Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membangun Usaha Pasca Konflik T2 092010007 BAB II
B ab D ua
Pemenuhan Kebutuhan Hidup, Kewirausahaan, Human
Capital, Akses Terhadap Modal Dan Socia l Capital
Kajian konseptual terhadap pedagang kecil yang akan
dilakukan dalam bagian ini, difokuskan pada pemeriksaan ilmiah
terhadap konsep-konsep seperti rumah tangga dan pemenuhan
kebutuhan hidup, kewirausahaan, human capital, akses terhadap modal
dan konsep sosial capital.
Biasanya pedagang kecil, selalu saja dikaitkan atau keterkaitan
dengan persoalan klasik domestik rumah tangga atau individu yaitu
pemenuhan kebutuhan hidup. Tema seperti ini, erat terkait dengan
persoalan kerentanan dan kemiskinan, baik karena faktor alam yang
tidak produktif, persoalan sosial seperti konflik agama atau politik.
Persoalan-persoalan
yang
disebutkan
terakhir,
terkadang
menyebabkan hilangnya pekerjaan yang berdampak langsung pada
pendapatan dan terus mendegradasi kebutuhan lainya, seperti
konsumsi rumah tangga, pendidikan maupun kesehatan.
M embangun usaha dalam kondisi sosial dan politik yang tidak
stabil, bukanlah perkara mudah. M enjadi pedagang walau kecil
usahanya, pelibatan potensi-potensi sumber daya, tetap diperlukan.
Seperti pengetahuan dan pengalaman (human capital) sebagai potensi
diri yang dibentuk baik dari proses pendidikan formal - informal atau
yang dihasilkan dari pengalaman kerja.
Begitu sebaliknya dengan kemampuan akses terhadap modal
usaha. Tidak dapat dilepas pisahkan dari kemampuan menggunakan
human capital, dan membentuk kapital sosial (social capital) untuk
menghasilkan kapital-kapital lain, seperti kapital finansial sebagai salah
satu tujuan berusaha.
Jika indikator entrepreneur dibasiskan pada, inovasi, inisiatif,
kreatifitas dan keberanian menanggung kerugian maupun yang juga
Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
menerima keuntungan. Tidaklah keliru jika wirausaha
replikatif atau peniru1 seperti pedagang kecil (small traders), dikatakan
sebagai entrepreneur.
M eskipun tidak terdapat inovasi teknologi, atau menghasilkan
prodak baru. Tetapi pedagang kecil (small traders) juga melakukan
inovasi pada strategi berusaha, selain inisiatif, optimis, dan kesediaan
menanggung kerugian maupun keuntungan sebagai sikap dan ciri
universal seorang entrepreneur.
Dalam upaya untuk memahami dinamika pedagang kecil (small
traders) yang kompleks itulah, kajian literatur ini hendak ditempatkan.
Pemenuhan Kebutuhan H idup
livelihood (mata pencaharian) merupakan konsep yang selalu
mengakar pada persoalan kemiskinan. Sedangkan penyebab
kemiskinan itu sendiri tidak tunggal, tetapi beragam, dan saling kait.
Seperti pekerjaan-pendapatan, pendidikan, kesehatan, politik maupun
sebab-sebab sosial lainya.
Untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup baik pribadi maupun
rumah tangga, tidak lepas dari kemampuan ekonomi rumah tangga.
Berbicara ekonomi rumah tangga erat kaitannya dengan pendapatan
(uang dan barang), sebagai instrumen untuk menghidupi rumah tangga
melalui keterpenuhinya kebutuhan.
Jika ekonomi rumah tangga baik, hal itu akan berdampak
terpenuhinya kebutuhan dasar. Sebaliknya jika kebutuhan dasar tidak
terpenuhi, pada titik inilah kemiskinan merupakan antiklimaks dari
hal yang disebutkan pertama.
Lihat saja konsep kemiskinan yang dirumuskan BPS (Badan
Pusat Statistik) Indonesia berikut ini :
“Standar yang dipakai Badan Pusat Stastiki (BPS) di
Indonesia,
untuk
mengukur
kemiskinan
adalah
1
Yang dim aksud dengan w irausaha “ replikat if” at au “ peniru” , yakni m enunjuk
pada mereka yang m em produksi at au menjual barang atau jasa yang sudah
t ersedia dari sum ber lain. Baum ol William ,J. et .al (2010)
10
R umahTanggadanPemenuhanK ebutuhanH idup,K ewirausahaan,J ejaring,…
menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan
dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini,
kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi
ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan
bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Jadi
Penduduk Miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata
pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan.
Garis Kemiskinan (GK) merupakan penjumlahan dari Garis
Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non
Makanan (GKNM). Penduduk yang memiliki rata-rata
pengeluaran perkapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan
dikategorikan sebagai penduduk miskin. Garis Kemiskinan
Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan
minimum makanan yang disetarakan dengan 2100
kilokalori perkapita perhari. Paket komoditi kebutuhan
dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian,
umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacangkacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll). Garis
Kemiskinan Non Makanan (GKNM) adalah kebutuhan
minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan
kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non makanan
diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis
komoditi di pedesaan.” Sumber : http://www.bps.go.id.
Dikunjungi, 18 Maret 2014
Rumusan konsep kemiskinan yang dibuat BPS (Badan Pusat
Statistik) pada intinya menunjuk pada ketidakmampuan ekonomi.
Yakni berkaitan dengan basic needs approach (kemampuan memenuhi
kebutuhan dasar) sehingga instrument dasarnya didasarkan pada
standar Garis Kemiskinan M akanan (GKM ) dan Garis Kemiskinan Non
M akanan (GKNM ) hanya sebagai akibat kemiskinan2.
Kalau ketidak mampuan ekonomi menjadi sebab kemiskinan,
dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada titik inilah terlihat
hubungan kemiskinan dengan pendapatan (uang dan barang)3 tidak
hanya sebagai sarana pemenuhan kebutuhan tetapi juga sebagai
indikator kemiskinan.
Jika BPS menitik beratkan konsep kemiskinan pada
kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Lain
2
3
http://www.bps.go.id. Dikunjungi, 18 Maret 2014.
Pandangan Ellis tentang income (pendapatan) melingkupi capital (uang) dan barang
(Frank Ellis. 2000).
11
Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
halnya dengan badan-badan penelitian seperti Lembaga Penelitian
SM ERU dan TNP2K bekerja sama dengan SEADI dan USAID. Dalam
upaya penyusunan Paket informasi dasar- Pengarus Utamaan
Penanggulaan Kemiskinan dan Kerentanan (PPKK) mendefinisikan
konsep kemiskianan antara lain :
“… merupakan kondisi tidak tercapainya suatu standar
kehidupan yang dianggap layak oleh masyarakat.” 4
Kerja bersama antar badan-badan ini, untuk menyusun Paket
informasi dasar Pengarusutamaan Penanggulangan Kemiskinan dan
Kerentatan (PPKK), pertama-tama di dasarkan pada kesadaran bahwa
kemiskinan merupakan tragedi kemanusiaan.
Sebagai suatu tragedi, kemiskinan dipandang tidak tunggal
penyebabnya. Tidak semata-mata disebabkan karena ketidak mampuan
memenuhi kebutuhan dasar, sebagai akibat dari pendapatan yang
terbatas, melainkan memiliki sifat multidimensi :
“ketidakmampuan di bidang kesehatan, gizi, dan
pendidikan; kerentanan; ketidakberdayaan; ketimpangan;
ketersisihan
sosial;
dan
ketidakmampuan
bersuara/berpendapat.” 5
Dari rumusan konsep ini, individu atau keluarga dikatakan
miskin bukan hanya karena keterbatasan ekonomi, melainkan telah
mencakup keterbatasan dan ketersisihan sosial.
Rumusan kemiskian dan sebab kemiskian yang beragam
dikemukakan oleh para konseptornya, hal itu tidak lepas dari lokus dan
fokus mereka terhadap objek yang diamati. Jelas terlihat bahwa konsep
BPS menekankan sisi ekonomi (kemampuan konsumsi), sedangkan
SEM ERU grup melihat kemiskinan sebagai akibat dari keterbatasan
individu atau keluarga yang multidimensi, ekonomi, dan sosial.
4
5
Menyusun “Paket I nformasi Dasar - Pengarusutamaan Penanggulangan Kemiskinan
Dan Kerentanan”, Kerjasama Lembaga Penelitian SMERU Research Institute, 2013
dengan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), Suport For
Ekonomic Analisis Development In Indonesia (SEADI ) Dan USAI D From The
American People. Cetak pertama Juni 2013. p.7 . www.semeru.or.id.
I bid.7
12
R umahTanggadanPemenuhanK ebutuhanH idup,K ewirausahaan,J ejaring,…
Chambers (1995) dalam paper-Nya yang berjul “Poverty and
Livelihoods : W hose reality counts” mengemukakan bahwa orientasi
cara berpikir tentang kemiskinan itu, pada umumnya berkaitan dengan
pendapatan dan pekerjaan. Namun lebih lanjut Ia mengatakan bahwa
hal itu hanyalah salah satu indikator kemiskinan.
M enurut Chambers (1995), kemiskinan itu sifatnya dinamis,
kompleks dan beragam.
Selain persoalan ekonomi, dimensi
kemiskinan juga menyangkut persoalan kesehatan-kesejahteraan, dan
juga mencakup inferioritas sosial, isolasi, kerentana, ketidak berdayaan
dan penghinaan.
Apa yang dikemukakan Chambers, memiliki beberapa
kesamaan dengan konsep kemiskinan yang dikemukakan SEM ERU
grup, dimana kemiskinan merupakan kondisi ketidak berdayaan yang
disebabkan oleh berbagai dimensi, kompleks dan dinamis sifatnya.
Dari konsep-konsep kemiskian yang ada, dapat dikatakan
bahwa kemiskinan pada intinya merupakan kondisi ketidak mampuan
individu atau rumah tangga untuk mencapai duaja kehidupan layak,
baik karena keterbatasan ekonomi, dan ketimpangan sosial.
Untuk menghidupi baik individu maupun rumah tangga
dibutuhkan nafkah penghidupan (livelihood) sebagai sumber finasial,
bagi berbagai kebutuhan.
M enurut Chambers and Conway (1991) Nafkah penghidupan
(livelihood) adalah :
“ a livelihood comprises the capabilities, assets (including
both material and social resources) and activities required
for a means of living.” (Chambers & Conway, 1991)
Sebagai nafkah penghidupan (livelihood), Chambers dan
Conway memberi penekanan konsep livelihood pada tiga hal utama
yakni, capabilities (kemampuan), assets (sumber daya material dan
sosial) dan activities (aktifitas) sebagai sarana penghidupan.
13
Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
Seperti Chambers and Conway, substansi konsep livelihhod
yang dikemukakan oleh Frank Ellis (1999), sehingga Ia mendefinisikan
konsep livelihood sebagai :
“the activities, the assets, and the access that jointly
determine the living gained by an individual or household.”
Bagi Ellis (1999), livelihood merupakan aktifitas individu atau
rumah tangga untuk mempertahankan hidupnya dengan menggunakan
aset dan akses yang dimiliki.
M elalui penelitian terhadap kehidupan petani di perdesaan
negara-negara berekembang menunjukan bahwa, bagi banyak keluarga
miskin di pedesaan, sektor pertanian sendiri tidak mampu untuk
menyediakan sarana yang cukup untuk bertahan hidup Ellis (1999).
Sebagai aktifitas yang melibatkan aset dan akses, livelihood
strategy yang umumnya dilakukan petani diperdesaan negara-negara
berkembang, seperti di sub Sahara Afrika, Afrikan Selatan maupun
Asia Selatan, menunjukan bahwa rumah-rumah tangga di negaranegara tersebut, menunjukan bahwa mereka cenderung melakukan
beberapa kegiatan untuk nafkah penghidupan (Ellis,1999). Cara inilah
yang disebut livelihood diversification (pengragaman mata
pencaharian).
Ellis (1999) secara spesifik mendefinisikan diversification
sebagai suatu upaya pengragaman mata pencaharian melalui beragam
kegiatan dan dukungan sosial bagi kelangsungan hidup dan untuk
meningkatkan taraf hidup rumah tangga.
Dari konsep-konsep livelihood yang ditelusuri, dapat dibuat
simpulan bahwa poin utama dari konsep nafkah penghidupan
(livelihood), adalah tentang cara (baca-aktifitas) dan apa yang
digunakan untuk mempertahankan kelangsungan hidup mereka.
Sebagai cara hal itu bergantung pada dua indikator mendasar
capabilities (kemampuan) individu atau rumah tangga untuk
menggunakan ‘assets’ dan ‘acces.’
