PEMBUKTIAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA DI PERSIDANGAN.

PEMBUKTIAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN
BERENCANA DI PERSIDANGAN

SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi per syar atan memperoleh Gelar Sar jana Hukum
pada Fakultas Hukum UPN “ Veter an “ J awa Timur

Oleh ;
ASWIN NUGRAHA
NPM 0671010055

YAYASAN KESEJ AHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” J AWA TIMUR
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
SURABAYA
2012

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.


HALAMAN PERSETUJ UAN DAN PENGESAHAN SKRIPSI
PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN
BERENCANA DI PERSIDANGAN
Disusun oleh :

ASWIN NUGRAHA
NPM 0671010055

Telah dipertahankan di hadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skr ipsi
Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Univer sitas Pembangunan
Nasional “ Veter an “ J awa Timur
Pada tanggal : 15 – 05 - 2012
Pembimbing Utama

Tim Penguji
1.

Subani, SH., MSi
NIP. 19 5105504 198303 1001
Pembimbing Pendamping


Yana Indawati.SH.M.Kn
NIP. 3 7901 070224

Har yo Sulistiyantoro, SH, MM
NIP. 19 62062199103 1001
2.

Sutrisno, SH, M. Hum
NIP. 19 601212 198803 1001
3.

Subani, SH, MSi
NIP. 19 5105504 198303 1001

MENGETAHUI
DEKAN

Haryo Sulistiyantoro, SH, MM
NIP. 19 62062199103 1001

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT. Atas segala rahmat dan hidayah-NYA
sehingga dapat terselesaikannya Skripsi ini dengan judul “PEMBUKTIAN
PERKARA

TINDAK

PIDANA

PEMBUNUHAN

BERENCANA

DI

PERSIDANGAN”.

Adapun penulisan Skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas
akademis di Fakultas Hukum UPN ‘’Veteran’’ Jawa Timur sebelum beranjak
pada tugas akhir yaitu penyusunan skripsi. Terselesaikannya Skripsi ini, tidak
lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu, khususnya kepada :
1. ALLAH SWT. Yang telah memberikan Rahmat dan hidayah-Nya kepada kita
semua.
2. Bapak Hariyo Sulistiyantoro S.H., M.M selaku Dekan I Fakultas Hukum
Universitas Pembangunan Nasional“Veteran”Jawa Timur.
3. Bapak Sutrisno, S.H., M.Hum selaku Wadek I Fakultas Hukum Universitas
Pembangunan Nasional”Veteran”Jawa Timur.
4. Bapak Drs. E.C Gendut Soekarno, M.S selaku Wadek II Fakultas Hukum
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”Jawa Timur.
5. Bapak Subani, S.H., M.Si selaku Kaprogdi dan Pembimbing I Skripsi ini.
6. Ibu Yana Indawati, S.H, M.Kn selaku Pembimbing II Skripsi ini.
7. Tim

Penguji

Skripsi


Fakultas

Hukum

Universitas

Nasional”Veteran”Jawa Timur.

iv
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

Pembangunan

8. Kepala Tata Usaha beserta Staf Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas
Pembangunan Nasional”Veteran”Jawa Timur.
9. Kedua orang tua tercinta, yang telah memberikan dukungan moril maupun
materiil serta doanya selama ini.
10. Kawan-kawan angkatan 2006,. Rio Aditya Wicaksono,Hendro Bastian,Sigit

Priyambodo, Rudy Setiawan, Wawan, Adhitma Joko, Alfian, Koko, Nanda,
Wisma, Pringgo, Ishak, Munir, Yudhian Amada, dll serta maaf apabila tidak
semua nama dapat disebutkan dan tidak ada unsur kesengajaan hanya tidak
dapat mengingat secara keseluruhan.
Penyusun menyadari bahwa dalam penulisan Skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan, maka itu kritik dan saran sangat kami butuhkan sebagai masukan.
Semoga Skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi perkembangan disiplin
ilmu terutama dalam bidang Ilmu Hukum

Surabaya, Mei 2012

Penulis,

v
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “ VETERAN “ J AWA
TIMUR
FAKULTAS HUKUM

Nama Mahasiswa
: Aswin Nugraha
NPM
: 0671010055
Tempat Tanggal Lahir
: Surabaya 16 Agustus 1987
Program Studi
: Strata 1 (S1)
Judul Skripsi
:
PEMBUKTIAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN
BERENCANA DI PERSIDANGAN
ABSTRAKSI

Penilitian bertujuan memahami pelaksanaan pembuktian perkara tindak
pidana pembunuhan berencana di persidangan. Pembunuhan berencana dalam
KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang siapa sengaja dan dengan rencana
lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan
rencana ( moord ), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau
selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”. Pembunuhan berencana itu

dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang sebagai pembunuhan bentuk
khusus yang memberatkan, yang rumusannya dapat berupa “pembunuhan yang
dilakukan dengan rencana terlebih dahulu dipidana karena pembunuhan dengan
rencana”.metode pendekatan yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis
normatif, yaitu dengan mengkaji peraturan perundang-undangan, teori-teori
hukum dan yurisprudensi yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas.
Dalam hal ini, metode pendekatan dalam penelitian ini digunakan untuk
menganalisis tehadap Perkara Pidana Pembunuhan berencana. Dasar dari alur
beracara pidana itu sendiri diatur di Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang
Hukum Acara Pidana, dalam Undang-Undang tersebut dijabarkan bagaimana
pelaksanaan proses beracara pidana mulai dari tahap penyidikan dari kepolisian
hingga putusan hakim di pengadilan. Hambatan-Hambatan Dalam Pembuktian
Tindak Pidana Pembunuhan Berencana Mengumpulkan barang-barang bukti yang
telah berkurang dan berpindah tangan. Perlawanan dari Pengacara / Penasehat
Hukum
Kata kunci : Pembunuhan, berencana, pembuktian

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.


DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN J UDUL PERSETUJ UAN …………………………………………i
HALAMAN PERSETUJ UAN DAN PENGESAHAN SKRIPSI….. ……..…..ii
KATA PENGANTAR ………………………………………………………….iii
DAFTAR ISI …………………………………………………………….………iv
ABSTRAKSI……………………………………………………………………..v

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ……………………………………………..…..…1
1.2.

