Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan (Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP)

(1)

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.

USU Repository © 2009

IMPLEMENTASI PIDANA MATI TERHADAP

TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN

(Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP)

-SKRIPSI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008

O l e h :

JACKY O. SITUMORANG

NIM : 020200156

HUKUM PIDANA


(2)

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.

USU Repository © 2009

IMPLEMENTASI PIDANA MATI TERHADAP

TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN

(Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP)

-SKRIPSI

O l e h :

JACKY O. SITUMORANG

NIM : 020200156

HUKUM PIDANA

Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Pidana

(Abul Khair, SH, M.Hum) NIP. 131 842 854

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

(Hj. Nurmalawati, SH. M.Hum) (Rafiqah Lubis, SH, M.Hum)

NIP. 130 809 560 NIP. 132 300 076

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.

USU Repository © 2009

ABSTRAKSI

Konsep hukuman mati seringkali digambarkan sebagai sesuatu yang kejam, tidak manusiawi, dan sadis. Hal ini semata-mata hanya dilihat dari satu aspek, yaitu kemanusiaan menurut standar dunia modern, tanpa melihat alasan, maksud, tujuan, dan keefektifannya.

Dalam Pasal 340 KUHP, mengatur tentang barang siapa dengan sengaja direncanakan dahulu menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena pembunuhan direncanakan (moord), dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementera selama-lamanya dua puluh tahun.

Yang menjadi permasalahan di dalam penelitian ini adalah mengapa pidana mati masih digunakan dalam kebijakan penanggulangan kejahatan, bagaimanakah perkembangan pidana mati dalam berbagai ketentuan pidana di Indonesia dan bagaimanakah implementasi pidana mati terhadap tindak pidana pembunuhan di Indonesia.

Penelitian ini didasarkan pada penelitian hukum normatif yang dilakukan dalam upaya menganalisis data dengan mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan penerapannya di dalam masyarakat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pidana mati masih digunakan dalam kebijakan penanggulangan kejahatan karena pidana mati adalah suatu pertahanan sosial untuk menghindarkan masyarakat umum dari bencana dan bahaya ataupun ancaman kejahatan besar yang mungkin terjadi yang akan menimpa masyarakat, yang telah atau akan mengakibatkan kesengsaraan dan mengganggu ketertiban serta keamanan rakyat umum, dalam pergaulan manusia bermasyarakat dan beragama. Pengaturan pidana mati dalam berbagai ketentuan pidana di Indonesia, yaitu kejahatan-kejahatan dalam KUH Pidana (Pasal 104, Pasal 111, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 127, Pasal 140, Pasal 340, Pasal 365, dan Pasal 444) serta ketentuan yang diatur di luar KUH Pidana yaitu dalam Rancangan KUHP, undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, Undang-undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, Undang-Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Kejahatan Terorisme. Implementasi pidana mati terhadap tindak pidana pembunuhan di Indonesia dapat dilihat pada Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No. 514/Pid.B/1997/PN-LP atas, dimana Pengadilan Negeri Lubuk Pakam menjatuhkan putusan pidana mati terhadap Tumini yang telah terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan pembunuhan berencana sebagaimana diatur dalam Pasal 340 KUHP, Pasal 55 ayat (1) ke-1 dan Pasal 65 KUHP.


(4)

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.

USU Repository © 2009

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI... iv

ABSTRAKSI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

D. Keaslian Penulisan ... 6

E. Tinjauan Pustaka ... 6

F. Metode Penelitian ... 20

G. Sistematika Penulisan... 21

BAB II PIDANA MATI DALAM KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEJAHATAN ... 24

A. Sejarah Pidana Mati di Indonesia ... 24

B. Pandangan yuridis dan Kriminologi Terhadap Pidana Mati ... 28

C. Pro dan Kontra Penerapan Pidana Mati ... 31

BAB III PIDANA MATI DALAM BERBAGAI KETENTUAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA ... 36


(5)

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.

USU Repository © 2009

B. Pidana Mati Diluar KUHP ... 43

BAB IV IMPLEMENTASI PIDANA MATI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN ... 60

A. Kasus ... 60

B. Analisis Kasus ... 70

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 79

A. Kesimpulan ... 79

B. Saran ... 80

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(6)

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.

USU Repository © 2009

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah mencurahkan nikmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini penulis susun dalam rangka memenuhi tugas-tugas dan melengkapi syarat-syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan. Adapun judul yang penulis angkat adalah :

“IMPLEMENTASI PIDANA MATI TERHADAP

TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN

(Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP)

Sebagai seorang hamba Tuhan, penulis sadar benar bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, sebab lainnya adalah terbatasnya pengetahuan yang penulis miliki, sedikitnya pengalaman dan literatur-literatur yang belum menunjang judul yang penulis majuka n dalam skripsi ini.

Untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan kritik yang konstruktif guna lebih terciptanya suasana untuk mendekati kesempurnaan didalam skripsi ini.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang secara langsung ataupun yang tidak langsung telah membantu penulis dalam menyusun skripsi ini maupun selama menempuh perkuliahan, khususnya kepada :


(7)

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.

USU Repository © 2009

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Bapak Abul Khair, SH., M.Hum., selaku Ketua Jurusan Hukum Pidana di Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

3. Hj. Nurmalawati, SH. M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan

saran dan petunjuk dalam penulisan skripsi ini.

4. Ibu Rafiqah Lubis, SH. M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah

memberikan saran dan petunjuk dalam penulisan skripsi ini.

5. Seluruh staf Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan yang telah memberikan bimbingan kepada penulis dalam mengikuti perkuliahan melalui ilmu pengetahuan yang diajarkan.

Dalam menempuh perjalanan hidup yang penuh perjuangan, penulis ingin mengaturkan terima kasih yang tak terhingga pada :

1. Kedua Orang Tua Penulis yang tercinta yang telah mencurahkan kasih sayang, pengorbanan yang tak terhingga baik dimasa perkuliahan sampai selesai.

2. Saudara-saudaraku yang tercinta, serta seluruh keluarga besarku yang telah memberikan segala perhatian dan dorongan semangat serta ketulusan kasih sayang yang begitu dalam kepada penulis.

3. Rekan-rekan seangkatan Stb’02 di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Medan. Teruslah berjuang dan berkarya, semoga persahabatan kita akan tetap dan abadi.


(8)

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.

USU Repository © 2009

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu persoalan serius yang dihadapi dalam penegakan hukum pidana di Indonesia adalah seputar hukuman mati yang dianggap tidak manusiawi. Di dunia terjadi perbedaan pemahaman terhadap makna dan hakikat hukuman, terutama para ahli hukum dan praktisi hak asasi manusia (HAM). Berbagai kritik tajam diarahkan, bahkan ada gerakan abolisionis yang menentang hukuman mati.1

1. dianggap kejam dan mengerikan, yang mengingatkan kepada hukum rimba. Konsep hukuman mati seringkali digambarkan sebagai sesuatu yang kejam, tidak manusiawi, dan sadis. Hal ini semata-mata hanya dilihat dari satu aspek, yaitu kemanusiaan menurut standar dunia modern, tanpa melihat alasan, maksud, tujuan, dan keefektifannya.

Setidaknya, ada beberapa implikasi yang menyebabkan banyak para pakar hukum dan HAM, termasuk di Indonesia, menolak hukuman mati.

2. tidak mampu memberantas tindak pidana atau tidak akan mencegah seseorang untuk melakukan pembunuhan.

3. eksekusi hukuman mati bersifat abadi, tidak bisa diubah jika di kemudian hari ternyata tidak memiliki dasar yang kuat.

4. berlawanan dengan kebebasan orang (pribadi), karena hidup manusia adalah milik pribadi yang esensial dan tidak bisa diganggu oleh orang lain.2

Jika diteliti secara lebih mendalam, setiap hukuman pada hakikatnya mengandung unsur kekejaman. Sekiranya hukuman mati dihapuskan, hukuman-hukuman lain pun

1

http://sijorimandiri.net/jl/index.php?option=com_content&task=view&id=8003&Itemi= 59, Liku-liku Hukuman Mati di Indonesia, Selasa, 29 Agustus 2006.

2


(9)

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.

USU Repository © 2009

harus dihapuskan. Bukankah hukuman penjara seumur hidup dengan kerja paksa juga mengekang kebebasan dan bersifat kejam? Bagi si terpidana, bisa jadi akan lebih memilih hukuman mati ketimbang menderita seumur hidup di dalam penjara.

Tujuan hukuman, sebagaimana kecenderungan pemikiran hukum positif akhir-akhir ini, lebih berorientasi untuk mendidik dan memperbaiki si terhukum. Tetapi, bagi orang yang menghilangkan nyawa orang lain tanpa hak, menunjukkan ia tidak lagi mempertimbangkan akibat-akibat hukumnya. Apalagi, orang yang terbunuh juga memiliki hak hidup sebagaimana orang yang membunuhnya.

Dengan kata lain, setiap orang juga punya kewajiban untuk tidak menyebabkan orang lain mati. Atau, setiap orang punya hak untuk tidak dikorbankan sampai mati. Karena itu, adalah wajar jika orang yang membunuh dengan sengaja, harus dihilangkan nyawanya pula dari kehidupan masyarakat (dunia).

Di sisi lain, kekeliruan putusan hakim pada dasarnya berlaku juga bagi hukuman-hukuman lain. Misalnya, apakah seseorang yang dijatuhi hukuman-hukuman sepuluh tahun penjara, kemudian setelah menjalani hukuman tersebut ternyata ditemukan bukti-bukti baru yang menunjukkan kesalahan pada putusan hakim, maka putusan itu dapat diubah ? Yang jelas, jika ketelitian dan keadilan dapat dijalankan, maka adanya kesalahan dalam menetapkan putusan hukuman mati kemungkinannya akan sangat kecil. Tentunya, pelaksanaan hukuman mati setelah melalui proses pemeriksaan dan pembuktian yang sangat ketat dan memenuhi syarat-syarat tertentu yang dapat memberikan keyakinan kepada hakim.

Dengan kata lain, pada tiap-tiap hukuman ada dua tujuan, yaitu memberi pengajaran terhadap diri pelaku kejahatan dan menjadi pencegahan terhadap orang lain.


(10)

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.

USU Repository © 2009

Apabila hukuman mati tidak memiliki implikasi atau tidak ada nilainya bagi si terhukum, maka nilainya terletak pada kesannya terhadap orang lain sebagai pencegahan umum.

