KEKUATAN PEMBUKTIAN SAKSI MAHKOTA DALAM PERSIDANGAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA DENGAN PENYERTAAN (Studi Putusan Nomor 717/Pid.B/2015/PN.Tjk)

  

KEKUATAN PEMBUKTIAN SAKSI MAHKOTA DALAM PERSIDANGAN

TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA DENGAN PENYERTAAN

(Studi Putusan Nomor 717/Pid.B/2015/PN.Tjk)

(JURNAL)

  

Oleh

Darwin Ricardo

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

  

2018

  

ABSTRAK

KEKUATAN PEMBUKTIAN SAKSI MAHKOTA DALAM PERSIDANGAN

TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA DENGAN PENYERTAAN

(STUDI PUTUSAN NOMOR 717/PID.B/2015/PN.TJK)

Oleh

  

Darwin Ricardo, Eko Raharjo, Gunawan Jatmiko

Email :

  Keberadaan saksi mahkota tidak dijelaskan dalam KUHAP, namun dalam praktek saksi mahkota ini sering dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum sebagai alat bukti keterangan saksi dikarenakan kekurangan alat bukti. Dalam perkara pada Putusan Nomor 717/Pid.B/PN.Tjk saksi mahkota dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum sebagai alat bukti keterangan saksi. Permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimanakah kedudukan saksi mahkota dalam Putusan Nomor 717/Pid.B/2015/PN.Tjk dan bagaimanakah kekuatan pembuktian saksi mahkota dalam Putusan Nomor 717/Pid.B/2015/PN.Tjk ?. Pendekatan masalah yang digunakan adalah yuridis normatif dan yuridis empiris. Narasumber pada penelitian ini terdiri dari Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Jaksa Kejaksaan Negeri Bandar Lampung dan Akademisi Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Lampung. Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa :

  a. Kedudukan saksi mahkota dalam Putusan Nomor 717/Pid.B/2015/PN.Tjk adalah sebagai alat bukti keterangan saksi serta kedudukannya sama dengan saksi-saksi yang lainnya sebagai alat bukti yang sah, karena telah memenuhi syarat-syarat diajukannya saksi dalam proses pembuktiannya berdasarkan penilaian dan pertimbangan Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang. b. Kekuatan pembuktian saksi mahkota memiliki nilai kekuatan pembuktian bebas, tidak sempurna dan tidak mengikat. Jadi, untuk menentukan apakah saksi mahkota memiliki nilai kekuatan pembuktian hakim mempunyai kebebebasan untuk menilai. Dalam Putusan Nomor 717/Pid.B/2015/PN.Tjk saksi mahkota yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum sah sebagai alat bukti keterangan saksi dan mempunyai kekuatan pembuktian berdasarkan pertimbangan dan penilaian hakim, karena telah memenuhi syarat formal diajukannya saksi dan memiliki relevansinya dengan alat bukti lainnya. Saran dalam penilitian ini adalah kepada Pemerintah khususnya pembentuk undang-undang diharapkan segera mengesahkan RUU KUHAP, dikarenakan memang saksi mahkota ini dalam perkara-perkara tertentu sangatlah penting.

  

Kata Kunci : Kekuatan Pembuktian, Saksi Mahkota, Tindak Pidana Pembunuhan

Berencana

  

ABSTRACT

THE POWER PROOF OF CROWN WITNESSES IN THE CRIMINAL COURT

OF PREMEDITATED MURDER WITH INCLUSION

(A Study Case of Verdict Number 717/PID.B/2015/PN.TJK)

By

  

Darwin Ricardo, Eko Raharjo, Gunawan Jatmiko

Email :

The existence of crown witnesses is not describe in the Criminal Procedure Code

(KUHAP), but in practice it is commonly present by the Public Prosecutor as evidence

of witness testimony due to the lack of evidence. In the case of Verdict Number

717/Pid.B/PN.Tjk a crown witness is presented by the Public Prosecutor as evidence of

witness testimony. The problems in this research is: how is the status of the crown

witness in Verdict Number 717/Pid.B/2015/PN.Tjk and how is the power proof of crown

witnesses in Verdict Number 717/ Pid.B/2015/PN.Tjk ? This research apply normative

and empirical approaches. The resource person on this research consists of the judge of

Tanjung Karang District Court, The Prosecutor of Bandar Lampung districk and

Criminal Law Academician at Law Faculty University of Lampung. The results and

discussion showed that: a. The position of crown witness in Verdict Number

717/Pid.B/2015/PN.Tjk is as evidence from the witness and the position is the same as

the other witnesses as valid evidence because has qualified filed witness in the process

of proof based on the assessment and consideration judge of Tanjung Karang District

Court. b. The power proof of crown witness has free values, imperfect and not-binding.

So, to determine whether or not a crown witness has the value, the power of judge’s

evidence has the freedom to judge. In the Verdict Number 717/ Pid.B/2015/PN.Tjk the

crown witnesses present by the Public Prosecutor is valid as evidence of witness and

has power proof based on consideration and the judge’s assesment, because has

qualified requirement of the witness and has relevance to the other evidences. Advice on

this research is to the government, especially the form it is expected to pass the bill of

ratify the draft of the Criminal Procedure Code (RUU KUHAP), because a crown

witness in concerning the cases of certain very important.