Rumusan Masalah …………………………………….…………..6

1.3.

Tujuan Penelitian ………………………………………………….6

1.4.


Manfaat Penelitian ………………………………………………...6

1.5

Kajian Pustaka……………………………………………………..7

1.6.

Metode Penelitian………………………………………………...17

1.7

Jenis Penelitian…………………………………………………..18

1.8.

Sumber Bahan Hukum …………………………………………..18

1.9.


Metode Pengumpulan Bahan Hukum……………………………19

v
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

1.10.

Metode Analisis Bahan Hukum…………………………………20

1.11.

Sistematika Penulisan…………………………………………...20

BAB II

FAKTOR – FAKTOR APAKAH YANG MEMPENGARUHI
TIMBULNYA PERKARA TINDAK PEMBUNUHAN
BERENCANA

2.1 Pengertian Pembunuhan
2.2 Unsur – Unsur Pembunuhan Berencana…………………………22
2.3 Faktor – faktor timbulnya perkara tindakpembunuhan berencana
……………………………………………………………………27
2.3 Pertimbangan hukum pembuktian tindak pidana pembunuhan
berencana……..…………………………………………………..33
2.4 Analisa pertimbangan hakim dalam menerapkan pidana terhadap
pelaku tindak pidana pembunuhan
berencana.………………..……………………………………….37
BAB III PELAKSANAAN PEMBUKTIAN PERKARA TINDAK PIDANA
PEMBUNUHAN BERENCANA DIPERSIDANGAN
3.1 Pelaksanaan pembuktian perkara tindak pidana pembunuhan
berencana dipersidangan …………………………………………44

vi
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

3.2 Hambatan-Hambatan Dalam Pembuktian Tindak Pidana
Pembunuhan Berencana …………………………………………51
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN............................................................58
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

vii
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Masalah
Semua warga Negara berkedudukan sama di mata hukum.Usaha
penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib,
keamanan dan ketentraman dalam masyarakat baik itu merupakan usaha
pencegahan maupun merupakan pemberantasan atau penindakan setelah
terjadinya pelanggaran hukum. Apabila undang-undang yang menjadi dasar
hukum bagi gerak langkah serta tindakan dari penegak hukum kurang sesuai
dengan dasar falsafah negara dan pandangan hidup bangsa, maka sudah
barang tentu penegakan hukum tidak akan mencapai sasarannya.
Pembunuhan berencana ialah pembunuhan yang dilakukan oleh
terdakwa dengan direncanakan terlebih dahulu, misalnya, dengan berunding
dengan orang lain atau setelah memikirkan siasat-siasat yang akan dipakai
untuk melaksanakan niat jahatnya itu dengan sedalam-dalamnya terlebih
dahulu, sebelum tindakan yang kejam itu dimulainya.
Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah “
Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa
orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana ( moord ), dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu,
paling lama dua puluh tahun”. Pembunuhan berencana itu dimaksudkan oleh
pembentuk undang-undang sebagai pembunuhan bentuk khusus yang

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
1
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

2

memberatkan, yang rumusannya dapat berupa “pembunuhan yang dilakukan
dengan rencana terlebih dahulu dipidana karena pembunuhan dengan
rencana”. Berdasarkan apa yang diterangkan di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa merumuskan pasal 340 KUHP dengan cara demikian,
pembentuk undang-undang sengaja melakukannya dengan maksud sebagai
kejahatan yang berdiri sendiri. Untuk lebih lanjutnya akan dipaparkan dalam
pembahasan.
Pembunuhan berencana merupakan suatu tindak pidana kejahatan
berat. Pembunuhan berencana muncul dikarenakan oleh faktor-faktor antara
lain yaitu :
1)

2)

Unsur subjektif terdiri dari :
a.

Dengan sengaja

b.

Dengan terlebih dahulu

Unsur objektif terdiri dari :
a.

Perbuatan: menghilangkan nyawa

b.

Objeknya: nyawa orang lain1
Apabila salah satu unsur diatas terpenuhi maka seseorang dapat

ditetapkan sebagai pelaku tindak pidana pembunuhan berencana. Setelah ada
bukti-bukti dan saksi yang kuat maka pelaku tindak pidana dapat dituntut
dipengadilan.
Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 menyatakan bahwa
Negara Indonesia adalah negara hukum. Hal ini berarti segala bentuk perilaku
1

Wawancara dengan Rully, SH, staf pidana umum Kejaksaan Tinggi Jawa Timur

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

3

individu didasarkan kepada hukum yang berlaku. Pelaku kejahatan ataupun
korban

kejahatan

akan

mendapatkan

tindakan

hukum

berdasarkan

perundangundangan yang berlaku. Seseorang yang diduga melakukan
pelanggaran hukum tidak dapat dikatakan bersalah sebelum adanya keputusan
hukum dari hakim yang bersifat tetap. Untuk menjaga supremasi hukum saat
ini sedang gencar-gencarnya diadakan reformasi penegak hukum yang bersih
dan berwibawa.
Adanya tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka, maka langkahlangkah penegakan hukum merupakan proses yang panjang membentang dari
awal sampai akhir. Adapun menurut sistem yang dipakai dalam KUHAP,
maka pemeriksaan pendahuluan merupakan pemeriksaan yang dilakukan oleh
penyidik Polri termasuk di dalamnya pemeriksaan tambahan atas dasar
petunjuk-petunjuk dari jaksa penuntut umum dalam rangka penyempurnaan
hasil penyidikannya. Langkah selanjutnya adalah pemeriksaan pengadilan
yang dilakukan di depan pengadilan yang dipimpin oleh hakim. Di hadapan
hakim, Jaksa Penuntut Umum akan mengajukan tuntutannya sesuai
pelanggaran yang dilakukan terdakwa.
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan
perkara pidana ke pengadilan untuk diperiksa dan diputus oleh hakim.
Kejaksaan

adalah

satu-satunya

lembaga

pemerintahan

negara

yang

mempunyai tugas dan wewenang di bidang penuntutan dalam penegakan
hukum dan keadilan di lingkungan peradilan umum. Kejaksaan dalam
menjalankan tugas penuntutan tindak pidana setelah dilakukan tindakan

