DAKWAH MELALUI SENI : STUDI KASUS KESENIAN TRADISIONAL LUDRUK PADA MASYARAKAT GILIGENTING KABUPATEN SUMENEP.

(1)

DAKWAH MELALUI SENI

(Studi Kasus Kesenian Tradisional Ludruk Pada Masyarakat Giligenting Kabupaten Sumenep)

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Sebagai Syarat

Memperoleh Gelar Magister dalam Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam

Oleh

ACHMAD NAWAFIK

NIM. F0. 7213092

PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA


(2)

(3)

(4)

(5)

ABSTRAK

Thesis ini berjudul “Dakwah Melalui Seni (Studi Kesenian Tradisional Ludruk Pada Masyyarakat Giligenting Kabupaten Sumenep)” yang disusun oleh : Achmad Nawafik

F0.7.2.13.092.

Kata Kunci : Dakwah, Seni, Ludruk

Kesenian tradisional ludruk merupakan suatu budaya yang tidak mematikan nilai-nilai agama. Dalam setiap kegiatan pertunjukannya, kesenian ini memasukkan kaidah-laidah ajaran agama dalam cerita yang disuguhkan kepada para penonton sebagai nasehat atau singgungan. Sehingga para penonton tidak hanya dapat menikmati alur cerita, akan tetapi juga suatu pencerahan dan bisa memahami ajaran-ajaran agamanya melalui kesenian. Tidak hanya itu, bagi masyarakat yang memahami, akan diketahui bahwa setiap alat musik yang digunakan pada setiap pertunjukan kesenian tradisional ludruk mengandung nilai-nilai filosofis tertentu yang mempunyai makna tentang sifat-sifat tuhan yang disimbolkan melalui alat musik tersebut. Penonton bisa mengetahui tentang sifat-sifat tuhan dengan pertunjukan kesenian ini. Karenanya kegiatan pertunjukan kesenian ludruk ini juga merupakan cara untuk memperoleh pristise keagamaan yang bisa mempengaruhi tingkah laku seseorang.

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : (1). Apakah kesenian tradisional ludruk itu?, (2). Bagaimana kesenian tradisional ludruk di Giligenting bisa menjadi media dakwah?, dan (3). Bagaimana efektifitas kesenian ludruk sebagai media dakwah di Giligenting?.

Penelitian ini bertujuan untuk : (1). Untuk mendeskripsikan kesenian tradisional ludruk di kecamatan Giligenting dan menjelaskan bagaimana ia dapat menjadi media dakwah, (2). Untuk mengetahui bagaimana upaya kesenian tradisional ludruk bisa menjadi sebagai media dakwah, dan (3). Untuk mengetahui tingkat efektivitas berdakwah melalui kesenian tradisional ludruk.

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan yang berhubungan dengan kajian khalayak media. Kajian khalayak media yang banyak dilakukan oleh penelitian studi media dan budaya adalah pendekatan ethnografi.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Ludruk adalah seni pertunjukan teater dimana para pemainnya dalam melakukan pementasan tidak menggunakan topeng. Pertunjukan ini meskipun ditemukan sejak tahun 30an, namun sampai saat sekarang masih sangat populer di kalangan masyarakat Sumenep. Dari segi permainan kata, mimik, gerak badan, dan riasan wajah, kesenian tradisional ludruk Sumenep banyak diilhami oleh unsur dagelan dalam pertunjukan ajhing lama. Sebagai ekspresi seni yang akan digunakan sebagai media dakwah maka nilai-nilai Islam pun harus menjadi isi dari kesenian tradisional ludruk yang ada di Giligenting. Adapun nilai nilai islam yang terkandung dalam kesenian tradisional ludruk dapat dilihat dari beberapa faktor: Pertama, pilihan lakon atau cerita. Kedua, pilihan tembang-tembang atau kejungan. Ketiga, pemilihan alat musik atau gamelan. Keempat pilihan pentas. Dan yang yang kelima struktur pertunjukan kesenian tradisional ludruk itu sendiri.


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv

PEDOMAN TRANSLITERASI ... v

MOTTO ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah... 6

C. Rumusan Masalah ... 7

D. Tujuan Penelitian ... 7

E. Kegunaan Penelitian... 8

F. Kerangka Teoritik ... 8

G. Penelitian Terdahulu yang Relevan ... 14

H. Metode Penelitian... 17

I. Sistematika Pembahasan ... 22

BAB II SENI SEBAGAI MEDIA DAKWAH A. Hubungan Seni dan Dakwah ... 24

B. Karakteristik Seni Islam ... 31

C. Perkembangan Dakwah Melalui Seni ... 38

BAB III ISLAM DI MASYARAKAT GILIGENTING A. Keadaan Geografis Giligenting ... 45


(7)

B. Keadaan Demografis ... 46

C. Kondisi Sosial, Budaya, dan Agama ... 53

D. Dakwah Islam pada Masyarakat Giligenting ... 56

BAB IV LUDRUK SEBAGAI MEDIA DAKWAH A. Kesenian Tradisional Ludruk ... 61

B. Pertunjukan Ludruk dan Minat Masyarakat ... 66

C. Fungsi Kesenian Ludruk bagi Masyarakat Giligenting ... 77

D. Upaya Menjadikan Ludruk Sebagai Media Dakwah ... 94

E. Efektivitas Ludruk Sebagai Media Dakwah ... 101

F. Konfimasi Dengan Teori ... 103

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 106

B. Saran ... 107


(8)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Sepanjang sejarah manusia selalu ditemukan aktivitas-aktivitas kesenian dalam masyarakat. Kecenderungan untuk menciptakan seni atau hasrat kepada seni merupakan tabiat manusia. Kesenian masuk dalam tatanan kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, kesenian tidak mungkin bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Karena kesenian adalah suatu unsur yang sangat dibutuhkan selama kehidupan manusia, disamping dua unsur lainnya yaitu ilmu dan agama1

Kesenian sebagai manifestasi dari budaya mempunyai fungsi yang sangat bermakna dalam kehidupan masyarakat. Tidak hanya menjadi suatu tontonan yang dapat menghibur, akan tetapi mengandung nilai-nilai moral yang dapat dijadikan cermin oleh masyarakat. Oleh karena itu, kepedulian masyarakat untuk selalu mencintai kesenian harus selalu ditumbuhkan agar supaya kesenian yang ada tidak hanya menjadi suatu aset kebudayaan daerah yang terlupakan. Kepedulian masyarakat terhadap pelestarian kesenian harus selalu dipupuk.

Masyarakat di kecamatan Giligenting Kabupaten Sumenep,

mempunyai kebiasaan untuk melestarikan kesenian daerahnya dengan selalu menampilkannya pada acara-acara tertentu. Biasanya mereka mengambil kesenian tradisional ludruk sebagai suatu hiburan yang meramaikan acara

1

Hartono Nilai-nilai yang Terkandung dalam Kesenian Tradisional Badui di Karapyak Lor Wedo Martani Ngaplak Sleman.. Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2006, h 3


(9)

tersebut, sekaligus menstimulus orang-orang untuk datang di acara tersebut. Kebiasaan ini sudah menjadi tradisi dalam masyarakat Giligenting pada umumnya, tidak hanya terjadi pada satu desa, tetapi empat desa yang terdapat di pulau Giligenting. Semuanya mempunyai kebiasan yang sama setiap kali mengadakan selamatan perkawinan. Meskipun mengalami gempuran dari hiburan modern seperti sinetron di televisi masyarakat Giligenting masih berusaha mempertahankan hiburan ludruk ini.

Menurut Mac Iver dan Page dalam Soerjono Soekanto kebiasan merupakan perilaku yang diakui dan diterima oleh masyarakat. Kebiasaan mempunyai kekuatan mengikat yang lebih besar daripada cara, kebiasaan diartikan sebagai perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama, merupakan bukti bahwa orang banyak menyukai perbuatan tersebut.2 Kebiasaan juga merupakan suatu tindakan yang dapat menghubungkan masyarakat. Menurut Weber dalam George Ritzer tindakan sosial adalah tindakan individu yang memiliki makna dan arti subyektif bagi diri dan diarahkan pada orang lain.3

Kesenian tradisional ludruk merupakan kesenian khas pada masyarakat di Kecamatan Giligenting. Kesenian ini selalu ditampilkan pada acara-acara penting di masyarakat, misalnya acara pernikahan, khitanan, petik laut atau selamatan yang dilakukan oleh para nelayan pesisir pantai sebagai bentuk rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa, serta acara-cara besar lainnya. Akan

2

Soerjono Soekanto. Sosiologi, suatu Pengantar (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2000) hlm. 201

3

George Ritzer. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2003). hlm. 38


(10)

tetapi acara yang sering dihibur dengan pertunjukan kesenian ini adalah acara perkawinan yang umumnya dilakukan di malam hari.

Kesenian tradisional ludruk ini banyak digemari oleh masyarakat, tidak hanya kalangan orang tua saja melainkan anak-anak, remaja, laki-laki, perempuan banyak yang datang untuk menyaksikannya. Biasanya pertunjukan kesenian ludruk tidak dilakukan di dalam gedung dengan mengundang orang-orang tertentu saja, melainkan dipertontonkan diluar gedung agar orang-orang leluasa dalam menyaksikan pertunjukan tersebut.

Kesenian tradisional ludruk ini tidak pernah sepi penonton. Meskipun telah ditampilkan setiap malam bahkan telah berpindah lokasi dari satu desa ke desa yang lain, masyarakat masih berbondong-bondong untuk tetap menyaksikannya. Karena pada kesenian ini orang merasa terhibur dengan cerita yang dibawakannya yang setiap kali tampil selalu berbeda-beda serta orang merasa nyaman menonton pertunjukan ini karena tempatnya luas dan jarang menimbulkan pertikaian.

Biasanya dalam setiap pertunjukannya kesenian tradisional ludruk berlangsung sangat lama, dimulai dari jam 9 malam sampai hampir subuh. Lamanya durasi pertunjukan kesenian ludruk ini tidak terlepas dari tiga rentetan acara yang ada di dalam pertunjukan, yaitu: pembukaan atau yang biasa disebut ekstra. Dimana dalam ekstra ini biasanya ditampilkan Tandhek (tari-tarian) dan Kejhung (nyanyian berbahasa Madura) yang diiringi oleh permainan musik. Kedua, acara lawak. Acara ini biasanya disetting sebagai drama komedi yang tujuannya untuk menghibur masyarakat. Tidak jarang


(11)

dalam lawakan ini para pelaku ludruk menyisipkan pesan-pesan moral. Terakhir masuk acara inti, dibagian inilah ditampilkan cerita kerajaan masa lalu serta kisah-kisah Walisongo dalam menyebarkan ajaran Islam.

Dalam setiap pementasan ceritanya, kesenian tradisional ludruk berbeda dengan pementasan wayang yang ada di Jawa. lakon-lakon yang dipentaskan biasanya merupakan ekspresi kehidupan rakyat sehari-hari, dengan menggunakan tata busana yang sederhana yang menggambarkan kehidupan masyarakat biasa. Sementara wayang sudah mempunyai tokoh paten didalam setiap pementasannya.

Setiap pertunjukannya, ludruk selalu memperlihatkan unsur kebudayaan tradisional Jawa dan Madura. Pertunjukan ini seperti teater yang membawa cerita-cerita, balada kepahlawanan. Pada dasarnya pertunjukan ludruk merupakan perpaduan dari seni panggung dengan operet (sandiwara yang sebagian besar diaolognya dilagukan).