  Keywords : The Power Proof, Crown Witnesses, Premeditated Murder

I. PENDAHULUAN

  Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik. Hukum pidana terbagi menjadi dua bagian, yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil mengatur tentang penentuan tindak pidana, pelaku tindak pidana, dan pidana (sanksi). Sedangkan hukum pidana formil mengatur tentang pelaksanaan dari hukum pidana materiil. Di Indonesia pengaturan hukum pidana materiil diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan pengaturan hukum pidana formil diatur dalam Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

  Hukum pidana formil atau hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur tentang tata cara beracara dalam lingkup hukum pidana atau juga dapat diartikan sebagai seperangkat aturan-aturan tentang bagaimana caranya menegakkan atau mempertahankan hukum pidana materiil. Lebih jelasnya lagi bahwa hukum pidana formil memuat aturan- aturan tentang bagaimana caranya menerapkan hukum pidana terhadap perkara-perkara pidana. Dalam hukum pidana formil diatur segala sesuatu tentang proses pemeriksaan perkara pidana pada semua tingkatan pemeriksaan di Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan. Melalui hukum acara pidana ini, maka bagi setiap individu yang melakukan penyimpangan atau pelanggaran hukum, khususnya hukum pidana, selanjutnya dapat di proses dalam suatu acara pemeriksaan di Pengadilan, melalui pemeriksaan di depan sidang Pengadilan dan untuk membuktikan benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan diperlukan adanya suatu pembuktian.

  Pembuktian merupakan hal yang sangat esensial dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan khususnya dalam perkara pidana karena pembuktiannya ditujukan untuk mencari, menemukan dan menggali kebenaran materil atau kebenaran yang sesungguh-sungguhnya atau kebenaran hakiki berdasarkan fakta-fakta hukum. Proses pembuktian tersebut dari tingkat penyidikan oleh Polisi sampai ketingkat Pengadilan untuk menentukan seseorang bersalah atau tidak bersalah melalui putusan hakim yang berkekuatan hukum yang tetap. Pihak-pihak terkait, seperti Polisi, Jaksa, dan Hakim hendaknya menguasai mengenai hukum pembuktian tersebut.

  Pembuktian merupakan kegiatan membuktikan, dimana membuktikan artinya memperlihatkan bukti-bukti yang ada, melakukan sesusatu sebagai kebenaran, melaksanakan, menandakan, menyaksikan dan meyakinkan. Secara konkret, Adam Chazawi menyatakan, bahwa dari pemahaman tentang arti pembuktian disidang pengadilan, sesungguhnya kegiatan pembuktian dapat dibedakan menjadi 2 (dua) bagian yaitu :

  1

  1) Bagian kegiatan pengungkapan fakta

  2) Bagian pekerjaan penganalisisan fakta yang sekaligus penganalisisan hukum.

  Alat-alat bukti yang sah menurut pasal 184 ayat (1) KUHAP ada lima yaitu : a) keterangan saksi, karena menurut hukum acara pidana untuk membuktikan bersalah atau tidaknya seseorang terdakwa haruslah 1 Adami Chazawi, 2006, Hukum Pembuktian

  Tindak Pidana Korupsi , Bandung: Alumni, b) keterangan ahli, c) surat, d) petunjuk, dan e) keterangan terdakwa.

  Salah satu cara untuk membuktikan suatu perkara pidana adalah dengan meminta bantuan dari orang lain yang disebut saksi yang merupakan salah satu alat bukti dalam hukum acara pidana. Pentingnya seorang saksi berada pada semua tahap kegiatan penyidikan dan penyelidikan, sejak tindak pidana diketahui sampai proses peradilan sehingga mendapatkan Putusan Hakim di Pengadilan.

  Alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu bersandar pada pemeriksaan saksi-saksi. Sekurang-kurangnya.disamping hal ini pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan pembuktian alat bukti keterangan saksi. Agar keterangan saksi mempunyai nilai kekuatan pembuktian “the degree of evidence” haruslah memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut : 1) Harus mengucap sumpah atau janji, 2) Keterangan saksi yang ia lihat sendiri, dengar sendiri, dan alami sendiri, serta menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu,

  3) Keterangan saksi harus diberikan dalam sidang pengadilan 4) Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup sesuai dengan asas unus testis nullus

  testis ,

  5) Keterangan saksi yang berdiri sendiri.

  2 2 M Yahya Harahap, 2007, Pembahasan

  Berpedoman kepada uraian tersebut diatas, keberadaan seorang saksi akan menjadi kunci dalam pengungkapan fakta sebuah perkara pidana. Namun, apabila suatu tindak pidana tidak ada saksi pengungkap fakta seperti yang telah dijelaskan diatas misalkan saksi yang melihat, mendengar dan yang mengalami sendiri tentang terjadinya tindak pidana, maka aparat penegak hukum akan kesulitan mengungkap kebenaran materiil dalam suatu perkara pidana. Kaitannya dengan hal tersebut diatas jika dalam suatu perkara tidak adanya saksi pengungkap fakta misalnya salah satu contoh kasusnya seperti kasus pembunuhan berencana penyertaaan yang dalam proses pembuktiannya menggunakan saksi mahkota sebagai alat bukti, yaitu kasus yang telah diputus oleh Pengadilan Negeri Tanjung Karang nomor : 717/Pid.B/2015/PN.Tjk atas nama terdakwa Yunita Amelia, A.Md., Kep. alias Nita Binti Rahmat Hidayat. Terdakwa didakwa oleh Penuntut Umum melalui dakwaan yang berbentuk alternatif subsidiaritas, yakni dakwaan pertama primair didakwa melanggar pasal 340 KUHP jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Dakwaan kedua subsidair didakwa melanggar pasal 339 KUHP pidana jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Dakwaan ketiga lebih subsidair didakwa melanggar pasal 338 KUHP jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Atas dasar dakwaan tersebut setelah melewati rangkaian proses pemeriksaan perkara di Pengadilan Negeri Tanjung Karang, kemudian Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang menjatuhkan putusan tersebut diatas yaitu menyatakan bahwa terdakwa Yunita Amelia, A. Md. Kep. alias Nita

  Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, Peninjauan Kembali , Edisi Kedua, Binti Rahmat Hidayat telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan berencana yang dilakukan secara bersama-bersama sebagaimana yang didakwakan oleh Penuntut Umum dalam dakwaan pertama primair dan menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 15 (lima belas) tahun.

  persidangan oleh Jaksa Penuntut Umum meliputi keterangan saksi, keterangan ahli, surat, serta keterangan terdakwa. Terkait dengan saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum, 1 (satu) dari keterangan saksi merupakan keterangan saksi mahkota yakni saksi Darwin Bin Alm. M. Sanusi yang sekaligus menjadi Terdakwa pada perkara yang sama namun dilakukan penuntutan secara terpisah (splitsing) Saksi ini mengetahui melihat sendiri peristiwa pembunuhan almarhum Suharningsih dikarenakan saksi merupakan terdakwa dalam perkara pembunuhan tersebut. Maka dapat dilihat bahwa keterangan yang diterangkan oleh saksi Darwin Bin Alm. M. Sanusi dalam persidangan merupakan keterangan saksi mahkota. Mengenai status saksi mahkota yang diterima oleh Hakim sebagai alat bukti berdasarkan pertimbangan hakim dalam putusannya,Hakimmenerima keterangan saksi mahkota dalam perkara ini sebagai alat bukti keterangan saksi.

  Seringkali dalam berbagai sidang pembuktian perkara pidana, muncul alat bukti yang disebut dengan istilah saksi mahkota. Saksi mahkota ini merupakan tersangka ataupun terdakwa yang dijadikan saksi dalam perkara yang sama namun dilakukan pemisahan (splitsing) dikarenakan kurangnya alat bukti khususnya alat bukti keterangaan saksi yang mempunyai nilai kekuatan pembuktian

  4

  . Pada dasarnya, istilah saksi mahkota tidak disebutkan secara tegas dalam KUHAP. Penggunaan alat bukti keterangan saksi mahkota hanya dapat dilihat dalam perkara pidana yang berbentuk penyertaan, dan terhadap perkara pidana tersebut telah dilakukan pemisahan (splitsing) sejak proses pemeriksaan pendahuluan di tingkat penyidikan. Selain itu, munculnya dan digunakannya saksi mahkota dalam perkara pidana yang dilakukan pemisahan tersebut didasarkan pada alasan karena kurangnya alat bukti yang akan diajukan oleh Penuntut Umum. Penggunaan saksi mahkota di Indonesia masih menjadi perdebatan sampai saat ini baik dikalangan praktisi maupun akademisi, dikarenakan belum adanya kepastian hukum terkait dengan penggunaan saksi mahkota ini. Sebagian pihak berpendapat bahwa penggunaan saksi mahkota dibolehkan karena bertujuan untuk tercapainya rasa keadilan publik. Namun sebagian berpendapat, bahwa penggunaan saksi mahkota tidak dibolehkan karena bertentangan dengan hak asasi dan rasa keadilan terdakwa. Bahkan perbedaan persepsi tentang penggunaan saksi mahkota ini juga muncul dalam berbagai yurisprudensi putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia.

3 Alat bukti yang diajukan dalam

  Dari uraian tersebut diatas maka Penulis tertarik untuk mengkaji dan meneliti terkait dengan saksi mahkota ini dalam bentuk skripsi sebagai syarat kelulusan dengan judul “Kekuatan Pembuktian Saksi Mahkota dalam Persidangan Perkara Tindak Pidana Pembunuhan Berencana dengan Penyertaan (Studi PutusanNomor717/Pid.B/2015/PN.Tjk) ”. 3 4 Berdasarkan uraian pada latar belakang terkait dengan kekuatan pembuktian saksi mahkota dalam persidangan tindak pidana pembunuhan dengan penyertaan, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a.

  Bagaimanakah kedudukan saksi mahkota dalam Putusan Nomor 717/Pid.B/2015/PN.Tjk ? b. Bagaimanakah kekuatan pembuktian saksi mahkota dalam Putusan Nomor 717/Pid.B/2015/PN.Tjk ?

  Dalam penulisan penelitian ini penulis menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua jenis data yaitu data primer dan data sekunder. Analisis pada skripsi ini dilakukan secara kualitatif yaitu dengan cara mendeskripsikan, menggambarkan serta menguraikan data, baik data primer maupun sekunder yang diperoleh pada penelitian ini, yang kemudian diambil kesimpulan secara induktif.