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

4

penyidikan oleh kepolisian, maka penuntut umum harus melakukan
penuntutan dengan melimpahkan ke pengadilan untuk pemeriksaan guna
membuktikan bahwa seseorang itu bersalah atau tidak, kecuali untuk
perkaraperkara tertentu demi kepentingan negara dan atau umum.
Penetapan alat bukti berhubungan erat dengan kewenangan Jaksa
Penuntut Umum sebagai unsur pengak hukum, dimana sebagai pelaksana
tuntutan hukum membutuhkan alat bukti bahan pembuktian adanya dugaan
telah terjadi suatu perbuatan pidana. Alat bukti dalam hukum pembuktian
suatu perkara pidana yang sah antara lain adalah kesaksian, surat-surat,
pengakuan dan petunjuk-petunjuk. Untuk membuktikan telah terjadinya tindak
pidana yang dilakukan oleh terdakwa, maka Jaksa Penuntut Umum akan
berusaha untuk mencari alat-alat bukti selengkap mungkin untuk meyakinkan
Hakim bahwa terdakwa memang benar-benar telah melakukan tindak pidana
yang dipersangkakan kepadanya.
Terhadap berkas perkara pembunuhan berencana ini, Kejaksaan
pertama-tama akan menunjuk Jaksa Penuntut Umum untuk menangani atau
menindaklanjuti atas perkara ini. Jaksa Penuntut Umum akan mempelajari
terlebih dahulu perkara pembunuhan berencana mengenai pasal-pasal pidana
yang dikenakan terhadap tersangka. Selain itu Jaksa Penuntut Umum akan
mengumpulkan semua alat-alat bukti yang berhubungan dengan tindak pidana
pembunuhan berencana yang telah didakwakan terhadap kedua tersangka.
Alat-alat bukti ini diperoleh dari pihak kepolisian yang disertakan
dengan berkas penyidikan. Sehingga setelah penyidikan oleh kepolisian

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

5

selesai alat - alat bukti tidak dikembalikan kepada pemiliknya, tetapi ikut
dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri untuk proses penuntutan.
Apabila Jaksa Penuntut Umum kesulitan melakukan penuntutan
dikarenakan kurangnya alat-alat bukti, maka Jaksa Penuntut Umum
mempunyai kewenangan untuk mencari alat-alat bukti-bukti lain yang
berhubungan dengan tindak pidana pembunuhan berencana yang telah
dilakukan oleh kedua terdakwa. Adapun tujuan dari kelengkapan alat bukti ini
adalah untuk menguatkan pembuktian bahwa terdakwa benar-benar telah
melakukan tindak pidana pembunuhan berencara. Selain itu tuntutan Jaksa
Penuntut Umum dengan berdasarkan alat-alat bukti akan dapat memberikan
keyakinan pada Hakim dengan memberikan putusan hukum yang adil kepada
para terdakwa.
Dari latar belakang masalah di atas diketahui bahwa alat bukti
merupakan sarana bagi aparat penegak hukum dalam membuktikan suatu
perkara tindak pidana termasuk tindak pidana pembunuhan berencana.
Masalah pembuktian ini menduduki masalah yang sentral dalam hukum acara
pidana. Tujuan dari pembuktian adalah untuk mencari dan mendapatkan
kebenaran materiil, dan bukan untuk mencari kesalahan sesorang. Bertolak
dari alasan inilah maka dalam setiap tindak pidana termasuk pembunuhan
berencana harus ditemukan alat-alat bukti tindak pidana.Berdasarkan uraian
latar belakang masalah tersebut, penulis akan melakukan penelitian:
“Pembuktian tindak pidana pembunuhan berencana di persidangan”.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

6

1.2. Rumusan Masalah
Agar permasalahan yang akan diteliti menjadi lebih jelas dan
penulisan skripsi mencapai tujuan yang diinginkan maka perlu disusun
perumusan masalah yang didasarkan pada uraian latar belakang dan
pembatasan masalah. Adapun perumusan masalah dalam skripsi ini
adalah:
1. Faktor – faktor apakah yang mempengaruhi timbulnya perkara
tindakpembunuhan berencana?
2. Bagaimana pelaksanaan pembuktian perkara tindak pidana pembunuhan
berencana di persidangan ?

1.3.Tujuan Penilitian
a. Penulisan skripsi ini bermaksud menyumbangkan pikiran kepada
para pembaca yang mungkin berkepentingan dengan pertimbangan
hukum dalam proses pembuktian pembunuhan berencana
b. Disamping itu agar dapat lebih memahami pelaksanaan pembuktian
perkara tindak pidana pembunuhan berencana di persidangan.

1.4. Manfaat penelitian
Manfaat yang hendak dicapai dari penulisan Skripsi ini adalah
a. Teoritis
Agar para praktisi hukum dapat lebih memahami pertimbangan
hukum pembuktian pidana pembunuhan berencana di pengadilan.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

7

Disamping itu penulisan skripsi ini bermaksud menyumbangkan
pikiran para pembaca yang mungkin berkepentingan dengan pasalpasal tentang pembunuhan berencana dalam sistem hukum di Indonesia
b. Praktis
Diharapkan dapat memberikan masukan pada pengambil
keputusan dan kebijaksanaan dalam rangka menjalankan pasal-pasal
mengenai pembunuhan berencana beserta pertimbangan hukum dan
pelaksanaan pembuktiannya di persidangan.

1.5

Kajian Pustaka
a.