14
R umahTanggadanPemenuhanK ebutuhanH idup,K ewirausahaan,J ejaring,…
Individu atau rumah tangga dalam memilih suatu aktifitas
sebagai sumber nafkah penghidupan cenderung didasarkan pada
kemampuan diri yakni, aset dan akses yang mereka miliki.
Tujuan akhir memiliki mata pencaharian livelihood, tentu
berujung pada perolehan pendapatan. Ellis (2000) dalam kaitan ini,
menyebutkan ada dua sifat pendapatan yang dihasilkan dari nafkah
penghidupan yakni, pendapatan yang bersifat tunai maupun barang,
keduanya diperlukan untuk kelangsungan hidup suatu rumah tangga.
Untuk dapat mengatasi kemiskinan dan kerentanan, nafkah
penghidupan (livelihood) harus dapat bertahan terhadap guncangan
dan krisis yang dihadapi. Oleh karena itu nafkah penghidupan harus
dapat dijaga, ditingkatkan, berkelanjutan dan dapat diwariskan pada
generasi berikutnya, baik pada tingkat lokal maupun global, baik pada
jangka pendek atau jangka panjang (Chamber and Conway, 1991).
Diversifikasi usaha, cenderung juga berbarengan dengan
optimalisasi tenaga kerja melalui keterlibatan anggota keluarga, dan
penggunaan moda-modal yang ada merupakan cara yang lazim
dilakukan orang miskin. Hal ini dapat dilihat sebagai bentuk adaptasi
individu atau rumah tangga ketika menghadapi kondisi rentan, demi
memenuhi kebutuhan rumah tangga (Start and Johnson, 2004).
Pemenuhan kebutuhan dalam pandangan Carswell berkaitan
dengan kemampuan individu untuk mengakumulasi aset yang dimiliki
sebagai sarana penghidupan (Bryceson,1999).
Setiap individu maupun rumah tangga tentu tak lepas dari
kebutuhan. Sedangankan untuk mewujudkan atau memenuhi
kebutuhan membutuhkan sumber
nafkah, karena darinya
menghasilkan uang atau barang (Ellis,2000).
Pada sisi inilah konsep livelihood dapat dilihat sebagai strategi
penghidupan. Sebagai suatu aktivitas, dibutuhkan kemampuan
menggerakan aset-aset material dan sosial melalui suatu usaha yang
berkelanjutan outcome-nya serta resisten terhadap shock untuk
kelangsungan hidup, merupakan inti dari konsep livelihood.
15
Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
Kewirausahaan: Pedagang Kecil dan Pasar Tradisional
Pertalian pedagang kecil dan pasar tradisional, merupakan
fenomena yang lazim dijumpai. Kesan tidak teratur, ilegal, dan tidak
berjalan dalam tatanan hokum formal yang berlaku, menjadikan
mereka rentan terhadap isu negatif. Lebih lanjut persepsi kumuh,
kotor, dan deretan pelabelan negatif lainya, telah membentuk
perspektif orang akan buruknya pasar tradisional dangan pedagang
kecil yang tak teratur sebagai komunitas penghuni yang dominan.
Sehingga menimbulkan kesan bahwa tempat yang pantas bagi
pedagang kecil untuk berusaha adalah di pasar tradisional. Tempat
tersebut “diidentikan” sebagai kubangan pedagang kecil yang informal
untuk mengais rezeki, di tempat yang cenderung diejawantahkan
sebagai tempat yang kumuh, kotor dan tidak teratur, adalah tempat
bagi warga kelas menengah ke bawah menggantungkan hidupnya.
Pandangan J Cross terhadap pelaku usaha di sektor informal
seperti terdapat dalam Kayuni dan Tambulasi (2009), membenarkan
bahwa aktifitas ekonomi yang terjadi juga melingkupi proses produksi
dan perdagangan barang maupun jasa dilangsungkan secara legal
layaknya suatu usaha formal. Tetapi pada sisi lain mengabaikan
kewajiban baik, legalitas usaha maupun kepatuhan membayar pajak
dan ketidakpatuhan penempatan wilayah usaha yang tak tetap dan
teratur. Status usaha yang informal dan minus legalitas berusaha, hal
itu beresiko terhadap relasi antar aktor dalam berbagai tingkatan
hubungan yang dibangun, dimana tidak terdapat jaminan hukum yang
mengikat baik antara suplliers dan konsumennya.
Pada kondisi demikian itulah menurut Chukuezi (2010) bahwa
adalah wajar jika kehancuran selalu menimpa pelaku usaha informal
setiap kali terjadi guncangan, karena sebagian besar usaha mereka tidak
memiliki jaminan terhadap setiap shock yang menghancurkan usaha
mereka.
Selain memberikan manfaat ekonomi, aktifitas usaha informal
juga memberi ‘kehidupan sosial’ demikian kata M orales (dalam Kayuni
dan Tambulasi, 2009). M anfaat-manfaat inilah yang menarik minat
16
R umahTanggadanPemenuhanK ebutuhanH idup,K ewirausahaan,J ejaring,…
banyak orang untuk terjun ke sektor usaha ini, yang seakan-akan
menafikan aspek legalitas formal suatu usaha dan untuk menghindari
kewajiban pajak usaha.
Kunci keberhasilan pedagang kecil (small traders) dalam
menjalankan usaha, sangat ditentukan pada kemampuan untuk
memanfaatkan aset yang dimiliki (pengetahuan dan financial), dan
relasi yang dimilikinya (Dasgupta, 1992).
Pedagang kecil (small traders) dan pasar tradisional dapat
dikatakan merupakan kembar siam dalam aktifitas ekonomi yang tak
mungkin dapat dipisahkan. M enurut Nastiti (2003), dalam penelusuran
terhadap pasar di Jawa pada masa M ataram kuno abad VIII-IX M asehi,
menemukan bahwa kehadiran pasar terkait dengan dua hal utama
yakni, sebagai tempat untuk menjual kelebihan hasil panen dan sebagai
tempat yang efektif untuk memenuhi kebutuhan lain melalui cara
barter atau dibeli. Atau dengan lain kata, pasar merupakan media
penyalur dan pemenuhan kebutuhan.
Kehadiran dan kedudukan pasar tradisional oleh Jati (2012)
juga memiliki beberapa fungsi antara lain :
“ pasar tradisional merupakan instrument vital bagi rakyat
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pasar tradisional
tidak hanya berfungsi sebagai pranata ekonomi yang fungsi
utamanya mendinamisasi transaksi perdagangan pembeli
dan penjual. Lebih dari itu, pasar tradisional juga
mengembang fungsi sebagai ruang kultural, dimana proses
alkulturasi berlangsung antara berbagai ragam mata
pecaharian ekonomi berlangsung dalam suatu kesatuan.”
Dari rumusan fungsi pasar tradisional yang dikemukakan Janti,
setidaknya ada tiga peran pasar tradisional antara lain, pasar tradisional
sebagai tempat “pemenuhan kebutuhan,” pasar sebagai media
“penggerak ekonomi,” dan pasar sebagai ruang “alkulturasi.” Lebih
lanjut Ia juga menegaskan bahwa kehadiran pasar tradisional di
Indonesia membawa dua modal utama yakni modal “ekonomi” dan
modal “sosial.”
17
Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
Pertukaran di pasar tradisional tidak mengutamakan keutungan
ekonomi ‘economic gains’ semata, melainkan iklim perekonomian yang
terbangun dan menguat menjadi ciri dari pasar tradisional seperti,
(cooperation) “kerjasama,” dan adanya (trust) “kepercayaan” (Janti,
2012). Dapat dikatakan bahwa perdagangan di pasar tradisional
member dua keuntungan yakni, keuntungan ekonomi dan sosial.
Untuk menemukan korelasi antara pedagang kecil (small
traders) dengan kewirausahaan berikut ini penting untuk menelusuri
konsep-konsep entrepreneurship. Robert D. Hisrich.et.al (2008)
mengkonsepkan wirausaha sebagai berikut :
“Kewirausahaan
(entrepreneurship)
adalah
proses
penciptaan sesuatu yang baru pada nilai menggunakan
waktu dan upaya yang diperlukan, menanggung risiko
keuangan, fisik, serta risiko sosial yang mengiringi,
menerima imbalan monoter yang dihasilkan, serta kepuasan
dan kebebasan pibadi.”
Dari terminologi kewirausahan yang dikemukakan Hisrich,
Peters dan Shepherd (2008), secara ringkas merupakan proses
penciptaan sesuatu yang baru, pengambilan resiko, tetapi yang juga
yang menerima keuntungan.
Jadi dapat dikatakan bahwa Hisrich.et.al (2008) mendasarkan
konsep entrepreneurs-Nya pada proses penciptaan suatu produk dan
nilai baru maupun nilai tambah, baik bagi konsumen maupun
wirausaha itu sendiri. Sedangkan kerugian dan keuntungan
merupakan dampak tetapi juga sebagai tujuan dari proses penciptaan
yang sepenuhnya disadari wirausaha (entrepreneurs).
Jika Hisrich.et.al, memberi tekakan pada komponen proses
penciptaan kebaruan benda, nilai dan manfaat, hal yang tak jauh
berbeda juga dilakukan Schumpeter dalam defenisi entrepreneur
memberi penekakan pada aspek kreatifitas, seperti terlihat dapa
rumusan berikut ini:
“entrepreneur as the person who destroys the existing
economic order by introducing new products and services,
18
R umahTanggadanPemenuhanK ebutuhanH idup,K ewirausahaan,J ejaring,…
by creating new forms of organization, or by exploiting new
raw materials.” Schumpeter (Bygrave, 1994)
Bagi Schumpeter seorang wirausaha adalah orang yang
mendobrak sistem ekonomi, melalui kreaktifitasnya dengan
menciptakan barang dan jasa, maupun menciptakan bentuk organisasi
atau memanfaatkan bahan baku baru. Dari konsep Schumpeter, dapat
di katakana bahwa seorang entrepreneur
adalah individu yang
dinamis, kreatif, dan selalu berinovasi, untuk meciptakan kebaharuan.
Karakteristik yang tersirat dalam konsep wirausaha
(entrepreneur) adalah keberanian dan kemampuan organisir, mendaur
kembali mekanisme sosial dan ekonomi untuk mengubah sumber daya
dan situasi menjadi praktis, serta bersedia menerima kegagalan
(Shapero, 1975).
M eskipun tidak menciptakan produk baru dan nilai tambah
pada produk tersebut. Inisiatif, keberanian dan kemampuan
mengorganisir mekanisme sosial dan ekonomi yang ada, serta
keberanian menghadapi resiko, dan menerima keuntungan sebagai
imbalannya. Pada tingkatan ini menempatkan pedagang kecil (small
traders) sebagai wirausaha (entrepreneus) tetapi dalam pengertian
terbatas sebagai wirausaha replikatif atau peniru. Boumol.et.al. (2010).
Human Capital
M enurut Tom Schuller dalam suatu analisisnya tentang human
capital dan kapital sosial (social capital) yang saling melengkapi, Ia
merujuk pada definisi konsep yang dikemukakan oleh OECD
(Organisation for Economic Cooperation and Development), yang
menunjuk pada pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills) dan
kemampuan (competences) yang dimiliki seseorang dan terkait dengan
aktifitas ekonomi. Sedangakan ukuran standar pendidikan terletak
pada lamanya pendidikan dan tingkat kualifikasinya (Schuller,2001).6
6
OECD, Human Capital Investment: An International Comparison, (Paris: Organisationfor
Economic Cooperation and Development,1998.
19
Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
Sejalan dengan itu Robert Lawang pun mendefinisikan konsep
human capital sebagai kemampuan diri yang dimiliki seseorang melalui
pendidikan dan pelatihan atau pengalaman untuk aktifitas tertentu
(Lawang,2005).
Begitu juga dengan Coleman, dalam konsep human capital
yang dirumuskanNya sebagai berikut :
“Just as physicalcapital is created by chnges in materials to
form tools that facilitate prodiction, human capital is
created by changes in persons that bring about skill and
capabilities than make them able to act in new ways.”
Coleman (1988)
Bagi Coleman, kalau physical capital merupakan ciptaan
dihasilkan dari perpaduan beberapa material untuk membentuk alatalat dan yang memfasilitasi proses produksi. Demikian juga kapital
manusia diciptakan dari perpaduan berbagai aktifitas, yang
menyebabkan seseorang memiliki keterampilan dan kemampuan dan
memungkinkan mereka melakukan perubahan dengan cara baru.
Dalam klasifikasi modal-modal yang dilakukan Bourdieu,
human capital ditempatkan ke dalam modal budaya, yang melingkupi
keseluruhan kualifikasi intelektual, yang dihasilkan dari proses
pendidikan formal, atau warisan keluarga, Fashri (2007).