Di sinilah, sistem hukum Indonesia hendaknya tidak meninggalkan sama sekali teori pembalasan. Jika dicermati lebih mendalam, hukum di Indonesia ternyata lebih banyak berpihak kepada pelaku tindak kejahatan ketimbang berorientasi kepada kepentingan umum atau masyarakat luas, terutama pihak korban dan keluarganya. Padahal, sebagai hukum publik, hukum pidana di Indonesia seharusnya lebih berorientasi kepada perlindungan masyarakat banyak dan pihak korban, meski tidak harus mengabaikan nasib atau hak-hak pelaku kejahatan itu sendiri.

Sebenarnya tujuan dari pidana itu adalah untuk mencegah timbulnya kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan-kejahatan yang berat dan pidana mati dalam sejarah hukum pidana adalah merupakan dua komponen permasalahan yang berkaitan erat. Hal ini nampak dalam KUHP Indonesia yang mengancam kejahatan-kejahatan berat dengan pidana mati.

Waktu berjalan terus dan di pelbagai negara terjadi perubahan dan perkembangan baru. Oleh karena itu tidaklah mengherankan kalau ternyata sejarah pemidanaan dipelbagai bagian dunia mengungkapkan fakta dan data yang tidak sama mengenai permasalahan kedua komponen tersebut diatas. Dengan adanya pengungkapan fakta dan data berdasarkan penelitian sosio-kriminologis, maka harapan yang ditimbulkan pada masa lampau dengan adanya berbagai bentuk dan sifat pidana mati yang kejam agar


(11)

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.

USU Repository © 2009

kejahatan-kejahatan yang berat dapat dibasmi, dicegah atau dikurangkan, ternyata merupakan harapan hampa belaka.3

B. Permasalahan

Sejarah hukum pidana pada masa lampau mengungkapkan adanya sikap dan pendapat seolah-olah pidana mati merupakan obat yang paling mujarab terhadap kejahatan-kejahatan berat ataupun terhadap kejahatan-kejahatan lain. Dalam pada itu bukan saja pada masa lampau, sekarang pun masih ada yang melihat pidana mati sebagai obat yang paling mujarab untuk kejahatan.

Indonesia yang sedang mengadakan pembaharuan di bidang hukum pidananya, juga tidak terlepas dari persoalan pidana mati ini. Pihak pendukung dan penentang pidana mati yang jumlahnya masing-masing cukup besar, mencoba untuk tetap mempertahankan pendapatnya. Hal ini tentu saja akan membawa pengaruh bagi terbentuknya suatu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia yang baru, buatan bangsa sendiri, yang telah lama dicita-citakan.

Tertarik akan adanya fakta-fakta dari usaha yang diungkapkan diatas, maka motivasi tersebut yang mendorong penulis untuk membuat skripsi (tulisan/ karya ilmiah) dengan menampilkan judul sebagai berikut : “Implementasi Pidana Mati Terhadap

Tindak Pidana Pembunuhan (Study Kasus Putusan No.514/Pid.B/1997/PN-LP)”

1. Mengapa pidana mati masih digunakan dalam kebijakan penanggulangan kejahatan ?

3

http://makaarim.wordpress.com/2007/10/22/,


(12)

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.

USU Repository © 2009

2. Bagaimanakah perkembangan pidana mati dalam berbagai ketentuan pidana di Indonesia ?

3. Bagaimanakah implementasi pidana mati terhadap tindak pidana pembunuhan ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan dari penulisan skripsi ini adalah : 1. Untuk mengetahui tentang mengapa pidana mati masih digunakan dalam

kebijakan penanggulangan kejahatan.

2. Untuk menguraikan tentang perkembangan pidana mati dalam berbagai ketentuan pidana di Indonesia.

3. Untuk mengetahui bagaimana implementasi pidana mati terhadap tindak pidana pembunuhan.

Sedangkan manfaat penulisan skripsi ini adalah :

1. Manfaat teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sekedar sumbangan pemikiran dalam rangka perkembangan ilmu hukum pada umumnya, perkembangan Hukum Pidana dan khususnya mengenai implementasi hukuman mati dalam tindak pidana pembunuhan.

b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada pembuat undang-undang dalam menetapkan kebijaksanaan lebih lanjut sebagai upaya mengantisipasi diberikannya pidana mati dalam tindak pidana pembunuhan di Indonesia.


(13)

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.

USU Repository © 2009

2. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan dan Hakim dan pihak-pihak lainnya dalam mengantisipasi diberikannya pidana mati dalam tindak pidana pembunuhan di Indonesia.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan dan hasil penelitian baik di perpustakan skripsi yang berjudul Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan (Study

Kasus Putusan No.514/Pid.B/1997/PN-LP) ini memang sudah ada yang meneliti atau

membahas dalam bentuk disertasi, makalah, majalah, artikel, bahan-bahan diskusi, seminar dan lokakarya, namun dengan pokok permasalahan yang berbeda. Oleh karena itu maka dapat dianggap penulisan skripsi ini memiliki keaslian.

Apabila ditemukan ada skripsi yang berjudul dengan permasalahan yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya.

E. Tinjauan Pustaka

Pengertian pemidanaan dan jenis-jenis pidana

Pemidanaan berasal dari kata “pidana” yang sering diartikan pula dengan hukuman. Jadi pemidanaan dapat pula diartikan dengan penghukuman.4

4

Djoko Prakoso dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas Pidana Mati Di Indonesia Dewasa Ini, (Jakarta: Ghalia Indonesia), 1983, hal. 13.


(14)

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.

USU Repository © 2009

Pemidanaan atau pengenaan pidana berhubungan erat dengan kehidupan seseorang di dalam masyarakat, terutama apabila menyangkut kepentingan benda hukum yang paling berharga bagi kehidupan di masyarakat, yaitu nyawa dan kemerdekaan atau kebebasan.

Menurut Sudarto,

“Pidana tidak hanya enak dirasa pada waktu dijalani, tetapi sesudah orang yang dikenai itu masih merasakan akibatnya yang berupa ‘cap’ oleh masyarakat, bahwa ia pernah berbuat jahat. Cap ini dalam ilmu pengetahuan disebut ‘stigma’. Jadi orang tersebut mendapat stigma, dan kalau ini tidak hilang, maka ia seolah-olah dipidana seumur hidup.5

Menurut R. Soesilo, yang dimaksud dengan hukuman adalah suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar undang-undang hukum pidana.

Pemberian pidana dalam arti umum merupakan bidang dari pembentuk undang-undang karena asas legalitas, yang berasal dari zaman Aungklarung, yang singkatnya berbunyi : nullum crimen, nulla poena, sine preavia lege (penali). Jadi untuk mengenakan poena atau pidana diperlukan undang-undang (pidana) terlebih dahulu. Pembentuk undang-undanglah yang menetapkan peraturan tentang pidananya, tidak hanya tentang crimen atau delictum-nya, ialah tentang perbuatan mana yang dapat dikenakan pidana.

6

Menurut Chainur Arrasjid, hukuman (sanksi) artinya berupa penderitaan atau nestapa yang dijatuhkan pada setiap pelaku kejahatan yang telah melanggar norma-norma atau kaedah-kaedah yang berlaku dilingkungan suatu masyarakat.7

5

Sudarto (1), Masalah-Masalah Hukum Nomor 11/1973, dikeluarkan oleh Fakultas Hukum UNDIP Semarang, hal. 22-23.

6

R. Soesilo (1), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentar Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor : Politea), 1994, hal. 35.


(15)

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.

USU Repository © 2009

Sanksi secara umum dibagi atas 2, yaitu : 1. Sanksi pidana

2. Sanksi di luar pidana Ad.1. Sanksi Pidana

Sanksi Pidana, khususnya Indonesia, pembicaraannya harus meliputi KUHP dan perundang-undangan lainnya yang terdapat diluar KUHP. Di sini harus jelas perbuatan-perbuatan apa yang telah melanggar ketentuan hukum pidana, serta dapat dikenakan sanksi pidana dan bentuk hukuman apa yang akan dapat dijatuhkan bagi sipelanggar. Atau dengan kata lain harus ada mesti ada perbuatan yang diancam oleh hukum pidana, serta reaksi apa yang dapat dikenakan kepadanya.

Mengenai reaksi-reaksi atau sanksi pidana, di dalam Pasal 10 KUHP dapat berupa :

a. Pidana pokok, terdiri dari : 1. Pidana mati

2. Pidana penjara 3. Pidana kurungan 4. Pidana denda 5. Pidana tutupan

b. Pidana tambahan, terdiri dari : 1. Pencabutan hak-hak tertentu 2. Perampasan barang-barang tertentu 3. Pengumuman putusan hakim.

Mengenai sanksi pidana ini, haruslah berpegang pada Pasal 1 ayat 1 KUHP (yang pertama kali diperkenalkan olah Anselm Von Feuerbach yang disebut dengan “azas

nullum delictum nula poena sine praevia lege poenali”), yang berbunyi :

7

Chainur Arrasjid (1), Sepintas Lintas Tentang Kriminil, (Medan: Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU), 1999, hal. 44


(16)

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.

USU Repository © 2009

“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana dan/atau dikenakan tindakan, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya”.

Ad.2. Sanksi di luar pidana

Sanksi di luar pidana pada sifatnya sama dengan sanksi pidana. Persamaannya terletak ada adanya sifat yang sama, yakni mempunyai latar belakang yang berada pada tata nilai di dalam lingkungan masyarakat tertentu. Tata nilai itu selalu mengalami perobahan; ada yang bersifat lokal, regional dan dapat juga yang bersifat universal atau global.

Perubahan tata nilai tersebut sangat dikaitkan dengan perobahan sosial dari suatu masyarakat disebabkan faktor-faktor tertentu dan dapat saja membuka kemungkinan tata nilainya berobah dan hal ini mempunyai pengaruh terhadap hukum yang berlaku. Jadi disini terlihat adanya keterkaitan antara hukum dan perobahan sosial.

Sanksi di luar pidana, misalnya hukum adat yang masih dibenarkan dan diperlakukan, serta kebiasaan-kebiasaan disebabkan perobahan tata nilai lainnya yang sering diperlakukan oleh kalangan masyarakat.

Syarat-syarat pemidanaan

Ada pendapat, seperti yang dikemukakan oleh Von Feuerbach, bahwa pada hakikatnya ancaman pidana mempunyai suatu akibat psikologis yang menghendaki orang


(17)

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.