Pr oses

pembuktian

dalam

tindak

pidana

pembunuhan

berencana
Pembuktian adalah kegiatan membuktikan, dimana membuktikan
berarti memperlihatkan bukti-bukti yang ada, melakukan sesuatu sebagai
kebenaran, melaksanakan, menandakan, menyaksikan dan meyakinkan.
Secara konkret, Adami Chazawi menyatakan, bahwa dari pemahaman
tentang arti pembuktian di sidang pengadilan, sesungguhnya kegiatan
pembuktian dapat dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu:
1. Bagian kegiatan pengungkapan fakta
2. Bagian pekerjaan penganalisisan fakta yang sekaligus penganalisisan
hukum.
Di dalam bagian pengungkapan fakta, alat-alat bukti diajukan ke
muka sidang oleh Jaksa Penuntut Umum dan Penasehat Hukum atau atas

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

8

kebijakan majelis hakim untuk diperiksa kebenarannya. Proses pembuktian
bagian pertama ini akan berakhir pada saat ketua majelis mengucapkan secara
lisan bahwa pemeriksaan terhadap perkara dinyatakan selesai (Pasal 182 ayat
(1) huruf a KUHAP). Setelah bagian kegiatan pengungkapan fakta telah
selesai, maka selanjutnya Jaksa Penuntut Umum, Penasehat Hukum, dan
majelis hakim melakukan penganalisisan fakta yang sekaligus penganalisisan
hukum. Oleh Jaksa Penuntut Umum pembuktian dalam arti kedua ini
dilakukannya dalam surat tuntutannya (requisitoir). Bagi Penasehat Hukum
pembuktiannya dilakukan dalam nota pembelaan (peledooi), dan akan dibahas
majelis hakim dalam putusan akhir (vonnis) yang dibuatnya.
Pembuktian ini menjadi penting apabila suatu perkara tindak pidana
telah memasuki tahap penuntutan di depan sidang pengadilan. Tujuan adanya
pembuktian ini adalah untuk membuktikan apakah terdakwa benar bersalah
atas tindak pidana yang didakwakan kepadanya. R. Soesilo (1985 : 6-8),
mengatakan bahwa ada 4 macam sistem atau teori pembuktian, yaitu
Secara Teoretis terdapat empat teori mengenai sistem pembuktian yaitu:
1. Sistem pembuktian menurut Undang-undang secara positif (positief
wettelijke bewijs theorie)
Menurut teori ini, sistem pembuktian positif bergantung pada alatalat bukti sebagaimana disebut secara limitatif dalam undang-undang.
Singkatnya, undang-undang telah menentukan tentang adanya alat-alat bukti
mana yang dapat dipakai hakim, cara bagaimana hakim menggunakannya,
kekuatan alat bukti tersebut dan bagaimana hakim harus memutus terbukti

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

9

atau tidaknya perkara yang sedang diadili. Jadi jika alat-alat bukti tersebut
digunakan sesuai dengan undang-undang maka hakim mesti menentukan
terdakwa bersalah walaupun hakim berkeyakinan bahwa terdakwa tidak
bersalah.
Teori pembuktian ini sekarang tidak mendapat penganut lagi. Teori
ini terlalu banyak mengandalkan kekuatan pembuktian yang disebut oleh
undang-undang. Teori pembuktian ini ditolak juga oleh Wirjono Prodjodikoro
untuk dianut di Indonesia, karena katanya bagaimana hakim dapat menetapkan
kebenaran selain dengan cara menyatakan kepada keyakinannya tentang hal
kebenaran itu, lagi pula keyakinan seorang hakim yang jujur dan
berpengalaman mungkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan masyarakat.
2. Sistem pembuktian menurut keyakinan hakim melulu (conviction intime)
Pada sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim, hakim dapat
menjatuhkan putusan berdasarkan keyakinan belaka dengan tidak terikat oleh
suatu peraturan. Melalui sistem “Conviction Intime”, kesalahan terdakwa
bergantung kepada keyakinan belaka sehingga hakim tidak terikat pada suatu
peraturan. Dengan demikian, putusan hakim dapat terasa nuansa subjektifnya.
Di sadari bahwa alat bukti berupa pengakuan terdakwa sendiri pun
tidak selalu membuktikan kebenaran. Pengakuan pun kadang-kadang tidak
menjamin terdakwa benar-benar melakukan perbuatan yang didakwakan. Oleh
karena itu, diperlukan bagaimanapun juga keyakinan hakim sendiri. Bertolak
pangkal pada pemikiran itulah, maka teori berdasarkan keyakinan hakim
melulu yang didasarkan kepada keyakian hati nuraninya sendiri ditetapkan

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

10

bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Sistem ini
memberi kebebasan hakim yang terlalu besar, sehingga sulit diawasi. Di
samping itu, terdakwa atau penasihat hukumnya sulit untuk melakukan
pembelaan. Dalam hal ini hakim dapat memidana terdakwa berdasarkan
keyakinannya bahwa ia telah melakukan apa yang didakwakan.
3. Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis
(Laconviction Raisonnee)
Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah
berdasarkan keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar
pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang berlandaskan
kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu.
Keyakinan

hakim

tetap

memegang peranan

penting

untuk

menentukan kesalahan terdakwa, tetapi penerapan keyakinan hakim tersebut
dilakukan dengan selektif dalam arti keyakinan hakim dibatasi dengan harus
didukung oleh alasan-alasan jelas dan rasional dalam mengambil keputusan.
Sistem atau teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas
karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya (vrije
bewijstheorie)
Sistem atau teori pembuktian jalan tengah atau yang berdasar
keyakinan hakim sampai batas tertentu in terpecah kedua jurusan. Yang
pertama yang tersebut di atas yaitu pembuktian berdasar keyakinan hakim atas
alasan yang logis (conviction raisonnee) dan yang kedua ialah teori

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

11

pembuktian berdasar undang-undang secara negatif (negatief wettelijk
bewcijstheorie).
4. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief
wettelijke bewijs theorie)
Pada prinsipnya, sistem pembuktian menurut undang-undang secara
negatif menentukan bahwa hakim hanya boleh menjatuhkan pidana tehadap
terdakwa apabila alat bukti tersebut secara limitatif ditentukan oleh undangundang dan didukung pula oleh adanya keyakinan hakim terhadap
eksistensinya alat-alat bukti tersebut. Persamaan antara keduanya ialah
keduanya sama berdasar atas keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak
mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan hakirn bahwa is bersalah.
Perbedaannya ialah bahwa yang tersebut pertama berpangkal tolak
pada keyakinan hakim, tetapi keyakinan itu harus didasarkan kepada suatu
kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan kepada undangundang, tetapi ketentuan-ketentuan menurut ilmu pengetahuan hakim sendiri,
menurut pilihannya sendiri tentang pelaksanaan pembuktian yang mana yang
ia akan pergunakan. Sedangkan yang kedua berpangkal tolak pada aturanaturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif oleh undang-undang, tetapi
hat itu harus diikuti dengan keyakinan hakim.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

