Studi Deskriptif Mengenai Psychological Well-Being Pengurus Rumah Cemara Yang Mengidap HIV Positif.

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui Psychological Well-Being
(PWB) pada Pengurus Rumah Cemara yang mengidap HIV Positif. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan teknik survey.
Populasi dari penelitian ini berjumlah 37 orang yang semuanya merupakan
subyek penelitian.
Alat ukur yang digunakan merupakan terjemahan dari Scale of
Psychological Well-Being (SPWB) dari Carol Ryff (1989) yang terdiri atas 84
item. Setelah dilakukan uji validitas dengan SPSS Statistics 19.0, maka diperoleh
70 item yang valid dengan validitas item berkisar antara 0.312-0.901. Dan
reliabilitas alat ukur tersebut adalah 0.749.
Berdasarkan hasil pengolahan data, diperoleh bahwa sebagian besar,
yaitu 67,57% pengurus Rumah Cemara menunjukkan nilai PWB yang tinggi dan
32,43% menunjukan PWB yang rendah, sehingga dapat disimpulkan sebagian
besar pengurus Rumah Cemara memiliki PWB yang tinggi.
Peneliti mengajukan saran agar dilakukan penelitian lebih lanjut
mengenai perbandingan antara psychological well-being pada pengurus Rumah
Cemara yang belum menikah dan yang sudah menikah. Selain itu perlu
dipertimbangkan melakukan penelitian untuk mengetahui kontribusi dimensidimensi PWB terhadap derajat PWB secara keseluruhan.


i

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR ISI

ABSTRAK ……………………………………………………………

i

KATA PENGANTAR …........................................................................

ii

DAFTAR ISI ….....................................................................................

v

DAFTAR TABEL ….............................................................................


vii

DAFTAR GAMBAR ...........................................................................

viii

DAFTAR DIAGRAM …......................................................................

ix

BAB I PENDAHULUAN …................................................................

1

1.1

Latar Belakang Masalah …........................................................

1


1.2

Identifikasi Masalah …..............................................................

10

1.3

Maksud dan Tujuan …...............................................................

10

1.4

Kegunaan Penelitian ….............................................................

11

1.4.1. Kegunaan Teoritis …....................…...............................


11

1.4.2 Kegunaan Praktis ….........................................................

11

1.5

Kerangka Pikir …......................................................................

12

1.6

Asumsi …..................................................................................

17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ….......................................................


19

BAB III METODOLOGI PENELITIAN …............................................

39

3.1.

Rancangan dan Prosedur Penelitian ….........................................

39

3.2.

Bagan Prosedur Penelitian …................................…................

39

v


Universitas Kristen Maranatha

3.3.

Variabel Penelitian dan Definisi Operasional …........................... 39
3.3.1 Variabel Penelitian …........................................................... 39
3.3.2. Definisi Operasional ... …...................................................... 40

3.4.

Alat Ukur …................................................................................... 41
3.4.1.Data Utama .......................................................................... 41
3.4.2. Data Pribadi dan Data Penunjang …................................... 44
3.4.3. Validitas dan Realibilitas …..............................…............... 44

3.5.

Populasi dan Karakteristik Populasi .....…....................................

46


3.5.1.Populasi Sasaran …..............................................................

46

3.5.2.Karakteristik Sampel …........................................................ 46
3.6.

Teknik Analisis Data ...................................................................... 46

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................

48

4.1

Hasil Penelitian ............................................................................. 48

4.2


Pembahasan ................................................................................... 61

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...…............................................

69

5.1

Kesimpulan ................................................................................... 69

5.2

Saran .............................................................................................. 70

DAFTAR PUSTAKA …............................................................…..........

72

DAFTAR RUJUKAN ….............................................................…........


73

LAMPIRAN

vi

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Kisi-kisi alat ukur ………………………………………………. 41
Tabel 3.2 Skor untuk tiap pilihan jawaban ………………………………... 42
Tabel 3.3 Kategori skor tiap dimensi dan Psychological Well-Being ……... 43
Tabel 3.4 Kriteria Validitas ………………………………………………... 44
Tabel 3.5 Kriteria Reliabilitas ……………………………………………... 44
Tabel 4.1 Gambaran Subyek Penelitian …………………………………… 47
Tabel 4.2 Gambaran Psychological Well-Being …………………………... 48
Tabel 4.3 Gambaran dimensi-dimensi Psychological Well-Being ………… 49
Tabel 4.4 Detail Psychological Well-Being dan dimensinya ……………… 50
Tabel 4.5 Crosstab Psychological Well-Being dan

faktor-faktor yang mempengaruhinya ………………………….. 54

vii

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Dimensi utama dari psychological well being …………… 22

viii

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR DIAGRAM

Bagan 1.1 Bagan Kerangka Pikir ..................................................................

18


Bagan 3.1 Prosedur Penelitian ……………………………………………..