Pengusaha dengan pengalaman dan pengetahuan yang
mumpuni, akan lebih efektif dan mudah menentukan peran dan
tugasnya, untuk mencapai keberhasilan. Pengalaman dan pengetahuan
juga memudahkan pengusaha ketika adaptasi diri pada situasi baru.
Dalam hal ini pengalaman dan pengetahuan berusaha
sebelumnya menjadi dasar pengambilan keputusan. Sehingga
memungkinkan mereka lebih kreatif dalam memunculkan ide atau
solusi dan komunikatif (Hisrich,et.al. 2008).
Demikian juga pengalaman diperlukan bagi seorang wirausaha
untuk menerjemahkan realita peluang suatu usaha yang dilihatnya
(Suryana,et.al, 2010).
20
R umahTanggadanPemenuhanK ebutuhanH idup,K ewirausahaan,J ejaring,…
Setelah memeriksa konsep-konsep Human capital yang
dikemukakan masing-masing konseptornya. Dapat dibuat simpulan
seperti berikuti ini. Human capital adalah potensi diri, berupa daya
dan keahlian yang dimiliki seseorang, melalui pendidikan formal,
informal atau dari keseharian hidupnya.
Dari sisi operasional human capital, dapat sebagai tools juga
sebagai stimulant yang besar kontribusinya bagi seorang wirausaha,
baik pada awal, maupun ketika mengembangkan usaha yang ada atau
menambah usaha baru.
Dari semua konsep human capital yang dikemukakan dalam
bagian ini, terlihat bahwa kedudukan dan perannya dapat memfasilitasi
suatu pencapaian kehidupan yang sukses.
Akses Terhadap M odal
Nampaknya tidak ada bisnis yang dijalankan tanpa melibatkan
modal finances (uang), walau dalam jumlah yang relatif kecil
sekalipun, apa lagi tidak sama sekali. Kalau pun ada hal itu tentu
terafiliasi dalam modal-modal yang lain, sebut saja modal sosial.
M odal (uang) merupakan aset fital dalam suatu usaha, dan
bagaimana mendapatkannya, hal ini merupakan salah satu masalah
tersulit dalam proses pendirian suatu usaha baru.
Pembiayaan suatu usaha, umumya dilakukan melalui dua cara
yakni pembiayaan ekuitas (equity financing) dan pembiayaan utang
(debt financing) (Hisrich,et.al. 2008; Saiman, 2009). Debt financing
(pembiayaan utang) adalah cara pendanaan usaha melalui mengutang
dalam jangka dan bunga tertentu yang sudah ditentukan pemberi
utang. M odel pendanaan seperti ini biasanya disebut juga pembiayaan
berbasis aset. Dikatakan demikian karena untuk dapat mengutang
dibutuhkan suatu penyertaan aset tertentu, biasanya berupa mobil,
rumah atau lahan, sebagai anggunan (Hisrich,et.al.2008).
Sedangkan pengutang biasanya adalah atau lembaga keuangan
seperti bank, lembaga swadaya masyarakat, individu (teman atau
21
Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
saudara) perusahan pemodal venture, atau melalui program-program
pemerintah (Saiman, 2009).
Sebaliknya equity financing (pembiayaan ekuitas atau modal
sendiri) merupakan model pembiayaan yang sumber pendanaanya
berasal dari tabungan sendiri, penjualaan aset, atau didapat dari teman,
saudara, investor perorangan, maupun dari perusahan ventura pemodal
besar (Saiman, 2009). M odel pembiayaan ini tidak membutuhkan
anggunan, melainkan debitur cenderung memberi tawaran
kepemilikan saham terhadap pemodal, sedangkan perolehan deviden
dibagi berdasarkan proporsi kepemilikan saham (Hisrich.et.al,2008).
Selain kedua bentuk pendanaan tersebut, Hisrich.et.al (2008),
juga membedakan sumber-sumber dana yang dapat diperoleh dalam
suatu usaha (internal) dan dana yang diperoleh dari pihak luar
(eksternal). Dana yang diperoleh dari internal usaha dapat diupayakan
dengan menjual aset-aset yang sudah tak terpakai, pengurangan modal
kerja, penundaan pembayaran utang-piutang dan penginvestasian
kembali keuntungan yang cenderung dilakukan diawal memulai usaha.
Lain halnya pendanaan dari luar usaha, biasanya diperoleh dari
keluarga, teman, lembaga keuangan (bank), atau hibah dari
pemerintan. Penggunaan dana yang paling ‘termurah’ dalam hal
control dan biaya, ialah pengunaan dana pribadi. Selain itu
kepemilikan dana pribadi juga dapat menarik minat pemodal venture
untuk menyertakan modal mereka. Sumber dana-dana pribadi biasanya
berasal dari simpanan, asuransi, penjualan atau penggadaan aset berupa
mobil atau rumah Hisrich.et.al, 2008; Saiman, 2009.
Selain penggunaan dana pribadi yang kecil resiko dan
biayanya, menggunakan dana keluarga dan kolega, juga merupakan
sumber alternatif mengatasi kekurangan modal usaha. Kedekatan dan
hubungan
persaudaraan
yang dimiliki
seorang pengusaha
memungkinakan dukungan modal usaha dengan mudah bisa ia
dapatkan Hisrich.et.al, 2008; Saiman, 2009.
Orang yang melihat modal finances sebagai capital ekonomi
adalah Bourdieu. M enurutNya dengan kapital sejenis itulah barang dan
22
R umahTanggadanPemenuhanK ebutuhanH idup,K ewirausahaan,J ejaring,…
jasa bisa diproduksi (Bourdieu,1986 dalam Lawang, 2005). Dapat
dikatakan bahwa modal finansial sebagai yang memproduksi kapitalkapital lain, seperti barang dan jasa.
Selain sebagai kapital ekonomi, ada juga yang berpendapat
bahwa, capital semacam ini bukanlah capital finances atau spesifik
sebagai uang, melainkan sebagai alat untuk membentuk kapital fisik
(Ostrom, 2000 dalam Lawang, 2005)
Bagi mereka yang berpandangan demikian, capital finances
adalah simbol dan hak yang diperoleh melalui kontrak atau perjanjian
dengan pihak lain. Karena itu menurut Suryana (2011) modal material
dilihat sebagai akibat dari kepemilikan modal-modal non kapital,
seperti modal intelektual, modal sosial, moral dan mental. Dengan kata
lain perkataan Lawang menegaskan sisi fungsinya kapital finansial
sebagai penata peluang atau kesempatan untuk mendapatkan uang
(Lawang, 2005).
Usaha kecil, pelaku ekonomi menengah dan usaha swasta
lainya, merupakan pihak yang cenderung mengalami kendala akses
terhadap ekuitas modal pada lembaga keuangan formal. Hal itu erat
hubungannya dengan persoalan legalitas usaha maupun aset yang
dimiliki.
Kedudukan modal finansial yang tak seragam dalam pandang
para pemikir merupakan kenyataan yang tak mungkin disatukan,
meskipun bisa diperdamaikan. Yang utama adalah bahwa, dalam
kedudukan baik sebagai penyebab atau akibat dari adanya kapitalkapital lain, modal finansial (finances capital) memegang peran
penting, baik dalam proses produksi, atau dalam fungsinya sebagai
penata peluang mendapatkan finansial.
Dengan demikian dapat dikemukakan konsep kapital finansial,
sebagai berikut. Finances capital adalah kebendaan dan sistem yang
menggerakan produksi dan yang memfasilitisasi interaksi sosial.
Sebagai benda tangible kapital finasial dibutuhkan untuk proses
produksi, atau dalam skala usaha kecil sebagai alat mendapatkan bahan
23
Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
baku. Sebagi sistem berfungsi menjembatani interaksi
mendatangkan uang.
sosial untuk
Dalam aktifitas ekonomi kedua fungsi tersebut embedded
dalam aktifitas usaha, dimana kebutuhan ekonomi dan sosial menyatu
dalam interaksi usaha, terlebih pada pedagang kecil (small traders).
Hanya pada fungsi, keduanya ditemui.
Social Capital
Konsep Social capital yang dibicarakan dalam bagian ini, akan
dibahas terbatas pada beberapa konsep teoritis. Selain karena telah
banyak dikemukakan dan dibahas para ahli, dalam berbagai penelitian
dan publikasi lewat tulisan-tulisan mereka, penggunaan konsep
mengikuti prisnsip kesesuaian tematik yang dibahas dalam bagian
analisis, agar tidak berlebihan atau terkesan dipaksakan.
Saat ini, perbincangan mengenai social capital, menjadi tema
yang menarik perhatian banyak orang dari berbagai tingkatan,
birokrat, akademisi, maupun lembaga-lembaga swasta pemerhati
pembangunan.
Umumnya
pembangunan
dimengerti
atau
dipersamakan dengan upaya untuk meningkatkan kehidupan, dalam
hal ini menitik beratkan pada kemajuan material (Budiman,1995).
Untuk hal yang terakhir disebutkan,W oolcock dan Narayan
(1999) menilai bahwa, teori-teori yang utama dipakai dalam,
pembangunan
ekonomi,
merupakan
teori-teori
yang
mengesampingkan peran hubungan sosial, setidaknya sampai tahun
1990-an.
Bahkan lebih lanjut dikatakan bahwa, melalui teori
modernisasi terdapat anggapan dimana cara hidup dan hubungan sosial
tradisional dituduh sebagai penghambat pembangunan. Sejalan dengan
itu M oore (1997; W oolcock and Narayan, 1999) mencatat bahwa
rintangan yang menyebabkan kegagalan kapitalisme sebagaimana
dalam pandang teori modernisasi terfokus pada hubungan sosial
sebagai penyebabnya.
24
R umahTanggadanPemenuhanK ebutuhanH idup,K ewirausahaan,J ejaring,…
Tuduhan dan kehendak kuat penghancuran dan peniadaan
pranata sosial, yang diposisikan sebagai penghambat pembangunan,
nampak terlihat dari kutipan W oolcock and Narayan (1999) dalam
Escobar (1995) seperti berikut ini :
“ancient philosophies have to be scrapped; old social
institutions have to disintegrate; bonds of caste, creed and
race have to burst; and large numbers of persons who
cannot keep up with progress have to have their
expectations of a comfortable life frustrated.” (cited in
Escobar 1995: 3)
Dengan kata lain filosofi-filosofi hidup, lembaga sosial, strata
sosial, keyakinan juga ras harus dihancurkan, sebab hal-hal tersebut
menyebabkan sebagian besar orang sulit bersaing untuk mencapai
kemajuan yang mereka harapkan untuk suatu kehidupan yang nyaman
terbebas dari frustrasi.
Pandangan-pandangan ini tentu tidak lepas dari cara pikir
kapitalisme, yang melihat hubungan sosial sebagai suatu mekanisme
eksploitasi khas kapitalis, dimana hubungan elit korporasi dan elit
politik menjadi sangat primer. Di sini kecil kemungkinan terjadi
hubungan yang saling menguntungkan antara pekerja dan pemilik,
sebagai akibat kuatnya kepentingan M odal dan tenaga kerja,
menyebabkan karakteristik sosial masyarakat di negara-negara miskin
secara eksklusif didefinisikan dalam hal hubungan mereka dengan alatalat produksi, demikian pandangan W oolcock et.al (1999).
Pembangunan yang berorientasi material, pada beberapa kasus
menampakan sosoknya sebagai yang menggusur atau meminggirkan
orang dari lingkungan tempat asalnya (Budiman, 1995). Namun dengan
adanya pergeseran paradigma pembangunan itu sendiri, dari
pengutamaan material, ke arah yang lebih komperhensif dari setiap
dimensi kehidupan. M emungkinkan dimensi sosial mendapat tempat
dalam setiap perencanaan pembangunan. Hal ini menyadarkan kita
bahwa pembangunan tidak terjadi dalam ruang vakum.
M unculnya konsep social capital, diyakini kian menopang
kapital-kapital lainnya seperti, human capital (modal manusia) seperti,
pengetahuan, pengalaman, maupun keterampilan yang dimiliki
25
Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
seseorang. Physical capital (modal fisik) berupa barang atau jasa,
financial capital (modal finasial) yakni uang, manufaktur capital dan
natural capital (modal alam) Porritt (2002)7 ; Lawang, 2005.
M eskipun sebagai kapital, social capital memiliki dimensi yang
berbeda dari kapital-kapital lain, seperti telah disebutkan sebelumnya.
Berikut pendapat Coleman tetang konsep social capital :
“Social capital is defined by its function. It is not a single
entity, but a variety of different entities, having two
characteristics in common: they all consist of some aspect of
a social structure, and they facilitate certain actions of
individuals who are within the structure”(Coleman 1994).