USU Repository © 2009

itu tertib,8

“Syarat pertama untuk memungkinkan adanya penjatuhan pidana ialah adanya perbuatan (manusia) yang memenuhi rumusan delik dalam undang-undang. Ini adalah konsekuensi dari asas legalitas. Rumusan delik ini penting artinya sebagai prinsip kepastian. Undang-undang pidana sifatnya harus pasti. Didalamnya harus dapat diketahui dengan pasti apa yang dilarang atau apa yang diperintahkan”.

berhubung pidana itu merupakan sesuatu yang dirasakan tidak enak bagi terpidana. Oleh karena itu, dtentukan syarat-syarat atau ukuran-ukuran pemidanaan baik yang menyangkut segi perbuatan maupun yang menyangkut segi orang atau si pelaku.

Pada segi perbuatan dipakai asas legalitas dan pada segi orang dipakai asas kesalahan. Asas legalitas menghendaki tidak hanya adanya ketentuan-ketentuan yang pasti tentang perbuatan yang bagaimana dapat dipidana, tetapi juga menghendaki ketentuan atau batas yang pasti tentang pidana yang dapat dijatuhkan. Asas kesalahan menghendaki agar hanya orang-orang yang benar-benar bersalah sajalah yang dapat dipidana, tiada pidana tanpa kesalahan. Dalam hal ini Sudarto mengemukakan,

9

Keadilan memang terletak di dalam rasa, sehingga akan dirasakan berbeda-beda menurut rasa keadilan masing-masing pihak. Oleh karena itu, harus ada ukuran-ukuran yang seharusnya dapat diterima oleh semua pihak, yaitu ukuran-ukuran yang dapat menyeimbangkan antara tuntutan-tuntutan keadilan menurut kepentingan perseorangan atau terdakwa maupun kepentingan masyarakat. Keadilan berdasarkan keseimbangan Selanjutnya mengenai masalah yang menyangkut asas kesalahan adalah dapat diterapkan bahwa pemidanaan yang berdasar adanya kesalahan, erat sekali hubungannya dengan keadilan. Akan dirasakan tidak atau kurang adil, apabila seseorang yang tidak bersalah sama sekali, dijatuhi pidana walau betapa ringannya pidana yang dijatuhkan.

8

Sudarto (2), Hukum Pidana Jilid IA, dikeluarkan oleh Fakultas Hukum UNDIP, (Semarang), 1971, hal. 1.

9


(18)

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.

USU Repository © 2009

yang demikian itu, kiranya sesuai dengan hakikat dan ideologi negara Indonesia Pancasila.

Tujuan pemidanaan

Menentukan tujuan pemidanaan menjadi persoalan yang cukup dilematis, terutama dalam menentukan apakah pemidanaan ditujukan untuk melakukan pembalasan atas tindak pidana yang terjadi atau merupakan tujuan yang layak dari proses pidana adalah pencegahan tingkah laku yang anti sosial. Menentukan titik temu dari dua pandangan tersebut jika tidak berhasil dilakukan memerlukan formulasi baru dalam sistem atau tujuan pemidanaan dalam hukum pidana. Pemidanaan mempunyai beberapa tujuan yang bisa diklasifikasikan berdasarkan teori-teori tentang pemidanaan. Teori tentang tujuan pemidanaan yang berkisar pada perbedaan hakekat ide dasar tentang pemidanaan dapat dilihat dari beberapa pandangan.

Herbert L. Packer menyatakan bahwa ada dua pandangan konseptual yang masing-masing mempunyai implikasi moral yang berbeda satu sama lain, yakni pandangan retributif (retributive view) dan pandangan utilitarian (utilitarian view).10

Pandangan retributif mengandaikan pemidanaan sebagai ganjaran negatif terhadap perilaku menyimpang yang dilakukan oleh warga masyarakat sehingga pandangan ini melihat pemindanaan hanya sebagai pembalasan terhadap kesalahan yang dilakukan atas dasar tanggung jawab moralnya masing-masing. Pandangan ini dikatakan bersifat melihat ke belakang (backward-looking). Pandangan untilitarian melihat pemidanaan dari segi manfaat atau kegunaannya dimana yang dilihat adalah situasi atau

10

ELSAM, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan Dalam Rancangan KUHP 2005, Position Paper Advokasi RUU Seri #3, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat ELSAM, 2005, hal. 10.


(19)

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.

USU Repository © 2009

keadaan yang ingin dihasilkan dengan dijatuhkannya pidana itu. Di satu pihak, pemidanaan dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana dan di pihak lain pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain dari kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa. Pandangan ini dikatakan berorientasi ke depan (forward-looking) dan sekaligus mempunyai sifat pencegahan (detterence).11

Sementara Muladi membagi teori-teori tentang tujuan pemidanaan menjadi 3 (tiga) kelompok yakni :12

a. Teori absolut (retributif)

Teori absolut memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan sehingga berorientasi pada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori ini mengedepankan bahwa sanksi dalam hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan sesuatu kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga sanksi bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan.

b. Teori teleologis

Teori teleologis (tujuan) memandang bahwa pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku tetapi sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat. Sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan, maka bukan bertujuan untuk pemuasan absolut atas keadilan.

c. Teori retributif teleologis.

Teori retributif-teleologis memandang bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural, karena menggabungkan antara prinsip-prinsip teleologis (tujuan) dan retributif sebagai satu kesatuan. Teori ini bercorak ganda, dimana pemidanaan mengandung karakter retributif sejauh pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab tindakan yang salah. Sedangkan karakter teleologisnya terletak pada ide bahwa tujuan kritik moral tersebut ialah suatu reformasi atau perubahan perilaku terpidana di kemudian hari.

Pandangan teori ini menganjurkan adanya kemungkinan untuk mengadakan artikulasi terhadap teori pemidanaan yang mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus retribution yang bersifat utilitarian dimana pencegahan dan sekaligus rehabilitasi yang kesemuanya dilihat sebagai sasaran yang harus dicapai oleh suatu rencana pemidanaan. Karena tujuannya bersifat integratif, maka perangkat tujuan pemidanaan adalah :

11

Ibid,

12


(20)

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.

USU Repository © 2009

a) Pencegahan umum dan khusus; b) Perlindungan masyarakat;

c) Memelihara solidaritas masyarakat

d) Pengimbalan/pengimbangan. Mengenai tujuan, maka yang merupakan titik berat sifatnya kasuistis.

Perkembangan teori tentang pemidanaan selalu mengalami pasang surut dalam perkembangannya. Teori pemidanaan yang bertujuan rehabilitasi telah dikritik karena didasarkan pada keyakinan bahwa tujuan rehabilitasi tidak dapat berjalan. Pada tahun 1970-an telah terdengar tekanan-tekanan bahwa treatment terhadap rehabilitasi tidak berhasil serta indeterminate sentence tidak diberikan dengan tepat tanpa garis-garis pedoman.

Terhadap tekanan atas tujuan rehabilitasi lahir “Model Keadilan” sebagai justifikasi modern untuk pemidanaan yang dikemukakan oleh Sue Titus Reid. Model keadilan yang dikenal juga dengan pendekatan keadilan atau model ganjaran setimpal (just desert model) yang didasarkan pada dua teori tentang tujuan pemidanaan, yaitu pencegahan (prevention) dan retribusi (retribution).13

Dasar retribusi dalam just desert model menganggap bahwa pelanggar akan dinilai dengan sanksi yang patut diterima oleh mereka mengingat kejahatan-kejahatan yang telah dilakukannya, sanksi yang tepat akan mencegah para kriminal melakukan tindakan-tindakan kejahatan lagi dan mencegah orang-orang lain melakukan kejahatan.14

Dengan skema just desert ini, pelaku dengan kejahatan yang sama akan menerima penghukuman yang sama, dan pelaku kejahatan yang lebih serius akan mendapatkan hukuman yang lebih keras daripada pelaku kejahatan yang lebih ringan. Terdapat dua hal

13

Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), 2003, hal. 61

14

Sue Titus Reid, Criminal Justice, Procedur and Issues, West Publising Company, New York, 1987, hal. 352. Dalam Sholehuddin, Ibid, hal. 62


(21)

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.

USU Repository © 2009

yang menjadi kritik dari teori just desert ini, yaitu: Pertama, karena desert theories menempatkan secara utama menekankan pada keterkaitan antara hukuman yang layak dengan tingkat kejahatan, dengan kepentingan memperlakukan kasus seperti itu, teori ini mengabaikan perbedaan-perbedaan yang relevan lainnya antara para pelaku, seperti latar belakang pribadi pelaku dan dampak penghukuman kepada pelaku dan keluarganya dan dengan demikian seringkali memperlakukan kasus yang tidak sama dengan cara yang sama. Kedua, secara keseluruhan, tapi eksklusif, menekankan pada pedomanpedoman pembeda dari kejahatan dan catatan kejahatan mempengaruhi psikologi dari penghukuman dan pihak yang menghukum.15

Di samping just desert model juga terdapat model lain yaitu restorative justice

model yang seringkali dihadapkan pada retributive justice model. Van Ness menyatakan

bahwa landasan restorative juctice theory dapat diringkaskan dalam beberapa karakteristik :16

a. Crime is primarily conflict between individuals resulting in injuries to victims, communities and the offenders themself; only secondary is it lawbreaking.

b. The overarching aim of the criminal justice process should be to reconcile parties while repairing the injuries caused by crimes.

c. The criminal justice process should facilitate active participation by victims, offenders and their communities. It should not be dominated by goverment to the exclusion of others.

Secara lebih rinci Muladi menyatakan bahwa restorative justice model mempunyai beberapa karakteristik yaitu :17

a. Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seorang terhadap orang lain dan diakui sebagai konflik;

15

ELSAM, Op.Cit, hal. 12

16

Ibid,

17

Muladi (2), Kapita Selekta Hukum Pidana, (Badan Penerbit Universitas Diponegoro,, Semarang), 1995, hal. 127-129.


(22)

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.

USU Repository © 2009

b. Titik perhatian pada pemecahan masalah pertanggungjawaban dan kewajiban pada masa depan;

c. Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi;

d. Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan restorasi sebagai tujuan utama;

e. Keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan hak, dinilai atas dasar hasil; f. Sasaran perhatian pada perbaikan kerugian sosial;

g. Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses restoratif;

h. Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui, baik dalam masalah maupun penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korban. Pelaku tindak pidana didorong untuk bertanggung jawab;

i. Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman terhadap perbuatan dan untuk membantu memutuskan yang terbaik;

j. Tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh, moral, sosial dan ekonomis; dan

k. Stigma dapat dihapus melalui tindakan restoratif.