38

ix

Universitas Kristen Maranatha

BAB I
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Masalah
Dalam berita akhir-akhir ini terlihat semakin maraknya penggunaan

narkoba ataupun seks bebas di kalangan remaja. Pergaulan bebas ini akan
berdampak buruk terhadap diri mereka sendiri, salah satunya yaitu terjangkitnya
penyakit menular dari penggunaan narkoba ataupun seks bebas tersebut. Salah
satu penyakit menular yang dapat menjangkit mereka adalah HIV.
HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus. Virus ini
menyerang sel darah putih yang bernama sel CD4 sehingga dapat merusak sistem
kekebalan tubuh manusia. Virus HIV menyerang sel CD4 dan mengubahnya
menjadi tempat berkembang biak Virus HIV, baru kemudian merusaknya
sehingga tidak dapat digunakan lagi, padahal sel darah putih sangat diperlukan
untuk sistem kekebalan tubuh. Hal ini mengakibatkan seseorang tidak dapat
bertahan dari gangguan penyakit walau yang sangat ringan sekalipun.
HIV menular melalui cairan tubuh seperti darah, semen atau air mani,
cairan vagina, air susu ibu dan cairan lainnya yang mengandung darah. Virus
tersebut menular pada saat melakukan hubungan seks dengan seseorang yang
telah terinfeksi. Selain itu HIV dapat menular melalui transfusi darah dimana
darah tersebut telah terinfeksi ataupun karena penggunaan jarum suntik yang tidak

1

Universitas Kristen Maranatha

2

steril. Wanita hamil yang sedang menyusui anaknya juga dapat menularkan virus
kepada bayi mereka selama masa kehamilan atau persalinan.
Saat ini, jumlah penderita HIV/AIDS sudah melambung tinggi. Jawa Barat
merupakan provinsi dengan jumlah penderita tertinggi mencapai 3.598 orang dan
yang meninggal 634 orang. Di urutan kedua Jawa Timur 3.227 orang penderita
dan yang meninggal 691 orang. Seterusnya DKI Jakarta 2.828 orang dengan 426
meninggal. Dulu Papua yang berada diurutan tertinggi, kini berada di urutan
keempat 2.808 orang, 371 meningal. Sedangkan daerah wisata Bali 1.615 orang,
283 meninggal dan Nusa Tenggara Barat (NTB) 119 dengan 63 tewas. (Tempo, 7
November 2010)
Secara kumulatif, sejak tahun 1991 sampai Januari 2009, jumlah orang
dengan HIV-AIDS (ODHA) di Kota Bandung tercatat 1.715 orang dan 80 orang
di antaranya meninggal dunia. Dari jumlah tersebut, 62,82% merupakan usia
produktif, yaitu rentang 20-29 tahun. Penyumbang terbesar HIV-AIDS berasal
dari kalangan pengguna narkoba jarum suntik (65,92%) (Tempo, 7 November
2010).
Penggunaan narkoba jarum suntik memberi kontribusi paling besar dalam
epidemi nasional ini, tetapi virus ini tidak hanya menyebar di kalangan pengguna
narkoba. HIV juga menular kepada pasangan dan ibu-ibu rumah tangga yang
tidak mengetahui bahwa pasangannya terinfeksi HIV; anak-anak yang terlahir dari
ibu yang tidak mengetahui dirinya terinfeksi HIV; dan remaja yang tidak
mengetahui konsekuensi dari perilaku yang beresiko.

Universitas Kristen Maranatha

3

Ketika seseorang pertama kali mengetahui dirinya mengidap HIV,
reaksinya bisa bermacam-macam. Ada yang biasa saja karena memang belum
tahu apa-apa tentang HIV, ada juga yang kaget hingga tak mampu berkata-kata.
Reaksi kaget atau shock merupakan reaksi paling umum dialami para pengidap
HIV ketika pertama kali mengetahui dirinya terinfeksi. Kadang-kadang reaksi ini
disertai dengan sikap penolakan atau denial, yakni perasaan tidak percaya pada
hasil tes yang mendorongnya untuk melakukan tes ulang. Namun yang lebih
buruk, kadang-kadang kekagetan ini berkembang menjadi depresi berat karena
memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang mungkin dihadapi akibat
penyakit ini (Pramudiarja, 2010).
Dampak yang terjadi ketika seseorang menderita HIV salah satunya adalah
menurunnya relasi sosial dengan orang lain. Hal ini dikarenakan adanya
pandangan negatif terhadap orang dengan HIV tersebut. Mereka dianggap dapat
menularkan penyakit mereka apabila orang lain berdekatan dengan mereka,
karena hal inilah orang dengan HIV seringkali mendapatkan diskriminasi dari
masyarakat.
Diskriminasi terjadi ketika pandangan negatif mendorong orang atau
lembaga untuk memperlakukan seseorang secara tidak adil yang didasarkan pada
prasangka mereka akan status HIV seseorang. Contoh-contoh diskriminasi
meliputi para staf rumah sakit atau penjara yang menolak memberikan pelayanan
kesehatan kepada orang yang hidup dengan HIV dan AIDS, atasan yang
memberhentikan pegawainya berdasarkan status atau prasangka akan status HIV