12

b. Analisa Per timbangan Hukum Dalam Pembuktian Tindak Pidana
Pembunuhan Ber encana
Di dalam hukum acara pidana pembuktian merupakan titik sentral di
dalam pemeriksaan perkara di pengadilan. Hal ini karena melalui tahapan
pembuktian inilah terjadi suatu proses, cara, perbuatan membuktikan untuk
menunjukkan benar atau salahnya si terdakwa terhadap suatu perkara pidana
di dalam sidang pengadilan. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang
berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undangundang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.
Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti
yang

dibenarkan

undang-undang

yang

boleh

dipergunakan

hakim

membuktikan kesalahan yang didakwakan. Ini merupakan salah satu
pertimbangan hukum mengapa pembuktian dalam suatu persidangan menjadi
hal yang sangat penting dan bersifat fatal bagi penegakan hukum di
Indonesia.
Di dalam membuktikan apakah terdakwa bersalah atau tidak dalam
suatu perkara pidana, menurut Lilik Mulyadi KUHAP di Indonesia menganut
sitem pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Di dalam sitem
pembuktian menurut undang-undang secara negatif ( negatief wettelijke
bewujs theorie) terdapat unsur dominan berupa sekurang-kurangnya dua alat
bukti sedangkan unsur keyakinan hakim hanya merupakan unsur pelengkap
Jadi dalam menentukan apakah orang yang didakwakan tersebut
bersalah atau tidak, haruslah kesalahannya dapat dibuktikan paling sedikit

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

13

dengan dua jenis alat bukti seperti yang tertuang di dalam KUHAP pasal 183
“ Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila
dengan sekurng-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan
bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah
melakukannya”. Alat bukti yang sah dalam KUHAP Pasal 184 ayat (1)
undang-undang yaitu:
a. keterangan saksi,
b. keterangan ahli,
c. surat,
d. petunjuk, dan
e. keterangan terdakwa.
Menurut Yahya Harahap hanya alat bukti yang mencapai batas
minimal yang memiliki nilai kekuatan pembuktian untuk membuktikan
kesalahan terdakwa. Apabila alat bukti tidak mencapai sekurang-kurangnya
dua alat bukti yang sah dalam KUHAP, maka pelanggaran itu dengan
sendirinya menyampingkan standar Beyond a reasonable doubt (patokan
penerapan standar terbukti sevara sah dan meyakinkan) dan pemidanaan yang
dijatukan dapat dianggap sewenang-wenang.
Di tinjau dari perspektif sistem peradilan pidana, perihal pembuktian
merupakan hal yang sangat determinan bagi setiap pihak yang terlibat secara
langsung dalam proses pemeriksaan perkara pidana, khususnya dalam hal
menilai terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan yang didakwakan kepada
terdakwa. Dalam hal pembuktian ini keterangan korban merupakan hal yang
sangat penting, dimana korban adalah mereka yang menderita secara
jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

14

pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan
kepentingan dan hak asasi yang menderita.
Menurut Narendra Jatna, SH., bahwa dalam persidangan satu bukti
sudah cukup dengan catatan bahwa bukti tersebut dapat menyakinkan hakim
dalam mengambil keputusan. Dalam pasal tersebut dijelaskan sekurangkurangnya dua bukti, hal ini dikarenakan KUHAP menggunakan asas
konkordasi dengan hukum “KUHAP” Belanda.Dalam KUHAP Belanda pasal
342

menjelaskan asas “unus testis nullus testis”, namun asas ini sudah

berkurang petingnya, karena Mahkamah Agung Belanda beranggapan bahwa
pembuktian mengenai semua tuduhan terhadap tertuduh tidak boleh
didasarkan pada pernyataan seorang saksi, namun pernyataan oleh seorang
saksi cukup sebagai bukti bagi masing-masing unsur secara terpisah.
Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di
sidang pengadilan. Dalam keterangan saksi ini harus diperhatikan :a.
persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;b. persesuaian
antara keterangan saksi dengan alat bukti;c. Alasan yang dipergunakan oleh
saksi untuk memberi keterangan yang tertentu.d. Cara hidup dan kesusilaan
saksi serta segala sesuatu yang apada umumnya dapat mempengaruhi dapat
tidaknya keterangan itu dipercaya.Sedangkan keterangan ahli ialah apa yang
seorang ahli nyatakan dalam sidang pengadilan yang sebelumnya diambil
sumpah terlebih dahulu. Adapun yang di maksud surat di sini adalah Berita
Acara (BAP) dan surat lain yang berbentuk surat resmi. Petunjuk adalah
perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

15

satu dengan yanglain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan
telah terjadinya suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk dapat
diperoleh dari :
a. Keterangan saksi.
b. Surat;
c. Keterangan terdakwa.Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa
nyatakan dalam persidangan tentang perbuatan yang ia lakukan “pengakuan”
atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri
c. Faktor – faktor yang menjadi per timbangan hakim dalam putusan
pidana Pembunuhan Ber encana
Dalam memutuskan suatu perkara pidana, hakim harus mempunyai
pertimbangan-pertimbangan sebagai dasar dalam suatu putusan. Faktor-faktor
yang menjadi bahan pertimbangan yang diambil oleh hakim untuk
memutuskan suatu perkara. Selain itu hakim juga mempertimbangkan hal-hal
yang meringankan dan memberatkan bagi terdakwa Keputusan dalam
pemidanaan akan mempunyai konsekuensi yang luas, baik yang menyangkut
langsung dengan pelaku tindak pidana maupun masyarakat secara luas.
Keputusan yang dianggap tidak tepat, akan menimbulkan reaksi kontroversial
sebab kebenaran dalam hal ini sifatnya relatif tergantung dari mana
memandangnya. 2

