Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membangun Usaha Pasca Konflik T2 092010007 BAB V

B ab L i ma
MEMBANGUN USAHA
DI AKEDIRI

Peluang Usaha Dan Potensi Diri

 Peluang Usaha : Dorongan external
 Akediri Sebelum Rusuh
Dari letak geografis, desa ini diapit oleh dua sungai yakni,
sungai Akelamo dibagian utara yang kini menjadi pembatas wilayah
pemerintahan kecamatan Jailolo dengan Sahu Timur, sedangkan di
bagian selatan oleh sungai Akediri. Desa ini terhampar di atas tanah
datar yang luas dan subur di pedalaman Jailolo. Karena itu ketika
Jepang menginjakan kaki di Halmahera khususnya di bagian barat
pulau ini, mereka membangun pangkalan udara sebagai salah satu basis
pertahanan udara pada dekade perang dunia kedua.
Setelah perang usai pangkalan udara ini kemudian dipakai
sebagai penerbangan sipil, namun pada tahun 1954 diambil alih oleh
AURI, kini TNI-AU hingga kini, kisah ini dituturkan oleh M aendels A.
Nayoan 1.
Pada awal terbentuknya desa Akediri tahun 1947, di wilayah

ini selain kampung Akediri terdapat juga suatu perkampunngan
masyarakat suku Tabaru, mereka adalah para pencari hasil hutan yaitu
damar, komunitas ini berasal dari bagian Utara Halmahera Barat.
Karena hasil hutan tersebut makin sulit didapat di wilayah mereka,
akhirnya sekelompok komunitas suku ini migrasi ke arah selatan kini
Halmahera Barat. Dalam perjalanan itulah kemudian mereka menetap
dan membentuk suatu perkampung sendiri yang diberinama kampung
Tobolot, komunitas ini dipimpin oleh salah seorang ‘Nyira’2.

Maendels A. Nayoan, adalah purnawirawan AURI, yang ditugaskan pada tahun 1974
untuk mendampingi tim pengukuran lokasi bandara Kuripasai di Akediri, I a pensiun
dari AURI pada tahun 1977, dan baru menetap di Akediri pada tahun 1980. I a
diwawancarai pada 9 Desember 2012.
2 ‘Nyira’ adalah sebutan lokal yang menunjuk pada jabatan sebagai kepala ‘kampong’
atau kepala desa.

1

Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat


Tetapi pada tahun 1959 komunitas pengumpul hasil hutan ini
meninggalkan Akediri dan kembali ke daerah asalnya di bagian Utara
Halmahera, kisah ini dituturkan oleh Roy Bermula3 sekertaris desa
Akediri.
M asih tentang Akediri, pada tahun 1957 pemerintah
membangun satu markas militer angkatan darat setingkat kompi yakni
Kompi ‘A’ Yonif 732 Banau, asrama ini baru dihuni pada tahun 1960.
Berselang enam belas tahun kemudian pemerintah kembali
membangun satu markas militer angkatan darat lagi tepatnya tahun
1976, dan baru pada 1978 di tempati oleh para serdadu, Kesatuan ini
adalah Kompi ‘B’ Yonif 732 Banau yang dipindahkan dari pulau Bacan
salah satu pulau di selatan Halmahera.
Dalam perkembangan kemudian tepatnya pada tahun 1982
Kompi ‘A’ di pindahkan dari Akediri ke desa Akelamo kecamatan
Sahu, setelah markas yang baru untuk mereka selesai dibangun.
Namun sebagian serdadu dari satuan itu masih menetap di markas tua
mereka di Akediri dan itu berjalan hingga kini.
Dengan dibangunnya dua markas militer angkatan darat
termasuk perumahan untuk para personil AURI di Akediri, lambat

laun menempatkan desa ini tidak hanya sebagai tempat persinggahan
ketika bertugas, tetapi ada juga yang kemudian memilih untuk
menetap setelah pensiun dari tugas-tugas sipil maupun kemiliterannya.
Kondisi demikian menjadikan desa ini sebagai desa yang plural, baik
suku agama maupun profesinya juga beragam.
M enurut M arthen Tuli 4 kepala desa Akediri, awalnya desa ini
dihuni oleh komunitas adat suku Sahu, tetapi lambat laun telah
menjadi tempat persinggahan dan perteduhan orang-orang dari
berbagai suku diantaranya, suku Sangir, M anado, Ambon, W ayoli,
Tabaru, Loloda, Jawa, Gorontalo, maupun suku Buton.
M ereka ini terdiri dari berbagai latar belakang pekerjaan
maupun agamanya. Selain komunitas suku Tabaru, secara masal
3

Roy Bermula, adalah Sekert aris desa Akediri, yang bersangkut an di wawancarai pada,
10 Desember 2012.

4

W awancara dengan Marthen Tuli pada, 1 November 2012.


88

M embangunU sahadi A kediri

perpindahan suatu komunitas suku ke desa ini terjadi pada tahun 1976,
mereka itu adalah komunitas suku M akian yang hingga kini menetap
dan beranak-pinak di Akediri. Komunitas suku lain yang cukup
menonjol tidak hanya karena jumlahnya, melainkan kumpulan mereka
yang terkonsentrasi pada salah satu Rukun Tetangga (RT) tenar
disebut kampung sanger, hal ini indentik dengan suku yang mendiami
wilayah pemerintahan tersebut, tegas Roy Bermula (W awancara, 10
Desember 2012).
M elihat pluralitas suku dari penduduk yang ada di Akediri, hal
itu berimplikasi pada ragamnya perkerjaan yang digeluti, termasuk
aliran-aliran agama yang dianut. M enurut Roy Bermula, jumlah
penduduk desa Akediri sebelum konflik terjadi, tercatat sebanyak
1648 jiwa yang terdiri dari 307 kepala keluarga (W awancara,10
Desember 2012). Dengan jumlah penduduk yang ada, desa ini
kemudian diorganisir ke dalam 10 Rukun Tetangga (RT).

Dari jumlah penduduk yang ada, terdapat satu Kompi militer
TNI-AD yakni Kompi ‘B’ kini menjadi Kompi Bantuan, dan sebagian
anggota kompi ‘A’ yang markas komandonya berada di Akelamo
kecamatan Sahu yang kini berrubah menjadi Kompi ‘B’. Di sini juga
terdapat purnawirawan sipil dan militer AURI (TNI-AU), TNI-AD, dan
juga terdapat anggota POLRI, Pegawai Negeri Sipil, swata, wirausaha,
dan petani.
Hasil pertanian yang utama dari desa ini adalah, kopra (kelapa
asap), jagung, pala, kakao, dan cengkih. Sumber-sumber daya pertanian
inilah yang menggerakan dan menghidupi perekonomian rumah
tangga para petani di Akediri. Hal yang lazim ditemukan pada petani di
Halmahera, termasuk petani di Akediri ialah, mereka tidak tunggal
sebagai petani, tetapi ada juga yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan
lain sebagai kegiatan sela ketika menunggu waktu panen, seperti
menjadi tukang batu, atau tukang kayu.
Sebagai pegawai swasta ada yang bekerja pada bidang
konstruksi bangunan baik pada CV atau PT lokal yang ada Sidangoli
Jailolo Selatan Kabupaten M aluku Utara. Sedangkan sebagai wirausaha
bidang usaha yang kerap dilakoni adalah menjadi pedagang kecil yang
89


Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat

menjajakan sejumlah kebutuhan pokok, seperti om Yon Flory, di
samping itu Ia juga sebagai pengumpul hasil-hasil pertanian seperti
kopra, pala, kakao, dan juga cengkih, dengkan kata lain sebagai folentir
dari para pemilik modal.
Selain kelompok-kelompok profesi yang telah disebutkan di
atas, salah satu kegiatan berdagang yang juga menjadi aktifitas
sebagian warga desa Akediri, mereka ini disebut “dibo-dibo5”. Dibodibo adalah istilah lokal yang menunjuk pada profesi sesorang sebagai
pembeli dan penjual hasil-hasil kebun para petani seperti, pisang, ubiubian, sayur, cabai, tomat, maupun buah-buahan. Kelompok ini
memiliki pasar yang luas, baik di Jailolo maupun ke Ternate, atau
kewilayah-wilayah lain di Halmahera tergantung komoditi yang mau
dipasarkan.
Seperti halnya pekerjaan, agama yang dianut penduduk
Akediri, oleh M arthen Tuli (W awancara, 1 November 2012) dan Roy
Bermula (W awancara, 10 Desember 2012), umumnya dikelompokan ke
dalam dua golongan kepercayaan yakni musli dan kristen. Dari dua
Kelompok ini, komunitas kristen lebih tinggi heterogenitasnya

diantaranya, Kristen Protestan, Kristen Roma Katolik, Advent, Yehova,
maupun kelompok Kristen Karismatik. Lanjut mereka berdua, dari
jumlah penduduk yang ada prosentase kedua komunitas adalah sebagai
berikut, untuk kelompok muslim 35 % dan komunitas nasrani 65 %,
dari 1648 jiwa penduduk Akediri sebelum kerusuhan terjadi.

 Akediri Paska Rusuh

Ketika konflik melanda semua desa-desa di Jailolo dan hampir
meluas ke seluruh wilayah di Halmahera, hal itu memicu terjadinya
perpindahan penduduk secara besar-besaran. Umumnya para
pengungsi bemigrasi ke daerah yang dikuasai oleh golongan mereka.
Situasi ini tidak terkecuali terjadi di Jailolo.

Dibo-dibo adalah istilah lokal, yang menunjuk pada profesi seseorang sebagai pembeli
dan penjual berbagai hasil-hasil pertanian, seperti sayur, cabai, tomat, buah-buahan,
pisang, maupun ubi-ubian ke pasar tradisional, baik di Jailolo maupun ke Ternate atau
ke wilayah lain di Halmahera.

5


90

M embangunU sahadi A kediri

Bagi komunitas muslim, mereka condong memilih wilayah
pesisir pantai, karena desa-desa di wilayah ini lebih banyak dikuasai
oleh penduduk yang beragama muslim, sehingga warga muslim yang
berada di desa-desa pedalaman berbondong-bondong mengungsi ke
wilayah tersebut, tetapi ada juga yang melanjutkan perjalanan ke
Ternate maupun pulau-pulau lain yang penduduknya seagama dengan
mereka.
Sebaliknya warga nasrani Jailolo yang ada di desa-desa pantai,
memilih untuk mengungsi ke desa-desa bukan pantai yang dikuasai
oleh saudara-saudara mereka yang seiman. Dari percakapan dengan
para informan, tujuan pengungsian yang utama bagi warga nasrani dan
sebagian warga muslim Jailolo, khususnya desa Akediri dan Acango
mereka lebih memilih mengungsi ke markas militer yang ada di desa
Akediri. Selain markas militer di Akediri, para pengungsi juga
berlindung di tangsi para serdadu yang berada di desa Akelamo

kecamatan Sahu timur yakni, Kompi ‘A’ Yon 732 Banau kala itu.
M enurut Roni M uluwere (W awancara,7 Desember 2012)
jumlah pengungsi yang tercatat baik yang ada di dalam tangsi militer
maupun yang ada disekitar permukiman penduduk desa Akediri
semuanya berjumlah 13 ribu jiwa, jumlah ini terdiri dari dua golongan
kepercayaan yakni kristen sebanyak 90 % dan muslim 10 %.
M enyadari jumlah pengungsi yang demikian banyak di desa Akediri,
oleh sebagian orang dilihat sebagi potensi untuk membangun usaha,
sekalipun disadari memiliki resiko yang cukup tinggi, sebab konflik
dapat saja terjadi.
Setelah terjadi pemulangan pengungsi sejak tahun 2002, ada
yang memilih untuk menetap di Akediri sehingga jumlah penduduk
saat ini telah mencapai 2000 jiwa yang terdiri dari 400 kepala keluarga
tutur Roy Bermula sekertaris desa Akediri (W awancara,10 Desember
2012).
Dari tujuh orang pedagang kecil yang diwawancarai, empat
orang diantaranya merupakan saksi sejarah dan sekaligus korban dari

91


Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat

onflik Jailolo, mereka itu adalah om Samuel Flory, ‘bu’6 Damis Pasuma,
Ibu Rohani M . Ahmad dan tante Ratna. Sedangkan tiga orang lainya
menetap dan membangun usaha di Akediri paska konflik. Ketiga orang
itu adalah om Ibrahim, Alimin Sabri, dan Ibu Safiani Ode.
M enarik apa yang dituturkan oleh om Yon, begitu sapaan akrab
untuk om Samuel Flory7. M enurutnya, Ia membangun usaha di Akediri
sudah sejak dari tahun 1986, sebagai warga masyarakat om Yon tercatat
sebagai warga desa Tedeng dan menetap di desanya, tetapi di lain
pihak Ia tercatat sebagai warga Gereja M asehi Injili di Halmahera
(GM IH) Jemaat Ebenhaezer Akediri, pada hal di desanya juga terdapat
aliran gereja yang sama.
Ia memilih Akediri kala itu sebagai tempat untuk berdagang,
didasarkan pada pertimbangan bahwa desa ini memiliki potensi pangsa
pasar yang besar, dimana terdapat dua tangsi militer Angkatan darat.
Satu satuan setingkat Kompi Infantri TNI-AD seperti kompi ‘B’ terdiri
dari 134 anggota, di tambah sebagian anggota Kompi ‘A’ yang berada di
asrama tua mereka di Akediri sehingga total berjumlah 164 anggota,

menurut Roy Bermula jika ditambah dengan anggota keluarganya
diperkirakan mencapai 200 jiwa (W awancara, 10 Desember 2012).
Sedangkan keluarga para purnawirawan militer dan sipil AURI
yang tersisa 13 dari 25 kepala keluarga yang ada di Akediri. Dengan
demikian menjadikan desa ini berpotensi, bukan hanya karena jumlah
jumlah penduduk yang banyak, tetapi memiliki keluarga dengan
kestabilan pendapatan yang terbilang besar jumlanya. Selain itu
menurut om Yon Flory, desa ini berada di jalur utama perlintasan
manusia dan distribusi barang ke kecamatan Sahu maupun Ibu dan
Loloda, jika melalui jalan darat dari dan ke Jailolo.
Di sini juga terdapat 2 sekolah dasar negeri, 1 SD dan 1 SM P
Advent, dimana peneliti menamatkan pendidikan dasar enam tahun
pada lembaga pendidikan dasar yang terakhir disebutkan. Kini juga

Kata ‘bu’ adalah sapaan terhadap orang yang lebih tua atau di tuakan, khususnya
untuk laki-laki, dan merupakan padanan dari kata ‘usi’ sapaan untuk perempuan.
7 W awancara dengan om Samuel Flory, pada 23 Januari 2013.

