Analisis Pemetaan Zonasi Resapan Air Untuk Kawasan Perlindungan Sumberdaya Air Tanah (Groundwater) PDAM Tirtanadi Sibolangit Kabupaten Deli Serdang Propinsi Sumatera Utara

(1)

ANALISIS PEMETAAN ZONASI RESAPAN AIR UNTUK KAWASAN PERLINDUNGAN SUMBERDAYA AIR TANAH (GROUNDWATER)

PDAM TIRTANADI SIBOLANGIT KABUPATEN DELI SERDANG PROPINSI SUMATERA UTARA

TESIS

Oleh

M. KHAIRUL RIZAL 077004013/PSL

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2009


(2)

ANALISIS PEMETAAN ZONASI RESAPAN AIR UNTUK KAWASAN PERLINDUNGAN SUMBERDAYA AIR TANAH (GROUNDWATER)

PDAM TIRTANADI SIBOLANGIT KABUPATEN DELI SERDANG PROPINSI SUMATERA UTARA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

M. KHAIRUL RIZAL 077004013/PSL

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(3)

Judul Tesis : ANALISIS PEMETAAN ZONASI RESAPAN AIR UNTUK KAWASAN PERLINDUNGAN SUMBERDAYA AIR TANAH (GROUND WATER) PDAM TIRTANADI

SIBOLANGIT KABUPATEN DELI SERDANG

PROPINSI SUMATERA UTARA Nama Mahasiswa : M. Khairul Rizal

Nomor Pokok : 077004013

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Menyetujui : Komisi Pembimbing

(Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc., Ph.D.) Ketua

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH., M.S.) (Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M.S.) Anggota Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S.) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc.)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal 29 Agustus 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc., Ph.D. Anggota : 1. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH., M.S.

2. Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M.S. 3. Ir. Guslim, M.S.


(5)

PERNYATAAN

ANALISIS PEMETAAN ZONASI RESAPAN AIR UNTUK KAWASAN PERLINDUNGAN SUMBERDAYA AIR TANAH (GROUNDWATER) PDAM TIRTANADI SIBOLANGIT KABUPATEN DELI SERDANG

PROPINSI SUMATERA UTARA

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 29 Agustus 2009


(6)

ABSTRAK

Negeri yang berlimpah kekayaan alam, keanekaragaman hayati yang tinggi baik flora maupun fauna dan juga diberkahi banyak mata air baik bersumber dari air tanah dan air tanah dangkal, tidak serta merta membuat Indonesia terbebas dari masalah lingkungan. Berada dalam kondisi yang nyaman seperti ini, membuat masyarakat kurang peduli terhadap masalah lingkungan terutama isu kerusakan daerah tangkapan air. Hal ini terlihat dari tingginya tingkat pemakaian serta pemanfaatan air tanah. PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) Tirtanadi adalah salah satu perusahaan daerah yang memanfaatkan air tanah pada daerah resapan air Sibolangit lebih dari 24 titik pengambilan air (bron) dalam waktu 24 jam, sedangkan PT. Aqua Danone juga berada di hulu (Selatan) dari titik pengambilan PDAM Tirtanadi. Masalah ini menjadi penting bila daerah resapan air tanah kawasan ini terganggu akibat dari ekplorasi air tanah, perencanaan dan penataan ruang yang tidak ramah lingkungan yang berakibat kepada kekurangan air tanah, maka sekitar 4,2 juta jiwa akan kekurangan air minum tiap tahun.

Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis zonasi resapan air tanah untuk kawasan perlindungan sumberdaya air tanah di Kawasan Sibolangit. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif untuk memperoleh data-data secara faktual di lapangan. Populasi dan teknik pengambilan sampel menggunakan metoda purposive sampling dimana lokasi sampel dipilih di daerah-daerah yang berpeluang memberi kontribusi terhadap resapan air tanah di lokasi penelitian. Sebagai bahan pertimbangan dalam penentuan jumlah dan sebaran pengambilan sampel dengan melihat keseragaman Peta Geologi, Jenis Tanah, Topografi, Hidrogeologi, Sistem Lahan dan Tutupan Lahan skala 1:50.000. Pengambilan sampel sebanyak 10 titik lokasi.

Analisis zonasi resapan air tanah memakai Sistem Informasi Geografis dengan metoda tumpang susun (over lays) menggunakan data-data dan peta-peta antara lain Peta Topografi, Geologi, Hidrogeologi, Sistem Lahan, Landsat dan Jenis Tanah sehingga terbentuk Zonasi Daerah Resapan Air.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor Topografi, Geologi dan Hidrogeologi sangat berpengaruh terhadap penentuan zona resapan air pada daerah penelitian, sedangkan faktor-faktor infiltrasi, perkolasi, permeabilitas, kerapatan lindak (bulk density), curah hujan, tutupan lahan dan pengelolaan lahan memberi kontribusi terhadap kuantitas daerah resapan air pada daerah penelitian. Faktor infiltrasi dengan nilai antara 9,93 – 14,16 cm/jam menunjukkan infiltrasi baik. Perkolasi dengan nilai antara 2,35 – 3,43 cm/jam setelah pengamatan 1 jam di lapangan dengan beberapa kedalaman tanah menunjukkan perkolasi baik. Permeabilitas dengan nilai antara 0,35 – 20,54 cm/jam


(7)

hasil uji laboratorium menunjukkan permeabilitas sedang sampai baik. Kerapatan lindak (bulk density) dengan nilai antara 0,37 – 0,82 gr/cm3

hasil uji laboratorium menunjukkan kerapatan lindak sedang sampai baik. Curah hujan antara 1.857 – 4.243,5 mm/tahun berdasarkan data yang diperoleh dari lapangan menunjukkan kuantitas curah hujan yang tinggi. Tutupan lahan dan pengelolaan lahan berdasarkan analisis peta landsat

masih baik.

Kata Kunci : Analisis Pemetaan, Zonasi Resapan Air, Air Tanah


(8)

ABSTRACT

This Country has many natural resources, high variety of flora and fauna also benediction much good wellsprings stem from groundwater to skin-deep groundwater, not at moment's notice make Indonesian are free from environment problems. Stay in balmy condition like this, make society less care to environment problem especially the capture issues of water catchments area. It is seen from high of usage level and groundwater utilization. PDAM (Local Government Water Supply Enterprise) Tirtanadi is one of local company that exploit groundwater at area of groundwater diffusion in Sibolangit. More than 24 dot of water intakes (bron) during 24 hour, whereas Aqua Danone Co. Ltd., also exists in part of pate upstream (South) from intake dot PDAM Tirtanadi. This Problem becomes important if the area groundwater diffusion is bothered effect of groundwater exploration, planning and spatial planning inhospitable environment that cause to groundwater insuffiency. Then around 4,2 million souls of drinking water of insuffiency every year.

This Research is conducted to zonation analysis of groundwater diffusion for area of groundwater resources protection in Sibolangit area. It uses

descriptive method for getting the datas in factual at the site. Population and intake technique sampel use purposive sampling method where location sampel are selected in area that give contribution to groundwater diffusion in research location. Upon which consideration in amount determination and disseminate intake sampel by see uniformity Geologi Map, Soil Type, Topografi, Hidrogeologi, Land System, and Land Cover scale 1:50.000. Intake sampel 10 location dots.

Zonation Analysis of groundwater diffusion wears Geographical Information System with over lays method use datas and maps like Map of Topografi, Geology, Hidrogeologi, Land System, Landsat and Soil Type until formed zonation of water diffusion area.

Research result indicates that factors Topografi, Geology and Hidrogeologi has an effect to determination of water diffusion zone at research area, whereas factors infiltrate, perkolasi, permeability, bulk density, precipitation, land cover and land management give contribution to amount of water diffusion area at research place. Factor infiltrate by value between

9,93 14,16 cm/hour shows infiltrate good. Perkolasi by value between 2,35

3,43 cm/hour after perception 1 hour at the site with some ground deepnesses

show good perkolasi. Permeability by value between 0,35 20,54 cm/hour of

laboratory test result shows permeability till good. Bulk density by value

between 0,37 0,82 gr/cm3

result of laboratory test shows bulk density till

good. Precipitation between 1.857 4.243,5 mm/year bases data that

obtained from field show high precipitation amount. Land cover and land management base map analysis landsat still good.


(9)

Keyword : Mapping Analysis, Zonation of water diffusion, Groundwater, PDAM Tirtanadi


(10)

UCAPAN TERIMA KASIH

Segala puji dan syukur saya ucapkan keharibaan Allah SWT, atas limpahan berkat dan rahmatNya serta karunianya sehingga penulis mampu menyelesaikan tesis ini. Tesis berjudul ”Analisis Pemetaan Zonasi Resapan Air Untuk Kawasan Perlindungan Sumberdaya Air Tanah (Groundwater) PDAM Tirtanadi Sibolangit Kabupaten Deli Serdang Propinsi Sumatera Utara” adalah wujud persembahan penulis atas proses belajar yang dijalani selama di Pascasarjana USU.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc. selaku Direktur Sekolah Pascasarjana yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu di Sekolah Magister Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc., Ph.D. selaku pembimbing utama, Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH., M.S. dan Ibu Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M.S. selaku pembimbing pendamping yang telah memberikan segala arahan dan bimbingan mulai dari pelaksanaan penelitian hingga selesainya tesis ini.

3. Bapak Ir. Guslim, M.S. dan Bapak Ir. Terunajaya, M.Sc. selaku dosen penguji dengan masukan serta pemikiran yang kritis dan berguna bagi penyempurnaan tesis ini sehingga menjadi lebih baik.

4. Bapak Ir. Mukhlis, M.Si. selaku kepala dan Bapak Rudi selaku Asisten Laboratorium Riset dan Teknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara atas fasilitas laboratorium selama analisis sampel.

5. Dr. Russ Dilts sebagai Regional Advisor USAID ESP Sumut yang telah memberikan rekomendasi dan izin kepada penulis melanjutkan jenjang pendidikan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, memberikan dukungan, nasihat serta arahan yang berguna.


(11)

6. Dr. drh. Muhammad Hambal, M.Sc. yang telah memberikan rekomendasi kepada penulis untuk dapat melanjutkan pendidikan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara serta Bertha Ulina Nababan yang telah memberikan semangat kepada penulis.

7. Kurniawan Tarigan dan Muhammad Taufiq Purba (masyarakat Desa Doulu) dan

Pasti Ginting dan Sekuta Perdamenta Sembiring (masyarakat Desa Sibolangit) yang telah bersedia membantu penulis di lapangan untuk pengambilan sampel tanah.

8. Seluruh rekan-rekan dan staff Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah menjadi teman diskusi, memberikan bantuan, dukungan tenaga dan pemikiran baik dari awal pengajuan proposal, kolokium, seminar dan hasil penelitian sampai penyelesaian tesis.

9. Semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu yang telah membantu proses penyelesaian tesis ini serta memberikan dukungan kepada penulis.