2

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1998,
hal. 52

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

16

Pasal 25 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman dinyatakan bahwa segala putusan pengadilan selain harus
memuat alasan dan dasar putusan tersebut memuat pula pasal dijadikan dasar
untuk mengadili. Berdasarkan Pasal 25 tersebut, maka dalam membuat suatu
keputusan, hakim harus mempunyai alasan dan dasar putusan serta juga harus
memuat pasal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber
hukum yang dijadikan dasar untuk mengadili. Untuk mengambil suatu alas an
dan dasar suatu putusan, hakim terlebih dahulu harus mempunyai
pertimbangan-pertimbangan yang berhubungan dengan terdakwa.
Menurut Leden Marpaung, putusan adalah: Hasil atau kesimpulan
dari suatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya
yang dapat berbentuk tulisan atau lisan. Ada juga yang mengartikan putusan
sama dengan vonis tetap. Rumusan – rumusan yang kurang tepat terjadi
sebagai akibat dari penerjemah ahli bahasa yang bukan ahli hukum. Dalam
pembangunan hukum yang sedang berlangsung diperlukan kecermatan dalam
penggunaan istilah-istilah.3 Mengenai kata putusan yang diterjemahkan dari
vonis adalah hasil dari pemeriksaan perkara disidang pengadilan seperti
interlocutoire, yaitu keputusan antara atau keputusan sela. Preparatoire yaitu
keputusan pendahuluan atau keputusan persiapan. Keputusan provisionele
yaitu keputusan untuk sementara.

3

Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana, Sinar Grafika, Jakarta 1992, hal. 406

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

17

Negara Indonesia menganut asas “the persuasive of presedent” yang
menurut asas ini hakim diberi kebebasan dalam memutuskan suatu perkara
tanpa terikat dengan keputusan hakim terdahulu seperti yang dianut oleh
negara yang menganut asas “the binding force of presedent” sehingga seorang
hakim dapat mengambil keputusan berdasarkan keyakinannya. Namun
kebebasan itu tidak mutlak adanya, karena keputusan yang diambil harus
konstitusional tidak sewenang-wenang dan berdasarkan alat bukti yang sah.4
1.6. Metode Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian maka metode
pendekatan yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis normatif, yaitu
dengan mengkaji peraturan perundang-undangan, teori-teori hukum dan
yurisprudensi yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas.5 Dalam
hal ini, metode pendekatan dalam penelitian ini digunakan untuk menganalisis
tehadap Perkara Pidana Pembunuhan berencana.
1.7 J enis Penelitian
Penulis dalam penelitian ini mengunakan jenis penelitian deskriptif.
Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status kelompok
manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu
kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif ini
adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis,
faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan

4

5

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1999, hal. 107
Rony Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1988, hal. 9

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

18

antarfenomena yang diselidiki.6 Dengan menggunakan jenis penelitian ini,
penulis ingin memberi gambaran seteliti mungkin secara sistematis dan
menyeluruh.
1.8. Sumber Bahan Hukum
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Sumber
penelitian ini adalah didapat dari data sekunder yang terdiri dari bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
1. Bahan Hukum Primer
a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
b. Kitab Undang-Undang Acara Hukum Pidana;
c. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian;
d. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan; dan
e. Undang-Undang Nomor. 48 Tahun 2009 tentang Kehakiman.
2. Bahan Hukum Sekunder
a. Literatur-literatur yang berkaitan dengan perkara pidana; dan
b. Jurnal serta artikel tentang perkara pidana.
3. Bahan Hukum Tersier
a. Kamus; dan
b. Ensiklopedia.
Dalam penelitian hukum, data sekunder mencakup bahan hukum
primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat; bahan hukum sekunder,
yaitu yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer; dan bahan
6

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hal. 8

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

19

hukum tertier yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.7
1.9. Metode Pengumpulan Bahan Hukum
Dalam penelitian ini metode pengumpulan bahan hukum yang
digunakan adalah studi kepustakaan dan wawancara. Studi kepustakaan yakni
studi tentang sumber-sumber yang digunakan dalam penelitian sejenis
dokumen yang digunakan untuk mencari data-data mengenai hal atau variabel
yang berupa catatan, transkrip, buku, majalah, dan hal-hal lain yang
menunjang penelitian. 8 Dalam pengertian lain sering disebut dengan penelitian
kepustakaan (library research) dengan pustaka utamanya adalah peraturan
perundang-undangan.
1.10. Metode Analisis Bahan Hukum
Bahan-bahan hukum yang diperoleh, merupakan bahan-bahan hukum
yang dianalisis secara kualitatif normatif, yaitu menganalisis hasil penelitian
kepustakaan yang terkumpul dan dituangkan dalam bentuk uraian logis dan
sistematis, untuk memeperoleh kejelasan penyelesaian masalah, kemudian
ditarik kesimpulan secara deduktif, yaitu dari hal yang bersifat umum menuju
ke hal yang bersifat khusus.
1.11. Sistematika Penulisan
Skripsi ini nantinya disusun dalam empat bab. Tiap-tiap bab dibagi
menjadi beberapa sub-bab yang saling mendukung. Bab-bab yang tersusun

7

8

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
Raja Grafindo Persada , Jakarta, 2010, hal 8
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rhineka Cipta,
Jakarta, 1998, hal. 19

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

20

tersebut nantinya merupakan suatu kesatuan yang saling berkaitan antara yang
satu dengan yang lain.
Bab Pertama, Pendahuluan. Di dalamnya menguraikan tentang latar
belakang masalah, kemudian berdasarkan latar belakang masalah tersebut
maka dirumuskan permasalahan. Selanjutnya disajikan tujuan dan manfaat
penelitian sebagai harapan yang ingin dicapai melalui penelitian ini. Pada
bagian kajian pustaka yang merupakan landasan dari penulisan skripsi,
kemudian diuraikan beberapa konsep definisi yang berkaitan dengan judul
penelitian. Selanjutnya diuraikan tentang metode penelitian yang merupakan
salah satu syarat dalam setiap penelitian. Intinya mengemukakan tentang tipe
penelitian dan pendekatan masalah, sumber bahan hukum, langkah penelitian,
dan bab ini diakhiri dengan sistematika penulisan.
Bab Kedua, menguraikan tentang Pertimbangan hukum dalam proses
pembuktian pidana pembunuhan berencana. Secara umum dalam bab ini
terdapat dua sub-bab, yakni yang pertama mengenai Unsur-unsur Perkara
Pidana

Pembunuhan

Berencana.