  Pentingnya kedudukan saksi dalam proses peradilan pidana, telah dimulai sejak awal proses peradilan pidana yakni dari tingkat penyidikan oleh Kepolisian. Begitu pula dalam proses selanjutnya, ditingkat Kejaksaan sampai di Pengadilan. Berdasarkan teori pembuktian dalam hukum acara pidana, keterangan yang diberikan saksi didalam persidangan dipandang sebagai alat bukti yang penting dan paling utama. Salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan saksi yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri terjadinya tindak pidana dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana. Penegak hukum khususnya penyidik dalam mencari dan menemukan saksi yang dapat memberikan keterangan yang ia dengar, ia lihat, dan ia alami sendiri sering mengalami kesulitan seperti dalam perkara pembunuhan berencana yang dilakukan secara bersama-sama putusan nomor 717/Pid.B/2015/PN.Tjk yang menjadi objek kajian dalam penulisan skripsi ini. Apabila ditemukan masalah seperti ini biasanya penegak hukum khususnya Jaksa Penuntut Umum akan menggunakan saksi mahkota untuk memberikan keterangan dalam proses pembuktian. Persidangan dalam Hukum Pidana adalah proses peradilan yang bertujuan untuk membuktikan dakwaan penuntut umum apakah seorang terdakwa bersalah atau tidak bersalah dengan putusan hakim bebas, lepas dipidananya seseorang.

  5 Dalam perkara pembunuhan pada

  Putusan Nomor 717/Pid.B/2015/PN.Tjk tersebut Jaksa Penuntut Umum menghadirkan Saksi Mahkota yaitu Darwin Bin M. Sanusi dalam proses pembuktian. Keberadaan saksi mahkota ini tidak diatur secara tegas dalam KUHAP, namun KUHAP tidak melarang penggunaan saksi mahkota. Pengaturan mengenai saksi mahkota ini pada awalnya diatur di dalam pasal 168 KUHAP, yang prinsipnya menjelaskan bahwa pihak yang bersama-sama 5 Diah Gustiniati S.H., M.Hum., dan Dona

II. PEMBAHASAN A. Kedudukan Saksi Mahkota dalam Putusan Nomor 717 /Pid.B /2015 / PN.Tjk

  Raisa Monica, S.H., M.H., 2016, Pemidanaan dan Sistem Pemasyarakatan Baru , CV. Anugrah Utama Raharja, Bandar Lampung, sebagai terdakwa tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi. Pasal 168 KUHAP pada dasarnya tidak melarang orang yang bersama-sama diduga melakukan tindak pidana untuk menjadi saksi dalam suatu perkara pidana. Berbeda dengan status Terdakwa yang keterangannya hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri (Pasal 189 KUHAP), penggunaan keterangan Tersangka tidak diatur secara tegas dalam KUHAP. Namun seiring perkembangan zaman, keadaan yang mana seorang saksi pula menjadi tersangka atau terdakwa dalam suatu perkara pidana, dalam praktik dimungkinkan dan sering dikenal dengan istilah saksi mahkota.

  mahkota ini dapat dijadikan sebagai alat bukti saksi oleh Jaksa Penuntut Umum berdasarkan wewenangnya yang diatur dalam pasal 142 KUHAP dengan cara memisahkan berkas perkara (splitsing). Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa saksi yang sedang menjadi tersangka dalam suatu perkara pidana, yang lebih dikenal sebagai saksi mahkota, dimungkinkan di dalam praktik selama memenuhi syarat-syarat bahwa tindak pidana yang terjadi merupakan penyertaan, alat bukti yang ditemukan sangat minim khususnya alat bukti keterangan saksi yang ia lihat, dengar, dan alami sendiri yang dapat menceritakan kronologis perkara sehingga menghambat jalannya acara pembuktian, dan telah diadakan pemisahan berkas perkara (splitsing) antara terdakwa dengan saksi yang sedang menjadi tersangka tersebut. Keterangan saksi mahkota dapat dijadikan alat bukti dalam persidangan namun sedapat mungkin untuk 6 ditambahkan dengan alat bukti lainnya agar memenuhi syarat pembuktian. Dalam perkara pada putusan nomor 717/Pid.B/2015/PN.Tjk yakni pembunuhan dengan penyertaan yang dilakukan oleh beberapa orang, dengan peran masing-masing ataupun dengan adanya penyertaan sebagaimana dalam ketentuan KUHP Pasal 55, disini penuntut umum menghadirkan saksi yang notabene memberatkan (de

  charge ) diri terdakwa. Para saksi

  tersebut terdiri atas saksi, saksi korban, dan saksi mahkota (saksi yang juga menjadi terdakwa dalam kasus yang sama dengan berkas splitsing). Saksi yang dihadirkan di sini berjumlah tujuh orang dan salah satunya merupakan saksi mahkota yaitu Darwin Bin M. Sanusi. Disini dihadirkannya saksi mahkota karena dalam tindak pidana pembunuhan berencana dengan penyertaan dalam Putusan Nomor 717/Pid.B/2015/PN.Tjk, karena tidak adanya saksi yang melihat, mendengar, dan mengalami sendiri pada perkara tersebut yang dapat memberikan keterangan bagaimana pembunuhan tersebut. Sehingga dihadirkanlah saksi mahkota ini, karena pada saat kejadian perkara pembunuhan tersebut tidak adanya saksi yang melihat, mendengar, dan mengalami sendiri. Saksi korbanpun telah meninggal dunia sehingga tidak dapat dihadirkan dalam persidangan untuk dijadikan alat bukti keterangan saksi.

