ProdukHukum BankIndonesia QA Pengawasan BC 1

Q&A
TERKAIT PENGAWASAN BANK CENTURY

Bank Indonesia melakukan tugas pengawasan bank berdasarkan Undang-Undang
Perbankan khususnya pasal 37 dan PBI No.6/9/PBI/2004 tentang Tindaklanjut Pengawasan
dan Penetapan Status Bank yang sebagian telah diubah dengan PBI No.7/38/PBI/2005
serta SE Intern No.9/43/Intern tanggal 15 November 2007 perihal Pedoman Pelaksanaan
Ketentuan Tindak lanjut Pengawasan dan Penetapan Status Bank. Dalam proses
pengawasan terhadap bank bermasalah, Bank Indonesia menerapkan pasal 37 UU
Perbankan untuk melakukan langkah-langkah perbaikan (corrective actions), antara lain:
a. Bank menjual sebagian atau seluruh harta dan atau kewajiban bank kepada bank atau
pihak lain.
b. Pemegang saham menambah modal.
c. Bank dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban.
Tindakan pengawasan tersebut diterapkan juga terhadap Bank Century yang merupakan
hasil merger tiga bank pada Desember 2004.
1. Apakah benar BI tidak tegas dalam menyelesaikan masalah SSB Valas di Bank
Century sehingga masalah ini berlanjut hingga Bank Century diambil alih LPS?
A. Terkait SSB Valas
Sesuai dengan butir a di atas, berdasarkan hasil pemeriksaan Bank Indonesia tahun
2005, pada tanggal 3 Oktober 2005, Bank Indonesia meminta agar SSB valas yang

digolongkan Macet sesuai PBI No.7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva
Bank Umum sehingga mengakibatkan CAR Bank menjadi negatif, untuk dijual
secara tunai. Pada tanggal 4 Oktober 2005, Pemegang Saham Pengendali (PSP)
dan Pemegang Saham (PS) telah memberikan komitmennya untuk menjual tunai
SSB valas tersebut paling lambat 31 Desember 2005.
PSP dan PS ternyata tidak mampu menjual tunai SSB valas tersebut s.d tenggat
waktu yang ditentukan. Pada tanggal 29 Desember 2005, PSP dan PS mengajukan
proposal penyelesaian permasalahan SSB valas melalui penjaminan tunai (cash
collateral) dalam bentuk skema Assets Management Agreement (AMA). Pada
tanggal 21 Februari 2006, setelah memperhatikan berbagai aspek, BI menyetujui
skema penjaminan tunai tersebut. Dengan disetujuinya skema AMA, maka
berdasarkan PBI No.7/2/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005, aktiva produktif yang
dijamin dengan agunan tunai dapat digolongkan Lancar.

1

Walaupun dana yang dijaminkan dalam AMA belum ditempatkan di prime bank,
namun AMA dinilai efektif, mengingat dana jaminan tunai sebesar USD220 juta
terbukti ada (berdasarkan statement account Dresdner Bank of Switzerland /DBSL).
Sampai dengan September 2008, SSB valas yang jatuh tempo telah terbayar, maka