Kesenian tradisional ludruk oleh masyarakat kecamatan Giligenting juga bisa dipakai sebagai alat yang dapat menyatukan hubungan antara individu maupun kelompok lainnya sehingga mengokohkan kesetia kawanan masyarakat yang bersangkutan dengan masyarakat atau kelompok lain, dengan menggunakan bahasa sehari-hari. Dengan demikian, kesenian tradisional ludruk bisa juga dikatakan sebagai media dakwah dalam masyarakat Giligenting.

Dalam setiap kegiatan pertunjukannya, kesenian ini memasukkan kaidah-laidah ajaran agama dalam cerita yang disuguhkan kepada para


(12)

penonton sebagai nasehat atau singgungan. Sehingga para penonton tidak hanya dapat menikmati alur cerita, akan tetapi juga suatu pencerahan dan bisa memahami ajaran-ajaran agamanya melalui kesenian.

Tidak hanya itu, bagi masyarakat yang memahami, akan diketahui bahwa setiap alat musik yang digunakan pada setiap pertunjukan kesenian tradisional ludruk mengandung nilai-nilai filosofis tertentu yang mempunyai makna tentang sifat-sifat tuhan yang disimbolkan melalui alat musik tersebut. Penonton bisa mengetahui tentang sifat-sifat tuhan dengan pertunjukan kesenian ini. Karenanya kegiatan pertunjukan kesenian ludruk ini juga merupakan cara untuk memperoleh pristise keagamaan yang bisa mempengaruhi tingkah laku seseorang.

Pada masyarakat Kecamatan Giligenting yang notabene beragama Islam, kesenian ini dapat membantu membentuk pola perilakunya pada nilai ajaran agamanya dan menjadi suatu kebiasaan dalam masyarakat setiap berprilaku mereka selalu menedepankan doktrin-doktrin agamanya.

Doktrin agama dimulai dari keyakinan terhadap tuhan sebagai sumber nilai dan aturan untuk menata kehidupan manusia, kepercayaan dan pengakuan umat manusia akan kekuasaan tuhan mengharuskan umat beragama untuk menyesuaikan seluruh prilakunya berdasarkan doktrin yang diyakininya.4 Apabila masyarakat yang diharapkan tetap stabil dan tingkah laku sosial masyarakat bisa tertib maka tingkah laku yang baik harus ditata dan dipolakan sesuai dengan prinsip-prinsip tertentu yang relatif diterima dan

4

Fauzan Saleh. Membangun Kesalehan Individu dan Sosial untuk Kesejahteraan yang Humanis dalam Agama Sebagai Kritik Sosial ditengah Arus Kapitalisme Global (Yogyakarta, IRCiSoD:2006), hlm. 45.


(13)

disepakati bersama.5 Dengan demikian, setiap individu yang beragama harus melakukan tindakan atau perilakunya dengan menggunakan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agamanya guna menciptakan hubungan antar sesama dalam masyarakat. Tidak hanya pada saat-saat tertentu saja melainkan dalam setiap harinya, baik itu berada dalam tatanan masyarakatnya maupun ketika menonton pertunjukan kesenian tradisional ludruk. Kesenian tradisional ludruk telah banyak dipengaruhi oleh ajaran agama Islam pada bahan aslinya, hal ini bisa dilihat pada banyaknya cerita yang disuguhkan pada penonton yang semula bepangkal pada cerita tentang suasana Hindu kemudian dikodifikasi dengan bernafaskan Islam.

Dari sinilah ludruk membawa ajaran moral yang tersaji dalam bentuk alur cerita maupun dalam simbol-simbol yang terdapat disetiap alat musiknya yang bisa menambah wawasan para penonton tentang nilai-nilai ajaran yang terkandung dalam agamanya (Islam).

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Dari latar belakang di atas ada beberapa masalah yang dapat teridentifikasi antara lain sebagai berikut:

1. Kesenian tradisional Ludruk sebagai ikon suatu daerah

2. Kesenian tradisional ludruk sebagai sarana interaksi masyarakat 3. Kesenian tradisional ludruk sebagai manifestasi dari suatu budaya 4. Kesenian tradisional ludruk sebagai tontonan masyarakat

5

Elizabeth. K. Nottiingham. Agama dan Masyarakat. (Jakarta, Raja Grafindo:1994). hlm.


(14)

5. Kesenian tradisional ludruk sebagai media untuk berdakwah atau menyampaikan pesan-pesan agama.

Agar penelitian ini tidak terlalu melebar maka akan dibatasi pada kesenian tradisional ludruk sebagai media dakwah dan problematikanya.

C. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah kesenian tradisional ludruk itu?

2. Bagaimana kesenian tradisional ludruk di Giligenting bisa menjadi media dakwah?

3. Bagaimana efektifitas kesenian ludruk sebagai media dakwah di Giligenting?

D. Tujuan Penelitian

1. Untuk mendeskripsikan kesenian tradisional ludruk di kecamatan Giligenting dan menjelaskan bagaimana ia dapat menjadi media dakwah 2. Untuk mendiskripsikan bagaimana pandangan masyarakat kecamatan

giligenting tentang kesenian ludruk sebagai media dakwah

3. Untuk mengetahui bagaimana upaya kesenian tradisional ludruk bisa menjadi sebagai media dakwah

4. Untuk mengetahui tingkat efektivitas berdakwah melalui kesenian tradisional ludruk


(15)

E. Kegunaan Penelitian

1. Secara Teoritis diharapkan dapat Memberikan konstribusi bagi kajian dan pengembangan teori tentang pemanfaatan kesenian tradisional ludruk sebagai media dakwah.

2. Secara Praktis

a. Memberikan pengetahuan kepada masyarakat mengetahui model-model dan perkembangan media dakwah di era modern.

b. Bagi Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, Khususnya Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, penelitian ini bisa dijadikan sebagai tambahan literatur keilmuan untuk pembinaan dan pengembangan Program Studi.

F. Kerangka Teoritik

Untuk mempermudah memahami dan sebagai landasan kebijakan dalam penelitian ini, maka perlu kiranya untuk memaparkan beberapa istilah dan teori demi kelancaran dan objektivitas penelitian, diantaranya:

1. Teori Kajian Media dan Budaya (Media and Cultural Studies)

Studi kultural atau cultural studies merupakan kelompok pemikiran yang memberikan perhatian pada cara-cara bagaimana budaya di hasilkan melalui perjuangan diantara berbagai ideology.6 Studi cultural memberikan perhatiannya pada bagaimana budaya dipengaruhi oleh berbagai kelompok dominan dan berkuasa.

6

John Fiske, Cultural and Communication Studies; Sebuah Pengantar Paling Komprehensif, (Yogyakarta: Jalasutra 2004) h 324


(16)

Tradisi pemikiran cultural studies bermula dari karya Richard Hoggart dan juga Raymond William pada tahun 1950-an, yang meneliti kaum pekerja Inggris usai Perang Dunia II. Namun, dewasa ini nama Stuart Hall adalah yang paling sering diasoasiasikan dengan aliran pemikiran ini. Menurut Hall dalam Morisson media adalah instrument kekuasaan kelompok elit dan media berfungsi menyampaikan pemikiran kelompok yang mendominasi masyarakat, terlepas apakah pemikiran itu efektif atau tidak7. Studi kultural menekankan pada gagasan bahwa media menjaga kelompok yang berkuasa untuk tetap memegang control atas masyarakat, sementara mereka yang tidak berkuasa menerima apa saja yang diberikan kepada mereka oleh kelompok yang berkuasa.

Sementara, kajian budaya menurut Hall dalam James W. Tankard adalah sebuah formasi dari ide, gambaran, dan praktik yang mempelajari cara-cara menyatakan, bentuk-bentuk pengetahuan, dan tindakan yang terkait dengan topic tertentu, aktivitas social atau tindakan institusi dalam masyarakat.8

Studi kultural merupakan tradisi pemikiran yang berakar dari gagasan filsafat Karl Marx, yang berpandangan bahwa kapitalisme telah menciptakan kelompok elit yang berkuasa yang melakukan ekploitasi terhadap kelompok yang tidak berkuasa dan lemah. Marx berpandangan

7

Morisson, Teori Komunukasi Massa, (Bogor: Penertbit Ghalia Indonesia 2010) hlm 102

8

James W. Tankard, Teori Komunikasi. Sejarah, Metode, dan Terapan di Dalam Media Massa (Terjemahan) (Jakarta: Penerbit Prenada Media 2005) hlm 311


(17)

bahwa pesan yang disampaikan kepada khalayak audience dengan satu tujuan yaitu membela kepentingan kapitalis.9

Walaupun faham marxisme memberikan pengaruhnya dalam aliran cultural studies ini, namun para pemikir yang masuk dalam kelompok studi ini memiliki arah atau orientasi yang agak berbeda dalam pemikiran mereka disbandingkan dengan marxisme. Namun demikian, penerapan prinsip-prinsip marxisme dalam studi kultural bersifat halus dan tidak langsung. Hal ini mendorong beberapa sarjana menilai teori ini bersifat neo-marxis, yang berarti dalam hal tertentu terdapat perbedaan dari pandangan marxisme klasik. Perbedaan dapat dikemukakan sebagai berikut.10

a. Tidak seperti marxisme, mereka bernaung dalam studi kultural berupaya mengintegrasikan berbagai perspektif kedalam pemikiran mereka, termasuk seni, kemanusiaan dan ilmu social

b. Para ahli teori cultural studies memperluas kelompok-kelompok tertindas yang mencakup juga mereka yang tidak memiliki kekuasaan dan kelompok marjinal, termasuk di dalamnya kelompok wanita, anak-anak, homoseksual, etnik minoritas, penderita gangguan mental dan lain-lain. Jadi, tidak terbatas hanya kelompok buruh, sebagaimana faham marxisme.

9

Morissan, Teori Komunikasi Individu Hingga Massa (Jakarta:Kencana prenada Group Jakarta2013) hlm 535

10

Morissan, Teori Komunikasi Individu Hingga Massa (Jakarta:Kencana prenada Group Jakarta 2013) h 528


(18)

c. Kehidupan sehari-hari menurut pandangan marxisme, terpusat pada kerja dan keluarga, namun para penganut studi kultural juga meneliti kegiatan-kegiatan, seperti rekreasi, hobi, olahraga dan lain-lain dalam upaya memahami bagaimana individu berfungsi dalam masyarakat.

Singkatnya, pemikiran asli marxisme, menurut perfektis studi kultural lebih cocok masyarakat yang hidup pada era Perang Dunia II dan tidak cocok untuk masyarakat saat ini. Studi kultural tidak memandang masyarakat hanya pada kerja dan keluarga saja tetapi jauh lebih luas dari itu. Stuart Hall menjelaskan bahwa kajian media dan budaya, atau yang lebih dikenal dengan media and cultural studies, pada dasarnya mencoba untuk menggoyang kemapanan berfikir kita tentang realitas dan apa yang dimaksud dengan real (yang sebenarnya) dalam kehidupan budaya kita sehari-hari.11 tidak ada ideology yang bersifat tunggal. Ketika seseorang memilih suatu ideology, maka ia telah memicu seluruh rantai ideology yang berhubungan dengan ideology tersebut.

