Studi Deskriptif Mengenai Psychological Well-being Remaja Wanita Yang Melakukan Shotgun Marriage Di Provinsi Bali.

STUDI DESKRIPTIF MENGENAI PSYCHOLOGICAL WELL-BEING REMAJA
WANITA YANG MELAKUKAN SHOTGUN MARRIAGE DI PROVINSI BALI

NI MADE SINTA PERTIWI

ABSTRAK

Masa remaja merupakan masa untuk mengeksplorasi diri. Salah satunya dalam hal
eksplorasi seksual. Remaja akan melibatkan aktivitas seksual yang kadang tidak bertanggung
jawab, hal ini memungkinkan terjadinya kehamilan. Kehamilan tersebut membuat remaja
terpaksa memutuskan untuk menikah, yang biasanya disebut shotgun marriage. Di Bali masih
banyak remaja yang melakukan shotgun marriage. Perubahan peran sebagai seorang ibu yang
dialami dapat menjadi tantangan tersendiri bagi remaja perempuan. Psychological well-being
sebagai hasil evaluasi atau penilaian seseorang terhadap kemampuan untuk mengenali potensi
unik dari dirinya kemudian mengoptimalkan potensi tersebut dalam berbagai aspek
kehidupan, terutama dalam menghadapi berbagai tantangan dan perubahan dalam hidup (Ryff
1989, Ryff & Keyes 1995).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran psychological well-being remaja
wanita yang menjalankan shotgun marriage di Bali dalam perannya sebagai seorang ibu.
Rancangan penelitian bersifat non eksperimental dengan pendekatan kuantitatif dan metode
deskriptif. Terdapat 35 remaja perempuan yang menjadi sampel dengan teknik snowball

sampling.
Hasil penelitian menunjukan bahwa psychological well-being remaja perempuan
tergolong ke dalam katagori sedang, yaitu sebesar 62,9%. Hal ini berarti responden belum
mengoptimalkan potensi dirinya dalam menghadapi tantangan-tantangan sebagai seorang ibu.

Kata Kunci : Psychological well-being, remaja perempuan, shotgun marriage, peran sebagai
ibu

PENDAHULUAN

Remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari masa anak-anak menuju masa
dewasa. Pada masa ini remaja mengalami banyak sekali perubahan, baik perubahan fisik
maupun psikis. Pada masa ini remaja mulai melepaskan diri dari orang tua dalam rangka
menjalankan peran sosial yang baru sebagai orang dewasa (Clarke-Stewart & Friedman,
1987; Ingersoll, 1989 dikutip dalam Agustiani, 2006). Menurut Konopka (1973, dalam
Agustiani, 2006) masa remaja dibagi kedalam tiga masa yaitu masa remaja awal (12-15
tahun) pada masa ini individu mulai meninggalkan peran sebagai anak-anak, berusaha
mengembangkan diri dan tidak tergantung pada orang tua, masa remaja tengah (15-18 tahun)
masa ini ditandai dengan berkembangnya kemampuan berpikir yang baru, mengembangkan
kematangan tingkah laku, dan penerimaan dari lawan jenis, Yang terakhir masa remaja akhir

(19-22 tahun) tahap ini ditandai remaja berusaha menetapkan tujuan yang vokasional dan
mengembangkan sense of personal identity serta mulai adanya keinginan yang kuat untuk
matang dan diterima oleh kelompok sebaya dan orang dewasa.
Menurut Connolly & McIsaac (2009, dalam Santrock, 2014) pada usia 14-16 tahun
remaja berada pada tahap mengeksplorasi hubungan romantis. Pada tahap ini remaja mulai
terlibat dalam casual dating dan pacaran dalam kelompok dan pada usia 17-19 tahun pada
tahap ini remaja mulai menjalin hubungan yang serius mirip dengan hubungan romantis
oreng dewasa. Pacaran pada remaja dapat berlanjut ke tahap berhubungan seksual dimana
banyak remaja yang melakukan hubungan seksual yang tidak bertanggngungjawab. Seperti
terlihat pada hasil survei tahun 2006, PKBI menyebutkan, 1). kisaran umur pertama kali
yakni 13-18 tahun melakukan hubungan seks, 2). 60% tidak menggunakan alat atau obat
kontrasepsi, 3).