6 Saksi

  Dihadirkannya saksi mahkota Darwin Bin M. Sanusi disini tentunya memiliki sisi positif dan negatif. Dari sisi positifnya adalah penuntut umum dapat dengan mudah melakukan pembuktian memaparkan kronologis kejadian tindak pidana pembunuhan yang dilakukan secara bersama-sama, yang mana saksi mahkota Darwin Bin M.Sanusi merupakan salah satu dari pelaku tindak pidana tersebut. Sedangkan sisi negatif penggunaan saksi mahkota yang notabene mempunyai hubungan dengan terdakwa, maka akan saling menutupi dalam memberikan keterangan. Ditakutkan pula apabila terjadi kesepakatan antara mereka dalam memberikan keterangan, sehingga akan semakin menyulitkan penuntut umum dalam pembuktiannya. Pada intinya kesaksian yang diberikan oleh saksi mahkota Darwin Bin M. Sanusi adalah membenarkan bahwa ia dan terdakwa telah merencanakan untuk melakukan pembunuhan secara bersama-sama.

  Dan keterangan saksi mahkota dalam putusan ini telah memenuhi syarat- syarat diajukannya alat bukti saksi dan memiliki relevansi dengan alat bukti saksi lainnya untuk itulah dalam putusan hakim dalam pertimbangannya menggunakan saksi mahkota ini sebagai alat bukti dan menyamakan kedudukannya dengan alat bukti saksi lainnya.

  mahkota ini Tri Joko Sucahyo

  8

  menjelaskan kedudukan saksi mahkota dalam pembuktian Perkara pidana dalam persidangan adalah sebagai alat bukti apabila memenuhi persyaratan- persyaratan diajukannya saksi mahkota sebagai alat bukti saksi sama dengan alat-alat bukti saksi lainnya dan tentunya hal tersebut hakimlah yang menilai dan mempertimbangkan apakah saksi mahkota tersebut dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam persidangan pada perkara pidana atau tidak. Dalam putusan tersebut penggunaan saksi Darwin Bin alm M. Sanusi sebagai saksi mahkota telah memenuhi persyaratan-persyaratan dapat diajukannya saksi mahkota yang dijelaskan diatas dan kedudukannya sebagai alat bukti saksi sama dengan saksi-saksi yang lain dilihat dari pertimbangan hakim yakni sebagai alat bukti keterangan saksi.

  Selanjutnya, karena peranan saksi mahkota disamakan dengan saksi biasa, oleh karenanya sebelum saksi mahkota memberikan keterangannya maka saksi tersebut dilakukan penyumpahan sesuai aturan dari KUHAP dengan tujuan kesaksiannya nantinya dipergunakan sebagai alat bukti yang sah. Namun, karena posisi saksi mahkota ini pada saat itu juga merupakan seorang terdakwa maka biasanya hakim memberikan pemberitahuan bahwa apabila kesaksian yang diberikannya nantinya di hadapan persidangan adalah bohong atau kesaksian palsu, saksi tersebut dapat di kenakan sanksi tambahan yaitu atas kesaksian palsu yang diancam pidana dengan Pasal 242 KUHP. Kesaksian seorang terdakwa yang diangkat menjadi seorang saksi dan di dalam praktek peradilan pidana dikenal dengan istilah saksi mahkota menurut Hakim Mansur Bustami

7 Terkait dengan penggunaan saksi

  9

  dianggap sangat penting apabila sesuatu kasus tersebut memang sangat minim alat bukti seperti kasus pembunuhan berencana dengan penyertaan. Tanpa kehadiran saksi mahkota dalam proses pembuktian suatu kasus yang minim alat bukti, bisa jadi kasus tersebut tidak akan pernah terungkap karena kekurangan alat bukti dan hakim tidak dapat memutuskan perkara tersebut. 7 Lihat Putusan Nomor 717/Pid.B/2015/PN.Tjk 8 Hasil Wawancara Jaksa Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Tri Joko Sucahyo, Pada 9 Hasil Wawancara Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Mansur Bustami, Pada 20 Namun apabila dalam suatu kasus penyertaan terdapat beberapa orang saksi yang lain serta alat bukti yang lain, maka fungsi dari keterangan saksi mahkota cuma menjadi referensi bagi keyakinan hakim nantinya. Kesaksian dari saksi mahkota sendiri mempunyai bobot yang sangat tinggi dibandingkan dari keterangan saksi yang lain, hal ini disebabkan oleh karena kesaksian dari saksi mahkota ini adalah sesuatu yang dia lihat sendiri dan dia lakukan sendiri bersama rekan-rekannya. Walau kesaksiannya terasa memberatkan tersangka yang lain bahkan dia sendiri. Keterangan saksi mahkota pada dasarnya dapat diragukan, serta akan terjadi ketidakseimbangan dan saling menyudutkan antara sesama para terdakwa. Hal ini mengakibatkan ketidakfairan suatu peradilan. Namun menurut penulis dalam posisi tersebut sangat dituntut kenetralan seorang hakim memutuskan perkara yang menggunakan saksi mahkota.