Pada kesempatan yang istimewa ini penulis juga mengucapkan syukur tak terhingga atas keberadaan Ibunda Ernita dan Ayahanda M. Ali Amin, serta teristimewa kepada Istriku tercinta Tengku Afriyenni, S.E.Ak yang telah memberikan dukungan yang tidak ternilai harganya yang terus-menerus menyemangati, mendo’akan, memberikan perhatian serta nasehat yang berguna kepada penulis.

Penulis berdo’a semoga semua orang yang membaca tesis ini akan tertarik kepada penelitian yang lebih mendalam tentang daerah resapan air, terinspirasi ide-ide baru, serta mendapatkan lebih banyak manfaat terkait pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan pada Kawasan Sibolangit.


(12)

KATA PENGANTAR

Sembah sujud, puji dan syukur saya ucapkan keharibaan Allah SWT, atas limpahan berkat dan rahmatNya serta karuniaNya sehingga tesis yang berjudul

”Analisis Pemetaan Zonasi Resapan Air Untuk Kawasan Perlindungan Sumberdaya Air Tanah (Groundwater) PDAM Tirtanadi Sibolangit Kabupaten Deli Serdang Propinsi Sumatera Utara” dapat selesai dengan sempurna.

Analisis pemetaan zonasi resapan air yang kurang tepat akan mempengaruhi sistem pengelolaan daerah resapan air tanah yang pada akhirnya juga mempengaruhi tingkat kuantitas dan kualitas resapan air ke akuifer tanah. Indonesia pada umumnya dan Sumatera Utara khususnya kurang memperhatikan daerah-daerah resapan air, sehingga masalah kekurangan air bersih terus meningkat dan seiring dengan itu kualitas air tanah juga menurun, para ahli memperhitungkan pada tahun 2020 Sumatera Utara khususnya Kota Medan akan mengalami krisis air bersih apabila daerah-daerah resapan air tidak dikelola dengan baik yang ramah lingkungan.

Dalam penelitian ini diamati selain faktor geologi, hidrogeologi dan topografi daerah resapan air juga diamati pada faktor-faktor laju infiltrasi, laju perkolasi, permeabilitas, kerapatan lindak (bulk density), curah hujan, tutupan lahan dan pengelolaan lahan yang merupakan faktor yang mempengaruhi tingkat resapan air ke dalam tanah.

Dalam penulisan tesis ini, penulis menyadari sepenuhnya kemampuan penulis yang masih sangat terbatas, sehingga di dalam penulisan tesis ini kemungkinan masih banyak kekurangan-kekurangan baik dalam teknis penelitian atau materi tesis, untuk itu penulis selalu mengharapkan saran dan kritikan yang bersifat membangun guna perbaikan dan penyempurnaan tesis ini.


(13)

Kiranya hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, memberi kontribusi kepada PDAM Tirtanadi Sibolangit dan kepada para pihak yang berkepentingan pada umumnya.

Medan, 29 Agustus 2009


(14)

RIWAYAT HIDUP

M. KHAIRUL RIZAL, lahir di Medan pada 11 Oktober 1971, merupakan

anak pertama dari tiga bersaudara, putra dari Bapak M. Ali Amin dan Ibu Ernita, Penulis menyelesaikan pendidikan pada Sekolah Dasar tahun 1984 di SD Negeri I Matangglumpang Dua, Sekolah Menengah Tingkat Pertama pada tahun 1987 di SMP Negeri 1 Matangglumpang Dua, Sekolah Menengah Tingkat Atas pada tahun 1990 di SMA Negeri 1 Bireuen dan Meraih Gelar Sarjana Strata 1 pada tahun 1996 di Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala.

Penulis bekerja sebagai Staff Spatial Planning and Geographical Information System Specialist pada Environmental Service Program – United States Agency International Development sejak tahun 2005. Pada September 2007 mengikuti pendidikan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL).


(15)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... iii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iv

KATA PENGANTAR... vi

RIWAYAT HIDUP ... viii

DAFTAR ISI... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan Penelitian... 4

1.4. Hipotesis Penelitian ... 5

1.5. Manfaat Penelitian... 5

1.6. Kerangka Konseptual ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA... 9

2.1. Landasan Teori ... 9

2.2. Kondisi Air Tanah ... 10

2.3. Kondisi Air Tanah Dataran Alluvial ... 13

2.4. Kondisi Air Tanah Daerah Karst... 16

2.4.1. Morfologi Bukit Karst ... 16

2.4.2. Hidrologi Bukit Karst ... 18

2.4.2.1. Porositas... 18

2.4.2.2. Kandungan Air dan Konduktivitas Hidraulik dari Endapan Isian... 18

2.4.2.3. Aliran Air dan Respon Mata Air ... 19

2.4.2.4. Jenis Sumber Air Daerah Karst ... 20

2.5. Sifat-sifat Batuan Terhadap Air Tanah ... 20

2.6. Jenis-jenis Akuifer ... 23

2.6.1. Akuifer Bebas (Unconfined Aquifer) ... 23

2.6.2. Akuifer Tertekan (Confined Aquifer)... 23

2.6.3. Akuifer Semi Tertekan (Semi Confined Aquifer) ... 24

2.6.4. Akuifer Semi Bebas (Semi Unconfined Aquifer) ... 24


(16)

III. METODE PENELITIAN... 28

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 28

3.2. Bahan dan Alat-Alat Penelitian ... 28

3.3. Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel ... 29

3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 29

3.5. Teknik Analisis Data ... 30

3.6. Metodologi Penelitian ... 31

3.6.1. Faktor Infiltrasi (Infiltration)... 32

3.6.2. Faktor Perkolasi (Percolation) ... 37

3.6.3. Faktor Permeabilitas (Permeability) ... 40

3.6.4. Faktor Kerapatan Lindak (Bulk Density)... 42

3.6.5. Faktor Curah Hujan (Precipitation) ... 43

3.6.6. Faktor Tutupan Lahan dan Pengelolaan Lahan ... 44

VI. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 45

4.1. Keadaan Wilayah ... 45

4.2. Iklim ... 47

4.3. Deskripsi Tanah di Daerah Resapan Air ... 48

4.4. Struktur Geologi dan Hidrogeologi ... 49

4.4.1. Struktur Geologi dan Hidrogeologi Daerah Resapan Air Sibolangit... 51

4.5. Deskripsi Akuifer ... 53

4.6. Arahan Rencana Tata Ruang Kabupaten Deli Serdang... 57

V. HASIL DAN PEMBAHASAN... 58

5.1. Pembentukan Zona Daerah Resapan Air... 58

5.1.1. Deliniasi Zonasi Kawasan ... 59

5.1.1.1. Zona I ... 60

5.1.1.2. Zona II ... 61

5.1.1.3. Zona III... 62

5.2. Analisis Zonasi ... 63

5.2.1. Analisis Topografi ... 63

5.2.2. Analisis Data Geologi ... 63

5.2.3. Analisis Data Hidrogeologi ... 66

5.3. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Resapan Air Tanah ... 67

5.3.1. Faktor Infiltrasi (Infiltration)... 68

5.3.2. Faktor Perkolasi (Percolation) ... 70

5.3.3. Faktor Permeabilitas (Permeability) ... 71

5.3.4. Faktor Kerapatan Lindak (Bulk Density)... 72

5.3.5. Faktor Curah Hujan (Precipitation) ... 74

5.3.6. Faktor Tutupan Lahan dan Pengelolaan Lahan ... 78


(17)

5.4. Zonasi Daerah Resapan Air Berdasarkan Rencana Tata Ruang

Kabupaten Deli Serdang... 84

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 85

6.1. Kesimpulan... 85

6.2. Saran ... 87


(18)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Porositas dan Permeabilitas Beberapa Tipe Batuan... 12

2. Jenis dan Kriteria Penetapan Kawasan Lindung (Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 1997) ... 26

3. Nilai Laju Infiltrasi Beberapa Jenis Tanah... 33

4. Faktor Tutupan dan Pengelolaan Lahan... 44

5. Jenis Tanah di Daerah Resapan Air ... 48

6. Deskripsi Jenis Tanah pada Daerah Resapan Air ... 49

7. Jenis Batuan yang Terdapat di Areal Penelitian dari yang Tertua ke yang Termuda ... 53

8. Jenis Batuan Berdasarkan Luas dalam Zonasi ... 64

9. Sebaran Jenis Batuan dalam Zonasi Resapan Air Daerah Penelitian ... 65

10. Sebaran Hidrogeologi dalam Zonasi Resapan Air Penelitian ... 66

11. Titik Koordinat Pengambilan Sampel dan Pengamatan Daerah Penelitian ... 68

12. Laju Infiltrasi di Daerah Penelitian ... 69

13. Laju Perkolasi di Daerah Penelitian... 70

14. Tingkat Permeabilitas di Daerah Penelitian ... 71

15. Tingkat Kerapatan Lindak (Bulk Density) di Daerah Penelitian .... 73

16. Data Curah Hujan Stasiun Tongkoh ... 74


(19)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1. Bagan alir kerangka konseptual dalam penentuan zonasi

resapan air... 8

2. Objek material hidrologi... 11

3. Gerakan air tanah dan jenis lapisannya. ... 14

4. Macam bukit karst... 16

5. Air tanah yang berasal dari infiltrasi... 23

6. Teknik tumpang susun (over lay) untuk menghasilkan Peta Zonasi Resapan Air pada lokasi penelitian ... 31

7. Intensitas curah hujan yang berpengaruh terhadap laju infiltrasi ... 33

8. Peta Rencana Tata Ruang Kabupaten Deli Serdang ... 57

9. Grafik curah hujan tahunan di stasiun Tongkoh dan Pancur Batu dari Januari 1999 sampai Mei 2009 ... 76


(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Peta Kontur Kawasan Zonasi Resapan Air

PDAM Tirtanadi Sibolangit ... 93

2. Peta Geologi Kawasan Zonasi Resapan Air

PDAM Tirtanadi Sibolangit ... 94

3. Peta Hidrogeologi Kawasan Zonasi Resapan Air

PDAM Tirtanadi Sibolangit ... 95

4. Peta Sistem Lahan Kawasan Zonasi Resapan Air

PDAM Tirtanadi Sibolangit ... 96

5. Peta Landsat Kawasan Zonasi Resapan Air

PDAM Tirtanadi Sibolangit ... 97

6. Peta Tutupan Lahan Kawasan Zonasi Resapan Air

PDAM Tirtanadi Sibolangit ... 98

7. Peta Jenis Tanah Kawasan Zonasi Resapan Air

PDAM Tirtanadi Sibolangit ... 99

8. Peta DEM Zonasi dan Rekomendasi Sumur Resapan


(21)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Air adalah asal muasal dari segala macam bentuk kehidupan di planet bumi ini. Dari air bermula kehidupan dan karena air peradaban tumbuh dan berkembang. Logika sederhananya, tanpa air peradaban akan surut dan bahkan kehidupan akan musnah karena planet bumi akan menjadi sebuah bola batu dan pasir raksasa yang luar biasa panas, masif, dan mengambang di alam raya menuju kemusnahan. Air menopang kehidupan manusia, termasuk kehidupan dan kesinambungan rantai pangan mahluk hidup di bumi. Karena itulah Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mendeklarasikan bahwa air merupakan hak azasi manusia; artinya, setiap manusia di muka bumi ini mempunyai hak dasar yang sama terhadap pemakaian air.

