Mengusap Kepala Ketika Wudlu, Sebagian atau Seluruhnya

MENGUSAP KEPALA KETIKA WUDLU,
SEBAGIAN ATAU SELURUHNYA ??

‫م‬
‫اللهم صل عى س يدا د و عى ال س يدا د‬

Ini adalah ikhtilaf yg terjadi di kalangan para ulama fiqih semenjak dahulu. Yg satu tidak
pernah menyalahkan yg lain. Begitulah seharusnya kita bersikap. Namun di akhir zaman
ini, tidak sedikit kaum muslimin menyalahkan kelompok yg lainnya. Hal tsb juga sering
kita temukan di website2 yg membahas masalah ini. Ada beberapa dari website2 tsb yg
sangat menyalahkan pihak yg tidak sependapat dengannya dan menggunakan bahasa yg
kurang santun. Misalnya suatu judul artikelnya “Kesalahan Fatal Orang Berwudlu”,
“Kesalahan Orang2 Awam ketika Wudlu”, atau semacamnya, yg mana salah satu kesalahan
yg mereka sebut adalah mengusap kepala hanya SEBAGIAN saja.
Yaa ikhwan ! Tahukah antum siapa yg sedang mereka katakan sebagai pelaku kesalahan
fatal tsb ? Siapa yg sedang mereka katakan sebagai org2 awam ? Sepertinya mereka belum
tahu. Jangan sampai kasus ini seperti kasus bahasan “Menyentuh Perempuan Dapat
Membatalkan Wudlu”, yg mana ada seorang ustadz yg mengatakan bahwa org yg
mengatakan wudlu batal karena menyentuh perempuan, maka ia adalah org yg goblok...
Nah, kasusnya hampir sama, org yg mengatakan bahwa boleh mengusap kepala hanya
sebagian saja, maka ia adalah org awam. Semoga hal2 semacam ini tidak pernah terjadi lagi.

Hendaklah kita lebih arif dalam menghadapi perbedaan yg ada.
Semoga Allah melembutkan dan menyatukan hati kita semua, ummat Islam, Aamiin.

Dalam masalah ini, 4 madzhab berbeda pendapat:
a. Madzhab Hanafi mengatakan boleh sebagian kepala saja, yaitu minimal seperempatnya.
b. Madzhab Maliki mengatakan tidak boleh sebagian kepala saja, harus seluruhnya.
c. Madzhab Syafi‟i mengatakan boleh sebagian kepala saja, meskipun itu hanya satu
helai rambut.
d. Madzhab Hanbali mengatakan tidak boleh sebagian kepala saja, harus seluruhnya.
Maka disini akan ditunjukkan apa yg menjadi landasan dalil bagi pendapat Syafi‟iyyah (dan
Hanafiyyah) karena mereka lah yg sering disalahkan dalam masalah ini. Semoga setelah ini
tidak ada lagi yg menyalahkan dan berkata buruk kepada Syafi‟iyyah.

Imam Syafi‟i mengatakan dalam kitabnya, al-Umm, 2/56 – 57:

BAB MENGUSAP KEPALA
Imam Syafi‟i rohimahullahu ta‟ala berkata: “Allah SWT berfirman ‫و ُ ْا‬
ِ ُ ُ ِ ‫و ُ وا‬
َ ‫ َ ْوا‬:
“Wamsahuu bi ru‟uusikum”: “Dan usaplah kepalamu” (al-Maa‟idah: 6). Dalam ayat tsb,

maka masuk di akal apabila pengertiannya adalah barangsiapa telah mengusap sedikit dari
kepalanya, maka sesungguhnya ia telah mengusap kepala. Tidak ada makna yg terkandung
dalam ayat ini selain makna itu dan itu adalah makna yg paling jelas, atau pengertiannya
adalah mengusap seluruh kepalanya. [Artinya, perintah dalam ayat ini adalah boleh
mengusap sebagian kepala saja atau boleh seluruhnya]. Dan sunnah pun tidak
menunjukkan bahwa seseorang harus mengusap kepala seluruhnya. Jika sunnah telah
menunjukkan hal tsb, maka makna ayat di atas adalah seseorang boleh mengusap sedikit
bagian dari kepalanya.”
Imam Syafi‟i berkata: “Jika seseorang mengusap bagian mana saja yg dikehendaki dari
kepalanya, baik ia berambut atau tidak, maka rambut kepalanya itu bisa diusap baik dengan
satu jari saja, atau beberapa jari, atau bagian dalam telapak tangannya, atau bahkan ia
menyuruh org lain untuk mengusap kepalanya (maka ini semua sudah cukup baginya).
Begitu pula jika ia mengusap kedua pelipisnya yg tak berambut, maka itu sudah cukup
baginya karena itu termasuk bagian dari kepalanya.”
Selanjutnya beliau meriwayatkan hadits berikut ini:

No. 70: Imam Syafi‟i berkata: “Telah mengabarkan kepada kami Muslim dari Ibnu Juraij,
dari „Atho‟, ia berkata: “Sesungguhnya Rosulullah Saw berwudlu kemudian membuka
sorban dari kepalanya. Beliau Saw mengusap bagian depan kepalanya.” Atau „Atho‟
berkata: “Beliau Saw mengusap ubun2nya dengan air.”


No. 71: Imam Syafi‟i berkata: “Telah mengabarkan kepada kami Ibrohim bin Muhammad
dari „Ali bin Yahya, dari Ibnu Sirin, dari al-Mughiroh bin Syu‟bah: “Sesungguhnya
Rosulullah Saw mengusap ubun2nya.” Atau al-Mughiroh berkata: “Beliau Saw mengusap
bagian depan kepalanya dengan air.”

