KEWAJIBAN USAHA MEMPERTEGUH IMAN (4)

KEWAJIBAN USAHA MEMPERTEGUH IMAN (4)

Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa keadaannya beriman kepada Allah
dan beriman kepada Hari Akhir, maka hendaknya dia berbuat kebaikan
kepada tetangganya. Dan barangsiapa keadaannya beriman kepada Allah
dan Hari Akhir, maka hendaknya dia memuliakan tamunya. Dan
barangsiapa keadaannya beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka
hendaknya dia berkata baik atau diam”. (HR Bukhari dan Ahmad, dari Abu
Hurairah).
Secara syarah hadits menunjukkan perintah kepada ummat Islam supaya
berakhlaqul karimah dalam pergaulan hidup. Pertama, supaya berbuat baik
kepada tetangga, sekalipun tetangga itu orang non muslim. Misalnya,
berkata baik, menghormati, tidak mengganggu, tidak bikin kotor, memberi
makanan dan lainnya. Kedua, memuliakan tamu. Misalnya, menyediakan
tempat yang bersih, teratur rapi, tersenyum, menyilahkan duduk,
menghidangkan makanan/minuman kalau ada tersedia, menanggapi apa
yang dikemukakan tamu, mengantar tamu bila pulang sampai pintu rumah
atau pintu gerbang dan penghormatan lainnya. Ketiga, kalau berkumpul
dalam waktu pertemuan/rapat/sidang hendaknya berkata atau berbicara
dengan baik/sopan, tidak mengesankan sombong atau diam.
Rasulullah saw bersabda: “Seorang hamba tidak akan sampai kepada

hakikat iman sehingga/kecuali dia menyimpan lidahnya”. (HR Thobaroni,
dari Anas, HS).

Secara syarah, yang dimaksud dengan kata “lidah” ialah ucapan atau
perkataan. Maka hadits menunjukkan bahwa mukmin yang bisa mencapai
hakikat iman ialah mukmin yang bisa menyimpang/menahan
ucapan/perkataan yang tidak baik. Yaitu misalnya ucapan yang bernada
riya’, kibir/sombong, mengadu domba, memfitnah, menyakitkan hati,
memprovokasi dan lainnya. Berarti bahwa hakikat iman itu tandanya ialah
menelurkan ucapan/perkataan yang baik dan bermanfaat dalam pergaulan
hidup.
Itulah ucapan/perkataan yang ikhlas, dan ikhlas itu tumbuh dari iman yang
teguh dan berfungsi. Rasulullah saw ketika ditanya tentang iman menjawab:
“Iman itu ikhlas (HR Baihaqi dari Abi Firos).
Rasulullah saw bersabda:”Mengherankan untuk perkara/urusan orang
yang beriman. Sesungguhnya urusan/perkara orang mukmin semuanya baik
baginya. Tetapi demikian itu tidak terjadi bagi seseorang kecuali bagi
mukmin yang apabila dia menerima kesenangan, maka dia bersyukur dan
itu baik baginya. Tetapi apabila dia ditimpa madharat, maka dia bersabar
dan itu baik baginya”.(HR Muslim dan Ahmad, dari Shuhaib).

Secara syarah, hadits tersebut menunjukkan bahwa seseorang yang imannya
teguh lagi berfungsi, bila dia menerima kesenangan berupa rizki,
kedudukan/jabatan/pangkat dari Allah SWT sebagai amanat, maka dia
bersyukur dengan memanfaatkannya sebagai sarana/bekal untuk beribadah
kepada Allah SWT dengan ikhlas demi ridha-Nya. Sebaliknya, kalau dia
menerima madharrat/musibah/kesusahan/kesempitan sebagai peringatan
Allah SWT karena rahmat-Nya, maka dia bersabar dan tetap beribadah
semampunya. Misalnya, dia sakitr hingga tidak bisa berdiri, maka dia tetap
mendirikan shalat dengan duduk.

Rasulullah sawbersabda: “Iman itu pengikat/pengendali penyerangan,
orang mukmin tidak (mendahului) menyerang”. (HR Bukhari, Dawud dan
Hakim, dari Abi Hurairah).
Secara syarah, hadits menunjukkan bahwa iman yang teguh dan berfungsi
itu menjadi pengikat/pengendali/komando untuk menyerang lawan yang
menyerang ummat Islam lebih dahulu. Artinya, ummat Islam tidak boleh
menyerang lebih dahulu kepada lawan yang tidak menyerang ummat Islam.
Dalam konteks penyerangan, Allah SWT berfirman:
………oleh karena itu barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah
dia seimbang dengan serangannya terhadapmu……(QS Al-Baqarah: 194).

