melekat pada dirinya. Kekentalan karakter Badui pada diri Al-Zarqawi tercermin pada hal-hal berikut ini, yaitu :

Pertama, nilai, pola dan gaya hidup Kaum Badui yang sangat kental dengan ketangguhan, keberanian dan ketegasan. Karakteristik umum yang melekat pada Kaum Arab Badui sangat melekat pada diri Al-Zarqawi sehingga ia dikatakan sebagai prototipe Arab Badui modern. Ketangguhannya tercermin dari resiliensinya dalam menghadapi berbagai kesulitan dan tantangan hidup yang mendera sejak masa kanak-kanak sampai ia dewasa. Selain itu, ia dikenal pula sebagai orang yang pemberani dalam menyampaikan sikap dan pandangannya terhadap suatu persoalan dan tegas dalam segala hal.

Ia juga memiliki sifat mulia, berani, dan ramah layaknya seorang badui. Seorang badui juga di kenal dengan sikap balas dendam, sama sekali ia tidak melupakan perlakuan buruk musuhnya sampai kapanpun. Dan kebanyakan, seorang badui mempuyai tingkat kesabaran yang tinggi untuk membalaskan keinginan balas dendamnya (hal: 11).

Kedua, didikan yang sangat ketat dan penuh disiplin dari kedua orang tuanya. Salah satu ciri khas para orang tua Kaum Badui adalah konsistensi mereka dalam menerapkan disiplin yang ketat kepada anak-anak mereka. Dalam hal ini, Al-Zarqawi termasuk anak yang mendapatkan pola asuh yang sangat disiplin dan ketat dari orang tuanya sehingga hal itu mempengaruhi cara dia bersikap dan berperilaku di kemudian hari setelah ia beranjak dewasa.

Ketiga, pengaruh Sosial terutama pengaruh rekan sebaya terasa kental pada diri Zarqawi. Teman-teman Zarqawi pada saat belajar di Perguruan tinggi, mayoritas berasal dari berbagai kelompok Islam garis keras yang secara umum


(31)

selalu mendorong kaum muda untuk melakukan jihad di berbagai kawasan Islam yang menurut mereka dikuasai kaum kafir. Saat muda, ide jihad dan mati syahid tumbuh subur dalam sanubari Zarqawi.

Kehidupan badui adalah pilar utama dalam pembentukan watak Zarqawi. Orang badui adalah orang yang berwatak baik, cepat melupakan masalah orang, cintanya kepada orang lain bersifat sepintas lalu, demikian juga ketika ia mau menerima bantuan dari orang lain sifatnya sepintas lalu (hal: 9).

2.Utomo Pamungkas alias Fadhlullah Hasan alias Mubarok alias Amin

Utomo Pamungkas lahir dari keluarga yang relijius dan cukup terpandang di masyarakat. Ayahnya yang bernama Harsono adalah seorang guru agama yang memiliki karakter yang keras dan tegas. Karenanya, pola asuh yang diterapkan di tengah keluarga adalah pola asuh yang sangat otoriter, keras, tegas dan kaku.

Semenjak dimarahi sang ayah karena meminta sesuatu di kereta yang sedang berlalu cepat, Utomo kecil menjadi orang yang sangat serius dan kaku dalam pergaulan. Karakternya yang serius dan tegas justeru membuatnya kharismatik di depan teman-temannya sehingga ia dipilih menjadi pemimpin. Jiwa kepemimpinannya, orientasinya pada tindakan yang progresif, dan kemauannya yang keras menjadi ciri khas yang sangat menonjol pada diri Utomo, setidaknya dalam persepsi teman-teman terdekatnya saat di pondok pesantren..

Didikan yang kental dengan nilai-nilai Islam ia peroleh dari ayahnya, seorang guru agama di sekolah Muhammadiyah. Sang ayah mendidik Utomo Pamungkas dan saudara-saudaranya dengan nilai-nilai Islam yang sangat kuat.


(32)

Itulah sebabnya kenapa Tomo kecil tumbuh menjadi pribadi yang memiliki minat kuat di bidang ilmu agama Islam (hal: 285).

Utomo menjadi jihadis bermula ketika ia ditawari untuk belajar di Pakistan. Sesampai di pakistan, dia diberi dua pilihan: belajar mendalami ilmu agama Islam atau berjihad di medan jihad Afghanistan. Utomo memilih jihad setelah melihat kondisi Afghanistan yang sangat menyedihkan dan memprihatinkan di matanya. Akhirnya Utomo mengikuti latihan militer atau tadrib di Akademi Militer Afghanistan di bawah pimpinan Abdul Rabbi Rasul Sayyaf. Jiwa pemberaninya muncul ketika harus ikut di medan perang. Tank, pesawat, dan suara morir menjadi familiar baginya. Cita-citanya sebagai syahid atau martir belum bisa tercapai di Afghanistan karena sampai perang berakhir, ia masih tetap sehat wal-afiat.

Analisa Psikologis

Menganalisa sisi psikologis para teroris adalah pekerjaan yang tidak mudah karena bidang ini relatif baru. Selain itu, keterlibatan seseorang dalam terorisme tidak semata-mata dipengaruhi oleh faktor psikologis tetapi juga oleh faktor-faktor lain seperti ekonomi, sosial dan politik. Kendati demikian, dapat dikatakan bahwa analisa psikologis terhadap para teroris, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati, dapat membantu menjelaskan kenapa seseorang terlibat dalam terorisme dan bagaimana mengakhiri keterlibatan mereka.