Pemanfaatan air terutama air tanah yang terus meningkat dapat menimbulkan dampak negatif terhadap air tanah itu sendiri maupun lingkungan di sekitarnya, diantaranya berkurangnya kuantitas dan kualitas air tanah, penyusupan air laut dan amblesan tanah. Menurunnya kuantitas dan kualitas air tanah tersebut akan memberikan dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup.

Agar pemanfaatan air tanah dapat optimal tanpa menimbulkan dampak negatif, maka dalam pelaksanaan kegiatan tersebut diperlukan panduan perencanaan pendayagunaan air tanah sebagai acuan dalam perencanaan pendayagunaan air tanah yang berwawasan lingkungan yang meliputi kegiatan penatagunaan, penyediaan, penggunaan, pengembangan, dan pengusahaan air tanah.


(22)

Namun, inilah yang saat ini menjadi pokok masalah kita, umat manusia. Air secara sangat cepat menjadi sumberdaya yang makin langka dan tidak ada sumber penggantinya. Walaupun sekitar 70 persen permukaan bumi ditempati oleh air, namun 97 persen darinya adalah air asin dan tidak dapat langsung dikonsumsi manusia. Dari jumlah yang sedikit yang mungkin dapat dimanfaatkan tersebut, manusia masih menghadapi permasalahan yang amat mendasar. Pertama, adanya variasi musim dan ketimpangan spasial ketersediaan air. Pada musim hujan, beberapa bagian dunia mengalami kelimpahan air yang luar biasa besar dibandingkan dengan bagian lain sehingga berakibat terjadinya banjir dan kerusakan lain yang ditimbulkannya.

Penggunaan air tanah sebagai sarana kehidupan semakin meningkat di daerah Propinsi Sumatera Utara, baik untuk kebutuhan domestik maupun untuk industri. Peningkatan pemanfaatan air ini dapat kita jumpai pada daerah-daerah yang padat penduduk, daerah pemukiman baru dan daerah-daerah industri.

Sehubungan dengan tingginya pemakaian air tanah di Propinsi Sumatera Utara maka daerah resapan air tanah tersebut harus di atur sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 1997 tentang Kehutanan yang menetapkan jenis dan kriteria penetapan kawasan lindung termasuk di dalamnya ketentuan untuk kawasan resapan air dan juga mengacu kepada Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang sudah mencabut Undang-Undang No. 24 Tahun 1992, dimana pemerintah propinsi dan kabupaten harus membuat zonasi di beberapa kawasan


(23)

sebagai daerah resapan air untuk keberlangsungan sumber air tanah pada masa yang akan datang.

Kabupaten Deli Serdang khususnya kawasan Kecamatan Sibolangit berdasarkan Rancangan Undang-Undang Tata Ruang Propinsi Sumatera Utara, Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 1997 tentang Kehutanan, Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Utara No. 7 Tahun 2003, Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air dan Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 dapat menetapkan kawasan Sibolangit sebagai kawasan yang harus dilindungi dan akan diprioritaskan untuk kawasan resapan air tanah dalam perencanaan yang berkelanjutan dimana pemanfaatan air tanah sangat tinggi di kawasan hilir (bagian utara) dari wilayah ini yaitu Kota Medan.

Kota Medan merupakan daerah di Propinsi Sumatera Utara yang paling tinggi tingkat penggunaan air tanah terutama untuk kebutuhan air minum dan industri karena jumlah populasi penduduknya dan pertumbuhan industri yang besar maka untuk memenuhi kebutuhan air tersebut Kota Medan memerlukan sumberdaya air yang besar untuk keperluan domestik dan industri tersebut.

Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian khususnya ”Analisis Pemetaan Zonasi Resapan Air Untuk Kawasan Perlindungan Sumberdaya Air Tanah (Groundwater) PDAM Tirtanadi Sibolangit Kabupaten Deli Serdang Propinsi Sumatera Utara”. Penelitian tersebut perlu dilakukan dalam upaya mempertahankan dan melestarikan sumberdaya air yang sangat bermanfaat untuk kelangsungan hidup


(24)

manusia, agar tidak terjadi penurunan kuantitas air tanah dengan membuat batasan-batasan zonasi pemanfaatan lahan.

1.2. Perumusan Masalah

Permasalahan dalam penelitian ini adalah :

1. Apakah pola sebaran kontur kawasan Sibolangit dapat menjadi acuan terhadap pemetaan zonasi resapan air untuk kawasan lindung sumberdaya air tanah PDAM Tirtanadi.

2. Apakah jenis batuan dapat menjadi acuan terhadap pemetaan zonasi resapan air untuk kawasan lindung sumberdaya air tanah PDAM Tirtanadi.

3. Apakah sebaran vegetasi (tutupan lahan) dapat menjadi acuan terhadap pemetaan zonasi resapan air untuk kawasan lindung sumberdaya air tanah PDAM Tirtanadi.

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui pengaruh pola sebaran kontur kawasan Sibolangit terhadap zonasi resapan air untuk kawasan lindung sumberdaya air tanah PDAM Tirtanadi. 2. Untuk mengetahui pengaruh jenis batuan terhadap zonasi resapan air untuk

kawasan lindung sumberdaya air tanah PDAM Tirtanadi.

3. Untuk mengetahui pengaruh sebaran vegetasi (tutupan lahan) terhadap zonasi resapan air untuk kawasan lindung sumberdaya air tanah PDAM Tirtanadi.


(25)

1.4. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan permasalahan dalam penulisan ini maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut :

1. Adanya pola sebaran kontur kawasan Sibolangit dapat menjadi acuan terhadap pemetaan zonasi resapan air untuk kawasan lindung sumberdaya air tanah PDAM Tirtanadi.

2. Adanya jenis batuan dapat menjadi acuan terhadap pemetaan zonasi resapan air untuk kawasan lindung sumberdaya air tanah PDAM Tirtanadi.

3. Adanya sebaran vegetasi (tutupan lahan) dapat menjadi acuan terhadap pemetaan zonasi resapan air untuk kawasan lindung sumberdaya air tanah PDAM Tirtanadi.

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat digunakan sebagai :

1. Dasar pertimbangan bagi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dalam

melakukan perencanaan perlindungan kawasan resapan air dan mempertahankan kuantitas sumberdaya air tanah (mata air) di instalasi PDAM Tirtanadi Sibolangit.

2. Dasar pertimbangan Pemerintah Daerah Kabupaten Deli Serdang dan Kotamadya

Medan untuk pengembangan wilayah yang berkaitan dengan masalah penyediaan air minum.

3. Dasar pertimbangan PDAM Tirtanadi Sibolangit dalam melaksanakan program Jasa Lingkungan (Payment Environmental Services) dan CSR (Corporate Sosial


(26)

1.6. Kerangka Konseptual

Tahapan proses teknis analisis zonasi perlindungan mata air I. Identifikasi umum peta kawasan perlindungan mata air

I.1. Peta topografi; I.2. Peta geologi; I.3. Peta hydrogeologi; I.4. Data hydrologi; dan

I.5. Peta geologi tata lingkungan (untuk kontrol).

Target hasil analisis adalah Peta umum potensi sumberdaya air.

II. Menentukan kawasan umum mata air

II.1. Peta umum potensi sumberdaya air;

II.2. Data survey lapangan lokasi mata air-mata air; Target hasil analisis adalah Peta umum kawasan mata air. III. Menentukan pilihan tingkat prioritas mata air

III.1. Peta umum kawasan mata air;

III.2. Data historikal mata air (data fluktuasi debit); III.3. Data peruntukan sumberdaya mata air; III.4. Status kepemilikan mata air;

III.5. Kondisi eksisting tutupan lahan; dan

III.6. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).


(27)

IV. Deliniasi kawasan mata air prioritas IV.1. Peta topografi (RBI);

a. Kontur (pola); dan b. Kelas lereng; IV.2. Peta geologi (lokal);

a. Jenis batuan;

b. Sifat porisitas dan permeabilitas; c. Aliran air tanah;

Target hasil analisis adalah Peta zonasi perlindungan mata air.

V. Rekomendasi perlindungan dan perbaikan mata air

V.1. Peta zonasi perlindungan mata air

V.2. Rekomendasi jenis kegiatan

Target hasil analisis adalah rekomendasi jenis kegiatan perlindungan dan

perbaikan kawasan resapan zona perlindungan mata air.

Dari jabaran kerangka konseptual di atas dapat digambarkan ke dalam bagan alir yang dapat dilihat pada Gambar 1.


(28)

Gambar 1. Bagan alir kerangka konseptual dalam penentuan zonasi resapan air Analisis Overlay


(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

Zonasi dalam konsep perlindungan mata air adalah bertujuan untuk menentukan batas-batas alami dari suatu kawasan daerah resapan (recharge area) dari mata air atau air tanah dimana semua aktifitas dan peruntukan lahan didalamnya akan memberikan pengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap sumberdaya mata air atau air tanah tersebut baik secara kuantitas maupun kualitasnya.

Menurut Herlambang (1996) air tanah adalah air yang bergerak di dalam tanah yang terdapat di dalam ruang antar butir-butir tanah yang meresap ke dalam tanah dan bergabung membentuk lapisan tanah yang disebut akuifer. Lapisan yang mudah dilalui oleh air tanah disebut lapisan permeable, seperti lapisan yang terdapat pada pasir atau kerikil, sedangkan lapisan yang sulit dilalui air tanah disebut lapisan impermeable, seperti lapisan lempung atau geluh.

Air tanah adalah semua air yang terdapat di bawah permukaan tanah pada lajur/zona jenuh air (zone of saturation). Air tanah terbentuk berasal dari air hujan dan air permukaan, yang meresap (infiltrate) mula-mula ke zona tak jenuh (zone of

aeration) dan kemudian meresap makin dalam (percolate) hingga mencapai zona


(30)

Air tanah dan air permukaan saling berkaitan dan berinteraksi. Setiap aksi (pemompaan, pencemaran dan perlakuan lainnya) terhadap air tanah akan memberikan reaksi terhadap air permukaan, demikian sebaliknya.

2.2. Kondisi Air Tanah

Air tanah adalah salah satu fase dalam daur hidrologi, yakni suatu peristiwa yang selalu berulang dari urutan tahap yang dilalui air dari atmosfer ke bumi dan kembali ke atmosfer, penguapan dari darat atau laut atau air pedalaman, pengembunan membentuk awan, pencurahan, pelonggokan dalam tanah atau badan air dan penguapan kembali. Dari daur hidrologi tersebut dapat dipahami bahwa air tanah berinteraksi dengan air permukaan serta komponen-komponen lain yang terlibat dalam daur hidrologi termasuk bentuk topografi, jenis batuan penutup, penggunaan lahan, tumbuhan penutup, serta manusia yang berada di permukaan (Handoyo, 2008). Objek material hidrologi dapat dilihat pada Gambar 2.