Seperti halnya yang terjadi pada masyarakat di kecamatan

Giligenting yang kebanyakan masyarakatnya menyukai adanya

pertunjukan kesenian, biasanya yang sering ditampilkan adalah kesenian tradisional ludruk sebagai upaya untuk melakukan hubungan dengan individu lain atau dengan para pemain lewat pementasan kesenian tersebut. Masyarakat tidak hanya menjadikan kesenian sebagai sebuah tontonan yang sangat menghibur. Selain itu juga, mereka sering

11

Stuart Hall, Culture, Media, Language working papers in cultural studies 1972(pp.128-138). London, Hutchinson and the Centre for Contemporary Studies University of Birmingham, dalam Rachmad Ida, Metode Penelitian Studi Media dan Kajian Budaya, h 3


(19)

menampilkan kesenian sebagai symbol yang dapat menimbulkan suatu tindakan atas pertisipan yang dating dari berbagai desa.

Kesenian tradisional ludruk, merupakan tindakan simbolik, dalam sebuah pertunjukannya, kesenian tradisional ludruk menggambarkan realitas kehidupan sosial di masyarakat. Menurut Clifford Gertz, tindakan simbolik secara efektif menangani kehidupan sosial masyarakat yang termasuk di dalamnya, Agama, Ilmu pengetahuan, Ideologi dan Kesenian yang memainkan peran yang menentukan.12

Setiap kegiatan kesenian ludruk melibatkan suatu segmen masyarakat pada berbagai macam tingkatan. Oleh karena itu, konsep kesenian tradisional ludruk meliputi identitas budaya dan keadaan yang sangat bervarian dengan mencampurkan impian dan tekanan social, dunia music dan pertunjukan masyarakat dapat menimbulkan aneka ragam perasaan seni terwujud di dalam kemampuanya untuk memesonakan. Seni memberikan ilustrasi tercapainya dunia maya justru pada saat menguasai dunia material. Seperti yang dikatakan Helene, bahwa seni (ludruk) merujuk pada dunia yang berbeda. Satu sisi dunia yang sekarang dan satu sisi merujuk pada dunia masa lampau.13 Sehingga merangsang secara ganda khalayak hadirin karena memperlihatkan model tingkah laku sambil membubuinya dengan mimpi dan frustasi penonton.

2. Teori Penggunaan dan Kepuasan

12

James peacock. Ritus Modernisasi, Aspek Sosial dan Simbolik Teater Rakyat Indonesia

(Depok, Desantara:2005) h 234.

13

Helena Bouvier. Lebur! Seni Pertunjukan pada Masyarakat Madura (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia:2002) h 15


(20)

Teori penggunaan dan kepuasan atau uses and gratification theory disebut-sebut sebagai salah satu teori yang paling popular dalam studi komunikasi massa.14 Teori ini mengajukan gagasan bahwa perbedaan individu menyebabkan audiens mencari, menggunakan dan memberikan tanggapan terhadap isi media yang berbeda-beda yang disebabkan berbagai factor social dan psikologis yang bebeda diantara invidu dan audiens. Teori kegunaan dan kepuasan memfokuskan perhatian pada audiensi sebagai konsumen media dan bukan pada pesan yang disampaikan. Teori ini menilai bahwa audiens dalam menggunakan media berorientasi pada tujuan, bersifat aktif sekaligus diskriminatif. Audiens dinilai mengetahui kebutuhan mereka dan bertanggung jawab terhadap pilihan media yang dapat memenuhi kebutuhan mereka tersebut.

Teori penggunaan dan kepuasan menjelaskan mengenai kapan dan bagaimana audiens sebagai konsumen media menjadi aktif atau kurang aktif dalam menggunakan media dan akibat atau konsekuensi dari penggunaan media itu. Penggunaan media didorong oleh adanya kebutuhan dan tujuan yang ditentukan oleh audiens itu sendiri.

Asumsi dasar yang menjadi inti gagasan teori penggunaan dan kepuasan sebagaimana dikemukakan Katz, Blumler dan Gurevitch dalam James W. Tankard yang mengembangkan teori ini.15 Mereka menyatakan lima asumsi dasar teori penggunaan dan kepuasan yaitu: 1) audiens aktif

14

Morissan, Teori Komunikasi Massa, Media, Budaya dan Masyarakat (Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia 2010) hlm 286

15

James W. Tankard, Teori Komunikasi. Sejarah, Metode, dan Terapan di Dalam Media Massa (Terjemahan) (Jakarta: Penerbit Prenada Media 2005) hlm 428


(21)

dan berorientasi pada tujuan ketika menggunakan media; 2) inisiatif untuk mendapatkan kepuasan media ditentukan audiensi; 3) media bersaing dengan sumber kepuasan lain; 4) audiens sadar sepenuhnya terhadap ketertarikan motif dan penggunaan media; dan 5) penilaian isi media ditentukan oleh audiens.

Alasan pengambilan teori penggunaan dan kepuasan dalam penelitian ini karena peneliti menilai ada korelasi antara teori ini dengan permasalahan dalam penelitian ini yaitu tentang selera masyarakat Giligenting terhadap berbagai macam kesenian yang sering ditampilkan pada saat acara-acara penting utamanya acara pernikahan.

G. Penelitian Terdahulu yang Relevan

1. Lebur! Seni Pertunjukan pada Masyarakat Madura

Penelitian terdahulu yang relevan dalam penelitian ini salah satunya adalah buku yang berjudul Lebur! Seni Pertunjukan pada Masyarakat Madura. Buku karanga Helena Bouvier seorang peneliti asing yang melakukan penelitian di kabupaten Sumenep. Dalam buku ini dijelaskan secara rinci kesenian yang ada di daerah Sumenep dari daerah yang terpencil sampai daerah kota serta dari kesenian yang bercorak islami maupun tidak dan memberi gambaran tentang masyarakat yang mencintai kesenian dan pertunjukan serta mengurai secara mendalam tentang arti kesenian dalam kehidupan sehari-hari pada masyarakat Madura khusunya di Kabupaten Sumenep.


(22)

Hasil penelitian Bouvier ini menjelaskan kesenian memiliki posisi yang penting dalam denyut nadi kehidupan masyarakat di Sumenep. Sebagaimana tergambar dalam kata lèbur, yang berarti bagus, menyenangkan, menghibur. Secara spesifik kata ini adalah bentuk apresiasi positif atas kesenian yang ditampilkan. Kesenian muncul dalam setiap kegiatan yang termanifestasi dalam dua hal: kesenian itu sendiri dan gelegar suara dari kesenian yang ditampilkan. Dalam masyarakat Madura, gelegar suara adalah penanda paling mudah untuk mengetahui apakah sebuah kegiatan kesenian sedang dilangsungkan atau tidak. Pengeras suara tidak hanya merupakan aspek pragmatis untuk memperbesar jangkauan suara, namun juga pendongkrak gengsi bagi pemilik acara. Pengeras suara dengan demikian menghapus batasan-batasan kesenian, sehingga kesenian dapat dinikmati oleh masyarakat luas, yang pada gilirannya akan mendorong mereka datang, dan menaikkan gengsi pemilik acara. Dalam tradisi kultural masyarakat, kesenian merupakan salah satu perekat hubungan personal sekaligus komunal, sebab melalui kesenian lah hubungan-hubungan tersebut berlangsung dan bertahan. Dalam dunia di mana hubungan-hubungan komunal dipertahankan melalui kegiatan dan upacara keagamaan, maka kesenian merupakan elemen pendukung yang tidak dapat dikesampingkan.

Persamaan peneliti dengan penelitian yang ada pada buku ini adalah sama-sama menggunakan model metode penelitian lapangan.


(23)

Buku Ritus Modernisasi Aspek Sosial dan Simbolik Teater Rakyat Indonesia (selanjutnya Ritus) karya James L. Peacock ini merupakan hasil penelitian penulisnya mengenai ludruk di Surabaya pada tahun 1960an. Melalui buku yang dituliskannya dengan gaya etnografi, James Peacok sangat detail menggambarkan ludruk sebagai mozaik kebudayaan Jawa. Semangat Peacok yang gigih untuk menelusuri dan bergaul secara intensif dengan seniman-seniman ludruk mampu mengilustrasikan posisi ludruk dan setting social waktu itu. Berangkat dari konsepsi tersebut, Peacok membawa dalam konteks perubahan social di Indonesia melalui teks pertunjukannya.

Menurut Peacock, ludruk membantu orang menetapkan gerak peralihan dari satu situasi ke situasi lainnya, yaitu dari situasi-situasi tradisional menuju situasi-situasi modern. Dalam kehidupan sehari-hari, peralihan ini memiliki beberapa bentuk, seperti: seseorang meninggalkan daerah asalnya atau kehidupan tradisionalnya menuju kota untuk bekerja di pabrik atau menuju kehidupan modern. Ada peralihan dari satu pemikiran yang kuno ke pemikiran yang dianggap modern. Ludruk mencakup semua peralihan itu. Dengan demikian, ludruk dapat membantu memahami gerak-gerak peralihan tersebut, juga sekaligus membantu orang-orang yang terlibat dalam gerak peralihan tersebut untuk memahami posisinya.

Dalam memahami fungsi ludruk sebagai ritus modernisasi, Peacock menggunakan dua klasifikasi simbolik yang selalu digunakan orang Jawa, yaitu skema alus (halus) dan kasar, yang dapat disebut sebagai sebuah


(24)

kosmologi, dan skema maju (progresif) dan kuno (konservatif), yakni skema klasifikasi yang disebut sebagai sebuah ideologi. Kedua skema tersebut, meskipun bukan merupakan skema-skema yang penting bagi partisipan ludruk yang umumnya masyarakat kelas bawah, menurut pandangan Peacock merupakan skema-skema yang sering digunakan oleh partisipan (para penonton dan pemain) ludruk tersebut.

Persamaan dengan penelitian ini adalah sama-sama menjadikan kesenian Tradisional ludruk sebagai objek penelitian.

3. Arak-arakan, Seni Pertujukan dalam Upacara Tradisional Madura

Penelitian tentang kesenian Ludruk juga dilakukan oleh A.M Hermien Kusmiyati dengan bukunya yang berjudul Arak-arakan, Seni Pertunjukan dalam Upacara Tradisional Madura. Buku yang diterbitkan oleh Yayasan Untuk Indonesia dan Lembaga Penelitian Institut Seni Indonesia Yogyakarta merupakan hasil penelitian dari disertasi yang dilakukan pada tahun 2000.

Dari penelitiannya ini, Kusmiyati menggambarkan seni pada masyarakat Madura memiliki fungsi-fungsi yang tinggi. Fungsi seni terdiri dari tiga bagian, yaitu sebagai ritual upacara, sebagai pertunjukan acara resmi dan sebagai tontonan dalam masyarakat.

Penelitian ini tentu relevan dengan penelitian tentang ludruk yang akan peneliti lakukan. Dalam hal ini peneliti menambahkan seni juga berfungsi sebagai media dakwah.


(25)

Dari ketiga penelitian diatas semuanya membahas tentang estetika kesenian dan tidak ada yang membahas secara eksplisit tentang penggunaan ludruk sebagai media dakwah. Hal inilah yang kemudian menjadi pembeda antara penelitian ini dengan beberapa penelitian terdahulu di atas.

H. Metode Penelitian

Untuk memperoleh data yang diperlukan, mengolah dan menganalisis data, maka langkah-langkah yang harus dijelaskan terkait dengan hal-hal teknis dalam metodologi penelitian ini, adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan yang berhubungan dengan kajian khalayak media. Kajian khalayak media yang banyak dilakukan oleh penelitian studi media dan budaya adalah pendekatan ethnografi yang meminjam dari tradisi antropologi.