Bagi Coleman konsep social capital itu didefinisikan oleh
fungsinya. Kapital sosial tidak tunggal entitasnya, melainkan terdiri
dari beberapa varian entitas dengan dua elemen yang sama yakni,
struktur sosial dan yang memfasilitasi tindakan-tindakan tertentu para
aktor, baik personal maupun korporasi – di dalam suatu struktur
Coleman (1994 dalam Smith, M. K. 2000-2009), Lawang (2005).
Dengan rumusan ini, Coleman melihat bahwa kapital sosial
embedded pada struktur sosial, relasi antara individu maupun antara
komunitas. Karena itu basis analisisnya pada faktor independen yakni
kewajiban, sanksi, jaringan sosial, norma, dan trust, dan melalui
aktifitas sebagai faktor dependennya untuk mencapai kemaslahatan
bersama Hasbullah (2006); Lawang (2005).
Sedangkan
terminologi
konsep social
capital
yang
dikemukakan Robert Putnam (dalam Adler and W oo Kwon,
tanpa tahun) memfokuskan pandanganya pada strukturnya kapital
sosial seperti berikut ini :
7
Pandangan ini juga dikemukakan Grootaert (2002) bahwa terdapat tiga tipe modal
yaitu: natural capital, physical (produced) capital, dan human capital, yang sering
dipakai dan digunakan bagi analisis pembangunan ekonomi dan proses pertumbuhan
ekonomi.
26
R umahTanggadanPemenuhanK ebutuhanH idup,K ewirausahaan,J ejaring,…
“features of social organization such as networks, norms,
internal and social trust that facilitate coordination and
cooperation for mutual benefit (1995).”
Putnam mengkonsentrasikan pandangan kapital sosial pada
penampilan organisasi sosial seperti jaringan, norma dan kepercayaan
yang menfasilitasi adanya kerjasama dan koordinasi untuk keuntungan
bersama. Inti dari kapital sosial adalah terkait dengan apa yang disebut
“civic viture” 8 yakni tindakan dan asosiasi, pada titik inilah kapital
sosial dipandang bersifat produktif, sehingga memungkinkan terjadinya
suatu interaksi dan dalam upaya mencapai baik tujuan ekonomi atau
sosial, Putnam (et.al. 1993, dalam Lawang, 2005).
Berbeda dari Putnam, Bourdieu mendefinisikan social capital
sebagai berikut :
“Social capital is the ‘the aggregate of the actual or potential
resources which are linked to possession of a durable
network of more or less institutionalized relationships of
mutual acquaintance and recognition” (Bourdieu,1983).
Konsep kapita sosial yang dikemukakan Bourdieu, menunjuk
pada aktualisasi sumberdaya atau potensi, yang melembaga dalam
kualitas hubungan dan jaringan atas saling kenal dan adanya
pengakuan. Karena pemikiran Bourdieu tentang kapital sosial tidak
lepas dari pemahaman ketidak merataan distribusi sosial dalam
masyarakat. M enyebabkan penekanan konsepnya menitik pada jejaring
dan hubungan dengan pihak lain yang memiliki kuasa. (Fashri,2007).
Dapat dikatakan bahwa, hubungan yang dibangun individu
atau komunitas melalui jejaring sosial dengan pihak yang memiliki
kuasa, dimengerti sebagai upaya untuk memperoleh akses dan
8
“Civic Virture,” menunjuk pada suatu kewajiban untuk melakukan tindakan
kebajikan, dalam bentuk tindakan imbal-balik. Suatu entitas masyarakat walau
memiliki kebajikan sosial yang tinggi, tetapi kehidupan sosial terisolir dapat
dipandang sebagai masyarakat dengan tingkat modal sosial yang rendah.
Putnam Robert, 2000.
27
Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
pencapaian tujuan yang tidak dapat dipenuhi individu atau kelompok
yang memiliki akses dan kuasa yang terbatas.
Oleh Fukuyama terminologi social capita (Adler and W oo
Kwon, tanpa tahun) didefinisikan seperti berikut ini :
“the ability of people to work together for common
purposes in groups and organizations” (1995).
“Social capital can be defined simply as the existence of a
certain set of can informal values or norms shared among
members of a group that permit cooperation among them”
(1997).
Pada bagian pertama, kapital sosial dilihat sebagai kemampuan
‘ability’ orang untuk bekerjasama untuk mencapai tujuan umum dalam
kelompok dan organisasi. Sedangkan pada bagian kedua social capital
dipahami sebagai seperangkat nilai atau norma informal yang
dipertukarkan diantara kelompok, sehingga memungkinkan kerjasama
dapat terjadi di antara mereka.
Dengan demikian Konsep kapital sosial yang dikemukakan
Fukuyama tekanannya pada kemampuan, hubungan, pencapaian
tujuan bersama dan aspek organisasi sosial seperti nilai dan norma yang
mengikat dan dipatuhi bersama. Semua hal inilah yang memungkinkan
suatu komunitas dapat berhasil mencapai tujuan bersama. Karena itu
rendahnya kapital sosial dapat menimbulkan kekacauan dalam Negara
atau
masyarakat
(Fukuyama, Trust:1995; The Great,1997;
Lawang,2005).
Selanjutnya konsep dan tipologi social capital
yang
dikemukakan oleh W oolcock (1998a dalam Hamidreza.et.al, 2012)
setidaknya ada tiga tipologi social capital yang dibuat woolcock dan
beberapa ahli lainya. M asing-masing antara lain,’bonding social
capital,’ ‘bridging social capital’ dan ‘linking social capital.’ Bonding
social capital (modal sosial terikat) menunjuk pada hubungan antara
orang-orang yang memiliki kesamaan seperti
keluarga, teman,
maupun agama.
28
R umahTanggadanPemenuhanK ebutuhanH idup,K ewirausahaan,J ejaring,…
Karena tipologi ini relasinya terbatas pada kesamaan
komunitas, menyebabkan hubungan yang tercipta bersifat eksklusif,
atau berorientasi ke dalam komunitas (inword looking), sehingga ciri
komunitas yang terbentuk adalah homogenius tertutup dan terikat
pada dogma tertentu yang terus mempertahankan struktur masyarakat
yang hierarchical (Hasbulah,2006).
Sebaliknya bridging social capital (modal sosial yang
menjembatani). Tipologi kapital sosial ini merupakan kebalikan dari
bonding social capital, dimana prinsip pengorganisasiannya sangat
terbuka, sebab hal itu didasarkan pada prinsip-prinsip yang universal
seperti kebebasan, kemajemukan, kesetaraan, nilai, norma, dan
kemanusian.
Karena tipologi ini menunjuk pada hubungan antara komunitas
yang berbeda, menyebabkan mereka berusaha untuk memperkuat
kohesi antar kelompok dengan mengacu pada nilai atau prinsip yang
universal. Nilai, norma dan kesamaan prinsip yang universal dalam hal
ini dapat dilihat sebagai jembatan yang mempertemukan perbedaan di
antara kelompok-kelompok yang berbeda, untuk berjuang mencapai
tujuan bersama, dalam wujud tindakan imbal-balik W oolcock (1998a;
Ahmad.et.al, 2012; Hasbullah,2006).
Sedangkan yang dimaksud dengan linking social capital (modal
sosial menghubungkan) menunjuk pada hubungan antara orang-orang
yang berada di luar lingkungan dan kondisi yang berbeda. Sehingga
mereka dapat mengakses sumberdaya yang ada di masyarakat. Inti dari
kapital sosial ialah pada, persepsi, perilaku individu, kepercayaan dan
hubungan dengan kelompok etnis, organisasi pemerintah atau
nonpemerintah Grootaert, C., Narayan, D., Jones, V. N., & W oolcock,
M . (2003; Ahmad.et.al, 2012).
Jelas terlihat bahwa masing-masing para ahli berbeda dalam
merumuskan konsep social capital (kapital sosial), namun secara umum
semuanya memberikan perhatian yang sama pada unsur-unsur
pembentuk struktur sosial seperti nilai-norma, jejaring, trust, dan
resiprocity (Hasbullah,2006; Lawang, 2005).
29
Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
Selain dapat diartikan sebagai sumber (resource) kemampuan
(ability) Fukuyama (1995) yang bersifat produktif, social capital juga
merupakan produk yang dihasilkan dari relasi antar manusia. Karena
itu kapital sosial berbeda dari kapital lain contohnya kapital finasial.
Sebagai yang diciptakan, kapital sosial akan semakin bertambah dengan
sendirinya (self-reinforcing) apabila terjaga dan terus dipergunakan,
justru kalau tidak dipergunakan social capital tersebut akan rusak
(Putnam,1993). Lain halnya dengan kapital finasial, jika terus
dieksplotasi akan berkurang dan tak menutup kemungkinan akan habis
Nancy Foote (Paper, tidak ada tahun. p.16).
Kapital sosial bukanlah milik pribadi melainkan kolektif,
karena itu membutuhkan komitmen dan kerjasama kedua belah pihak
untuk membangun dan mempertahankannya. Social capital tidak
terletak dalam aktor melainkan dalam hubungan antara aktor. Karena
itu tidak ada aktor yang memiliki hak eksklusif terhadap kapital sosial.
(Coleman, 1988; Alder and W oo Kwon, 2000).
M anusia dengan segala aktifitasnya, hampir tak terhindarkan
bersentuhan atau membutuhkan orang lain, baik internal komunitas
seperti keluarga, suku, agama atau dalam lingkup yang lebih besar
sebagai suatu bangsa – antar bangsa.
Inti dari social capital adalah relasi dan manfaat yang
ditimbulkan bagi manusia dengan berbagai perbedaan dan kesamaan
yang dimiliki untuk pencapaian suatu tujuan. Dalam pengertian ini
aspek penting dari social capital adalah network (jejaring), trust
(kepercayaan) norma, dan tindakan imbal balik.
Implisit makna dari analogi jejaring (network) lebih menunjuk
pada aktifitas, yakni hubungan-hubungan yang terjalin dalam suatu
ikatan kerja sama yang dimungkinkan karena adanya kepercayaan,
yang timbul akibat tindakan imbal balik (Lawang, 2005). Lebih lanjut
Lawang menekankan bahwa, melalui jejaring orang dapat saling tukar
informasi, menolong dan terlebih sebagai sumber pengetahuan, inilah
fungsi jejaring.
30
R umahTanggadanPemenuhanK ebutuhanH idup,K ewirausahaan,J ejaring,…
Dalam hal yang terakhir disebutkan terdapat kesamaan dengan
apa yang dikemukakan Jacqueline Vel (2010), tentang adanya
kontribusi jaringan. M enurut Vel, jaringan merupakan bentuk
orientasi yang sengaja dibangun oleh para individu. Dalam
penelitiannya terhadap eksistensi kehidupan orang Lawonda di Sumba.
M elalui penelitian itu Vel menemukan bahwa melalui jaringan itulah
memungkinkan orang Lawonda memenuhi kebutuhan yang tidak
dapat dipenuhi sendiri, baik ekonomi, konsumtif, atau informasi.
Selain jejaring, trust merupakan pengikat interaksi, yang
terpelihara dalam tindakan imbal balik untuk saling menolong, dan
inilah yang menjadi norma bersama dalam keseharian masyarakat
Lawonda.
Sedangkan oleh Fukuyama (2002) jaringan dilihat sebagai
hubungan moral kepercayaan. Karena itu menurutnya jaringan adalah :
“Sekelompok agen-agen individual yang berbagai normanorma atau nilai-nilai informal melampaui nilai-nilai atau
norma-norma yang penting untuk transaksi-transaksi pasar
biasa”
Artinya bahwa, pertukaran yang terjadi pada mereka yang
memiliki jejaring dan norma atau nilai informal, cenderung tidak
mengedepankan kalkulasi keuntungan, melainkan merasakan
keterlibatan dalam suatu hubungan timbal balik menjadi utama.
M eskipun tak berarti sama sekali nihil cost benefit (Fukuyama, 2002).
Dalam prespektif jejaring bisa dikatakan bahwa trust
merupakan dasar dan pelumas yang memungkinkan jejaring dapat
berfungsi dengan baik Hasbullah (2006 :11).
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa, jejaring adalah relasi
timbal-balik yang dibangun secara sadar antar individu, untuk tujuan
tertentu, dan tidak bebas nilai.
Sebagai barang publik, kapital sosial bukan untuk dimiliki,
melainkan diupayakan untuk tetap ada dalam riilnya suatu hubungan.
Jejaring, nilai, norma dan trust baru dapat terlihat ada apabila
terwujud dalam hubungan timbal-balik, baik antar individu atau
komunitas, yang memungkinkan tercapainya tujuan bersama.
