Perangkap Kemiskinan Pengrajin Batu Bata di Nagori Teluk Lapian, Kecamatan Ujung Padang, Kabupaten Simalungun

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kemiskinan
2.1.1 Ciri – Ciri Kemiskinan
Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup
memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu
memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam kelompok tertentu. Menurut Emil
Salim,1984( Pada Abdilsani 2007: 190), bahwa kemiskinan lazimnya dilukiskan sebagai
kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok. Kemiskinan relatif,
ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk mencapai standar kehidupan yang
ditetapkan masyarakat setempat sehingga proses penentuannya sangat subjektif. Negara
kaya mempunyai garis kemiskinan yang lebih tinggi dari negara miskin. Ketika negara
menjadi lebih kaya, maka garis kemiskinannya cenderung lebih tinggi. Sedangkan
kemiskinan absolut, ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan
pokok minimum. Garis kemiskinan absolut dapat dibandingkan antar waktu dan antar
negara (jika garis kemiskinan absolut yang digunakan sama). Untuk melihat penduduk
miskin dunia, biasanya Bank Dunia menggunakan garis kemiskinan US $ 1 atau US $ 2
per hari.( Agung Septianto W. SST.2007. Metode Penghitungan Kemiskinan. Berita Resmi
Statistik BPS Sulawesi Utara .(Online).(http://sultra.bps.go.id/index.Php?Itemid=2&id=
39&option =com_content&task=view) Diakses 5 Maret. Pukul 15.00 Wib.
Dimensi kemiskinan dapat diartikan sebagai kemiskinan yang disebabkan oleh adanya

faktor-faktor penghambat yang mencegah atau merintangi seseorang dalam memanfaatkan
kesempatan-kesempatan yang ada di masyarakat. Faktor-faktor penghambat tersebut secara
umum meliputi faktor internal dan eksternal. Faktor internal datang dari dalam diri orang
itu sendiri, seperti rendahnya pendidikan atau adanya hambatan budaya. Teori kemiskinan

19
Universitas Sumatera Utara

budaya (cultural poverty) yang dikemukakan oleh Oscar Lewis, menyatakan bahwa
kemiskinan dapat muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut
oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos
kerja dan sebagainya. Faktor eksternal datang dari luar kemampuan orang yang
bersangkutan, seperti birokrasi dan peraturan- peraturan resmi yang dapat menghambat
seseorang dalam memanfaatkan sumberdaya. Kemiskinan seperti ini sering diistilahkan
dengan kemiskinan struktural. Menurut Selo Soemarjan (1980 pada J.Dewi Narwoko dan
Bagong Suyanto 2010:178 – 179) kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita
oleh suatu golongan masyarakat, karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut
menggunakan sumber – sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka.
menurut pandangan ini, kemiskinan terjadi bukan dikarenakan ketidakmampuan orang
tersebut untuk bekerja (malas), melainkan karena ketidakmampuan sistem dan struktur

sosial dalam menyediakan kesempatan- kesempatan yang memungkinkan orang tersebut
dapat bekerja.
Ciri utama dari kemiskinan struktural adalah tidak terjadinya mobilitas sosial secara
vertikal. Mereka yang miskin akan tetap hidup dengan kemiskinannya. Ciri lain dari
kemiskinan struktural adalah timbulnya ketergantungan yang kuat pihak si miskin terhadap
kelas sosial- ekonomi di atasnya. Menurut mohtar Mas’ud (1994:143 pada J. Dewi
Narwoko dan Bagong Suyanto 2010 : 180), adanya ketergantungan inilah yang selama ini
berperan besar dalam memerosotkan kemampuan si miskin untuk bargaining dalam dunia
hubungan sosial yang sudah timpang antara pemilik tanah dan penggarap, antara majikan
dan buruh. Menurut Robert Chambers, inti dari masalah kemiskinan struktural sebenarnya
terletak pada apa yang disebut deprivation trap atau perangkap kemiskinan.