(31)

Sumber: Sunarto (1997)

Gambar 2. Objek material hidrologi

Air tanah tidak dijumpai di semua tempat. Keterdapatan air tanah tergantung dari ada tidaknya lapisan batuan yang dapat mengandung air tanah yang disebut akuifer. Akuifer adalah formasi batuan yang dapat menyimpan dan melalukan air, seperti misalnya pasir dan kerikil lepas (Seyhan, 1977; Simoen, 2001; Purnama, 2004). Akuifer ditemukan pada sejumlah lokasi. Deposit glacial, pasir dan kerikil, kipas alluvial dataran banjir dan deposit delta pasir semuanya merupakan sumber-sumber air yang sangat baik. Pada suatu akuifer, air tanah menempati lubang batuan yang dikenal sebagai pori-pori batuan maupun lubang yang besar. Retakan mungkin terdapat dalam batuan kristalin maupun batuan padat dan mungkin mempunyai ukuran kapiler maupun subkapiler. Air yang disimpan dalam retakan disebut air celah dan air retakan. Lubang-lubang yang besar merupakan ciri formasi batu kapur dan kadang-kadang batuan gunung berapi. Pori-pori merupakan ciri batuan sedimen


(32)

klasik dan bahan butiran lainnya. Kapasitas penyimpanan/cadangan air suatu bahan ditujukan oleh porositas yang merupakan nisbah volume rongga dengan volume total batuan (Seyhan, 1993).

Menurut Todd (1980), permeabilitas merupakan suatu ukuran kemudahan aliran melalui suatu media porous. Perkiraan rata-rata porositas dan permeabilitas berbagai tipe batuan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Porositas dan Permeabilitas Beberapa Tipe Batuan

Tipe Batuan Porositas (%) Permeabilitas (m/hari)

Lempung 45 0,0004

Pasir 35 41

Kerikil 25 4100

Kerikil dan Pasir 20 410

Batu Pasir 15 4,1

Batu Kapur, Serpih 5 0,041

Kwarsit, Granit 1 0,0004

Sumber: (Todd, 1980)

Jumlah air tanah yang dapat diperoleh di suatu daerah tergantung pada sifat-sifat akuifer yang ada di daerah tersebut serta pada luas cakupan dan frekwensi imbuhan. Kapasitas suatu formasi untuk menampung air diukur dengan porositas, yaitu perbandingan antara volume pori-pori terhadap volume total formasi tersebut (Todd, 1980).

Pori-pori mempunyai perbedaan ukuran yang beraneka ragam, dari yang berupa celah-celah submikroskopis pada lempung dan serpih, hingga yang berupa gua-gua dan terowongan-terowongan pada batu kapur dan lava (Linsley dan Franzini, 1991).


(33)

Dapat menjadi catatan bahwa bahan dengan porositas yang tinggi belum tentu merupakan akuifer yang baik. Sedimen-sedimen Sungai Missisippi sering mempunyai porositas 80 sampai 90 persen tetapi permeabilitasnya sedemikian rendah sehingga hanya sedikit air yang dapat dijumpai dalam sumur-sumur (Bowless, 1986).

2.3. Kondisi Air Tanah Dataran Alluvial

Dataran alluvial merupakan dataran yang terbentuk akibat proses-proses geomorfologi yang lebih didominasi oleh tenaga eksogen antara lain iklim, curah hujan, angin, jenis batuan, topografi, suhu, yang semuanya akan mempercepat proses pelapukan dan erosi. Hasil erosi diendapkan oleh air ke tempat yang lebih rendah atau mengikuti aliran sungai. Dataran alluvial menempati daerah pantai, daerah antar gunung, dan dataran lembah sungai. Daerah alluvial ini tertutup oleh bahan hasil rombakan dari daerah sekitarnya, daerah hulu ataupun dari daerah yang lebih tinggi letaknya. Potensi air tanah daerah ini ditentukan oleh jenis dan tekstur batuan (Handoyo, 2008). Gerakan air tanah dan jenis lapisannya dapat dilihat pada Gambar 3.


(34)

Sumber: Bouwer (1978) dalam Handoyo (2008)

Gambar 3. Gerakan air tanah dan jenis lapisannya

Daerah pantai terdapat cukup luas di pantai timur Pulau Sumatera, Pulau Jawa bagian Utara dan Selatan, Pulau Kalimantan dan Irian Jaya bagian Selatan. Air tanah daerah dataran pantai selalu terdapat dalam sedimen kuarter dan resen yang batuannya terdiri dari pasir, kerikil, dan berinteraksi dengan lapisan lempung. Kondisi air tanah pada lapisan tersebut semuanya dalam keadaan tertekan, mempunyai potensi yang umumnya besar, namun masih bergantung pada luas dan penyebaran lapisan batuan dan selalu mendapat ancaman intrusi air laut, apabila pengambilan air tanah berlebihan.

Dataran antar gunung di pulau Jawa terdapat di Bandung, Garut, Madiun, Kediri, Nganjuk, dan Bondowoso, daerah ini sebagian besar dibatasi oleh kaki gunung api. Lapisan batuan terdiri atas bahan klastika hasil rombakan batuan gunung api sekitarnya. Pengertian susunan litologi dari butir kasar ke halus membentuk suatu


(35)

kondisi air tanah tertekan, cekungan air tanah antar gunung mempunyai potensi yang cukup besar.

Beberapa bentuk lahan asal fluvial menurut Handoyo (2008) adalah sebagai berikut:

1.Kipas Alluvial (Alluvial fan) 2.Crevasse-Splays

3.Tanggul Alam (Natural lever) 4.Poin Bar

5.Dataran Banjir

6.Cekungan Fluvial (Flood plain) 7.Teras Alluvial

8.Delta

Volume air tanah dalam dataran alluvial di tentukan oleh tebal dan penyebaran permeabilitas dari akuifer yang terbentuk dalam aluvium dan dilluvium yang mengendap dalam dataran. Apabila suatu daerah materi penyusunnya atas materi halus (liat/berdebu) umumnya permeabilitasnya kecil, sedangkan suatu daerah yang tersusun atas pasir dan kerikil permeabilitasnya besar. Air tanah yang mengendap di dataran banjir ditambah langsung dari peresapan air susupan. Permukaan air tanahnya dangkal sehingga pengambilan air dapat dengan sumur dangkal (Handoyo, 2008).


(36)

2.4. Kondisi Air Tanah Daerah Karst 2.4.1. Morfologi Bukit Karst

Bukit karst merupakan karakteristik dari karst di daerah tropis, yang terbentuk akibat dari perkembangan dolin atau lembah (Aref, et al, 1987; Ahnert dan William, 1997). Secara singkat dapat dirangkum bahwa karst berkembang dimulai dari pelarutan yang terkonsentrasi pada satu titik atau sepanjang kelurusan-kelurusan kekar atau sesar membentuk cekungan-cekungan tertutup atau lembah-lembah kering. Cekungan-cekungan dan lembah-lembah tersebut terus berkembang dan melebar, bergabung satu dengan lainnya meninggalkan bukit-bukit karst dengan bentuk yang bervariasi. Variasi bentuk bukit sisa karst utama yang telah dikenal adalah bentuk kerucut (kegelkarst) dan menara (trumkarst, mogote). Karst dengan bentuk bukit sisa kerucut ditemukan antara lain di Gunung Sewu-Jawa (Lehmann, 1936; Haryono, 2001), Cape dan Transvaal Afrika Selatan (Marker,1989). Bentuk bukit sisa menara di antaranya ditemukan di Maros Propinsi Sulawesi Selatan (McDonald, 1976; Sunarto, 1997), Mulu - Sarawak (McDonal, et al, 1985), Guilin - Cina (Sweeting, 1990). Perbedaan antara bukit sisa bentuk kerucut dan menara ditunjukkan pada Gambar 4.

Sumber: Haryono (2001)


(37)

Terbentuknya bukit kerucut atau menara mensyaratkan lapisan batu gamping yang tebal dengan sistem kekar yang berkembang baik (White, 1988) dengan proses karstifikasi yang terus-menerus dalam waktu yang lama (Ahnert dan Williams, 1997) dan curah hujan yang besar (Verstappen, 1960). Karst menara merupakan perkembangan dari karst kerucut, yaitu disebabkan oleh perkembangan cekungan-cekungan atau lembah-lembah yang terus berkembang melebar setelah perkembangan lembah mendekati atau mencapai base level erosi.

Karst menara dicirikan oleh bukit-bukit sisa yang tersebar di dataran hasil pelarutan. Beberapa buku (Sweeting, 1972; Trudgill, 1985; White, 1988) menjelaskan bahwa bukit karst menara harus terjal (70°-90°), sementara buku lain (Ford dan William, 1989) tidak mensyaratkan kemiringan lereng yang terjal, hal terpenting dalam pengertian karst menara adalah adanya dataran hasil pelarutan dengan bukit-bukit sisa yang terpencar.

Bukit-bukit karst kerucut dan menara berkembang baik di Indonesia, sehingga sebagian besar kawasan karst di Indonesia mempunyai kedua macam bukit tersebut. Walaupun setiap kawasan karst utama (Sinamar, Kyantan dan Takung di Sumatra; Kalapanunggal, Karangbolong, Gunung Sewu di Jawa; Maros dan Boneo di Sulawesi; Doberai, Fak Fak, Kumawa di Irian Jaya), mempunyai dominasi bentuk tertentu, namun pada umumnya kedua .jenis bukit tersebut setempat-setempat dapat diketemukan (Haryono, 2001).


(38)

2.4.2. Hidrologis Bukit Karst

2.4.2.1. Porositas

Kedua jenis bukit karst yang telah diuraikan di atas, walaupun berbeda bentuk mempunyai kesamaan dalam hal proses yang bekerja, yaitu proses pelarutan. Pelarutan menghasilkan rongga-rongga yang saling berhubungan (protocave) membentuk porositas sekunder. Pelarutan terbesar terjadi di permukaan yang berangsur-angsur menurun semakin ke dalam, disebabkan oleh daya larut air yang semakin menurun dalam perjalanannya ke bawah. Daya larut yang semakin kecil disebabkan oleh bertambahnya konsentrasi karbonat yang terlarut hingga mencapai kejenuhan pada kedalaman 30 hingga 50 meter (Haryono, 2001).

Rongga-rongga pelarutan juga mengikuti daya larut air, semakin ke bawah rongga-rongga semakin berkurang hingga sampai pada batuan gamping yang masif. Rongga-rongga tersebut sebagian terisi oleh tanah. Rongga-rongga pelarutan, pori-pori tanah, dan pori-pori-pori-pori antar butir batuan secara bersama-sama berfungsi sebagai penyimpan air (Haryono, 2001).