Restorative justice model diajukan oleh kaum abolisionis yang melakuka n

penolakan terhadap sarana koersif yang berupa sarana penal dan diganti dengan sarana reparatif.18

Paham abolisionis menganggap sistem peradilan pidana mengandung masalah atau cacat struktural sehingga secara relatistis harus dirubah dasar-dasar sruktur dari sistem tersebut. Dalam konteks sistem sanksi pidana, nilai-nilai yang melandasi paham abolisionis masih masuk akal untuk mencari alternatif sanksi yang lebih layak dan efektif daripada lembaga seperti penjara.

19

Restorative justice menempatkan nilai yang lebih tinggi dalam keterlibatan yang

langsung dari para pihak. Korban mampu untuk mengembalikan unsur kontrol, sementara pelaku didorong untuk memikul tanggung jawab sebagai sebuah langkah dalam memperbaiki kesalahan yang disebabkan oleh tindak kejahatan dan dalam membangun

18

Muladi (3), Kapita Selekta Hukum Pidana, (Badan Penerbit Universitas Diponegoro,, Semarang), 1996, hal. 125.

19

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Prespektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, (Bandung: Binacipta), 1996, hal. 101.


(23)

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.

USU Repository © 2009

sistem nilai sosialnya. Keterlibatan komunitas secara aktif memperkuat komunitas itu sendiri dan mengikat komunitas akan nilai-nilai untuk menghormati dan rasa saling mengasihi antar sesama. Peranan pemerintah secara substansial berkurang dalam memonopoli proses peradilan sekarang ini. Restorative justice membutuhkan usaha-usaha yang kooperatif dari komunitas dan pemerintah untuk menciptakan sebuah kondisi dimana korban dan pelaku dapat merekonsiliasikan konflik mereka dan memperbaiki luka-luka mereka.

Restorative justice mengembalikan konflik kepada pihak-pihak yang paling

terkenal pengaruh korban, pelaku dan “kepentingan komunitas” mereka -- dan memberikan keutamaan pada kepentingan-kepentingan mereka. Restorative justice juga menekankan pada hak asasi manusia dan kebutuhan untuk mengenali dampak dari ketidakadilan sosial dan dalam cara-cara yang sederhana untuk mengembalikan mereka daripada secara sederhana memberikan pelaku keadilan formal atau hukum dan korban tidak mendapatkan keadilan apapun. Kemudian restorative justice juga mengupayakan untuk merestore keamanan korban, penghormatan pribadi, martabat, dan yang lebih penting adalah sense of control.

Kebijakan penanggulangan kejahatan

Masalah kejahatan merupakan suatu problem sosial yang sering tejadi dalam kehidupan sehari-hari tanpa melihat klasifikasi dan status sosial dari orang-orang yang melakukannya. Oleh karena itu istilah kejahatan sudah menjadi istilah yang tidak asing lagi bagi masyarakat karena kejahatan merupakan suatu prilaku yang menyimpang, suatu tindakan yang sifatnya negatif. Namun apakah yang dimaksud dengan kejahatan itu ternyata tidak ada pendapat yang seragam. Hal ini disebabkan oleh karena perbuatan jahat bersumber dari alam nilai, tentu penafsiran yang diberikan kepada perbuatan atau tingkah laku tersebut sangat relatif sekali. Kerelatifannya terletak kepada penilaian yang diberikan oleh masyarakat dimana


(24)

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.

USU Repository © 2009

perbuatan tersebut terwujud.20 a. W.A. Bonger

Para sarjana telah memberikan pengertian terhadap kejahatan di antaranya adalah sebagai berikut:

“Kejahatan adalah perbuatan yang sangat anti sosial yang memperoleh tentangan dengan sadar dari negara berupa pemberian penderitaan (hukuman atau tindakan)”.21 b. Paul Mudikdo Moeliono

“Kejahatan adalah pelanggaran norma hukum yang ditafsirkan atau patut ditafsirkan sebagai perbuatan yang merugikan, menjengkelkan, dan tidak boleh dibiarkan”.22 c. Frank Tannembaum

“Kejahatan merupakan problema manusia, oleh karena itu dimana ada manusia pasti ada kejahatan. “crime is eternal-as eternal as society”.23

d. JE. Sahetapy dan B. Mardjono Reksodipuco

“Kejahatan adalah setiap perbuatan (termasuk kelalaian), yang dilarang oleh hukum publik untuk melindungi masyarakat dan diberi sanksi berupa pidana oleh negara. Perbuatan tersebut diberi hukuman pidana karena melanggar norma-norma sosial masyarakat yaitu harapan masyarakat mengenai tingkah laku, yang patut dari seorang warga negaranya”.24

20

Gerson W. Bawengan., Pengantar Psikologi Kriminil, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita), 1991, hal. 7

21

W.A. Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, (Bandung: Penerbit PT. Pembangunan Ghalia Indonesia), 1982, hal. 25

22

Paul Mudikdo Moeliono, dikutip oleh Soedjono D., Penanggulangan Kejahatan, (Bandung: Alumni), 1983, hal. 18

23

Made Darma Weda., Kriminologi, (Jakarta: Penerbit PT. Raja Grafindo Persada), 1996, hal. 11.

24


(25)

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.

USU Repository © 2009

Kata kejahatan menurut pengertian sehari-hari adalah tingkah laku atau perbuatan yang jahat yang tiap-tiap orang dapat merasakannya bahwa itu jahat, seperti pembunuhan, penganiayaan, penipuan dan lain sebagainya dilakukan oleh manusia.25

1. Pengertian kejahatan ditinjau dari segi yuridis

Dalam ilmu hukum pidana kejahatan dikenal dengan banyak istilah. Kejahatan dikenal juga dengan istilah delik, peristiwa pidana, tindak pidana, criminal act dan lain-lainnya.

Terlepas dari berbagai pengertian tentang kejahatan tersebut, pada prinsipnya pengertian kejahatan itu dapat ditinjau dari tiga segi, yaitu:

2. Pengertian kejahatan ditinjau dari segi sosiologis 3. Pengertian kejahatan ditinjau dari segi psikologis

Kejahatan ditinjau dari segi yuridis merupakan jenis-jenis kejahatan yang sudah difinitif. Maksudnya telah ditentukan secara tertentu dalam suatu ketentuan undang-undang bahwa perbuatan jenis-jenis tertentu dianggap suatu perbuatan jahat.26

Hal ini berarti dalam pengertian yuridis yang termasuk kejahatan itu hanya terbatas pada perbuatan-perbuatan baik itu yang bertentangan dengan moral kemanusiaan maupun yang merugikan masyarakat yang telah dirumuskan secara tegas dalam perundang-undangan saja. Dengan kata lain secara yuridis seseorang baru dapat dikatakan telah melakukan kejahatan apabila perbuatan yang dilakukannya secara nyata telah sesuai dengan KUHP, dan memenuhi unsur-unsur pasal tertentu yang mengatur sanksi terhadap perbuatan pelaku tersebut.

25

R. Soesilo (2), Kriminologi (Pengetahuan Tentang Sebab Kejahatan), (Bogor: Penerbit Politeia), 1985, hal. 11

26

Chainur Arrasyid (2), Pengantar Psikologi Kriminal, (Jakarta: Penerbit Yani Tri Pratiwi), 1996, hal. 61


(26)

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.

USU Repository © 2009

Pengertian kejahatan ditinjau dari segi sosiologis ini sifatnya lebih luas daripada pengertian kejahatan secara yuridis. Sebab tidak hanya menekankan pada adanya pelanggaran hukum pidana yang berlaku, tetapi juga memperhatikan faktor-faktor di luar hukum dimana termasuk juga sebagai kejahatan segala tingkah laku manusia walaupun tidak atau belum ditentukan dalam undang-undang. Tetapi pada hakekatnya warga masyarakat merasa perbuatan atau tingkah laku tersebut secara ekonomis maupun psikologis menyerang rasa aman dan merugikan masyarakat serta melukai perasaan sosial dalam kehidupan bermasyarakat.

Pengertian kejahatan ditinjau dari segi sosiologis dapat pula diartikan pengertian kejahatan secara praktis.27

Kejahatan yang merupakan gejala sosial dipandang dari segi sosiologis sangat tergantung pada situasi dan kondisi dalam suatu masyarakat tertentu dimana perbuatan itu telah terjadi, atau dengan kata lain pergeseran-pergeseran sosial budaya menimbulkan pergeseran-pergeseran terhadap nilai-nilai perbuatan yang ada hubungannya dengan perbuatan-perbuatan yang merugikan gejala sosial tersebut.28

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

27

Ibid, hal. 60

28


(27)

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.

USU Repository © 2009

Penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini merupakan penelitian hukum normatif (yuridis normative), yaitu Penelitian Hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder, berupa hukum positif dan bagaimana penerapannya dalam praktik di Indonesia.

2. Data dan Sumber Data

Data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari :

1) Bahan hukum primer yaitu ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat, baik peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah Republik Indonesia maupun peraturan yang diterbitkan oleh negara lain dan badan-badan internasional.

2) Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan hukum primer.

3) Bahan hukum tertier yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan informasi dan penjelasan mengenai bahan hukum primer dan sekunder.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library

research) untuk memperoleh berbagai literatur dan perundang-undangan yang

berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi. Penelitian juga dilakukan dengan mempelajari Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam.


(28)

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.

USU Repository © 2009

Metode analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis kualitatif. Dengan demikian akan merupakan analisis data tanpa mempergunakan rumus atau statistik.

G. Sistematika Penulisan Bab I Pendahuluan

Pada bab ini, akan diuraikan tentang latar belakang; permasalahan; tujuan dan manfaat penelitian; keaslian penulisan; tinjauan pustaka yang terdiri dari pengertian pemidanaan dan jenis-jenis pidana, syarat-syarat pemidanaan, tujuan pemidanaan dan kebijakan penanggulangan kejahatan; metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II Pidana Mati Dalam Kebijakan Penanggulangan Kejahatan

Pada bab ini akan diuraikan tentang sejarah pidana mati di Indonesia, pandangan yuridis dan kriminologi terhadap pidana mati serta pro dan kontra penerapan pidana mati.

Bab III Pidana mati dalam berbagai ketentuan pidana Di Indonesia

Pada bab ini akan diuraikan tentang pengaturan pidana mati baik yang diatur dalam KUHP maupun yang diatur di luar KUHP (ketentuan dalam RUU KUHP dan peraturan perundang-undangan).


(29)

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.