Ethnografi adalah salah satu riset lapangan dimana peneliti berusaha untuk memahami budaya yang menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari khalayak media. Para peneliti ethnografi mencoba untuk hidup dalam kehidupan subjek-subjek yang ditelitinya, mencatat semua kejadian, peristiwa dan perilaku subjek tersebut baik menggunakan catatan maupun alat perekam pada saat yang sama.16

2. Sumber Data

16

Rachmah Ida, Metode Penelitian Studi Media dan Kajian Budaya (Jakarta, Prenada Media Group: 2014) h 45-46


(26)

Sumber data dalam penelitian ini berasal dari pertunjukan ludruk, dan interview dengan sutradara, para pemain, dan penonton. Secara sederhana data yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua macam, yaitu:

a. Sumber data utama

Data primer ini diperoleh dengan memahami, mengamati apa yang terjadi di dalam acara pertunjukan kesenian tradisional ludruk yang menjadi objek penelitian ini, dan bertanya tentang pesan-pesan dalam pertunjukan ludruk tersebut kepada para pemain dan sutradaranya. Serta data yang peneliti peroleh dari dokumentasi yang dimiliki oleh pemimpin kesenian tradisional ludruk maupun dari orang-orang yang melakukan rekaman terhadap setiap pertunjukan.

b. Sumber data pendukung

Data yang dimaksud adalah berbagai bahan yang tidak langsung berkaitan dengan objek dan tujuan penelitian ini, bahan tersebut diharapkan melengkapi dan memperjelas data-data primer.17 Data ini berupa buku-buku, artikel, dan naskah yang berisi tentang hal-hal yang berkaitan dengan permaslahan yang diajukan oleh peneliti.

3. Tekhnik Pengumpulan Data

Tekhnik pengumpulan data dalam penelitian ini berupa: a. Observasi

17


(27)

Observasi adalah sebuah proses pengumpulan data dengan cara mengamati dan terlibat langsung terhadap objek di lapangan, dan kemudian mencatat secara sistematik fenomena yang akan diteliti. Dengan menggunakan panduan observasi yang telah dipersiapkan peneliti langsung terlibat ke lokasi pertunjukan untuk mengamati objek.

Menurut Black dan Champion dalam Sutrisno Hadi, dalam observasi peneliti akan mengamati berbagai peristiwa aktual yang terjadi dalam lingkup penelitian.18 Dalam hal ini penulis secara langsung akan melihat bagaimana pertunjukan kesenian tradisional ludruk itu berlangsung. Dengan kata lain, dalam hal ini penulis benar-benar terjun langsung ke lapangan dan mengamati pertunjukan.

b. Wawancara

Peneliti berusaha menggali data dari informan secara lebih mendalam (indepht interview) dengan menggunakan interview guide19 yang telah dipersiapkan peneliti sebelum menemui informan untuk diwawancarai.

Dari segi terminologis interview mengandung pengertian segala kegiatan menghimpun atau mencari data dengan jalan mengajukan beberapa pertanyaan, sherring, tanya jawab dan bertatap muka dengan orang-orang yang menjadi narasumber informasi yang diperlukan baik

18

Ibid.... hlm.167

19

Kontjaraningrat, Metode Penelitian Masyarakat (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama:1993) h 140


(28)

itu yang bersangkutan dengan masalah tersebut ataupun lainya yang berfungsi menarik perhatian narasumber.

Data yang diperoleh melalui wawancara ini merupakan data primer dan merupakan data langsung yang diberikan oleh para penonton dalam pertunjukan maupun orang yang sangat menyenangi kesenian tradisional ludruk.

c. Dokumentasi

Dokumentasi ini diperoleh peneliti dari pengumpulan data berupa arsip, foto, rekaman mengenai pertunjukan kesenian tradisional ludruk, monografi dan buku-buku yang terkait dengan tujuan penelitian. Data yang diperoleh adalah sejarah kesenian, foto pementasan atau rekaman, kondisi geografis, kependudukan dan keadaan social budaya masyarkat yang menjadi objek dalam penelitian ini. Dokumen lain adalah foto-foto yang terkait dengan penelitian yang penulis ambil dari lapangan.

4. Teknik Analisis Data

Sesuai dengan sifat penelitian ini maka, dalam pengolahan dan menganalisis data, peneliti menggunakan metode deskriftif analisis sebagai bagian dari penelitian kualitatif. Hasil penelitian akan dianalisis secara induktif.20 Dalam tradisi sosiologi agama, metode ini dimaksudkan mencatat, menguraikan, melaporkan tentang suatu yang berkaitan dengan

20

Imam Suprayogo dan Tobroni, Metode Penelitian Sosial Agama (Bandung, Rosda Karya:2003) h 170


(29)

tingkah laku komunitas social.21 Titik pergantian yang akan diteliti difokuskan pada fakta-fakta berbagai peristiwa yang ada dan masih berlaku pada masyarakat.

Setelah data dikumpulkan, lalu diolah dengan dipilih dan dikelompokkan sesuai dengan kerangka penelitian. Selanjutnya, data tersebut dianalisis dengan teknik triangulasi. Analisis data dengan teknik ini merupakan upaya untuk mencari dan menata secara sistematis catatan hasil observasi, interview dan dokumentasi untuk meningkatkan pemahaman tentang objek dan menyajikan sebagai temuan bagi orang lain.22 Analisis deskriptif bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, factual dan akurat mengenai fakta, sifat serta hubungan antar fenomena yang diteliti.

I. Sistematika Pembahasan

Pada penelitian ini, sistematika pembahasan yang digunakan adalah dengan membagi seluruh isi kedalam lima bab utama dan beberapa sub bab dari bab utama. Sehingga sistematika pada pembahasan ini saling melengkapi dan membentuk satu kesatuan yang utuh yang mudah dipahami oleh pembaca. Adapun rincian bab dan sub bab sebagai berikut:.

Bab Pertama, yang berisi tentang latar belakang, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teoritik, penelitian terdahulu yang relevan, metode penelitian, sistematika pembahasan dan outline penelitian.

21

Betty Schraf, Kajian Sosiologi Agama (Yogyakarta, Tiara Wacana: 1995) h 2-3

22

Lexi J. Maleong Metode Penelitian Kualitatif (Bandung, Remaja Rosda Karya:1998) h 66


(30)

Pada bab Kedua, peneliti akan membahas tentang seni sebagai media dakwah yang meliputi hubungan seni dan dakwah, karakteristik seni Islam, dan perkembangan dakwah melalui kesenian.

Pada Bab Ketiga, penulis akan menganalisis tentang Islam di masyarakat Giligenting, keadaan Geografis, keadaan demografis, kondisi Sosial budaya dan agama serta dakwah Islam pada masyarakatnya.

Bab Keempat, membahas tentang upaya menjadikan kesenian tradisional ludruk sebagai media dakwah. Pada bab ini akan dibahas tentang kesenian tradisional Ludruk, apresiasi dan selera dari penonton, fungsi kesenian ludruk bagi msyarakat, dan bagaimana upaya menjadikan kesenian ludruk sebagai media dakwah, serta pada sub terakhir akan dibahas tentang efektivitas berdakwah melalui media ludruk.

Bab Kelima, Kesimpulan dan Saran. Bab ini mencakup kesimpulan yang ditarik dari hasil penelitian dan saran sebagai masukan kepada pihak-pihak yang terkait dengan penelitian ini.


(31)

24

BAB II

SENI SEBAGAI MEDIA DAKWAH A. Hubungan Seni dan Dakwah

Kegiatan dakwah sudah ada sejak adanya tugas dan fungsi yang harus diemban oleh manusia dibelantara kehidupan dunia ini. Hal itu dilakukan dalam rangka menyelamatkan seluruh alam, termasuk di dalamnya manusia itu sendiri. Namun, kegiatan dakwah sering kali difahami, baik oleh masyarakat awam ataupun masyarakat terdidik, sebagai suatu kegiatan yang sangat praktis, sama dengan tabligh (ceramah). Kegiatan dakwah itu terbatas hanya di majelis-majelis taklim, masjid dan mimbar keagamaan lainnya.

Dakwah pada hakikatnya merupakan risalah bagi setiap mukmin, perintah Rasulullah yang menuntut tanggung jawab pelaksanaannya sepanjang masa dalam berbagai keadaan. Pada tingkat realisasi, dakwah tetap erat kaitannya dengan lima unsur, yakni juru dakwah (da’i), sasaran (masyarakat atau mad’u), materi, metode dan media dakwah. Dalam hal ini, seni merupakan salah satu media dakwah yang cukup efektif dalam menyentuh kesadaran bagi sasaran dakwah.

Dalam Al Quran surat Ali Imron ayat 110 Allah menegaskan predikat manusia sebagai khaira ummatin (umat terbaik), jika mereka mampu tampil di tengah-tengah masyarakat, beramar ma’ruf nahi mungkar serta beriman kepada Allah. Kegiatan ini menuntut ketrampilan dan penampilan sesuai dengan pluralitas masyarakat. Pilihan metode Hikmah, Mau’idzah Hasanah


(32)

25

ataupun Mujadalah menjadi penting, melalui media-media yang mudah dijangkau untuk mendukung strategi dakwah.

Dalam kedudukan mulia itu, manusia diberi status khusus sebagai Khalifatullah dalam kehidupan di muka bumi ini. Bekal yang diberikan kepadanya adalah kekuatan fisik dan kekuatan berfikir yang dilengkapi dengan rasa dan nafsu. Nafsu manusia tidak selamanya mendorong kearah yang positif. Bahkan kecenderungan ke arah negatif pada umumnya lebih kuat, terutama bila fikir dan rasa manusia tidak mampu untuk dikendalikan. Disinilah manusia dalam kehidupan sosial sebagai khalifatullah dituntut untuk mengajak kepada kebaikan dan meninggalkan kejelekan atau dengan kata lain disebut dakwah.

Kegiatan dakwah sering difahami sebagai upaya untuk memberikan solusi Islam terhadap berbagai masalah kehidupan dari seluruh aspek seperti aspek ekonomi, sosial, budaya, hukum, politik dan lain-lain. Oleh karena itu, dakwah haruslah dikemas dengan cara dan metode yang tepat dan pas, dakwah harus tampil secara aktual dalam arti memecahkan masalah yang kekinian dan hangat di tengah masyarakat. Faktual dalam arti kongkrit dan nyata, serta konstektual dalam arti relevan dan menyangkut problema yang sedang dihadapi oleh masyarakat.1

Penggunaan metode atau cara yang benar merupakan bagian dari keberhasilan dakwah itu. Sebaliknya bila metode dan cara yang dipergunakan

1

Munzier Suparta; Harjani Hefni, Metode Dakwah (Jakarta: Prenada Media, 2003), hlm. xiii


(33)

26

dalam menyampaikan sesuatu tidak sesuai dan tidak pas akan mengakibatkan sesuatu yang tidak diharapkan atau tidak memenuhi target yang diharapkan. Dalam berbagai macam literatur dakwah, pembahasan tentang metode secara dasar merujuk sepenuhnya kepada firman Allah SWT dalam Al Quran Surah Al Nahl 125 yang artinya Seruhlah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat di jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.