Universitas Kristen Maranatha

4

mereka, atau keluarga/masyarakat yang menolak mereka yang hidup, atau
dipercayai hidup, dengan HIV dan AIDS (Evelyn, 2009).
Stigma dan diskriminasi terhadap orang yang hidup dengan HIV dan
AIDS disebabkan karena kurangnya informasi yang benar tentang cara penularan
HIV, adanya ketakutan terhadap HIV dan AIDS, dan fakta AIDS sebagai penyakit
mematikan (Evelyn, 2009). Stigma dan diskriminasi bisa mendorong terjadinya
depresi, kurangnya penghargaan diri, dan keputusasaan. Stigma dan diskriminasi
juga menghambat upaya pencegahan dengan membuat orang takut untuk
mengetahui apakah mereka terinfeksi atau tidak. Bisa pula menyebabkan mereka
yang telah terinfeksi meneruskan praktik seksual tidak aman karena takut orangorang akan curiga terhadap status HIV mereka (Evelyn, 2009).
Epidemi AIDS di Indonesia merupakan sebuah “fenomena gunung es”
yang berbahaya. Dikarenakan stigma terhadap Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA)
sangat tinggi, jumlah kasus yang tercatat hanya sebagian kecil dari keadaan yang
sebenarnya. Orang dengan HIV/AIDS tidak berani mengungkapkan keadaan diri
mereka yang sebenarnya karena adanya diskriminasi oleh masyarakat terhadap
mereka (rumahcemara.org).
Rumah Cemara merupakan salah satu komunitas yang menangani orang
dengan HIV di Kota Bandung. Pengurus Rumah Cemara bekerja setiap harinya
untuk memberikan layanan pencegahan dan perawatan kepada komunitas sebaya
dan orang dengan HIV/AIDS di Jawa Barat. Mengingat epidemi HIV/AIDS di
Indonesia sebagian besar didorong oleh penyalahgunaan narkoba, maka Rumah
Cemara memberikan layanan kesehatan bagi kedua permasalahan ini.

Universitas Kristen Maranatha

5

Rumah Cemara pada awalnya didirikan pada tanggal 1 Januari 2003 oleh
lima orang pecandu narkoba yang sedang dalam masa pemulihan. Mereka percaya
bahwa sebuah perubahan dalam masyarakat, harus diawali dari perubahan di
dalam komunitas itu sendiri. Sesudah mendirikan Pusat Perawatan untuk
pengguna narkoba, lima pendiri Rumah Cemara berpikir bahwa permasalahan
HIV/AIDS sangat rentan terjadi juga pada pengguna narkoba khususnya pengguna
narkoba suntik. Mereka memutuskan untuk fokus kepada pengguna narkoba dan
orang dengan HIV/AIDS sebagai target group mereka.
Rumah Cemara memiliki visi yaitu memimpikan Indonesia tanpa
diskriminasi terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dan orang yang
menggunakan narkoba. Hal ini bertujuan agar tercipta kualitas hidup yang lebih
baik bagi orang dengan HIV/AIDS dan pengguna narkoba di Indonesia.
Rumah Cemara memiliki 45 orang pengurus yang bekerja untuk
menjangkau orang-orang yang mengidap HIV positif dan orang-orang yang
beresiko tinggi terkena dampak HIV positif seperti para pengguna jasa seks
komersial. Selain itu para pengurus Rumah Cemara juga bekerja untuk
mendampingi mereka berobat, merawat dan memberikan dukungan psiko-sosial
kepada mereka.
Berdasarkan wawancara dengan salah satu pengurus Rumah Cemara, 37
orang dari pengurus Rumah Cemara merupakan orang-orang dengan HIV positif.
Sebagian besar dari mereka terjangkit HIV melalui jarum suntik narkoba,
sebagian kecil lainnya terjangkit melalui hubungan seks. Untuk menjadi pengurus

Universitas Kristen Maranatha

6

di Rumah Cemara ini, para mantan pecandu haruslah dalam keadaan clean, dalam
arti tidak menggunakan lagi narkoba ataupun tidak lagi berhubungan seks bebas.
Menurut salah seorang pengurus Rumah Cemara, orang yang membantu
pengguna narkoba dan orang dengan HIV/AIDS harus terlibat langsung dalam
masalah narkoba dan HIV karena secara nyata mereka yang terdampak langsung
dan mengenal permasalahan mereka sendiri. Orang yang membantu orang lain
membantu dirinya sendiri, karena hidup adalah untuk berbagi.
Selain menjangkau para penderita dan orang yang beresiko tinggi terhadap
HIV/AIDS, Rumah Cemara juga memiliki program Intervensi untuk masyarakat
umum. Melalui intervensi ini, Rumah Cemara bertujuan untuk mengurangi stigma
dan diskriminasi yang ditujukan pada orang-orang menggunakan narkoba dan
hidup dengan HIV, untuk membuktikan bahwa mereka adalah anggota
masyarakat yang berharga, dan bagian dari solusi untuk mengatasi kecanduan dan
HIV/AIDS, sebagai pendidik, petugas kesehatan, dan tokoh masyarakat. Stigma
yang ada di masyarakat akan dapat mempengaruhi penilaian terhadap kehidupan
yang mereka jalani.
Setiap individu akan mengevaluasi peristiwa hidup yang dialaminya. Apa
yang dirasakan individu mengenai aktivitas dalam kehidupan sehari-hari serta
mengarah pada pengungkapan perasaan-perasaan pribadi atas apa yang dirasakan
oleh individu sebagai hasil dari pengalaman hidupnya, oleh Ryff (1989) disebut
dengan psychological well-being (PWB). PWB dapat ditandai dengan
diperolehnya kebahagiaan, kepuasan hidup dan tidak adanya gejala-gejala depresi
(Ryff, 1995).