PENJELASAN:
Imam Syafi‟i berpendapat bahwa mengusap kepala ketika wudlu boleh hanya sebagian
kepala saja, tidak harus seluruhnya. Beliau berdalil dengan dalil Naqli dan dalil ‘Aqli, yaitu

al-Maa‟idah: 6. Dalam ayat tsb ada perintah ‫و ُ ْا‬
ِ ُ ُ ِ ‫و ُ وا‬
َ ‫ َ ْوا‬: “dan usaplah kepalamu”,
beliau mengatakan bahwa sangatlah masuk akal (‘Aqli) apabila pengertian ayat tsb
mengandung kebolehan mengusap sebagian kepala saja karena di ayat tsb tidak ada kalimat
“usaplah seluruh kepalamu”, yg ada adalah “usaplah kepalamu”. Siapapun dapat
menerima logika seperti ini. Penjelasan lebih lanjut tentang pengertian ayat ini sudah
diterangkan oleh Imam an-Nawawi yg akan disebutkan nanti. Pengertian semacam ini juga
didukung oleh sunnah dari Rosul Saw yg beliau riwayatkan, yaitu hadits no. 70 dan 71,
bahwa Rosul Saw pernah mengusap sebagian kepalanya saja, yaitu bagian depan kepalanya

sampai ubun2nya. Namun, hadits no. 70 ini mursal (tidak disebutkan siapa shohabat yg
meriwayatkan perkataan Rosul ini, „Atho‟ adalah seorang tabi’in, bukan shohabat) sehingga
kualitasnya dlo‟if. Akan tetapi, hadits no. 70 ini terangkat derajatnya dengan adanya hadits
no. 71 yg maushul (bersambung), yaitu yg diriwayatkan oleh al-Mughiroh bin Syu‟bah, ia
adalah seorang shohabat. Pembahasan lebih lanjut mengenai terangkatnya hadits mursal tsb
(hadits no. 70) telah dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-„Asqolani (Amirul Mu‟minin fil
Hadits) yg akan disebutkan nanti.

***
Imam an-Nawawi rohimahullah juga menjelaskan permasalahan ini dan mengutarakan
pengertian dari ayat tsb yg melengkapi penjelasan Imam Syafi‟i di atas dalam kitab alMajmu‟, 1/431, sbb:

(Cabang): Penjelasan Madzhab2 „Ulama tentang Ukuran Minimal dalam Mengusap Kepala
“Sungguh kami telah menuturkan bahwasannya yg masyhur dalam madzhab kami
(Syafi‟iyyah) bahwa ukuran minimal mengusap kepala adalah apa yg dinamakan mengusap
itu sendiri [yaitu menempelkan tangan yg basah ke kepala lalu menjalankan tangan tsb,
sehingga ada bagian kepala yg basah karena usapan tangan tsb, meskipun tidak seluruh
kepala]. Hal ini telah diriwayatkan oleh Ibnu ash-Shobbagh dari shohabat Ibnu „Umar
rodliyallahu „anhuma. Ash-hab kami (para ulama Syafi‟iyyah) juga meriwayatkan hal tsb
dari Hasan al-Bashri, Sufyan ats-Tsauri, dan Dawud azh-Zhohiri. Imam Abu Hanifah

memiliki 3 pendapat yg masyhur dalam masalah ukuran minimal mengusap kepala:
Pertama, minimal seperempat kepala; kedua, minimal sekadar ukuran 3 jari dan
mengusapnya juga harus dg 3 jari; ketiga, seukuran sampai ubun2. Pendapat al-Qodli Abu
Yusuf (sahabat Imam Abu Hanifah) adalah minimal setengah kepala. Pendapat Imam
Malik, Imam Ahmad, dan Imam al-Muzani adalah harus seluruh kepala menurut riwayat
yg masyhur dr mereka. Berkata Muhammad bin Salamah dari kalangan Malikiyyah: “jika
meninggalkan usapan pada sepertiga kepala, maka itu boleh saja menurut salah satu
pendapat dari Imam Ahmad.”
Imam an-Nawawi menjelaskan hujjah dr masing2 pendapat di atas:

“Ulama yg mewajibkan mengusap seluruh kepala (Malikiyyah dan Hanabilah) berhujjah
dengan firman Allah SWT: ‫و ُ ْا‬
ِ ُ ُ ِ ‫و ُ وا‬
َ ‫ َ ْوا‬: “dan usaplah kepalamu”. Mereka berkata
bahwa makna huruf “ ba‟ “ pada kalimat tsb adalah “lil ilshoq” yaitu berfaedah

“menempel”, [maksudnya, semua kepala harus menempel dengan usapan tangan], seperti
firman Allah Ta‟ala:

‫ َ ْاَ َ َ ُ واِ ْاَ ْ ِ اوْا َ ِ ْ ِا‬: “walyaththowwafuu bil baitil „atiiq” : “dan


hendaklah ber-thowwaf di sekeliling rumah tua (Baitullah)” [al-Hajj: 29]. Dan kewajiban
mengusap seluruh kepala juga berhujjah dengan dalil yg tsabit (tetap) bahwa sesungguhnya
Nabi Saw mengusap seluruh kepalanya. Dan kewajiban mengusap seluruh kepala juga

berhujjah dengan Qiyas pada Tayammum dalam firman Allah Ta‟ala: ‫و ُ وا ِ ُ ُ ِو ُ ْا ا‬
َ ‫ َ ْا‬:
“famsahuu bi wujuuhikum” : “dan usaplah wajahmu” [al-Maa‟idah: 6], dan sudah jelas
perintah tayammum dalam ayat tsb adalah mengusap wajah secara keseluruhan.”