USU Repository © 2009

Dalam bab ini akan diberikan gambaran satu kasus yang berisikan Putusan yang dikeluarkan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No. 514/Pid.B/1997/PN-LP dan akan diberikan analisa terhadap putusan tersebut.

Bab V Kesimpulan Dan Saran

Bab ini merupakan penutup dari rangkaian uraian yang berada di dalam penelitian ini yang berupa kesimpulan dan penulis mencoba memberikan beberapa saran yang berkaitan dengan permasalahan kepada pihak-pihak yang terkait.

BAB II


(30)

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.

USU Repository © 2009

Pidana mati adalah pidana yang terberat, karena pelaksanaannya berupa penyerangan terhadap hak hidup bagi manusia, yang sesungguhnya hak ini hanya berada ditangan Tuhan, maka tidak heran sejak dulu sampai sekarang menimbulkan pendapat pro dan kontra, bergantung dari kepentingan dan cara memandang pidana mati itu sendiri.

Selain itu, kelemahan dan keberatan pidana mati ini ialaj apabila telah dijalankan, maka tidak dapat memberi harapan lagi untuk perbaikan, baik revisi atas jenis pidananya maupun perbaikan atas diri terpidananya, apabila kemudian ternyata penjatuhan pidana itu terdapat kekeliruan, baik kekeliruan terhadap orang atau pembuatnya/petindaknya, maupun kekeliruan atas tindak pidana yang mengakibatkan pidana mati itu dijatuhkan dan dijalankan atau juga kekeliruan atas kesalahan terpidana.

Sejarah Pidana Mati di Indonesia

Menyadari akan keberadaan pidana mati sebagai pidana yang mempunyai sifat yang demikian, maka di Negeri Belanda sendiri (tempat asalnya KUHP) sejak tahun 1870 tidak lagi mengenal pidana mati, karena pidana mati telah dihapuskan dari WvS nya, kecuali masih dipertahankan dalam hukum pidana militernya. Di Hindia Belanda (negara jajahannya) pada saat diberlakukannya WvS voor Nederlandsch Indie (KUHP sekarang) tanggal 1 Januari 1918 pidana mati dicantumkan didalamnya, dan setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, melalui pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 pidana mati tetap dipertahankan sampai kini, bahkan dalam Rancangan KUHP yang terbaru (1992, yang dalam 1999/2000 telah direvisi) juga masih dikenal pidana mati, walaupun tidak disebutkan sebagai salah satu jensi pidana dalam kelompok pidana pokok, melainkan dikategorikan sebagai pidana yang bersifat khusus dan selalu bersifat alternatif.


(31)

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.

USU Repository © 2009

Adapun dasar Pemerintah Hindia Belanda tetap mempertahankan pidana mati di Hindia Belanda, ialah :

a. Kemungkinan perbuatan-perbuatan yang mengancam kepentingan hukum disini jauh lebih besar daripada di Negeri Belanda mengingat negeri ini wilayahnya sangat luas dengan penduduk yang terdiri dari pelbagai suku dan golongan dengan adat dan tradisi yang berbeda, yang keadaan ini sangat potensial menimbulkan perselisihan, bentrokan yang tajam dan kekacauan yang besar dikalangan masyarakat.

b. Sedangkan alat perlengkapan keamanan yang dimiliki oleh Pemerintah Hindia Belanda adalah sangat kurang atau tidak sesempurna dan selengkap seperti di Negeri Belanda.29

Sebetulnya Pembentuk UU pada saat itu telah menyadari akan sifat pidana mati sebagaimana yang telah diutarakan tersebut di atas. Oleh karena itulah, maka walaupun pidana mati dicantumkan dalam UU, namun harus dipandang sebagai tindakan darurat atau noodrecht, tiada lain maksudnya adalah agar pidana mati hanya dijatuhkan pada keadaan-keadan tertentu yang khusus yang dipandang sangat mendesak saja. Oleh karena itu dalam KUHP, kejahatan-kejahatan yang diancam dengan pidana mati hanyalah pada kejahatan-kejahatan yang dipandang sangat berat saja, yang jumlahnya juga sangat terbatas, seperti :

a. Kejahatan-kejahatan yang mengancam keamanan negara (Pasal 104, 111 ayat 2, 124 ayat 3 jo 129);

b. Kejahatan-kejahatan pembunuhan terhadap orang tertentu dan atau dilakukan dengan faktor-faktor pemberat, misalnya: Pasal 140 (3), 340 ;

c. Kejahatan terhadap harta benda yang disertai unsur/faktor yang sangat memberatkan (Pasal 365 ayat 4, 368 ayat 2);

d. Kejahatan-kejahatan pembajakan laut, sungai dan pantai (Pasal 444).30

29

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1 (Stelsel Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana), (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada), 2002, hal.30.

30


(32)

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.

USU Repository © 2009

Di samping itu, sesungguhnya Pembentuk KUHP sendiri telah memberikan suatu isyarat bahwa pidana mati tidak dengan mudah dijatuhkan, menggunakan upaya pidana mati harus sangat hati-hati, tidak boleh gegabah. Isyarat itu adalah bahwa, bagi setiap kejahatan yang diancam dengan pidana mati, selalu diancamkan juga pidana alternatifnya, ialah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara waktu setinggi-tingginya 20 tahun. Misalnya: Pasal 365 (4), 340, 104, 368 (2) jo 365 (4) dan lain-lain.

Dengan disediakannya pidana alternatifnya, maka bagi hakim tidak selalu harus menjatuhkan pidana mati bagi kejahatan-kejahatan yang diancam dengan pidana mati tersebut. Berdasarkan kebebasan hakim maka ia bebas dalam memilih apakah akan menjatuhkan pidana penjara seumur hidup ataupun penjara sementara waktu, begitu juga mengenai berat ringannya apabila hakim memilih pidana penjara sementara, bergantung dari banyak faktor yang dipertimbangkan dalam peristiwa kejahatan yang terjadi secara konkrit.

Pembentuk UU dalam menetapkan adanya pidana alternatif bagi setiap pidana mati yang diancamkan dalam rumusan kejahatan, dengan pertimbangan bahwa bagi setiap tindak pidana yang diancam dengan pidana mati tersebut, dapat saja terjadi dalam keadaan-keadaan tertentu dan atau didorong oleh faktor-faktor tertentu yang bersifat meringankan. Sehingga jika menurut rasa keadilan hakim tidak patut untuk dipidana mati, maka ia dapat menjatuhkan pidana lain sebagai alternatifnya.


(33)

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.

USU Repository © 2009

“Pidana mati dijalankan oleh algojo di tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri.”

Menurut R. Soesilo, pelaksanaan hukuman mati tersebut tidak lagi sesuai dengan perkembangan dan jiwa negara Indonesia lagi. Lebih lanjut beliau mengemukakan :

Karena ketentuan tentang pelaksanaan pidana mati sebagaimana tersebut dalam Pasal 11 ini tidak sesuai dengan perkembangan keadaan serta jiwa revolusi Indonesia, maka dengan Penpres No.2/1964 pelaksanaan pidana mati dilakukan dengan ditembak sampai mati disuatu tempat dalam daerah hukum Pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama, dengan ketentuan-ketentuan antara lain sebagai berikut :

1. Waktu dan tempat pelaksanaannya ditentukan oleh Kepala Polisi Komisariat Daerah tempat kedudukan Pengadilan tersebut, setelah mendengar nasehat dari Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggung jawab untuk pelaksanaan pidana mati itu. 2. Kepala Polisi Komisariat atau perwira yang ditunjuk olehnya bersama-sama

dengan Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggung jawab, juga pembela/ pengacara terhukum atas permintaannya sendiri atau permintaan terhukum, menghadiri pelaksanaan pidana mati itu

3. Terhukum diberitahukan tentang akan dilaksanakan pidana mati itu oleh Jaksa Tinggi/Jaksa tiga kali dua puluh empat jam sebelumnya saat pelaksanan, dan pada terhukum diberikan kesempatan untuk mengemukakan sesuatu keterangan atau pesanan pada hari-hari terakhir. Apabila terhukum adalah seorang wanita sedang hamil maka pelaksanaan pidana mati baru dilakukan empat puluh hari setelah anaknya dilahirkan.

4. Untuk pelaksanaan pidana mati itu Kepala Polisi Komisariat tersebut membentuk sebuah regu penembak, semuanya dari Brigade Mobile, terdiri dari seorang Bintara, dua belas orang Tamtama, dibawah pimpinan seorang Perwira, untuk tugasnya ini regu penembak tidak mempergunakan senjata organiknya, dan sampai selesainya tugas itu regu penembak ini berada dibawah perinta Jaksa Tinggi/Jaksa.

5. Pidana mati dilaksanakan tidak dimuka umum dan dengan cara sederhana mungkin, kecuali ditetapkan lain oleh Presiden.

6. Dicatat disini, bahwa pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan Militer juga dilakukan menurut Penpres No.2/1964 sebagaimana diutarakan diatas, dengan ketentuan bahwa kata-kata Kepala Polisi Komisariat Daerah, jaksa Tinggi/Jaksa, Brigade Mobile dan Polisi berturut-turut harus dibaca:

“Panglima/Komandan daerah Militer”, “Jaksa Tentara/Oditur Militer, dan Militer”.31

31


(34)

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.

USU Repository © 2009

Pandangan Yuridis

Yang penulis maksud pandangan yuridis terhadap pidana mati di sini adalah suatu pandangan yang melihat pidana khususnya pidana mati berdasarkan teori absolut dari aspek pembalasannya dan teori relatif dari aspek menakutkannya yang bertujuan untuk melindungi masyarakat.

Aspek Pembalasan

Pandangan Yuridis dan Kriminologi Terhadap Pidana Mati

Menurut J.E. Sahetapy, bahwa dasarnya manusia memiliki perasaan pembalasan atau kecenderungan untuk membalas.32 Ditambahkan pula dalam hal ini oleh Sutjipto Rahardjo, bahwa kecenderungan untuk membalas pada prinsipnya adalah suatu gejala sosial yang normal. Hal tersebut dapat dijumpai dalam ungkapan-ungkapan perbendaharaan budaya seperti “hutang nyawa dibayar dengan nyawa”.33

1) retaliatory retribution, berarti dengan sengaja membebankan suatu pendertaan

yang pantas diderita seorang penjahat dan yang mampu menyadari bahwa beban penderitaan itu akibat kejahatan yang dilakukannya ;

Nigel Walker memberi tiga pengertian mengenai pembalasan (retribution) :

2) distributive retribution, berarti pembalasan terhadap bentuk-bentuk pidana yang

dibebankan dengan sengaja terhadap mereka yang telah melakukan kejahatan 3) quantitative retribution, berarti pembatasan terhadap bentuk-bentuk pidana yang

mempunyai tujuan lain dari pembalasan sehingga bentuk-bentuk pidana itu tidak melampaui suatu tingkat kekejaman yang dianggap pantas untuk kejahatan yang telah dilakukan.34

32

J.E., Sahetapy, Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, (Bandung: Penerbit Alumni), 1979, hal. 72.