Universitas Kristen Maranatha

7

Ryff menyebutkan bahwa PWB terdiri atas enam dimensi, yaitu
penerimaan terhadap diri sendiri (self-acceptance), memiliki

hubungan yang

positif dengan orang lain (positive relation with others), mandiri (autonomy),
pengguasaan terhadap lingkungan (environmental mastery), memiliki tujuan dan
arti hidup (purpose in life) serta pertumbuhan dan perkembangan yang
berkelanjutan (personal growth) (Ryff & Keyes, 1995). PWB tidak berdiri sendiri,
tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, yaitu jenis kelamin, usia, status
marital, status sosioekonomi, tingkat pendidikan, dan kepribadian.
Dari survey awal yang dilakukan terhadap 4 orang pengurus Rumah
Cemara, semua pengurus mengatakan bahwa mereka dapat menerima keadaan diri
mereka saat ini, puas dengan kehidupan mereka saat ini dan mereka juga berani
membuka status mereka kepada orang lain (self-acceptance). Sebagai seorang
pengurus Rumah Cemara, mereka berani membuka status mereka sebagai
pengidap HIV, baik kepada masyarakat umum maupun sesama penderita HIV.
Namun, orang-orang pengidap HIV lainnya sebagian besar tidak berani membuka
status mereka, dan hanya berani membukanya kepada sesama pengidap HIV.
Dari empat orang pengurus, 3 orang diantaranya mengatakan mereka
masih berhubungan baik dengan keluarga, teman-teman dan memiliki hubungan
yang hangat dan saling percaya. Mereka cukup dekat dengan keluarga dan temanteman mereka dan mampu membangun hubungan baru dengan orang lain
(positive relation with others). Jika hari libur, mereka lebih banyak berkumpul
dengan keluarga mereka. Seorang pengurus lainnya mengatakan juga memiliki

Universitas Kristen Maranatha

8

hubungan yang baik dengan keluarganya, namun teman-temannya kebanyakan
hanya berasal dari pengurus Rumah Cemara lainnya.
Seorang dari pengurus Rumah Cemara mengatakan bahwa ia dapat
mengambil keputusan sendiri dalam tindakan apa yang dilakukannya (autonomy).
Menurutnya apapun yang dilakukan orang lain, apabila kita memiliki pendirian,
kita tidak akan mengikuti perbuatan mereka. Sementara 3 orang pengurus lainnya
mengatakan bahwa mereka terkadang belum dapat mengambil keputusan untuk
dirinya sendiri. Mereka masih membutuhkan saran dari orang lain. Misalkan
dalam pekerjaan, ketika akan bertemu dengan klien, mereka tidak akan pergi
sendirian sehingga apabila klien mereka sedang melakukan hal yang membuat
mereka ingin mengikutinya, mereka tidak akan tertarik. Mereka dapat menjaga
satu sama lain.
Keempat pengurus Rumah Cemara yang mengidap HIV mengatakan
mereka memiliki tujuan hidup dan cita-cita. Mereka memiliki target yang harus
mereka capai dalam hidup (purpose in life) dan yakin suatu saat mereka pasti akan
mencapai target mereka. Masa lalu dapat mereka terima dan dapat dijadikan
pembelajaran untuk kehidupan yang lebih baik kedepannya. Seorang pengurus
mengatakan bahwa ia ingin bisa memiliki rumah sendiri dengan usahanya,
sedangkan pengurus lainnya ada yang ingin berkeluarga, ada yang ingin usaha
binis mobilnya bisa sukses, dan ada yang ingin memiliki perkerjaan lain selain di
Rumah Cemara.
Para pengurus Rumah Cemara yang mengidap HIV Positif mengatakan
pada dasarnya mereka ingin terus mengembangkan kemampuannya walaupun

Universitas Kristen Maranatha

9

mereka mengetahui jangka waktu hidup mereka tidak terlalu lama. Mereka
menyadari bahwa mereka harus terus berkembang dan meningkatkan kemampuan
diri sejalan dengan perkembangan zaman yang semakin modern (personal
growth). Mereka seringkali mengikuti pelatihan-pelatihan yang diadakan oleh
Rumah Cemara. Namun, terkadang saat merasa malas untuk ikut, para pengurus
ini memilih untuk tidak mengikuti pelatihan tersebut.
Para pengurus Rumah Cemara yang mengidap HIV Positif mengatakan
bahwa mereka cukup mampu memenuhi kebutuhan finansialnya, namun mereka
belum mampu mengatur lingkungan di sekitar mereka (environmental mastery).
Hal yang paling mudah dilihat misalnya ketika mereka tidak mampu untuk
memperbaiki stigma negatif orang terhadap mereka. Mereka sulit membuat orang
lain bisa menerima mereka, namun mereka melakukan usaha untuk dapat
memperbaiki keadaan tersebut, misalnya dengan mengajak team-team futsal dari
luar untuk bertanding dengan mereka kemudian mereka akan menayangkan video
tentang kehidupan mereka. Hal ini dimaksudkan agar orang luar dapat
menghilangkan stigma negatif terhadap diri mereka.
Suatu studi menunjukkan bahwa stigma terkait HIV dianggap memiliki
dampak yang kuat dan signifikan terhadap harga diri dan kesejahteraan psikologis
ODHA. Singkatnya, hasil peneitian ini menunjukkan bahwa stigma terkait HIV
dirasakan memang masalah berat yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari
ODHA (Stutterheim, Bos, & Schaalma, 2008). Dengan adanya masalah berat
yang dialami para penderita HIV Positif, disinyalir mereka memiliki
psychological well-being yang rendah, namun dari hasil survey awal berupa