SSB valas yang dijamin AMA dinilai Lancar sehingga tidak diperlukan pembentukan
Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPA) 100%. Oleh karena itu, CAR Bank
Century masih digolongkan memenuhi ketentuan yang berlaku. Namun demikian,
status pengawasan BC tetap digolongkan dalam pengawasan intensif karena NPL
diatas 5% dan kinerja Bank tergolong belum baik. Terlepas dari adanya skema AMA,
BI tetap mendesak PSP/PS dan manajemen untuk menambah modal sesuai butir b
di atas. Pada tanggal 26 Januari 2006, BI meminta PSP dan PS untuk menambah
modal sebesar Rp500 milyar, yang dipenuhi oleh PSP dan PS pada bulan Mei 2006
sebesar USD10,5 juta, Juni 2006 sebesar USD15 juta dan Juni 2007 melalui right
issue sebesar Rp442 miliar.Pada 5 November 2007, masih dalam rangka
penyelesaian SSB Valas, BI menyetujui proposal Assets Sale and Purchase
Agreement (ASPA) karena ASPA memiliki beberapa kelebihan, yaitu:
1. Adanya kepastian dana karena ditempatkan dalam bentuk deposito Rupiah atas
nama BC.
2. Portfolio aset bank menjadi lebih baik karena SSB valas diganti dengan deposito
Rupiah.
3. BC memperoleh pendapatan dari deposito Rupiah.
Namun, ternyata ASPA tidak dapat direalisir, karena sulitnya mencari bank asing di
Indonesia yang bersedia menerima penempatan dana dalam jumlah besar
mengingat dampaknya kepada BMPK dan Posisi Devisa Netto (PDN) bank asing

tersebut.
Sampai dengan 20 November 2008 (sebelum Bank Century di selamatkan) Skema
AMA masih berlaku terus.

B. Strategic Investor
BI mendesak agar PSP/PS mencari investor agar permasalahan permodalan yang
diakibatkan karena SSB Valas Bank Century terselesaikan. Sepanjang tahun 2007
sampai dengan November 2008, beberapa calon investor strategis menunjukkan
minatnya secara serius a.l. Kuwait Finance House, Korean’s Shinhan Bank,
Maybank, Hana Bank, Carlyle, HSBC, Noor Islamic Bank, dan PT Sinarmas
Multiartha Tbk. Bahkan pada bulan Juli 2008, Hana Bank Korea telah mencapai
kesepakatan akuisisi dan bersedia menempatkan dananya, namun kesepakatan
kemudian ditunda karena terjadinya krisis keuangan global. Demikian pula dengan
PT.Sinarmas Multiartha Tbk yang telah membuat Letter of Intent, namun akhirnya
tidak berlanjut karena kondisi Bank Century yang semakin memburuk akibat dampak
krisis global dan akhirnya diputuskan diselamatkan dan diambil alih oleh LPS.
Seiring dengan kondisi bank yang terus memburuk karena CAR Bank Century per 30
September 2008 melorot ke angka 2,35% sebagai akibat dari tidak tertagihnya SSB
2


Valas yang tidak tercover dalam skema AMA sebesar USD 65 juta, adanya accrue
bunga Rp 300 miliar, dan adanya PPA Rp 59 miliar, maka pada tanggal 6 November
2008 BI menetapkan Bank Century sebagai bank dalam pengawasan khusus (SSU).
Selanjutnya, pada tanggal 20 November 2008 bank ditetapkan sebagai bank gagal
dan meminta keputusan KSSK untuk menetapkan bank gagal berdampak sistemik
atau tidak sistemik.
2. Mengapa BI memberikan keringanan sanksi denda atas pelanggaran Posisi
Devisa Netto (PDN) sebesar 50% ?
Pada pemeriksaan Bank Century posisi 28 Februari 2005, terdapat pelanggaran
PDN atas penanaman dana dalam SSB valas.
Untuk menyelesaikan pelanggaran PDN tersebut, Bank Indonesia meminta agar
Bank menyusun action plan atas penyelesaian pelanggaran PDN tersebut dan Bank
berkomitmen untuk menyelesaikan paling lambat pada akhir Desember 2005. Dalam
kenyataannya, bank telah menyelesaikan pelanggaran PDN tersebut pada tanggal
29 Desember 2005. Penyelesaian pelanggaran ini dilakukan berdasarkan PBI No.
5/13/PBI/2003 tentang Posisi Devisa Netto Bank Umum.
Pada tanggal 30 September 2005, BI menerbitkan PBI No.7/37/PBI/2005 tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia No. 5/13/PBI/2003 tentang Posisi
Devisa Neto Bank Umum yang a.l mengatur pengenaan sanksi kewajiban membayar
apabila terjadi pelanggaran PDN. Namun PBI ini tidak mengatur peralihan bagi bank