PENJELASAN:
Para „ulama yg mengatakan bahwa mengusap kepala harus keseluruhan (yaitu Malikiyyah
dan Hanabilah), berhujjah dengan ayat yg sama dengan yg dipergunakan oleh Syafi‟iyyah,

‫و ُ وا ِ ُ ُ ِو ُ ْا‬
َ ‫ َ ْوا‬: “dan usaplah kepalamu”. Mereka mengatakan bahwa huruf “ ba‟ “
pada kata ‫و ُ ْا‬
ِ ُ ُ ِ berfaedah “lil ilshoq” (menempel secara keseluruhan) sehingga perintah
yaitu


pada ayat ini adalah mengusap kepala secara keseluruhan. Pengertian semacam ini diambil

dari ayat ‫ ْاَ َ َ ُ واِ ْاَ ْ ِ اوْا َ ِ ْ ِا‬: “dan hendaklah ber-thowwaf di sekeliling Baitullah”, bahwa
َ
makna “ ba‟ “ pada kata ‫ ِ ْاَ ْ ِا‬adalah “sekeliling/keseluruhan Baitullah”, karena tidak
mungkin ber-thowwaf hanya pada sebagian Baitullah saja. Maka makna “ba‟ “ pada

‫ ِ ُ ُ ِو ُ ْا‬juga bermakna sama, yaitu “keseluruhan kepala”. Mereka juga berhujjah dengan

hadits bahwa Rosul Saw mengusap seluruh kepalanya (yaitu hadits riwayat Muslim.
Penjelasan hadits ini akan dikemukakan nanti). Mereka juga berhujjah dengan
menggunakan Qiyas pada perintah Tayammum dalam ayat

‫و ُ وا ِ ُ ُ ِو ُ ْا‬
َ ‫ َ ْا‬: “dan

usaplah wajahmu”, bahwa makna “ba‟ “ pada kata ‫ ِ ُ ُ ِو ُ ْا‬berfaedah “lil ilshoq” yg artinya
adalah seluruh wajah sesuai dengan ijma‟ (kesepakatan) ulama, bukan sebagian wajah saja.

‫و ُ وا ِ ُ ُ ِو ُ ْا‬

َ ‫ َ ْا‬bermakna “dan usaplah KESELURUHAN
wajah”, maka pada ayat
‫و ُ وا ِ ُ ُ ِو ُ ْا‬
َ ‫ َ ْوا‬juga harus bermakna “dan usaplah
Maksudnya, jika pada ayat

KESELURUHAN kepala”, karena sama2 menggunakan perintah “usaplah” dan sama2
menggunakan huruf “ ba‟ “ pada objek yg diusap.

Hujjah2 di atas disanggah oleh Imam an-Nawawi dalam al-Majmu‟, 1/431 - 432, sbb:

“Ash-hab kami (para ulama Syafi‟iyyah) berhujjah dengan pengertian bahwa yg namanya
mengusap itu ada minimalnya dan maksimalnya. Dan telah tsabit (tetap) dalam hadits
shohih bahwasannya Nabi Saw pernah mengusap kepalanya sampai sebatas ubun2nya saja,
maka hadits tsb menolak pendapat wajibnya mengusap kepala secara keseluruhan dan juga
menolak wajibnya mengusap kepala minimal seperempatnya, sepertiganya, atau
setengahnya, karena sesungguhnya ubun2 itu kurang dari seperempat kepala, serta
mengusap adalah apa yg dinamakan mengusap itu sendiri (menjalankan tangan yg basah ke
kepala). Pendapat tsb telah dipegang oleh Imam al-Haromain dalam kitabnya, al-Asalib,
pada pembahasan khilafiyyah permasalahan mengusap kepala. Maka dari itu, mafhum (yg

dapat dipahami) dari mengusap adalah tidak disyaratkan harus menyeluruh. Hal ini juga
didukung oleh hadits bahwa Nabi Saw mengusap sampai ubun2nya saja.”

“Adapun perkataan mereka bahwa makna huruf “ ba‟ “ pada kata ‫و ُ ْا‬
ِ ُ ُ ِ berfaedah “lil
ilshoq”, maka ash-hab kami (para „ulama Syafi‟iyyah) menjawab: Makna “ ba‟ “ di situ
bukanlah “lil ilshoq”, melainkan “lit tab‟idl” (berfaedah “sebagian saja”, tidak keseluruhan,
sehingga makna

‫ ِ ُ ُ ِو ُ ْا‬adalah “sebagian kepala”). Para ulama Syafi‟iyyah menukil

pengertian tsb dari sebagian ahli bahasa Arab yg mana mereka (para ahli Bahasa Arab)
berkata: “jika ba‟ masuk pada fi‟il yg me-muta’addi-kan dengan dirinya sendiri, maka ia

‫و ُ وا ِ ُ ُ ِو ُ ْا‬
َ ‫ َ ْوا‬: “dan usaplah kepalamu”,
dan jika tidak muta’addi, maka ia bermakna “lil ilshoq”, seperti firman-Nya ‫ْاَ َ َ ُ واِ ْاَ ْ ِ ا‬
َ
bermakna “lit tab‟idl”, seperti firman Allah


‫ وْا َ ِ ْ ِا‬: “dan hendaklah ber-thowwaf di sekeliling/keseluruhan Baitullah”.” [Fi‟il Muta‟addi
ada pada ilmu Nahwu. Bagi yg paham ilmu Nahwu, pasti mengerti]. Ash-hab kami (para
ulama Syafi‟iyyah) juga berkata: “pengertian semacam itu juga didapat dari penjamakan
(penggabungan) antara ayat di atas dg beberapa hadits: Nabi Saw mengusap keseluruhan
kepalanya dalam sebagian besar waktunya dan kami pun telah menerangkan
keutamaannya. Tetapi Nabi Saw juga pernah mengusap sebagian kepalanya saja dalam
suatu waktu dan kami juga menerangkan kebolehannya. Adapun Qiyas yg dilakukan oleh
mereka (Malikiyyah dan Hanabilah) pada ayat Tayammum, maka sanggahannya ada dua
macam: Pertama, sesugguhnya Sunnah menerangkan bahwa yg dituntut untuk diusap pada
Tayammum adalah memang harus keseluruhan. Kedua, Imam Syafi‟i menerangkan bahwa
mengusap wajah pada Tayammum adalah hal yg berbeda dengan mengusap kepala pada
wudlu. Mengusap kepala adalah perkara yang asal (sudah ada dari sananya), sehingga
pengambilan hukumnya adalah dari hukum lafazh-nya, sedangkan Tayammum adalah
pengganti dari membasuh wajah (pada wudlu), maka pengambilan hukumnya adalah dari
hukum perkara yg diganti tsb (yaitu membasuh keseluruhan wajah).”