2.4.2.2. Kandungan Air dan Konduktivitas Hidraulik dari Endapan Isian

Kandungan air oleh Fetter (1988) didefinisikan sebagai berat air dibagi dengan total berat tanah. Konduktivitas yang lambat inilah yang merupakan bagian dari fungsi regulator dari sistem hidrologi kawasan karst. Meskipun porositas sekunder karena diaklas dan rongga pelarutan besar, akuifer karst tetap mampu


(39)

sehingga sebagian besar sungai bawah tanah bersifat perennial (mengalir sepanjang tahun). Hal ini dapat terjadi karena porositas sekunder sebagian besar terisi oleh endapan isian. Di samping hal tersebut, air yang tersimpan di endapan isian tidak bisa teratur dengan cepat ke sistem sungai bawah tanah karena batu gamping yang belum terlarut di bawah mintakat (zona) epikarst bersifat kedap air. Air hanya bisa teratur melewati celah-celah batuan (kekar atau sesar). Dengan demikian rongga-rongga pelarutan dan endapan isian di mintakat dekat permukaan (epikarst) berfungsi sebagai tandon air.

2.4.2.3. Aliran Air dan Respon Mata Air

Air yang tersimpan di bukit karst dikeluarkan perlahan-lahan baik sebagai mata air maupun sungai bawah tanah. Perjalanan air hingga ke sistem sungai bawah tanah atau mata air menurut Gunn (1981) melewati paling tidak enam jalan

yaitu aliran permukaan, troughflow, aliran dekat permukaan (subcutaneous flow), aliran luweng (shaft flow), aliran vados dan rembesan vados (vadose seepage).

Keenam aliran tersebut menurut Gunn (1981) akan memberikan respon yang berbeda-beda pada sungai bawah tanah dan mata air. Sungai bawah tanah dan mata air akan merespon dengan cepat aliran permukaan dan aliran luweng. Pengukuran di sungai bawah tanah Bribin menunjukkan waktu tunda (time lag) empat jam, sedangkan aliran subcutanous dan vados akan direspon sekitar satu bulan.


(40)

2.4.2.4. Jenis Sumber Air Daerah Karst

Menurut Fetter (1988) adapun jenis sumber air daerah karst berdasarkan keberadaannya dibedakan menjadi 2 macam yaitu:

a. Sumber air permukaan, merupakan simpanan air yang berada pada permukaan tanah. Sumber air ini umumnya terdapat di Sinhole, doline, dan uvala.

b.Sumber air bawah tanah, merupakan simpanan air yang terdapat di dalam tanah biasanya di dalam gua-gua atau disebut sungai bawah tanah.

Potensi air permukaan karst dilihat dari segi kuantitasnya sangat dipengaruhi oleh musim, pada musim kemarau jumlah airnya kecil, sedangkan pada musim penghujan jumlah airnya besar. Adapun potensi dari segi kualitas, air permukaan ini mudah terkontaminasi oleh kondisi lingkungan dan cara penggunaanya (Anna, 1988 dalam Handoyo, 2008).

2.5. Sifat-sifat Batuan Terhadap Air Tanah

Akuifer sering pula disebut waduk air atau formasi air. Formasi batuan yang merupakan kebalikan dari akuifer adalah akuifug (Aquifug), seperti misalnya granit. Akuifug merupakan formasi batuan yang tidak dapat menyimpan dan melalukan air (Fetter, 1988).

Sifat batuan lain yang berhubungan dengan air tanah adalah akuiklud dan akuitard. Menurut Walton (1970), akuiklud adalah formasi batuan yang dapat menyimpan air tetapi tidak dapat melalukannya dalam jumlah yang berarti, misalnya


(41)

akuitard adalah formasi batuan dengan susunan sedemikian rupa, sehingga dapat menyimpan air, tetapi hanya dapat melalukannya dalam jumlah terbatas seperti misalnya pada rembesan atau kebocoran.

Ada berbagai formasi geologi yang dapat berfungsi sebagai akuifer. Formasi geologi tersebut adalah endapan aluvial, batu gamping, batuan vulkanik, batu pasir serta batuan beku dan batuan metamorfose (Todd, 1980). Sekitar 90% air tanah terdapat pada endapan aluvial yang merupakan bahan lepas seperti pasir dan kerikil.

Ditinjau dari muka air tanah, akuifer dikelompokkan menjadi akuifer bebas dan akuifer tertekan (Bouwer, 1978). Air tanah yang berasal dari akuifer bebas umumnya ditemukan pada kedalaman yang relatif dangkal, kurang dari 40 meter. Tinggi permukaan air dan kemiringannya bervariasi, sedangkan fluktuasi muka air tanah berhubungan erat dengan volume air dalam akuifer. Kasus khusus dari akuifer bebas adalah adanya akuifer menggantung (perched aquifer), yang terjadi akibat terpisahnya air tanah dari tubuh air tanah utama oleh suatu formasi batuan yang kedap air (Kodoatie, 1996). Lensa-lensa liat pada batuan endapan seringkali membentuk akuifer menggantung.

Pada akuifer tertekan, air tanah terletak di bawah lapisan kedap air dan mempunyai tekanan lebih besar daripada tekanan udara. Akuifer jenis ini sering pula disebut akuifer artesis. Air tanah pada akuifer ini, dibagian atas ditekan oleh lapisan batuan kedap air, sehingga tekanannya melebihi tekanan atmosfir. Bila sumur menembus lapisan akuifer ini, air tanah akan naik melebihi lapisan penekannya atau bahkan muncul di permukaan tanah (Chorley, 1969).


(42)

Disamping kedua jenis akuifer tersebut, ada pula yang disebut akuifer semi tertekan dan akuifer semi tidak tertekan yang merupakan kombinasi dari kedua jenis akuifer tersebut (Krussman dan de Ridder, 1970). Akuifer semi tertekan sering dijumpai di daerah lembah aluvial dan dataran, yang air tanahnya terletak di bawah lapisan yang setengah kedap.

Selanjutnya, air tanah sebagai salah satu komponen dalam siklus hidrologi, akan mengalami perubahan komposisi kimia, baik berupa penambahan maupun pengurangan konsentrasi unsur kimia (Stauffer dan Canfield, 1992). Adapun proses-proses yang dapat mempengaruhi perubahan komposisi kimia tersebut diantaranya adalah hujan, evaporasi dan transpirasi, pelarutan air fosil, pertukaran kation, pelarutan mineral, proses oksidasi-reduksi serta aktivitas manusia. Menurut Wagner,

et al (1992) adanya air tanah asin di daratan merupakan salah satu bentuk pencemaran

air, yang umumnya disebabkan oleh intrusi air laut. Aktivitas manusia merupakan penyebab utama fenomena ini, terutama akibat eksploitasi air tanah yang berlebihan, pembangunan permukiman yang sangat pesat di perkotaan, serta usaha tambak udang dan ikan di pantai. Meskipun demikian, faktor lingkungan alami juga dapat mempermudah terjadinya intrusi air laut, seperti karakteristik pantai dan batuan penyusun, kekuatan aliran air tanah ke laut dan fluktuasi air tanah di daerah pantai.


(43)

2.6. Jenis-jenis Akuifer

Lapisan yang dapat menangkap dan meloloskan air disebut akuifer. Menurut Krussman dan Ridder (1970) bahwa macam-macam akuifer sebagai berikut:

2.6.1. Akuifer Bebas (Unconfined Aquifer)

Akuifer bebas adalah lapisan lolos air yang hanya sebagian terisi oleh air dan berada di atas lapisan kedap air. Permukaan tanah pada akuifer ini disebut dengan water table (preatik level), yaitu permukaan air yang mempunyai tekanan hidrostatik sama dengan atmosfer. Air tanah yang berasal dari infiltrasi dapat dilihat pada Gambar 5.

Sumber: Krussman dan Ridder (1970)

Gambar 5. Air tanah yang berasal dari infiltrasi Sumber

Pencemaran air lainnya

Mata Air

Industri

Sumur

Timbunan

Sampah Lahan pertanian pupuk (nitrat),

pestisida

Lapisan Kedap Air


(44)

2.6.2. Akuifer Tertekan (Confined Aquifer)

Akuifer tertekan adalah akuifer yang seluruh jumlah air yang dibatasi oleh lapisan kedap air, baik yang di atas maupun di bawah, serta mempunyai tekanan jenuh lebih besar dari pada tekanan atmosfer.

2.6.3. Akuifer Semi Tertekan (Semi Confined Aquifer)

Akuifer semi tertekan adalah akuifer yang seluruhnya jenuh air, dimana bagian atasnya dibatasi oleh lapisan semi lolos air dibagian bawahnya merupakan lapisan kedap air.

2.6.4. Akuifer Semi Bebas (Semi Unconfined Aquifer)

Akuifer semi bebas adalah akuifer yang bagian bawahnya yang merupakan lapisan kedap air, sedangkan bagian atasnya merupakan material berbutir halus, sehingga pada lapisan penutupnya masih memungkinkan adanya gerakan air. Dengan demikian akuifer ini merupakan peralihan antara akuifer bebas dengan akuifer semi tertekan.

Todd (1980) menyatakan tidak semua formasi litologi dan kondisi geomorfologi merupakan akuifer yang baik. Berdasarkan pengamatan lapangan, akuifer dijumpai pada bentuk lahan sebagai berikut:

a. Lintasan air (water course), materialnya terdiri dari aluvium yang mengendap di sepanjang alur sungai sebagai bentuk lahan dataran banjir serta tanggul alam. Bahan aluvium itu biasanya berupa pasir dan kerikil.


(45)

b. Lembah yang terkubur (burried valley) atau lembah yang ditinggalkan

(abandoned valley), tersusun oleh materi lepas-lepas yang berupa pasir halus

sampai kasar.

c. Dataran (plain), ialah bentuk lahan berstruktur datar dan tersusun atas bahan aluvium yang berasal dari berbagai bahan induk sehingga merupakan akuifer yang baik.

d. Lembah antar pegunungan (intermontane valley), yaitu lembah yang berada diantara dua pegunungan, materialnya berasal dari hasil erosi dan gerak massa batuan dari pegunungan di sekitarnya.

e. Batu gamping (limestone), air tanah terperangkap dalam retakan-retakan atau diaklas-diaklas. Porositas batu gamping ini bersifat sekunder.

Batuan vulkanik, terutama yang bersifat basal. Sewaktu aliran basal ini mengalir, ia mengeluarkan gas-gas. Bekas-bekas gas keluar itulah yang merupakan lubang atau pori-pori dapat terisi air (Todd, 1980).

2.7. Perencanaan Penataan Ruang

Perencanaan tata ruang adalah proses penyusunan rencana tata ruang untuk meningkatkan mutu lingkungan hidup dan pemanfaatannya. Rencana tata ruang yang dihasilkan harus merupakan perpaduan antara tata guna tanah, air, udara dan tata guna sumberdaya lainnya dan dilengkapi dengan peta tata ruang. Peta tersebut harus menunjukkan pembagian ruang, misalnya letak dan batas hutan lindung, hutan


(46)

produksi, lahan pertanian dan perkebunan, lokasi perkembangan jalan raya, dan lokasi perkembangan pemukiman (CIFOR, Agustus 2002, No. 5).