Universitas Kristen Maranatha

10

wawancara yang dilakukan terhadap pengurus Rumah Cemara yang mengidap
HIV Positif tidak terlihat hal demikian. Pengurus Rumah Cemara diharapkan
memiliki psychological well-being yang tinggi karena mereka bekerja untuk
melayani dan membantu para pengidap HIV Positif lainnya.
Berdasarkan fenomena di atas, para pengurus Rumah Cemara memiliki
gambaran yang bervariasi untuk setiap dimensi yang akan mempengaruhi PWB
mereka. Hal inilah yang membuat peneliti tertarik untuk mengetahui gambaran
psychological well-being pada pengurus Rumah Cemara yang mengidap HIV
Positif.

1.2

Identifikasi Masalah
Dari penelitian ini ingin diketahui mengenai gambaran psychological well-

being pengurus Rumah Cemara yang mengidap HIV positif.

1.3

Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1

Maksud
Memperoleh gambaran mengenai psychological well-being pengurus

Rumah Cemara yang mengidap HIV positif.

1.3.2

Tujuan
Memperoleh gambaran lebih detail mengenai psychological well-being

pengurus Rumah Cemara yang mengidap HIV positif yang dilihat dari dimensidimensinya, yaitu self-acceptance, purposive in life, positive relation with others,

Universitas Kristen Maranatha

11

autonomy, environmental mastery, dan personal growth serta memperoleh
gambaran mengenai faktor-faktor yang mempengaruhinya.

1.4

Kegunaan Penelitian

1.4.1

Kegunaan Teoritis


Memberikan informasi bagi bidang ilmu Psikologi Klinis mengenai
psychological well-being orang dengan HIV yang menjadi pengurus
LSM untuk orang dengan HIV.



Memberikan masukan bagi peneliti lain yang berminat melakukan
penelitian lanjutan mengenai psychological well-being khususnya pada
orang pengidap HIV Positif yang menjadi pengurus LSM untuk orang
dengan HIV.

1.4.2

Kegunaan Praktis


Memberikan informasi kepada pengurus Rumah Cemara agar mereka
dapat mengetahui gambaran secara umum mengenai kesejahteraan
psikologisnya dan dapat menjadi bahan evaluasi bagi mereka dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan psikologis. Pemberian informasi
dilakukan melalui presentasi tentang hasil penelitian di Rumah
Cemara.



Memberikan informasi mengenai PWB pengurus Rumah Cemara yang
menjadi responden dan memberikan masukan mengenai dimensidimensi yang perlu mendapat perhatian khusus (agar dapat

Universitas Kristen Maranatha

12

ditingkatkan). Pemberian informasi tersebut dapat dilakukan apabila
ada dari pengurus yang secara khusus ingin mengetahui hasil dari
pengukuran PWB-nya dan peneliti akan langsung mengadakan kontak
secara pribadi.

1.5

Kerangka Pikir
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan

gejala penyakit yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV).
Virus HIV ditemukan dalam cairan tubuh terutama pada darah, cairan sperma,
cairan vagina, air susu ibu. Virus tersebut merusak sistem kekebalan tubuh
manusia dan mengakibatkan turunnya atau hilangnya daya tahan tubuh sehingga
mudah terjangkit penyakit infeksi.
Ketika seseorang pertama kali mengetahui dirinya mengidap HIV,
reaksinya bisa bermacam-macam. Ada yang biasa saja karena memang belum
tahu apa-apa tentang HIV, ada juga yang kaget hingga tak mampu berkata-kata.
Reaksi kaget atau shock merupakan reaksi paling umum dialami para pengidap
HIV ketika pertama kali mengetahui dirinya terinfeksi. Kadang-kadang reaksi ini
disertai dengan sikap penolakan atau denial, yakni perasaan tidak percaya pada
hasil tes yang mendorongnya untuk melakukan tes ulang. Namun yang lebih
buruk, kadang-kadang kekagetan ini berkembang menjadi depresi berat karena
memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang mungkin dihadapi akibat
penyakit ini (Pramudiarja, 2010).