6

92

M embangunU sahadi A kediri

telah di bangun 1 SMK. Desa Akediri merupakan desa pertama di
bagian utara perbatasan antara kecamatan Jailolo dan Sahu ketika itu.
Desa ini berada tepat di jalur utama dari pertemuan dua arus
perlintasan manusia dan barang, jika melalui jalur darat baik dari
kecamatan Sahu maupun dari wilayah Ibu dan Loloda. Tentu akan
melalui atau menyinggahi ‘kampung’ (desa) ini jika bepergian ke Jailolo
pusat ibu kota kecamatan, maupun ke Ternate atau wilayah–wilayah
lain di Halmahera. Begitu sebaliknya jika perjalanan berawal dari
Jailolo menuju ketiga wilayah kecamatan di bagian utara Halmahera
Barat, akan melintasi desa ini.
Ketika konflik terjadi dan Akediri menjadi salah satu sentra
pengungsian yang padat di pedalaman Jailolo, hal itu di lihat oleh om
Yon Flory sebagi berkat dan kesempatan. Baginya penambahan
penduduk yang cukup signifikan di Akediri menjadikan desa ini
memiliki potensi pasar yang besar untuk berinfestasi. Penduduk dan
pengungsi yang banyak, tidak sebanding dengan pedagang yang tak
lebih dari enam orang pedagang dan satu koperasi kompi. M emang
ketika kerusuhan terjadi usaha om Yon terhenti, bahkan barang
dagangan mereka habis terpakai, baik untuk keperluan pribadi
maupun untuk mendukung logistik aktifitas posko pengungsi yang
terbentuk di desa Akediri ketika itu, tutur om Yon Flory
(W awancara,23 Januari 2013).
Cerita yang sama juga dikisahkan oleh ‘bu’ Damis Pasuma8.
Sebelum rusuh Ia adalah warga desa Hoku-hoku Kie, namun ketika
konflik terjadi awalnya mereka mengungsi ke desa Tosoa kecamatan
Ibu, dengan hanya berbekal beberapa potong pakaian, perhiasan emas,
dan surat-surat berharga yang mereka miliki. Tak lama bertahan di
Tosoa, akhirnya mereka memilih kembali ke Akediri, di tengah
pengungsian di Akediri inilah keinginan untuk membangun usaha
akhirnya terwujud dan bertahan hingga kini.
M enurut pengakuanya dorongan itu berangkat dari kenyataan
bahwa Akediri sebagai tempat pelarian dan berlindung memiliki
8

W awancara dengan bu Damis Pasuma pada, 10 Mei 2012.

93

Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat

potensi usaha yang besar, sebab dari jumlah pengungsi yang ada hal itu
tidak sebanding dengan pelaku usaha yang menyediakan kebutuhan
pokok ribuan orang di Akediri ketika itu. Sehingga, selain untuk
menjamin ketersedian kebutuhan pokok sendiri, usaha dagang yang
dijalankannya diharapkan dapat menjadi sumber pendapatan yang
menopang ekonomi keluarganya.
Begitu juga dengan Ibu Rohani M . Ahmad9, Ia memulai usaha
di Akediri ketika konflik terjadi dan berjalan hingga kini. Karena
suaminya adalah seorang Tentara yang bertugas di Kompi ‘B’ Yon 732
Akediri, hal ini sangat memudahkan mereka beraktifitas, karena
menguasai akses baik ke Jailolo maupun ke Ternate. Posisi inilah yang
di manfaatkan oleh mereka berdua untuk membangun usaha. Lebih
lanjut Ibu Rohani menceritakan bahwa, ketika suaminya diminta oleh
pimpinan untuk mengurus barang-barang koperasi ke Tentara, Ia
sering dititipkan untuk membelanjakan berbagai kebutuhan hidup
warga pengungsi, termasuk dimintai mengrus gaji para pegawai baik
sipil maupun militer, serta tunjangan para pensiunan.
Umumnya mereka menitipkan bahan pangan baik untuk
keperluan pribadi maupun sebagai barang dagangan. Berangkat dari
kenyataan inilah akhirnya mereka berpikir untuk membelanjakan
berbagai kebutuhan yang diperlukan para pengungsi maupun warga
yang ada di Akediri untuk dijual kembali. Singkatnya posisi mereka
ketika itu tidak hanya sebagai pedagang eceran, melainkan telah
menjadi agen bagi beberapa pedagang kecil yang ada di Akediri,
hubungan kerjasama ini masih berlanjut hingga kini.
Kisah selanjutnya ditututkan oleh tante Ratna10, karena
suaminya telah memasuki masa persiapan pensiun (M PP) sebagai
Tentara saat itu, mereka kemudian berpikir bahwa dengan adanya
peluang pasar yang ada di Akediri sebaiknya membangun usaha
sembako. Selain sebagai langka antisipasi untuk menjamin kebutuhan
sendiri jika terjadi ketidak stabilan keamanan, usaha itu diharapkan
bisa menjadi kegiatan alternatif yang bisa menghasilkan uang sebagai
9
10

Wawancara dengan I bu Rohani M. Ahmad, pada 25 Januari 2013.
Wawancara dengan Tante Ratna, pada 25 Januari 2013.

94

M embangunU sahadi A kediri

pemasukan tambahan
ketentaraanya.

ketika

suaminya

pensiun

dari

tugas

Dengan melihat besarnya peluang usaha yang ada di Akediri,
akhirnya tante Ratna bersama (almarhum) om Agus Salondo suaminya
memutuskan untuk terjun ke dunia usaha sebagai pedagang kebutuhan
sembilan bahan pokok (sembako).
Besarnya peluang usaha di Akediri paska kerusuhan, ternyata
terdengar sampai ke luar wilayah ini, bukan saja bagi mereka yang
sudah perna menginjakan kaki di desa ini, melainkan mereka yang
belum mengenal pun dibuat bergegas datang dan mengadu
keberuntungan dagang di desa ini. Dari ketiga orang yang membangun
usaha di Akediri setelah konflik tejadi, mereka juga mempunyai cerita
tersendiri terkait desa ini.
Alimin Sabri 11 misalnya, Ia berasal dari Gorontalo dan sejak
tahun 1990 mengikuti saudaranya yang telah duluan berdagang di
Ternate. Selain berjualan di Ternate, pada setiap bulan Desember
Alimin bersama saudaranya berjualan ke Tobelo, pusat kekristenan di
Halmahera.
Namun setelah konflik usai, Ia tidak memilih ke Tobelo
melainkan ke Jailolo, dan tempat yang dituju adalah desa Akediri.
M enurutnya peluang usaha di Akediri Ia dengar dari cerita temantemannya yang telah duluan berdagang di Akediri.
Berbekal informasi itulah akhirnya Alimin Sabri bersama istri
dan kedua anaknya berangkat ke Jailolo dan menetap di Akediri untuk
memulain usaha. Awalnya sebagi pedagang aksesoris perhiasan
kecantikan. Tetapi kini Ia telah merambah ke usaha penjualan produkproduk tatarias, maupun bisnis pulsa. Selain itu ia juga mengawasi
salah satu tokoh perabotan rumah tangga milik tetangga yang
dipercayakan untuk Ia dikelola, sehingga dari kegiatan itu Alimin juga
memperoleh tambahan penghasilan.

11

W awancara dengan Alimin Ibrahim, pada 25 Desember 2012.