33

Sutjipto Rahardjo, Aneka Persoalan Hukum dan Masyarakat, (Bandung: Penerbit Alumni), 1977, hal. 28.

34


(35)

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.

USU Repository © 2009

Kent pada pokoknya berpendapat bahwa barangsiapa yang melakukan kejahatan harus dipidana. Dipidananya itu berdasarkan asas pembalasan karena diisyaratkan oleh perintah yang tidak bersyarat dari akal yang praktis.35

Menurut Oppenhimer orang yang mula pertama yang dianggap mempersoalkan aspek menakutkan ini dari segi proses psikologis, adalah Samuel von Pufendorf.

Dengan demikian, maka tuntutan pembalasna menjadi suatu syarat yang etis. Hanya keadilan, dan bukan tujuan-tujuan lain yang dapat membenarkan dijatuhkan pidana. Dalam hubungan ini tidaklah penting tujuan apa yang hendak dicapai melalui pembalasan itu. Ukurannya hanya pembalasan, misalnya seorang pembunug dijatuhi pidana mati adalah satu-satunya pembalasan yang adil.

Aspek Menakutkan

Asal mulanya pidana sebetulnya bukan untuk pembalasan, tetapi semata-sama untuk menakuti si penjahat. Dengan adanya pidana tersebut, diharapkan agar para penjahat menjadi jera. Atau menakut-nakuti mereka yang secara potensial dapat berbuat jahat.

36

Ancaman pidana menurut Samuel dimaksudkan untuk menakutkan dan karenanya menahan orang untuk berbuat dosa, dengan demikian mereka akan patuh pada hukum. Lalu Von Feuerbach lah yang menyusun permasalahan tersebut menjadi suatu teori yang terkenal dalam adegan nullum delictum nulla poena sinepraevia lege poenali. Artinya tiada tindak pidana dan tiada hukuman tanpa adanya suatu undang-undang (peraturan) pidana terlebih dahulu.37

Jadi menurut beliau, dengan adanya suatu undang-undang (peraturan) pidana yang mengatur tentang tindak pidana dan ancaman pidananya terlebih dulu. Di samping demi kepastian hukum, supaya penguasa di dalam menjalankan tugasnya jangan

35

Ibid., hal. 154.

36

Ibid., hal. 165.

37


(36)

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.

USU Repository © 2009

sampai berbuat sewenang-wenang juga sebagai sarana guna menakut-nakuti orang yang akan berbuat jahat.

Pandangan Kriminologi

Pada umumya para sarjana Kriminologi meragukan pandangan yuridis terhadap pidana mati karena pada sarjana Kriminologi tidak berbicara dengan bahasa transedental, mereka berbicara secara konkrit, oleh karena itu, pidana mati tidak dilihat sebagai suatu

conseptual abstraction, melainkan pidana mati dipandang sebagai suatu kenyataan.38

J.E. Sahetapy, mengatakan bahwa menyaksikan pelaksanaan pidana mati adalah merupakan suatu pengalaman yang paling mengharukan dan mencekam yang tak akan pernah dapat dilupakan sepanjang masa.39

38

Ibid.,

39

Ibid., hal. 180.

Selanjutnya ditandaskan oleh beliau bahwa masalah pidana mati seharusnya bukan menjadi suatu persoalan moral teologis atau humanitas saja. Dan juga bukan suatu alat kontrol sosial dalam prevensi kejahatan ataupun sebagai sarana menakutkan dilihat dari segi hukuman pidana. Hendaknya masalah-masalah moral, teologis, humanitas, pembalasan dan menakutkan dikesampingkan. Kita harus melihat kenyataan apakah pidana mati dapat dipertanggungjawabkan dalam rangka memberantas atau mencegah kejahatan.


(37)

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.

USU Repository © 2009

Pidana mati sebagai salah satu jenis pidana yang paling kontroversial selalu mendapat sorotan dari berbagai kalangan di seluruh dunia. Bermacam-macam pendapat dan alasan dikemukakan untuk mendukung dan menentang pidana mati.

Di Indonesia yang berlaku KUHP warisan pemerintah Belanda sejak 1 Januari 1918, dalam Pasal 10 masih mencantumkan pidana mati dalam pidana pokoknya, padahal di Belanda sendiri pidana mati sudah dihapuskan Pada tahun 1870. Hal tersebut tak diikuti di Indonesia karena keadaan khusus di Indonesia menuntut supaya penjahat yang terbesar dapat dilawan dengan pidana mati.

Beberapa sarjana hukum yang mendukung dilaksanakannya pidana mati adalah :40

1. De Bussy membela adanya pidana mati di Indonesia dengan mengatakan bahwa di

Indonesia terdapat suatu keadaan yang khusus. Bahaya terhadap gangguan yang sangat terhadap ketertiban hukum di Indonesia adalah lebih besar.

2. Jonkers membela pidana mati dengan alasan bahwa walaupun ada keberatan

terhadap pidana mati yang seringkali dajukan adalah bahwa pidana mati itu tak dapat ditarik kembali, apabila sudah dilaksanakan dan diakui bahwa ada kekhilafan atau kekeliruan dalam putusan hakim, lalu tak dapat diadakan pemulihan hak yang sesungguhnya. Terhadap orang mati ketidakadilan yang dialaminya tidak dapat diperbaiki lagi.

3. Hazewinkel-Suringa mengemukakan bahwa pidana mati adalah suatu alat

pembersih radikal yang pada setiap masa revolusioner kita dapat menggunakannya.

4. Bichon van Tselmonde menyatakan : saya masih selalu berkeyakinan, bahwa

ancaman dan pelaksanaan pidana mati harus ada dalam tiap-tiap negara dan masyarakat yang teratur, baik ditinjau dari sudut keputusan hakum maupun dari sudut tidak dapat ditiadakannya, kedua-duanya jure divino humano. Pedang pidana seperti juga pedang harus ada pada negara. Hak dan kewajiban ini tak dapat diserahkan begitu saja. Tapi haruslah dipertahankannya dan juga digunakannya.

5. Lombrosso dan Garofalo juga termasuk yang mendukung pidana mati. Mereka

berpendapat bahwa pidana mati adalah alat mutlak yang harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan individu yang tak mung kini dapat diperbaiki lagi.

40

Syahruddin Husein, Pidana Mati Menurut Hukum Pidana Indonesia, (Fakultas Hukum Bagian Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara, Medan), 2003, hal. 5-6.


(38)

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.

USU Repository © 2009

6. Para sarjana hukum di Indonesia juga ada yang mendukung pidana mati.

Bismar Siregar yang menghendaki tetap dipertahankannya pidana mati dengan

maksud untuk menjaga sewaktu-waktu kita membutuhkan masih tersedia. Sebab beliau menilai kalau seseorang penjahat sudah terlalu keji tanpa perikemanusiaan, pidana apa lagi yang mesti dijatuhkan kalau bukan pidana mati.

Oemar Seno Adji menyatakan bahwa selama negara kita masih meneguhkan diri,

masih bergulat dengan kehidupan sendiri yang terancam oleh bahaya, selama tata tertib masyarakat dikacaukan dan dibahayakan oleh anasir-anasir yang tidak mengenal perikemanusiaan, ia masih memerlukan pidana mati.

Hartawi AM memandang ancaman dan pelaksanaan pidana mati sebagai suatu

social defence. Pidana mati adalah suatu pertahanan sosial untuk menghindarkan masyarakat umum dari bencana dan bahaya ataupun ancaman kejahatan besar yang mungkin terjadi yang akan menimpa masyarakat, yang telah atau akan mengakibatkan kesengsaraan dan mengganggui ketertiban serta keamanan rakyat umum, dalam pergaulan manusia bermasyarakat dan bergama.

Bila pidana mati mendapat dukungan dari berbagai kalangan yang ingin tetap mempertahankannya, maka ia juga mendapat penentang yang semakin hari semakin banyak jumlahnya. Yang dianggap sebagai pelopor dari gerakan anti pidana mati ini adalah :41

1. Beccaria dengan karangannya yang terkenal Dei Delitti E Delle Pene (1764).

Yang menyebabkan Beccaria menentang pidana mati ialah proses yang dijalankan dengan cara yang amat buruk terhadap Jean Callas yang dituduh telah membunuh anaknya sendiri. Hakim menjatuhkan pidana mati. tapi Voltaire kemudian dapat membuktikan bahwa Jean Callas tidak bersalah sehingga namanya direhabilitasi. Walaupun demikian ia telah mati tanpa salah, akibat pidana mati yang diperkenankan pada waktu itu. Beccaria menunjukkan adanya pertentangan antara pidana mati dan pandangan negara sesuai dengan doktrin Contra Social. Karena hidup adalah sesuatu yang tak dapat dihilangkan secara legal dan membunuh adalah tercela, karena pembunuhan yang manapun juga yang mengijinkan untuk pidana mati adalah immoral dan makanya tidak sah.

2. Van Bemmelen menyatakan bahwa pidana mati menurunkan wibawa pemerintah,

pemerintah mengakui ketidakmampuan dan kelemahnnya. Menurut Roling, pidana mati justru mempunyai daya destruktif, yaitu bila negara tidak menghormati nyawa manusia dan menganggap tepat untuk dengan tenang melenyapkan nyawa seseorang, maka ada kemungkinan besar dan akan berkurang pulalah hormat orang pada nyawa manusia. Disamping itu adalagi suatu bahaya, yaitu bahwa perbuatan membunuh oleh negara itu akan memancing suatu penyusulan pula terhadapnya.

41


(39)

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.

USU Repository © 2009

3. Ernest Bowen Rowlands berpendapat bahwa pidana mati tidak dapat diperbaiki

kalau seorang hakim telah keliru dan pidana mati telah dilaksanakan, tak pernah kehidupan dikembalikan pada yang dipidana mati.