20
Universitas Sumatera Utara

Secara rinci perangkap kemiskinan terdiri dari 5 unsur, yaitu:
(1) Kemiskinan itu sendiri;
(2) Kelemahan fisik;
(3) Keterasingan atau kadar isolasi;
(4) Kerentanan, menurut Chambers dapat dilihat dari ketidak mampuan keluarga

miskin untuk menyediakan sesuatu guna menghadapi situasi darurat, seperti bencana
alam, gagal panen atau sakit. Kerentanan ini sering menimbulkan “roda penggerak
kemiskinan” yang menyebabkan kelurga miskin harus menjual harta benda, sehingga
mereka akan semakin tidak berdaya.
(5) Ketidakberdayaan, salah satu tercermin dalam kasus dimana elit desa dengan
seenaknya memfungsikan diri sebagai oknum yang menjaring bantuan yang sebenarnya
diperuntukkan bagi orang miskin. Dalam hal ini seringnya kelurga miskin ditipu dan
ditekan orang yang memiliki kekuasaan, yang mengakibatkan terjadinya bias abntuan
terhadap si miskin kepada kelas di atasnya yang seharusnya tidak berhak memperoleh
subsidi ( Loekman Soetrisno, dalam Dewanta dkk,1995: 19-20 pada J.Dwi Narwoko
dan Bagong Suyanto 2010:181)
Myrdal, 1980 (Pada Mangku Purnomo 2004:134-135) mengemukakan ada lima ciri
kemiskinan Negara berkembang meliputi:
a. Mereka hidup dibawah garis kemiskinan. Pada umumnya tidak memiliki faktor
produksi sendiri, seperti tanah yang tidak cukup, modal ataupun keterampilan.
b. Mereka tidak mempunyai kemungkinan untuk memperoleh aset produksi.
c. Tingkat pendidikan umumnya rendah tidak sampai tamat SD, dan waktu mereka
umumnya habis tersita untuk mencari nafkah sehingga tidak ada lagi waktu untuk
belajar.
d. Banyak diantara mereka yang tidak mempunyai tanah.


21
Universitas Sumatera Utara

e. Banyak diantara mereka yang hidup di kota masih berusia muda dan tidak
mempunyai keterampilan (skill/pendidikan) (Prayetno, 1982 pada Mangku
Purnomo 134 – 135)
Menurut data BPS yang digunakan oleh Kabupaten Simalungun tahun 2011, untuk
mengukur kriteria rumah tangga miskin ( RTM ) adalah sebagai berikut.
1. Status penguasaan bangunan tempat tinggal yang ditempati kontrak, sewa ataupun
milik orang tua/ sanak saudara
2. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 25 m2/orang.
3. Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah, bambu atau kayu murahan.
4. Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu, kayu atau tembok tanpa diplester.
5. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama- sama dengan tetangga lain.
6. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.
7. Sumber air minum berasal dari sumur, mata air yang tidak terlindungi, sungai atau
air hujan.
8. Bahan bakar untuk memasak sehari- hari adalah kayu bakar, arang atau minyak
tanah.

9. Hanya mengonsumsi daging, susu, ayam satu kali dalam seminggu.
10. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun.
11. Hanya sanggup makan sebanyak dua kali dalam sehari.
12. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas atau poliklinik.
13. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: Petani dengan luas lahan 0,5 Ha,
buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya
dengan pendapatan dibawah Rp.600.000./bulan.
14. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga: tidak sekolah, tidak tamat SD, dan
hanya SD.