  Mengingat posisi saksi mahkota penting di dalam mengungkap sebuah fakta hukum dalam proses persidangan, maka kinerja aparat penegak hukum dalam inisiatif penggunaan saksi mahkota ini sudah sangat tepat, walaupun ada yurisprudensi yang melarang penerapan saksi mahkota ini. Namun untuk melegalkan penerapannya maka penulis mengharapkan RUU KUHAP segera di sahkan agar penerapan saksi mahkota ini lebih mempunyai kepastian hukum dalam penerapan praktek peradilan pidana nantinya.

  Pembuktian dalam perkara pidana ini diperlukan peraturan perundang- undangan yang dijadikan pedoman untuk menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat.

  Terkait tentang hukum acara pidana, yang menjadi rujukan utama para penegak hukum di Indonesia yaitu Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Penulis berpendapat proses pembuktian dalam perkara pembunuhan memang bukanlah suatu hal yang mudah, karena seperti yang diketahui perkara pembunuhan ini merupakan suatu perkara yang sangat kompleks apalagi pembunuhan berencana. Sehingga dalam proses pembuktiannya kadangkala terhambat oleh kurang alat bukti, khususnya alat bukti saksi. Sebenarnya dengan dipenuhinya minimum dua alat bukti saja Hakim sudah dapat menilai suatu perkara pembunuhan telah terjadi dengan keyakinan yang didapat dari kedua alat bukti yang sah. Hal ini juga telah memenuhi pembuktian alat bukti minimum dalam KUHAP, namun dalam proses pembuktiannya terkadang Jaksa Penuntut Umum menghadirkan saksi mahkota seperti pada perkara pembunuhan pada Putusan Nomor 717/Pid.B/2015.PN.Tjk atau biasa disebut dengan terdakwa yang bersama-sama melakukan tindak pidana kemudian dijadikan saksi dalam perkara yang telah di pisah (splitsing). Disinilah perdebatan penggunaan saksi mahkota dianggap melanggar hak-hak terdakwa yang diatur dalam KUHAP dikarenakan terdakwa tidak dibebani beban pembuktian, namun hal itu dikesampingkan dengan menjadikan terdakwa menjadi saksi hal ini sering disebut dalam istilah sebagai saksi mahkota. Apabila ditinjau dari perspektif sistem

B. Kekuatan Pembuktian Saksi Mahkota dalam Putusan Nomor 717 /Pid.B /2015 /PN.Tjk

  peradilan pidana, perihal pembuktian merupakan hal yang sangat determinan bagi setiap pihak yang terlibat secara langsung dalam proses pemeriksaan perkara pidana, khususnya dalam hal menilai terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. KUHAP telah menentukan penggunaan alat bukti yang dibenarkan untuk membuktikan kesalahan terdakwa sehingga ketua sidang, penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum tidak diperkenankan menggunakan alat bukti diluar ketentuan yang sudah diatur dalam

  pasal 184 (1) KUHAP. Yang dinilai sebagai alat bukti, dan yang dibenarkan mempunyai kekuatan pembuktian hanya terbatas pada alat-alat bukti itu saja. Adapun alat bukti yang sah menurut undang-undang sesuai dengan apa yang disebut dalam pasal 184 (1) KUHAP, adalah : a.

  Keterangan Saksi, b.

  Keterangan Ahli, c. Surat, d.

  Petunjuk, e. Keterangan Terdakwa

  Menurut Dr. Erna Dewi

  10

  alat bukti keterangan saksi dalam hukum acara pidana merupakan hal yang sangat penting dan diutamakan dalam membuktikan kesalahan terdakwa, maka disini hakim harus cermat dan teliti dalam menilai alat bukti keterangan saksi ini, karena dengan alat bukti keterangan saksi ini akan lebih mengungkap peristiwanya, sebab saksi adalah mereka yang mendengar, melihat dan mengalami sendiri suatu peristiwa pidana. Tidak selamanya keterangan saksi dapat sah menjadi alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian dalam pemeriksaan di persidangan. Terkait dengan pengunaan saksi mahkota dalam perkara pembunuhan secara bersama-sama dalam putusan Nomor717/Pid.B/2015/PN.Tjk kedudukan, kekuatan pembuktiannya sama dengan saksi-saksi yang lain apabila telah memenuhi persyaratan- persyaratan yang telah disebutkan diatas. Hal ini sesuai dengan apa yang telah disampaikan Menurut Mansur Bustami

  11

  kekuatan pembuktian saksi mahkota dalam persidangan suatu tindak pidana sama dengan saksi-saksi yang lainnya, ketika keterangan saksi telah memiliki legalitas formal sebagai saksi seperti yang telah dijelaskan diatas. Dalam tindak pembunuhan berencana penggunaan saksi mahkota sangat penting dikarenakan dalam tindak pidana ini sangatlah sulit untuk mendapatkan saksi yang dapat menjelaskan kronologis dari suatu perkara karena korban dalam hal ini sudah meninggal dunia dan tentunya tidak dapat menjadi saksi untuk menjelaskan kronologis perkara dan saksi mahkota disini dipilih dihadirkan untuk menjelaskan kronologis perkara karena dialah yang melihat, mendengar dan mengalami sendiri pada saat kejadian perkara. Dalam kasus pembunuhan dengan penyertaan ini, kesaksian yang diberikan oleh Darwin Bin alm M. Sanusi yang notabenenya adalah saksi mahkota dalam perkara ini telah memenuhi unsur-unsur diatas. Dimana ia adalah dalang dibalik pembunuhan berencana dengan penyertaan tersebut. Di dalam persidangan, Darwin Bin alm M. Sanusi diperiksa sebagai saksi dan telah disumpah. Bahwa sesuai dengan 10 Akademisi Bagian Hukum Pidana Fakultas