Universitas Kristen Maranatha

13

Orang dengan HIV seringkali mendapat penilaian negatif dari masyarakat.
Mereka mendapat stigma negatif dan didiskriminasi oleh masyarakat. Stigma dan
diskriminasi bisa mendorong, dalam beberapa kasus, terjadinya depresi,
kurangnya penghargaan diri, dan keputusasaan. Stigma dan diskriminasi juga
menghambat upaya pencegahan dengan membuat orang takut untuk mengetahui
apakah mereka terinfeksi atau tidak. Bisa pula menyebabkan mereka yang telah
terinfeksi meneruskan praktik seksual tidak aman karena takut orang-orang akan
curiga terhadap status HIV mereka (Evelyn, 2009).
Stigma yang ada di masyarakat akan dapat mempengaruhi penilaian
mereka terhadap kehidupan yang mereka jalani. Menurut Ryff (1989), konsep
yang berkaitan dengan apa yang dirasakan individu mengenai aktivitas dalam
kehidupan sehari-hari serta

mengarah pada pengungkapan perasaan-perasaan

pribadi atas apa yang dirasakan oleh individu sebagai hasil dari pengalaman
hidupnya merupakan psychological well-being (PWB). PWB dapat ditandai
dengan diperolehnya kebahagiaan, kepuasan hidup dan tidak adanya gejala-gejala
depresi (Ryff, 1995). Psychological well-being pada pengurus Rumah Cemara
yang mengidap HIV Positif terdiri dari 6 dimensi, yaitu : self-acceptance, positive
relation with others, environmental mastery, personal growth, purpose in life, dan
autonomy.
Dimensi self acceptance menggambarkan bahwa Pengurus Rumah Cemara
yang mengidap HIV Positif dapat menerima diri apa adanya, bersikap positif
terhadap diri sendiri dan kehidupan yang dijalaninya. Pengurus Rumah Cemara
yang memiliki tingkat penerimaan diri yang baik ditandai dengan bersikap positif

Universitas Kristen Maranatha

14

terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima berbagai aspek yang ada dalam
dirinya, baik positif maupun negatif dan memiliki pandangan positif terhadap
masa lalu. Demikian pula sebaliknya, pengurus Rumah Cemara yang memiliki
tingkat penerimaan diri yang kurang baik yang memunculkan perasaan tidak puas
terhadap diri sendiri, merasa kecewa dengan pengalaman masa lalu, dan
mempunyai pengharapan untuk tidak menjadi dirinya saat ini.
Dimensi yang kedua adalah positive relations with others. Ryff & Singer
(1996) menekankan pentingnya menjalin hubungan saling percaya dan hangat
dengan orang lain. Dimensi ini juga menekankan adanya kemampuan yang
merupakan salah satu komponen kesehatan mental yaitu kemampuan untuk
mencintai orang lain. Pengurus Rumah Cemara yang memiliki nilai tinggi atau
baik dalam dimensi ini ditandai dengan adanya hubungan yang hangat dengan
orang lain, memuaskan dan saling percaya dengan orang lain. Mereka juga
mempunyai rasa afeksi dan empati yang kuat dengan sesamanya. Sebaliknya,
pengurus Rumah Cemara yang memiliki nilai yang rendah hanya mempunyai
sedikit hubungan dengan orang lain, sulit untuk bersikap hangat dan enggan untuk
mempunyai ikatan dengan orang lain. Hal ini menandakan bahwa ia kurang baik
dalam dimensi ini.
Dimensi autonomy menjelaskan mengenai kemandirian. Pengurus Rumah
Cemara harus memiliki kemampuan untuk menentukan diri sendiri, dan
kemampuan untuk mengatur tingkah lakunya. Pengurus Rumah Cemara yang
mampu untuk menolak tekanan sosial, untuk berpikir dan bertingkah laku dengan
cara-cara tertentu, serta dapat mengevaluasi diri sendiri dengan standar personal,

Universitas Kristen Maranatha

15

menandakan bahwa ia baik dalam dimensi ini. Sebaliknya, pengurus Rumah
Cemara yang kurang baik dalam dimensi autonomy akan memperhatikan harapan
dan evaluasi dari orang lain, membuat keputusan berdasarkan penilaian orang
lain, dan cenderung bersikap konformis.
Dimensi psychological well-being yang keempat adalah purpose in life.
Pengurus Rumah Cemara harus memiliki arah dalam mencapai tujuan hidupnya.
Pengurus Rumah Cemara yang mempunyai rasa keterarahan dalam hidup,
mempunyai perasaan bahwa kehidupan saat ini dan masa lalu mempunyai
keberartian, memegang kepercayaan

yang memberikan tujuan hidup, dan

mempunyai target yang ingin dicapai dalam hidup, maka ia dapat dikatakan
mempunyai dimensi purpose in life yang baik. Sebaliknya, pengurus Rumah
Cemara yang kurang baik dalam dimensi ini mempunyai perasaan bahwa tidak
ada tujuan yang ingin dicapai dalam hidup, tidak melihat adanya manfaat dalam
masa lalu kehidupannya, dan tidak mempunyai kepercayaan yang dapat membuat
hidup lebih berarti.
Dimensi yang kelima adalah personal growth. Dimensi ini menjelaskan
mengenai kemampuan individu untuk mengembangkan potensi dalam diri dan
berkembang sebagai seorang manusia. Dimensi ini dibutuhkan oleh individu agar
dapat optimal dalam berfungsi secara psikologis. Salah satu hal penting dalam
dimensi ini adalah adanya kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri, misalnya
dengan keterbukaan terhadap pengalaman. Pengurus Rumah Cemara yang baik
dalam dimensi ini mempunyai perasaan untuk terus berkembang, melihat diri
sendiri sebagai sesuatu yang bertumbuh, menyadari potensi yang terdapat di