yang telah melanggar sebelum berlakunya PBI ini.
Terkait dengan tidak adanya peraturan peralihan tersebut di atas, maka Bank
Indonesia seharusnya dapat membebaskan sanksi kewajiban membayar tersebut
karena pelanggaran terjadi pada bulan Februari 2008. Walaupun demikian, BC tetap
dikenakan sanksi kewajiban membayar. Dalam hal ini BC dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar 50% sesuai dengan kewenangan Direktur DPB1. Hal
tersebut menunjukkan bahwa tindakan pengawasan yang dilakukan oleh BI
sebenarnya lebih keras, dengan maksud untuk memberikan efek jera kepada bank.

3. Mengapa BI tidak mengenakan sanksi pidana atas pelanggaran Batas Maksimum
Pemberian Kredit (BMPK) ?
A. Temuan BPK mengenai pelanggaran BMPK
Temuan BPK mengenai pelanggaran BMPK di quote oleh BPK dari dokumendokumen Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BI tahun 2005, 2006 dan 2007.
Pelanggaran BMPK yang terjadi tahun 2005 (terkait SSB valas) telah diselesaikan
dengan diterimanya porposal AMA pada 21 Februari 2006.
Pelanggaran BMPK yang disebut dalam LHP tahun 2006 sebenarnya tidak ada
pelanggaran, karena yang ditulis dalam dokumen LHP adalah pelanggaran BMPK
yang sama dengan temuan tahun 2005 dimana temuan tersebut telah diselesaikan
dengan skema AMA.
3


Pelanggaran BMPK yang disebut dalam LHP tahun 2007 adalah sebagai berikut :
o

Terkait SSB JP Morgan




o

SSB JP Morgan bukan SSB fasilitas baru melainkan penggantian
SSB Deutsche Bank dengan nominal yang sama.
SSB tersebut telah tercover dalam skema AMA.
Dengan demikian tidak ada pelanggaran BMPK sehubungan
dengan SSB ini.

Terkait pelanggaran BMPK atas pemberian fasilitas LC kepada PT Polymer
Spectrum Sentosa





Bank telah menindaklanjuti dan menyelesaikan pelanggaran BMPK
dengan menurunkan fasilitas tersebut pada tanggal 27 November
2007.
Dengan demikian tidak ada lagi pelanggaran BMPK.

B. Perlakuan Pengawasan Bank Indonesia mengenai pelaporan tindak pidana
pelanggaran BMPK.
Bank yang melakukan pelanggaran BMPK tidak serta merta dilaporkan
kepada pihak yang berwajib.
Bank yang melakukan pelanggaran BMPK diberi kesempatan untuk
menyelesaikan pelanggarannya dengan batas waktu tertentu.
Apabila batas waktu tersebut dilampaui barulah pelanggaran tersebut
dilaporkan kepada yang berwajib.
5. Mengapa pengawas BI tidak dapat menemukan kecurangan (fraud) yang dilakukan
pemilik dan manejemen Bank Century sebelum Bank Century diambil alih oleh
LPS?
Fraud yang diketemukan dalam masa pemeriksaan investigasi BI setelah Bank

Century diambil alih oleh LPS adalah fraud yang terjadi sejak bulan November 2007.
Perlu dicatat bahwa fraud biasanya hanya dapat diketemukan di dalam sebuah
proses pemeriksaan investigasi.
Pemeriksaan umum tahunan terhadap Bank Century tahun 2007 telah berakhir jauh
sebelum bulan November 2007. Sedangkan pemeriksaan umum tahunan tahun 2008
baru mulai dilaksanakan sekitar bulan Juli 2008. Dalam pemeriksaan umum 2008,
fraud belum dijumpai karena pemeriksa/pengawas BI masih berkonsentrasi kepada
berbagai aspek operasional bank, yang akhirnya mempengaruhi perhitungan CAR
September dan Oktober 2008.
Pada saat Bank Century diambil alih LPS, pemeriksaan umum tahunan tahun 2008
belum selesai dan dilanjutkan dengan pemeriksaan investigasi.
Fraud diketemukan dalam masa pemeriksaan investigasi, dan fraud tersebut
dilakukan pemilik lama yang bekerjasama dengan oknum manajemen dan pegawai
Bank Century. Fraud semacam ini yang murni merupakan kejahatan kerah putih
(white collar crime) lebih mudah ditangkap dalam pemeriksaan investigasi.
4