95

Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat

Seperti Alimin, demikian juga dengan Aba, sapaan untuk om
Ibrahim salah satu pedagang asal Gorontalo yang menjalani usaha
penjualan pakaian di Akediri.
Dari ceritanya diketahui bahwa I a
sudah cukup malang melintang membangun usaha baik di Ternate,
Tobelo maupun beberapa daerah di Halmahera.
Ia juga pernah
membangun relasi dengan pedagang di pasar Jailolo jauh sebelum
kerusuhan terjadi.
Tetapi pada paskah konflik tepatnya pada tahun 2001 Ia
berusaha masuk ke Akediri melalui perantara aparat keamanan dan
akhirnya menetap di dalam lingkungan militer. Sebelum menetap dan
berjualan di Akediri terlebih dahulu om aba berjualan di Kecamatan
Ibu suatu wilaya di bagian utara Halmahera Barat, yang dikuasai oleh
komunitas nasrani ketika rusuh. Tetapi tidak lama kemudian Ia
memutuskan menetap dan berjualan pakaian di pasar Akediri.
Cerita lain juga datang dari Ibu Safiani Ode12. Sebelum
kerusuhan Ia sudah pernah tinggal di Akediri pada saudara laki-laki
ibunya, tetapi ketika kondisi makin memanas di akhir tahun 1999
mereka akhirnya mengungsi ke Jailolo dan kemudian ke Tidore hingga
Ia menamatkan sekolah menengah umum (SM U) di kota itu. Setelah
menikah dan ketika suaminya beralih tugas dari pasukan tempur di
Kompi ‘B’ Akediri dan masuk sebagai anggota Koramil Sahu, Ia
kemudian memutuskan untuk berjualan alat perabotan rumah tangga.
Keputusan ini diambil karena orang tua kandungnya ketika
usai rusuh mereka pernah berjualan di rumah saudara ibunya yang ada
di Akediri, dimana Ibu Safiani Ode pernah tinggal sebelum terjadi
kerusuhan, tetapi tak lama berjualan orang tuanya pindah dan
berjualan di Pasar Jailolo.
M elihat tempat usaha dan jaringan konsumen yang
ditinggalkan orang tuanya, Ia akhirnya memutuskan untuk
melanjutkan usaha di tempat itu pada 2005, keputusannya untuk
berdagang perabotan alat rumah tangga mendapat dukungan dari

12

W awancara dengan Ibu Safiani Ode, pada 25 Desember 2012.

96

M embangunU sahadi A kediri

orang tuanya, sehingga mereka kemudian memberikan modal usaha
dalam bentuk barang perabotan rumah tangga.
Berdasarkan cerita ketujuh pedagang kecil tersebut, nampaknya
mereka memiliki pandangan yang sama, bahwa Akediri memiliki
pangsa pasar yang tinggi. Selain karena jumlah penduduknya banyak,
desa ini juga menjadi tujuan pengungsian bagi warga kristen, maupun
muslim sekalipun hanya sebagian kecil.
Dengan letaknya yang starategis berada di jalur utama
perhubungan darat di Halmahera Barat, menjadikan desa ini dilalui
dan disinggahi banyak orang.



Rasa Aman, Kebutuhan Dan H ak W arga Negara

Setiap orang tentu menginginkan situasi aman, untuk aktifitas
apapun termasuk usaha dagang. Untuk alasan itulah akhirnya Akediri
menjadi tujuan pengungsian banyak orang ketika kerusuhan terjadi.
Alasan ini tentu tidak lepas dari keberadaan alat keamanan negara yang
ada di desa ini yaitu Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat.
M emang ketika rusuh komunitas nasranilah yang lebih
dominan mengungsi ke desa ini, namun di sini juga terdapat warga
muslim baik penduduk desa Akediri maupun dari desa tetangga
Acango, sekalipun jumlahnya terbilang kecil, tak lebih dari 10 % dari
13 ribu pengungsi yang ada di Akediri, tutur Roni M uluwere
(W awancara,10 Desember 2012).
M enurut BM 13, ketika Ia membawa sejumlah warga nasrani
Bukumatiti untuk mengungsi ke tangsi militer yang ada di Akediri,
mereka disambut baik oleh komendan Kompi ‘B’ Yon 732 Banau.
M enurutnya mereka mendapat jaminan keamanan selama berada di
dalam lingkungan militer, maupun ketika mereka memiliki keperluan
di luar asrama yang membutuhkan pengawalan. Katanya sambil
menirukan Komendan Kompi ‘B’ Yon 732 Banau

BM adalah inisial identitas informan, I a adalah salah satu tokoh masyarakat di
Bukumatiti yang di wawancarai pada 7 Desember 2012.

13

97

Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
... “Soal pengamanan, mulai dari sepanjang kali (sungai)
Akediri, itu hak anggota saya untuk menembak mati,
apabila ada pihak-pihak yang menyerang”,.. (W awancara,7
Desember 2012).

Begitu juga dengan bu Damis Pasuma (W awancara,10 M ei
2012), awalnya mereka ke desa Tososa, tetapi mereka kemudian
memilih kembali ke Akediri karena dekat dengan Asrama Tentara,
alasannya jika terjadi penyerangan mereka lebih cepat mendapat
perlindungan.
Dengan adanya hubungan yang baik antara pengungsi dan
para serdadu di Akediri, hal itu sangat membantu aktifitas mereka.
Kebutuhan para pengungsi yang tidak dapat diakses oleh mereka, hal
itu dapat dibantu oleh oknum Tentara, jika harus ke wilayah yang
dikuasai oleh komunitas muslim, mereka tentu dibantu oleh anggota
tentara yang beragama muslim.
M enurut BR14 memang hubungan yang terjalin antara kedua
pihak itu tak terhindarkan berimplikasi pada finansial, tetapi jasa para
serdadu itu dengan sukarela dihargai dalam jumlah yang tidak
ditentukan atau diminta oleh mereka. Hal ini sifatnya personal,
khususnya bagi yang berdagang, jika menggunakan oknum tentara
untuk berbelanja, baik ke Ternate atau Ke M anado.
Seperti bu Damis, ketika menggunakan tenaga salah satu
anggota tentara untuk berbelanja ke M anado, ada imbalan jasa yang
diberikan, tetapi hal itu tidak ditentukan besaran biayanya, melainkan
kerelaan, tegas bu Damis Pasuma (W awancara, 10 Mei 2012).
Jika terjadi penyerangan para pengungsi dan warga desa
Akediri, sesegara mungkin berlindung di markas para serdadu, dan
dengan sigap pihak keamanan menghalau dan mendesak mundur para
laskar jihad yang menyerang itu. Demikian tutur BR (W awancara, 2
November 2012)
BR adalah inisial identitas informan, Ia merupakan salah satu perangkat
pemerintahan di desa Akediri. Wawancara dengan BR pada 2 November 2012.

