Makna Filosofis Tata Ruang dan Arsitektur Candi Sukuh dan Kaitannya dengan Teks Teks Jawa Kuna (Pendekatan Prinsip Interaksi Simbolis).

(B. Sastra)
Makna Filosofis Tata Ruang dan Arsitektur Candi Sukuh dan Kaitannya dengan Teks Teks Jawa
Kuna (Pendekatan Prinsip Interaksi Simbolis)
Hartini; Sudardi, Bani
Program Pascasarjana UNS, Penelitian, BOPTN UNS, Hibah Pascasarjana, 2012
Candi Suku adalah candi yang paling menarik dari segi tata arsitektur. Candi tersebut mengambil bentuk
piramida mirip dengan bentuk kuil di Inca, Meksiko atau piramit Mesir. Candi Sukuh juga memunculkan
unsur-unsur Indonesia asli dan hal ini tergambar dalam relief-relief yang relief-relief tersebut bersumber
dari teks-teks Jawa Kuna dan Jawa Tengahan (Garudeya, Wirataparwa, Sudamala, Bima Suci, dan
Gatotkacasraya). Berdasakan hal tersebut penelitian ini secara multiyear dengan berusaha:
a. Mendeskripsikan bentuk arsitektur dan tata ruang Candi Sukuh. (Tahun I)
b. Mendeskripsikan makna simbolis bentuk arsitektur dan tata ruang Candi Sukuh. (Tahun II)
c. Mendeskripsikan tata ruang candi Sukuh dengan teks-teks Jawa Kuna yang berkaitan (Tahun (III).
Penelitian ini menggunakan pendekatan filsafat budaya untuk memahami arsitektur dan tata ruang serta
makna filosofis Candi Sukuh. Strategi yang digunakan adalah strategi naturalistik, yaitu berusaha
memahami konsep-konsep tersebut dari perspektif masyarakat pemiliknya. Karena masyarakat pemilik
karya adiluhung tersebut sudah tidak ada, maka digunakan pendekatan komparatif, yakni dengan
membandingkan dengan karya-karya sezaman. Untuk itu, pendekatan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah pendekatan fenomenologi. Pendekatan ini mengakui adanya empat kebenaran empirik, yaitu
keberanaran sensual, kebenaran logik, kebenaran etik, dan kebenaran transendental. Model analisis yang
akan digunakan adalah model analisis interaksi simbolik.

Penelitian ini menemukan bahwa Candi Sukuh dibangun pada masa pemerintahan Raja Brawijaya V
bersamaan dengan masa keruntuhan Kerajaan Majapahit. Candi Sukuh memiliki tiga pelataran yaitu:
pelataran “Njaba”, pelataran “Njaba Tengah”, dan pelataran “Njeroan”. Dianatara ketiga pelataran,
pelataran “Njaba Tengah” merupakan pelataran yang tersempit dan memiliki benda candi paling sedikit.
Karena pada pelataran ini hanya terdapat beberapa batu, tiga patung Dwarapala, dan satu batu
potongan badan patung naga.
Gapura menuju teras pertama merupakan gapura paduraksa, yaitu gapura yang dilengkapi dengan atap.
Gapura ini merupakan gapura yang terlengkap dibanding gapura lain. Ambang pintu gapura dihiasi
pahatan kala berjanggut panjang. Pada dinding sayap utara gapura terdapat relief yang menggambarkan
seorang yang sedang berlari sambil menggigit ekor ular yang sedang melingkar. Relief ini bukan hanya
sekedar hiasan saja namun merupakan angka tahun yang disebut sebagai sengkalan memet. Sengkalan
ini berbunyi gapura buta anahut buntut . Artinya dalam bahasa Indonesia adalah “gapura raksasa
menggigit ekor ular”. Kata-kata ini memiliki makna 9, 5, 3, dan 1. Jika dibalik maka didapatkan tahun
1359 Saka atau tahun 1437 Masehi . Di atas sosok tersebut terdapat pahatan yang menggambarkan
makhluk mirip manusia yang sedang melayang serta seekor binatang melata.
Pada sayap selatan gapura terdapat relief seorang tokoh yang ditelan raksasa. Pahatan tersebut juga
merupakan sengkalan yang dibaca gapura buta mangan wong, yang artinya gapura raksasa memakan
manusia. Sengkalan tersebut ditafsirkan sebagai angka tahun 1359 Saka atau 1437 M, sama dengan
sengkalan pada dinding sayap utara gapura. Pada dinding luar gapura juga terdapat pahatan yang
menggambarkan sepasang burung yang sedang hinggap di atas pohon, sementara di bawahnya terdapat


seekor anjing, dan garuda dengan sayap terbentang sedang mencengkeram seekor ular diperkirakan
memiliki kaitan dengan cerita Garudeya
Di halaman depan, di luar gapura, terdapat sekumpulan batu dalam aneka bentuk. Di antaranya ada yang
berlubang di atasnya, mirip sebuah lingga, dan ada yang menyerupai tempayan.
Pada lantai gapura terdapat relief phalus dan vagina yang dilukiskan sangat naturalistik. Pahatan tersebut
merupakan penggambaran bersatunya lingga (kelamin perempuan) dan yoni (kelamin laki-laki) yang
merupakan lambang kesuburan. Saat ini sekeliling pahatan tersebut diberi pagar, sehingga gapura
tersebut sulit untuk dilalui.Untuk naik ke teras pertama, umumnya pengunjung meggunakan tangga di
sisi gapura. Ada keyakinan bahwa pahatan tersebut berfungsi sebagai 'suwuk' (mantra atau obat) untuk
'ngruwat' (menyembuhkan atau menghilangkan) segala kotoran yang melekat di hati. Itulah sebabnya
relief tersebut dipahatkan di lantai pintu masuk, sehingga orang yang masuk ketempat suci ini akan
melangkahinya. Dengan demikian segala kekotoran yang melekat di tubuhnya akan sirna. Di atas ambang
pintu gapura, menghadap ke pelataran teras pertama, terdapat hiasan Kalamakara yang saat ini telah
rusak berat. Pada dinding sayap utara dan selatan terdapat pahatan lelaki dalam posisi berjongkok
sambil memegang senjata.
Dalam Candi induk terdapat Energi Bhawa yang disimbolkan dengan arca kura-kura yang terdapat di
depan candi Induk. Hal ini dipercaya masyarakat sebagai jelmaan Sang Hyang Wisnu. Sebagai sang
pemelihara jagat raya. Punggung kura-kura yang datar dan bulat melingkar mengambarkan pemeliharaan
jagat raya yang terus menerus tiada henti, sehingga arca kura-kura tersebut merupakan simbol energy

syukur terhadap Sang Hyang Jagad atau Tuhan Yang Maha Esa. Punggung arca digunakan untuk
meletakkan sesaji sebagai simbol rasa syukur. Orang Jawa biasanya mensajikan jenang merah dan jenang
putih, pisang raja setangkep, air, dan disertai kembang setaman dalam bokor. Seseorang yang
menginginkan keberhasilan hendaknya mensyukuri apa saja yang terjadi, karena suasana syukur
merupakan energi yang sangat baik dalam kehidupan manusia.
Di sebelah kiri di depan candi induk Candi Sukuh terdapat relief tapal kuda yang menggambarkan dua
sosok manusia yang berhadapan. Relief ini melambangkan rahim seorang wanita yang melambangkan
kejahatan dan kebaikan