4. Von Hentig menyatakan bahwa pengaruh yang kriminogen pidana mati itu

terutama sekali disebabkan karena telah memberikan suatu contoh yang jelek dengan pidana mati tersebut. Sebenarnya negara yang berkewajiban mempertahankan nyawa manusia dalam keadaan apapun. la menambahkan bahwa dengan menahan seseorang dalam penjara, kita mengadakan suatu eksperimen yang sangat berharga. Hal ini tak mungkin ditemukan pada pidana mati.

5. Is Cassutto menyatakan bahwa pada pidana mati ditemui kesukarankesukaran

yang serius, pertama-tama terbentur pada kemungkinan terjadinya kekhilafan yang tak mungkin dapat diperbaiki.

6. Damstee menyatakan bahwa "saya tak merasa perlu pidana mati, saya tak percaya

kegunaannya, malah saya percaya keburukannya. Dan kalau pemerintah melalui pembunuhan. maka ia merendahkan kewibawaannya terhadap rakyat pada siapa dianjurkan janganlah engkau membunuh. Dengan membunuh ia membangunkan naluri yang jahat. Suatu masyarakat yang mengagung-agungkan pidana mati dikecam bahwa disini masih ada orang-orang biadab dan anggota-anggota masyarakat itu tak akan meninggalkan sifat-sifat biadabnya."

7. leo Polak beranggapan bahwa pidana mati setelah dilaksanakan tidak membawa

nestapa yang harus diderita oleh penjahat karena ia sudah tidak ada lagi. Jadi pidana mati sama bukan pidana, bahkan bukan juga suatu pidana yang ringan. leo Polak berpendapat pidana mati itu tidak adil, pelaksanaan pidana mati itu dianggap sebagai suatu dosa kekeliruan besar dalam penetapan pembalasan yang adil.

8. Diantara sarjana hukum Indonesia yang menentang adanya pidana mati:

Roeslan, menurut beliau bagi kita penjara seumur hidup dan lain-lainnya pidana

yang merupakan perampasan dan pembatasan atas kemerdekaan dan harta kekayaan seseorang sajalah yang dipandang sebagai pidana. Selanjutnya beliau menyatakan bahwa karena orang semakin tahu betapa buruknya pidana mati itu, sehingga bertrurut-turut banyak negara beradab yang menghapuskannya. Ing Dei Tjo lam menyatakan bahwa tujuan pidana adalah memperbaiki individu yang melakukan tindak pidana disamping melindungi masyarakat. Jadi nyata bahwa dengan adanya pidana mati bertentangan dengan salah satu tujuan pidana yang disebutkan tadi.

J.E Sahetapy juga dianggap sebagai penentang pidana mati, walaupun terbatas

hanya mengenai pembunuhan berencana. Dalam desertasinya yang berjudul Suatu Studi Khusus mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, beliau memberikan hipotesa :

1. Acaman pidana mati dalam pasal 340 KUHP dewasa ini dalam praktek merupakan suatu ketentuan abolisi de facto

2. Acaman pidana mati dalam pasal 340 KUHP tidak akan mengenai sasarannya selama ada berapa faktor seperti lembaga banding, lembaga kasasi, lembaga grasi, kebebasan hakim dan "shame culture"


(40)

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.

USU Repository © 2009

Masih dipertahankannya pidana mati di Indonesia didasarkan kepada alasan pertama, bahwa pidana mati sebenarnya tujuan utamanya adalah untuk mengayomi masyarakat dari perbuatan-perbuatan yang mengganggu kepentingannya. Di samping itu, secara teoritis mengapa pidana mati tetap dipertahankan adalah untuk memberikan saluran kepada masyarakat yang ingin “membalas dendam” melalui saluran perundang-undangan. Sebab jika tidak diatur dalam perundang-undangan, masyarakat akan berbuat main hakim sendiri (eigen richting).42

1. Secara yuridis formal pidana mati dibenarkan.

Mengenai pidana mati jika dikaitkan dengan hak asasi manusia (HAM) memang menjadi masalah yang besar bagi masyarakat Indonesia khususnya bagi para penegak hukum. Di satu pihak mereka harus menegakkan keadilan dan dipihak lain dianggap merupakan pelanggaran hak asasi manusia sehingga menghambat penegakkan HAM di Indonesia.

Dianggap menghambat penegakkan HAM dan merupakan pelanggaran HAM harus dilihat dahulu sejauh mana konteks kejahatan-kejahatan tersebut telah dilakukan, apakah dapat ditolerir atau tidak.

Sehingga menurut pendapat penulis bahwa pelaksanaan pidana mati tidak merupakan pelanggaran HAM dan tidak dapat dianggap sebagai penghambat dalam penegakkan HAM karena :

42

Edi Setiadi, Menyoal Hukuman Mati di Indonesia, Rubrik Opini harian Pikiran Rakyat, 7 Nopember 2007.


(41)

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.

USU Repository © 2009

2. Pidana mati tetap diperlukan dengan melihat adanya kejahatan-kejahatan manusia yang tidak dapat ditolerir lagi. Sebab bagaimanapun juga penegakkan suatu keadilan (secara hukum) akan mengurangi hak asasi manusia

BAB III

PIDANA MATI DALAM BERBAGAI KETENTUAN PIDANA DI INDONESIA

A.

1. Kejahatan terhadap negara (Pasal 104, 111 ayat (2), 124 ayat (3), 140 ayat (3) KUHP.

Ketentuan Pidana Mati Dalam KUHP

Wirjono Prodjodikoro di dalam bukunya Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia menyebutkan adanya dua macam pengkhianatan terhadap negara, yaitu:

1) Pengkhianatan intern (hoogverraad), yang ditujukan untuk mengubah struktur kenegaraan atau struktur pemerintahan yang ada, termasuk juga tindak pidana terhadap kepada negara, jadi mengenai keamanan intern (invendige veiligheid) dari negara.

2) Pengkhianatan ekstren (invendige veiligheid), yang ditujukan untuk membahayakan keamanan negara terhadap serangan dari luar negeri, jadi mengenai keamanan ekstren (uitwondige veiligheid) dari negara misalnya hal memberi pertolongan kepada negara asing, yang bermusuhan dengan negara awak.43

Kejahatan-kejahatan terhadap negara dan pemerintah, oleh Dali Mutiara di dalam bukunya Tafsir KUHP diantaranya yang terpenting ialah :

1) Kejahatan terhadap presiden atau wakil presiden

2) Kejahatan terhadap pemerintah atau badan-badan pemerintahan

3) Kejahatan terhadap negara sahabat, kepala negaranya atau wakil kepala negara sahabat

4) Memberontak

5) Menjadi mata-mata atau kaki tangan negara asing 6) Melawan pegawai pemerintah

43

Wiryono Prodjodikoro, Tindakan-tindakan Pidana Tertentu di Indonesia, Cetakan kedua, (Jakarta: PT. Eresco), 1974, hal. 202-203.


(42)

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.

USU Repository © 2009

7) Mengacau waktu pemilihan umum

8) Menyembunyikan penjahat atau menghilangkan bukti kejahatan 9) Memberikan laporan palsu kepada pegawai pemerintah yang berwajib 10)Menyiarkan kabar bohong

11)Menjadi saksi dan sumpah palsu 12)Perkara perkumpulan rahasia.44

Pasal 104 sebagai Pasal pertama bab I buku II KUHP berbunyi :

“Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.”

Dari uraian Pasal 104 KUHP tersebut, ada 3 (tiga) macam tindak pidana, ialah: 1) Makar yang dilakukan dengan tujuan (oogmerk) untuk membunuh kepala negara 2) Makar yang dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan kemerdekaan kepala

negara

3) Makar yang dilakukan dengan tujuan untuk menjadikan kepala negara, tidak dapat menjalankan pemerintahan.

Selanjutnya bunyi Pasal 111 KUHP adalah sebagai berikut :

1) Barang siapa mengadakan hubungan dengan negara asing dengan maksud menggerakkannya untuk melakukan perbuatan permusuhan atau perang terhadap negara, memperkuat niat mereka, menjanjikan bantuan atau membantu mempersiapkan mereka untuk melakukan perbuatann permufakatan atua perang terhadap negara, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. 2) Jika perbuatan permusuhan dilakukan atau terjadi perang, diancam dengan pidana

mati atua pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.

Jadi tindak pidana dari Pasal 111 KUHP berupa mengadakan perhubungan negara asing, dengan niat :

44

Dali Mutiara, Tafsir KUHP, cetakan kelima, (Jakarta: Bintang Indonesia), hal. 36.


(43)

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.

USU Repository © 2009

1) akan membujuk supaya negara asing itu melakukan perbuatan permusuhan atau berperang dengan negara kita, atau

2) akan memperkuat kehendak negara asing untuk berbuat demikian, atau 3) akan menyanggupkan bantuan dalam hal ini kepada negara asing, atau 4) akan memberi bantuan dalam hal mempersiapkan hal-hal tersebut diatas.

Mengenai kejahatan-kejahatan yang biasa dilakukan oleh mata-mata musuh, di antaranya ialah diatur dalam Pasal 124 KUHP, yang berbunyi :

1) Barang siapa dalam masa perang dengan sengaja memberi bantuan kepada musuh atau merugikan negara terhadap musuh, diancam dengan pidana penjara lima belas tahun.

2) Diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu atau paling lama dua puluh tahun jika si pembuat:

1. memberitahukan atau memberikan kepada musuh peta, rencana, gambar, atau penulisan mengenai bangunan-bangunan tentara;

2. menjadi mata-mata musuh, atau memberikan pondokan kepadanya.

3) Pidana mati atau pidana seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun dijatuhkan jika si pembuat:

1. memberitahukan atau menyerahkan kepada musuh, menghancurkan atau merusakkan sesuatu tempat atau pos yang diperkuat atau diduduki, suatu alat perhubungan, gudang persediaan perang, atau kas perang ataupun Angkatan Laut, Angkatan Darat atau bagian daripadanya, merintangi, menghalang-halangi atau menggagalkan suatu untuk menggenangi air atau karya tentara lainya yang direncanakan atau diselenggarakan untuk menangkis atau menyerang;

2. menyebabkan atau memperlancar timbulnya huru-hara, pemberontakan atau desersi dikalangan Angkatan Perang.

Dalam ayat (3) diberikan ancaman pidana mati atau penjara seumur hidup atau selama dua puluh tahun, apabila si pelaku :

a. mengkhianatan kepada musuh, menyerahkan kepada musuh, menghancurkan atau merusakkan sesuatu tempat atau pos yang diperkuat atau diduduki, suatu alat perhubungan, gudang persediaan perang, atau kas perang,


(44)

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.