PENJELASAN:
Syafi‟iyyah menolak hujjah2 dari Malikiyyah dan Hanabilah dengan beberapa sanggahan
berikut:
1. Yg namanya mengusap adalah apa yg dinamakan mengusap itu sendiri, yaitu

asalkan ada bagian kepala yg sudah basah dari usapan tsb, maka ia sudah dikatakan
mengusap.

2. Makna huruf “ ba‟ “ pada kata ‫و ُ ْا‬
ِ ُ ُ ِ adalah berfaedah “lit tab‟idl” sesuai kaidah
dalam ilmu Nahwu yg diutarakan oleh para ahli bahasa Arab, yaitu bahwa jika ba‟
masuk pada fi‟il muta‟addi pada dirinya sendiri, maka ia berfaedah “lit tab‟idl”,
bukan “lil ilshoq”. Jadi, permasalahan makna “ ba‟ “ pada kata
diambil dari ayat

‫ ِ ُ ُ ِو ُ ْا‬tidak bisa

‫ َ ْاَ َ َ ُ واِ ْاَ ْ ِ اوْا َ ِ ْ ِا‬: “dan hendaklah ber-thowwaf di sekeliling

Baitullah”, hanya karena kesamaan penggunaan huruf “ ba‟ “ di situ. Justru makna

kata ‫ ِ ْاَ ْ ِ اوْا َ ِ ْ ِا‬juga diambil dari kaidah Nahwu di atas, yaitu karena ba‟ di situ
masuk pada fi‟il yg tidak muta‟addi, maka ba‟ di situ berfaedah “lil ilshoq” sehingga
maknanya “sekeliling / keseluruhan Baitullah”.
3. Ada hadits lain yg menerangkan bahwa Nabi Saw pernah mengusap kepalanya
sampai ubun2nya saja, tidak seluruh kepala, padahal beliau Saw sendiri membuka
sorban di kepalanya yg sama sekali tidak ada halangan bagi beliau untuk mengusap

seluruh kepalanya. Hadits tsb adalah hadits no. 70 yg diriwayatkan Imam Syafi‟i di
atas. [Penshohihan hadits no. 70 ini akan disebutkan di bawah].
4. Qiyas yg dilakukan Malikiyyah dan Hanabilah pada ayat tentang mengusap wajah
pada Tayammum untuk menentukan hukum mengusap kepala pada wudlu, tidak
bisa diterima. Karena:
a. Mengusap SELURUH wajah ketika tayammum memang merupakan Sunnah
(hadits) yg tsabit yg merupakan contoh dari Rosul Saw. Kita semua tahu bahwa
Sunnah (hadits) berfungsi sebagai penjelas bagi ayat2 al-Qur‟an. Nah, ketika
ayat al-Quran memerintahkan untuk mengusap wajah pada tayammum,
ternyata Sunnah menjelaskan bahwa mengusap wajah ketika tayammum itu
harus seluruh wajah, tidak boleh sebagian saja. Jadi, hukum wajib mengusap
seluruh wajah saat tayammum itu berasal dari Sunnah, bukan ditinjau dari segi
bahasa, sehingga ini tidak bisa diqiyaskan untuk menentukan hukum mengusap
kepala saat wudlu.
b. Mengusap kepala saat wudlu adalah perkara yg asal, yaitu sudah ada dari
sananya, bukan merupakan pengganti dari sesuatu. Maka, pengambilan
hukumnya harus dari segi hukum lafazh-nya, dan penjelasan lafazh mengusap
kepala ini sudah diterangkan di atas, yaitu “lit tab‟idl”.
c. Mengusap wajah saat tayammum adalah PENGGANTI dari membasuh wajah
ketika wudlu. Maka, hukum yg diambil untuk mengusap wajah pada
tayammum adalah harus kembali pada hukum perkara yg diganti tsb, yaitu
membasuh wajah. Nah, karena hukum membasuh wajah saat wudlu adalah
harus seluruh wajah, maka mengusap wajah pada tayammum pun harus
seluruhnya pula. Sedangkan mengusap kepala bukanlah perkara pengganti
apapun, karena ia perkara yg asal. Jadi, qiyas yg dilakukan mereka (Malikiyyah
dan Hanabilah) tidak dapat diterima.

***
Berikut ini adalah penjelasan mengenai shohihnya hadits no 70 di atas. Ini dijelaskan oleh
sang Amirul Mu‟minin fil Hadits (Pemimpin Mukminin dalam Ilmu Hadits), yaitu al-Hafizh
Ibnu Hajar al-„Asqolani rohimahullah, yg merupakan penjelasan pada hadits riwayat Imam
Bukhori dalam hadits tentang wudlu, dalam kitab Fathul Bari, 1/ 292 – 293, sbb:

“Perkataannya:‫ ﺛﻡاﻣﺴ اﺭﺃﺴﻪ ا‬: “tsumma masaha ro‟sahu”: “kemudian beliau Saw mengusap
kepalanya”. Dalam riwayat dari ath-Thiba‟, diberi tambahan “secara keseluruhan”,
sebagaimana disebutkan terdahulu dari riwayat Ibnu Khuzaimah. Dalam riwayat Kholid
bin „Abdillah, diberi tambahan huruf ba‟ sehingga bunyi haditsnya (menurut beliau)
menjadi

‫ ﺛﻡاﻣﺴ ا ﺭﺃﺴﻪ‬: “tsumma masaha bi ro‟sihi”. Imam al-Qurthubi berkata:

“penggunaan huruf ba‟ di situ berfungsi ta’diyah (membantu kata kerja dalam memberi

pengaruh pada objek). Huruf ba‟ tsb boleh disebutkan dalam kalimat dan juga boleh tidak

disebutkan (karena ia tidak mempengaruhi makna), seperti kalimat ‫ ﻣﺴ ﺖاﺭﺃ ﺲاﺍا ﻡ‬:

“masahtu ro‟sal yatim” : “aku mengusap kepala anak yatim”. Dan boleh dikatakan pula ‫ا‬

‫ ﻣﺴ ﺖ ﺭﺃﺲا ﺍا ﻡ‬: “masahtu bi ro‟sil yatim” (artinya sama saja). Namun ada pula yang
mengatakan bahwa huruf ba’ pada firman Allah SWT ‫و ُ ْا‬
ِ ُ ُ ِ ‫و ُ وا‬
َ ‫ َ ْوا‬memberikan makna

tersendiri, yaitu bahwasannya lafazh “membasuh” dalam bahasa Arab mengharuskan
adanya sesuatu yang dipakai untuk membasuh. Sedangkan lafazh “mengusap” tidak
berkonsekuensi adanya sesuatu yang dipakai untuk mengusap. Oleh karena itu, jika
dikatakan ‫و ُ ْا‬
ِ ُ ُ ِ ‫و ُ وا‬
َ ‫ َ ْوا‬, maka boleh mengusap kepala dengan tangan tanpa air. Imam
Syafi‟i berkata: “Firman Allah SWT ‫و ُ ْا‬
ِ ُ ُ ِ ‫و ُ وا‬
َ ‫ َ ْوا‬: “dan usaplah kepalamu”, dapat
bermakna mengusap seluruh kepala DAN dapat pula bermakna mengusap sebagiannya.
Dan Sunnah telah menjelaskan bahwa membasuh sebagian kepala sudah mencukupi.
Perbedaan ayat di atas dengan firman Allah SWT ‫و ُ وا ِ ُ ُ ِو ُ ْا‬
َ ‫ َ ْا‬: “dan usaplah wajahmu”
dalam tayammum adalah bahwa di sini diharuskan mengusap seluruh wajah saat
tayammum dan tidak diperkenankan hanya mengusap sebagiannya, karena tayammum
adalah sebagai pengganti membasuh wajah saat wudlu. Sementara mengusap kepala adalah
perbuatan asal, bukan sebagai pengganti. Dari sini, dapat dipahami perbedaan makna
huruf “ ba’ “ pada kedua firman Allah SWT tersebut. Keterangan ini tidak dapat dikritik
dengan mengatakan bahwa kedua sepatu tidak mesti diusap secara keseluruhan, padahal
perbuatan ini merupakan pengganti daripada membasuh kedua kaki, karena dalam hal ini
telah ada ijma‟ yang menyatakan adanya keringanan dalam mengusap sepatu.” [Masalah
mengusap sepatu ini sebenarnya bukan bahasan kita sekarang].
Apabila dikatakan “Mungkin Nabi Saw sengaja mencukupkan dengan mengusap ubun2nya
karena safar (bepergian), dimana safar adalah saat yang banyak diberi keringanan, maka
beliau Saw mengusap bagian atas sorbannya setelah mengusap ubun-ubunnya,
sebagaimana yang dapat dipahami dari makna hadits riwayat Muslim dari al-Mughirah bin
Syu‟bah.” Maka kami katakan: “Telah diriwayatkan bahwa beliau Saw pernah mengusap
bagian depan kepalanya saja tanpa meneruskannya dengan mengusap sorbannya dan tidak
dalam keadaan safar.” Riwayat yang dimaksud adalah hadits yang dinukil oleh Imam
Syafi‟i dari „Atho‟ (hadits no. 70), bahwa Rosulullah berwudlu lalu melepas sorban dari
kepalanya kemudian mengusap bagian depan kepalanya saja. Meskipun dalam
meriwayatkan hadits ini, si tabi‟in - dalam hal ini „Atho‟ - tidak menyebutkan nama
shohabat yang meriwayatkannya sehingga dikategorikan sebagai hadits mursal, namun
kedudukannya diperkuat oleh jalur periwayatan lain yang bersambung langsung kepada
Nabi Saw (maushul). Riwayat tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud
dari Anas bin Malik, dan dalam sanadnya terdapat Abu Ma‟qil, seorang perowi yang tidak
dikenal keadaannya. Kedua riwayat ini saling menguatkan satu sama lain, sehingga
diperoleh kekuatan yang layak dijadikan sebagai dalil.
Riwayat ini pula yang dijadikan sebagai contoh oleh Imam Syafi‟i ketika menyebutkan
syarat hadits mursal yang dapat diterima. Beliau mengatakan: “hendaklah hadits mursal
tersebut didukung oleh hadits mursal yang lain, atau diriwayatkan pula dari jalur lain yang
bersambung sampai kepada Nabi Saw (maushul).”
Dari sini terjawab kritikan yang ditujukan kepada perkataan Imam Syafi‟i di atas, yakni
mereka yang mengatakan “yang menjadi hujjah adalah hadits yang silsilah periwayatannya
bersambung kepada Nabi Saw (maushul) saja sehingga hadits yang mursal itu tidak
berfungsi.” Jawaban kritikan ini telah aku (Ibnu Hajar) tegaskan dalam catatanku pada kitab
„Ulumul Hadits, karya al-Hafizh Ibnu Sholah.