Sebagai suatu ilmu yang mempelajar perilaku, psikologi sangat tepat untuk digunakan dalam mengkaji terorisme karena ia berkaitan dengan perilaku teror. Mengkaji perilaku teror tanpa melibatkan ilmu psikologi sama dengan mendiagnosa suatu penyakit tanpa menggunakan alat yang tepat. Ilmu psikologi dengan segala variannya bisa memberikan perspektif yang menarik dalam


(33)

mengkaji perilaku teror. Misalnya, psikologi klinis, psikologi sosial dan psikologi agama.

Psikologi agama sebagai salah satu cabang psikologi berperan penting dalam menjelaskan motivasi kekerasan keagamaan yang dilakukan oleh individu-individu yang menggunakan agama sebagai inspirasi, dan upaya pencegahannya, termasuk misalnya bagaimana mengubah seorang yang radikal atau teroris sekalipun menjadi tidak lagi terlibat dalam radikalisme dan perilaku teror.

Tindakan teroris dan relijiusitas kaum fundamentalis tidak dapat dijelaskan semata-mata melalui patologi psikologis atau patologi sosial karena sejumlah penelitian membuktikan bahwa para teroris bukanlah kaum abnormal yang tidak menyadari apa yang mereka lakukan. Bahkan, penelitian menegaskan bahwa mereka adalah kumpulan orang normal yang menyadari sepenuhnya tindakan mereka karena aksi teror mereka didasarkan atas ideologi dan keyakinan tertentu, serta digerakkan oleh tujuan tertentu.

Menurut para ahli dan pakar di bidang psikologi, justeru proses psikologi sosial yang normal, seperti reduksi ketidakpastian, manajemen teror, identitas sosial, dan pencarian makna melalui agama berkombinasi dengan faktor-faktor kognitif seperti intratekstualitas dan kompleksitas integratif yang rendah, memberikan pemahaman yang lebih memadai mengenai radikalisasi kaum muda yang sebagian menjadi pelaku kekerasan dan kebencian terhadap anggota kelompok lain.

Artinya, menyimpulkan para teroris sebagai kumpulan orang-orang yang tidak normal dan tidak waras adalah suatu kesalahan besar. Mungkin, ada satu atau dua kasus individu yang terlibat dalam tindak teror karena faktor abnormalitas atau psikopati tetapi tidak bisa kemudian dijadikan sebagai dasar penyimpulan bahwa semua teroris adalah orang gila. Pandangan ini pada mulanya


(34)

dianut oleh sejumlah peneliti psikologi terorisme, tetapi mereka kemudian menarik pandangan tersebut karena data-data empirik dan fakta psikologis yang diperoleh melalui kajian trait dan pribadi teroris tidak mendukung pernyataan tersebut.

Proses Menjadi Teroris Ibarat Menaiki Tangga Gedung

Proses menjadi teroris ibarat menaiki anak tangga dalam sebuah bangunan yang tinggi. Anda bisa bayangkan bagaimana menaiki anak tangga dalam sebuah ruang bangunan tinggi. Prosesnya cukup panjang dan kadang-kadang agak melelahkan. Bagaimana menjelaskan hal itu? Fattali Mohammad Moghaddam (2007), seorang guru besar psikologi sosial keturunan Iran di University of Washington menyebutkan bahwa terdapat beberapa tahap atau anak tangga menuju terorisme. Tahapan-tahapan tersebut menggambarkan rentang proses psikologis keterlibatan seseorang dalam aktivitas teror yang destruktif, mematikan dan merugikan masyarakat, baik materil maupun psikologis.

Tahapan-tahapan psikologis tersebut mencakup lima tangga atau tahapan, yaitu: Pertama, lantai dasar atau tahap pencarian makna yang ditandai dengan awal krisis identitas diri dan krisis identitas kelompok. Pada tahap ini, seseorang mengalami krisis identitas, baik pada level individu maupun kelompok sebagai akibat interpretasinya atas realitas materil terkait dirinya dan kelompoknya vis a vis orang lain dan kelompok lain. Oleh karena terorisme merupakan fenomena kelompok atau suatu proses pembentukan identitas yang terjadi dalam kelompok maka yang paling ditekankan dan diutamakan adalah identitas kelompok.

Biasanya, pada tahap ini muncul kecenderungan deprivasi relatif, yaitu perasaan kecewa dengan kondisi kelompok ketika dibandingkan dengan kelompok lain yang lebih maju atau lebih sukses. Ketika perbandingan antara kelompok


(35)

sendiri yang lemah dan tidak berdaya dibandingkan dengan kelompok lain yang lebih kuat dan lebih berdaya maka perasaan kecewa muncul, lalu seseorang akan mencaritahu penyebab semua perbedaan dan kesenjangan tersebut. Penyebab kesenjangan umumnya dikaitkan dengan ketidakadilan atau kezaliman yang dilakukan kelompok lain terhadap kelompok sendiri.