85% dilakukan di rumah sendiri (http://www.okezone.com). Hubungan

seksual yang tidak bertanggung jawab dapat menyebabkan kehamilan yang tidak diingikan
oleh remaja. Seperti yang dijabarkan dalam survei tahun 2007 SKKRI menunjukan perilaku
seks pranikah remaja cenderung terus meningkat dan kehamilan yang tidak diinginkan (KTD)
juga terjadi pada remaja (http://www.okezone.com). Perempuan yang belum menikah hanya
dapat melanjutkan kehamilannya yang tidak diinginkan secara sah dengan melaksanakan

pernikahan (Bennet, 2001 dalam Fajarwidya, 2013).
Pernikahan yang terpaksa terjadi karena kehamilan yang tidak diinginkan atau remaja
perempuan hamil itu disebut dengan istilah shotgun marriage (Santrock, 2014). Shotgun

marriage dilakukan untuk menutupi rasa malu melakukan hubungan seksual di luar

pernikahan karena perilaku tersebut dapat menyebabkan kehamilan. Remaja cenderung
menikah sebelum bayi mereka lahir yang menurut mereka solusi dan tanggungjawab atas
kehamilan mereka. Jika shotgun marriage terjadi dan menyebabkan orang yang tidak ingin
menikah dan tidak cocok satu sama lain bersama, akan dapat memunculkan ketidakstabilan
atau tingkat konflik yang tinggi dalam pernikahaanya, oleh karena itu mungkin tidak akan
memberikan keuntungan bagi anak mereka (Musick and Meier, 2010 dalam Su, Sassler, &
Dunifon, 2012). Pernikahan yang terjadi karena kehamilan cenderung memiliki tingkat koflik
yang tinggi dengan pasangan dan lebih besar kemungkinan untuk bercerai (Surra et al. 1987;
Teachman 2002; Knab 2006 dalam Iwasawa & Kamata, 2014).
Shotgun marriage akan mempercepat tahapan kehidupan pernikahan remaja, remaja

dalam waktu beberapa bulan akan segera menjadi ibu muda dimana remaja yang menjadi ibu
akan merasa kurang kompeten dalam membesarkan anaknya dan kurang realistis terhadap
ekspektasi tumbuh kembang anaknya (Osofsky, 1990 dalam Santrock, 2014). Ibu ini akan

memiliki tanggung jawab seperti menerima dan menyesuaikan diri terhadap tekanan dari
peran sebagai ibu, belajar bagaimana mengurus bayi, membangun dan mengelola kesehatan
keluarga, menyediakan kesempatan penuh untuk perkembangan anak, berbagi tanggungjawab
sebagai orang tua dengan suami, mengelola kepuasan hubungan dengan suami, membuat
penyesuaian yang baik pada realitas praktis kehidupan seperti membantu suami dalam
perencanaan finansial keluarga, dan mandiri (Duval, 1977).
Veroff et al. (1981 dalam Barnett, Baruch, & Rosalind, 1986) menemukan bahwa
pasangan muda kurang positif memandang perannya sebagai orang tua dibandingkan dengan
pasangan yang berusia lebih tua.Townsend et al (2000), menyatakan bahwa banyaknya peran
yang dimiliki seorang wanita dihubungkan dengan semakin baiknya psychological well-being
wanita tersebut, namun disisi lain peran yang besar dapat menimbulkan efek-efek negatif
yang akan memicu stres seperti berkurangnya kepuasan hidup, munculnya gejala-gejala
depresif. Psychological well-being sebagai hasil evaluasi atau penilaian seseorang terhadap
kemampuan untuk mengenali potensi unik dari dirinya kemudian mengoptimalkan potensi
tersebut dalam berbagai aspek kehidupan, terutama dalam menghadapi berbagai tantangan
dan perubahan dalam hidup (Ryff 1989, Ryff & Keyes 1995, Ryff & Singer, 2006).
Psychological well-being adalah konsep dari kesejahteraan individu yang mampu menerima