31
Pemenuhan Kebutuhan Hidup, Kewirausahaan, Human
Capital, Akses Terhadap Modal Dan Socia l Capital
Kajian konseptual terhadap pedagang kecil yang akan
dilakukan dalam bagian ini, difokuskan pada pemeriksaan ilmiah
terhadap konsep-konsep seperti rumah tangga dan pemenuhan
kebutuhan hidup, kewirausahaan, human capital, akses terhadap modal
dan konsep sosial capital.
Biasanya pedagang kecil, selalu saja dikaitkan atau keterkaitan
dengan persoalan klasik domestik rumah tangga atau individu yaitu
pemenuhan kebutuhan hidup. Tema seperti ini, erat terkait dengan
persoalan kerentanan dan kemiskinan, baik karena faktor alam yang
tidak produktif, persoalan sosial seperti konflik agama atau politik.
Persoalan-persoalan
yang
disebutkan
terakhir,
terkadang
menyebabkan hilangnya pekerjaan yang berdampak langsung pada
pendapatan dan terus mendegradasi kebutuhan lainya, seperti
konsumsi rumah tangga, pendidikan maupun kesehatan.
M embangun usaha dalam kondisi sosial dan politik yang tidak
stabil, bukanlah perkara mudah. M enjadi pedagang walau kecil
usahanya, pelibatan potensi-potensi sumber daya, tetap diperlukan.
Seperti pengetahuan dan pengalaman (human capital) sebagai potensi
diri yang dibentuk baik dari proses pendidikan formal - informal atau
yang dihasilkan dari pengalaman kerja.
Begitu sebaliknya dengan kemampuan akses terhadap modal
usaha. Tidak dapat dilepas pisahkan dari kemampuan menggunakan
human capital, dan membentuk kapital sosial (social capital) untuk
menghasilkan kapital-kapital lain, seperti kapital finansial sebagai salah
satu tujuan berusaha.
Jika indikator entrepreneur dibasiskan pada, inovasi, inisiatif,
kreatifitas dan keberanian menanggung kerugian maupun yang juga
Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
menerima keuntungan. Tidaklah keliru jika wirausaha
replikatif atau peniru1 seperti pedagang kecil (small traders), dikatakan
sebagai entrepreneur.
M eskipun tidak terdapat inovasi teknologi, atau menghasilkan
prodak baru. Tetapi pedagang kecil (small traders) juga melakukan
inovasi pada strategi berusaha, selain inisiatif, optimis, dan kesediaan
menanggung kerugian maupun keuntungan sebagai sikap dan ciri
universal seorang entrepreneur.
Dalam upaya untuk memahami dinamika pedagang kecil (small
traders) yang kompleks itulah, kajian literatur ini hendak ditempatkan.
Pemenuhan Kebutuhan H idup
livelihood (mata pencaharian) merupakan konsep yang selalu
mengakar pada persoalan kemiskinan. Sedangkan penyebab
kemiskinan itu sendiri tidak tunggal, tetapi beragam, dan saling kait.
Seperti pekerjaan-pendapatan, pendidikan, kesehatan, politik maupun
sebab-sebab sosial lainya.
Untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup baik pribadi maupun
rumah tangga, tidak lepas dari kemampuan ekonomi rumah tangga.
Berbicara ekonomi rumah tangga erat kaitannya dengan pendapatan
(uang dan barang), sebagai instrumen untuk menghidupi rumah tangga
melalui keterpenuhinya kebutuhan.
Jika ekonomi rumah tangga baik, hal itu akan berdampak
terpenuhinya kebutuhan dasar. Sebaliknya jika kebutuhan dasar tidak
terpenuhi, pada titik inilah kemiskinan merupakan antiklimaks dari
hal yang disebutkan pertama.
Lihat saja konsep kemiskinan yang dirumuskan BPS (Badan
Pusat Statistik) Indonesia berikut ini :
“Standar yang dipakai Badan Pusat Stastiki (BPS) di
Indonesia,
untuk
mengukur
kemiskinan
adalah
1
Yang dim aksud dengan w irausaha “ replikat if” at au “ peniru” , yakni m enunjuk
pada mereka yang m em produksi at au menjual barang atau jasa yang sudah
t ersedia dari sum ber lain. Baum ol William ,J. et .al (2010)
10
R umahTanggadanPemenuhanK ebutuhanH idup,K ewirausahaan,J ejaring,…
menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan
dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini,
kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi
ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan
bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Jadi
Penduduk Miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata
pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan.
Garis Kemiskinan (GK) merupakan penjumlahan dari Garis
Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non
Makanan (GKNM). Penduduk yang memiliki rata-rata
pengeluaran perkapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan
dikategorikan sebagai penduduk miskin. Garis Kemiskinan
Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan
minimum makanan yang disetarakan dengan 2100
kilokalori perkapita perhari. Paket komoditi kebutuhan
dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian,
umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacangkacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll). Garis
Kemiskinan Non Makanan (GKNM) adalah kebutuhan
minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan
kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non makanan
diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis
komoditi di pedesaan.” Sumber : http://www.bps.go.id.
Dikunjungi, 18 Maret 2014
Rumusan konsep kemiskinan yang dibuat BPS (Badan Pusat
Statistik) pada intinya menunjuk pada ketidakmampuan ekonomi.
Yakni berkaitan dengan basic needs approach (kemampuan memenuhi
kebutuhan dasar) sehingga instrument dasarnya didasarkan pada
standar Garis Kemiskinan M akanan (GKM ) dan Garis Kemiskinan Non
M akanan (GKNM ) hanya sebagai akibat kemiskinan2.
Kalau ketidak mampuan ekonomi menjadi sebab kemiskinan,
dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada titik inilah terlihat
hubungan kemiskinan dengan pendapatan (uang dan barang)3 tidak
hanya sebagai sarana pemenuhan kebutuhan tetapi juga sebagai
indikator kemiskinan.
Jika BPS menitik beratkan konsep kemiskinan pada
kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Lain
2
3
http://www.bps.go.id. Dikunjungi, 18 Maret 2014.
Pandangan Ellis tentang income (pendapatan) melingkupi capital (uang) dan barang
(Frank Ellis. 2000).
11
Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
halnya dengan badan-badan penelitian seperti Lembaga Penelitian
SM ERU dan TNP2K bekerja sama dengan SEADI dan USAID. Dalam
upaya penyusunan Paket informasi dasar- Pengarus Utamaan
Penanggulaan Kemiskinan dan Kerentanan (PPKK) mendefinisikan
konsep kemiskianan antara lain :
“… merupakan kondisi tidak tercapainya suatu standar
kehidupan yang dianggap layak oleh masyarakat.” 4
Kerja bersama antar badan-badan ini, untuk menyusun Paket
informasi dasar Pengarusutamaan Penanggulangan Kemiskinan dan
Kerentatan (PPKK), pertama-tama di dasarkan pada kesadaran bahwa
kemiskinan merupakan tragedi kemanusiaan.
Sebagai suatu tragedi, kemiskinan dipandang tidak tunggal
penyebabnya. Tidak semata-mata disebabkan karena ketidak mampuan
memenuhi kebutuhan dasar, sebagai akibat dari pendapatan yang
terbatas, melainkan memiliki sifat multidimensi :
“ketidakmampuan di bidang kesehatan, gizi, dan
pendidikan; kerentanan; ketidakberdayaan; ketimpangan;
ketersisihan
sosial;
dan
ketidakmampuan
bersuara/berpendapat.” 5
Dari rumusan konsep ini, individu atau keluarga dikatakan
miskin bukan hanya karena keterbatasan ekonomi, melainkan telah
mencakup keterbatasan dan ketersisihan sosial.
Rumusan kemiskian dan sebab kemiskian yang beragam
dikemukakan oleh para konseptornya, hal itu tidak lepas dari lokus dan
fokus mereka terhadap objek yang diamati. Jelas terlihat bahwa konsep
BPS menekankan sisi ekonomi (kemampuan konsumsi), sedangkan
SEM ERU grup melihat kemiskinan sebagai akibat dari keterbatasan
individu atau keluarga yang multidimensi, ekonomi, dan sosial.
4
5
Menyusun “Paket I nformasi Dasar - Pengarusutamaan Penanggulangan Kemiskinan
Dan Kerentanan”, Kerjasama Lembaga Penelitian SMERU Research Institute, 2013
dengan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), Suport For
Ekonomic Analisis Development In Indonesia (SEADI ) Dan USAI D From The
American People. Cetak pertama Juni 2013. p.7 . www.semeru.or.id.
I bid.7
12
R umahTanggadanPemenuhanK ebutuhanH idup,K ewirausahaan,J ejaring,…
Chambers (1995) dalam paper-Nya yang berjul “Poverty and
Livelihoods : W hose reality counts” mengemukakan bahwa orientasi
cara berpikir tentang kemiskinan itu, pada umumnya berkaitan dengan
pendapatan dan pekerjaan. Namun lebih lanjut Ia mengatakan bahwa
hal itu hanyalah salah satu indikator kemiskinan.
M enurut Chambers (1995), kemiskinan itu sifatnya dinamis,
kompleks dan beragam.
Selain persoalan ekonomi, dimensi
kemiskinan juga menyangkut persoalan kesehatan-kesejahteraan, dan
juga mencakup inferioritas sosial, isolasi, kerentana, ketidak berdayaan
dan penghinaan.
Apa yang dikemukakan Chambers, memiliki beberapa
kesamaan dengan konsep kemiskinan yang dikemukakan SEM ERU
grup, dimana kemiskinan merupakan kondisi ketidak berdayaan yang
disebabkan oleh berbagai dimensi, kompleks dan dinamis sifatnya.
Dari konsep-konsep kemiskian yang ada, dapat dikatakan
bahwa kemiskinan pada intinya merupakan kondisi ketidak mampuan
individu atau rumah tangga untuk mencapai duaja kehidupan layak,
baik karena keterbatasan ekonomi, dan ketimpangan sosial.
Untuk menghidupi baik individu maupun rumah tangga
dibutuhkan nafkah penghidupan (livelihood) sebagai sumber finasial,
bagi berbagai kebutuhan.
M enurut Chambers and Conway (1991) Nafkah penghidupan
(livelihood) adalah :
“ a livelihood comprises the capabilities, assets (including
both material and social resources) and activities required
for a means of living.” (Chambers & Conway, 1991)
Sebagai nafkah penghidupan (livelihood), Chambers dan
Conway memberi penekanan konsep livelihood pada tiga hal utama
yakni, capabilities (kemampuan), assets (sumber daya material dan
sosial) dan activities (aktifitas) sebagai sarana penghidupan.
13
Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
Seperti Chambers and Conway, substansi konsep livelihhod
yang dikemukakan oleh Frank Ellis (1999), sehingga Ia mendefinisikan
konsep livelihood sebagai :
“the activities, the assets, and the access that jointly
determine the living gained by an individual or household.”
Bagi Ellis (1999), livelihood merupakan aktifitas individu atau
rumah tangga untuk mempertahankan hidupnya dengan menggunakan
aset dan akses yang dimiliki.
M elalui penelitian terhadap kehidupan petani di perdesaan
negara-negara berekembang menunjukan bahwa, bagi banyak keluarga
miskin di pedesaan, sektor pertanian sendiri tidak mampu untuk
menyediakan sarana yang cukup untuk bertahan hidup Ellis (1999).
Sebagai aktifitas yang melibatkan aset dan akses, livelihood
strategy yang umumnya dilakukan petani diperdesaan negara-negara
berkembang, seperti di sub Sahara Afrika, Afrikan Selatan maupun
Asia Selatan, menunjukan bahwa rumah-rumah tangga di negaranegara tersebut, menunjukan bahwa mereka cenderung melakukan
beberapa kegiatan untuk nafkah penghidupan (Ellis,1999). Cara inilah
yang disebut livelihood diversification (pengragaman mata
pencaharian).
Ellis (1999) secara spesifik mendefinisikan diversification
sebagai suatu upaya pengragaman mata pencaharian melalui beragam
kegiatan dan dukungan sosial bagi kelangsungan hidup dan untuk
meningkatkan taraf hidup rumah tangga.
Dari konsep-konsep livelihood yang ditelusuri, dapat dibuat
simpulan bahwa poin utama dari konsep nafkah penghidupan
(livelihood), adalah tentang cara (baca-aktifitas) dan apa yang
digunakan untuk mempertahankan kelangsungan hidup mereka.
Sebagai cara hal itu bergantung pada dua indikator mendasar
capabilities (kemampuan) individu atau rumah tangga untuk
menggunakan ‘assets’ dan ‘acces.’