Universitas Kristen Maranatha

16

dalam dirinya, dan mampu melihat peningkatan dalam diri dan tingkah laku dari
waktu ke waktu. Sebaliknya, pengurus Rumah Cemara yang kurang baik dalam
dimensi ini akan menampilkan ketidakmampuan untuk mengembangkan sikap
dan tingkah laku baru, mempunyai perasaan bahwa ia adalah seorang pribadi yang
stagnan, dan tidak tertarik dengan kehidupan yang dijalani.
Dimensi environmental mastery menggambarkan tentang kemampuan untuk
memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi fisik dirinya.
Dengan kata lain, ia mempunyai kemampuan dalam menghadapi kejadiankejadian diluar dirinya. Pengurus Rumah Cemara yang memiliki nilai tinggi
dalam dimensi ini mampu untuk memanipulasi keadaan sehingga sesuai dengan
kebutuhan

dan

nilai-nilai

pribadi

yang dianutnya

dan

mampu

untuk

mengembangkan diri secara kreatif melalui aktivitas fisik maupun mental.
Sebaliknya, pengurus Rumah Cemara yang kurang baik dalam dimensi ini akan
menampakkan ketidakmampuan untuk mengatur kehidupan sehari-hari, dan
kurang memiliki kontrol terhadap lingkungan luar.
Dimensi-dimensi psychological well-being ini dipengaruhi oleh faktorfaktor sosiodemografis dan faktor kepribadian. Faktor sosiodemografis yang dapat
mempengaruhi psychological well-being pengurus Rumah Cemara yang mengidap
HIV Positif adalah tingkat pendidikan, status marital, status sosioekonomi, usia,
dan jenis kelamin. Faktor kepribadian menurut big five personality terdiri dari 5
jenis kepribadian manusia, yaitu neuroticism, extraversion, conscientiousness,
openness to experience, dan agreeableness. Faktor-faktor ini dapat meningkatkan

Universitas Kristen Maranatha

17

maupun menurunkan psychological well-being pengurus Rumah Cemara yang
mengidap HIV Positif.

1.6

Asumsi


Pengurus Rumah Cemara yang mengidap HIV Positif memiliki derajat
Psychological Well-Being yang berbeda-beda.



Psychological Well-Being pada pengurus Rumah Cemara yang
mengidap HIV Positif ditentukan oleh 6 dimensinya, yaitu selfacceptance, positive relations with others, purpose in life, autonomy,
personal growth, dan environmental mastery.



Dimensi-dimensi psychological well-being dapat dipengaruhi berbagai
faktor yaitu faktor sosiodemografis (status sosioekonomi, usia, jenis
kelamin, tingkat pendidikan, serta status marital) dan faktor
kepribadian (big five personality).

Universitas Kristen Maranatha

18

Dimensi-dimensi Psychological Well-Being:
1. Self-Acceptance
2. Positive Relations With Others
3. Personal Growth
4. Purpose in Life
5. Environmental Mastery
6. Autonomy
Tinggi
Pengurus Rumah
Cemara yang Mengidap
HIV Positif

Psychological Well-Being
Rendah

Faktor yang mempengaruhi:
1. Usia
2. Jenis Kelamin
3. Tingkat Pendidikan
4. Status Sosioekonomi
5. Status Marital
6. Kepribadian

Bagan 1.1 Kerangka Pikir

Universitas Kristen Maranatha

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini, peneliti akan memaparkan hasil interpretasi dan analisis yang
telah dilakukan pada bab sebelumnya beserta saran yang terarah sesuai dengan
hasil penelitian.

5.1

Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat Psychological Well-

Being (PWB) yang dilakukan pada pengurus Rumah Cemara yang mengidap HIV
Positif maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1.

Sebanyak 67,57% dari pengurus Rumah Cemara yang mengidap HIV
Positif (N=37) memiliki derajat PWB yang tinggi dan 32,43% memiliki
derajat PWB yang rendah sehingga dapat dikatakan sebagian besar
pengurus Rumah Cemara memiliki derajat psychological well-being yang
tinggi.

2.

Pengurus Rumah Cemara yang memiliki psychological well-being tinggi
pada umumnya memiliki derajat yang tinggi pada 3-6 dimensinya,
sedangkan pengurus Rumah Cemara yang memiliki psychological wellbeing rendah memiliki derajat yang rendah pada 4-6 dimensinya.

3.

Derajat dimensi positive relation with others diindikasikan memiliki
keterkaitan dengan faktor jenis kelamin.

69

Universitas Kristen Maranatha

70

5.2

Saran

5.2.1

Saran Teoritis

1. Peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian mengenai perbandingan
antara psychological well being pada pengurus Rumah Cemara yang
belum menikah dan pengurus Rumah Cemara yang sudah menikah.
2. Perlu dipertimbangkan melakukan penelitian untuk mengetahui kontribusi
dimensi-dimensi PWB terhadap derajat PWB secara keseluruhan.
3. Perlu dipertimbangkan untuk menggali data penunjang tentang seberapa
lama telah mengidap HIV.
4. Perlu dipertimbangkan untuk menggunakan teori kepribadian yang lebih
sesuai.