Menurut Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 1997 yang menetapkan jenis dan kriteria penetapan kawasan lindung termasuk didalamnya kawasan resapan air, dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Jenis dan Kriteria Penetapan Kawasan Lindung (Peraturan Pemerinta No. 47 Tahun 1997)

Jenis Kawasan Lindung Kriteria Penetapan

Kawasan Hutan Lindung (HL) Faktor lereng, jenis tanah, intensitas curah hujan, lereng lebih dari 40% dan ketinggian di atas 2.000 m

Kawasan bergambut Tebal gambut lebih dari 3 m, terletak di hulu

atau rawa

Kawasan resapan air Hujan tinggi, tanah mudah diresapi air, bentuk

yang memudahkan peresapan air banyak

Sempadan sungai 5 m sebelah luar tanggul sungai, bila tidak ada

tanggul ditetapkan pejabat yang berwenang

Sempadan pantai 100 m dari titik pasang tertinggi sepanjang

pantai

Kawasan sekitar danau/waduk 50 - 100 m dari tepi danau waktu pasang

Kawasan sekitar mata air 200 m sekeliling mata air

Kawasan terbuka hijau kota/hutan kota

Kawasan Suaka Alam (KSA) Ditunjuk karena alasan keanekaragaman jenis

Taman Nasional (TN) Ditetapkan luas yang cukup untuk menjamin

kelangsungan proses ekologis secara alami, ada sumberdaya alam khas, alam asli dan

mendukung upaya pelestarian sumberdaya alam Taman Hutan Raya (Tahura),

Taman Wisata Alam (TWA)

Ada ciri khas, indah, cukup luas, daya tarik khusus, lingkungan luar mendukung

Cagar Budaya Bernilai budaya tinggi, situs purbakala

Kawasan rawan bencana Sering dan berpotensi mengalami bencana alam

Taman Buru (TB), cagar biosfir, kawasan perlindungan plasma nutfah, kawasan pengungsian satwa, kawasan pantai berhutan bakau

Ditetapkan berdasarkan kriteria khusus

Sumber : Departemen Kehutanan, 1997


(47)

menurun dan kebutuhan air yang semakin meningkat, sumberdaya air wajib dikelola dengan memperhatikan fungsi sosial, lingkungan hidup dan ekonomi secara selaras dan pengelolaan sumberdaya air perlu diarahkan untuk mewujudkan sinergi dan keterpaduan yang harmonis antar wilayah, antar sektor dan antar generasi.

Menurut Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang untuk Nasional, Pulau dan Pulau-pulau Kecil, Propinsi dan Kabupaten, Rencana Tata Ruang Nasional menjadi acuan dan pedoman bagi seluruh program pembangunan baik di pusat maupun di daerah. Demikian pula, Rencana Tata Ruang Propinsi yang dijabarkan dari rencana nasional merupakan acuan dan pedoman bagi penyusunan program pembangunan di Kabupaten. Rencana Tata Ruang Kabupaten dijabarkan dari rencana propinsi dan menetapkan lokasi dari kawasan yang harus dilindungi dan dibudidayakan serta wilayah yang akan diprioritaskan pengembangannya dalam jangka waktu perencanaan yaitu 10 tahun.


(48)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada daerah kawasan sumber air tanah (ground water) PDAM Tirtanadi Sibolangit Kabupaten Deli Serdang Propinsi Sumatera Utara yang lokasinya berjarak 30 - 65 km dari Kota Medan. Waktu penelitian dilakukan mulai bulan Februari sampai April tahun 2009.

Adapun pemilihan lokasi ini berdasarkan atas pertimbangan bahwa kawasan ini merupakan daerah resapan air untuk mata air-mata air yang dimanfaatkan PDAM Tirtanadi Sibolangit dimana pada kawasan ini memiliki sumur-sumur pengambilan mata air sebanyak 24 titik (bron).

3.2. Bahan dan Alat-alat Penelitian

Alat yang dipergunakan selama penelitian lapangan adalah : GPS (Global

Positioning System), peta lokasi penelitian dari Peta Rupa Bumi Indonesia 1998

lembar Sibolangit, Peta Topografi, Peta Geologi, Peta Hidrogeologi, Peta Sistem Lahan, Peta Tutupan Lahan, Peta Landsat dan Peta Jenis Tanah, alat pengambilan sampel tanah, infiltrometer, kompas dan meteran.


(49)

3.3. Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel

Penelitian ini mengambil populasi pada kawasan resapan air PDAM Tirtanadi Sibolangit yaitu pada kawasan yang berada di bagian hulu (atas) dari titik pengambilan sumber air PDAM Tirtanadi Sibolangit dengan mengikuti pola sebaran kontur.

Penentuan lokasi pengambilan sampel dilakukan dengan metoda Purposive Sampling (Nasir, 1988). Sesuai keperluan penelitian lokasi sampel dipilih di daerah-daerah yang berpeluang memberi kontribusi terhadap resapan air dan sebagai bahan pertimbangan dalam penentuan jumlah dan sebarannya adalah dengan melihat keseragaman Peta Geologi, Peta Jenis Tanah, Peta Kontur, Peta Hidrogeologi, Peta Sistem Lahan dan Peta Tutupan Lahan yang berskala 1:50.000. Jumlah sampel sebanyak 10 titik dengan disebar pada keseragaman formasi geologi, keseragaman jenis tanah, formasi kontur, formasi hidrologi, keseragaman sistem lahan dan keseragaman tutupan lahan.

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Data primer dikumpulkan secara observasi/pengukuran di lapangan yang menyangkut parameter : jarak dan koordinat, infiltrasi (infiltration), perkolasi (percolation), tutupan lahan dan pengelolaan lahan (land cover and land use), sedangkan data permeabilitas (permeability) dan kerapatan lindak (bulk density)


(50)

didapat dari hasil uji analisis laboratorium yang mencakup parameter tingkat permeabilitas (permebility) dan kerapatan lindak (bulk density).

Data sekunder meliputi analisa terhadap peta-peta yang terdiri dari : Peta Topografi, Peta Geologi, Peta Hidrogeologi, Peta Sistem Lahan, Peta Jenis Tanah, Peta Penggunaan Lahan dan Peta Landsat dengan menggunakan metode penomoran analisis GIS (Geographical Information System), sedangkan data curah hujan (precipitation) untuk memperkuat analisis tangkapan air dan resapan air di kawasan penelitian.

3.5. Teknik Analisis Data

Penelitian ini pada dasarnya bersifat penelitian deskritif analisis dengan teknik survei lapangan, pengambilan sample tanah, pemeriksaan laboratorium dan melakukan upaya mendeskripsikan zonasi resapan air tanah dengan menggunakan beberapa data dan peta-peta yang menggunakan aplikasi SIG (Sistem Informasi Geografik) dengan teknik tumpang susun (over lay) sehingga menghasilkan peta analisis zonasi resapan air tanah, dapat dilihat pada Gambar 6 berikut.


(51)

Gambar 6. Teknik tumpang susun (over lay) untuk menghasilkan Peta Zonasi Resapan Air pada lokasi penelitian

Analisis peta-peta yang memiliki skala peta yang berbeda dapat diproyeksikan ke skala lebih besar dengan menambah informasi dalam peta tersebut. Selanjutnya peta dikonversi dan dikoreksi dengan menggunakan skala yang lebih besar (skala 1:25.000) serta memasukkan data-data primer dari hasil survey lapangan (groundtruth) dimana skala peta-peta yang lebih kecil (1:250.000) dapat ditambah informasinya.

3.6. Metodologi Penelitian

Penelitian dilakukan dengan metoda deskriptif. Secara harafiah dimaksudkan untuk membuat gambaran mengenai situasi, kondisi, atau kejadian, sehingga lebih mengarah menghimpun data dasar. Metoda ini secara lebih umum sering disebut sebagai metoda survei. Penelitian dilakukan untuk memperoleh fakta dari gejala-gejala yang ada secara faktual (Nasir, 1988).

Peta Geologi

Peta Sistem Lahan

Peta Fungsi Hutan

Peta Landsat

Peta DAS dan Administrasi Peta Penggunaan Lahan


(52)

Kajian dalam penelitian ini memberi gambaran mengenai situasi yang berkaitan dengan bentang alam (land scape) berdasarkan peta topografi wilayah untuk menentukan batas-batas alami dari suatu kawasan daerah resapan (recharge

area), sebaran batuan berdasarkan peta geologi dan sebaran vegetasi (tutupan lahan)

berdasarkan peta landsat yang diperkirakan dapat memberi kontribusi atau pengaruh terhadap resapan air tanah.

Penentuan besaran resapan air tanah juga dapat ditentukan berdasarkan faktor-faktor infiltrasi (infiltration), perkolasi (percolation), permeabilitas (permeability), kerapatan lindak (bulk density), curah hujan (precipitation), tutupan lahan dan pengelolaan lahan (land cover and land use). Lokasi titik-titik pengukuran dipetakan dengan menggunakan alat GPS untuk diplot pada peta dasar yang dikutip dari Peta Rupa Bumi Indonesia (1998) lembar Sibolangit skala 1:50.000.

3.6.1. Faktor Infiltrasi (Infiltration)

Infiltasi adalah pergerakan air dari atas permukaan tanah ke dalam permukaan air tanah (water table) yang disebabkan oleh gaya gravitasi dan kapilaritas, air yang menginfiltrasi itu mula-mula diserap untuk meningkatkan kelembaban tanah, dan selebihnya akan turun ke dalam tanah melalui proses perkolasi mengalir kesamping (secara harizontal).

Faktor-faktor yang mempengaruhi infiltrasi pada suatu bentang alam adalah : 1. Dalamnya genangan air di atas permukaan tanah


(53)

3. Tebal lapisan yang jenuh 4. Pemapatan oleh curah hujan

5. Penyumbatan oleh bahan-bahan halus 6. Pemapatan oleh manusia dan hewan 7. Tumbuh-tumbuhan

Laju infiltrasi (f) ≤ kapasitas infiltrasi (fp). Hal ini dipengaruhi oleh intensitas

curah hujan. Jika intensitas hujan < kapasitas infiltrasi maka laju infiltrasi akan < kapasitas infiltrasi, dan jika intensitas curah hujan > maka laju infiltrasi akan = kapasitas infiltrasi, dapat dilihat laju infiltrasi pada Gambar 7.