Sampai saat ini metode-metode yang dijelaskan dalam Al Quran ini dipakai dalam berbagai aktivitas dakwah yang dilakukan tidak hanya di

masjid, pesantren, dan majlis ta’lim, tetapi juga di rumah sakit, perusahaan, hotel, radio, televisi bahkan internet.2

Namun demikian, aktivitas dakwah tampaknya belum berhasil secara penuh merubah keadaan masyarakat menjadi lebih baik. Ada banyak faktor yang menjadi penyebabnya, salah satunya adalah karena dakwah yang selama ini dilakukan bisa jadi cenderung kering, impersonal dan hanya bersifat informatif belaka, belum menggunakan teknik-teknik komunikasi yang efektif. Situasi ini mengindikasikan dakwah yang belum berpijak pada

2

Asep Muhyidin dan Agus Ahmad Safei, Metode Pengembangan Dakwah (Bandung: Pustaka Setia, 2002), hlm 12-16


(34)

27

realitas sosial yang ada. Padahal dakwah dan realitas sosial memiliki hubungan interdependensi yang sangat kuat.3

Beberapa hal yang penting diketahui dalam dakwah adalah, bahwa ada dua segi dakwah yang tidak dapat dipisahkan, tetapi dapat dibedakan yaitu menyangkut isi dan bentuk, substansi dan forma, pesan dan cara penyampaiannya, esensi dan metode. Proses dakwah menyangkut kedua-duanya sekaligus dan tidak dapat dipisahkan. Hanya saja perlu perlu disadari bahwa isi, substansi, pesan dan esensi senantiasa mempunyai dimensi universal yang tidak terikat oleh ruang dan waktu. Dalam hal ini substansi dakwah adalah pesan keagamaan itu sendiri, itulah sisi pertama dalam dakwah. Sisi kedua, meskipun tidak kurang pentingnya dalam dakwah yakni sisi bentuk, forma, cara penyampaian dan metode.4

Selain hal diatas, sebuah media dakwah juga penting untuk dimengerti di dalam proses komunikasi dakwah. Media dakwah yang dipilih tentunya tidak lepas dari metode yang diterapkan dalam dakwah. Pengembangan metode dakwah sangat berkait dengan media yang harus menyertainya.

Seorang da’i misalnya harus mampu memilih media dakwah yang relevan

dengan kondisi mad’u yang telah dipelajari secara konprehensif dan

berkesinambungan. Kegiatan dakwah yang dilakukan dengan

3

Yunan Yusuf, Metode Dakwah Sebuah Pengantar Kajian (Jakarta: Prenada Media, 2003), hlm 16-17

4

Ahmad Anas, Paradigma Dakwah Kontemporer (Semarang, Wali Songo Press IAIN Walisongo, 2006), hlm. 14-16


(35)

28

mempertimbangkan kondisi audiens tersebut akan lebih memberikan hasil yang jelas.5

Tentu saja seorang da’i hendaklah memilih metode dan media yang dari masa ke masa terus berkembang seperti mimbar, panggung, media cetak atau elektronik (radio, internet, televisi, komputer). Kemudian dengan mengembangkan media atau metode kultural dan struktural yakni pranata sosial, seni dan karya budaya. Juga dengan mengembangkan dan menyesuaikan metode dan media seni budaya masyarakat setempat yang relevan seperti wayang, drama, musik, lukisan dan lain sebagainya.

Seni adalah ekspresi yang bernuansa Indah. Apakah itu ucapan atau ungkapan, lukisan atau tulisan, pendek kata dalam segala aspek kehidupan. Dengan ilmu segalanya menjadi mudah, dengan seni segalanya menjadi indah. Sedangkan menurut K. Prenc.M seni adalah penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam hati orang yang dilahirkan dengan perantara alat-alat komunikasi dalam bentuk yang ditangkap oleh panca indera pendengaran (seni suara), penglihatan (seni lukis) atau yang dilahirkan dengan gerak (seni drama dan tari).6 Maka seni dapat digunakan sebagai salah satu media dakwah.

Secara teoritis Islam memang tidak mengajarkan seni dan estetika (keindahan), namun tidaklah berarti Islam anti seni. Ungkapan bahwa Allah

5

Siti Muriah, Metodologi Dakwah Kontemporer (Yogyakarta, Mitra Pustaka, 2000), hlm.13-14

6


(36)

29

adalah jamil (indah) dan mencintai jamal (keindahan) serta penyebutan Allah pada diriNya sebagai badi'us samawat wal ardl (maha pencipta langit dan bumi), merupakan penegasan bahwa Islam pun menghendaki kehidupan ini indah dan tidak lepas dari seni. Arti Badi' adalah pencipta pertama dan berkonotasi indah. Berarti, Allah mencipta langit dan bumi dengan keindahan.

Ditinjau dari sisi sosiokultural, sudah menjadi fakta bahwa salah satu pilar kesuksesan dakwah nabi Muhammad SAW dikalangan masyarakat Arab adalah strategi beliau dalam mendekati kaum Arab lewat pendekatan seni dan budaya. Adanya kitab suci Al-Qur’an yang bernilai sastra tinggi di lingkungan yang sangat menghargai sastra budaya pada saat itu merupakan bukti bahwa melalui budaya masyarakat mudah menerima ajaran-ajaran Islam. Begitu juga dalam menetapkan hukum atas sesuatu, beliau tidak menghilangkan budaya yang ada, melainkan hanya meluruskan hingga sesuai dengan ajaran-ajaran Islam.

Dalam pengertian yang luas, dakwah punya kaitan simbiosis dengan seni, dimana makna dan nilai-nilai Islam dapat dipadukan. Narnun dalam hal ini perlu adanya konsep dakwah yang lebih strategis lagi, dengan pengelolaan secara profesional yang mampu mengakomodasi segala permasalahan sosial. Di sini, seni dapat menjadi metode atau media dakwah, namun juga menjadi sasaran antara bagi dakwah Islamiyah itu sendiri.

Sebagai media atau metode, seni mempunyai proyeksi yang mengarah pada pencapaian kesadaran kualitas keberagamaan Islam yang pada


(37)

30

gilirannya mampu mernbentuk sikap dan perilaku Islami yang tidak menimbulkan gejolak sosial, tetapi justru makin memantapkan perkembangan sosial. Sedangkan sebagai sasaran, dakwah diarahkan pada pengisian makna dan nilai-nilai Islarni yang integratif ke dalam segala jenis seni dan budaya yang akan dikembangkan.

Pada awal era kejayaan Islam, telah lahir tokoh-tokoh besar dibidang seni musik. Para ilmuwan muslim telah menjadikan musik sebagai media pengobatan atau terapi. Kegemilangan peradaban Islam ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan kebudayaan ini bersentuhan erat dengan moral Islam, budaya arab dan kebudayaan besar lainnya.

Tidak heran jika pada awal kejayaan Islam telah lahir tokoh-tokoh besar dibidang seni musik. Ada musisi terkenal yang sangat disegani yaitu Ishaq ibn Ibrahim Al-Mausili (767-850M). Ada pula pengkaji pengkaji musik yang disegani seperti Yusuf bin Sulaiman Al-Khatib (wafat tahun 785M).7 Munculnya seniman dan pangkaji musik di dunia Islam menunjukkan bahwa umat Islam tidak hanya melihat musik sebagai hiburan. Lebih dari itu, musik menjadi bagian dari ilmu pengetahuan yang dikaji melalui teori-teori ilmiyah.

Dalam konteks Indonesia, upaya penyampaian ajaran Islam melalui media seni sudah memiliki umur yang relatif tua. Para Walisongo dengan beberapa keahlian keseniannya telah mampu menyebarkan agama Islam

7

Philip K. Hitti, History of Arabs Rujukan Induk dan Paling otoritatif tentang Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2013), hlm. 537


(38)

31

hingga keberbagai daerah di Nusantara. Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang adalah dua dari sebagian tokoh penyebar Islam yang menjadikan seni musik sebagai media dakwah.8

Walisongo muncul saat runtuhnya dominasi kerajaan Hindu Budha di

Indonesia. Kesembilan “wali” yang dalam bahasa Arab artinya penolong ini

merupakan para intelektual yang terlibat dalam upaya pembaharuan sosial yang pengaruhnya terasa dalam berbagai manifestasi kebudayaan mulai dari kesehatan, bercocok tanam, berniaga hingga kepemerintahan.

Yang menarik dari kiprah walisongo adalah aktivitas mereka yang menyebarkan Islam di bumi pertiwi tidaklah dengan armada militer dan pedang, tidak juga menginjak-injak dan menindas keyakinan lama yang dianut oleh masyarakat Hindu-Budha yang saat itu mulai memudar pengaruhnya. Namun, mereka melakukannya dengan cara halus dan bijaksana. Mereka tidak langsung kebiasaan-kebiasaan lama masyarakat namun justru menjadikannya sebagai sara berdakwah mereka. Salah satu media yang mereka gunakan sebagai media dakwah adalah wayang.

B. Karakteristik Seni Islam

Menurut Islam, seni tidak boleh diklasifikasikan kepada subjek atau objek semata-mata. Ia harus dilihat sebagai Islam sendiri memandang sesuatu. Ia tidak dilihat pada sudut tertentu tetapi pada sesuatu yang menyeluruh.

8

Asep Muhyidin, Metode Pengembangan Dakwah (Bandung: Pustaka Setia, 2002), hlm. 212


(39)

32

Selaras dengan kehidupan yang telah ditentukan oleh Allah yang telah dimuatkan dalam firmanNya (Al Quran). Cara praktikal atau amaliyah pula melalui teladan kehidupan Rasulullah SAW. Oleh sebab itu, seni Islam mempunyai noktah dan tujuan yang jelas yaitu sebagai manifestasi beribadah kepada Allah. Manakala kandungannya pula seiring dengan nilai-nilai Islam.9

Seni Islam mempunyai dasar yang jelas dalam melahirkan proses kreatif di dalam berkarya. Karya seni Islam senantiasa memberikan arah tujuan kehidupan manusia yang lurus sesuai dengan fitrah manusia yang berlandaskan pengabdian, karena Islam mengenal adanya akhirat setelah dunia. Seperti sebuah hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Imam Ahmad, Rasulullah bersabda kepada Umar bin Al Khattab yang ketika melihatnya mengenakan pakaian yang baru, “kenakanlah pakaian baru, hiduplah secara terpuji dan matilah sebagai seorang syahid dan Allah

memberimu kesenangan kehidupan di dunia dan akhirat”.10

Berdasarkan tujuan dan kandungan seni Islam maka setiap seniman Muslim harus memahami nilai-nilai Islam terlebih dahulu sebelum menguasai sesuatu tentang seni. Dalam arti lain, nilai Islamlah yang akan menjadi rujukan keseniannya. Seorang seniman yang melahirkan karya seni tidak terlepas dari pengalaman dan kehidupan yang dijalaninya. Oleh sebab itu, jika

9

Portal Komuniti Muslimah, Seni Islam yang Menyuburkan, dalam www.Hanan.com, diakses, 25 September 2015

10

Portal Komuniti Muslimah, Seni Islam yang Menyuburkan, dalam www.Hanan.com, diakses, 25 September 2015


(40)

33

ia memahami nilai-nilai secara baik dan meyeluruh, maka karya seni yang dihasilkan pasti memancarkan roh keislamannya.