14

98

M embangunU sahadi A kediri

Kebutuhan akan rasa aman bukan saja hal yang manusiawi,
tetapi lebih dari itu merupakan kebutuhan dan hak warga Negara,
sebagaimana di tegaskan oleh om Yon Flory, bahwa negara ini
menjamin kebebasan dan member rasa aman. Setiap orang berhak
untuk tinggal di mana yang Ia kehendaki, dan berdagang di mana saja
(W awancara, 26 Januari 2013). Karena di Akediri orang merasa aman,
ada aparat dan mereka tidak memihak, menyebabkan orang
berbondong-bondong dating ke Akediri, bukan saja orang nasrani,
tetapi juga terdapat orang muslim.
Sehingga, ketika kekerasan sektarian terjadi di Jailolo baik
komunal atau perorangan mereka berusaha mencapai wilayah yang
dirasa paling aman untuk berlindung. Bagi komunitas muslim mereka
lebih memilih ke wilayah pesisir, atau ke Ternate. Sedangkan warga
nasrani yang berada di pesisir pantai lebih memilih ke Akediri, selain
sebagai wilayah yang dikuasai oleh komunitasnya, di sini juga terdapat
perangkat alat keamanan negara yang diharapkan dapat meberikan
perlindungan.
Hal lain yang tak kalah pengaruhnya adalah solidaritas
masyarakat Akediri, baik muslim dan Kristen. M enurut M arthen Tuli
Kepala desa Akediri, keberadaan pasar ini, telah memberi nilai tambah
bagi masyarakat. Selain mudahnya akses untuk memenuhi berbagai
kebutuhan rumah tangga, keberadaan pasar ini telah memberi ruang
bagi masyarakat untuk melakukan aktifitas dagang. Sayur-sayuran hasil
kebun mereka dapat dijual langsung ke pasar, begitu juga dengan
pedagang kue maupun, ibu-ibu pedagang sayur matang (sayur yang
sudah dimasak), (W awancara,1 Desember 2012).
Dampak ekonomis yang dirasakan penduduk Akediri,
menyadarkan mereka akan pentingnya menjaga stabilitas keamanan.
Karena itu menurut Kepala desa Akediri, baik warga maupun aparat
pemerintah desa bahu membahu menjaga keamanan dan kenyamanan
di Akediri. Sehingga dagangan para penjual sayur dan ikan, yang
ditinggalkan di tenda-tenda tempat jualan tidak dicuri atau dibongkar
orang, walau hanya dibungkus dengan terpal, atau dalam box
penyimpanan ikan (M arthen Tuli. W awancara,1 Desember 2012).
99

Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat

M emang bukan berarti tidak pernah terjadi pencurian di pasar
ini kata Roy Bermula Sekertaris desa Akediri, pernah terjadi pencurian
pakaian yang dilakukan oleh Sius Bukuru salah satu pemuda desa ini.
Ketika diketahui bahwa pelaku pencurian adalah pemuda Akediri,
pelaku tersebut dihajar oleh rekan-rekan pemuda dan warga desa
lainya, sebelum akhirnya diserahkan kepihak pemerintah desa. Sejak
peristiwa tersebut, sampai hari ini belum terjadi pencurian, atau tindak
kejahatan lain yang meresahkan pedagang, tegas Roy Bermula
(W awancara, 2 November 2012).
Seperti Abdul M alik pedagang pakaian asal Gorontalo,
menurutnya kebersamaan meraka dengan penduduk di Akediri sudah
sangat akrab. Lebih lanjut Ia katakan bahwa sejak berdagang di
Akediri, mereka turut berpartisipasi baik dalam bentuk tenaga atau
memberi sumbangan, baik untuk kegiatan desa maupun keagamaan
(W awancara,1 November 2012).
Kondisi inilah yang memungkinkan aktifitas perdagangan
dapat tumbuh dan bertahan di desa Akediri sampai saat ini.

 Potensi Diri : Dorongan internal pembangun usaha
 Pemenuhan Kebutuhan H idup
Untuk tetap survive, setiap manusia akan mengusahakan
sesuatu bagi dirinya, baik untuk kepentingan pribadi, atau
kelompoknya. Entah pada kondisi aman atau pada situasi yang genting.
Konflik yang terjadi di Jailolo telah menyebabkan perpindahan
penduduk secara spontan dan tak terduga, sehingga telah
menimbulkan berbagai persoalan bagi dirinya sendiri.
Situasi yang kacau dan tidak menentu itu berdampak pada
aktifitas perdagangan khususnya di Jailolo dan Maluku Utara pada
umumnya. Kehidupan di pengungsian merupakan situasi yang tidak
menyenangkan, karena memiliki banyak keterbatasan. W aktu
beraktifitas tak seperti sebelumnya, kebutuhan makin mendesak tetapi
tidak memiliki daya beli karena tak punya pendapatan.
M emiliki uang, tetapi barang kebutuhan konsumtif rumah
tangga terbatas,juga langka bahkan tidak ada. Kalau pun ada harganya
100

M embangunU sahadi A kediri

sangat tinggi, intinya ketersedian bahan kebutuhan hidup tak
sebanding dengan jumlah permintaan yang ada.
Di tengah desakan kebutuhan hidup inilah, akhirnya
mendorong para informan memutuskan untuk membangun usaha
dagang di Akediri. Berikut kisah-kisah mereka diceritakan seperti
berikut ini. Beginilah bu Damis Pasuma mengisahkan perjalanan
mereka ketika tergusur dari kampung halaman Hoku-hoku Kie.
Dengan hanya berbekal beberapa potong pakaian, sejumlah perhiasan
emas, dan beberapa surat-surat berharga lainya.
Awalnya mereka mengungsi ke desa Tosoa di wilayah Ibu
Selatan. Setelah beberapa waktu di sana akhirnya bu Damis
memutuskan kembali ke Akediri. Kehidupan di Tosoa cukup tenang,
tetapi peluang usahanya kecil karena desa tersebut terpisah jauh dari
pusat pemerintahan, akhirnya mereka meilih kembali ke Akediri,
sebab baginya prospek usaha ketika itu sangat besar di Akediri
(W awancara,10 M ei 2012).
M enurut bu Damis, saat itu permintaan sangat tinggi tetapi
ketersediaan kebutuhan yang di perlukan terbatas di pusat pengungsian
yang ada di Desa Akediri. Usaha yang mereka tekuni sejak
memutuskan memulai usaha dagang di Akediri adalah bisnis sembilan
bahan pokok (sembako), seperti beras, gula, sabun dan berbagai
kebutuhan konsumtif rumahtangga. Pilihan untuk berdagang sembako,
hal itu didasarkan pada pertimbangan bahwa hidup di daerah konflik,
rentan terhadap berbagai kebutuhan dasar rumah tangga.
Persedian kebutuhan konsumtif rumah tangga yang terbatas,
eksodusnya pelaku usaha besar, menyebabkan suplai berbagai
kebutuhan hidup makin sulit didapatkan, dan kalaupun ada, harganya
telah melambung tinggi dari harga normal ketika itu.
Contohnya, harga gula pasil per satu kilo gram normalnya
Rp 8000, ketika konflik menjadi Rp15.000 – Rp 20.000 kata bu Damis
Pasuma (W awancara,10 M ei 2012). Konflik yang kerap kali terjadi baik
di darat maupun penembakan dan penghadangan di laut oleh pihak
muslim, menyebabkan pelayaran ke M anado dan Bitung menjadi
101

Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat

perjalanan yang penuh beresiko, jika tidak mendapat pengawalan dari
pihak keamanan.
Dengan kondisi yang demikian itulah, akhirnya distribusi
barang menjadi terhambat, sehingga memicu kelangkaan dan
menaikan berbagai kebutuhan ketika itu.
Karena itu memilih usaha sembako didasarkan pada dua alasan
mendasar yakni, pertama-tama untuk menjamin ketersedian sejumlah
kebutuhan, dimana kalau terjadi penyerangan mereka tentu memiliki
persedian kebutuhan rumah tangga. Selain itu, berdagang sembako juga
merupakan langkah alternatif untuk mendapatkan uang, pilihan atas
usaha dipandang perputaranya cepat dan memiliki keterkaitan
langsung dengan kebutuhan sehari-hari ribuan orang yang ada di
Akediri maupun desa-desa tetangga lainya, demikian kata bu Damis
Pasuma (W awancara,10 M ei 2012).
Langkah serupa juga ditempuh oleh tante Ratna. Ketika
kekacauan merata terjadi pada desa-desa di Jailolo dan sekitarnya, hal
itu menyebabkan perhubungan laut dan darat terhenti, dan hanya bisa
di lalui oleh kalangan dan kelompok tertentu yang menguasai wilayahwilayah dimana mereka tempati. Keadaan ini terjadi pada saat
suaminya mendekati M asa Persiapan Pensiun (M PP) dari dinas
kemiliteran. Untuk sampai mendapatkan tunjangan pensiunan hal itu
membutuhkan waktu tunggu satu sampai tiga bulan. M engantisipasi
kondisi itu tante Ratna dan om Agus memutuskan untuk memulai
bisnis sembilan bahan pokok (sembako).
Seperti pedagang lainya, tante Ratna dan suaminya juga
memiliki pertimbangan bahwa bisnis sembako yang akan mereka jalani
ini, selain sebagai suatu kegiatan alternatif untuk menciptakan
pendapatan dan mengisi hasi-hari purna tugas suaminya, bisnis ini juga
sebagai langkah pengamanan kebutuhan dasar konsumtif keluarganya
jika konflik terjadi (W awancara,25 Janari 2012).
Pernyataan sama juga dikemukakan oleh om Yon sapaan akrab
untuk om Samuel Flory. Bisnis yang Ia jalani selain sebagai sumber
pendapatan keluarga, usaha sembako juga merupakan strategi untuk
102

M embangunU sahadi A kediri

menjamin kebutuhan keluarganya. Lanjut kata om Yon Flory, konflik
telah memberi pelajaran bahwa jika tidak mempunyai persedian
kebutuhan dasar rumah tangga yang cukup mereka akan kesulitan.
Ketika kekacauan terjadi, semua aktifitas akan terhenti dan itu
berpengaruh terhadap distribusi barang.
Belum lagi faktor cuaca, pasokan barang-barang dagangan
yang hanya bisa dilakukan melalui perhubungan laut, pada waktuwaktu tertentu kapal motor tidak bisa berlayar, apalagi harus
menyinggahi pelabuhan alam di desa Adu kecamatan Ibu selatan,
proses bongkar muat barang menjadi beresiko karena tidak ada
dermaga permanen, sehingga harus menggunakan perahu kecil untuk
bisa mencapai kapal motor yang mengapung 100-200 meter dari tepi
pantai.
Kondisi demikian tentu sangat beresiko baik terhadap
penumpang maupun aktifitas bongkar muat barang, demikian kata om
Samuel Flory (W awancara,26 Januari 2012).
Konflik yang merembet hampir ke seluruh pelosok M aluku
Utara, ternyata memberikan dampak yang sama bagi om Ibrahim yang
kala itu menetap dan berdagang di Ternate (Jailolo,26 Januari 2012)
maupun Alimi Sabri (W awancara,26 Januarii 2012), dan sebagai
pedagang musiman di beberapa wilayah di Halmahera, seperti ke
Tobelo, Buli, weda maupun ke M orotai.
Konflik menyebabkan mereka kehilangan peluang usaha dan
makin terdesak di Ternate. Dengan adanya kedatangan ratusan ribu
pengusi dan menyebar di kota itu, telah memaksa mereka berdua
keluar dan mencari wilayah baru yang lebih potensial untuk
berdagang.
Om Aba misalnya, selain dampak konflik yang menyebabkan Ia
didesak oleh pemilik bangunan tersebut untuk keluar dari toko yang
mereka kontrak untuk berjualan, pada situasi yang hampir bersamaan
Ia harus menghadapi perceraian dengan istrinya. Inilah dua peristiwa
yang akhirnya mendorong om Aba memutuskan untuk migrasi ke
Jailolo.
103

Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat

Perceraian dan kehilangan tempat usaha memaksa om Aba
harus menjejaki wilayah usaha baru, agar tetap mempunyai pendapatan
dan mampu memenuhi kebutuhan hidup, dengan berbekal pembagian
harta dari usaha bersama istrinya. Sekalipun om Aba mendapat bagian
yang katanya tak adil, I a berusaha menerima dan bermigrasi ke Jailolo
untuk mencoba pertungan di pasar Akediri, setelah terlebih dahulu
berjualan di kecamatan Ibu (W awancara,26 Januari 2012)
Seperti om Aba, desakan hidup di Ternate yang terasa makin
menghimpit, akhirnya membawa Alimin Ibrahim bersama istri dan
anak-anaknya migrasi ke Akediri. Kehidupan di Ternate kata Alimin,
Ia hanya menjual barang milik saudaranya, tetapi ketika di Akediri Ia
akhirnya bisa memiliki usaha sendiri, sekalipun masih mengontrak
tempat usaha.
W alau sebagian barang dagangannya adalah milik majikan
tempat Ia mengambil barang jualan di Ternate, bisnis pulsa penjualan
pulsa yang Ia lakoni merupakan usaha yang didanai dengan modalnya
sendiri (W awancara,26 Januari 2012).
Apa yang dilakukan oleh Alimin hendak menunjukan bahwa,
upaya memenuhi kebutuhan hidup akhirnya mendesaknya untuk terus
mencari peluang-peluang usaha baru, agar tetap memiliki pendapatan
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pengalaman-pengalaman yang dituturkan para informan itu,
menunjukan bahwa keputusan untuk membangun usaha dagang di
Akediri, tidak dapat dilepaspisahkan dari dorongan internal yakni
pemenuhan kebutuhan hidup, baik kebutuhan finansial maupuk
kebutuhan dasar konsumtif rumah tangga. Perpaduan keduanya
menjadi desakan yang tak mungkin diabaikan oleh mereka, sebab
mereka benar-benar diperhadapkan pada kondisi rentan yang dialami
masing-masing rumah tangganya.



Pentingnya M inat Usaha

Pengalaman jatuh bangun dalam menjalani usaha yang
dituturan para informan, menunjukan bahwa minat tak dapat
diabaikan dalam mejalani kegiatan apa pun. Ketuju informan yang
104

M embangunU sahadi A kediri

diwawancarai, semuanya telah berkeluarga, hal yang nampak umum
terjadi adalah, minat untuk membangun usaha bisa berasal dari suami
atau istri, atau sebaliknya dari keduanya. Seperti bu Damis Pasuma dan
istrinya Doriana Tjira15 misalnya, yang akrab di sapa usi 16 Teker. M inat
berbisnis yang ada pada usi Teker, sudah terbentuk sejak Ia masih
bersekolah di Sekolah Kejuruan Kepandaian Perempuan (SKKP)
Ternate, disela-sela waktu luang usi Teker berjualan rokok dan kacang
goreng di depan Bioskop Benteng Ternate.
Setelah menamatkan sekolah menengah umum Ia kembali ke
Jailolo, sebelum menikah usi Teker juga sempat berjualan sembako di
rumah orang tuanya. Ia menjalani usaha kecil-kecilan ketika itu adalah
karena ingin mempunyai penghasil sendiri disamping kiriman dari
orang tua ketika masih bersekolah, tutur usi Teker (W awancara,10
M ei 2012).
Begitu juga dengan bu Damis Pasuma minat untuk berusaha
juga nampak setelah I a menikah, usaha yang digelutinya adalah bisnis
pembelian kelapa buah dan juga bisnis kopra (kelapa asap), Ia
bekerjasama dengan para pemodal, dan memilih sebagai pengumpul
saja, dan tidak memilih untuk menampung di tempat tinggalnya. Hal
ini Ia lakukan untuk menghindari resiko, katanya “lebih baik kumpul
nota, dari pada tampung kopra jauh lebih ringan, nanti kalau nota
sudah banyak baru dihitung sekalian”, demikian kata bu Damis
Pasuma (W awancara,10 M ei 2012).
Cerita yang sama juga disampaikan oleh Ibu Rohani M .
Ahmad17. M enurut Ibu Rohani, minat berbisnis kental berada pada
suaminya, sekalipun bertugas sebagai Tentara, ditengah-tengah
kesibukanya sebagai Komendan Regu, Ia masih menyempatkan diri
untuk berbisnis kayu olahan sebelum beralih ke bisnis sembako.
Lanjut ibu Rohani, menirukan kata suaminya ... “ saya ini tidak bisa
kalau hanya diam-diam saja”,... di mata ibu Rohani, pa Agus Susanto