22
Universitas Sumatera Utara

15. Tidak memiliki tabungan atau barang yang mudah dijual dengan nilai Rp.500.000
seperti: sepeda motor (kredit/nonkredit), emas, ternak, kapal motor atau barang
modal lainnya.
16. Rumah tangga menjadi peserta program keluarga harapan ( PKH) atau beras untuk
orang miskin ( raskin ).
Pemerintah telah menentukan bahwa penerima bantuan tidak harus memenuhi 16
kriteria tersebut, tetapi minimal penerima bantuan harus memenuhi 9 kriteria. Karena

apabila masyarakat sudah memenuhi 9 kriteria, mereka sudah dianggap RTM.
Secara konseptual kemiskinan bisa diakibatkan oleh empat faktor, yaitu:
a. Faktor Individual. Terkait dengan aspek patologis, termasuk kondisi fisik dan
psikologis si miskin. Jadi kemiskinan itu disebabkan oleh prilaku, pilihan atau
kemampuan dari orang itu sendiri dalam menghadapi kehidupannya.
b. Faktor Sosial. Kondisi - kondisi lingkungan sosial yang menjebak seseorang
menjadi miskin. Misalnya, diskriminasi berdasarkan usia, gender, etnis yang
menyebabkan seseorang menjadi miskin. Termasuk dalam hal ini adalah kondisi
sosial dan ekonomi keluarga seseorang yang menyebabkan kemiskinan antar
generasi.
c. Faktor Kultural. Kondisi atau kualitas budaya yang menyebabkan kemiskinan.
Faktor ini secara khusus menunjuk pada

konsep “kemiskinan kultural” atau

“budaya kemiskinan” yang menghubungkan kemiskinan dengan kebiasaan hidup
atau mentalitas.
d. Faktor Struktural. Menunjuk pada struktur atau sistem yang tidak adil, tidak sensitif
sehingga menyebabkan seseorang atau sekelompok orang menjadi miskin.


23
Universitas Sumatera Utara

2.1.2 Kemiskinan di Pedesaan
Menurut UU no.22 Tahun 1999, menyatakan bahwa desa merupakan kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat berdasarkan asal-usul dan adat –istiadat setempat yang diakui dalam sistem
pemerintah nasional dan dibawah kabupaten ( Widjaya 2000: 26 pada Johara dan
Pramandika 2006: 262). Indonesia merupakan Negara agraris karena lebih dari separuh
penduduknya hidup dari pertanian. Berhubungan dengan hal itu sebagian besar penduduk
(±60%) bertempat tinggal di pedesaan. Wilayah pedesaan sangat luas, jumlah penduduknya
sangat banyak, tingkat pendapatan, pendidikan dan derajat kesehatan adalah rendah. Selain
itu akses terhadap faktor-faktor produksi, modal usaha, investasi dan memperoleh
informasi sangat lemah, sehingga kemajuan dan kesejahteraan masyarakat pedesaan jauh
tertinggal dibandingkan masyarakat perkotaan. Pembangunan pedesaan menurut Mosher
(Mosher 1964:45 pada Johara dan Pramandika 2006:83) bertujuan untuk menghilangkan
atau mengurangi berbagai hambatan dalam kehidupan sosial ekonomi, seperti kurangnya
pengetahuan, keterampilan, kesempatan kerja dan sebagainya, yang mengakibatkan
penduduk desa miskin.
Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilaksanakan

pada bulan Maret 2011, jumlah penduduk miskin di Sumatera Utara pada bulan Maret
2011 sebanyak 1.481.300 orang (11,33 %) dari total jumlah penduduk, khususnya di kotakota Sumatera Utara. Jumlah penduduk miskin itu sebaliknya bertambah di perkotaan
yakni sebanyak 2.100 orang atau menjadi 691.100 orang. Dengan bertambahnya jumlah
penduduk miskin di perkotaan membuat persentase jumlah golongan itu dengan di daerah
pedesaan hampir berimbang, yakni 11,89 % di pedesaan dan perkotaan 10,75 %.
Pada bulan Maret 2011, garis kemiskinan Sumut sebesar Rp.246.560 per kapita/bulan,
dimana untuk perkotaan di angka Rp.271.713 dan pedesaan Rp.222.226 per kapita/

24
Universitas Sumatera Utara

bulan.Berbeda dengan perkotaan, jumlah penduduk miskin Sumut yang berada di daerah
pedesaan pada Maret 2011 sebanyak 790.200. Jika dibandingkan dengan penduduk yang
tinggal pada masing-masing daerah tersebut, maka persentase penduduk miskin di daerah
perdesaan sebesar 11,89 %, sedangkan di daerah perkotaan sebesar 10,75 %. ( Widyastuti,
Indra.