siapa dirinya, psychological well-being tidak memiliki gejala depresi dan selalu memiliki


tujuan dalam hidup yang dipengaruhi oleh fungsi psikologi positif dalam bentuk aktualisasi
diri, penguasaan lingkungan sosial, dan pengembangan diri (Ryff, 1989).
Menurut Ryff (1995) fondasi untuk memperoleh kesejahteraan psikologis
(psychological well-being) adalah individu yang secara psikologis dapat berfungsi positif
(positive psychological functioning). Komponen individu yang mempunyai fungsi psikologis

yang positif

(Ryff, 1989) adalah self-acceptence, personal growth, purpose in life,

environmental mastery, autonomy, positive relations with others.
Self-acceptence atau penerimaan diri adalah individu yang mampu menerima dirinya

seperti memiliki sikap yang positif terhadap dirinya dan orang lain, mengakui dan menerima
berbagai aspek dalam dirinya, memiliki perasaan yang positif terhadap apa yang terjadi di
masa yang lalu. Individu yang benar-benar tau kekuatannya dan menerima kekurangannya.
Pada masa ini remaja mampu menerima dirinya sebagai individu yang telah menikah serta
remaja memandang positif dirinya sebagi wanita yang menikah karena hamil. Selain itu
menerima peran barunya sebagai seorang ibu dan menerima kehadiaran anak dalam
kehidupannya sebagai sesuatu yang baik.

Personal

growth

ditunjukkan

dengan

adanya

keinginan

untuk

terus

mengaktualisasikan diri serta keinginan untuk terus mengembangkan potensi dirinya. Remaja
yang mau tumbuh dan berkembang, terbuka pada pengalaman baru, mengenali potensi yang
mereka miliki, tahu bagaimana cara mengembangkan dirinya setelah menikah serta mau
berkontribusi dengan lingkungannya menunjukan personal growth


yang baik dan dapat

menjadi pemfungsian psikologis yang positif.
Purpose in life atau tujuan dalam hidup diartikan sebagai adanya keyakinan pada diri

individu bahwa hidup adalah sesuatu yang bermakna dan memiliki tujuan. Remaja yang
memahami tujuan hidup, memiliki arah dan bepegang pada keyakinanya bahwa hidup
memiliki makna akan mengindikasikan bahwa remaja tersebut memiliki kesejahteraan
psikologis yang positif. Hal ini akan mendorong munculnya rasa kebermaknaan dalam hidup
remaja yang telah menikah.
Environmental mastery atau penguasaan lingkungan adalah kemampuan individu

untuk memilih atau menciptakan kondisi lingkungan yang cocok untuk kondisi psikisnya.
Partisipasi aktif dan penguasaan terhadap lingkungan menunjukan fungsi psikologis yang
positif. Remaja yang menikah karena hamil mampu memilih, menciptakan dan mengontrol

sendiri kondisi tertentu yang dianggap sesuai dengan dirinya serta kebutuhan-kebutuhannya.
Remaja merasa mampu mengelola lingkungan sekitarnya sesuai yang ia butuhkan untuk
menjalakan perannya sebagai seorang ibu. Remaja secara efektif mampu mencari peluang