USU Repository © 2009

b. menghalang-halangi atau menggagalkan suatu untuk menggenangi air atau karya tentara lainya

c. mengadakan atau melakukan pemberontakan di antara para prajurit.

Mengenai kejahatan pembunuhan berencana terhadap kepala negara dari negara sahabat diatur dalam Pasal 140 KUHP, yang berbunyi :

1. Makar terhadap nyawa atau kemerdekaan raja yang memerintah atau kepala negara sahabat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. 2. Jika mekar terhadap nyawa mengakibatkan kematian atau dilakukan dengan

rencana terlebih dahulu mengakibatkan kematian, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.

3. Jika makar terhadap nyawa dilakukan dengan rencana terlebih dahulu mengakibatkan kematian, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.

2. Pembunuhan dengan berencana (Pasal 340 KUHP) Pasal 340 KUHP berbunyi :

Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana rnati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.

Adapun bunyi Pasal 340 KUHP mengancam dengan pidana yang sebelumnya peristiwa itu terjadi atau sesudah ada niat itu, terdakwa dengan tenang telah memikirkan cara-cara untuk membunuh. Pembunuhan ini dinamanakan pembunuhan dengan berencana (moord).

Jadi, pembunuhan berencana adalah pembunuhan yang dilakukan oleh si terdakwa dengan direncanakan terlebih dahulu, misalnya, dengan berunding dengan orang lain atau setelah memikirkan siasat-siasat yang akan dipakai untuk melaksanakan niat


(45)

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.

USU Repository © 2009

jahatnya itu dengan sedalam-dalamnya terlebih dahulu, sebelum tindakan yang kecam itu dimulainya.

3. Pencurian dan pemerasan yang dilakukan dalam keadaan yang memberatkan sebagai yang disebut dalam Pasal 365 ayat (4) dan Pasal 368 ayat (2) KUHP

Pasal 365 KUHP, ialah tentang pidana bagi pencurian berat, yang bunyi rumusannya adalah sebagai berikut :

1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atsu mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicuri. 2) Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun:

1. jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, di berjalan;

2. jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu;

3. jika masuk ke tempat melakukan kejahatan dengan merusak atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, periniah palsu atau pakaian jabatan palsu.

4. jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.

3) Jika perbuatan mengakibatkan kematian maka diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tuhun.

4) Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan mengakibatkan luka berat atau kematian dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, disertai pula oleh salah satu hal yang diterangkan dalam no. 1 dan 3.

Dalam maksud kekerasan atau ancaman kekerasan di sini mempunyai dua arti, yaitu : 1) maksud untuk mempersiapkan pencurian, artinya perbuatan kekerasan atau

ancaman kekerasan mendahului pengambilan barang, misalnya memukul, atau menembak atau mengikat penjaga rumah.

2) maksud untuk mempermudah pencurian, artinya pengambilan barang dipermudah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, misalnya memukul si penghuni rumah


(1)

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.

USU Repository © 2009

Apabila hukuman mati tidak memiliki implikasi atau tidak ada nilainya bagi si terhukum, maka nilainya terletak pada kesannya terhadap orang lain sebagai pencegahan umum.

Di sinilah, hendaknya Majelis Hakim yang memutus perkara tersebut hendaknya tidak meninggalkan sama sekali teori pembalasan. Jika dicermati lebih mendalam, putusan tersebut ternyata lebih banyak berpihak kepada pelaku tindak kejahatan ketimbang berorientasi kepada kepentingan umum atau masyarakat luas, terutama pihak korban dan keluarganya. Padahal, sebagai hukum publik, hukum pidana di Indonesia seharusnya lebih berorientasi kepada perlindungan masyarakat banyak dan pihak korban, meski tidak harus mengabaikan nasib atau hak-hak pelaku kejahatan itu sendiri.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Pidana mati masih digunakan dalam kebijakan penanggulangan kejahatan karena pidana mati adalah suatu pertahanan sosial untuk menghindarkan masyarakat umum dari bencana dan bahaya ataupun ancaman kejahatan besar yang mungkin terjadi yang akan menimpa masyarakat, yang telah atau akan mengakibatkan kesengsaraan dan mengganggui ketertiban serta keamanan rakyat umum, dalam pergaulan manusia bermasyarakat dan beragama.


(2)

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.

USU Repository © 2009

a. Kejahatan-kejahatan dalam KUH Pidana, yaitu :

a) Pasal 104 tentang usaha dengan sengaja menghilangkan nyawa Presiden atau Wakil Presiden atau menghilangkan kebebasan mereka atau membuat mereka tidak cocok untuk memerintah ;

b) Pasal 111 tentang kolusi dengan kekuatan asing yang mengakibatkan perang ; c) Pasal 123 tentang masuk pelayanan militer di sebuah negara yang perang

dengan Indonesia;

d) Pasal 124 tentang membantu musuh;

e) Pasal 127 tentang penipuan dalam menyampaikan bahan-bahan militer pada saat perang);

f) Pasal 140 tentang pembunuhan berencana terhadap kepala negara dari negara sahabat);

g) Pasal 340 tentang pembunuhan dengan sengaja dan terencana; h) Pasal 365 tentang pencurian yang mengakibatkan kematian;

i) Pasal 444 tentang pembajakan yang mengakibatkan kematian seseorang. b. Ketentuan yang diatur di luar KUH Pidana, yaitu :

a) Dalam Rancangan KUHP

b) Undang-undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika ; c) Undang-undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika;

d) Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM ;

e) Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Kejahatan Terorisme.


(3)

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.

USU Repository © 2009

3. Implementasi pidana mati terhadap tindak pidana pembunuhan di Indonesia dapat dilihat pada Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No. 514/Pid.B/1997/PN-LP atas, dimana Pengadilan Negeri Lubuk Pakam menjatuhkan putusan pidana mati terhadap Tumini yang telah terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan pembunuhan berencana sebagaimana diatur dalam Pasal 340 KUHP, Pasal 55 ayat (1) ke-1 dan Pasal 65 KUHP.

B. Saran

1. Tindak pidana pembunuhan terjadi dikarenakan adanya dorongan dalam diri pelaku yang disebabkan karena kurangnya pendidikan pelaku baik dari pendidikan formal ataupun pendidkan agama. Untuk itu diharapkan kepada pemerintah untuk mmberikan pendidikan kepada masyarakat melalui instansi resmi ataupun tidak resmi sehingga menambah pengetahuan masyarakat mengenai perbuatan-perbuatan yang melanggar ketentuan perundang-undangan yang berakibat diberikannya pidana mati. 2. Dalam memerangi kejahatan, diperlukan peran serta masyarakat dalam memberikan

setiap peristiwa pidana yang berada disekitarnya. Hal ini membentu aparatur negara dalam menindak secara cepat setiap perbuatan-perbuatan yang melanggar ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia.

3. Dalam memberikan pidana mati, hendaknya kepada Hakim yang memeriksa dan memutus suatu perkara mempertimbangkan secara baik-baik unsur-unsur yang dituduhkan kepada terdakwa sehingga dalam membuat putusan secara adil baik kepada korban ataupun kepada pelaku kejahatan.


(4)

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.

USU Repository © 2009

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Arrasjid, Chainur, Sepintas Lintas Tentang Kriminil, Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, 1999.

---, Pengantar Psikologi Kriminal, Jakarta: Penerbit Yani Tri Pratiwi, 1996. Atmasasmita, Romli, Sistem Peradilan Pidana, Prespektif Eksistensialisme dan

Abolisionisme, Bandung: Binacipta, 1996.

Bonger, W.A., Pengantar Tentang Kriminologi, Jakarta: Penerbit PT. Pembangunan Ghalia Indonesia, 1982.


(5)

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.

USU Repository © 2009

ELSAM, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan Dalam Rancangan KUHP 2005, Position Paper Advokasi RUU Seri #3, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat ELSAM, 2005.

Gerson W. Bawengan., Pengantar Psikologi Kriminil, Bandung: Penerbit PT. Pradnya Paramita. 1991.

Husein, Syahruddin, Pidana Mati Menurut Hukum Pidana Indonesia, Fakultas Hukum Bagian Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara, 2003.

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : Rineka Cipta, 1993.

Mudikdo, Paul Moeliono, Penanggulangan Kejahatan, Bandung : Penerbit, A. Umni, 1983.

Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1995.

---, Kapita Selekta Hukum Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1996.

---, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung: Penerbit Alumni, 2002.

Mutiara, Dali, Tafsir KUHP, cetakan kelima, Penerbit dan toko buku Bintang Indonesia, Jakarta.

Nawawi, Barda Arief, Sari Kuliah Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002.

Prakoso, Djoko dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas

Pidana Mati Di Indonesia Dewasa Ini, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983.

Priyatno, Dwidja, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana

Korporasi di Indonesia, Bandung: CV Utomo, 2004.

Prodjodikoro, Wiryono, Tindakan-tindakan Pidana Tertentu di Indonesia, Cetakan kedua, PT. Eresco, Jakarta – Bandung, 1974.

Rahardjo, Sutjipto, Aneka Persoalan Hukum dan Masyarakat, Penerbit Alumni Bandung, 1977.

Sahetapy, J.E., Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Bandung: Penerbit Alumni, 1979.


(6)

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.

USU Repository © 2009

Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System dan

Implementasinya, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003.

Soesilo. R, Kriminologi (Pengetahuan Tentang Sebab Kejahatan), Penerbit Politeia Bogor, 1985.

---, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentar

Lengkap Pasal Demi Pasal, Politea – Bogor, 1994.

Sudarto, Masalah-Masalah Hukum Nomor 11/1973, dikeluarkan oleh Fakultas Hukum UNDIP Semarang.

---, Hukum Pidana Jilid IA, dikeluarkan oleh Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, 1971.

Yahya, M. Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan

Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Edisi Kedua,

Jakarta: Sinar Grafika, 2003.

B. Internet dan Surat Kabar

http://sijorimandiri.net/jl/index.php?option=com_content&task=view&id=8003&Itemi= 59, Liku-liku Hukuman Mati di Indonesia Selasa, 29 Agustus 2006.

http://makaarim.wordpress.com/2007/10/22/, Beberapa Pandangan Tentang Hukuman Mati (Death Penalty) Dan Relevansinya Dengan Perdebatan Hukum Di Indonesia.

Setiadi, Edi, Menyoal Hukuman Mati di Indonesia, Rubrik Opini harian Pikiran Rakyat, 7 Nopember 2007.