2011.

Jumlah


Warga

Kota

Sumatera

Utara

Naik.

(Waspada

Online)(http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=203
400:jumlah-warga-miskin-kota-sumut-naik&catid=77:fokusutama&Itemid=131)). Diakses
pada 2 Mei 2012, pukul 14.30 Wib.
Menurut Peet ( Bourne dan Simmon, 1918:463 pada Jayadinata dan Pramandika
2006:116 ), ada 5 hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi kemiskinan di pedesaan:
1. Pemilik alat produksi misalnya tanah, oleh pengusaha/penggarap ( dapat secara
koperasi )

2. Sifat pengembangan ekonomi harus dipilih supaya penduduk dapat memperoleh
pendapatan yang cukup dengan modal dari bantuan pemerintah.
3. Diusahakan adanya disentralisasi industri ke daerah pedesaan, yang berguna
juga untuk melestarikan berbagai unsur sosial budaya lokal.
4. Pengembangan

dilakukan

dengan

perencanaan

sosial

ekonomi

yang

komprehensif dan dinamis.
5. Mengikutsertakan partisipasi dan pengalaman penduduk dalam pelaksanaan

rencana.
2.1.3 Sektor Informal di Pedesaan
Istilah sektor informal pertama kali dilontarkan oleh Keith Hart ( 1971 ) dengan
menggambarkan sektor informal sebagai bagian angkatan kerja kota yang berada diluar
pasar tenaga terorganisasi. Sektor informal, yaitu suatu istilah yang mencakup pengertian
berbagai kegiatan yang seringkali tercakup dalam istilah umum “usaha sendiri”. Dengan
25
Universitas Sumatera Utara

kata lain, sektor informal merupakan jenis kesempatan kerja yang kurang terorganisir, sulit
dicacah, dan sering dilupakan dalam sensus resmi, serta merupakan kesempatan kerja yang
persyaratan kerjanya jarang dijangkau oleh aturan - aturan hukum. Aktifitas - aktifitas
informal tersebut ditandai dengan: Mudah untuk dimasuki; Bersandar pada sumber daya
lokal; Usaha milik sendiri; Operasinya dalam skala kecil; Padat karya dan teknologinya
bersifat adaptif; Keterampilan dapat diperoleh diluar sistem sekolah formal; dan Tidak
terkena secara langsung oleh Regulasi dan pasarnya bersifat kompetitif. ( Teakoes. 2009.
SektorInformal:PermasalahandanUpayaMengatasinya.(Online)(http://www.pondokinfo.co
m/index.php/pondokrealita/45masyarakat/64-sektor-informal-permasalahan-dan-upayamengatasinya.html )
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar mengatakan untuk
mempercepat penanggulangan pengangguran dan kemiskinan adalah dengan memperluas
kesempatan kerja di sektor informal. Perluasan tersebut dilakukan dalam kesepakatan kerja
di sektor informal di pedesaan, sehingga mampu menjadi tulang punggung perekonomian
bangsa. Penciptaan wirausaha baru sebagai salah satu pemecahan permasalahan
ketenagakerjaan melalui penciptaan kerja sektor informal akan berimplikasi terhadap
terciptanya kesempatan berusaha, sehingga dapat menyerap masyarakat penganggur dan
setengah penganggur yang diarahkan kepada optimalisasi pemanfaatan potensi sumber
daya lokal.

Pemberdayaan sektor informal tersebut dilakukan berdasar pada lebih

tingginya kemampuan sektor informal dalam menyerap tenaga kerja. Dalam penyerapan
tenaga kerja, sektor informal menyerap 37% dari seluruh jumlah orang yang bekerja dan
sektor informal mampu menyerap 63%. Karena sebanyak 60 % penduduk Indonesia
tinggal

di

pedesaan

dan

sebagian

besar

bekerja

di

sektor

informal.