Kedua, lantai pertama yaitu ketika seseorang mulai memasuki tahap psikologis tertentu yang ditandai dengan persepsi bahwa ketidakadilan telah menimpa dirinya dan kelompoknya sehingga ada dorongan psikologis untuk mencaritahu penyebab ketidakadilan atau kezaliman tersebut; Pertanyaan yang muncul pada tahap ini adalah seputar pertanyaan apa bentuk ketikadilan yang dialami kelompok? Kenapa kelompok lain melakukan kezaliman kepada kelompok sendiri?

Ketiga, lantai kedua, yaitu tahap berikutnya yang ditandai dengan tindakan agresi yang biasanya dilakukan dengan mencari kambing hitam penyebab terjadinya kezaliman dan ketidakadilan. Biasanya pada tahap ini terjadi mekanisme pengalihan target agresi dari pihak yang dipersepsikan bertanggungjawab ke pihak yang berkaitan dengan pihak yang dipersepsikan bertanggungjawab;

Keempat, keterlibatan moral seseorang dalam menilai kebaikan dan keburukan dari tindakan yang dia lakukan dalam kelompok teroris. Penilai moral dalam tahap ini tentu saja bertentangan dengan penilaian moral yang dianut mainstream masyarakat. Penilaian moral didasarkan atas justifikasi moral tertentu yang mendukung perasaan ketidakadilan yang menimpa kelompok.

Kelima, berpikir kategoris yang ditandai dengan upaya identifikasi siapa lawan dan siapa kawan. Pada tahap ini, seseorang mulai memasuki kelompok teroris yang telah memiliki persepsi dan pandangan tersendiri tentang siapa


(36)

kawan yang harus dibela dan siapa lawan yang harus dilawan. Permusuhan dan perlawanan akan menjadi semakin kuat manakala kelompok lain atau representasi kelompok lain yang dipersepsikan sebagai penyebab ketidakadilan yang menimpa kelompok sendiri juga melakukan kategorisasi yang sama.

Keenam, tahap tindak teroris. Pada tahap ini seseorang melakukan tindakan teroris atas dasar keyakinan yang sangat kuat bahwa apa yang dia lakukan merupakan misi penting dan suci bagi penyelamatan kelompoknya (Moghaddam, 2003)

Mencari Makna dan Identitas Diri

Bagi Fathali Moghaddam (2007), pencarian makna dan identitas diri dan identitas kolektif di tengah dominasi budaya Barat terutama Amerika dalam berbagai bidang kehidupan, merupakan salah satu dasar psikologis keterlibatan kaum muda dalam tindak teror, terutama yang berasal dari kelompok garis keras dan kelompok teroris yang dipengaruhi oleh ideologi salafi-jihadis. Gambaran tersebut nampak jelas dari sekian banyak tokoh teror dari kelompok Islam garis keras, seperti Az-Zarqawi maupun Utomo Pamungkas yang menjadi sampel penelitian ini.

Sebagai salah satu tokoh teroris terkenal dan paling dicari oleh berbagai pihak termasuk Amerika Serikat, latarbelakang kehidupan dan dinamika psikologis yang dia alami sebagai seorang pemuda Muslim patut dilihat dan dikaji. Dalam perspektif psikologi secara umum, perilaku seseorang dalam hidupnya sangat dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu faktor lingkungan dan kepribadian. Faktor lingkungan mencakup banyak hal seperti lingkungan keluarga, lingkungan pergaulan sebaya, lingkungan pendidikan, lingkungan tempat tinggal, dinamika kaum dan umat, serta kondisi ekonomi, sosial, politik dan keagamaan


(37)

seseorang. Sedangkan faktor kepribadian mencakup seperti tipe kepribadian, keyakinan ideologi, dan dimensi-dimensi psikologi internal lainnya.

Az-Zarqowi lahir di tengah Distrik Ramzi yang seperti ―tidak bertuan‖ alias tak terurus. Oleh karena itu, kota ini tidak memiliki pelayanan umum yang memadai dan memicu banyak persoalan yang melanda masyarakat kota. Salah satu masalah sosial yang muncul akibat tidak terurusnya kota adalah banyak kejahatan dan kemaksiatan yang terjadi. Fenomena kejahatan dan kemaksiatan dapat disaksikan secara nyata oleh siapapun yang ada di masa itu, termasuk Al-Zarqowi. Patut dicatat pula, di tengah merajalelanya keburukan dan kemaksiatan ada juga orang-orang yang berusaha bertahan dalam kebaikan dan kesalehan. Dalam suasana pertarungan antara kemaksiatan dan kesalehan; serta antara kebaikan dan keburukan, Zarqawi menikmati masa remaja yang penuh dengan pencarian jati diri. (Hussein, 2008).

Dalam perspektif psikologi, pencarian jati diri berkaitan dengan pertanyaan siapakah saya? Dari kelompok manakah saya berasal? Kenapa kondisi saya seperti ini sedangkan kondisi orang lain lebih baik dari kondisi saya? Kelompok kelompok saya bernasib seperti ini sedangkan kelompok lain bernasib lebih baik? Kenapa bangsa saya lebih buruk kondisinya dibandingkan nasib bangsa lain? Dalam kaitannya dengan para teroris dari kalangan kelompok garis keras Islam, pertanyaan kejatidirian umumnya berkisar pada kondisi umat (bangsa, peradaban, atau budaya) Islam yang lebih buruk dibandingkan kondisi umat yang lain.