5.2.2

Saran Praktis

1. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi pemimpin Rumah Cemara
dan psikolog di Rumah Cemara dalam melakukan pembinaan bagi para
pengurus. Pengurus Rumah Cemara pengidap HIV Positif dengan derajat
PWB yang rendah perlu melakukan usaha untuk meningkatkannya melalui
pengembangan dimensi-dimensi PWB. Pengembangan tersebut dapat
dilakukan dengan mengadakan Seminar atau training pengenalan diri
(Self-Acceptance, Autonomy), mengadakan kegiatan-kegiatan yang sesuai
bakat dan minat untuk mengasah kemampuan mereka (Personal Growth,
Purpose in Life, Environmental Mastery), dan mengadakan kegiatan
kebersamaan di Rumah Cemara (Positive Relation with Others).

Universitas Kristen Maranatha

71

2. Hasil penelitian ini dapat juga menjadi masukan bagi pengurus Rumah
Cemara untuk melihat keadaan kesejahteraan psikologis mereka. Pengurus
Rumah Cemara yang merasa memiliki psychological well-being rendah
diharapkan berperan aktif dalam meningkatkannya, misalnya dengan
berkonsultasi pada psikolog di Rumah Cemara.

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR PUSTAKA

Doherty, William J, dkk. 1989. Marital Disruption and Psychological Well-Being.
Journal of Family Issues, 72-84.
Friendenberg, Lisa. 1995. Psychological Testing: Design, Analysis, and Use.
USA: Allyn & Bacon.
Joshanloo, Mohsen dan Samaneh Afshari. 2010. Big Five Personality Traits as
Predictors of Eudaimonic Well-Being in Iranian University Students.
Psychological Well-Being, 185-198.
Keyes, dkk. The Measurement and Utility of Adult Subjective Well Being. In
Lopez, Shane J, & Snyder, C.R (ed). 2003. Positive Psychological
Assessment; A Handbook of Models and Measures. Washington DC:
American Psychological Association.
Lopez, Jesus, dkk. 2010. Psychological Well Being, Assesment Tools and Related
Factors. Psychological Well-Being, 77-114.
Nazir, M. 1998. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Rammstedt, B. & John, O. P. (2007). Measuring personality in one minute or less:
A 10-item short version of the Big Five Inventory in English and German.
Journal of Research in Personality, 41, 203-212.
Ryff, Carol D. 1989. Happiness Is Everything, or Is It? Explorations on the
Meaning of Psychological Well Being. Journal of Personality and Social
Psychology, 1069-1081.
___________ dan Keyes. 1995. The Structure of Psychological Well-Being
Revisited. Journal of Personality and Social Psychology, 719-727.
___________ dan Burton Singer. 2002. Integrative Science in Pursuit of Human
Health and Well-Being. From Social Structure to Biology, 541-555.
Sarwono, Jonathan. 2011. Buku Pintar IBM SPSS Statistics 19. Jakarta: Elex
Media

72

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR RUJUKAN

Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular & Penyehatan Lingkungan
Departemen Kesehatan RI. 2003. Pedoman Nasional Perawatan,
Dukungan, dan Pengobatan Bagi ODHA. Jakarta: Bakti Husada.
Evelyn. 2009. Pahami HIV dan AIDS, Hentikan Stigma. (Online).
(http://hidupituindah.com/2009/10/02/407/pahami-hiv-dan-aids-hentikanstigma.html, diakses 9 Maret 2011).
Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha. 2009. Pedoman Penulisan
Skripsi Sarjana. Bandung: FP UKM.
Irene. 2010. Studi Deskriptif mengenai Psychological Well-Being ditinjau dari
Dimensi-Dimensinya pada Pasien HIV Positif (Usia 20-34 tahun) di RS ‘X’
Bandung. Skripsi. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen
Maranatha.
McCrae, R.R., & Allik, J. (2002). The Five Factor Model of personality across
cultures. New York: Kluwer Academic/ Plenum Publishers
(http://rumahbelajarpsikologi.com/index.php/big-5-p.html, diakses 1 Mei
2011).
Pramudiarja, AN Uyung. 2010. Beginilah Rasanya Divonis HIV Positif. (Online).
(http://us.detikhealth.com/read/2010/11/28/121835/1504171/763/beginilah
-rasanya-divonis-hiv-positif, diakses 9 Maret 2011).
Ryff, Carol D. 2005. Scales of Psychological Well Being. (Online).
(www.unc.edu/peplab/documents/PWB.doc).
Stutterheim, dkk. 3 September 2009. HIV-Related Stigma in The Netherlands.
(Online), (http:///I:/jurnal%20hiv%20stigma%20in%20belanda_files.htm,
diakses 10 Maret 2011).
Tempo Interaktif. 7 November 2010. Penderita HIV/AIDS di Jawa Barat
Tertinggi Indonesia.

73

Universitas Kristen Maranatha