Kerangkeng Bahasa Dalam Pers Mahasiswa.
~~
~
u
17
1
Pikiran Rakyat ~':
U s,,'''.' ._'-",~"'"
2
18
3
19
.
o Jan
0 Pel;
-
4
.
20
5
.
_C) R.b,
21
6
Ma-;- ,0 Apr
7
22
8
23
"mi,
9
10
24
C) Mei' 0 J~n
UJ'm"-O-S~b;'..O
11
25
26
0~_._Ju/()--;g;-
@ 27
13
28
~)
._...
Mi"gg' 14
29
15
30
~
16
31
\) Sep 0 01./ 0 Nov 0 Des
Kerangkeng Bahasa
Dalam Pers Mahasiswa
~
,'-'.
...
-
-
Jika bahasa menjadi
simbol identitas sekaligus
cara memengarnhi, pers
mahasiswa salah satu
Oleh AGUS RAKASIWI
Mahasiswa Program
EkstensiFikomUnpad
yang gaga! mempraktikkannya.
K
aNaN
cerita pers ma-
hasiswa di mana-mana
selalu seperti ini; cetak
sulit, sudah dicetak tidak ada
yang mau beli, setelah itu jadi
ganjal pintu. Lalu sebuah
asumsi mencuat; mahasiswa
tidak cerdas menanggapi pers
mahasiswa. Lebih suka bacaan
karikatif ketimbang yang
berbobot seperti pers mahasiswa.Asumsi kedua, pers nasional sudah habis membabat
isu pers mahasiswa. Pers mahasiswa tidak lagi bisa jadi panduan bacaan tentang isu nasional
seperti sebelum era reformasi.
Pascareformasi, terdengar
konflik cukup tajam antara
kalangan mahasiswa yang
memakai idiom terbitannya
dengan "pers mahasiswa" dengan idiom "pers kampus".
Konan perdebatannya sangat
substantif.
Pers mahasiswa cenderung
,
.-,.
'.'
berada pada reI wacana-wacana gerakan. Sedangkan pers
kampus berada pada aras
karikatif kehidupan sosial mahasiswa. Yang satu menyebut
diri sebagai kalangan idealis.
Yang satu lagi, menyebut sebagai hedonis alias kalangan
yang suka hura-hura belaka.
Apakah ini semata perdeOOtanideologis?Atau perdebatan tentang "bisnis" media
semata di dunia kampus?Temyata, keduanya pun tidak bisa
bertahan hidup di dunia mahasiswayang heterogen. Sebab,
keduanya tidak bisa meninggalkan sesuatu yang sebenarnya
sangat mendasar; bahasa!
Sudahkah Anda menulis
sesuatu atas dasar bahasa orang
di pasar? Saya sebut pasar
bukan pada terminologi neoliberal. Akan tetapi pasar
dalam pengertian sebenamya.
Kalau di Kota Bandung pasar
yang ada di Andir, Ciroyom
dan pasar-pasar tradisional
lainnya.
Seringkali saya membaca
pers mahasiswa tapi yang saya
temukan adalah setumpuk istilah "dewa" yang menyebutnya
kadang sulit. Kadang butuh
bantuan kamus untuk mengerti maksud kata-kata yang dit-
!~lip i n 9 Hum Q5 U n p Qd 2 0 0 9
---
.
..--
uliskan. Mari kembali pada apa
yang dimaksud dengan media
massa. Pers kampus apa pun label yang mengikutinya, juga
bagian dari media massa. Kata
"massa"yang mengikuti "media" menyampaikan sesuatu
yang esensial dari keberadaan
sebuah alat.
Jika bicara sebuah cangkul
Anda hanya bisa menggunakannya di sekitar perkebunan clan
persawahan. Dan, jika saat Anda membicarakan alat bemama
komputer, tidak mungkin Anda
memOOwanyake tengah hutan
tanpa bantuan listrik. Dan, tidak
mungkin Anda letakkan di tengah persawahan.
Tetapi jika Anda menyebut
koran, majalah, tabloid, dan
radio, Anda bisa menikmati di
mana saja. Bukan fisiknya, tapi
apa yang tertulis di koran, majalah, dan tabloid. Begitu pula
yang paling esensial dari televisi dan radio adalah apa yang
terlihat dan terdengar.