Beruntung, ketika memasuki usia sekolah menengah atas, Zarqowi diminta orang tuanya untuk bersekolah di pusat Kota Zarqo yang banyak memiliki masjid-masjid yang megah. Akhirnya, ia memilih Masjid Abdullah bin Abbas sebagai pusat kegiatan pencarian jati dirinya. Masjid tersebut memang terletak


(38)

berdekatan dengan rumahnya sehingga ia tidak kesulitan untuk pulang-pergi dari rumah ke masjid atau sebaliknya.

Dalam pandangan ahli psikologi sosial, dinamika antara dimensi kepribadian dan dimensi lingkungan selalu dimenangkan oleh dimensi lingkungan. Sebaliknya, menurut para ahli psikologi kepribadian, dimensi lingkungan tidak akan berarti apa-apa di hadapan seseorang yang memiliki kepribadian dan karakter yang kuat. Penulis sendiri mengambil pandangan jalan tengah yang mengkombinasikan antara keduanya, yaitu bahwa perilaku seseorang, termasuk para teroris adalah perpaduan pengaruh dan kontribusi antara dimensi kepribadian dan dimensi lingkungan. Semua anasir kepribadian dan anasir psikologi lingkungan bersinergi membentuk dan mendorong seseorang dalam mewujudkan perilaku. Artinya, seorang teroris yang melakukan aksi teror, bukanlah gambaran patologis yang dia alami tetapi bukan pula semata-mata tindakan normal yang tidak dipengaruhi oleh hal-hal yang bersifat abnormalitas.

Bila merujuk kepada teori-teori psikologi pada umumnya dan ―teori staircases to terrorism‖ yang digagas Fathali Moghaddam (2003), pencarian identitas dan makna diri yang bersifat sosial adalah pintu masuk pertama keterlibatan seseorang dalam dunia teror yang sangat panjang. Hal yang sama juga dialami oleh Utomo Pamungkas, seorang pelaku teror dari Tanah Jawa yang pernah menimba ilmu di Ngruki dan Afganistan. Banyak peristiwa masa kecil dan masa remaja yang membentuk dirinya menjadi pribadi yang keras, tegas dan amat rentan dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Islam garis keras. Hal itulah yang kemudian mendorongnya bergabung dalam kelompok teror paling ditakuti di Asia Tenggara, bahkan di dunia. Kelompok Jamaah Islamiyah yang mengusung ajaran salafi jihadis dan bercita-cita hendak mendirikan khilafah Islamiyah yang membentang dan mencakup seluruh kawasan Asia Tenggara.


(39)

Berdasarkan perspektif psikologi, sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, keterlibatan seseorang dalam suatu perilaku atau aksi sesungguhnya ditumbuhkembangkan oleh modalitas kepribadian yang khas pada diri seseorang. Modalitas kepribadian tersebut kemudian dipicu oleh pengalaman-pengalaman tidak mengenakkan yang dialami seseorang. Pengalaman secara psikologis tidak selalu merujuk kepada sesuatu yang pernah dialami seseorang, tetapi juga sesuatu yang pernah disaksikan dan dirasakan dalam hidup. Apa yang dilihat, dirasakan dan dialami seseorang itulah yang membentuk struktur pengalamannya yang kemudian mempengaruhi kepribadian dan cara pandangnya dalam melihat persoalan-persoalan sosial yang ada di sekitarnya.

Hal yang demikian juga tergambar dengan jelas pada diri Utomo Pamungkas sebagaiman diceritakan oleh Nurhuda, ―Pengalaman demi pengalaman yang telah Tomo dapatkan sejak kecil mengukuhkan kepribadiannya yang keras. Kemiskinan di depan mata yang menimpa orang-orang sekitarnya yang umumnya beragama Islam adalah persoalan yang harus segera dituntaskan menurutnya.‖ (hal: 284). Pengalaman nestapa, tertekan dan tidak mengenakkan yang menimpa orang-orang di sekitar Utomo membentuknya mejadi pribadi unik dengan identitas sosial yang diidentifikasi secara kuat oleh dirinya. Ia berubah menjadi pribadi yang merasa mewakili kenestapaan umat yang ada di sekitarnya.

Mekanisme psikologis yang seperti ini adalah ciri khas yang terjadi pada inividu-individu yang lahir, tumbuh dan berkembang dalam lingkungan masyarakat yang sangat kolektivis, jika kita merujuk kepada konsep nilai individualis-kolektivis yang dikembangkan oleh Hofstede. Individu yang hidup dan mengalami tumbuh-kembang di tengah masyarakat dengan nilai-nilai yang didominasi semangat kolektivis cenderung memiliki empati yang tinggi terhadap apa yang dirasakan orang-orang di sekitarnya. Sehingga pada titik tertentu ia merasa berhak menjadi wakil bagi masyarakatnya yang tertindas dan terzolimi.