Dalam kasus fraud oleh pemilik dan manajemen lama Bank Century, terbukanya
fraud adalah setelah pemilik berubah menjadi LPS dan dilakukan penggantian total
atas manajemen puncak bank.

6. Apakah BI tidak memperhitungkan sebelumnya bahwa biaya penyelamatan Bank
Century akan mencapai Rp 6,7 triliun ?
Konsepsi/policy mengenai penyelamatan bank berdampak sistemik atas dasar PERPU
No.4. Pada dasarnya keputusan untuk menyelamatkan Bank Century tidak didasarkan
oleh besarnya biaya penyelamatan tetapi atas dasar penetapan Bank Century sebagai
bank gagal berdampak sistemik sebagaimana diatur dalam pasal 22 ayat (1) b UndangUndang RI No.24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan.
Sementara itu, tidak tepat jika disimpulkan bahwa BI tidak memperhitungkan biaya
penyelamatan Bank Century akan mencapai Rp 6,7 triliun. Hal ini disebabkan
didasarkan pada data/informasi yang ada pada saat itu, sebagai berikut :
a. Bank Indonesia sudah melakukan koordinasi dengan KSSK mengenai
permasalahan Bank Century sejak tanggal 13 November 2008.
b. Pada saat menyampaikan surat GBI kepada KSSK tanggal 20 November 2008,
pemeriksaan Bank Indonesia terhadap Bank Century masih berlangsung
sehingga kondisi riil Bank Century secara utuh belum dapat diketahui, sehingga
perhitungan CAR pun masih bisa berubah sesuai dengan hasil temuan
pemeriksaan. Setelah Bank Indonesia menyatakan Bank Century sebagai bank
gagal berpotensi sistemik pada tanggal 20 November 2008, Bank Indonesia
menyampaikan kebutuhan modal untuk mengembalikan CAR ke posisi 8%. Pada
saat itu, pengawas Bank Indonesia mengetahui bahwa terdapat SSB valas jatuh
tempo pada bulan November 2008 (USD45 juta) dan Desember 2008 (USD40,36

juta). Pengawas memperkirakan SSB tersebut tidak akan terbayar dan apabila
tidak terbayar, maka SSB tersebut dikategorikan Macet. Atas dasar pengetahuan
tersebut, dengan mengikuti prinsip konservatif, BI memperkirakan kebutuhan
modal adalah sebesar Rp 1,77 Trilyun (Rp 632 miliar + Rp 1,138 triliun). Di
samping itu BI juga memberikan informasi kepada KSSK bahwa bank
memerlukan tambahan likuiditas sebesar Rp4,79.Trilyun, sehingga secara total
kebutuhan dana untuk penyelamatan bank diperkirakan sebesar Rp 6,56.Trilyun.
Selanjutnya hasil pembahasan dengan sekretaris KSSK menyepakati bahwa
yang digunakan adalah data kebutuhan modal berdasarkan neraca per 31
Oktober 2008 dengan pertimbangan asumsi SSB macet masih merupakan
perkiraan. Disepakati juga bahwa jumlah tersebut akan terus bertambah seiring
dengan pemburukan kondisi bank selama bulan November 2008. Hal itu
disebabkan pemeriksaan belum tuntas dan masih berlangsung sehingga terdapat
kemungkinan pemburukan kondisi bank.

Jakarta, 30 November 2009
5