dan mengelola lingkungannya.
Kemandirian (autonomy) merupakan refleksi dari pencarian self-determitation dan
otonomi dalam kehidupan. Remaja yang telah menikah masih mampu membuat keputusan
sendiri, mandiri, dan tidak bergantung kepada orang lain hal ini merupakan indikasi dari
fungsi psikologis yang baik. Positive relations with others (relasi positif dengan orang lain)
merupakan kemampuan untuk mempererat hubungan dan adanya hubungan yang hangat,
intim, dan saling percaya dengan orang lain. Remaja wanita yang mampu menjalin relasi
yang hangat, penuh empati dan kasih sayang, menunjukan kemampuan fungsi psikologis
yang positif. Hal ini dapat terlihat dari hubungan yang baik antara remaja wanita dengan
suami, mertua, orang tua, saudara, teman dan lingkungan tempat tinggalnya.
Dari paparan hasil wawancara tersebut, terlihat setiap responden merasa belum
mandiri. Hal itu tergambar dari pernyataan responden yang belum bekerja dan beum bisa
membiayai kebutuhan anaknya tanpa bergantung dengan orang tua. Setiap responden juga
merasakan dirinya mengalami peningkatan dalam kehidupanya dengan memiliki pengalaman
baru dan kewajiban baru. Namun dua dari tiga responden yang tidak memiliki hubungan yang
baik dengan orang-orang disekitarnya. Hal ini tergambar dari konflik yang sering terjadi
antara responden dengan mertua dan suaminya, selain itu sering terjadi mis komunikasi
antara responden dengan mertua, ipar, suaminya. Konflik dan mis komunikasi ini membuat
hubungan responden dengan orang disekitarnya menjadi tidak dekat, hangat dan nyaman.
Satu responden merasa memiliki hubungan yang baik dengan lingkungannya, ini terlihat dari

keterbukaan responden kepada mertua dan suami mengenai masalah-masalah yang dihadapi.
Satu dari tiga responden memandang negatif masa lalunya yaitu menikah karena hamil,
responden melihat bahwa kehidupan pernikahan bukan suatu yang menyenangkan.
Responden juga merasa kehamilannya bukan suatu yang bisa dia terima, hal ini ditunjukkan
dari niat responden untuk melakukan aborsi. Dua responden merasa pernikahan dan memiliki
anak sesuatu yang menyenangkan. Responden memandang positif atas apa yang terjadi pada
masa lalu. Responden merasa kesulitan dalam mengelola kegiatan sehari-harinya, ditunjukan
dari kesulitan responden membagi waktu untuk kuliah dan mengurus anak sehingga
responden merasa tidak memiliki kualitas tidur yang optimal. Selain itu responden merasa
tidak berdaya karena tidak mampu mengontrol lingkungan sesuaia kebutuhannya, responden

mengatakan bahwa dia tidak berani melakukan apapun dirumah suaminya karena takut salah
dan dimarahi, hal ini membuat responden merasa tertekan. Setiap responden memiliki tujuan
hidupnya yaitu memiliki pekerjaan dan mampu membiayai kebutuhan anak dan
membesarkan anak dengan baik tanpa bergantung pada orang tua.
Dari data awal menunjukan bahwa partisipan memiliki permasalahan dengan
psychological well-being mereka. Mereka merasa belum mandiri, adanya perbedaan pada

hubungan yang positif dengan orang lain, perbedaan pada penerimaan diri responden dimana
ada responden yang tidak bisa menerima apa yang terjadi pada hidupnya dan masa lalunya.

Responden belum mampu menciptakan dan mengendalikan lingkungan sesuai dengan
kebutuhanya. Namun, responden merasakan adanya peningkatan dalam dirinya dan juga
memiliki tujuan hidup yaitu membesarkan anak dengan baik.
Individu yang memiliki psychological well-being yang baik akan menilai dirinya
sebagai individu yang merasa nyaman, damai, dan serta bahagia serta memandang secara
positif pencapaian potensi-potensi mereka sendiri (Ryff, 1989).
positif akan kehadiran anak dikeluarga.