(40)

Krisis identitas jati diri yang terjadi akibat kemiskinan dan keterzaliman yang dipersepsikan menimpa umat Islam semakin menguat manakala Utomo Pamungkas memasuki Pesantren Ngruki yang sebagian tokohnya menggelorakan perlawanan terhadap pihak lain terutama dalam hal ini adalah Amerika dan Israel yang dipersepsi sebagai biang keladi kehancuran umat Islam terutama di berbagai belahan dunia Islam. Hal itu tampak jelas dari pernyataan Utomo Pamungkas sebagaimana diceritakan oleh Nurhuda dalam buku ―Temanku teroris?‖ seperti berikut ini:

“Barangkali saya termasuk beruntung, saat masuk Ngruki masih sempat

bertemu langsung dengan Ustaz Abdullah Sungkar dan Ustaz Abu Bakar

Ba’asyir” tutur akhi Fadlul kepadaku. “Saya masih sempat mendapat pengajaran dari Ustaz Dullah dan Ustaz Abu.” (hal: 289)

Ustad Abdullah Sungkar dan Ustad Abu Bakar Baasyir adalah dua tokoh pendiri Jamaah Islamiyah yang sangat membenci Amerika dan Israel karena dianggap sebagai penyebab berbagai bentuk kezaliman dan penindasan yang dialami umat Islam di berbagai belahan dunia terutama di Afganistan dan Palestina.

Ideologi Islam garis keras yang tertanam pada diri Utomo Pamungkas sebagai hasil indoktrinasi Ustad Abdullah Sungkar dan Ustad Abu Bakar Baasyir selama berada di pesantren dan masa panjang pengkaderan di Malaysia dan Afganistan telah membentuk cara pandangnya tentang Islam dan bagaimana ajaran Islam ditegakkan. Cara pandang Islam garis keras tersebut kemudian menjadi semacam ideologi dan keyakinan yang berharga mati, sebagaimana diungkapkan Nurhuda mengenai teman masa kecilnya di pesantren.

Doktrin “Islam harus ditegakkan tidak sebatas ucapan” sangat terpatri

dalam kesadarannya. Baginya, musuh Islam ada di mana-mana sehingga setiap muslim harus membekali dirinya dengan fisik yang kuat dan ilmu beladiri yang


(41)

baik. Jika sewaktu-waktu situasi membutuhkan, kita harus siap sedia memnuhi panggilan untuk membela kebenaran” (hal: 134).

Kekuatan ideologi tampak jelas pada diri Utomo. Ideologi Islam garis keras yang diajarkan para gurunya betul-betul menggerakkan pikiran, perasaan dan perilakunya. Memang, ideologi bukan penarik utama keterlibatan seseorang dalam dunia teror, tetapi ketika seseorang telah memasuki kelompok teror maka ideologi menjadi bahan bakar yang menggerakkan aksi teror seseorang. Hal itu diperkuat juga oleh pandangan Grugklanski dkk (2009) ketika menjelaskan tentang motivasi bom bunuh diri, salah satu bentuk aksi teror yang mulai marak digunakan di Indonesia. Krukglanski dkk mengatakan bahwa motivasi bom bunuh diri adalah mencari kebermaknaan. Ada beberapa faktor penyebab bom bunuh diri yaitu faktor personal (trauma, perasaan terhina, isolasi sosial dan lain-lain) yang kemudian mendapatkan pembenaran dari berbagai alasan ideologis seperti melakukan pembebasan dari pendudukan bangsa asing, membela agama dan bangsa, serta didorong kuat oleh faktor tekanan sosial. Terorisme bunuh diri merupakan cermin dari restorasi makna, pencapaian makna, dan usaha mempertahankan diri dari kehilangan maknav.

Deprivasi Relatif dan Persepsi Tentang Kezaliman

Masjid bukan hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga bisa menjadi lokus pertukaran ide dan gagasan. Oleh karena itu, masjid bisa juga menjadi lahan subur tumbuhnya ideologi garis keras. Pandangan ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh CSRC UIN Jakarta (2011) yang menyimpulkan bahwa masjid-masjid yang ada di Bekasi, Bogor dan Pandeglang, --terutama untuk dua wilayah yang pertama—adalah tempat konsolidasi kaum radikalis dalam


(42)

menghimpun ide, kekuatan dan dana untuk menggerakkan aksi, misi dan visi mereka dalam menyebarkan faham yang radikal dan keras.

Masjid Abdullah bin Abbas banyak menghimpun para pemuda dari berbagai mazhab dan kelompok yang ada di Yordania. Mereka umumnya kelompok pemuda Islam yang menganut faham wahabi dan aliran Islam garis keras lainnya. Oleh karenanya, Zarqowi seperti menemukan dunia baru, yaitu dunia anak muda yang sama-sama mencari makna dan jati diri dalam hidup. Menurut Hussein (2008), hampir semua pemuda yang ada di masjid ini sangat terpengaruh dengan ide jihad dan kesyahidan yang didengungkan oleh para guru dan mentor. Maka, tidak heran jika ide jihad dan kesyahidan menjadi sistem kedirian Zarqawi yang paling dalam dan paling kokoh. Saat itu, Zarqowi berpikir bahwa jihad memberikan makna yang besar bagi dirinya dan kehidupannya.

Ideologi jihad dalam pengertian perang melawan kaum kafir, murtad dan munafik berkecamuk dalam diri Zarqowi. Terjadi pertarungan batin di dalam dirinya antara memilih berjihad di tanah Palestina atau di tanah Afganistan. Di satu sisi, Palestina adalah asal-usul nenek moyangnya sehingga pantas untuk dibela dan diperjuangkan, sedangkan di sisi lain, tanah Afganistan sedang dianeksasi Uni Soviet yang komunis. Pertarungan batin tersebut berakhir ketika ia memilih Afganistan sebagai medan jihad atas pengaruh sejumlah tokoh seperti Abdullah Azzam dan Usamah bin Ladin.