Menurut Sayyed Hossein Nasr di dalam Irfan Abu Bakar, seni Islam merupakan hasil dari pengejewantahan keesaan pada keanekaragaman. Artinya seni Islam sangat terkait dengan karakteristik-karakteristik tertentu dari temapt penerimaan wahyu Al-Quran yang dalam hal ini adalah masyarakat Arab. Jika demikian, bisa jadi Islam adalah seni yang terungkap melalui ekspresi budaya lokal yang senada dengamn tujuan Islam. Sementara itu, bila kita merujuk pada akar makna Islam yang berarti menyelamatkan ataupun menyerahkan diri, maka bisa jadi yang namanya seni Islam adalah ungkapan ekspresi jiwa manusia yang termanifestasikan dalam segala macam bentuk, baik seni ruang maupun seni suara yang dapat membimbing manusia ke jalan atau pada nilai-nilai ajaran Islam.11

Bukan permasalahan yang mudah untuk mendefinisikan apa sebenarnya makna seni Islam tersebut. Apakah yang dalam pengungkapannya memakai bahasa Arab sebagaimana orang awam melihat yang dapat kita katakan sebagai seni Islam. Ataukah seni yang mendapatkan pengakuan dari ajaran Islam, ataukah seni yang dalam operasionalnya bernuansa atau bernafaskan nilai-nilai yang termaktub dalam sumber ajaran agama Islam.12

11

Irfan AbuBakar, Estetika Islam: Menafsir seni dan Keindahan (Bandung: Mizan, 2005), hlm. 208-210

12

Ali Maksum, Tasawwuf sebagai Pembebasan Manusia Modern; Telaah Signifikan Konsep Tradisional Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 124


(41)

34

Namun demikian, jika merujuk pada pandangan para ahli, mungkin kita dapat membangun persepsi yang setidaknya sama tentang apa sebenarnya seni Islam tersebut. Sementara itu, bila kita merujuk pada akar makna Islam yang berarti meyelamatkan ataupun menyerahkan diri, maka bisa jadi yang namanya seni Islam adalah ungkapan ekspresi jiwa setiap manusia yang termanifestasikan dalam segala macam bentuknya, baik seni ruang maupun seni suara yang dapat membimbing manusia ke jalan atau pada nilai-nilai Islam.

Dari definisi yang kedua ini bisa jadi seni Islam adalah ekspresi jiwa kaum muslim yang terungkap melalui bantuan alat istrumental baik berupa suara maupun ruang. Hal ini juga bisa kita lihat dalam cacatan sejarah perkembangannya baik seni suara maupun seni ruang.

Dengan defisini demikian, maka setiap perkembangan seni baik pada masa lampau maupun masa kini bisa dikatakan seni Islam asalkan kerangka dasar dari definisi-definisi di atas. Dengan kata lain, seni bisa kita kategorikan seni Islam bukan terletak pada dimana dan kapan seni tersebut termanifestasikan, melainkan pada esensi dari ajaran-ajaran Islam yang terejewantahkan dalam karya seni tersebut.13

Ungkapan artistik dalam ajaran Islam yang termanifestasikan dalam seni ruang dan lainya, membawa kita pada pemahaman bahwa seni Islam

13

Harun Nasution dan Azyumardi Azra, Islam Dewasa ini dalam Perkembangan Modern dalam Islam (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985), hlm. 48


(42)

35

memiliki karakteristik yang membedakan dengan seni lainnya. Karakteristik-karakteristik tersebut adalah sebagai berikut:14

Pertama, seni Islam bercirikan abstrak dan mujarat. Ciri ini didasari atas munculnya penafsiran seni figural yang berangkat dari pemahaman bahwa alam ini adalah ilusi yang dinafikan. Namun bagi seni Islam, alam adalah kreasi seni Tuhan yang dapat dirasa dan diraba.

Kedua, seni Islam bercirikan Struktur Modular. Artinya dalam karya seni Islam senantiasa dibangun bentuk-bentuk yang lebih kecil yang pada akhirnya bergabung menjadi bentuk yang lebih komplek.

Ketiga, seni Islam bercirikan gabungan berurutan. Artinya dalam berbagai bentuknya baik yang berkenaan dengan seni suara, ruang dan gerak, seni Islam senantiasa terbangun dari komponen kecil yang bergabung secara berurutan. Gabungan berurutan yang lebih besar tersebut dalam kenyataannya tidak menafikan keberadaan komponen yang lebih kecil. Justru gabungan-gabungan tersebut disambung dengan komponen yang lebih besar yang membentuk gabungan yang lebih kompleks. Contoh dari ini dapat kita lihat dalam Al-Quran.

Keempat, seni Islam bercirikan perulangan, artinya dalam berbagai coraknya, karya seni Islam mengandung model perulangan yang tinggi, baik perulangan motif, struktural moduralnya maupun kombinasi berurutannya.

14

Zainal Arifin Thoha, Eksotisme Seni Budaya Islam, Khasanah Peradaban dari Serambi Pesantren (Yogyakarta: Buku Laela, 2002), hlm. 49


(43)

36

Manifestasi dari ciri ini juga kita dapat dalam Al-Quran. Artinya betapa tidak bisa kita pungkiri bahwa dalam Quran kita temukan model-model pengulangan. Dari sisi seni Islam ini merupakan karya maha agung yang menakjubkan, sebab membuat pengulangan yang dibarengi dengan pengulangan keseragaman makna dan bunyi adalah hal yang luar biasa sulitnnya.

Kelima, seni Islam bercirikan dinamis. Artinya dalam karya-karya seni Islam senantias melalui lingkungan masa. Menurut Boas bahwa setiap seni yang ada pada dasarnya yang sama, yaitu meliputi lingkungan masa dan ruang. Seni yang meliputi lingkungan masa adalah seni sastra dan seni musik. Sedangkan seni yang meliputii lingkungan ruang adalah seni tampak atau bina (arsitektur).15Adapun tari dan drama adalah menggabungkan seni masa dan seni ruang.

Keenam, seni Islam memiliki kerumitan, jika kita menilik lebih lanjut terhadap karya-karya seni Islam, maka kerumitan dalam komponen-komponennya adalah dapat kita temukan. Baik dalam seni kaligrafi maupun seni ruang. Manifestasi dari kerumitan ini juga kita ungkap dalam Al-Quran. Artinya pemakain gaya bahasa yang ada dalam Al-Quran dari segi seni Islam merupakan manifestasi dari gaya bahasa tingkat tinggi yang membangun sebuah keindahan sastra.

15

Sayyed Hossein Nasr, Intelegensi dan Spiritual Agama (Jakarta: Inisiasi Press, 2004), hlm. 271-272


(44)

37

Seni Islam mempunyai landasan pengetahuan yang diilhami oleh nilai-nilai spiritual, yang dalam pandangan para tokoh tradisional seni Islam disebut sebagai hikmah dan kearifan. Salah satu pesan spiritual yang disampaikan dalam seni Islam adalah kelugasannya dalam menyampaikan esensi Islam yang jauh lebih mudah dierna oleh pemikiran manusia daripad penjelasan yang bersifat ilmiah. Sebaris kaligrafi tradisional justru lebih mampu menjelaskan karakter pesan Islam dibanding dengan ungkapan ilmiah para modernis dan aktifis.16 Orang akan merasa tenang ketika duduk diatas karpet tradisional, memandang sebaris kaligrafi , mendengarkan syair klasik dan tilawah Al-Quran. Betapa ini adalah macam ketenangan psikologis yang disampaikan oleh berbagai seni dalam Islam.

Seni Islam juga dapat berfungsi sebagai wahana kotemplasi pada manusia disaat ia disibukkan dengan aktifitas hariannya. Adalah sifat manusia manakala ia disibukkan dengan aktifitas duniawi, baik berkaitan dengan ekonomi, politik maupun yang lainnya cenderung untuk melupakan Tuhan.17 Seni Islam adalah sarana yang mampu menembus ruang-ruang kesibukan manusia dalam segala bentuknya yang membimbing kearah kesadaran akan keberadaan Tuhan. Hal uyang demikian inilah, bagi penulis yang dikatakan sebagai pesan spiritual yang tersampaikan dalam karya seni Islam.

16

Sayyed Hossein Nasr, Intelegensi dan Spiritual Agama (Jakarta: Inisiasi Press, 2004), hlm. 271-271-272

17

Zainan Arifin Thoha, Eksotisme Seni Budaya Islam, Khasanah Peradaban dari Serambi Pesantren (Yogyakarta: Buku Laela, 2002), hlm. 49


(45)

38

Walaupun demikian, tidak bisa kita pungkiri juga, bahwa kita sering kali terjebak pada hal-hal formal. Dengan kata lain, seyogyanya melalui karya seni Islam, baik seni ruang maupun suara, pesan spiritual yang seharusnya terbaca oleh setiap individu, justru hanya berhenti pada keindahan bentuk dari seni Islam tersebut.18 Hal yang demikian itu, bagi penulis tidak ubahnya sebagai pola keberagaman kita. Artinya, realitas yang terdapat di sekitar kita tersebut tidaklah mereduksi pemahaman bahwa seni Islam mampu menyampaikan pesan spiritual terhadap setiap individu.

Jadi, pengakuan seni oleh Islam tidak lepas dari fitrah manusia yang menuntut keserasian dan keseimbangan antara unsur-unsur fikir, rasa, karsa dan karya. Dari sisi fungsinya, seni dapat menjadi media mensyukuri nikmat Allah, dimana Allah telah menganugerahi manusia berbagai potensi, baik potensi rohani maupun potensi inderawi (mata, telinga dan lai-lain). Fungsi seni disini ialah menghayati sunnah Allah, baik pada alam, maupun yang terdapat dalam kreasi manusia.

C. Perkembangan Dakwah melalui Kesenian 1. Era Lampau

Dakwah dimasa lalu menghadapi masalah yang cukup berbeda dengan masa kini, sehingga para pendakwah di masa lampau mengunakan berbagai macam pendekatan. Keadaan masa lalu yang harus mengunakan pendekatan pada kultur yang sudah ada dan kebudayaan, serta agama yang sudah

18

Abdurrahman Al-baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam: Seni Vocal, Musik dan Tari (Jakarta: Gema Insani Press, 1991), hlm 23


(46)

39

berkembang terlebih dahulu di suatu daerah harus mengunakan cara yang efektif pada masanya yaitu seni yang di minati di masa itu.

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa strategi dakwah Walisongo mempunyai sikap yang sangat moderat terhadap kebuyaan lokal. Mereka mengadopsi kebudayaan dan tradisi loka dan mengisiya dengan nilai-nilai Islam. Sikap ini terus dipertahankan, meskipun mereka sudah menjadi mayoritas dan mempunyai kerajaan Islam.

Walisongo bahkan sengaja mngambil instrumen kebudayaan lokal tersebut untuk mepromosikan nilai-nilai Islam. Denga kata lain, nilai-nilai Islam dipromosikan dengan isntrumen kebuayaan lokal. Sebagai mana

contoh, Walisongo mengubah makna konsep “Jimat Kalimah Shada” yang asalnya berarti “jimat kali maha usada” yang bernuansa theologi Hindu menjadi makna “azimat kalimat syahada”. Frase yang terakhir merupakan pernyataan seseorang tentang keyakinan bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusanNya.