Orang tua memandang

Veroff et al. (1981 dalam Barnett, Baruch, &

Rosalind, 1986) juga mengemukakan bahwa ibu yang kurang positif dalam memandang
kehadiran anak, melaporkan banyak terjadinya permasalahan dalam perannya sebagai orang
tua.
Psychological well-being orang tua dapat dilihat dari keadaan emosi orang tua ketika

melakukan kegiatan sehari-hari bersama anaknya. Orang tua yang memiliki emosi positif
ketika melakukan kegiatan sehari-hari dengan anak memiliki psychological well-being lebih
tinggi (e.g., Kahneman et al., 2004). Psychological well-being ibu akan mempengaruhi

psychological well-being anaknya. Psychological well-being yang dimiliki orang tua dapat

mengganggu proses dyadic keluarga (cara mengurus anak, hubungan suami-istri, dan
hubungan anak dengan orang tua). Sehingga psychological well-being memiliki peranan
penting dalam hubungan ibu dengan anak.
Dari studi awal yang dilakukan peneliti pada 04/04/2015 pada tiga responden di Bali.
Peneliti memilih melakukan penelitian ini di Bali. Fenomena ini teramati oleh peneliti karena
banyaknya remaja yang memutuskan menikah karena kehamilan yang tidak direncanakan,
dimana masyarakat mulai mewajarkan pernikahan yang terjadi akibat kehamilan yang tidak
direncanakan dengan melakukan prosesi pernikahan dan perayaan pada umumnya dan tidak

ditutup-tutupi. Dari hasil pengamatan, peneliti ingin mengetahui gambaran psychological
well-being pada remaja wanita yang menjalankan shotgun marriage di Bali.

METODE PENELITIAN
Rancangan penelitian dalam penelitian ini adalah rancangan non-eksperimental dengan
menggunakan model pendekatan deskriptif kuantitatif. Metode penelitian deskriptif adalah
suatu metode yang digunakan dalam meneliti sekelompok manusia, suatu objek, suatu set
kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang yang
membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai
fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antara fenomena yang diselidiki (Nazir, 2005). Metode
kuantitatif menggunakan data penelitian berupa angka-angka dan analisis menggunakan
statistik (Sugiyono, 2009).

Partisipan
Subjek penelitian ini adalah remaja yang menikah pada usia 15-22 tahun yang melakukan
shotgun marriage dan masih menikah dengan usia pernikahan dibawah 5 tahun di Bali.

Teknik sampling yang digunakan adalah snowball sampling. Jumlah sampel dalam penelitian
ini adalah sebanyak 35 orang remaja yang melakukan shotgun marriage.

Pengukuran
Nama alat ukur ini adalah “Scale of Psychological Well-Being” yang disusun berdasarkan
teori Psychological Well-Being dari Carol Ryff. Bentuk psychological well-being yang
digunakan dalam alat ukur ini adalah psychological well-being pada remaja yang melakukan
shotgun marrige. Alat ukur ini berbentuk kuesioner yang akan mengukur kesejahteraan

psikologis remaja yang menjadi ibu muda karena menjalani shotgun marriage. Terdapat
enam dimensi yaitu self-acceptence, personal growth, purpose in life, environmental mastery,
autonomy, positive relations with others. Kuesioner ini terdiri dari 38 item pernyataan.

HASIL
Berdasarkan hasil pengolahan data dan analisis pembahasan menenai regulasi emosi,
diperoleh simpulan sebagai berikut :
1.

Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian besar subjek dalam penelitian ini memiliki
skor psychological well-being yang tergolong sedang. Artinya remaja yang menjalani
shotgun marriage, mereka cukup positif terhadap dirinya dan orang lain. Mereka juga

cukup mampu memilih atau membentuk lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan
mereka serta masih memiliki tujuan hidup yang membuat hidup mereka bermakna.
Partisipan belum sepenuhnya merasa sejahtera karena harus menjalani kehidupan yang
tidak mereka harapkan sebelumnya. Hal ini terlihat dari dimensi-dimensi psychological
well-being yang sedang dan bahkan masih ada yang rendah.

2.