  Hukum Universitas Lampung, Dr.Erna Dewi, Tanjung Karang, Mansur Bustami, Pada 20 11 Hasil Wawancara Hakim Pengadilan Negeri ketentuan Pasal 185 ayat (7) KUHAP, apabila seorang saksi telah berada di bawah sumpah, maka keterangannya mempunyai kekuatan pembuktian yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan, keterangan tersebut dinyatakan dalam pengadilan, saksi yang dihadirkan bukan hanya Darwin Bin M. Sanusi sebagai saksi namun dengan saksi-saksi yang lain berjumlah delapan orang yang telah di paparkan pada rumusan masalah pertama, dan keterangan saksi berdiri sendiri, serta keterangan para saksi yang dihadirkan dalam sidang pengadilan mempunyai saling hubungan atau keterkaitan serta saling menguatkan tentang kebenaran suatu keadaan atau kejadian dalam perkara pembunuhan yang dilakukan secara bersama-sama ini, Namun untuk menyatakan kekuatan alat bukti saksi yakni diserahkan sepenuhnya kepada keyakinan hakim akan dipergunakan dan dipertimbangkan atau tidak untuk dapat dijadikan alat bukti saksi yang memiliki kekuatan pembuktian, hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan M Yahya Harahap

  12

  terkait dengan kekuatan pembuktian keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah yaitu : mempunyai kekuatan pembuktian bebas dan nilai kekuatan pembuktiannya tergantung pada Hakim.

  Pada Putusan Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang dengan Nomor 717/Pid.B/2015/PN.Tjk yang mengadili tindak pidana pembunuhan secara bersama-sama yang dilakukan oleh para terdakwa, dalam pertimbangan majelis hakim pada fakta di persidangan mengakui dan menggunakan keterangan dari saksi mahkota Darwin Bin M. Sanusi sebagai alat bukti saksi hal ini telah dipaparkan pada rumusan masalah pertama.

  12 M Yahya Harahap, Loc. cit. hlm. 294. 13 ini telah memenuhi syarat untuk diperiksa sebagai saksi, dintaranya Darwin Bin alm M. sanusi adalah orang yang mengetahui kejadian pembunuhan secara bersama-sama yang dilakukan dia bersama-sama dengan terdakwa, karena ia sendiri juga terlibat dan menjadi terdakwa dalam kasus yang sama. Saat penuntut umum menghadirkan Darwin Bin M. Sanusi sebagai saksi, tidak ada keberatan dari penasihat hukum dan majelis hakim serta diperkuat dalam pertimbangan pada putusan majelis hakim menggunakan keterangannya. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka saksi mahkota ini memiliki kekuatan pembuktian sah. Dalam persidangan, saksi mahkota diambil sumpahnya terlebih dahulu sebelum ia memberikan kesaksian, sama seperti saksi yang lainnya serta memiliki relevansi keterangannya di dalam persidangan dengan alat bukti saksi yang lainnya. Berdasarkan hal tersebut keterangan yang diberikan saksi mahkota sama nilainya dengan keterangan yang saksi biasa berikan. Keterangan saksi mahkota mempunyai nilai pembuktian yang bebas, dalam artian bahwa hakim bebas menentukan kebenaran yang terkandung di dalam kesaksian tersebut dan bebas menggunakannya sebagai alat bukti.

  III. PENUTUP A. Kesimpulan

  Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana diuraikan dalam bab-bab terdahulu maka dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut: 1.

  Kedudukan saksi mahkota dalam tindak pidana pembunuhan berencana dengan penyertaan pada Putusan Nomor 717/Pid.B/PN.Tjk adalah sebagai alat bukti saksi serta

13 Penggunaan saksi mahkota

  kedudukannya sama dengan saksi- saksi yang lain berdasarkan penilaian dan pertimbangan hakim karena telah memenuhi syarat- syarat formal diajukannya saksi dalam pembuktian perkara pidana.

  2. Kekuatan pembuktian saksi mahkota dalam persidangan pembunuhan berencana dengan penyertaan adalah sebagai alat bukti yang sah dan mempunyai nilai kekuatan pembuktian dikarenakan telah memenuhi persyaratan-persyaratannya yaitu : a.

  Keterangan saksi yang diberikan harus diatas sumpah, hal ini diatur dalam pasal 160 ayat (3) KUHAP b. Keterangan saksi yang diberikan dipengadilan adalah apa yang saksi lihat sendiri, dengar sendiri dan dialami sendiri oleh saksi, hal ini diatur dalam pasal 1 angka 27 KUHAP c.

  Keterangan saksi harus diberikan disidang pengadilan, hal ini sesuai dalam pasal 185 ayat (1) KUHAP d.

  Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup, agar mempunyai kekuatan pembuktian maka keterangan seorang saksi harus ditambah dan dicukupi dengan alat bukti lain, hal ini sesuai dengan pasal 185 ayat (2) KUHAP e.