W awancara dengan Doriana Tjira, pada 10 Mei 2012
Kata ‘usi’ adalah sapaan terhadap orang yang lebih tua atau di tuakan, khususnya
untuk Perempuan.
17 W awancara dengan Ibu Rohani M.Ahmad, pada 25 Januari 2013.
15

16

105

Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat

mungkin mewarisi jiwa berbisnis dari ibunya yang berasal dari suku
Buton, yang menikah dengan ayahnya dari suku Jawa.
M enurut pengakuan Ibu Rohani, minat berbisnisnya sudah
tumbuh sejak mereka masih tinggal di dalam asrama tentara dan
terlebih lagi setelah memiliki tempat usaha sendiri ketika keluar dari
asrama, intinya minat berbisnis makin kuat ketika merasakan
keuntungan dari berdagang.
Cerita yang tak kalah menarik datangnya dari om Yon Flory.
M enurut om Yon, minat berusaha tidak dapat disangkali terbentuk dari
kalangan keluarga, sebagai keluarga yang masih memiliki keturunan
cina, mereka di didik dalam filosofi cina. M engutip perkataan orang
tuannya Ia menirukan begi :
... “ yang turunan orang cina, anak yang masih dalam
kandungan itu, jangan dulu ajarkan dia kerja, tetapi ajari dia
berhitung, sebab orang bisa bekerja tetapi kalau salah
hitung akan susah”... ( W awancara, 23 Januari 2013).

Dari apa yang di kemukan oleh om Yon, terlihat bahwa minat
untuk membangun usaha dimilikinya sudah sejak kecil bahkan
dipercaya sudah ditanamkan sejak Ia masih dalam kandungan.
Keyakinan ini terbukti dengan kegigihanya menggeluti berbagai usaha
dalam hidupnya. Tak tanggung-tanggung telah banyak bidang usaha
yang Ia geluti, baik sebagai ‘dibo-dibo’, penjual sapi, makelar piring
kuno, sebagai sub-kontraktor proyek bangunan infrastruktur
pemerintah, bisnis kopra (kelapa asap), maupun menjalani usaha
dagang sembilan bahan pokok (sembako) yang kini menjadi satusatunya bisnis yang Ia kelola (W awancara,26 Januari 2013).
Keputusan menjalani usaha yang dipengaruhi oleh minat yang
kuat, juga dapat di lihat pada Ibu Safiani Ode18. Ia berasal dari keluarga
pedagang, ayah ibunya berasal dari suku Buton. Baik sebelum
kerusuhan maupun setelah kerusuhan mereka tetap berjualan pertamatama di pasar Jailolo, kemudian pindah ke Akediri paska rusuh. Ketika
menikah dengan prajurit dan tinggal di asrama Kompi ‘B’ Akediri, Ia
18

W awancara dengan Ibu Safiani Ode, pada 25 Januari 2013.

106

M embangunU sahadi A kediri

merasa tidak bebas untuk berbisnis. Tetapi setelah mereka keluar dari
asrama tentara, karena suaminnya beralih tugas ke Koramil, Ibu Safiani
merasa memiliki waktu yang cukup untuk menjalani usaha, momen ini
dilihat sebagai peluang untuk mewujudkan minatnya memiliki usaha
sendiri dan dapat meningkatkan pendapatan mereka (W awancara,25
Januari 2013).
Tingginya peluang usaha yang ada disekitar kita, tidaklah
cukup untuk menjamin kita dapat dengan mudah meraih sukses,
melainkan hal itu juga membutuhkan minat yang kuat dari dalam diri
untuk melakukan sesuatu.
Dari kesaksian mereka yang sukses membangun usaha, selalu
terdapat minat yang kuat sebagai spirit yang menggerakan mereka
untuk mencapai sukses.
Tentu minat yang kuat harus dibarengi dengan kesungguhan
dan kerja keras, setiap kejatuhan dalam usaha sejatinya tidak sampai
menenggelamkan usaha, melainkan harus bakit dan terus mencoba
dan mencoba hingga menggapai hasilnya.



Pendidikan

Kita yang hidup di era kini, diperhadapkan pada kenyataan
bahwa pendidikan telah menjadi jalan satu-satunya untuk mencapai
sukses di berbagai bidang hidup. Sehingga orang dipacu untuk
menempuh pendidikan formal, baik yang mengarah pada penguasaan
skil tertentu, sehingga harus menempuh pendidikan kejuruan atau
pada jenjang yang lebih umum.
Singkat kata pendidikan telah menjadi kunci untuk menggapai
sukses, kalimat-kalimat yang sering terdengar dalam setiap promosi
pendidikan. Pertanyaanya apakah benar bahwa pendidikan
merupakan kunci sukses untuk menjalankan usaha.
Ini merupakan pertanyaan menarik jika direlevansikan ke
dalam konteks pedagang kecil pasar di Akediri yang diwawancarai.
Strata pendidikan para informan selengkapnya dapat dilihat dalam
tabel berikut ini.
107

Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
Tabel 2.
Daftar Jenjang Pendidikan Para Informan Pedagang Kecil Di Akediri
NO

Nama Informan

Status

Suami
Istri
Samuel Flory
Suami
2
Istri
Rohani M.
Istri
3
Ahmad
Suami
Safiano Ode
Istri
4
Suami
Ratna
Istri
5
Suami
Alimin Sabri
Suami
6
Istri
Damis Pasuma
Suami
7
Istri
Data penelitian diolah 2013
1

Pendidikan
SD

Ibrahim

SM P

SM U

SM EA

*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*

Dari ketuju informan yang diwawancarai, diketahui bahwa
pendidikan tertinggi adalah SM A sebanyak dua orang, dan SM EA
hanya satu orang. Sedangkan yang berpendidikan setingkat SM P dua
orang, dan dua orang lagi hanya berpendidikan SD, tetapi satu
diantaranya tidak sempat menamatkan pendidikan dasar karena Ia
hanya bisa samapi di kelas dua SD.
Seperti Alimin Sabari, di ketahui bahwa Ia tidak sempat
menamatkan pendidikan SD, Ia hanya sempat duduk sampai di kelas
dua. Pada tahun 1990 Ia mengikuti saudaranya ke Ternate, sebab
mereka sudah duluan berdagang pakaian di kota ini. M enurut Alimin,
pengetahuan berdagangnya I a peroleh dari aktifitas yang Ia jalani
setiap hari (W awancara,26 Januari 2013).
Ketika masih berdagang mengikuti saudara-saudaranya, mereka
juga menjelajahi potensi pasar di luar Ternate, dari pengakuanya I a
lebih banyak berjualan di Tobelo ketika Bulan Desember, karena
108