Secara umum remaja yang melakukan shotgun marriage memiliki nilai yang tinggi pada
dimensi personal growth. Nilai yang tinggi pada dimensi personal growth karena remaja
pada tahap perkembangannya memang masih mengeksplorasi diri, apalagi dengan
pertambahan peran sebagai seorang ibu. Namun beberapa remaja masih memiliki nilai
personal growth sedang yang berarti remaja ingin berkembang tapi tidak melakukan

usaha untuk memiliki pengalaman dengan maksimal. Begitupula dimensi positive
relation with others, self-acceptance, purpose in life, environmental mastery, dan
autonomy berada pada kategori sedang.

3.

Pada dimensi purpose in life, environmental mastery, dan autonomy masih ada remaja
yang berda pada kategori rendah, yang berarti kehidupannya sebagai seorang ibu muda
bukan sesutu yang bermakan untuk dijalani karena sebuah keterpaksaan, remaja merasa
tidak berdaya karena tidak mampu menciptakan lingkungan yang sesuai dengan
kebutuhannya, remaja merasa dengan pernikahan yang terpaksa dijalaninya dan perannya
sebagai ibu muda membuatnya kesuliatan untuk mandiri secara fianansial dalam
membesarkan anaknya.

4.

Remaja yang melakukan shotgun marriage dan memiliki peran sebagai ibu muda
walaupun ada yang memiliki psychological well-being yang tinggi akan tetapi pada
dimensi-dimensinya masih ada yang tergolong kedalam kategori sedang. Hal ini
menunjukan bahwa remaja yang menjalankan peran sebagai ibu muda karena pernikahan
yang terpaksa merasa belum secara optimal mengenali potensi yang mereka miliki untuk
menghadapi tantangan dan perubahan yang terjadi pada kehidupnya.

DAFTAR PUSTAKA

Adams, S. M. (1986). Parenthood and Psychological Wellbeing. University of Wisconsin.
Agustiani, D. H. (2006). Psikologi Perkembangan Pendekatan Ekologi Kaitanya dengan Konsep Diri
dan Penyesuaian Diri pada Remaja . Bandung: Refika Aditama.
Astuti, A. W. (2013). Peran Ibu Rumah Tangga Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Keluarga .
Semarang: Universitas Negeri Semarang .
Barnett, Baruch, G. K., & Rosalind. (1986). Role Quality, Multiple Role Involvement, and
Psychological. Journal of Personality and Social Psychology, 578-585.
Barnett, R. C., & Baruch, G. K. (1985). Women's Involvement in Multiple Roles and Psychological
Distress. Journal of Personality and Social Psychology, 135-145.
Duval, E. M. (1977). Marriage and Family Development. New York: J.B. Lippincott Company.
Fajarwidya, N. (2013, April 14). Kehamilan Tidak Diinginkan. Retrieved Juli 26, 2015, from
academia.edu: https://www.academia.edu
Falci, C. D. (1997, Mei). The Effects of Family Structure and Family Process on the Psychological
Well-Being of Children: From the Children’s Point of View. Virginia: Virginia Polytechnic
Institute and State University.
Friedenberg, L. (1995). Psychological Testing: Design, Analysis, and Use. University of North
Carolina: Allyn & Bacon, Incorporated.
Hidaglo, J. L.-T., Bravo, B. N., Martinez, I. P., Pretel, F. A., Postigo, J. M., & Rabadan, F. E. (2010).
Pychological Well-being, Assessment Tools, And Related Factors. In I. E. Wells,
Pychological Well-being (pp. 77-113). New York: Nova Science Publishers, Inc.
Hurlock, E. B. (1898). Adolescent Development. Kogakusha: McGraw-Hill.
Husain Usman, P. S. (2008). Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara.
Iwasawa, M., & Kamata, K. (2014). Marriage Preceded by Pregnancy and Women's Employment.
Japan Labor Review, Vol 11, no 4.
Kaplan, R. M., & Saccuzo, D. P. (2001). Psychological Testing : Principles, Application, and Issues.
Belmont : Wadsworth.
Kieran McKeown, J. P. (2003). Family Well-Being: What Makes A Difference? Dublin: Kieran
McKeown Limited.
Lindsay, J. W. (1985). Teen Look At Marriage. California : Morning Glory Press.
Meirosa, T. (2013). Hubungan antara Dukungan Sosial Teman dengan Psychological Well-Being
pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran. Jatinangor: Fakultas Psikologi
Universitas Padjadjaran.
Munir, M. (2010, Desember 6). Tiap Tahun, Remaja Seks Pra Nikah Meningkat . Dipetik Juli 26,
2015, dari Okezone: http://news.okezone.com/read/2010/12/04/338/400182/tiap-tahunremaja-seks-pra-nikah-meningkat
Nazir, M. (2005). Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.