Dan

sub-bab

yang

kedua

adalah

Pertimbangan hukum dan pembuktian pidana pembunuhan berencana di
pengadilanyang berisi sub-bab Pertama mengenai Proses pembuktian tindak
pidana pembunuhan berencana. Kedua

Faktor – faktor yang menjadi

pertimbangan hukum dalam tindak pidana pembunuhan berencana. Ketiga
Analisa pertimbangan hukum dalam pembuktian tindak pidana pembunuhan
berencana

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

21

Bab Ketiga, menguraikan tentang Proses Pembuktian Terhadap
Perkara Pidana Pembunuhan Berencana. di pengadilan.
Bab Keempat, Berdasarkan uraian-uraian dalam bab II dan bab III
diatas tentang jawaban dari rumusan masalah yang dijadikan obyek penulisan,
selanjutnya ditarik Kesimpulan dan Saran dalam bab IV sebagai penutup.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

BAB II
FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TIMBULNYA
PERKARA TINDAKPEMBUNUHAN BERENCANA

2.1. Pengertian Pembunuhan
Seperti

diketahui

bahwa

pembunuhan,

merupakan

suatu

kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain. Pembunuhan merupakan
suatu perbuatan atau tindakan yang tidak manusiawi dan atau suatu
perbuatan

yang

tidak

merupakan

suatu

tindak

mempunyai

rasa

berperikemanusiaan,
pidana

kemanusiaan.

terhadap
Pembunuhan

karena

nyawa
juga

orang

pembunuhan
lain

tanpa

merupakan

suatu

perbuatan jahat yang dapat mengganggu keseimbangan hidup, keamanan,
ketentraman, dan ketertiban dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Oleh
karena itu, pembunuhan merupakan suatu perbuatan yang tercela, ataupun
tidak patut.
Pengertian pembunuhan menurut Kamus Umum Bahasa
Indonesia, adalah perkara membunuh ; perbuatan (hal dan sebagainya)
membunuh8

Pembunuhan secara yuridis diatur dalam pasal 338 KUHP, yang mengatakan
bahwa:
“Barang siapa dengan sengaja menhilangkan nyawa orang lain, karena bersalah
telah melakukan “pembunuhan” dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya
lima belas tahun”.

8

Poerwadarminta,Kamus Latin - Indonesia Indonesia,kanisius,1976, hal 169

23
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

24

Dikatakan
kesengajaan,

melakukan

adalah

apabila

tindak
orang

pidana
tersebut

pembunuhan
memang

dengan

menghendaki

perbuatan tersebut, baik atas kelakuan maupun akibat atau keadaan yang timbul
karenanya. Namun juga mungkin tidak dikehendaki sama sekali oleh pelakunya.
Kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain itu oleh Kitab Undangundang Hukum Pidana yang berlaku dewasa ini, telah disebut “pembunuhan”. 9
b. Jenis-jenis Pembunuhan
Tindak pidana pembunuhan merupakan kejahatan terhadap nyawa.
Pembunuhan terdiri dari beberapa jenis, diantaranya :
1)

Pembunuhan biasa (“Doodslag”).
Pembunuhan biasa ini sebagaimana biasa diatur dalam pasal 338 KUHP,

yang pada pokoknya berbunyi :
“Barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain, dihukum
karena makar mati dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun”
Menurut R.Soesilo, dalam bukunya yang berjudul Kitab UndangUndang Hukum Pidana

beserta komentar-komentarnya lengkap pasal demi

pasal, mengatakan bahwa :
a) Kejahatan ini dinamakan

“makar mati” atau

“pembunuhan”

(doodslag). Di sini diperlukan perbuatan yang mengakibatkan
kematian orang lain, sedangkan kematian itu disengaja , artinya
dimaksud , termasuk dalam niatnya.

9

Lamintang, Hukum Penintensier Indonesia,Sinar Grafika,1985, hal 10.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

25

b) Pembunuahan itu harus dilakukan dengan segera sesudah timbul
maksud untuk membunuh tidak dengan dipikir-pikir lebih panjang.
2)

Pembunuhan yang direncanakan lebih dahulu (“Moord”).
Kejahatan ini diatur dalam pasal 340 KUHP, yang pada pokok isinya adalah

sebagai berikut :
”Barang siapa yang dengan sengaja dan dengan rencana lebih dahulu
merampas nyawa orang lain diancam karena pembunuhan dengan
rencana (“moord”), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.”

Maksud direncanakan di sini, adalah antara timbulnya maksud untuk
membunuh dengan pelaksanaan itu, masih ada tempo bagi si pembuat untuk
dengan tenang memikirkan dengan cara bagaimanakah pembunuhan itu dilaksanakan

2.2

Unsur – Unsur Pembunuhan Berencana
Pasal 340 menyebutkan ;
“Barang siapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih
dahulu menghilangkan nyawa orang lain, dipidana karena pembunuhan
dengan rencana, dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau
penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.”
Pembunuhan berencana adalah tindak pidana pembunuhan yang
paling berat ancaman pidananya dari seluruh bentuk kejahatan terhadap
nyawa manusia .Pada 340 KUHP di atas disebut dengan pembunuhan
berencana, dimana pembunuhan ini dilakukan apabila pelaku memenuhi
unsur – unsur subjektif dan objektif.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

26

Unsur subjektif yaitu ;
1. Unsur barang siapa,
2. Unsur dengan sengaja
Unsur objektif yaitu ;
3. Unsur direncanakan dan
4. Unsur menghilangkan jiwa orang lain.
Unsur – unsur subjektif dan objektif tersebut dapat diuraikan
sebagai berikut :