Secara tersirat, ayat menunjukkan bahwa Islam mengajarkan perdamaian,
keamanan dan kesejahteraan dalam hidup bermasyarakat dan berbangsa.
Rasulullah saw bersabda: “Paling sempurna iman orang-orang mukmin itu
paling baik akhlak mereka. (HR Ahmad, dari Abu Hurairah, HS).
Jelas sekali, hadits menunjukkan bahwa iman yang sempurna (teguh dan
berfungsi) menumbuhkan akhlak karimah dalam pergaulan hidup.
Rasulullah saw bersabda: “Semua orang mukmin itu seperti seorang. Jika
kepalanya mengadu (karena sakit), maka seluruhnya mengadu, dan jika
matanya mengadu, seluruhnya mengadu”. (HR Ahmad dan Muslim, dari
Nu’man bin Basyir).
Secara syarah, hadits menunjukkan bahwa Rasulullah saw menggambarkan
atau memperumpamakan bahwa pergaulan/persahabatan/persaudaraan
orang-orang mukmin/muslim seluruhnya seperti hidupnya seorang yang
mempunyai berbagai organ (anggota) yang gerak hidupnya
menggambarkan/menunjukkan adanya komunikasi yang harmonis,
solidaritas, disiplin, kekompakkan dan kebersamaan, Analisanya – dengan
kemampuan yang ada – antara lain sebagai berikut:

Komunikasi. Kalau diperhatikan dan dirasakan, maka dalam gerak tubuh
manusia terdapat komunikasi yang harmonis antar organ (anggota tubuh)

yang masing-masing secara keseluruhan tidak ada konflik dalam
gerakannya, bahkan menunjukkan adanya gerak komplementer atau saling
melengkapi. Maka komunikasi yang harmonis inilah yang seharusnya
dijadikan pelajaran dalam persaudaraan.
Solidaritas. Kalau gerak organ atau anggota tubuh diperhatikan dengan
ekstra serius, maka terdapat adanya solidaritas atau kesetiakawanan yang
mantap. Solidaritas itu tersirat dalam kalimat hadits yang berbunyi: “seperti
seorang” dan “maka seluruhnya mengadu”. Misalnya, kalau salah satu
organ tubuh – umpamanya kaki – kesakitan karena luka, maka organ tubuh
lainnya secara totalitas akan ikut merasa sakit, mengeluh dan mengadu.
Kemudian memberi pertolongan kepada yang sakit dengan kemampuan
masing-masing.
Disiplin. Masing-masing organ tubuh melaksanakan tugasnya sesuai dengan
apa yang menjadi profesi atau pekerjaannya dan kompetensinya dengan
disiplin yang amat tinggi atau kepatuhan yang mantap. Misalnya, mata
bertugas melihat, telinga mendengar, mulut berkata, otak berpikir, hati
memimpin, mengkoordinir, mengarahkan, membimbing dan begitu tugas
yang lain bagi organ lainnya. Kalau disiplin organ tubuh manusia itu
diterapkan dalam Ukhuwah Imaniah Islamiyah, maka orang-orang mukmin
akan memiliki – insya Allah – kekuatan yang hebat dalam perjuangan

menegakkan dan menunjung tinggi agama Islam.
Kompak. Demi keutuhan dan tercapai keinginannya, masing-masing organ
melaksanakan tugas dengan kompak dan disiplin yang tinggi. Dan
kekompakkan akan menumbuhkan rasa solidaritas yang mantap. Maka,

kekompakkan kalau terwujud dalam persaudaraan tentunya akan merupakan
kunci keberhasilan perjuangan umat Islam di jalan Allah SWT.
Kebersamaan. Setiap organ tubuh melaksanakan tugasnya itu untuk
kepentingan bersama/tubuh seluruhnya. Maka untuk memenuhi keinginan
tubuh secara totalitas harus ada rasa kebersamaan dalam melangkah.
Rasulullah saw bersabda: “Tiga hal yang barangsiapa berada di dalamnya,
maka dia menemukan kemanisan iman. Yaitu: Bila Allah dan Rasul-Nya
lebih dicintai daripada lainnya, dia tidak mencintai seseorang selain ikhlas
karena Allah dan dia benci/tidak senang bila dia kembali kepada kufur
setelah Allah menyelamatkan dia dari kufur sebagaimana dia benci/tidak
senang bila dia dilontarkan ke dalam neraka”. (HR Bukhari dan Turmudzi,
dari Anas).
Secara syarah, seseorang untuk mendapat iman yang manis ada tiga syarat:
Pertama, orang harus lebih mencintai Allah SWT dan Rasul-Nya daripada
yang lain. Dan cinta ini tidak akan diperoleh kecuali dengan ikhlas

beribadah kepada Allah SWT dan ittiba’, mengikuti dan meneladani
Rasululllah saw. Ini pun tidak akan diperoleh bila dia tidak
mempelajari/memahami Al-Qur’an dan Hadits dan mengamalkannya
semampunya dengan ikhlas demi ridha Allah SWT semata.
Kedua, orang yang mencintai orang lain harus ikhlas demi ridha Allah SWT.
Ketiga, orang yang membenci/tidak senang kalau kembali kepada kekufuran
sebagaimana dia tidak senang jika masuk neraka. Berarti dia benci/tidak
senang berbuat kufur, karena kekufuran itu dosa yang menyebabkan masuk
neraka.
Selanjutnya, cara usaha memperteguh iman ialah dengan mempelajari dan
memahami ajaran Islam terutama yang berkaitan dengan iman lalu

mengamalkannya dengan mohon pertolongan Allah SWT dan mengharap
ridha-Nya.

Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 17-02