14
R umahTanggadanPemenuhanK ebutuhanH idup,K ewirausahaan,J ejaring,…
Individu atau rumah tangga dalam memilih suatu aktifitas
sebagai sumber nafkah penghidupan cenderung didasarkan pada
kemampuan diri yakni, aset dan akses yang mereka miliki.
Tujuan akhir memiliki mata pencaharian livelihood, tentu
berujung pada perolehan pendapatan. Ellis (2000) dalam kaitan ini,
menyebutkan ada dua sifat pendapatan yang dihasilkan dari nafkah
penghidupan yakni, pendapatan yang bersifat tunai maupun barang,
keduanya diperlukan untuk kelangsungan hidup suatu rumah tangga.
Untuk dapat mengatasi kemiskinan dan kerentanan, nafkah
penghidupan (livelihood) harus dapat bertahan terhadap guncangan
dan krisis yang dihadapi. Oleh karena itu nafkah penghidupan harus
dapat dijaga, ditingkatkan, berkelanjutan dan dapat diwariskan pada
generasi berikutnya, baik pada tingkat lokal maupun global, baik pada
jangka pendek atau jangka panjang (Chamber and Conway, 1991).
Diversifikasi usaha, cenderung juga berbarengan dengan
optimalisasi tenaga kerja melalui keterlibatan anggota keluarga, dan
penggunaan moda-modal yang ada merupakan cara yang lazim
dilakukan orang miskin. Hal ini dapat dilihat sebagai bentuk adaptasi
individu atau rumah tangga ketika menghadapi kondisi rentan, demi
memenuhi kebutuhan rumah tangga (Start and Johnson, 2004).
Pemenuhan kebutuhan dalam pandangan Carswell berkaitan
dengan kemampuan individu untuk mengakumulasi aset yang dimiliki
sebagai sarana penghidupan (Bryceson,1999).
Setiap individu maupun rumah tangga tentu tak lepas dari
kebutuhan. Sedangankan untuk mewujudkan atau memenuhi
kebutuhan membutuhkan sumber
nafkah, karena darinya
menghasilkan uang atau barang (Ellis,2000).
Pada sisi inilah konsep livelihood dapat dilihat sebagai strategi
penghidupan. Sebagai suatu aktivitas, dibutuhkan kemampuan
menggerakan aset-aset material dan sosial melalui suatu usaha yang
berkelanjutan outcome-nya serta resisten terhadap shock untuk
kelangsungan hidup, merupakan inti dari konsep livelihood.
15
Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
Kewirausahaan: Pedagang Kecil dan Pasar Tradisional
Pertalian pedagang kecil dan pasar tradisional, merupakan
fenomena yang lazim dijumpai. Kesan tidak teratur, ilegal, dan tidak
berjalan dalam tatanan hokum formal yang berlaku, menjadikan
mereka rentan terhadap isu negatif. Lebih lanjut persepsi kumuh,
kotor, dan deretan pelabelan negatif lainya, telah membentuk
perspektif orang akan buruknya pasar tradisional dangan pedagang
kecil yang tak teratur sebagai komunitas penghuni yang dominan.
Sehingga menimbulkan kesan bahwa tempat yang pantas bagi
pedagang kecil untuk berusaha adalah di pasar tradisional. Tempat
tersebut “diidentikan” sebagai kubangan pedagang kecil yang informal
untuk mengais rezeki, di tempat yang cenderung diejawantahkan
sebagai tempat yang kumuh, kotor dan tidak teratur, adalah tempat
bagi warga kelas menengah ke bawah menggantungkan hidupnya.
Pandangan J Cross terhadap pelaku usaha di sektor informal
seperti terdapat dalam Kayuni dan Tambulasi (2009), membenarkan
bahwa aktifitas ekonomi yang terjadi juga melingkupi proses produksi
dan perdagangan barang maupun jasa dilangsungkan secara legal
layaknya suatu usaha formal. Tetapi pada sisi lain mengabaikan
kewajiban baik, legalitas usaha maupun kepatuhan membayar pajak
dan ketidakpatuhan penempatan wilayah usaha yang tak tetap dan
teratur. Status usaha yang informal dan minus legalitas berusaha, hal
itu beresiko terhadap relasi antar aktor dalam berbagai tingkatan
hubungan yang dibangun, dimana tidak terdapat jaminan hukum yang
mengikat baik antara suplliers dan konsumennya.
Pada kondisi demikian itulah menurut Chukuezi (2010) bahwa
adalah wajar jika kehancuran selalu menimpa pelaku usaha informal
setiap kali terjadi guncangan, karena sebagian besar usaha mereka tidak
memiliki jaminan terhadap setiap shock yang menghancurkan usaha
mereka.
Selain memberikan manfaat ekonomi, aktifitas usaha informal
juga memberi ‘kehidupan sosial’ demikian kata M orales (dalam Kayuni
dan Tambulasi, 2009). M anfaat-manfaat inilah yang menarik minat
16
R umahTanggadanPemenuhanK ebutuhanH idup,K ewirausahaan,J ejaring,…
banyak orang untuk terjun ke sektor usaha ini, yang seakan-akan
menafikan aspek legalitas formal suatu usaha dan untuk menghindari
kewajiban pajak usaha.
Kunci keberhasilan pedagang kecil (small traders) dalam
menjalankan usaha, sangat ditentukan pada kemampuan untuk
memanfaatkan aset yang dimiliki (pengetahuan dan financial), dan
relasi yang dimilikinya (Dasgupta, 1992).
Pedagang kecil (small traders) dan pasar tradisional dapat
dikatakan merupakan kembar siam dalam aktifitas ekonomi yang tak
mungkin dapat dipisahkan. M enurut Nastiti (2003), dalam penelusuran
terhadap pasar di Jawa pada masa M ataram kuno abad VIII-IX M asehi,
menemukan bahwa kehadiran pasar terkait dengan dua hal utama
yakni, sebagai tempat untuk menjual kelebihan hasil panen dan sebagai
tempat yang efektif untuk memenuhi kebutuhan lain melalui cara
barter atau dibeli. Atau dengan lain kata, pasar merupakan media
penyalur dan pemenuhan kebutuhan.
Kehadiran dan kedudukan pasar tradisional oleh Jati (2012)
juga memiliki beberapa fungsi antara lain :
“ pasar tradisional merupakan instrument vital bagi rakyat
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pasar tradisional
tidak hanya berfungsi sebagai pranata ekonomi yang fungsi
utamanya mendinamisasi transaksi perdagangan pembeli
dan penjual. Lebih dari itu, pasar tradisional juga
mengembang fungsi sebagai ruang kultural, dimana proses
alkulturasi berlangsung antara berbagai ragam mata
pecaharian ekonomi berlangsung dalam suatu kesatuan.”
Dari rumusan fungsi pasar tradisional yang dikemukakan Janti,
setidaknya ada tiga peran pasar tradisional antara lain, pasar tradisional
sebagai tempat “pemenuhan kebutuhan,” pasar sebagai media
“penggerak ekonomi,” dan pasar sebagai ruang “alkulturasi.” Lebih
lanjut Ia juga menegaskan bahwa kehadiran pasar tradisional di
Indonesia membawa dua modal utama yakni modal “ekonomi” dan
modal “sosial.”
17
Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
Pertukaran di pasar tradisional tidak mengutamakan keutungan
ekonomi ‘economic gains’ semata, melainkan iklim perekonomian yang
terbangun dan menguat menjadi ciri dari pasar tradisional seperti,
(cooperation) “kerjasama,” dan adanya (trust) “kepercayaan” (Janti,
2012). Dapat dikatakan bahwa perdagangan di pasar tradisional
member dua keuntungan yakni, keuntungan ekonomi dan sosial.
Untuk menemukan korelasi antara pedagang kecil (small
traders) dengan kewirausahaan berikut ini penting untuk menelusuri
konsep-konsep entrepreneurship. Robert D. Hisrich.et.al (2008)
mengkonsepkan wirausaha sebagai berikut :
“Kewirausahaan
(entrepreneurship)
adalah
proses
penciptaan sesuatu yang baru pada nilai menggunakan
waktu dan upaya yang diperlukan, menanggung risiko
keuangan, fisik, serta risiko sosial yang mengiringi,
menerima imbalan monoter yang dihasilkan, serta kepuasan
dan kebebasan pibadi.”
Dari terminologi kewirausahan yang dikemukakan Hisrich,
Peters dan Shepherd (2008), secara ringkas merupakan proses
penciptaan sesuatu yang baru, pengambilan resiko, tetapi yang juga
yang menerima keuntungan.
Jadi dapat dikatakan bahwa Hisrich.et.al (2008) mendasarkan
konsep entrepreneurs-Nya pada proses penciptaan suatu produk dan
nilai baru maupun nilai tambah, baik bagi konsumen maupun
wirausaha itu sendiri. Sedangkan kerugian dan keuntungan
merupakan dampak tetapi juga sebagai tujuan dari proses penciptaan
yang sepenuhnya disadari wirausaha (entrepreneurs).
Jika Hisrich.et.al, memberi tekakan pada komponen proses
penciptaan kebaruan benda, nilai dan manfaat, hal yang tak jauh
berbeda juga dilakukan Schumpeter dalam defenisi entrepreneur
memberi penekakan pada aspek kreatifitas, seperti terlihat dapa
rumusan berikut ini:
“entrepreneur as the person who destroys the existing
economic order by introducing new products and services,
18
R umahTanggadanPemenuhanK ebutuhanH idup,K ewirausahaan,J ejaring,…
by creating new forms of organization, or by exploiting new
raw materials.” Schumpeter (Bygrave, 1994)
Bagi Schumpeter seorang wirausaha adalah orang yang
mendobrak sistem ekonomi, melalui kreaktifitasnya dengan
menciptakan barang dan jasa, maupun menciptakan bentuk organisasi
atau memanfaatkan bahan baku baru. Dari konsep Schumpeter, dapat
di katakana bahwa seorang entrepreneur
adalah individu yang
dinamis, kreatif, dan selalu berinovasi, untuk meciptakan kebaharuan.
Karakteristik yang tersirat dalam konsep wirausaha
(entrepreneur) adalah keberanian dan kemampuan organisir, mendaur
kembali mekanisme sosial dan ekonomi untuk mengubah sumber daya
dan situasi menjadi praktis, serta bersedia menerima kegagalan
(Shapero, 1975).
M eskipun tidak menciptakan produk baru dan nilai tambah
pada produk tersebut. Inisiatif, keberanian dan kemampuan
mengorganisir mekanisme sosial dan ekonomi yang ada, serta
keberanian menghadapi resiko, dan menerima keuntungan sebagai
imbalannya. Pada tingkatan ini menempatkan pedagang kecil (small
traders) sebagai wirausaha (entrepreneus) tetapi dalam pengertian
terbatas sebagai wirausaha replikatif atau peniru. Boumol.et.al. (2010).
Human Capital
M enurut Tom Schuller dalam suatu analisisnya tentang human
capital dan kapital sosial (social capital) yang saling melengkapi, Ia
merujuk pada definisi konsep yang dikemukakan oleh OECD
(Organisation for Economic Cooperation and Development), yang
menunjuk pada pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills) dan
kemampuan (competences) yang dimiliki seseorang dan terkait dengan
aktifitas ekonomi. Sedangakan ukuran standar pendidikan terletak
pada lamanya pendidikan dan tingkat kualifikasinya (Schuller,2001).6
6
OECD, Human Capital Investment: An International Comparison, (Paris: Organisationfor
Economic Cooperation and Development,1998.
19
Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
Sejalan dengan itu Robert Lawang pun mendefinisikan konsep
human capital sebagai kemampuan diri yang dimiliki seseorang melalui
pendidikan dan pelatihan atau pengalaman untuk aktifitas tertentu
(Lawang,2005).
Begitu juga dengan Coleman, dalam konsep human capital
yang dirumuskanNya sebagai berikut :
“Just as physicalcapital is created by chnges in materials to
form tools that facilitate prodiction, human capital is
created by changes in persons that bring about skill and
capabilities than make them able to act in new ways.”
Coleman (1988)
Bagi Coleman, kalau physical capital merupakan ciptaan
dihasilkan dari perpaduan beberapa material untuk membentuk alatalat dan yang memfasilitasi proses produksi. Demikian juga kapital
manusia diciptakan dari perpaduan berbagai aktifitas, yang
menyebabkan seseorang memiliki keterampilan dan kemampuan dan
memungkinkan mereka melakukan perubahan dengan cara baru.
Dalam klasifikasi modal-modal yang dilakukan Bourdieu,
human capital ditempatkan ke dalam modal budaya, yang melingkupi
keseluruhan kualifikasi intelektual, yang dihasilkan dari proses
pendidikan formal, atau warisan keluarga, Fashri (2007).