  Keterangan para saksi yang dihadirkan dalam sidang pengadilan mempunyai saling hubungan atau keterkaitan serta saling menguatkan tentang kebenaran suatu keadaan atau kejadian tertentu, hal ini sesuai dengan pasal 185 ayat 4 KUHAP

  Namun keterangan saksi mahkota ini tetap saja membutuhkan penilaian dan pertimbangan hakim untuk menentukan apakah saksi mahkota dapat dijadikan alat bukti saksi yang sah dan mempunyai nilai kekuatan pembuktian, karena saksi mahkota tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat hakim, hakim mempunyai kebebasan untuk menilainya.

  B. Saran

  Saran yang berkaitan dengan penelitian ini : Saran dalam penilitian adalah kepada pemerintah khusus pembentuk undang- undang diharapkan segera mengesahkan RUU KUHAP terkait dengan kepastian dan perlindungan hukum terhadap penggunaan saksi mahkota dalam pembuktian pidana, karena memang saksi mahkota dalam perkara-perkara tertentu sangatlah penting Dan kepada Aparat Penegak Hukum hendaknya jangan mudah dalam menggunakan saksi mahkota carilah alternatif lain dengan cara mencari alat bukti yang lain yang telah diatur dalam KUHAP. Diharapkan penggunaan saksi mahkota hanya pada kasus-kasus yang memang membutuhkan saksi mahkota seperti pada tindak pidana yang memang kekurangan alat bukti khususnya alat bukti keterangan saksi yang dapat memberikan keterangan sesuai dengan apa yang ia dengar, ia lihat, dan alami sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

  A. Literatur

  Alfitra. 2011. Hukum Pembuktian

  dalam Beracara Pidana, perdata dan Korupsi di Indonesia . Jakarta

  : Raih Asa Sukses. Budoyo, Sapto. 2008. Perlindungan

  Hukum Bagi Saksi dalam Proses

  Peradilan Pidana . Universitas Diponegoro Semarang.

  R. Soesilo. 1980. Teknik Berita Acara

  Citra aditya Bakti. Munir Fuady. 2006. Teori Hukum

  Pembuktian : Pidana dan Perdata . Bandung : Citra Aditya

  Prodjohamidjojo, Martiman. 2001.

  Sistem Pembuktian dan ALat-alat Bukti , Jakarta: Ghalia Indonesia.

  Prodjohamijojo, Martiman. 1984.

  Komentar atas KUHAP: Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana . Jakarta: Pradnya Paramitha.

  (Proses Verbal) Ilmu Bukti dan Laporan . Bogor : Politiea

  Yogyakarata: Liberty. Mulyadi, Lilik. 2007. Putusan Hakim

  Sasangka, Hari dan Rosita, Lily. 2003.

  Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana . Bandung:

  Mandar Maju. Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar

  Penelitian Hukum , Jakarta: UI- Press.

  Subekti. 2001. Hukum Pembuktian .

  Jakarta: Pradnya Paramitha. Sukanto, Soerjono. 2007. Pengantar

  dalam Hukum Acara Pidana : Teori, Praktik, Teknik Penyusunan dan Permasalahannya . Bandung :

  Jakarata : CV. Datacom. Mertokusumo, Sudikno. 2005. Hukum Acara Perdata Indonesia .

  Chazawi, Adam. 2006. Hukum

  Acara Pidana Indonesia . Jakarta : Ghana Indonesia.

  Pembuktian Tindak Pidana Korupsi , Bandung: Alumni.

  Gustiniati, Diah, dan Raisa Monica, Dona. 2016. Pemidanaan dan Sistem Pemasyarakatan Baru .

  Bandar Lampung : CV. Anugrah Utama Raharja. Gustiniati, Diah. Dan Rizki, Budi. 2014.

  Azas-azas dan Pemidanaan Hukum Pidana di Indonesia .

  Bandar Lampung : Justice Publisher. Hamzah, Andi. 2015. Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua .

  Jakarta :Sinar Grafika. Hamzah, Andi. 1985. Pengantar Hukum

  Harahap, M Yahya. 2015.

  (Suatu Ikhtisar ), Cetakan Pertama.

  Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP : Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika.

  Harahap, M Yahya. 2007. Pembahasan

  Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, Peninjauan Kembali , Edisi

  Kedua. Jakarta : Sinar Grafika. Kadir, Muhammad Abdul. 2004.

  Hukum dan Penelitian Hukum .

  Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Loqman, Loebby. 1996. Hukum Acara

  Pidana Indonesia

  Penelitian Hukum . Jakarta: UI Perss. Sunggono, Bambang. 1990. Metode . Jakarta, Ghalia

  Penelitian Hukum Indonesia.

  Sutarto, Suryono. 1991. Hukum Acara

  Pidana Jilid I . Semarang : Badan Penerbit UNDIP.

  B. Perundang-undangan

Undang-undang tentang Hukum Acara

Pidana , Undang-Undang Nomor

  8, LN Nomor 76 Tahun 1981, TLN. Nomor 3258.

  

Undang-undang tentang Peraturan

Pidana , Undang-undang Nomor 1

  Tahun 1946, LN 1958/127, TLN Nomor 1660.

  C. Sumber Lain

  Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 2347 K/Pid.Sus/2011 Surat Edaran Kejaksaan Agung RI

  Nomor B-69/E/02/1997 Perihal Pembuktian dalam Perkara Pidana

  Putusan Nomor 717/Pid.B/2015/PN.Tjk