Sehubungan dengan persoalan ini, telah diriwayatkan pula dari „Utsman mengenai sifat

wudlu Nabi Saw dimana dikatakan, ‫ ﻮﻣﺴ اﻣ ﺩﻡاﺭﺃﺴﻪ‬: “wa masaha muqoddama ro‟risihi” :

“lalu beliau Saw mengusap bagian depan kepalanya”. Hadits ini diriwayatkan oleh Sa‟id
bin Manshur. Namun dalam silsilah periwayatannya terdapat Kholid bin Yazid bin Abu
Malik, salah seorang perowi yang diperselisihkan keakuratan riwayatnya. Sementara itu,
telah terbukti dalam riwayat lainnya bahwa Ibnu ‘Umar rodliyallahu ‘anhuma pernah
mencukupkan dengan mengusap sebagian kepala saja saat berwudlu, seperti yang
disebutkan oleh Ibnul Mundzir rohimahullah dan selain beliau. Lalu tidak ada satu pun
riwayat shohih yg dinukil dari para shohabat Nabi Saw yang mengingkari perbuatan
Ibnu ‘Umar tersebut, seperti yg dikatakan oleh Ibnu Hazm rohimahullah. Riwayat2
mengenai perbuatan shohabat ini termasuk diantara hal2 yang menguatkan hadits mursal
yang telah disebutkan tadi. Wallahu a‟lam.
Perkataannya:

‫ ﺩﺃا ﻣ ﺩﻡاﺭﺃﺴﻪ‬: “bada‟a bi muqoddami ro‟sihi: “Kemudian beliau Saw

memulainya dengan bagian depan kepalanya”, secara lahiriah, lafazh ini termasuk hadits
dan bukan kalimat yang disisipkan oleh Imam Malik. Oleh karena itu, lafazh ini menjadi
bantahan terhadap mereka yang mengatakan bahwa termasuk sunnah memulai mengusap
dari bagian belakang kepala atas dasar makna zhohir hadits, “Dia (shohabat Abdullah bin
Zaid) mengusap kepalanya yang ke arah depan dan yang ke arah belakang.” Untuk alasan
yang mereka kemukakan ini, dapat dijawab: “Kata sambung yang digunakan dalam teks
hadits tersebut adalah huruf wawu (yang diartikan dengan “dan”), sementara kata sambung
dengan menggunakan huruf wawu tidak memberi makna harus berurutan.”
Akan disebutkan oleh penulis hadits (Imam Bukhori) sebuah riwayat dari Sulaiman bin
Bilal, dimana dikatakan; “Beliau (Abdullah bin Zaid) mengusapkan kedua tangannya ke
arah belakang lalu ke arah depan.” Dengan demikian, makna zhohir riwayat yang mereka
sebutkan tidak dapat dijadikan hujjah karena menarik tangan ke depan dan ke belakang
adalah perkara yang relatif. Sementara dalam hadits tidak dijelaskan mana yang dimaksud
dengan arah depan dan arah belakang. Padahal sumber penukilan kedua riwayat tersebut
adalah sama. Oleh karena itu, keduanya memiliki makna yang sama pula.
Lalu dalam riwayat Imam Malik dijelaskan bahwa beliau Saw mulai mengusap bagian
depan kepala. Dengan demikian, lafazh hadits yang berbunyi ‫ﺃ ﻞ‬

(menarik ke depan)

harus dipahami sebagai salah satu bentuk gaya bahasa yang menamakan suatu perbuatan
dengan permulaan perbuatan itu sendiri, sehingga makna hadits tersebut menurut
pemahaman ini adalah: “Beliau memulai bagian depan kepalanya.” Namun, ada pandangan
yang mengartikan lain. Hikmah mengarahkan tangan ke bagian depan dan bagian belakang
adalah untuk meratakan sapuan ke seluruh kepala. Maka atas dasar ini, perbuatan tersebut
berlaku khusus bagi mereka yang memiliki rambut. Akan tetapi, pandangan yang masyhur
dari mereka (Malikiyyah dan Hanabilah) yang mewajibkan mengusap seluruh kepala bagi
mereka yang memiliki rambut adalah wajib hukumnya. Sedangkan bagi mereka yang tidak
memiliki rambut, hukumnya sunnah. Nah, dari sini, menjadi sangat jelas kelemahan
pendapat yang menjadikan hadits ini sebagai dalil untuk mengharuskan mengusap
seluruh kepala. Wallahu a‟lam.” [Sampai di sini penjelasan Ibnu Hajar al-„Asqolani tentang
masalah mengusap kepala, cukup jelas].

Dari keterangan yg diuraikan oleh Ibnu Hajar di atas, maka menjadi jelas bahwa hadits no.
70 yg diriwayatkan oleh „Atho‟ menjadi sah untuk dijadikan hujjah dalam masalah ini. Dan
kesimpulan akhir yg diutarakan Ibnu Hajar di atas juga menjadi jawaban yg sangat bagus
untuk mereka, Malikiyyah dan Hanabilah.

Sebagai tambahan, riwayat Ibnu „Umar rodliyallahu „anhuma yg disinggung oleh al-Hafizh
Ibnu Hajar dan Imam an-Nawawi di atas adalah diriwayatkan oleh „Abdurrozzaq dalam
Mushonnaf-nya, 1/6 – 7, hadits no. 7, pada Kitab Thoharoh, Bab “Mengusap Kepala”, sbb:

“Abdurrozzaq dari Ma‟mar, dari Ayyub, dari Nafi‟ bahwasannya Ibnu „Umar rodliyallahu
„anhuma memasukkan kedua tangannya ke dalam (bejana berisi air) untuk wudlu
kemudian mengusap kepala dengan kedua tangannya dg sekali usapan pada bagian ubunubun saja.”
Sanad riwayat di atas adalah shohih; Ma‟mar, Ayyub as-Sikhtiyani, dan Nafi‟ adalah para
perowi masyhur, tidak usah dipertanyakan lagi.