Pengusaha dengan pengalaman dan pengetahuan yang
mumpuni, akan lebih efektif dan mudah menentukan peran dan
tugasnya, untuk mencapai keberhasilan. Pengalaman dan pengetahuan
juga memudahkan pengusaha ketika adaptasi diri pada situasi baru.
Dalam hal ini pengalaman dan pengetahuan berusaha
sebelumnya menjadi dasar pengambilan keputusan. Sehingga
memungkinkan mereka lebih kreatif dalam memunculkan ide atau
solusi dan komunikatif (Hisrich,et.al. 2008).
Demikian juga pengalaman diperlukan bagi seorang wirausaha
untuk menerjemahkan realita peluang suatu usaha yang dilihatnya
(Suryana,et.al, 2010).
20
R umahTanggadanPemenuhanK ebutuhanH idup,K ewirausahaan,J ejaring,…
Setelah memeriksa konsep-konsep Human capital yang
dikemukakan masing-masing konseptornya. Dapat dibuat simpulan
seperti berikuti ini. Human capital adalah potensi diri, berupa daya
dan keahlian yang dimiliki seseorang, melalui pendidikan formal,
informal atau dari keseharian hidupnya.
Dari sisi operasional human capital, dapat sebagai tools juga
sebagai stimulant yang besar kontribusinya bagi seorang wirausaha,
baik pada awal, maupun ketika mengembangkan usaha yang ada atau
menambah usaha baru.
Dari semua konsep human capital yang dikemukakan dalam
bagian ini, terlihat bahwa kedudukan dan perannya dapat memfasilitasi
suatu pencapaian kehidupan yang sukses.
Akses Terhadap M odal
Nampaknya tidak ada bisnis yang dijalankan tanpa melibatkan
modal finances (uang), walau dalam jumlah yang relatif kecil
sekalipun, apa lagi tidak sama sekali. Kalau pun ada hal itu tentu
terafiliasi dalam modal-modal yang lain, sebut saja modal sosial.
M odal (uang) merupakan aset fital dalam suatu usaha, dan
bagaimana mendapatkannya, hal ini merupakan salah satu masalah
tersulit dalam proses pendirian suatu usaha baru.
Pembiayaan suatu usaha, umumya dilakukan melalui dua cara
yakni pembiayaan ekuitas (equity financing) dan pembiayaan utang
(debt financing) (Hisrich,et.al. 2008; Saiman, 2009). Debt financing
(pembiayaan utang) adalah cara pendanaan usaha melalui mengutang
dalam jangka dan bunga tertentu yang sudah ditentukan pemberi
utang. M odel pendanaan seperti ini biasanya disebut juga pembiayaan
berbasis aset. Dikatakan demikian karena untuk dapat mengutang
dibutuhkan suatu penyertaan aset tertentu, biasanya berupa mobil,
rumah atau lahan, sebagai anggunan (Hisrich,et.al.2008).
Sedangkan pengutang biasanya adalah atau lembaga keuangan
seperti bank, lembaga swadaya masyarakat, individu (teman atau
21
Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
saudara) perusahan pemodal venture, atau melalui program-program
pemerintah (Saiman, 2009).
Sebaliknya equity financing (pembiayaan ekuitas atau modal
sendiri) merupakan model pembiayaan yang sumber pendanaanya
berasal dari tabungan sendiri, penjualaan aset, atau didapat dari teman,
saudara, investor perorangan, maupun dari perusahan ventura pemodal
besar (Saiman, 2009). M odel pembiayaan ini tidak membutuhkan
anggunan, melainkan debitur cenderung memberi tawaran
kepemilikan saham terhadap pemodal, sedangkan perolehan deviden
dibagi berdasarkan proporsi kepemilikan saham (Hisrich.et.al,2008).
Selain kedua bentuk pendanaan tersebut, Hisrich.et.al (2008),
juga membedakan sumber-sumber dana yang dapat diperoleh dalam
suatu usaha (internal) dan dana yang diperoleh dari pihak luar
(eksternal). Dana yang diperoleh dari internal usaha dapat diupayakan
dengan menjual aset-aset yang sudah tak terpakai, pengurangan modal
kerja, penundaan pembayaran utang-piutang dan penginvestasian
kembali keuntungan yang cenderung dilakukan diawal memulai usaha.
Lain halnya pendanaan dari luar usaha, biasanya diperoleh dari
keluarga, teman, lembaga keuangan (bank), atau hibah dari
pemerintan. Penggunaan dana yang paling ‘termurah’ dalam hal
control dan biaya, ialah pengunaan dana pribadi. Selain itu
kepemilikan dana pribadi juga dapat menarik minat pemodal venture
untuk menyertakan modal mereka. Sumber dana-dana pribadi biasanya
berasal dari simpanan, asuransi, penjualan atau penggadaan aset berupa
mobil atau rumah Hisrich.et.al, 2008; Saiman, 2009.
Selain penggunaan dana pribadi yang kecil resiko dan
biayanya, menggunakan dana keluarga dan kolega, juga merupakan
sumber alternatif mengatasi kekurangan modal usaha. Kedekatan dan
hubungan
persaudaraan
yang dimiliki
seorang pengusaha
memungkinakan dukungan modal usaha dengan mudah bisa ia
dapatkan Hisrich.et.al, 2008; Saiman, 2009.
Orang yang melihat modal finances sebagai capital ekonomi
adalah Bourdieu. M enurutNya dengan kapital sejenis itulah barang dan
22
R umahTanggadanPemenuhanK ebutuhanH idup,K ewirausahaan,J ejaring,…
jasa bisa diproduksi (Bourdieu,1986 dalam Lawang, 2005). Dapat
dikatakan bahwa modal finansial sebagai yang memproduksi kapitalkapital lain, seperti barang dan jasa.
Selain sebagai kapital ekonomi, ada juga yang berpendapat
bahwa, capital semacam ini bukanlah capital finances atau spesifik
sebagai uang, melainkan sebagai alat untuk membentuk kapital fisik
(Ostrom, 2000 dalam Lawang, 2005)
Bagi mereka yang berpandangan demikian, capital finances
adalah simbol dan hak yang diperoleh melalui kontrak atau perjanjian
dengan pihak lain. Karena itu menurut Suryana (2011) modal material
dilihat sebagai akibat dari kepemilikan modal-modal non kapital,
seperti modal intelektual, modal sosial, moral dan mental. Dengan kata
lain perkataan Lawang menegaskan sisi fungsinya kapital finansial
sebagai penata peluang atau kesempatan untuk mendapatkan uang
(Lawang, 2005).
Usaha kecil, pelaku ekonomi menengah dan usaha swasta
lainya, merupakan pihak yang cenderung mengalami kendala akses
terhadap ekuitas modal pada lembaga keuangan formal. Hal itu erat
hubungannya dengan persoalan legalitas usaha maupun aset yang
dimiliki.
Kedudukan modal finansial yang tak seragam dalam pandang
para pemikir merupakan kenyataan yang tak mungkin disatukan,
meskipun bisa diperdamaikan. Yang utama adalah bahwa, dalam
kedudukan baik sebagai penyebab atau akibat dari adanya kapitalkapital lain, modal finansial (finances capital) memegang peran
penting, baik dalam proses produksi, atau dalam fungsinya sebagai
penata peluang mendapatkan finansial.
Dengan demikian dapat dikemukakan konsep kapital finansial,
sebagai berikut. Finances capital adalah kebendaan dan sistem yang
menggerakan produksi dan yang memfasilitisasi interaksi sosial.
Sebagai benda tangible kapital finasial dibutuhkan untuk proses
produksi, atau dalam skala usaha kecil sebagai alat mendapatkan bahan
23
Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
baku. Sebagi sistem berfungsi menjembatani interaksi
mendatangkan uang.
sosial untuk
Dalam aktifitas ekonomi kedua fungsi tersebut embedded
dalam aktifitas usaha, dimana kebutuhan ekonomi dan sosial menyatu
dalam interaksi usaha, terlebih pada pedagang kecil (small traders).
Hanya pada fungsi, keduanya ditemui.
Social Capital
Konsep Social capital yang dibicarakan dalam bagian ini, akan
dibahas terbatas pada beberapa konsep teoritis. Selain karena telah
banyak dikemukakan dan dibahas para ahli, dalam berbagai penelitian
dan publikasi lewat tulisan-tulisan mereka, penggunaan konsep
mengikuti prisnsip kesesuaian tematik yang dibahas dalam bagian
analisis, agar tidak berlebihan atau terkesan dipaksakan.
Saat ini, perbincangan mengenai social capital, menjadi tema
yang menarik perhatian banyak orang dari berbagai tingkatan,
birokrat, akademisi, maupun lembaga-lembaga swasta pemerhati
pembangunan.
Umumnya
pembangunan
dimengerti
atau
dipersamakan dengan upaya untuk meningkatkan kehidupan, dalam
hal ini menitik beratkan pada kemajuan material (Budiman,1995).
Untuk hal yang terakhir disebutkan,W oolcock dan Narayan
(1999) menilai bahwa, teori-teori yang utama dipakai dalam,
pembangunan
ekonomi,
merupakan
teori-teori
yang
mengesampingkan peran hubungan sosial, setidaknya sampai tahun
1990-an.
Bahkan lebih lanjut dikatakan bahwa, melalui teori
modernisasi terdapat anggapan dimana cara hidup dan hubungan sosial
tradisional dituduh sebagai penghambat pembangunan. Sejalan dengan
itu M oore (1997; W oolcock and Narayan, 1999) mencatat bahwa
rintangan yang menyebabkan kegagalan kapitalisme sebagaimana
dalam pandang teori modernisasi terfokus pada hubungan sosial
sebagai penyebabnya.
24
R umahTanggadanPemenuhanK ebutuhanH idup,K ewirausahaan,J ejaring,…
Tuduhan dan kehendak kuat penghancuran dan peniadaan
pranata sosial, yang diposisikan sebagai penghambat pembangunan,
nampak terlihat dari kutipan W oolcock and Narayan (1999) dalam
Escobar (1995) seperti berikut ini :
“ancient philosophies have to be scrapped; old social
institutions have to disintegrate; bonds of caste, creed and
race have to burst; and large numbers of persons who
cannot keep up with progress have to have their
expectations of a comfortable life frustrated.” (cited in
Escobar 1995: 3)
Dengan kata lain filosofi-filosofi hidup, lembaga sosial, strata
sosial, keyakinan juga ras harus dihancurkan, sebab hal-hal tersebut
menyebabkan sebagian besar orang sulit bersaing untuk mencapai
kemajuan yang mereka harapkan untuk suatu kehidupan yang nyaman
terbebas dari frustrasi.
Pandangan-pandangan ini tentu tidak lepas dari cara pikir
kapitalisme, yang melihat hubungan sosial sebagai suatu mekanisme
eksploitasi khas kapitalis, dimana hubungan elit korporasi dan elit
politik menjadi sangat primer. Di sini kecil kemungkinan terjadi
hubungan yang saling menguntungkan antara pekerja dan pemilik,
sebagai akibat kuatnya kepentingan M odal dan tenaga kerja,
menyebabkan karakteristik sosial masyarakat di negara-negara miskin
secara eksklusif didefinisikan dalam hal hubungan mereka dengan alatalat produksi, demikian pandangan W oolcock et.al (1999).
Pembangunan yang berorientasi material, pada beberapa kasus
menampakan sosoknya sebagai yang menggusur atau meminggirkan
orang dari lingkungan tempat asalnya (Budiman, 1995). Namun dengan
adanya pergeseran paradigma pembangunan itu sendiri, dari
pengutamaan material, ke arah yang lebih komperhensif dari setiap
dimensi kehidupan. M emungkinkan dimensi sosial mendapat tempat
dalam setiap perencanaan pembangunan. Hal ini menyadarkan kita
bahwa pembangunan tidak terjadi dalam ruang vakum.
M unculnya konsep social capital, diyakini kian menopang
kapital-kapital lainnya seperti, human capital (modal manusia) seperti,
pengetahuan, pengalaman, maupun keterampilan yang dimiliki
25
Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
seseorang. Physical capital (modal fisik) berupa barang atau jasa,
financial capital (modal finasial) yakni uang, manufaktur capital dan
natural capital (modal alam) Porritt (2002)7 ; Lawang, 2005.
M eskipun sebagai kapital, social capital memiliki dimensi yang
berbeda dari kapital-kapital lain, seperti telah disebutkan sebelumnya.
Berikut pendapat Coleman tetang konsep social capital :
“Social capital is defined by its function. It is not a single
entity, but a variety of different entities, having two
characteristics in common: they all consist of some aspect of
a social structure, and they facilitate certain actions of
individuals who are within the structure”(Coleman 1994).