Pande, S. S. (2013). Correlation Between Difficulty & Discrimination Indices of MCQs in Formative
Exam in Physiology. South-East Asian Journal of Medical Education, 45-50.
Rosalinda, L., Latipun, & Nurhamida, Y. (2013). Who Have Higher Psychological Well-Being? A
Comparison Between Early Married and Adulthood Married Woman. Journal of Educational,
Health, and Community Psychology, 2088-3129.
Ross, R. D., Marrinan, S., Schattner, S., & Gullone, E. (1999). The Relationship Between Perceived
Family Environment and Psychological Wellbeing: Mother, Father, and Adolescent Reports.
Australian Psychologist, 58-63.
Rumini, P. D., & Sundari, D. (2004). Perkembangan Anak & Remaja. Jakarta: Rineka Cipta.
Ryff, C. D. (1989). Happiness Is Everything, or Is It? Explorations on the Meaning of Psychological
Well-Being. Journal of Personality and Social Psychology, 1069-1081.
Ryff, C. D., & Essex, M. J. (1992). The Interpretation of Life Experience : The Sample Case of
Relocation . Journal of Psychology and Aging, 507-517.
Ryff, C. D., & Keyes, C. L. (1995). The Structure of Psychological Well-Being Revisited. Journal of
Personality and Social Psychology, 719-727.
Ryff, C. D., Keyes, C. L., & Shmotkin, D. (2002). Optimizing Well-Being: The Empirical Encounter
of Two Traditions. Journal of Personality and Social Psychology, 1007-1022.
S. Katherine Nelson, K. K. (t.thn.). The Pains and Pleasures of Parenting: When, Why, and How Is
Parenthood Associated With More or Less Well-Being? . Psychological Bulletin.
Santrock, J. W. (2003). Adolescence Perkembangan Remaja Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga.
Santrock, J. W. (2014). Adolescence Fifteenth Edition. New York: McGraw-Hill Education.
Sarafino, E. P. (2006). Health Psychology : Biopsychosocal Interaction 5th ed. USA: John Wiley &
Sons, Inc.
Sarason, B., & Gregory. (1990). Social Support : An Interactional View. New York: John Wiley &
Sons.
Seiler, N. (2002). Is Teen Marriage a Solution . Center For Law And Social Policy, 1-10.
Soulsby, L. K., & Bennett, K. M. (2015). Marriage and Psychological Wellbeing: The Role of Social
Support. Psychology, 1349-1359.
Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: CV Alfabeta.
Vaux, A. (1988). Social Support : Theory, Reseach, and Itervention. USA: Praeger Pubishers.
Wardiah, A. (2014). Hentikan Pernikahan Dini dan Kurangi Angka Kematian Ibu. Program Officer
Women Research Institute.
Wardoyo, T. (2010). Psychological Well-Being pada Individu Lanjut Usia (LANSIA). Bandung:
Unicersitas Padjadjaran.
Wooten, W., & Swihart, P. J. (2006). Complete Guide to the First Five Years of Marriage. United
States of America: Tyndale House Publishers, Carol Stream, Illinois .