Gambaran pergolakan batin yang menimpanya tercermin dalam sebuah surat yang ditujukan kepada saudara-saudaranya. Bunyi surat yang dimaksudkan adalah demikian:

“Wahai saudara-saudaraku, kembalilah kepada Islam yang tidak lain adalah

kejayaan dan kehormatan kalian. Islam adalah kejayaan nenek moyang yang pernah berjuang bersama Salahuddin Al-Ayyubi dalam merebut dan


(43)

membebaskan Jerussalem.... Wahai saudara-saudaraku, nenek moyang kita pada masa itu telah menjaga dan melindungi tanah Jerussalem. Sekarang,

giliran kita yang harus merebut dan menjaganya.”vi

Suasana psikologis yang sama juga dialami oleh Utomo Pamungkas alias Fadlullah Hasan, terdakwa Bom Bali I, 2002, yang dijatuhi hukum penjara seumur hidup. Dalam catatan yang ditulis oleh Noor Huda Ismail, Utomo Pamungkas menceritakan perasaannya yang tercabik-cabik saat mengetahui kondisi umat Islam di Afganistan.

“Ketika di hadapanmu terjadi pembantaian yang dilakukan oleh kekuatan

yang tak pernah berpikir dan bertindak untuk keadilan, apa yang akan kamu lakukan? Ketika di hadapanmu terpapar pemandangan rumah-rumah dihancurkan bom, anak-anak tewas bersimbah darah dengan peluru kaum penjajah bersarang di perutnya, para ibu dan gadis-gadis mereka dirampas kehormatannya, ayah-ayah mereka dibunuh tanpa kesalahan dan dipenjarakan tanpa pengadilan, apa yang menjalari perasaanmu? Jika dirimu menyaksikan suatu bangsa dipecah-belah oleh kepentingan kaum imperialis dan kolonialis, relakah kamu menyaksikan kehancurannya?”vii Nurhuda, seorang aktivis LSM yang bergerak dalam kegiatan dan program deradikalisasi sekaligus sahabat Utomo Pamungkas saat nyantri di Ngruki Solo, menggambarkan bagaimana Utomo Pamungkas mengalami kecamuk pikiran dan perasaan tentang kondisi generasi muda Islam di Indonesia. Katanya:

“Bagi akhi Fadlul, masyarakat Indonesia telah mengalami dekadensi moral.

Kalau dibiarkan terus, generasi muda akan semakin meninggalkan Islam. Oleh karena itu, diperlukan kader-kader muda untuk memperdalam ilmu agama. Akidah Islam tengah menghadapi tantangan besar. Modernisasi di segala bidang, perkembangan teknologi informasi, dan berbagai perubahan


(1)

 Akhi fadlul banyak mengajarkan kepada kami perhal teknis bagaimana menjalani kehidupan sebagai santri. Sikap kepemimpinannya menciptakan rasa segan pada diri kami. Di antara kami, tak ada yang berani menyangkal atau memprotes akhi fadlul. Tanpa harus dipaksa, kami merasa perlu menaati dan menjadikannya pemimpin yang harus senantiasa dihormati segala keputusannya (hal: 125).

 Dokt i Isla ha us ditegakka tidak se atas u apa sangat terpatri dalam

kesadarannya. Baginya, musiuh islam ada di mana-mana sehingag setiap muslim harus membekali dirinya dengan fisik yang kuat dan ilmu beladiri yang baik. Jika sewaktu-waktu situasi membutuhkan, kita harus siap sedia memnuhi panggilan untuk membela kebenaran (hal: 134).

 Untuk anak seusianya, dia terlihat sempurna. Sabar, disiplin, dan taat beribadah. Lebih-lebih, kudengar, akhi fadlul terbilang anak yang sangat cerdas. Hafal Al-Quran, fasih menafsirkan hadis, lancer berbahasa arab dan inggris, juara kelas pula. Pengamatanku itu sudah cukup memberi alasa u tuk e ye atka la el se io

ya g ka is atik da patut di o toh kepada ya hal: .

 Di pondok, kami betul-betul dididik untuk disiplin, menghargai waktu dengan berlatih dan bekerja tanpa melupakan ibadah dan kewajiban sebagai muslim. (hal: 138).

 Kerap dalam kesendirian yang pekat ini, saya juga mengingat kembali keterlibatan saya dalam aksi jihad bom bali. Sebenarnya saya tidak terlibat langsung, hanya rekening bank saya yang dipakai lewat untuk transfer dana. Disamping itu, karena kuat menyetir ajrak jauh, saya diajak mengantar mobil yang akan dipakai dalam aksi sampai ke Bali. Sulit rasanya menolak permintaan seorang teman, apalagi jika rumah kami bersebelahan. Barangkali Amrozi juga senang mengajak saya karena saya jarang bertanya-tanya, terutama menngenai hal yang bukan urusan saya. Itu adalah bagian dari doktrin yang saya terima selama saya di organisasi JI (hal: 257-268).