Gambar 7. Intensitas curah hujan yang berpengaruh terhadap laju infiltrasi (Horton, 1935)

Nilai laju infiltrasi pada beberapa jenis tanah dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Nilai Laju Infiltrasi Beberapa Jenis Tanah

Jenis Tanah Laju Infiltrasi (mm/menit)

Tanah ringan (sandy soils) 0,02

Tanah sedang (loam clay, loam silt) 0,05

Tanah berat (clays, clay loam) 0,21

Sumber: (Horton, 1935)

I > fp

I < fp

fc f0 L aj u I nf il tr as i (c m /j am ) Waktu (menit)


(54)

Laju infiltrasi ini dapat di ukur dengan metoda Horton (1935) dengan persamaan;

fp = fc + (f0– fc) e(-kt)

Dimana; fp = Kapasitas infiltrasi pada waktu t

fc = Laju infiltrasi pada saat konstan

f0 = Laju infiltrasi awal

k = Konstanta (0,0697) t = Waktu

Kapasitas infiltrasi juga dapat diukur dengan infiltrometer silinder ganda pada kondisi apa adanya (existing), tanpa perlakuan. Pengukuran dilakukan dengan infiltrometer silinder ganda berukuran silinder dalam diameter 30 cm dan silinder luar diameter 50 cm. Kedua silinder tersebut dibenamkan ke dalam tanah dengan kedalaman antara 5 cm sampai 15 cm. Air dimasukkan ke dalam kedua silinder tersebut dengan ketinggian 1 cm sampai 2 cm di atas permukaan, dan terus dipertahankan dengan cara mengalirkan air ke dalam silinder tersebut dari suatu bejana yang diketahui volumenya. Dilakukan pencatatan terhadap waktu yang diperlukan untuk meresapkan sejumlah volume tertentu dari air yang dituangkan ke dalam silinder. Pengukuran dilakukan terhadap penurunan air pada silinder yang lebih kecil, air pada silinder yang besar berfungsi sebagai penyangga untuk menurunkan efek batas yang timbul oleh adanya silinder (Suharta, et al, 2008).


(55)

Koreksi terhadap pengaruh evaporasi (penguapan) dilakukan pengukuran penguapan dengan panci evaporasi. Prosedur pengukuran adalah dengan menuangkan 1.000 cc air bersih (sama dengan air yang digunakan dalam infiltrometer) dengan cara mengucurkan air ke dalam panci seperti mengucurkan dalam infiltrometer. Didiamkan selama satu jam, kemudian volume air sisa diukur kembali. Persentase penguapan adalah volume air yang menguap dalam panci dibagi dengan volume air yang dituangkan (1.000 cc) dikalikan 100%. Dengan asumsi penguapan yang terjadi di dalam infiltrometer sama dengan penguapan yang terjadi pada panci penguapan, maka volume air yang meresap dalam infiltrometer dikoreksi dengan persentase penguapan dari panci evaporasi. Laju infiltrasi (Linf) adalah volume air yang

dituangkan dikalikan faktor evaporasi dibagi waktu yang dibutuhkan untuk peresapan. Linf diplot ke dalam grafik terhadap waktu (T). Harga konstan dari Linf

yang didapat dari grafik merupakan kapasitas infiltrasi (Cinf) (Suharta, et al, 2008).

Laju infiltrasi (Linf) adalah volume air yang yang dituangkan dikurangi faktor

(koreksi) evaporasi dibagi dengan luas silinder kecil dari infiltrometer dan waktu yang dibutuhkan untuk peresapan, dihitung dengan persamaan sebagai berikut (Sosrodarsono dan Takeda, 1985):

(1 – E0) V0

Linf =

(Ainf x T)

Dimana ; Linf = Laju infiltrasi,


(56)

V0 = volume air yang dituangkan ke silinder kecil infiltrometer,

Ainf = luas silinder kecil infiltrometer,

T = waktu peresapan.

Menurut Sosrodarsono dan Takeda (1985), pada saat yang bersamaan dengan pengukuran infiltrasi juga dilakukan pengukuran terhadap evaporasi. Koreksi terhadap volume air dalam infiltrometer yang disebabkan oleh evaporasi, dilakukan pengukuran penguapan dengan panci evaporasi. Persentase penguapan adalah volume air yang menguap dalam panci evaporasi dibagi dengan volume air yang dituangkan (1.000 cc) dan waktu untuk penguapan kali 100% dihitung dengan persamaan :

(V0– Vi)

E0 = x 100%

(V0 x t)

Dimana ; E0 = Koreksi evaporasi (%/jam),

V0 = volume awal air dituangkan (ml),

Vi = volume akhir air setelah satu jam (ml),

t = selang waktu pengukuran (jam).

Untuk penelitian ini, persamaan yang dipakai adalah persamaan ini dimana pengambilan sampel dan pengamatan langsung di lapangan.


(57)

3.6.2. Faktor Perkolasi (Percolation)

Perkolasi (percolation) adalah pergerakan air ke bawah dari profil tanah, melalui lapisan air tanah (groundwater) dan masuk ke lapisan akuifer. Jika kapasitas perkolasi kapasitas infiltrasi maka lapisan di bawah lapisan permukaan tidak akan jenuh air dan laju infiltrasi ditentukan oleh infiltrasi dan jika kapasitas perkolasi kapasitas infiltrasi maka lapisan bawah akan jenuh air dan laju infiltrasi ditentukan oleh laju perkolasi.

Dasar perhitungan besarnya resapan air ke dalam tanah ditentukan oleh angka perkolasi dengan menggunakan alat uji perkolasi. Waktu perkolasi adalah waktu dalam satuan menit yang diperlukan oleh air untuk turun sedalam 2,54 cm (1 inchi). Satuan waktu perkolasi dinyatakan dalam menit (inchi), hubungan waktu perkolasi dengan luas tanah absorbsi dinyatakan dengan dalil ”makin lama waktu perkolasi makin luas tanah absorbsi yang diperlukan” (Hardjowigeno, 1995).

Kapasitas perkolasi diukur dengan infiltrometer yang sama tetapi dilakukan dengan menggali sumuran untuk menghilangkan tanah penutup. Pengukuran dilakukan dengan infiltrometer silinder ganda berukuran silinder dalam diameter 30 cm dan silinder luar diameter 50 cm. Kedua silinder tersebut dibenamkan ke dalam tanah dengan kedalaman antara 5 cm sampai 15 cm dimana bagian permukaan tanah digali sampai sekitar 40 – 100 cm untuk menghilangkan pengaruh kepadatan dan penyumbatan pori oleh lumpur. Air dimasukkan ke dalam kedua silinder tersebut dengan ketinggian satu sampai dua cm di atas permukaan, dan terus dipertahankan


(58)

dengan cara mengalirkan air ke dalam silinder tersebut dari suatu bejana yang diketahui volumenya. Dilakukan pencatatan terhadap waktu yang diperlukan untuk meresapkan sejumlah volume tertentu dari air yang dituangkan ke dalam silinder. Pengukuran dilakukan terhadap penurunan air pada silinder yang lebih kecil, air pada silinder yang besar berfungsi sebagai penyangga untuk menurunkan efek batas yang timbul oleh adanya silinder (Suharta, et al, 2008).

Koreksi terhadap pengaruh evaporasi (penguapan) dilakukan pengukuran penguapan dengan panci evaporasi. Prosedur pengukuran adalah dengan menuangkan 1.000 cc air bersih (sama dengan air yang digunakan dalam infiltrometer) dengan cara mengucurkan air ke dalam panci seperti mengucurkan dalam infiltrometer. Didiamkan selama satu jam, kemudian volume air sisa diukur kembali. Persentase penguapan adalah volume air yang menguap dalam panci dibagi dengan volume air yang dituangkan (1.000 cc) dikalikan 100 %. Dengan asumsi penguapan yang terjadi di dalam infiltrometer sama dengan penguapan yang terjadi pada panci penguapan, maka volume air yang meresap dalam infiltrometer dikoreksi dengan persentase penguapan dari panci evaporasi. Laju perkolasi (Lp) adalah volume air yang

dituangkan dikalikan faktor evaporasi dibagi waktu yang dibutuhkan untuk peresapan. Lp diplot ke dalam grafik terhadap waktu (T). Harga konstan dari Lp yang


(59)

Menurut Sosrodarsono dan Takeda (1985), laju perkolasi (Lp) adalah volume

air yang yang dituangkan dikurangi faktor (koreksi) evaporasi dibagi dengan luas silinder kecil dari infiltrometer dan waktu yang dibutuhkan untuk peresapan, dihitung dengan persamaan sebagai berikut :

(1 – E0) V0

Lp =

(Ainf x T)

Dimana ; Lp = Laju perkolasi,

E0 = faktor (koreksi) evaporasi,

V0 = volume air yang dituangkan ke silinder kecil infiltrometer,

Ainf = luas silinder kecil infiltrometer,

T = waktu peresapan.

Untuk perkolasi, bagian permukaan tanah digali sampai sekitar 40 – 100 cm yang dimaksud untuk menghilangkan pengaruh kepadatan dan penyumbatan pori-pori tanah oleh lumpur yang dapat mengurangi kapasitas perkolasi.

Pada saat yang bersamaan dengan pengukuran perkolasi juga dilakukan pengukuran terhadap evaporasi dimana bagian permukaan tanah digali sampai sekitar 40 – 100 cm. Koreksi terhadap volume air dalam infiltrometer yang disebabkan oleh evaporasi, dilakukan pengukuran penguapan dengan panci evaporasi. Persentase penguapan adalah volume air yang menguap dalam panci evaporasi dibagi dengan volume air yang dituangkan (1.000 cc) dan waktu untuk penguapan kali 100% dihitung dengan persamaan ;


(60)

(V0– Vi)

E0 = x 100%

(V0 x t)

Dimana ; E0 = Koreksi evaporasi (%/jam),

V0 = volume awal air dituangkan (ml),

Vi = volume akhir air setelah satu jam (ml),

t = selang waktu pengukuran (jam).

Untuk penelitian ini, persamaan yang dipakai adalah persamaan di atas, dimana pengambilan sampel dan pengamatan langsung di lapangan.

3.6.3. Faktor Permeabilitas (Permeability)

Permeabilitas adalah kemampuan butiran tanah untuk meloloskan air. Kuantitas aliran air yang melewati batuan kedap mungkin begitu kecil untuk dilewati aliran air tersebut karena evaporasi mencegah akumulasi air di atas permukaan yang terbuka. Di lain pihak, lapisan berisi butiran kecil dalam satu dinding lembah dapat mengalirkan air tanah dengan cepat untuk menciptakan mata air (air terjun kecil) (Sosrodarsono dan Takeda, 1985).

Untuk aliran air satu dimensi pada lapisan tanah jenuh sempurna digunakan humus empiris Darcy :

q = Aki atau,

q v = = ki


(61)

Dimana ; q = volume aliran air per satuan waktu A = luas penampang tanah yang dilewati air k = koefisien permeabilitas

I = gradien hidrolik

V = kecepatan aliran (discharge velocity)

satuan koefisien permeabilitas sama dengan satuan kecepatan, yaitu m/detik.