M embangunU sahadi A kediri

komunitas kristen lebih banyak di sana. Berbekal pengalaman yang
ada Ia memberanikan diri masuk ke Akediri pada 2007, setelah
mendengar bahwa wilayah ini memiliki potensi usaha yang tinggi,
dari teman-teman yang sudah duluan menetap di desa ini
(W awancara,26 Januari 2013).
Begitu juga dengan om Yon Flory, Ia mengatakan walaupun
dirinya hanya berpendidikan SD, tetapi Ia bisa menggeluti berbagai
usaha. Baik dari berdagang cabai di pinggiran jalan hingga sampai
bersentuhan dengan para pejabat, baik sipil maupun militer,
kenangnya ketika masih menggeluti dunia kontraktor yang kerap
mendapat pekerjaan yang disubkontrakan.
Filosofi hidup yang ditanamkan ayahnya sejak Ia masih kanakkanak di maknai sebagai pelajaran berharga, yang membuat Ia terus
mencari usaha yang tepat sebagai dasar untuk membangun dan
mengokohkan ekonomi keluarganya. Karena itu setiap kegagalan yang
Ia alami dijadikan sebagai pelajaran, dan memandangnya sebagai seni
dalam berusaha (W awancara,23 Januari 2013).
Dengan hanya berbekal pendidikan dasar menengah pertama,
Ibrahim muda akhirnya memutuskan merentau meninggalkan
kampung halamanya. M enurut om Aba sapaan akrab untuknya, Ia
keluar dari Gorontalo menuju M anado itu pada tahun 1971, selama di
M anado Ia bekerja sebagai kulih bangunan. Kemudian pada tahun 1984
Ia mengikuti teman-temannya ke Ternate, yang sudah lebih duluan
berdagang pakaian di Ternate.
Usaha di Ternate lanjut om Aba, dapat dikatakan cukup
mengguntungkan, katanya Ia bisa kontrak bangunan untuk buat toko,
menangani sejumlah agen-agen penjualan di bawa bendera simpati
bersama. Selain itu saya juga bekerja sama dengan pabrik minyak
goreng Bimoli sebagai agennya, tetapi ketika bercerai dengan istrinya
om Aba meninggalkan beberapa aset hasil usaha bersama pada mantan
istri di Ternate yakni, tiga unit speed bood Harian star dan usaha
sembako (W awancara,26 Januari 2013).

109

Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat

Jika dikaitkan dengan pendidikannya, rasanya tidak sebanding
dengan apa yang pernah Ia capai, kata om Aba. Kata om Aba sebelum
memutuskan untuk menetap dan berdagang di Akediri, awalnya Ia
menuju ke wilayah Ibu untuk berdagang pakaian, tetapi tidak lama di
wilayah tersebut akhirnya om Aba kembali ke Akediri dan akhirnya
menetap hingga kini.
Keberuntugan di Akediri tentu berbeda dengan di Ternate,
tetapi itu semua tergantung bagaimana kita tekun, kata om Aba,dan
bagaimana kita menjaga kepercayaan dalam menjalani setiap usaha.
walau harus di akui bahwa ada banyak persoalan yang mesti di hadapi
di pasar Akediri, tutur om Aba ketika itu (W awancara.25 Januari
2013).
Bagi ibu Rohani, membangun usaha itu tidak tergantung pada
tinggi rendahnya pendidikan kita. Ia dan suaminya hanya menamatkan
pendidikan SM A, tetapi dengan pendidikan setingkat itu mereka dapat
membangun dan mengembangkan usaha hingga sukses. Lebih lanjut Ia
menegaskan bahwa hal itu hanya sederhana, yang penting punya
minat, tekun, bergaul dengan orang dan menjaga kepercayaan.
Intinya adalah :
,…“bisnis ini hanya menjaga mulut saja, kalau sudah janji
lunasi tiga bulan kedepan ya, harus diusahakan” kata ibu
Rohani (W awancara,25 Januari 2013).

Pernyataan senada juga datang dari Ibu Safiani Ode, Ia dan
suaminya hanya berpendidikan SM A. Ketika menikah dengan
suaminya seorang Tentara dan tinggal di dalam Asrama Kompi ‘B’
Akediri, Ia merasa tidak mempunyai waktu untuk membangun usaha,
Keinginan itu baru dapat tercapai ketika suaminya pindah tugas ke
Koramil dan mereka keluar dari asrama.
M enurutnya tidak banyak yang I a dapatkan dari
pendidikannya, justru belajar dari orang tua dan keluargalah yang
membuat Ia tertarik dan berani membangun usaha. Tegas Ibu Safiani
Ode (W awancara,25 Januari 2013).

110

M embangunU sahadi A kediri

Sebagai orang yang memiliki latar belakang ilmu manejemen,
karena menamatkan pendidikan SM EA negeri di Ternate, bu Damis
pernah dipercayakan sebagai pejabat kepala desa Hoku-hoku Kie, dan
pernah bekerja pada koperasi simpan pinjam sebelum konflik terjadi.
Bagi bu Damis pengetahuan berdagang dan bagaimana
bermitra dalam bisnis kopra, yang secara arif menghindari resiko
dengan memilih mengumpulkan nota timbang dari pada menampung
kopra, didapat melalui pengalaman-demi pengalaman yang Ia alami
dalam usaha tersebut. Demikian tutur bu Damis Pasuma
(W awancara,10 M ei 2012).
Begitu juga dengan usi Doriana Tjira, atau yang akrab dipanggil
usi Teker istri bu Damis Pasuma. Sejak menempuh Pendidikan
keterampilan keperempuanan yang Ia dapat di bangku pendidikan
SKKP, Ia sudah tertarik untuk melakukan sesuatu yang dapat
menghasilkan uang. Dorongan untuk memiliki pendapatan sendiri
untuk membantu biaya studinya di Ternate, waktu luang di malam hari
Ia pergunakan untuk berjualan rokok dan kacang goreng di depan
Bioskop Benteng Ternate.
Semangat dan pengalaman itulah yang I a bawa sampai ke
kampung halaman. Sebelum menikah usi Teker sudah memiliki usaha
sendiri di rumah orang tuanya, Ia menjajakan sejumlah kebutuhan
bahan pokok rumah tangga, seperti sabun, gula, garam, dan kebutuhan
lainya di rumah orang tuanya. Setelah menika, usaha yang Ia rintis
adalah bisnis ronti bakar, untuk membangun usaha ini Ia bahkan
menggadaikan perhiasannya untuk mendapatkan modal usaha. Dari
hasil penjualan roti, Ia kemudian merambah ke usaha pembuatan es
mambo, usahan ini baru terhenti ketika rusuh terjadi, kata usi Teker
(W awancara, 10 M ei,2012).



Lingkungan keluarga : Belajar dari orang terdekat

Pengaruh lingkungan, baik lingkungan keluarga maupun
lingkungan tempat tinggal terhadap pembentukan minat seseorang
merupakan fakta yang tak jarang kita jumpai, sebagai pembentuk minat
111

Membangun Usaha Paska Konflik: Studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat

khususnya dalam dunia usaha. Hal ini dapat kita temukan dalam ketuju
informan yang peneliti wawancarai.
Seperti om Yon misalnya, dengan mengutip kata-kata orang
tuanya, Ia hendak menegaskan bahwa jiwa usahanya diturunkan
melalui keluarga dan itu tidak terlepas dari garis keturunan suku
bangsa nenek moyang mereka yakni Cina. Kata-kata itu seperti berikut
ini :
... “ yang turunan orang cina, anak yang masih dalam
kandungan itu, jangan dulu ajarkan dia kerja, tetapi ajari dia
berhitung, sebab orang bisa bekerja tetapi kalau salah