I~ti massa dalam terminologi media massa ingin mengatakan bahwa semua orang
punya hak untuk mendapatkan informasi dan memiliki
informasi. Bahwa informasi sebagai kebutuhan tnanusia, sangat tidak bisa dihindarkan.
Den~ begitu, media massa
tidak bisa mengotak"kotakkan
diri dalam sekat-sekat strata
sosial di dalam masyarakat.
Apa salahnya seorang sopir
angkot bisa menyimak hasil rapat Bank Indonesia yang membahas kenaikan bunga kredit.
Dan, apa salahnya seorang profesor membaca berita tentang
keberhasilan pengemudi becak
mengarungi Pulau Jawa.
TIdak ada batasan strata bagi
informasi. Namun, sejak era industri di abad ke-21, strata
sosial manusia terus dipertegas
dengan mengotak-kotakkan
produk yang harus dikonsumsi.
TIdak terkecuali koran, majalah, tabloid, dan isi radio serta televisi. Bagi kalangan
masyarakat di terminal bus,
misalnya, bakal dianggap
fenomena luar biasa ketika
membaca harian umum seperti
Kompas.Dan, terlalu menggangu gengsi ketika seorang milyuner membaea cerita kematian dari koran Lampu Merah.
Begitulah anggapan umum
yang berlaku hari ini. Sedikitnya mentederai makna dasar
dari kehadiran mediamassa di
hadirat masyarakat. Informasi
pun masuk pada strata sosial
yang berbasis kapital.
Media massa yang biasa kita
beli sudah meletakkan dasar
ekonomi seperti itu. Lalu
bagaimana dengan pers mahasiswa?Pers mahasiswa malah
ikut rerjebak pada skema bisnis
yang telah dibangun oleh pebisnis media pada umumnya.
Jika di awal saya katakan gunakanlah bahasa pasar.Jelas
sekali maksudnya bahwa bahasa pasar merupakan eara
berbahasa sehari-hari.
Orang di pasar akan sarna
mengatakan saat ini terjadi l
~
u
17
1
Pikiran Rakyat ~':
U s,,'''.' ._'-",~"'"
2
18
3
19
.
o Jan
0 Pel;
-
4
.
20
5
.
_C) R.b,
21
6
Ma-;- ,0 Apr
7
22
8
23
"mi,
9
10
24
C) Mei' 0 J~n
UJ'm"-O-S~b;'..O
11
25
26
0~_._Ju/()--;g;-
@ 27
13
28
~)
._...
Mi"gg' 14
29
15
30
~
16
31
\) Sep 0 01./ 0 Nov 0 Des
Kerangkeng Bahasa
Dalam Pers Mahasiswa
~
,'-'.
...
-
-
Jika bahasa menjadi
simbol identitas sekaligus
cara memengarnhi, pers
mahasiswa salah satu
Oleh AGUS RAKASIWI
Mahasiswa Program
EkstensiFikomUnpad
yang gaga! mempraktikkannya.
K
aNaN
cerita pers ma-
hasiswa di mana-mana
selalu seperti ini; cetak
sulit, sudah dicetak tidak ada
yang mau beli, setelah itu jadi
ganjal pintu. Lalu sebuah
asumsi mencuat; mahasiswa
tidak cerdas menanggapi pers
mahasiswa. Lebih suka bacaan
karikatif ketimbang yang
berbobot seperti pers mahasiswa.Asumsi kedua, pers nasional sudah habis membabat
isu pers mahasiswa. Pers mahasiswa tidak lagi bisa jadi panduan bacaan tentang isu nasional
seperti sebelum era reformasi.
Pascareformasi, terdengar
konflik cukup tajam antara
kalangan mahasiswa yang
memakai idiom terbitannya
dengan "pers mahasiswa" dengan idiom "pers kampus".
Konan perdebatannya sangat
substantif.
Pers mahasiswa cenderung
,
.-,.
'.'
berada pada reI wacana-wacana gerakan. Sedangkan pers
kampus berada pada aras
karikatif kehidupan sosial mahasiswa. Yang satu menyebut
diri sebagai kalangan idealis.