Dalam perspektif Islam, kalimah syahadah tersebut sebagai “kunci surga” yang berarti sebagai formula yang akan mengantarkan manusia menuju keselamatan dunia dan akhirat. Maksutnya ialah syahadat tersebut dalam perspektif muslim mempunyai kekuatan spiritual bagi yang mengucapkannya. Hal ini merupakan pernyataan seorang muslim untuk hidup dengan teguh memegang prinsip-prinsi ajaran Islam sehingga meraih kesuksesan di dunia dan akhirat.19

19


(47)

40

Nama-nama punakawan sendiri sebagai satu kesatuan sebenarnya yag mempresentasikan karakteristik kepribadian muslim yang ideal. Semar, berasal dari kata Ismar yang berarti seseorang yang mempunyai kekuatan fisik dan psikis. Ia sebagai representasi seorang mentor yang baik bagi kehidupan, baik bagi raja maupun masyarakat secara umum. Nala Gareng (Gareng) berasal dari kata Nala Qarin yang berarti seseorang yang mempunyai banyak teman. Ia merupakan representasi dari orang yang supel, tidak egois dan berkepribadian yang menyenangkan sehingga ia mempunyai banyak teman. Petruk merupakan kependekan dari Fatruk ma Siwa Allah yang berarti seseorang yang beroreintasi dalam segala tindakannya kepada Tuhan. Ia mempresentasikan orang yang mempunyai konsen sosial tinggi dengan dasar kecintaan kepada Tuhan. Bagong berasal dari kata Bagha yang berarti menolak segala hal yang brsifat buruk atau jahat, baik yang berada di dalam diri sendiri maupun di dalam masyarakat.20

Selain menggunakan wayang, Walisongo juga mengembangkan lirik dan langgam tembang-tembang macapat yang sudah dikenal dan berkembang luas di masyarakat. Hanya saja Walisongo turut memberikan nilai-nilai Islam melalui isi dari tembang tersebut. Walisongo juga menciptakan lagu-lagu pujian keagamaan dengan model lirik semacam uyon-uyon dan ilir ilir.21

20

Sudarto, Interelasi Nilai Jawa dalam Pewayangan dalam Islam dan Kebudayaan Jawa

(Yogyakarta: Geman Media, 2002), hlm. 173-174

21

Suparjo, Islam dan Budaya: Strategi Kultural Walisongo dalam Membangun Muslm Indonesia, Komunika, Vol. 2, No. 2 (Desember 2008), hlm. 126


(48)

41

Jadi, dakwah pada masa lampau juga sering disebut dengan Dakwah Kultural karena dakwah dilakukan dengan cara mengikuti budaya-budaya kultur masyarakat setempat dengan tujuan agar dakwahnya dapat diterima di lingkungan masyarakat setempat.

Dakwah kultural ini hukumnya syah-syah saja asal tidak bertentangan dengan nilai-nilai syar’i yang sudah baku, misalnya masalah aqidah. Sebab apabila dakwah yang kita anggap kultural ini kemudian kita salah menafsirkannya, maka yang terjadi adalah kefatalan. Misalnya saja kita berdakwah dengan harus mengikuti budaya agama lain yang dapat menggugurkan nilai aqidah kita, maka dakwah semacam ini tidak boleh dilakukan.

2. Era Sekarang

Sedangkan di masa sekarang ini dakwah mengalami permasalahan yang cukup beragam. Dikarenakan masuknya atau munculnya kebudayaan baru, ideologi-ideologi baru yang tentu saja menjadikan model penyampaian dakwah lebih bervariasi.

Islam sebagai agama dakwah yang universal mewajibkan umatnya untuk melakukan internalisasi, difusi, transformasi dan aktualisasi syiar Islam. karena keuniversalannya itulah Islam mampu menenmpatkan posisi strategis yang mampu menjawab problematika yang muncul di tengah

masyarakat modern. Untuk itu, suatu kewajiban bagi para da’i untuk

memfungsikan media dakwah secara efektif, sehingga dapat mengarahkan umat untuk menguasai teknologi informasi dan komunikasi bagi kepentingan


(49)

42

umat. Dengan begitu, maka Islam mampu melaksanakan program dakwah yang solutif terhadap kompleksitas umat dalam menerima aneka ragam informasi.22

Dari sekian banyak media massa yang ada, maka film merupakan salah satu media massa yang sangat efektif dalam pelaksanaan dakwah. Film memiliki daya tarik tersendiri, dan dapat disajikan dalam berbagai bentuk dan variasi sehingga dapat menimbulkan daya tarik bagi para penontonnya.

Film merupakan hasil olahan dari berbagai macam komponen, seperti perwatakan, kostum, properti, alur, plot dan lainya yang mampu mengemas pesan maupun ideologi dari pembuatnya serta menyampaikan realitas simbolik dari sebuah fenomena secara mendalam.

Pengaruh film terhadap jiwa manusia sangat besar, ada yang psitif ada yang negatif. Penonton tidak hanya terpengaruh sewaktu atau selama duduk menontn, tetapi terus sampai waktu yang cukup lama. Pengaruh film itu bukan sebatas pada cara berpakaian dan cara begaya saja tetapi sering menimbulkan pengaruh yang lebih jauh.23

Belakangan ini cara dakwah lewat film mulai banyak dilirik oleh para aktivis dakwah di Indonesia. Kesuksesan film Ayat-ayat Cinta menyedot perhatian seluruh lapisan masyarakat sehingga membuat sebagian aktivis dakwah tertarik untuk turut berdakwah melalui film. Dakwah melalui film

22

Onong Uchyana Effndy, Komunikasi Dakwah (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1986), hlm. 12

23


(50)

43

dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat karena nasehat yang disampaikan megalir tanpa ada ksan untuk menggurui.

Selain film, musik juga merupakan alat komunikasi yang cukup efektif untuk digunakan sebagai media dakwah untuk saat ini. Melalui sebuah lagu seseorang dapat menyampaikan sebuah pesan yang sangat mudah untuk diterima dalam hati. Musik juga dapat mempengaruhi emosi dan perasaan seseorang yang menikmatinya.

Seperti halnya Rhoma Irama dengan Soneta Groupnya yang memproklamirkan The Voice of Muslim, sebagai sebuah ikrar yang menjadikan musik pada umumnya, khususnya dangdut yang digemari oleh banyak kalangan masyarakat, disamping sebagai sarana hiburan juga dijadikan sebagai media dakwah. Misi dakwah Soneta Group terlihat dalam lirik dan syair-syairnya yang secara langsung mengajak kepada sebuah kesadaaran sebagai pesan moral dan ungkapan nurani yang bertanggung jawab.

Dan sekarang sudah mulai berkembang kembali dengan hal yang lebih bervarian. Yakni Emha Ainun Najib atau yang biasa disebut Cak Nun, juga melakukan hal yang sama melalui musikalisasi kelompok musik Kiai Kanjeng. Ia sanggup mengubah Gamelan yang berasal dari tradisi Jawa tersebut menjadi sarana pengungkapan dan penyampaian pesan-pesan dakwah kepada masyarakat.24

24

Asep Muhyidin, Metode Pengembangan Dakwah (Bandung: Pustaka Setia, 2002) hlm. 212


(51)

44

Sementara itu, dalam nuansa musik yang lain, Ebit G. Ade, Syam Bimbo, Raihan serta banyak lagi yang lainnya menampilkan warna musik sebagai sarana perenungan, teguran dan ajakan. Opick, yang meyisir syairnya dengan nuansa pop religi, dan bahkan artis-artis lainnya seperti Ungu dengan album lagu Sujudku, Group Band Radja denga Lailatul Qoadarnya serta Almarhum Ustadz Jefri Al Bukhori dengan Sholawat Nariyah. Dan saat ini yang lagi digandrungi adalah Maherzain dengan alunan syair yang indah sehingga memudahkan pesan dakwah tersampaikan dengan baik tanpa mengurangi makna pesan dakwah sedikitpun.

Jadi, dakwah pada masa sekarang ini, yang dapat juga disebut sebagai Dakwah Kontemporer dilakukan dengan cara menggunakan teknologi yang sedang berkembang. Dakwah kontemporer ini sangat cocok apabila dilakukan di lingkungan masyarakat kota atau masyarakat yang memiliki latar belakang pendidikan menengah ke atas.

Teknis dakwah kontemporer ini lain dengan dakwah kultural. Jika dakwah kultural dilakukan dengan cara menyesuaikan budaya masyarakat setempet, tetapi dakwah kontemporer dilakukan dengan cara mengikuti teknologi yang sedang berkembang. Dakwah melalui seni dengan bantuan teknologi ini pulalah yang masih dilakukan oleh masyarakat Giligenting Kabupaten Sumenep. Hal inilah yang akan diuraikan penulis melalui penelitian ini.


(52)

45

BAB III

ISLAM DI MASYARAKAT GILIGENTING A. Keadaan Geografis Giligenting

Giligenting adalah nama sebuah pulau yang terletak dibagian selatan Kabupaten Sumenep. Keseluruhan pulau ini ditambah dengan tujuh pulau lainnya yang berdekatan tergabung menjadi satu kecamatan yaitu kecamatan Giligenting. Secara Geografis, pulau Giligenting ini terletak sekitar 8 kilo meter dari pusat kota Sumenep. Satu-satunya jalur menuju pulau ini ialah dengan menggunakan sampan1. Diperlukan waktu lebih kurang 30 menit mengarungi laut dengan sampan melalui pelabuhan kecil yang terletak di desa Tanjung kecamatan Saronggi.

Pada mulanya pulau giligenting masuk pada wilayah kecamatan Bluto, sebuah kecamatan yang terletak di selatan kota Sumenep. Namun, wilayah pulau ini kemudian dimekarkan menjadi kecamatan sendiri melalui peraturan pemerintah Jawa Timur No. 7/1982. Wilayahnya meliputi 8 desa yaitu desa Aenganyar, Bringsang, Galis, Gedugan, Jate, Banbaru, Banmaleng dan Lombang.

Kecamatan yang keseluruhan batas wilayahnya dikelilingi oleh selat Madura ini juga mempunyai 5 pulau yang tidak berpenghuni. Diantaranya ialah, Pulau Pasir Putih, Gili Pandan, Karang Gemer dan Karang Noko. Saat

1

Sampan adalah perahu kecil yang mempunyai dua bentuk, yaitu perahu kecil yang menggunakan layar dijalankan dengan menggunakan belle (dayung), dan perahu yang besar yang digerakkan dengan mesin. Jenis sampan kedua ini yang paling utama dijadikan sebagai alat transportasi ke kota.


(53)

46

ini, kecamatan Giligenting mempunyai total wilayah sebesar 30,3 Km² atau 1,45% dari luas wilayah kabupaten Sumenep.

B. Keadaan Demografis Giligenting 1. Penduduk

Menurut data statistik dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kecamatan Giligenting per Bulan Juni tahun 2015. Jumlah penduduk di pulau Giligenting, laki-laki sebanyak 6.385 dan perempuan sebanyak 7.635. Kesemuanya berjumlah 14.020.

Tabel penduduk Giligenting Tahun 20152

No Tingkatan Umur Jenis Kelamin Jumlah

01 Anak (0-14) Tahun Laki-laki

Perempuan

1.468 1.592

02 Remaja (15-19) Tahun Laki-laki

Perempuan

603 622

03 Muda (20-39) Tahun Laki-laki

Perempuan

2.110 2.233

04 Dewasa (40-54) Tahun Laki-laki

Perempuan

1.225 1.505

05 Tua (55-64) Tahun Laki-laki 388

2

Data ini sesuai dengan data yang ada di kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kecamatan Giligeting yang kemudian ditabulassi sendiri oleh peneliti


(54)

47

Perempuan 409

06 Lansia Laki-laki

Perempuan

591 1.274

2. Mata Pencaharian

Iklim di Giligenting terbagi atas dua musim, yaitu musim barat (nembere’) dan musim penghujan ( Nemor), hal ini menyebabkan di kecamatan ini tidak memiliki tanah yang subur. Sebagian besar tanah yang diolah terdiri dari tanah tegalan yang hanya menghasilkan jagung dan singkong untuk musim hujan.

Khusus untuk bidang perikanan, potensi yang dimiliki pulau Giligenting meliputi penangkapan ikan laut, budidaya dan pengolahan ikan asin. Hasil tangkapan ikan di laut meliputi ikan karang dan ikan teri. Usaha penangkapan ikan di dukung oleh armada tangkap berupa perahu bermotor 188 unit dan tidak bermotor 192 unit. selain itu, bidang perikanan lainnya yang cukup berkembang adalah budidaya perikanan yang meliputi budidaya tambak, rumput laut dan budidaya air payau.

Dalam bidang peternakan terdiri dari sapi, kuda, kambing dan ayam. Bidang peternakan ini didominasi oleh sapi. Sedangkan bidag lainnya meliputi bidang industri (industri kecil gula merah, tikar pandan, makanan minuman, tekstil, meubel kayu dan barang galian non logam).

Kondisi wilayah pulau Giligenting yang secara garis besar dikelilingi laut inilah perekonomian di pulau Giligenting masih sering dianggap minus


(55)

48

oleh masyarakat, sehingga memaksa penduduknya merantau keluar pulau untuk mencari nafkah.3 Ulet, tipe pekerja keras, tidak pernah pilih-pilih pekerjaan merupakan etos kerja masyarakat yang mempunyai semboyan “Abental ombe’ Asapo’ angen” ( berbantal ombak dan berselimut angin) semboyan ini merupakan spirit yang hanya tidak terbatas pada etos kerja kelautan saja, melainkan juga pada energitas kehidupan masyarakat.4

3. Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu penyebab terjadinya pergeseran dari kehidupan yang sederhana bergerak kearah kehidupan yang lebih maju. Kemajuan dalam cara berfikir dan bertindak sebagai akibat adanya perubahan, kemungkinan besar akan meninggalkan hal-hal yang bersifat tradisional. Dengan demikian, majunya tingkat pendidikan dalam suatu masyarakat, maka besar kemungkinan mereka akan meningkatkan hal-hal yang bersifat tradisional, sebaliknya, semakin rendahnya tingkat pendidikan di masyarakat, maka kemungkinan masyarakat akan tetap berpegang teguh terhaadap hal-hal yang bersifat tradisional.

Tingkat pendidikan di pulau Giligenting sudah cukup baik. Hal ini, ditandai dengan banyaknya masyarakat yang peduli akan pendidikan anaknya. Banyaknya sarjana-sarjana yang sudah tamat di perguruan

3

Masyarakat pulau Giligenting banyak yang merantau ke daerah Ibukota Indonesia, disana mereka membuka toko, hampir mencapai rata-rata penduduk desa ini bekerja disana karena kebanyakan dari mereka yang sukses, dan ada juga yang di pulau Bali, dengan bekerja di luar pulau lebih menjanjikan ketimbang di pulau yang tidak ada apa-apanya.

4

Iskandar Zulkarnain, Skripsi. Hubungan Antar Umat Beragama di Sumenep Madura, Studi Tentang Hubungan Umat Islam dan Katolik di Kecamatan Sumenep (Jogjakarta: Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, 2003), hlm. 33


(1)

106

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Hasil penelitian menunjukkan beberapa kesimpulan yaitu:

1. Ludruk adalah seni pertunjukan teater dimana para pemainnya dalam melakukan pementasan tidak menggunakan topeng. Pertunjukan ini meskipun ditemukan sejak tahun 30an, namun sampai saat sekarang masih sangat populer di kalangan masyarakat Sumenep. Dari segi permainan kata, mimik, gerak badan, dan riasan wajah, kesenian tradisional ludruk Sumenep banyak diilhami oleh unsur dagelan dalam pertunjukan ajhing lama.

Dalam setiap pertunjukannya ludruk selalu menggunakan panggung. Sementara untuk bagian dekorasi biasanya menggunakan layar atau kain yang di cat sedemikian rupa untuk menyesuaikan dengan cerita. Layar atau kain untuk dekorasi ini digulung pada sebuah bambu kemudian digantung diatas panggung.

Semua pemain dalam ludruk ini adalah kaum laki-laki, bahkan peran perempuanpun dimainkan oleh laki-laki yang didandani sebagai perempuan. Dalam satu rombongan ludruk terdiri kurang lebih 60 orang dengan rincian 16 orang sebagai pemain musik, 28 orang sebagai aktor atau pemain, 6 orang sebagai penari dan 10 orang untuk mengurus perlengkapan.


(2)

107

2. Ludruk yang ditampilkan pada masyarakat Giligenting bisa dijadikan sebagai media dakwah karena karena dalam setiap penampilannya selalu mengandung nilai-nilai dan ajaran Islam. Adapun nilai-nilai Islam yang terkandung dalam setiap pertunjukan kesenian ludruk sebagai upaya untuk menjadikan ludruk sebagai media dakwah dapat dilihat dalam lima hal. Pertama, pilihan lakon atau cerita. Kedua, pilihan tembang-tembang atau kejungan. Ketiga, pemilihan alat musik atau gamelan.

Keempat pilihan pentas. Dan yang yang kelima struktur pertunjukan kesenian tradisional ludruk itu sendiri.

3. Melihat kondisi masyarakat kecamatan Giligenting yang lebih menyukai sesuatu hal yang sifatnya audio visual dibanding sesuatu yang sifatnya verbal. Maka, proses internalisasi dan sosialisasi nilai-nilai Islam berlangsung secara alami. Dalam kondisi yang demikian ini kesenian tradisional ludruk dapat menjalankan fungsinya sebagai media dakwah yang menghibur sehingga bisa dijadikan sebagai alternatif pendukung dakwah yang sangat efektif bagi masyarakat kecamatan Giligenting.

B. Saran-saran

1. Mengingat kesenian tradisional ludruk sangat digandrungi dan selalu ditunggu penampilannya oleh masyarakat. Maka hendaknya para pemain ludruk, selalu konsisten, kreatif, dan profesional dalam setiap pertunjukannya.

2. Sutradara merupakan elemen penting yang mengatur jalannya pertunjukan. Maka kepada sutradara hendaknya selalu belajar untuk


(3)

108

memberikan terobosan atau inovasi-inovasi terbaru agar pertunjukan kesenian tradisional ludruk tidak monoton.

3. Kepada masyarakat, karena kesenian tradisional Ludruk merupakan aset budaya yang sangat berharga, maka hendaknya masyarakat ikut serta dalam menjaga dan melestarikan kesenian tradisional ludruk agar tidak tergerus oleh zaman.

4. Kepada pemerintah hendaknya memberikan bantuan kepada para pemain ludruk agar bisa terus eksis dalam menjalankan perannya sebagai salah satu media pendidik masyarakat.

5. Kepada pelaku pendidikan Islam (Madrasah dan Pesantren) hendaknya merangkul mereka dan menjadika mitra dalam hal menyiarkan syiar Islam dan memberikan pendidikan kepada masyarakat.


(4)

Daftar Pustaka

A.L. Wiyata. Carok, Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura.Yogyakarta: LkiS 2006

Abd. A’la. Melampaui Dialog Agama. Jakarta: Kompas,2002

Abdurrahman Al-baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam: Seni Vocal, Musik dan Tari Jakarta: Gema Insani Press, 1991

Ahmad Anas, Paradigma Dakwah Kontemporer Semarang, Wali Songo Press IAIN

Walisongo, 2006

Ali Maksum, Tasawwuf sebagai Pembebasan Manusia Modern; Telaah Signifikan Konsep Tradisional Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003

Alo Liliweri, Ms. Makna Kebudayaan dalam Komunitas AntarBudaya. Yogyakarta: LKiS

2003

Asep Muhyidin dan Agus Ahmad Safei, Metode Pengembangan Dakwah Bandung: Pustaka

Setia, 2002

Betty Schraf, Kajian Sosiologi Agama Yogyakarta, Tiara Wacana: 1995

Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, (Jakarta: LP3S, 1996), hlm. 88

Departemen Pendikan dan Kebudayaan, Aneka Ragam Kesenian Sumenep. Surabaya: Departemen P&K, 1986

Elizabeth. K. Nottiingham. Agama dan Masyarakat. Jakarta, Raja Grafindo:1994

Fauzan Saleh. Membangun Kesalehan Individu dan Sosial untuk Kesejahteraan yang Humanis dalam Agama Sebagai Kritik Sosial ditengah Arus Kapitalisme Global

Yogyakarta, IRCiSoD:2006

George Ritzer. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2003

H.M. Iskandar, Ilmu Dakwah (Palopo: LPK STAIN, 2008

Harun Nasution dan Azyumardi Azra, Islam Dewasa ini dalam Perkembangan Modern dalam Islam (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985

Helena Bouvier, Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002

Imam Suprayogo dan Tobroni, Metode Penelitian Sosial Agama (Bandung, Rosda Karya:2003


(5)

Irfan AbuBakar, Estetika Islam: Menafsir seni dan Keindahan Bandung: Mizan, 2005

James L Peacock. Ritus Modernisasi, Aspek Sosial dan Simbolik Teater Rakyak Indonesia. (Depok: Desantara, 2005

James W. Tankard, Teori Komunikasi. Sejarah, Metode, dan Terapan di Dalam Media Massa (Terjemahan) Jakarta: Penerbit Prenada Media 2005

John Fiske, Cultural and Communication Studies; Sebuah Pengantar Paling Komprehensif,

Yogyakarta: Jalasutra 2004

K. Prenc.M, Kamus Latin Indonesia Yogyakarta: Kanisius, 1969

Kontjaraningrat, Metode Penelitian Masyarakat Jakarta, Gramedia Pustaka Utama:1993

Kontowijoyo. Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agararis, Madura 1850-1940

Yogyakarta: Matabangsa 2002

Lexi J. Maleong Metode Penelitian Kualitatif Bandung, Remaja Rosda Karya:1998

Mien Ahmad Rifai. Manusia Madura, Pembawaan, perilaku, Etos Kerja, Penampilan,dan Pandangan Hidupnya Seperti Dicitrakan Peribahasanya. Yogyakarta: Pilar Media 2007

Morissan, Teori Komunikasi Individu Hingga Massa, Jakarta:Kencana prenada Group Jakarta 2013

Morissan, Teori Komunikasi Massa, Media, Budaya dan Masyarakat Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia 2010

Morisson, Teori Komunukasi Massa, Bogor: Penertbit Ghalia Indonesia 2010 Munzier Suparta; Harjani Hefni, Metode Dakwah Jakarta: Prenada Media, 2003 Onong Uchyana Effndy, Komunikasi Dakwah (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1986

Philip K. Hitti, History of Arabs Rujukan Induk dan Paling otoritatif tentang Sejarah Peradaban Islam Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2013

Portal Komuniti Muslimah, Seni Islam yang Menyuburkan, dalam www.Hanan.com, diakses, 25 September 2015

Rachmah Ida, Metode Penelitian Studi Media dan Kajian Budaya, Jakarta, Prenada Media Group: 2014 h 45-46

Sayyed Hossein Nasr, Intelegensi dan Spiritual Agama Jakarta: Inisiasi Press, 2004 Siti Muriah, Metodologi Dakwah Kontemporer Yogyakarta, Mitra Pustaka, 2000


(6)

Sudarto, Interelasi Nilai Jawa dalam Pewayangan dalam Islam dan Kebudayaan Jawa

(Yogyakarta: Geman Media, 2002

Suparjo, Islam dan Budaya: Strategi Kultural Walisongo dalam Membangun Muslm Indonesia, Komunika, Vol. 2, No. 2 (Desember 2008), hlm. 126

Sutrisno Hadi, Metodologi Reseach Yogyakarta: Andi Offset, 1989

Theodore G. Th. Pigeaud, Pertunjukan pada Rakyat Jawa, Sumbangan Pada Pemahaman Tentang Tanah dan Penduduk. Batavia: Voks-Lectuur, 1938

Yunan Yusuf, Metode Dakwah Sebuah Pengantar Kajian Jakarta: Prenada Media, 2003 Zainal Arifin Thoha, Eksotisme Seni Budaya Islam, Khasanah Peradaban dari Serambi