Bagi Coleman konsep social capital itu didefinisikan oleh
fungsinya. Kapital sosial tidak tunggal entitasnya, melainkan terdiri
dari beberapa varian entitas dengan dua elemen yang sama yakni,
struktur sosial dan yang memfasilitasi tindakan-tindakan tertentu para
aktor, baik personal maupun korporasi – di dalam suatu struktur
Coleman (1994 dalam Smith, M. K. 2000-2009), Lawang (2005).
Dengan rumusan ini, Coleman melihat bahwa kapital sosial
embedded pada struktur sosial, relasi antara individu maupun antara
komunitas. Karena itu basis analisisnya pada faktor independen yakni
kewajiban, sanksi, jaringan sosial, norma, dan trust, dan melalui
aktifitas sebagai faktor dependennya untuk mencapai kemaslahatan
bersama Hasbullah (2006); Lawang (2005).
Sedangkan
terminologi
konsep social
capital
yang
dikemukakan Robert Putnam (dalam Adler and W oo Kwon,
tanpa tahun) memfokuskan pandanganya pada strukturnya kapital
sosial seperti berikut ini :
7
Pandangan ini juga dikemukakan Grootaert (2002) bahwa terdapat tiga tipe modal
yaitu: natural capital, physical (produced) capital, dan human capital, yang sering
dipakai dan digunakan bagi analisis pembangunan ekonomi dan proses pertumbuhan
ekonomi.
26
R umahTanggadanPemenuhanK ebutuhanH idup,K ewirausahaan,J ejaring,…
“features of social organization such as networks, norms,
internal and social trust that facilitate coordination and
cooperation for mutual benefit (1995).”
Putnam mengkonsentrasikan pandangan kapital sosial pada
penampilan organisasi sosial seperti jaringan, norma dan kepercayaan
yang menfasilitasi adanya kerjasama dan koordinasi untuk keuntungan
bersama. Inti dari kapital sosial adalah terkait dengan apa yang disebut
“civic viture” 8 yakni tindakan dan asosiasi, pada titik inilah kapital
sosial dipandang bersifat produktif, sehingga memungkinkan terjadinya
suatu interaksi dan dalam upaya mencapai baik tujuan ekonomi atau
sosial, Putnam (et.al. 1993, dalam Lawang, 2005).
Berbeda dari Putnam, Bourdieu mendefinisikan social capital
sebagai berikut :
“Social capital is the ‘the aggregate of the actual or potential
resources which are linked to possession of a durable
network of more or less institutionalized relationships of
mutual acquaintance and recognition” (Bourdieu,1983).
Konsep kapita sosial yang dikemukakan Bourdieu, menunjuk
pada aktualisasi sumberdaya atau potensi, yang melembaga dalam
kualitas hubungan dan jaringan atas saling kenal dan adanya
pengakuan. Karena pemikiran Bourdieu tentang kapital sosial tidak
lepas dari pemahaman ketidak merataan distribusi sosial dalam
masyarakat. M enyebabkan penekanan konsepnya menitik pada jejaring
dan hubungan dengan pihak lain yang memiliki kuasa. (Fashri,2007).
Dapat dikatakan bahwa, hubungan yang dibangun individu
atau komunitas melalui jejaring sosial dengan pihak yang memiliki
kuasa, dimengerti sebagai upaya untuk memperoleh akses dan
8
“Civic Virture,” menunjuk pada suatu kewajiban untuk melakukan tindakan
kebajikan, dalam bentuk tindakan imbal-balik. Suatu entitas masyarakat walau
memiliki kebajikan sosial yang tinggi, tetapi kehidupan sosial terisolir dapat
dipandang sebagai masyarakat dengan tingkat modal sosial yang rendah.
Putnam Robert, 2000.
27
Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
pencapaian tujuan yang tidak dapat dipenuhi individu atau kelompok
yang memiliki akses dan kuasa yang terbatas.
Oleh Fukuyama terminologi social capita (Adler and W oo
Kwon, tanpa tahun) didefinisikan seperti berikut ini :
“the ability of people to work together for common
purposes in groups and organizations” (1995).
“Social capital can be defined simply as the existence of a
certain set of can informal values or norms shared among
members of a group that permit cooperation among them”
(1997).
Pada bagian pertama, kapital sosial dilihat sebagai kemampuan
‘ability’ orang untuk bekerjasama untuk mencapai tujuan umum dalam
kelompok dan organisasi. Sedangkan pada bagian kedua social capital
dipahami sebagai seperangkat nilai atau norma informal yang
dipertukarkan diantara kelompok, sehingga memungkinkan kerjasama
dapat terjadi di antara mereka.
Dengan demikian Konsep kapital sosial yang dikemukakan
Fukuyama tekanannya pada kemampuan, hubungan, pencapaian
tujuan bersama dan aspek organisasi sosial seperti nilai dan norma yang
mengikat dan dipatuhi bersama. Semua hal inilah yang memungkinkan
suatu komunitas dapat berhasil mencapai tujuan bersama. Karena itu
rendahnya kapital sosial dapat menimbulkan kekacauan dalam Negara
atau
masyarakat
(Fukuyama, Trust:1995; The Great,1997;
Lawang,2005).
Selanjutnya konsep dan tipologi social capital
yang
dikemukakan oleh W oolcock (1998a dalam Hamidreza.et.al, 2012)
setidaknya ada tiga tipologi social capital yang dibuat woolcock dan
beberapa ahli lainya. M asing-masing antara lain,’bonding social
capital,’ ‘bridging social capital’ dan ‘linking social capital.’ Bonding
social capital (modal sosial terikat) menunjuk pada hubungan antara
orang-orang yang memiliki kesamaan seperti
keluarga, teman,
maupun agama.
28
R umahTanggadanPemenuhanK ebutuhanH idup,K ewirausahaan,J ejaring,…
Karena tipologi ini relasinya terbatas pada kesamaan
komunitas, menyebabkan hubungan yang tercipta bersifat eksklusif,
atau berorientasi ke dalam komunitas (inword looking), sehingga ciri
komunitas yang terbentuk adalah homogenius tertutup dan terikat
pada dogma tertentu yang terus mempertahankan struktur masyarakat
yang hierarchical (Hasbulah,2006).
Sebaliknya bridging social capital (modal sosial yang
menjembatani). Tipologi kapital sosial ini merupakan kebalikan dari
bonding social capital, dimana prinsip pengorganisasiannya sangat
terbuka, sebab hal itu didasarkan pada prinsip-prinsip yang universal
seperti kebebasan, kemajemukan, kesetaraan, nilai, norma, dan
kemanusian.
Karena tipologi ini menunjuk pada hubungan antara komunitas
yang berbeda, menyebabkan mereka berusaha untuk memperkuat
kohesi antar kelompok dengan mengacu pada nilai atau prinsip yang
universal. Nilai, norma dan kesamaan prinsip yang universal dalam hal
ini dapat dilihat sebagai jembatan yang mempertemukan perbedaan di
antara kelompok-kelompok yang berbeda, untuk berjuang mencapai
tujuan bersama, dalam wujud tindakan imbal-balik W oolcock (1998a;
Ahmad.et.al, 2012; Hasbullah,2006).
Sedangkan yang dimaksud dengan linking social capital (modal
sosial menghubungkan) menunjuk pada hubungan antara orang-orang
yang berada di luar lingkungan dan kondisi yang berbeda. Sehingga
mereka dapat mengakses sumberdaya yang ada di masyarakat. Inti dari
kapital sosial ialah pada, persepsi, perilaku individu, kepercayaan dan
hubungan dengan kelompok etnis, organisasi pemerintah atau
nonpemerintah Grootaert, C., Narayan, D., Jones, V. N., & W oolcock,
M . (2003; Ahmad.et.al, 2012).
Jelas terlihat bahwa masing-masing para ahli berbeda dalam
merumuskan konsep social capital (kapital sosial), namun secara umum
semuanya memberikan perhatian yang sama pada unsur-unsur
pembentuk struktur sosial seperti nilai-norma, jejaring, trust, dan
resiprocity (Hasbullah,2006; Lawang, 2005).
29
Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
Selain dapat diartikan sebagai sumber (resource) kemampuan
(ability) Fukuyama (1995) yang bersifat produktif, social capital juga
merupakan produk yang dihasilkan dari relasi antar manusia. Karena
itu kapital sosial berbeda dari kapital lain contohnya kapital finasial.
Sebagai yang diciptakan, kapital sosial akan semakin bertambah dengan
sendirinya (self-reinforcing) apabila terjaga dan terus dipergunakan,
justru kalau tidak dipergunakan social capital tersebut akan rusak
(Putnam,1993). Lain halnya dengan kapital finasial, jika terus
dieksplotasi akan berkurang dan tak menutup kemungkinan akan habis
Nancy Foote (Paper, tidak ada tahun. p.16).
Kapital sosial bukanlah milik pribadi melainkan kolektif,
karena itu membutuhkan komitmen dan kerjasama kedua belah pihak
untuk membangun dan mempertahankannya. Social capital tidak
terletak dalam aktor melainkan dalam hubungan antara aktor. Karena
itu tidak ada aktor yang memiliki hak eksklusif terhadap kapital sosial.
(Coleman, 1988; Alder and W oo Kwon, 2000).
M anusia dengan segala aktifitasnya, hampir tak terhindarkan
bersentuhan atau membutuhkan orang lain, baik internal komunitas
seperti keluarga, suku, agama atau dalam lingkup yang lebih besar
sebagai suatu bangsa – antar bangsa.
Inti dari social capital adalah relasi dan manfaat yang
ditimbulkan bagi manusia dengan berbagai perbedaan dan kesamaan
yang dimiliki untuk pencapaian suatu tujuan. Dalam pengertian ini
aspek penting dari social capital adalah network (jejaring), trust
(kepercayaan) norma, dan tindakan imbal balik.
Implisit makna dari analogi jejaring (network) lebih menunjuk
pada aktifitas, yakni hubungan-hubungan yang terjalin dalam suatu
ikatan kerja sama yang dimungkinkan karena adanya kepercayaan,
yang timbul akibat tindakan imbal balik (Lawang, 2005). Lebih lanjut
Lawang menekankan bahwa, melalui jejaring orang dapat saling tukar
informasi, menolong dan terlebih sebagai sumber pengetahuan, inilah
fungsi jejaring.
30
R umahTanggadanPemenuhanK ebutuhanH idup,K ewirausahaan,J ejaring,…
Dalam hal yang terakhir disebutkan terdapat kesamaan dengan
apa yang dikemukakan Jacqueline Vel (2010), tentang adanya
kontribusi jaringan. M enurut Vel, jaringan merupakan bentuk
orientasi yang sengaja dibangun oleh para individu. Dalam
penelitiannya terhadap eksistensi kehidupan orang Lawonda di Sumba.
M elalui penelitian itu Vel menemukan bahwa melalui jaringan itulah
memungkinkan orang Lawonda memenuhi kebutuhan yang tidak
dapat dipenuhi sendiri, baik ekonomi, konsumtif, atau informasi.
Selain jejaring, trust merupakan pengikat interaksi, yang
terpelihara dalam tindakan imbal balik untuk saling menolong, dan
inilah yang menjadi norma bersama dalam keseharian masyarakat
Lawonda.
Sedangkan oleh Fukuyama (2002) jaringan dilihat sebagai
hubungan moral kepercayaan. Karena itu menurutnya jaringan adalah :
“Sekelompok agen-agen individual yang berbagai normanorma atau nilai-nilai informal melampaui nilai-nilai atau
norma-norma yang penting untuk transaksi-transaksi pasar
biasa”
Artinya bahwa, pertukaran yang terjadi pada mereka yang
memiliki jejaring dan norma atau nilai informal, cenderung tidak
mengedepankan kalkulasi keuntungan, melainkan merasakan
keterlibatan dalam suatu hubungan timbal balik menjadi utama.
M eskipun tak berarti sama sekali nihil cost benefit (Fukuyama, 2002).
Dalam prespektif jejaring bisa dikatakan bahwa trust
merupakan dasar dan pelumas yang memungkinkan jejaring dapat
berfungsi dengan baik Hasbullah (2006 :11).
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa, jejaring adalah relasi
timbal-balik yang dibangun secara sadar antar individu, untuk tujuan
tertentu, dan tidak bebas nilai.
Sebagai barang publik, kapital sosial bukan untuk dimiliki,
melainkan diupayakan untuk tetap ada dalam riilnya suatu hubungan.
Jejaring, nilai, norma dan trust baru dapat terlihat ada apabila
terwujud dalam hubungan timbal-balik, baik antar individu atau
komunitas, yang memungkinkan tercapainya tujuan bersama.
31