Koefisien permeabilitas terutama tergantung pada ukuran rata-rata pori yang dipengaruhi oleh distribusi ukuran partikel, bentuk partikel dan struktur tanah. Koefisien permeabilitas juga bervariasi tergantung pada suhu (viskositas air juga tergantung pada suhu) (Sosrodarsono dan Takeda, 1985). Kalau harga k diambil 100% pada suhu 20°C, maka nilainya pada 10°C dan 0°C berturut-turut adalah 77% dan 56%. Menurut Sosrodarsono dan Takeda (1985), koefisien permeabilitas dapat juga dinyatakan dengan rumus :

Yw

k = = K n

Dimana ; Yw = berat isi air,

n = viskositas air,

K = koefisien absolut yang tergantung hanya pada karakteristik kerangka partikel tanah (satuannya m2).


(62)

3.6.4. Faktor Kerapatan Lindak (Bulk Density)

Bulk density menunjukkan perbandingan antara berat tanah kering dengan

volume tanah termasuk volume pori-pori tanah. Bulk density dapat diukur dengan persamaan;

Bulk density merupakan petunjuk kepadatan tanah. Makin padat suatu tanah

makin tinggi bulk density, yang berarti makin sulit meneruskan air atau ditembus akar tanaman. Pada umumnya bulk density berkisar antara 1,1 – 1,6 gr/cc. Beberapa jenis tanah mempunyai bulk density kurang dari 0,90 gr/cc (misalnya tanah Andosol), bahkan ada yang kurang dari 0.10 gr/cc (misalnya tanah gambut).

Tanah mineral mempunyai particle density = 2,65 gr/cm3. Dengan mengetahui besarnya bulk density dan particle density maka dapat dihitung banyaknya (%) pori-pori total tanah sebagai berikut :

% pori-pori total tanah = 100% - % bahan padat tanah. Dengan rumus ;

berat tanah kering (gr) volume tanah (cc)

Bulk Density =

Bulk density Particle density

x 100% = % bahan padat tanah

Ruang pori total (%) = (1 -

Bulk density Particle density


(1)

pemukiman) dan zona III (hutan, lahan terlantar dan semak serta pemukiman). Hasil interpretasi peta landsat diperoleh peta tutupan lahan dan data luasan dari masing-masing zona menunjukkan bahwa setiap zona masih memiliki kawasan resapan air yang masih baik berupa kawasan hutan yang masih luas dimana, zona I memiliki kawasan hutan (Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Sibolangit) dengan luas 249,09 ha (37,92% dari luas zona I atau 6,56% dari luas zonasi), zona II memiliki kawasan hutan (Tahura Bukit Barisan, Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Sibolangit) dengan luas 119,33 ha (5,95% dari luas zona II atau 3,14% dari luas zonasi) dan zona III memiliki kawasan hutan (Tahura Bukit Barisan) dengan luas 1.000,77 ha (88,19% dari luas zona III atau 26,36% dari luas zonasi).

i. Hasil dari pengolahan data curah hujan untuk 2 stasiun diperoleh rata-rata curah hujan 2.826,10 mm/tahun dengan asumsi air yang tersedia dan dapat diresapkan kedalam tanah 1.504.593,031 m3/tahun untuk zona II dan III.

6.2. Saran

Saran-saran yang dapat disampaikan dalam penelitian ini adalah :

a. Disarankan kepada PDAM Tirtanadi untuk membuat daerah kantung-kantung resapan air mengingat kawasan resapan air pada zona II dan zona III sudah mulai menurun kuantitas resapan akibat dari pembangunan yang tidak ramah lingkungan, penebangan hutan dan pertanian yang konvensional.


(2)

b. Disarankan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Deli Serdang agar mempertimbangkan kembali Rencana Tata Ruang Kabupaten Deli Serdang yang memperuntukkan kawasan ini tepatnya di zona II sebagai Pusat Pariwisata Berwawasan Lingkungan, mengingat kawasan ini merupakan kawasan potensial untuk daerah resapan air PDAM Tirtanadi dan kebutuhan akan air minum untuk keberlangsungan hidup yang akan datang.

c. Disarankan kepada PDAM Tirtanadi agar membuat perlakuan sivil teknis berupa sumur-sumur resapan, biopori-biopori dan hempangan-hempangan air larian pada zona II agar air dari curah hujan dapat meresap ke dalam tanah.

d. Dari hasil penelitian perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk melihat pengaruh pembukaan kawasan hutan untuk pertanian pada zona II dan zona III dan pembangunan Pusat Pariwisata Berwawasan Lingkungan di zona II terhadap penurunan resapan air tanah.

e. Perlu dilakukan penelitian lebih terperinci mengenai pengaruh musim hujan dan kemarau terhadap fluktuasi debit air pada beberapa titik mata air yang dimanfaatkan oleh PDAM Tirtanadi.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Ahnert, F.A. and Williams, P.W. 1997. Karst Landform Development in a

Threedimensional Theoretical Model. Z. Geonlorph. N.F, Suppl. Bd108, 63 -

80.

Aref, El.M.M.; Kadrah, A.M.A. and Lotfy Z.H. 1987. Karst Topography and

Karstification Processes in the Eocene Limestone Plateau of El Bahariya. Z.

Geonlorph, N. (31)1, 45-64.

Arsyad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor.

Asdak, C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika. 2009. Data Curah Hujan Periodik

Januari 1999 Mei 2009. Stasiun Medan

Bouwer, H. 1978. Ground Water Hydrology. McGraw-Hill Book Company., New York.

Bowless, J.E. 1986. Sifat-sifat Fisis dan Geoteknis Tanah. Erlangga. Jakarta. CIFOR, 2002, Warta Kebijakan, Ford Foundation and ADB.

Chorley. 1969. Introduction to Physical Hydrology. Barnes and Noble Inc., New York.

Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. 2003. Direktorat Jendral Sumber Daya Air.

FAO. 2002. Crops and Drops: Making the Best Use of Water for Agriculture. Fetter, C.W. 1988. Applied Hydrogeology. Second edition. MacMillan, New York. Ford, D.C. and Williams, P.W. 1989. Karst Geomorphology and Hydrology.

Chapman and Hall, London.

Gunn, J. 1981. Hydrological Processes in Karst Depression. Z. Geomorph. N.F., (25) 3, 313-331.


(4)

Handoyo, B. 2008. http://www.malang.ac.id/e-Learning/FMIPA/BudiHandoyo/ geografi.htm. tanggal 5 Mei 2008.

Hardjowigeno, S. 1995. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo, Jakarta.

Haryono, E.; Hadi, M.P.; Suprojo, S.W. dan Sunarto. 2000. Kajian Mintakat

Epikarst Gunung Kidul untuk Penyediaan Air Bersih. Laporan PHB VIll,

LIT-UGM, Yogyakarta.

Herlambang, A. 1996. Kualitas Air tanah Dangkal di Kabupaten Bekasi. Program Pascasarjana, IPB. Bogor.

Horton, R.E. 1935. Surface Runof Phenomena: Part I Analysis of the Hydrograph. Horton Hydrol. Lab. Pub. 101. Ann Arbor, M.I; Edward Bros.

Huntoon, P.W. 1992. Exploration and Development of Groundwater from the Stone

Forest Aquifer in South China. Ground Water, 30. 324-330.

Kodoatie, R.J. 1996. Pengantar Hidrogeologi. Penerbit Andi, Yogyakarta.

Krussman, G.P. and Ridder, N.A.de. 1970. Analysis and Evaluation of Pumping

Test Data. International Institute for Land Reclamation and Improvement,

Wageningen.

Linhua, S. 1996. Mechanism of Karst Depression Evolution and HydrologIcal

Evolution, ActaGeographica Sinica, 41. 41-50.

Linsley, R.K. and Franzini, J.B. 1986. Teknik Sumber Daya Air. edisi ke dua, Erlangga.

MacDonald and Partners. 1984. Greater Yogyakarta, Ground Water Resources Study

Volume III : Ground Water. Overseas Development Administration, London,

Directorate General of Water Development. Ground Water Development Project (P2AT) Indonesia.

MacDonald and Patners. 1984. Greater Yogyakarta, Groundwater Resources Study,

Volume 8. Directorat General of Water Resources Development.

Marker, M.E. 1989. Cone karst in South Africa. Z. Geomorph. N.F., Suppl Bd 75, 83-93.


(5)

Mati, B.M.; Morgan, R.P.C.; Gichuki, F.N.; Quinton, J.N.; Brewer, T.R. and Liniger, H.P. 2000. Assessment of rosion hazard with the USLE and GIS - A case

study of the upper ewaso Ng'iro North basin of Kenya. International Journal

of Applied Earth Observation and Geoinformation. Vol. 2 Issue 2. p 78 - 86. Nasir, M. 1988. Metoda Penelitian. Darussalam: Ghalia Indonesia.

Philip, J.R. 1954. An Infiltration Equation with Physical Significance. Soil Sci. Purnama, S. 2004. Infiltrasi Tanah di Kecamatan Nguter, Kabupaten Sukoharjo,

Propinsi Jawa Tengah. Majalah Geografi Indonesia 18 (1) : 1-14.

Purnama, S. 2006. Model Konservasi Air Tanah di Dataran Pantai Kota Semarang. Forum Geografi 20 (2) : 35-47.

Seyhan, E. 1977. Fundamentals of Hydrology. Geografisch Institut der Rijks- Universiteit te Utrecht, Utrecht.

Simoen, S. 2001. Sistem Akuifer di Lereng Gunung Api Merapi bagian Timur

dan Tenggara : studi kasus di kompleks Mataair Sungsang Boyolali Jawa Tengah. Majalah Geografi Indonesia 15 (1) : 141-152.

Sosrodarsono, S. and Takeda, K. 1985. Hidrologi Untuk Pengairan. Pradnya Paramita, Cetakan ke lima, Jakarta.

Stauffer, R.E and Canfield, D.E. 1992. Hydrology and Alkalinity Regulation of Soft

Flourida Waters: an Integrated Asessment. Water Resources Research 28 (6)

: 1901- 1923.

Suharta, K.; Merit, N. dan Sunarta, N. 2008. Studi Peresapan Air Hujan di Kota Denpasar. Journal Ecotropic 3 (2) : 49 - 54.

Sunarto. 1997. Paleogeomorfologi dalam Analisis Perubahan Lingkungan

Kompleks Gua Karst Maros. Majalah Geogafi Indonesia, (11) 19,31-52.

Sweeting, M.M. 1990. The Guilin Karst. Z. Geomorph N.F, SuppL Bd 77, 47-65. Todd, D.K. 1980. Ground Water Hydrology. John Wiley and Sons Inc., New York. Todd, D. K. 1980. Ground Water Hydrology. Mc Graw – Hill Book Company., New

York.


(6)

Verstappen, H.Th. 1960. Some Observations on Karst Development in the Malay

Archipelago. Journal of Tropical Geography, 14, 1-10.

Wagner, J.M.; Shamir, U. and Nemati, H.R. 1992. Ground Water Quality

Management Under Urcertainty : Stochastic Programming Approach and the Value of Information. Water Resources Research 28 (5) : 1511-1530.

Walton, W.C. 1970. Ground Water Resources Evaluation. John Wiley and Sons Inc., New York.