1. Unsur barang siapa
Untuk memastikan tentang siapa yang sebenarnya dapat
dipandang sebagai “pelaku” atau “dader” dari suatu tindak pidana
pembunuhan itu tidaklah semudah yang diperkirakan orang.
Untuk dapat menentukan hal tersebut maka harus didapat
bukti – bukti awal dan keterangan saksi yang cukup sehingga pihak
kepolisian dapat melakukan proses pemeriksaan, penyelidikan dan
penyidikan selanjutnya sebelum menetapkan pelaku pidana
pembunuhan berencana untuk kemudian masuk dalam proses
peradilan selanjutnya.
2. opzettelijk atau dengan sengaja ;
Kalau diteliti dari pasal itu sendiri tidak ada keterangan
yang menjelaskan apa ini sengaja, maka dari itu kita melihat dari
doktrin, dalam Memory van Teolichting dijelaskan bahwa pada

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

27

pidana pada umumnya, hendaknya dijatuhkan pada barang siapa
melakukan perbuatan yang dilarang dengan dikehendaki dan
diketahui oleh sipelaku (Willens en Wetens) jadi sipelaku harus
berniat untuk melakukan perbuatan itu dan harus sadar apa yang
dilakukan. Bahwa Pasal 340 KUHP adalah merupakan delik
materiel yaitu dimana seseorang melakukan suatu perbuatan
dengan sengaja untuk menimbulkan sesuatu akibat, itu memang
merupakan suatu tujuan bagi si pelaku dan akibat dari perbuatan itu
betul-betul dikehendaki dan dituju oleh si pelaku.
3. voorbedachte raad atau direncanakan lebih dulu
Bahwa yang dimaksud dengan direncanakan lebih dulu,
dijelaskan perencanaan terlebih dulu diperlukan suatu jangka
waktu singkat ataupun panjang untuk mempertimbangkan secara
tenang pula, si pelaku haruslah dapat meyakinkan dirinya dan
akibat dari perbuatannya dalam suatu suasana yang memungkinkan
untuk memikir kembali rencananya. Dengan demikian unsur
direncanakan terlebih dahulu, pada dasarnya mengandung 3 unsur
yaitu ;
a. Memutuskan kehendak dalam suasan tenang; yaitu pada
saat memutuskan kehendak untuk membunuh itu
dilaksanakan dalam suasana ( batin ) yang tenang.
b. Ada tersedia waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak
sampai dengan pelaksanaan kehendak.
c. Pelaksanaan kehendak ( Perbuatan ) dalam suasana tenang;
yaitu suasana hati saat melakukan pembunuhan itu tidak

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

28

dalam suasana tergesa-gesa, amarah yang tinggi, rasa takut
yang berlebihan dan lain sebagainya. 10

4. Unsur menghilangkan nyawa orang lain
Berarti seorang pelaku harus melakukan sesuatu atau suatu
rangkaian tindakan yang berakibat dengan meninggalnya orang
lain dengan catatan bahwa opzet dari pelakunya itu harus ditujukan
pada akibat berupa meninggalnya orang lain tersebut.
2.3

Faktor – faktor timbulnya perkar a tindakpembunuhan ber encana
Dalam kaitannya dengan peristiwa pembunuhan yang dilakukan
oleh wanita, maka perlu mengetahui terlebih dahulu tentang latar
belakang dan penyebab terjadinya pembunuhan itu. Setelah mengetahui
latar belakang dan penyebabnya,

maka

kitab

dapat

mengetahui

sekaligus menentukan cara pemecahannya.
Peristiwa pembunuhan yang dilakukan oleh wanita yang terjadi
di wilayah Semarang tentunya dilatar belakangi oleh faktor-faktor
penyebab yang berbeda satu dengan lainnya. Demikian juga dapat
dikatakan, bahwa jumlah pembunuhan yang terjadi ditunjang oleh
banyaknya faktor yang saling mengkait dan berpengaruh pada faktor satu
sama lainnya. Misalnya, faktor ekonomi berpengaruh pada faktor
pendidikan dan sebaliknya. Sebaliknya, faktor pendidikan berpengaruh
pada faktor ekonomi, dan masih banyak lagi faktor lain yang dapat
menimbulkan kejahatan.
10

Drs. Adami Chazawi, Kejahatan TerhadapTtubuh dan Nyawa, Rajagrafindo persada,
jakarta,2010,hal 82

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

29

Seperti pendapat dari Dra. Kartini Kartono yang mengatakan.
“...perbuatan kriminal yang dilakukan oleh beberapa anak
gadis yang disebabkan oleh emosi-emosi yang sangat kuat. Emosi
yang sangat kuat itu karena rasa rindu akan orang tuaa dan
kampung halamannya di desa. Oleh karena emosi yang sangat kuat
tersebut timbullah konflik-konflik batin dan ketegangan-ketegangan
yang sangat tinggi sehingga anak gadis tersebut melakukan
tindak kriminal berupa pembunuhan atau bunuh diri”.
Kejahatan

itu banyak faktor yang menyebabkan, yaitu:

“Faktor sosial ekonomi seperti sistem ekonomi, perubahan
harga pasar, krisis, gaji, atau upah, pengangguran dan juga
dapat dipengaruhi faktor-faktor mental (agama), bacaan-bacaan
harian, film (termasuk TV), serta faktor pisik seperti iklim, tidak
luput faktor-faktor pribadi (umur), peminum (alkohol)”11.
a.

Lemahnya Penghayatan Pada Agamanya
Setiap agama yang ada di dunia ini, niscaya mempunyai
keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Agama itu selalu
mengutamakan sifat-sifat kebaikan dan kebajikan, menjauhi kejahatan
atau kemunafikan. Agama juga membukakan hati manusia kepada
pengertian-pengertian cinta terhadap sesama manusia dan melarang orang
melakukan kejahatan. Sehingga, jika manusia benar-benar mendalami dan
menghayati makna agama diharapkan ia menjadi manusia yang baik,
dalam arti tidak berbuat hal-hal yang merugikan atau menyinggung
perasaan orang lain.
Pemahaman agama seharusnya dilakukan sejak dini oleh orang
tua supaya seseorang dapat melaksanakan serta menjalankan agama

11

(Hurwitz 1986:86-101)

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan me