Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku D 902008102 BAB II

Bab Dua

Integrasi Sosial, Konflik Sosial,
dan Modal Sosial: Kajian Pustaka

Pengantar
Pada bab ini, digunakan beberapa perspektif teoritis untuk
memahami realitas sosial yang dipelajari. Ada tiga konsep besar yang
digunakan dalam penelitian ini, yakni; integrasi sosial, konflik sosial
dan modal sosial.
Ketiga konsep 1 tersebut merupakan pintu masuk untuk menjelaskan realitas reintegrasi sosial pasca konflik dalam kehidupan suatu
masyarakat. Reintegrasi sosial dalam konteks ini merupakan proses
berintegrasinya kembali kelompok-kelompok berbeda agama yang
pernah terlibat dalam konflik sosial.

Integrasi Sosial
Sekalipun dalam bentuknya yang klasik, sosiologi Emile
Durkheim terlalu memberi tekanan pada struktur dan mengabaikan
individu sebagai pelaku kebudayaan, namun patut diakui bahwa
sumbangan teorinya dinilai oleh penulis masih relevan untuk menjelaskan dinamika reintegrasi sosial dalam kehidupan satu masyarakat
pasca konflik, saat ini.

1Dalam konsep Integrasi dan Konflik sosial, ada konsep-konsep penting yang digunakan untuk menjelaskan kedua konsep tersebut.

9

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

Dengan menggunakan analogi organik, masyarakat dipahami
oleh Durkheim terdiri dari bagian-bagian yang terintegrasi dan saling
tergantung [Jones, 2010]. Ada empat pilar yang menjadi perhatian
Durkheim [the sacred, klasifikasi, ritus, dan ikatan solidaritas], the
sacred adalah poros utama yang mencakup seluruh dinamika
masyarakat. “Yang keramat” merupakan ikatan primordial masyarakat
yang mempersatukan. Ketika melakukan analisis terhadap sosiologi
Durkheim, Supriyono mengatakan bahwa dalam masyarakat selalu ada
nilai-nilai yang disakralkan atau disucikan. Nilai-nilai yang disepakati,
atau the sacred itu, berperan untuk menjaga keutuhan dan ikatan sosial
sebuah masyarakat serta secara normatif mengendalikan gerak
dinamika masyarakat tersebut [Sutrisno et.al. 2005]. Durkheim sangat
tertarik dengan cara di mana solidaritas terbentuk, dengan kata lain,
cara-cara masyarakat bertahan dan bagaimana anggotanya melihat diri

mereka sebagai bagian yang utuh. Atas dasar itu, ia membagi dua tipe
solidaritas, mekanis dan organis. Masyarakat yang ditandai oleh
solidaritas mekanis menjadi satu dan padu karena semua orang adalah
generalis [Ritzer at.el. 2008]. Ikatan dalam masyarakat seperti ini
terjadi karena mereka terlibat dalam aktivitas yang sama dan memiliki
tanggung jawab yang sama. Sebaliknya, masyarakat yang ditandai oleh
solidaritas organis bertahan bersama justru dengan perbedaan yang ada
di dalamnya, dengan fakta bahwa semua orang memiliki pekerjaan dan
tanggung jawab yang berbeda-beda 2.
Supriyono mengatakan bahwa, sebenarnya, ketika membicarakan klasifikasi [the sacred and the profane], kita sudah menyentuh satu
bagian solidaritas yaitu solidaritas terluka. Kejahatan dalam sebuah
masyarakat dirasakan sebagai luka bagi seluruh anggota masyarakat
tersebut. Solidaritas yang terluka diakibatkan karena terjadinya
pelanggaran terhadap the sacred [Sutrisno et.al. 2005]. Edward Shils
mencoba menjawab pertanyaan: “bagaimana orang dengan berbagai
latar belakang yang berbeda dapat hidup bersama dalam masyarakat”?
Jawabannya karena sacred center merupakan unsur yang menyatukan.
Sacred center adalah fokus identitas kolektif masyarakat. The sacred
2


Untuk membandingkan dengan teori evolusi Spencer, lihat Perrin [1995].

10

Integrasi Sosial, Konflik Sosial, dan Modal Sosial: Kajian Pustaka

adalah sumber solidaritas masyarakat.The sacred dapat dilembagakan
dalam agama, 3 merupakan dimensi yang menjangkau secara luas
pengalaman manusia. Dimensi religius masyarakat berinteraksi dalam
kehidupan sosial dalam porsi yang cukup besar. Gejala-gejala sosial
sering ditafsirkan dengan perspektif religius. Oleh karena itu, masyarakat akan berpaling pada agama untuk mencari jawaban atas kompleksitas sosial yang rumit. Semakin permasalahan itu fundamental
dalam hidup sosial, semakin agama dengan mudah ditemukan. Artinya,
agama menemukan makna aktualnya dalam interaksi dalam pergulatan
masyarakat [Sutrisno et. al. 2005]. Agama menurut Durkheim,
merupakan representasi kolektif masyarakat [Hamilton, 1995]. Dengan
demikian, menjadi jelas bagi kita bahwa agama dapat menjadi ikatan
solidaritas masyarakat. Smith [2001] mengatakan bahwa, agama dalam
pengertian luas dapat ditemukan dalam setiap kelompok. Selain agama
wahyu, kita bisa menemukan aneka agama sipil. Agama sipil cenderung tidak melembaga dan dalam rumusan doktrin lebih absurd,
memiliki orang kudus sendiri, memiliki nilai-nilai hidupnya sendiri

dan dihayati masyarakat.
Durkheim mengatakan bahwa masyarakat primitif memiliki
kesadaran kolektif yang lebih kuat, yaitu pemahaman, norma dan
kepercayaan bersama. Kesadaran kolektif kurang signifikan dalam
masyarakat yang ditopang oleh solidaritas organis daripada masyarakat
yang ditopang oleh solidaritas mekanis. Masyarakat modern lebih
mungkin bertahan dengan pembagian kerja dan membutuhkan fungsifungsi yang dimiliki orang lain daripada bertahan dengan kesadaran
kolektif bersama dan kuat [Ritzer at.el. 2008].
Giddens [1972] memberikan pemaknaan terhadap realitas tersebut dengan mengatakan bahwa kesadaran kolektif dalam dua tipe
masyarakat tersebut memiliki empat dimensi; volume, kekuatan,
3Yang secara sosiologis disebut agama tidak hanya merujuk pada agama wahyu atau
agama-agama mondial. Agama di sini dapat saja berupa keyakinan yang dihasilkan oleh
masyarakat dan menjadi acuan fundamental masyarakat tersebut. Bagi Durkheim,
agama dan masyarakat tidak bisa dipisahkan, bahkan keduanya saling membutuhkan
satu sama lain. Lihat Daniel L Pals, Dekonstruksi Kebenaran, Kritik Tujuh Agama
[terjemahan dari Seven Theories of Religion]. Yogyakarta: Ircisod, 2001.

11

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku


kejelasan, dan isi. Volume adalah sejumlah orang yang diikat bersama
oleh suatu kesadaran kolektif; Kekuatan adalah bagaimana sebenarnya
individu merasakan kesadaran kolektif tersebut; Kejelasan adalah
bagaimana semua itu didefinisikan dengan jelas; dan Isi adalah bentuk
yang dihasilkan oleh kesadaran kolektif di dalam kedua tipe masyarakat. Giddens percaya bahwa di dalam masyarakat yang dibentuk oleh
solidaritas mekanis, kesadaran kolektif melingkupi seluruh masyarakat
dan seluruh anggotanya; dia sangat diyakini, sangat rigid; dan isinya
sangat bersifat religius. Sementara dalam masyarakat yang memiliki
solidaritas organis, kesadaran kolektif dibatasi pada sebagian kelompok;
tidak dirasakan terlalu mengikat; kurang rigid dan isinya adalah
kepentingan individu yang lebih tinggi daripada pedoman moral
[Ritzer at.el. 2008].
Hemat penulis, realitas ini didasarkan pada pemikiran sosiologis
di mana tindakan individu yang bersifat diskursif (disciursive
conscioeness) dan kesadaran praktis ditunjukkannya dalam tindakannya sehari-hari 4. Itu berarti, konsekuensi yang diharapkan maupun
tidak diharapkan akan muncul sebagai implikasi pilihannya (individu)
untuk bertindak berdasarkan keputusannya sendiri, sebab individu
bebas menentukan tindakannya 5; dan oleh sebab itu self-determination
merupakan salah satu indikator dari manusia sebagai subjek yang


4 Tindakan individu bukan disebabkan oleh beberapa ”kekuatan dari luar” (seperti yang
dimaksudkan oleh kaum fungsionalis struktural), tidak pula disebabkan oleh ”kekuatan
dari dalam” (seperti yang dinyatakan oleh kaum reduksionis-psikhologis). Manusia
dapat berinisiatif melakukan tindakan, tanpa harus menunggu datangnya ransangan
dari luar yang mendorong mereka bertindak. Tindakan individu bertujuan, untuk
mewujudkan apa yang ada dalam pikirannya. Ini adalah individu yang sadar dan refleksif, yang menyatukan objek-objek yang diketahuinya melalui proses self-indication,
di mana individu mengetahui sesuatu, menilai, memberi makna dan memutuskan
untuk bertindak berdasarkan makna tersebut. Proses self-indication ini terjadi dalam
konteks sosial di mana individu mencoba mengantisipasi tindakan-tindakan orang lain
dan menyesuaikan tindakannya sebagaimana ia menafsirkan tindakan itu (Blumer,
1969: 80-81; Charon , 1998).
5 Konsekuensi Giddens berbeda dengan konsep fungsionalisme Merton yang melihat
konsekuensi-konsekuensi yang tidak diharapkan muncul sebagai hasil dari operasionalisasi sistem sosial, dimana konsekuensi yang muncul dari keputusan subjek
merupakan konsekuensi fungsional akibat peran dan status yang disandangnya (Craib,
1992:36).

12

Integrasi Sosial, Konflik Sosial, dan Modal Sosial: Kajian Pustaka


memiliki kebebasan dalam hidupnya 6. Itulah sebabnya, dalam interaksi
sosial, individu menjadikan ”ruang” sebagai latar, dan ”waktu” sebagai
aliran peristiwa untuk mencapai stabilisasi7; seperti yang diyakini Sen 8
bahwa, mengidentifikasi diri dengan pihak lain bisa menjadi hal yang
sangat penting untuk hidup bermasyarakat.
Pada bagian lain, Jurgen Habermas [1994] menggunakan konsep
“dunia-kehidupan” sebagai pintu masuk ketika ia merumuskan teori
integrasi sosial dan integrasi sistem. Menurut Bowring [1996], secara
umum, konsep ini [dunia-kehidupan] berasal dari sosiologi fenomenologis, dan secara khusus dari teori Alfred Schutz. Namun tafsiran
Habermas atas gagasan George Herbert Mead pun juga turut berperan
bagi pemahaman tentang ‘dunia-kehidupan’. Habermas memadukan
gagasannya dengan gagasan-gagasan berbagai teoritisi sosiologi, terutama dari Marx, Weber dan teori tindakan sebagai unsur utama
perspektifnya [Jones, 2010].
Dari Marx, ia menggunakan ekuivalen dari pembedaan basis/
suprastruktur. Jadi, ia membagi eksistensi sosial menjadi dua dimensi –
sistem sosial [social system] dan dunia kehidupan [life-world]. Sistem
sosial adalah dunia di mana segala sesuatu dibuat, dan di mana
fenomena struktural mempengaruhinya, sedangkan dunia kehidupan
adalah dimensi tindakan dan makna [Jones, 2010]. Bagi Habermas,

‘dunia-kehidupan’ merepresentasikan perspektif internal, sementara
sistem merepresentasikan sudut pandang eksternal. “Masyarakat dilihatnya sebagai sistem yang harus memenuhi syarat bagi terpeliharanya
dunia-kehidupan sosiokultural. Masyarakat yang terformula adalah
kompleks tindakan dari kelompok-kelompok yang terintegrasi secara
6 Lihat Anthony Giddens, (1984) “The Constitution of Society”, juga Daniel Ross dalam
Peter BeilhARz: “Social Theory” (Australia: Allen & Unwin Pty. Ltd, 1991) hal. 124125.
7Anthony Giddens, “Modernity and Self-Identity”; Canbridge Polity Press 1991;
menyatakan bahwa didalam ruang dan waktu, individu mampu berpikir dan mengenal
identitas dirinya sebagai sebuah proyek diri (self-identity as a project) dan individu
akan berusaha untuk menyusun lintasan biografi dirinya dari masa lalu ke masa depan
yang telah diantisipasinya (lihat juga Sutrisno, 2007, ”Cultural Studies”).
8Amartya Sen “Kekerasan dan Ilusi Tentang Identitas”, Cetakan Pertama 2007, Penerbit, PT Buku Kita, Jakarta.

13

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

sosial. Dalam pandangan Ritzer, Habermas menyebut kedua strategi
konseptual tersebut [dunia-kehidupan dan sistem] dengan integrasi
sosial dan integrasi sistem [Ritzer at.el. 2008]. Perspektif integrasi sosial

Habermas [1987] terfokus pada ‘dunia-kehidupan’ dan bagaimana
sistem tindakan terintegrasi melalui konsensus yang dijamin secara
normatif atau pun melalui konsensus yang dicapai secara komunikatif.
Sedangkan perspektif integrasi sistem lebih berfokus pada sistem dan
bagaimana dia dapat terintegrasi melalui kontrol eksternal atas keputusan individu yang tidak terkoordinasi secara subjektif.
Dari Weber, ia melihat arti penting modernitas dalam hal
munculnya rasionalitas sebagai landasan bagi tindakan. Seperti Weber,
Habermas membedakan dua tipe tindakan rasional – rasionalitas
instrumental [tindakan yang berorientasi pada pencapaian efisiensi
dalam kehidupan manusia], dan rasionalitas berorientasi nilai [penggunaan akal sehat untuk membedakan benar dan salah]. Bagi Weber,
modernitas itu tidak sekedar kemenangan rasionalitas, melainkan
rasionalitas instrumental. Kita dapat menggunakan pikiran atau akal
sehat untuk berpikir tentang bagaimana seharusnya kita hidup di
samping menggunakannya untuk menghitung bagaimana agar efisien.
Habermas tidak setuju. Ia sependapat dalam pengunaan akal sehat
[nalar] yang dikonsepsikan Weber, ia memandang potensi yang kaya
untuk menggunakan nalar demi kepentingan mencapai tujuan yang
lebih mulia – yakni untuk memberikan kemampuan kepada kita untuk
berbuat baik dan menjadi baik [Jones, 2010].
Robert Merton [Sztompka, 2000; Tiryakian, 1991] mengkritik

apa yang dilihatnya sebagai tiga postulat dasar dari analisis fungsional
sebagaimana dikembangkan oleh antropolog seperti Malinowski dan
Radcliffe Brown. Yang pertama, adalah postulat kesatuan fungsional
masyarakat. Postulat ini menyatakan bahwa seluruh kepercayaan dan
praktik sosial budaya standar bersifat fungsional bagi masyarakat secara
keseluruhan maupun bagi individu dalam masyarakat. Pandangan ini
mengandung arti bahwa berbagai bagian sistem sosial pasti menunjukkan tingginya level integrasi. Namun, Merton berpandangan bahwa
meskipun hal ini berlaku bagi masyarakat kecil dan primitif, generali-

14

Integrasi Sosial, Konflik Sosial, dan Modal Sosial: Kajian Pustaka

sasi ini dapat diperluas pada masyarakat yang lebih besar dan lebih
kompleks.
Fungsionalisme universal adalah postulat kedua. Jadi, dinyatakan
bahwa semua bentuk dan struktur sosial memiliki fungsi positif.
Merton berpendapat bahwa ini bertentangan dengan apa yang kita
temukan di dunia nyata. Jelas bahwa tidak setiap struktur, adat istiadat,
gagasan, keyakinan, nilai, dan sebagainya, memiliki fungsi positif. Yang

ketiga adalah postulat indispensabilitas. Argumennya adalah bahwa
seluruh aspek standar masyarakat tidak hanya memiliki fungsi positif
namun juga merepresentasikan bagian-bagian tak terpisahkan dari keseluruhan. Postulat ini mengarah pada gagasan bahwa seluruh struktur
dan fungsi secara fungsional diperlukan oleh masyarakat [Ritzer at.el.
2008].
Apabila konsep solidaritas, kesadaran kolektif dan integrasi
seperti yang telah dijelaskan di atas diletakkan dalam dinamika suatu
masyarakat pasca konlik, khususnya bagaimana individu masingmasing kelompok merespons perubahan-perubahan sosial yang terjadi,
maka sudah tentu mereka memiliki mekanisme tersendiri dalam
merespons realitas masalah akibat perubahan lingkungan. Hal ini dilakukan masyarakat sebagai reaksi terhadap realitas yang dijumpai untuk
menunjukkan potensi dan kapasitas mereka dalam mengelola masalah
yang dihadapinya.
Hasil studi sosiologik yang dilakukan W.A. Shadid [1984] misalnya, menggambarkan bagaimana para pekerja Maroko yang bekerja di
negeri Belanda mewujudkan integrasi sosial, untuk mengekspresikan
pengalaman empirik mereka yang hidup dalam suasana terpolarisasi,
tetapi mereka memiliki harapan untuk membangun kehidupan yang
terintegrasi dengan orang Belanda. Harapan-harapan inilah, yang menjadi dasar bagi kesadaran mereka untuk senantiasa menjalin hubungan
interaksional dalam berbagai konteks hubungan sosial, sekalipun ditemui adanya resistensi dari sebagian kecil masyarakat Belanda terhadap
mereka. Sikap resistensi inilah yang dikemas dalam berbagai tingkah

15

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

laku 9 sebagai cara untuk merendahkan, menyindir, bahkan menolak.
Pada hal, dorongan bagi keberagaman budaya jelas memberi banyak
sumbangan bagi kehidupan masyarakat, dengan syarat bahwa orang
memiliki kebebasan seluas-luasnya untuk memilih praktik kebudayaannya [Seen, 2006].
Seen (2006) menggaris-bawahi penting kiranya untuk memberikan perhatian khusus pada pengalaman Inggris yang dinilainya berada
di garis depan dalam mendukung multikulturalisme inklusif. Ada
keberhasilahn dan ada kendalanya, sebagaimana terjadi juga di negaranegara Eropa lainnya serta Amerika Serikat 10. Pada tahun 1981,
Inggeris mengalami kerusuhan rasial di London dan Liverpool (kendati
tidak seheboh seperti yang terjadi di Perancis pada musim gugur tahun
2005), dan hal ini membuahkan upaya lebih lanjut menuju ”integrasi”.
Dalam pandangan Sen, proses integrasi di Inggris banyak ditopang oleh
dua hal; pertama, fakta bahwa semua penduduk Inggeris (yang berasal
dari negara-negara persemakmuran) langsung memiliki hak suara,
bahkan tanpa perlu memiliki kewarganegaraan Inggris; kedua, proses
integrasi tertolong oleh perlakuan non-diskriminasi dalam layanan
publik (pendidikan, kesehatan, dan jaminan sosial).
Kedua kasus tersebut menunjukkan bahwa; pertama, untuk
menjaga dan memelihara integrasi sosial yang telah dicapai dalam
berbagai aspek kehidupan satu masyarakat, maka intervensi peran
negara sangat diperlukan, karena salah satu peran dari negara adalah
kemampuannya untuk menciptakan dan menegakkan hukum dan
kebijakan-kebijakan11, untuk menjaga keteraturan dalam masyarakat.
Sebab, jika kehadiran negara tidak meningkatkan kebebasan bagi
masyarakat (Sen: 2006), justru mengakibatkan peran negara dalam
pembangunan kurang terasa; kedua, kebutuhan akan rasa ”aman”
Dalam perspektif analogikal yang biasanya digunakan dalam psikologi gestalt, beranggapan bahwa tingkah laku individu dibentuk karena ada tekanan-tekanan dalam
kelompoknya (Soeprapto: 2002)
10Tentang Masalah yang dipikul bersama antara AS dengan Eropa, baca juga Timothy
Garton Ash, Free World: Why a Crisis of the West Reveals the Oportunity of Our
Time (London: Allen Lane, 2004).
11Tentang peran negara, baca Francis Fukuyama (2005), Memperkuat Negara, PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
9

16

Integrasi Sosial, Konflik Sosial, dan Modal Sosial: Kajian Pustaka

merupakan hal yang sangat didambakan oleh warga masyarakat.
Giddens (1984) memaknai hal ini (kebutuhan akan rasa ”aman”) yang
akan mendorong seseorang untuk bertindak sekaligus mewujudkan
perannya sebagai pelaku integrasi, yang tercermin dari bentuk-bentuk
interaksi sosial dalam kehidupan sehari-hari; ketiga, dimensi ”ruang
dan waktu” ternyata memberikan sumbangan yang besar demi pencapaian proses integrasi sosial dalam kehidupan masyarakat. Sebagaimana
dinyatakan Giddens (1991) bahwa individu memposisikan dirinya
dalam ”ruang” sebagai subjek, bertindak dan menjadikan ruang sebagai
latar, dan ”waktu” sebagai aliran peristiwa dan tindakan dalam proses
menjadi stabilisasi.

Konflik Sosial
Sekalipun konstruksi teori konflik Dahrendorf banyak menuai
kritik oleh sejumlah analis kritis [misalnya Hazelrigg, 1972; J. Turner,
1973; Weingart, 1969] yang menilai teori konflik Dahrendorf tidak
memadai [Ritzer at.el. 2008], namun sumbangan yang diberikannya
telah memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, khususnya sosiologi.
Dahrendorf adalah pencetus pendapat yang mengatakan bahwa
masyarakat memiliki dua wajah [konflik dan konsensus] dan karena
itulah teori sosiologi harus dibagi ke dalam dua bagian; teori konflik
dan teori konsensus [Ritzer at.el. 2008]. Di satu sisi, teoritisi konsensus
harus menelaah integrasi nilai di tengah-tengah masyarakat, sementara
teoritisi konflik harus menelaah konflik kepentingan dan koersi yang
menyatukan masyarakat di bawah tekanan-tekanan tersebut. Di sisi
lain, Ia mengakui bahwa masyarakat tidak mungkin ada tanpa konflik
dan konsensus, yang merupakan prasyarat bagi masing-masing.
Kajian tentang dinamika konflik juga diberikan oleh Kriesberg
[dalam Hadi et.al. 2007] dengan mengelompokkannya dalam dua
perspektif. Perspektif pertama melihat adanya variasi yang beragam
terhadap konflik. Variasi dari suatu konflik dapat dilihat dari
karakteristik pihak yang bertikai, hubungan antar pihak yang bertikai,
konteks sosial konflik, sarana konflik, dan hasil konflik. Perspektif
kedua yang ditawarkan Kriesberg berkaitan dengan sumber-sumber
17

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

konflik. Kriesberg membagi penjelasan teoritik tersebut dalam tiga
kelompok. Kelompok pertama, menekankan perlunya mengkaji faktorfaktor internal, seperti karakter dasar manusia, interaksi sosial dan
sistem sosial. Kelompok kedua cenderung pada konteks sistemik suatu
konflik. Konteks ini yang biasanya dibahas adalah masalah institusibudaya, scarcity, distribusi kekuatan, serta konsistensi dan stabilitas
sistem. Kelompok ketiga, mengkaji karakter dan hubungan antar pihak
yang bertikai. Kelompok ini mencari sumber-sumber konflik dalam
variabel-variabel distribusi kekuatan yang tidak simetris, perbedaan
filosofi kehidupan antar kelompok, dan potensi integrasi kelompok.
Untuk mencari solusi dari dinamika suatu konflik yang spesifik
dilakukan dengan mengidentifikasi faktor penyebab terjadinya konflik.
Levy [1996] misalnya, berupaya untuk menemukan indevendent
variables dari suatu konflik, dengan cara mengkaji sumber-sumber
konflik yang berada dalam empat level analisa, yakni level sistemik,
sosial kemasyarakatan, organisasi birokrasi, dan individual. Berbeda
dengan Levy, Burton tidak dengan segera melakukan identifikasi
faktor-faktor penjelas, namun menawarkan titik-titik navigasi yang
dapat dipakai untuk mencari sebab-sebab dasar [deeprooted] dari
konflik [Hadi et. al. 2007]. Bagi Burton, titik-titik navigasi tersebut
adalah keterkaitan resiprokal antara struktur sosial, institusi sosial, dan
pemenuhan kebutuhan dasar manusia [basic human needs].
• Diferensiasi Sosial
Diferensiasi sosial di satu sisi memang mudah dimanipulasi
hingga melahirkan konflik sosial. Tetapi, di sisi lain adanya diferensiasi
sosial sebenarnya juga tidak berarti akan selalu berubah menjadi
konflik apabila masyarakat mampu mengatur dan mengawalnya.
Konsep perbedaan [difference] dicetuskan pertama kali oleh
Ferdinand de Saussure, kemudian diadopsi oleh Jacques Derrida.
Menurut Lajar, Derrida tidak memakainya begitu saja, melainkan
membuat perubahan yang juga mengubah maknanya [Sutrisno et. al.
2005]. Dengan sentuhan artistiknya, Derrida mengubah “difference”
menjadi “differance”. Ditambahkan bahwa, kata “difference” akar kata18

Integrasi Sosial, Konflik Sosial, dan Modal Sosial: Kajian Pustaka

nya adalah “differ” yang merupakan kata kerja yang berarti “berbeda”
atau “menunda”, tetapi dengan berubah menjadi berakhiran -ance
Derrida membentuk sebuah arti baru. Dengan kata ini [differance]
Derrida menyerang pendapat Huserl bahwa arti terletak dalam
kesadaran pribadi, dan terikat pada konteks serta tidak dapat berdiri
sendiri. Atas dasar itu, Derrida [Sutrisno et. al. 2005] mengatakan
bahwa setiap komunitas mempunyai cara pandang sendiri yang tentu
saja dipengaruhi oleh situasi dan sejarah. Cara pandang yang tidak
terlepas dari jaring situasi serta sejarah lokalitas ini tentu saja akan
menghasilkan makna-makna yang berbeda terhadap suatu teks
[realitas] yang sama.
Hasil studi yang dilakukan oleh Nasikum [1984] dalam Sutanto
dan Sudarso [2010] menemukan bahwa, dalam kehidupan masyarakat
mana pun, struktur sosial yang ada umumnya ditandai oleh dua ciri
yang khas, yakni; pertama, secara vertikal, struktur sosial masyarakat
ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan antar kelas sosial; dan
kedua, secara horisontal, masyarakat ditandai oleh kenyataan adanya
kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan suku bangsa, agama,
ras, adat, profesi serta perbedaan kedaerahan. Terhadap hal ini,
Suyanto dan Sudarso mengatakan bahwa, perbedaan secara vertikal
sebagaimana dikemukakan Nasikum di atas, disebut stratifikasi sosial,
sedangkan perbedaan secara horisontal disebut diferensiasi sosial
[Narwoko, et.al. 2010]. Menurut mereka, secara normatif, di dalam
diferensiasi sosial, memang hak dan kewajiban antara kelompok yang
satu dengan kelompok yang lain relatif sama di mata hukum. Namun,
bagaimana pun harus diakui bahwa di dalam kenyataan yang terjadi,
diferensiasi sosial umumnya selalu tumpang tindih dengan stratifikasi
sosial. Hubungan antar kelompok dalam diferensiasi sosial senantiasa
tidak pernah netral dari dimensi-dimensi stratifikasi sosial.
• Hegemoni
Jika dicermati secara saksama, konsep hegemoni yang dikembangkan oleh Gramsci sebenarnya berusaha untuk mematahkan tesis
utama Marxisme bahwa dominasi kekuasaan tidak selamanya berakar
pada kepentingan ekonomis belaka, melainkan juga karena akar-akar
19

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

kebudayaan dan politis [Sutrisno et.al. 2005]. Konsep hegemoni
Gramsci menunjuk pada semua cara hidup konsumtif di mana ideologi
bekerja mengganggu pandangan dunia seseorang. Hegemoni berarti
ketidakmampuan orang-orang yang memiliki keyakinan tertentu
bahkan untuk yakin bahwa keyakinan mereka sendiri-pada prinsipnya-mampu untuk berbeda. Memandang keyakinan sebagai hegemoni,
artinya penganut meyakini sepenuhnya sehingga keyakinan tersebut
harus selalu dipelihara dengan saksama dan cermat agar senantiasa
menunjukkan eksistensinya supaya keyakinan penganut tidak luntur
[Jones, 2010].
Gramsci berpendapat bahwa Marx benar ketika mengatakan
bahwa perubahan sosial tergantung pada kaum proletar yang memandang dunia sebagaimana adanya. Namun, ia [Marx] keliru ketika
berasumsi bahwa keadaan itu terjadi tanpa tindakan yang hati-hati dan
lambat-laun atas nama kebenaran. Menurut Gramsci, sebelum tindakan
politik diambil untuk meruntuhkan sistem, hegemoni borjuis harus
secara saksama disingkirkan dan dikalahkan. Menghadapi fenomena
seperti ini, Gramski menawarkan adanya blok solidaritas 12 untuk melawan rezim fasis. Mekanismenya adalah menggalang seluas mungkin
munculnya kekuatan intelektual yang memiliki visi dan sikap dalam
mendukung kebebasan [Sutrisno, et. al. 2005].
Berdasarkan konsepsi Gramsci seperti yang dikemukakan di atas,
hemat penulis konsep tersebut lebih menekankan pembentukan
budaya perlawanan ketimbang menentukan isi kebudayaan itu sendiri.
Perspektif Gramsci memang berbeda dengan perspektif sosiolog lainnya [Lukacs, misalnya] yang menekankan kembali ortodoksi Marxisme.
Tetapi kesamaan kedua intelektual ini adalah bahwa analisis mereka
sama-sama menolak pandangan yang naif.

Blok solidaritas ini diarahkan untuk mengimbangi daya hegemoni rezim dengan
melakukan perang posisi [the war of position] dengan tujuan merebut posisi-posisi vital
yang dikuasai oleh rezim

12

20

Integrasi Sosial, Konflik Sosial, dan Modal Sosial: Kajian Pustaka

Modal Sosial
Hasil penelusuran terhadap berbagai referensi untuk menemukan sumbangan para ahli tentang konsep modal sosial, ternyata
dijumpai sangat bervariasi antara ahli yang satu dengan yang lainnya.
Keragaman ini tentu saja dapat dipahami karena adanya perbedaan
perspektif masing-masing ahli dalam memahami konsep tersebut.
Putnam (1993:167) misalnya, modal sosial menunjuk pada bagianbagian dari organisasi sosial seperti kepercayaan, norma dan jejaring,
yang dapat meningkatkan efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi
tindakan-tindakan yang terkoordinasi. Pemaknaan yang hampir sama
diberikan oleh Fukuyama (1995, 1999) yang mengatakan bahwa modal
sosial menunjuk pada serangkaian nilai atau norma informal yang dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerja sama di antara mereka.
Pada bagian lain, Bank Dunia memberikan dua definisi tentang
modal sosial, sebagaimana dikutip oleh Lawang (2005), yakni: pertama,
modal sosial menunjuk pada norma, institusi dan hubungan sosial yang
membentuk kualitas interaksi sosial dalam masyarakat; dan kedua,
modal sosial menunjuk pada norma, institusi dan hubungan sosial yang
memungkinkan orang dapat bekerja sama. Pemaknaan yang sedikit
berbeda dikemukakan oleh Lawang (2005), sebagai semua kekuatan
sosial komunitas yang dikonstruksikan oleh individu atau kelompok
dengan mengacu pada struktur sosial yang menurut penilaian mereka
dapat mencapai tujuan individual dan/atau kelompok secara efisien dan
efektif dengan kapital-kapital lainnya. Ada lima komponen sosiologis
yang terdapat dalam definisi ini, yakni: kekuatan sosial; komunitas;
konstruksi sosial; alat (means); dan komponen terakhir adalah dominan
dalam mengatasi suatu masalah sosial13.
Kekuatan sosial (komponen pertama), menunjuk pada semua mekanisme yang sudah
dan akan dikembangkan oleh suatu komunitas dalam mempertahankan hidupnya.
Yang menyusun kekuatan itu adalah individu atau kelompok dalam kehidupan seharihari yang digunakan untuk mengatasi semua masalah sosial yang dihadapi. Komunitas
(komponen kedua), mengacu pada komunitas mikro, meso dan makro. Kekuatankekuatan sosial sebagai kapital sosial dapat terbatas pada komunitas itu saja yang dilihat
sebagai bounded social capital. Konstruksi sosial (komponen ketiga), artinya melalui
interaksi sosial individu-individu membangun kekuatan sosial (kolektif) bersama untuk

13

21

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

Di satu sisi, konsep modal sosial seperti tersebut di atas mengandung tiga elemen pokok yang terkait satu dengan yang lainnya, yaitu
jejaring, trust, dan norma-norma. Jejaring adalah suatu keterkaitan
kelompok dari orang-orang yang lazim mempunyai atribut sama; dan
dalam konteks ini, maka pada saat yang sama, seseorang dapat menjadi
bagian lebih dari satu jejaring. Sedangkan trust, mengacu pada tingkat
keyakinan bahwa orang lain akan bertindak sebagaimana yang dikatakan, atau yang diharapkan untuk bertindak, atau apa yang dikatakan,
dapat dipercaya. Sementara norma-norma, merupakan pemahaman
bersama, aturan-aturan informal, dan konvensi-konvensi yang menentukan, melarang atau mengatur perilaku-perilaku tertentu dalam berbagai kondisi [Productivity Commission, 2003]. Dengan demikian, interaksi sosial antar individu, individu dengan kelompok atau kelompok
dengan kelompok, merupakan dasar yang sangat penting dalam
kerangka pembentukan jejaring baik tanpa atau dengan closure 14;
inter-aksi mana diatur oleh tatanan norma yang berfungsi untuk
menjamin agar interaksi tersebut berlangsung sesuai dengan apa yang
diharapkan guna mencapai tujuan bersama.
Di sisi lain, konsep modal sosial yang dikemukakan para ahli
sebagaimana tersebut di atas ternyata memiliki perbedaan yang sangat
signifikan antara satu dengan yang lainnya. Hal ini tentu saja dapat
dipahami, karena diduga mereka dilatarbelakangi oleh perspektif
berbeda yang memberikan inspirasi pada saat mereka mengkonstruksikannya. Dua konsep modal sosial yang dikemukakan oleh Bank
Dunia misalnya, secara teoritik formal mungkin tidak ada yang salah,
tetapi jika kita melihat kenyataan bahwa norma, institusi dan hubungan sosial di dalam masyarakat lokal, dewasa ini sedang mengalami
mengatasi masalah sosial yang dihadapi. Dalam membangun kekuatan bersama ini
prinsip kegunaan memegang peran penting, mulai dari yang paling menguntungkan
menurut penilaian individu, sampai dengan yang paling kurang. Dalam konteks ini,
ada kewajiban, norma dan sanksi di dalamnya. Dalam pengertian ini merupakan alat
(komponen keempat) yang dikonstruksikan oleh individu-individu dalam mencapai
tujuan (end) bersama; dan dominan dalam mengatasi suatu masalah (komponen kelima), prinsip sinerji tetap berlaku agar kapital sosial dapat digunakan sebagai kekuatan
sosial untuk mencapai tujuan bersama (Robert M.Z. Lawang 2005: 217-218).
14 Coleman menyebut closure sebagai bagian penting dari relasi-relasi sosial dimana
efektivitas norma tergantung [dalam Dasgupta dan Serageldin, 1999:23-25].

22

Integrasi Sosial, Konflik Sosial, dan Modal Sosial: Kajian Pustaka

proses pelemahan sebagai akibat kuatnya intervensi negara. Di samping
itu, beberapa konsep yang tercermin dari definisinya yang pertama ternyata tidak jelas mengartikan konsep-konsep tersebut yang termasuk
dalam variabel independen (norma, institusi dan hubungan sosial) dan
kualitas interaksi sosial yang termasuk variabel dependen. Menurut
hemat saya, ada fleksibilitas yang dapat diperoleh dari definisi tersebut.
Terhadap kenyataan ini, Lawang [2005] menduga bahwa ada kemungkinan otoritas Bank Dunia dengan sengaja membiarkan konsepkonsepnya tidak terdefinisikan secara jelas, sehingga setiap orang dapat
menerapkannya sendiri konsep-konsep itu dalam konteks lokal.
Jika dicermati secara saksama, definisi-definisi yang dikemukakan para ahli tersebut di atas sangat mengabaikan ”struktur sosial”,
padahal secara sosiologis struktur sosial tidak identik dengan modal
sosial. Robinson sebagaimana dikutip Lawang [2005) menyatakan
bahwa, tanpa struktur sosial, tidak ada modal sosial; tetapi sebaliknya,
bisa ada struktur sosial tanpa modal sosial.

Kesimpulan
Argumentasi teoritis yang telah diuraikan di atas merupakan
pijakan dari konsep-konsep sosiologik yang terdapat pada sintesa.
Keterkaitan antar konsep-konsep tersebut dapat dijadikan titik tolak
untuk menjelaskan dinamika reintegrasi sosial pasca konflik.
Studi ini lebih terfokus pada proses-proses sosial yang muncul
dan berkembang dalam realitas kehidupan sehari-hari pasca konflik
yang diwujudkan oleh dua komunitas pada sejumlah field sehingga
memperlihatkan struktur dan sistem sosial yang sudah dan sedang
muncul, dijadikan dasar untuk merekonstruksikan reintegrasi sosial.

23