 Saya memang tahu teman-teman Amrozi cs akan melakukan aksi jihad di Bali. Tetapi

saya tidak tahu se a a detail aksi e eka aka sepe ti apa. Ka e a saya dia dan

tidak elapo kepada polisi i ilah, saya diputuska e salah da di asuka dala kategori pelaku penting. Apalagi polisi melihat background saya sebagai veteran afghan dan pelatih militer di Mindanao, Filipina (hal: 258).


(2)

 Factor pendanaan aksi pengeboman ini juga membuat saya berpikir ulang. Rasanya ada yang salah dalam aksi itu sebab sebagaian uang operasionalnya berasal dari hal yang masih aabu-abu, yaitu hasil rampokan sebuah took emas. Mungkin karena kekurangbersihan dalam masalah dana ini, banyak madharat (kerusakan) yang kita terima setelah aksi. Banyak ikhwan yang sebenarnya tidak setuju dan tidak tahu menahu soal aksi ini tetapi kena pulutnya. Saya sering mengalami pergulatan batin tentang dampak yang mesti mereka tanggung. Mereka sesungguhnya juga korban dari perbuatan kami ini (hal: 258).

 I i adalah jihad ka i, u tuk e e pelaja a kepada A e ika, Nega a Ko a

te pat a tu eke ja itu aga e eka tidak e zali i isla , jawa ya (hal: 261).

 Tomo kecil menjalani kehidupan seperti halnya anak-anak kampung lainnya. Namun, anak seorang guru tentu tidak sebebas anak-anak lain dalam menentukan pergaulan. Tomo kecil dididik ayahnya dengan keras. Kendati hidupnya sederhana, Tomo dan keluarganya termasuk cukup terpandang, orang kampung memanggil ayahnya dengan sebutan pak Guru (hal: 280).

 Sebagai seorang guru, Pak Suharsono mendidik anaknya dengan keras dan tegas. Beliau tidak ingin anak-anaknya mempunyai mental sebagai pengemis. Kejadian itu tentu saja membuat beliau marah bukan kepalang (hal: 282).

 Pengalaman demi pengalaman yang telah Tomo dapatkan sejak kecil mengukuhkan kepribadiannya yang keras. Kemiskinan di depan mata adalah persoalan yang harus segera dituntaskan. Maka pendidikan adalah jalan keluar (hal: 284).

 Sebagai guru di sekolah Muhammadiyah, Pak Harsono mendidik anak-anaknya dengan nilai-nilai islam yang kental. Tak heran jika Tomo kecil kemudian memiliki minat kuat pada ilmu agama Islam (hal: 285).

 Ba a gkali saya te asuk e u tu g, saat asuk Ng uki asih se pat e te u

langsung denga Ustaz A dullah “u gka da Ustaz A u Baka Ba asyi tutu akhi Fadlul kepadaku. “aya asih se pat e dapat pe gaja a da i Ustaz Dullah da Ustaz A u. hal:

 Kedua tokoh penting Ngruki ini mempunyai hubungan yang mirip dengan hubungan Soekarno dan Hatta. Keduanya mempunyai karakter yang sangat berbeda, namun


(3)

mereka akur dan saling melengkapi. Perbedaan pendapat pasti terjadi. Tapi kesamaan fikroh (pola pikir) membuat hubungan mereka sangat solid (hal : 289).  Ustaz Abdullah Sungkar adalah seorang orator ulung. Khotbahnya selalu memotivasi

para santri untuk bersemangat. Pesan-pesan yang beliau sampaikan kepada para santri seingkali sangat berkesan. Akhi fadlul selalu mengingat pesan Ustaz Dullah yang mengajak santri untuk belajar sungguh-sungguh karean diharapkan menjadi pe i pi u at atau al ula a a ili a fi sa ililah: seo a g ula a ya g e jala ka

isi ya di jala Allah hal : .

 Ustaz Abu bukan seorang orator seperti Ustaz Dullah. Retorika beliau cenderung seperti mengajar guru kepada muridnya. Tenang, datar, dan dogmatis. Beliau lebih banyak bicara masalah syariah atau hokum-hukum dalam islam. Beliau sering

e kata: I i kata Al-Quran –nya begini, ya, kita harus mengikutinya. Tidak ada jalan

tengah. Karena di dunia ini hanya dua, hizbullah, golongan Allah, atau hizbusy syaithan, golongan setan. Tinggal kita mau pilih yang mana. Orang islam tidak bisa

abu-a u hal: .

 Sebagai santri muda yang haus akan ilmu agama, akhi Fadlul semakin tekun menggali ilmu Islam. Ngruki bagaikan ladang ilmu yang subur untuknya. Pemahaman akan jihad islam di tuainya dari pondok pesantren yang dimusuhi orde baru ini. Ustaz-ustaz Ngruki sering menyampaikan pembahasan jihan kepada para santri, tak te ke uali akhi fadlul. La isla a illa il uwwah, tidak ada isla ta pa kekuata ,

pesa ustaz. Pa dai il u saja tidak ukup. Kita ha us kuat se a a fisik. Kalimat

itulah yang membentuk akhi Fadlul menajdi remaja pemberani. Mulailah dirinya

e gikuti latiha eladi i di po dok. Me guasai il u eladi i itu pe ti g u tuk

menjaga diri sendiri dan kehormatan islam. Kita para santri tidk akan gentar menghadapi preman dan musuh- usuh isla . Tegas akhi Fadlul kepadaku hal: 296-297).

 bagi akhi fadlul, masyarakat Indonesia telah mengalami dekadensi moral. Kalau dibiarkan terus, generasi muda akan semakin meninggalkan islam. Oleh karena itu, diperlukan kader-kader muda untuk memperdalam ilmu agama. Akidah islam tengah menghadapi tantangan besar. Modernisasi di segala bidang, perkembangan teknologi informasi, dan berbagai perubahan tengah melanda dunia. Maka, umat


(4)

islam saat ini berhadapan dengan zaman yang cepat berubah. Anak-anak muda progresif seperti akhi fadlul diperlukan untuk menyambut panggilan jihad islam (hal: 298).