Yang satu lagi, menyebut sebagai hedonis alias kalangan
yang suka hura-hura belaka.
Apakah ini semata perdeOOtanideologis?Atau perdebatan tentang "bisnis" media
semata di dunia kampus?Temyata, keduanya pun tidak bisa
bertahan hidup di dunia mahasiswayang heterogen. Sebab,
keduanya tidak bisa meninggalkan sesuatu yang sebenarnya
sangat mendasar; bahasa!
Sudahkah Anda menulis
sesuatu atas dasar bahasa orang
di pasar? Saya sebut pasar
bukan pada terminologi neoliberal. Akan tetapi pasar
dalam pengertian sebenamya.
Kalau di Kota Bandung pasar
yang ada di Andir, Ciroyom
dan pasar-pasar tradisional
lainnya.
Seringkali saya membaca
pers mahasiswa tapi yang saya
temukan adalah setumpuk istilah "dewa" yang menyebutnya
kadang sulit. Kadang butuh
bantuan kamus untuk mengerti maksud kata-kata yang dit-
!~lip i n 9 Hum Q5 U n p Qd 2 0 0 9
---
.
..--
uliskan. Mari kembali pada apa
yang dimaksud dengan media
massa. Pers kampus apa pun label yang mengikutinya, juga
bagian dari media massa. Kata
"massa"yang mengikuti "media" menyampaikan sesuatu
yang esensial dari keberadaan
sebuah alat.
Jika bicara sebuah cangkul
Anda hanya bisa menggunakannya di sekitar perkebunan clan
persawahan. Dan, jika saat Anda membicarakan alat bemama
komputer, tidak mungkin Anda
memOOwanyake tengah hutan
tanpa bantuan listrik. Dan, tidak
mungkin Anda letakkan di tengah persawahan.
Tetapi jika Anda menyebut
koran, majalah, tabloid, dan
radio, Anda bisa menikmati di
mana saja. Bukan fisiknya, tapi
apa yang tertulis di koran, majalah, dan tabloid. Begitu pula
yang paling esensial dari televisi dan radio adalah apa yang
terlihat dan terdengar.
I~ti massa dalam terminologi media massa ingin mengatakan bahwa semua orang
punya hak untuk mendapatkan informasi dan memiliki
informasi. Bahwa informasi sebagai kebutuhan tnanusia, sangat tidak bisa dihindarkan.
Den~ begitu, media massa
tidak bisa mengotak"kotakkan
diri dalam sekat-sekat strata
sosial di dalam masyarakat.
Apa salahnya seorang sopir
angkot bisa menyimak hasil rapat Bank Indonesia yang membahas kenaikan bunga kredit.
Dan, apa salahnya seorang profesor membaca berita tentang
keberhasilan pengemudi becak
mengarungi Pulau Jawa.
TIdak ada batasan strata bagi
informasi. Namun, sejak era industri di abad ke-21, strata
sosial manusia terus dipertegas
dengan mengotak-kotakkan
produk yang harus dikonsumsi.
TIdak terkecuali koran, majalah, tabloid, dan isi radio serta televisi. Bagi kalangan
masyarakat di terminal bus,
misalnya, bakal dianggap
fenomena luar biasa ketika
membaca harian umum seperti
Kompas.Dan, terlalu menggangu gengsi ketika seorang milyuner membaea cerita kematian dari koran Lampu Merah.
Begitulah anggapan umum
yang berlaku hari ini. Sedikitnya mentederai makna dasar
dari kehadiran mediamassa di
hadirat masyarakat. Informasi
pun masuk pada strata sosial
yang berbasis kapital.
Media massa yang biasa kita
beli sudah meletakkan dasar
ekonomi seperti itu. Lalu
bagaimana dengan pers mahasiswa?Pers mahasiswa malah
ikut rerjebak pada skema bisnis
yang telah dibangun oleh pebisnis media pada umumnya.
Jika di awal saya katakan gunakanlah bahasa pasar.Jelas
sekali maksudnya bahwa bahasa pasar merupakan eara
berbahasa sehari-hari.
Orang di pasar akan sarna
mengatakan saat ini terjadi l