***
Semua hujjah yg digunakan oleh Malikiyyah dan Hanabilah sudah dapat disanggah,
termasuk hadits riwayat Muslim bahwa Rosul Saw mempraktekkan cara mengusap kepala,
yaitu memulai dari depan kepalanya lalu ke belakang kepala dan membalikkannya lagi ke
depan, ini menunjukkan bahwa yg diusap oleh Rosul Saw adalah seluruh kepala. Hal ini
sangat mudah disanggah. Di atas sudah disebutkan bahwa ada hadits2 lain (no. 70 dan
hadits2 penguatnya) yg mengatakan bahwa Nabi Saw mengusap sebagian kepala saja, yaitu
sampai ubun2nya saja, padahal beliau Saw membuka sorban di kepalanya yg mana tidak
ada halangan bagi beliau Saw untuk mengusap semua bagian kepalanya. Ini menunjukkan
bahwa mengusap kepala sebagiannya atau seluruhnya, semuanya telah dicontohkan oleh
Nabi Saw. Apalagi hal tsb sudah dicontohkan jg oleh shohabat Ibnu „Umar rodliyallahu
„anhuma. Maka, mengusap keseluruhan kepala bukanlah hal yg wajib, akan tetapi hanya
sebagai keutamaan saja.
Lalu ada Qo‟idah Ushul fiqih: “semata-mata perbuatan Nabi Saw (yg tidak ada tanda2
perintah) adalah hanya menghasilkan hukum anjuran.” Jadi, mengusap seluruh kepala
adalah anjuran saja, bukan kewajiban.
Hal ini telah dikatakan oleh semua ulama Syafi‟iyyah, salah satunya:

“Sunnah mengusap seluruh kepala karena ittiba‟ (mengikuti) Rosul Saw dan untuk
menghindar dari menyelisihi Imam Malik dan Imam Ahmad. Jika hendak mengusap
sebagian kepalanya saja, maka yg lebih utama adalah mengusap ubun2nya.”
(Fathul Mu‟in lis Syaikh Zainuddin al-Malibari asy-Syafi‟i, hal. 53, pada bahasan “Sunnah2
Wudlu”).
Jadi, mengusap seluruh kepala adalah sebagai kesunnahan dan keutamaan saja. Dan bagi yg
ingin mengusap sebagiannya, maka yg lebih bagus adalah mengusap (sampai) ubun2nya.
Tetapi, kalau hanya ingin mengusap kurang dari itu, maka tidak mengapa, meskipun hanya
mengusap satu helai rambut saja. Hal ini disebabkan karena rambut merupakan bagian dari
kepala sehingga boleh saja jika ia mengusap rambutnya saja. Dan satu helai rambut juga
masih bagian dari kepala sehingga mengusap satu helai rambut saja, sudah mencukupi,
seperti ucapan Imam al-Ghozali rohimahullah berikut:

“Fardlu keempat: Mengusap kepala. Paling sedikitnya mengusap kepala adalah apa yg
dinamakan mengusap itu sendiri, meskipun pada satu helai rambut saja, dengan syarat
usapannya itu tidak keluar dari batasan kepala. Tidak disunnahkan membasuh kepala,
tetapi jika melakukannya, maka tidak dimakruhkan, menurut fatwa yg paling jelas.”
(Al-Wajiz fi Fiqh al-Imam asy-Syafi‟i lil Imam al-Ghozali, 1/123)
Dari nukilan di atas, kita mendapat informasi lain, yaitu tidak makruh (alias boleh)
membasuh kepala, tidak sekedar mengusapnya, tetapi itu jg bukan kesunnahan.

***
Sebelum ditarik kesimpulan, ada sebuah penjelasan yang cukup bagus dari Ibnu Hazm
rohimahullah yg dalam hal ini sependapat dengan Syafi‟iyyah, seperti yg sudah disinggung
oleh Ibnu Hajar di atas. Berikut lebih lengkapnya sesuai yg beliau terangkan dalam
kitabnya, al-Muhalla, 2/52 – 54:

“Adapun pendapat kami (Ibnu Hazm) dalam masalah mengusap kepala saat wudlu, maka
para ulama berselisih pendapat tentangnya. Imam Malik berkata: “harus seluruh kepala”.
Imam Abu Hanifah berkata: “minimal mengusap kepala harus seukuran tiga jari”. Dan juga
disebutkan darinya bahwa batas ukuran minimal mengusap kepala adalah se-perempat
kepala, jika mengusapnya dengan dua jari atau satu jari, maka tidak mencukupi. Tetapi jika
mengusapnya dg tiga jari, maka sudah mencukupi. Sufyan ats-Tsauri berkata: “mengusap
sebagian kepala itu sudah sah meski hanya satu helai rambut saja, demikian pula sah
hukumnya mengusap dengan hanya menggunakan satu jari ataupun sebagian jari
(maksudnya kurang dari satu jari)”. Ada sebagian ulama Syafi‟iyyah berpendapat bahwa
sahnya mengusap kepala adalah minimal pada dua helai rambut [tetapi pendapat ini tidak
mu‟tamad dalam Syafi‟iyyah], baik menggunakan satu jari ataupun kurang darinya. Imam
Syafi‟i sendiri menyukai (menyunnahkan) mengusap kepala secara keseluruhan dan
sebanyak tiga kali. Adapun Imam Ahmad bin Hanbal, beliau berkata: “sah hukumnya bagi
wanita jika dia hanya mengusap bagian depan kepalanya saja”. Sedangkan Imam al-Auza‟i
dan al-Laits bin Sa‟ad berkata: “sah mengusap kepala hanya bagian depannya saja atau pun
mengusap sebagian kepala saja (yg mana saja, gak mesti bagian depan)”. Dawud azhZhohiri berkata: “sah mengusap kepala seukuran apa yg dinamakan mengusap itu sendiri,
baik dengan satu jari atau kurang darinya, atau lebih dari satu jari. Dan aku menyukai
(menyunnahkan) mengusap secara keseluruhan sebanyak tiga kali, dan inilah yg shohih”.
Adapun pendapat yg membolehkan mengusap sebagian kepala saja, maka ini berhujjah
dengan firman Allah Ta‟ala: ‫و ُ ْا‬
ِ ُ ُ ِ ‫و ُ وا‬
َ ‫ َ ْوا‬: “dan usaplah kepalamu”, bahwa dalam
bahasa Arab yang merupakan bahasa al-Qur‟an, “mengusap” itu berbeda pengertiannya

dengan “membasuh”, ini adalah satu hal yang tidak diperselisihkan. “Membasuh” itu harus
bersifat menyeluruh, sedangkan “mengusap” itu tidak harus menyeluruh.”
Kemudian beliau (Ibnu Hazm) melanjutkan:

“Beberapa ulama Salaf yg berpendapat seperti itu (mengusap kepala boleh sebagian
saja) adalah sebagai berikut: Kami meriwayatkan dari Ma‟mar, dari Ayyub asSikhtiyani, dari Nafi‟, dari Ibnu Umar rodliyallahu „anhuma bahwasannya ia
memasukkan kedua tangannya ke dalam (bejana berisi air) untuk wudlu kemudian
mengusap kepala dengan kedua tangannya dg sekali usapan pada bagian ubun-ubun saja.
[Ini adalah riwayat „Abdurrozzaq di atas]. Dan kami juga meriwayatkan dari jalur
„Ubaidillah bin „Umar dari Nafi‟, dari Ibnu „Umar. Dan juga riwayat dari Hammad bin
Salamah, dari Hisyam bin „Urwah, dari Fathimah binti al-Mundzir bin az-Zubair (seorang
Tabi‟in wanita), sesungguhnya ia mengusap rambut kepalanya yg kanan dengan tangan
kanannya, dan mengusap rambut kepalanya yg kiri dengan tangan kirinya dari bawah
jilbabnya. Dan Fathimah ini berjumpa dengan neneknya, yaitu Asma‟ binti Abu Bakar
rodliyallahu „anha dan meriwayatkan darinya. [Artinya, mengusap sebagian kepala seperti
yg dilakukan Fathimah binti al-Mundzir adalah perbuatan Asma‟ binti Abu Bakar juga].
Riwayat lainnya adalah dari Waki‟, dari Qois, dari Abu Hasyim, dari an-Nakho‟i (seorang
Tabi‟in), ia berkata: “sesungguhnya ini – yakni bagian depan kepala dan kedua pelipisnya –
maka itu sudah mencukupi – yakni dalam wudlu – “. Dan riwayat dari Waki‟, dari Isma‟il
al-Azroq, dari asy-Sya‟bi (seorang Tabi‟in), ia berkata: “jika mengusap bagian belakang
kepalanya saja, maka itu sudah mencukupi”. Dan Tabi‟in lainnya yg berpendapat demikian
adalah „Atho‟, Shofiyyah binti Abu „Ubaid, „Ikrimah (maula Ibnu „Abbas rodliyallahu
„anhuma), Hasan al-Bashri, Abul „Aliyyah, Abdurrohman bin Abi Laila, dan lainnya.”
Ibnu Hazm melanjutkan:

”Berkata al-Imam Abu Muhammad: “tidak diketahui ada satu shohabat pun yang
mengingkari perbuatan Ibnu „Umar rodliyallahu „anhuma yg kami riwayatkan di atas. Dan
org yg menyelisihi kami tidak dapat berhujjah dg riwayat para shohabat yg mengusap
seluruh kepalanya karena kami juga tidak mengingkarinya dan kami juga
menyunnahkannya. Dan hanya saja kami menuntut mereka agar mendatangkan riwayat
dari shohabat yang menyalahkan tindakan mengusap sebagian kepala ketika berwudlu ini,
dan ternyata mereka tidak akan mendapatkannya”. Berkata „Ali: “Org2 yg menyelisihi kami
dalam hal ini adalah orang-orang yang terjatuh dalam sikap tanaqudl (kontradiktif). Dalam
masalah mengusap sepatu, mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mengusap
sepatu adalah mengusapkan tangan yang jari-jarinya tidak merapat di atas sepatu sehingga
usapan tersebut tidak mengenai seluruh bagian atas sepatu. Lalu, apa perbedaan mendasar
antara mengusap sepatu, mengusap kepala, ataupun usapan lainnya ??” Kami katakan
kepada mereka: “jika mengusap menurut kalian itu bersifat menyeluruh, maka mengusap
dengan membasuh itu akan sama saja, lalu apa perbedaan di antara keduanya ???”
[sampai di sini penjelasan Ibnu Hazm yg saya kutip].

***
Dari semua paparan yg penjang lebar diatas, maka sudah amat sangat jelas permasalahan
ini, dan amat sangat patut bagi kita untuk mengikutinya.

KESIMPULAN:
1. Makna ayat ‫و ُ ْا‬
ِ ُ ُ ِ ‫و ُ وا‬
َ ‫ َ ْوا‬adalah “usaplah sebagian (atau seluruh) kepalamu”,
sesuai dalil ‘Aqli dan segi ilmu bahasa Arab.
2. Ada hadits yg layak dijadikan dalil yg menerangkan bahwa Nabi Saw mengusap
sebagian kepalanya saja, yaitu sampai ubun2nya, padahal beliau Saw juga membuka
sorban di kepalanya.

3. Ada atsar shohih dari shohabat Ibnu „Umar rodliyallahu „anhuma yg melakukan
usapan ke sebagian kepala saja, dan tidak ada seorang shohabat pun yg mengingkari
perbuatan Ibnu Umar tsb.
4. Para Tabi‟in rohimahumullah juga melakukan apa yg dilakukan Ibnu „Umar
rodliyallahu „anhuma.
5. Hujjah2 yg diutarakan oleh Malikiyyah dan Hanabilah semuanya dapat disanggah,
baik ayat maupun hadits.
6. Dari poin 1 – 5, maka amat sangat bisa disimpulkan bahwa BOLEH mengusap
sebagian kepala saja ketika berwudlu, meskipun usapan itu hanya pada satu helai
rambut saja.
7. Mengusap seluruh kepala adalah sebagai kesunnahan dan keutamaan.
8. Syafi‟iyyah dan ulama lain yg sependapat berada dalam kebenaran dalam hal ini,
insya Allah.

Wallahu a‟lam bis Showab.
Semoga bermanfaat.

Bandung, 22 April 2015 pada 20: 20,

Al-Faqir al-Pegaganie al-Cirebonie