 “e agai sa t i, di i ya ha ya a pu sa i a wa atha a: e de ga da taat hal:

299).

 Anak-anak yatim yang ayahnya tewas karena serangan bom bunuh diri mengatakan bahwa ayahnya dibunuh teroris. Sedangkan anak-anak yang ayahnya tertangkap sebagai pelaku peledakan mengatakan ayahnya adalah jihadis, bukan teroris. Anak-anak itu sama-sama beragama islam. Mereka membaca kitab yang sama, menjalankan sholat yang sama, mengerjakan ibadah puasa di bulan Ramadhan yang tiada berbeda, mereka berkiblat ke arah sama. Tidak ada perbedaan antara mereka dalam hal keislaman (hal: 329).

 Islam mengajarkan perdamaian kepada umat manusia dengan berbagai cara. Persoalan jihan atau bukan jihad telah memicu perseteruan pendapat dan perang dalil antar-alaim ulama dan merembes ke kalangan umat secara luas. Perdamaian akan membawa suasana tenang untuk membuka lembaran penyelesaian. Bom bunuh diri yang terjadi di Indonesia tidak hanya melahirkan anak-anak yatim. Mereka yang direkrut telah meninggalkan rumah dan orangtua yang mencintai mereka, tindakan para pelaku telah melahirkan stigma public terhadap suatu keluarga, bahkan persoalan baru muncul manakala sebagian anggota jaringan pelaku kemudian berhadapan dengan realitas hidup tanpa pekerjaan saat keluar penjara. Sebagian mereka yang dihukum mati meninggalkan persoalan-persoalan yang tidak sepele bagi anak-anak mereka yang masih kecil dalam mengarungi kehidupan mereka yang panjang kemudian waktu nanti (hal: 330).

 Kemenangan jihad adalah kemenangan semangat pembebasan umat manusia untuk membangun perdamaian seluas-luasnya. Perdamaian diperlakukan untuk menata kembali dunia yang telah porak poranda akibat peperangan (hal: 330).

 Pa a pelaku o u uh di i itu, kok , ggak pe ah e e a apa ya g e jadi

keinginan mereka. Selama ini kami hidup dalam kedamaian dengan saudara kami yang beraga a Hi du (hal: 340).


(5)

 Apakah a faat aksi peledaka o itu agi isla ? Buka kah ka i i i usli ya g ke udia e jadi ko a da i satu pihak ya g e gatas a aka isla ? e a M ak Laks i. “e aik ya e eka tidak elakuka itu, se a isla ke udia dituding sebagai agama yang mengizinkan setiap orang untuk membinasakan satu

sa a lai hal: .

 Anak-a ak itu e jadi pe gu gsi di ege i se di i. Me eka ha us e jala i kehidupan yang asing. Ibu-ibu mereka menghadapi stigma miring sebagai janda atau istri teroris di dalam lingkungan social mereka. Sementara, dengan segenap kemampuan, mereka harus mengawal masa depan anak-anaknya (hal: 373).

i

Fathali M. Moghaddam, 2009. The new global American Dilemma and terrorism. Journal of Political Psychology, Vol. 30. No.3. 2009

ii

Schwartz, S.J & Dunkel, C.S. & Waterman, A.S. (2009). Terorism: An identity theory perspective. Journal of Studies in Conflict & Terrorism, 32:537–559,

iii

Hediah Mirahmadi & Mehreen Farooq. 2010. A community based approach to countering radicalization: A partnership for America.Washington DC: World Organization for Resource Development and Education.

iv

Fathali M. Moghaddam, 2009. The new global American Dilemma and terrorism. Journal of Political Psychology, Vol. 30. No.3. 2009


(6)

v

Kruglanski A.W & Chen X & Dechesne M & Fishman S & Orehek E, 2009. Fully

Committed: Suicide Bombers’ Motivation and the Quest for Personal Significance.

Political Psychology, Vol. 30, No. 3, 2009

vi Fuad Hussein. 2008. Generasi Kedua Al-Qaidah: Apa dan Siapa Zarqawi; Apa

Rencana Mereka Ke Depan?. Solo: Penerbit Jazeera.

vii Noor Huda Ismail. 2010. Temanku, Teroris? : Saat Dua Santri Ngruki

Menempuh Jalan Berbeda. Jakarta : Penerbit Hikmah

viii Hediah Mirahmadi & Mehreen Farooq. 2010. A community based approach to

countering radicalization: A partnership for America.Washington DC: World Organization for Resource Development and Education.

ix Wiktorowicz, Q. (2006). Anatomi of the salafi movement. Journal of Studies in