Adapun langkah yang akan dilakukan dalam hal ini adalah dengan pemberdayaan
masyarakat melalui kegiatan padat karya dengan memberikan kesempatan kerja dan

26
Universitas Sumatera Utara

menambah penghasilan bagi para penganggur dan setengah penganggur pada saat musim
sepi

panen

melalui

jenis

kegiatan

usaha

yang

bersifat

produktif

dan

berkelanjutan.((Mildan, Muhammad. 2010. Perluas Sektor Informal di Pedesaan Kurangi
Pengangguran.(Online)((http://www.bpplsp-reg5.go.id/berita-120-id-perluas-sektorinformal-di-pedesaan-kurangi-pengangguran.html)Diakses pada 1 Mei 2012 pukul 15.00
Wib.
2.1.3.1 Jenis - jenis Sektor Informal

Menurut Keith Hart, ada dua macam sektor informal dilihat dari kesempatan
memperoleh penghasilan, yaitu:

1. Sah; terdiri atas:

a. Kegiatan - kegiatan primer dan sekunder: pertanian, perkebunan yang berorientasi
pasar, kontraktor bangunan, dan lain - lain.
b. Usaha tersier dengan modal yang relatif besar: perumahan, transportasi, usahausaha untuk kepentingan umum, dan lain-lain.
c. Distribusi kecil - kecilan: pedagang kaki lima, pedagang pasar, pedagang
kelontong, pedagang asongan, dan lain-lain.
d. Transaksi pribadi: pinjam - meminjam, pengemis.
e. Jasa yang lain: pengamen, penyemir sepatu, tukang cukur, pembuang sampah, dan
lain - lain.

27
Universitas Sumatera Utara

2. Tidak sah; terdiri atas :

a. Jasa-kegiatan dan perdagangan gelap pada umumnya: penadah barang-barang
curian, lintah darat, perdagangan obat bius, penyelundupan, pelacuran, dan lainlain.
b. Transaksi-pencurian kecil ( pencopetan ), pencurian besar ( perampokan
bersenjata), pemalsuan uang, perjudian, dan lain - lain.

2.1.3.2 Ciri – ciri Sektor Informal
Adapun ciri- ciri dari sektor informal di Indonesia, yaitu meliputi:
a. menggunakan fasilitas ataukelembagaan yang tersedian secara formal.
b. Pada umumnya unit usaha tidak memiliki izin usaha.
c. Polakegiatan usaha tidak teratur dengan baik, dalam arti lokasi maupun jam kerja.
d. Pada umumnya kebijakan pemerintah untuk membantu golongan ekonomi lemah
tidak sampai ke sektor ini.
e. Unit usaha Kegiatan usaha tidak terorganisasi secara baik, karena unit usaha timbul
tanpa berganti - ganti dari satu sub-sektor ke sub-sektor lain.
f. Teknologi yang digunakan masih tradisional.
g. Modal dan perputaran usaha relatif kecil, sehingga skala operasinya juga kecil.
h. Untuk menjalankan usaha tidak diperlukan pendidikan formal, sebagian besar
hanya diperoleh dari pengalaman sambil bekerja.
i. Pada umumnya unitusaha termasuk kelompok one man enterprise, dan kalau ada
pekerja, biasanya berasal dari keluarga sendiri.
28
Universitas Sumatera Utara

j. Sumber dana modal usaha pada umumnya berasal dari tabungan sendiri, atau dari
lembaga keuangan tidak resmi.
k. Hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsi oleh golongan masyarakat kota atau
desa berpenghasilanrendah atau menengah.( Iradewa. Peran sektor informal di
Indonesia.(Online)(http://www.scribd.com/doc/43326994/Peran-Sektor-Informal-DiIndonesia) diakses pada 5 Maret 2012 pukul 14.00 Wib ).

Jenis pekerjaan disektor informal yang ada di pedesaan misalnya seperti, pengrajin
gerabah yang terdapat di kota Kendal, Jawa Timur. Meskipun gerabah ini terbuat dari
tanah liat namun permintaan dan peminatnya sangat tinggi di pasaran. Pada masa – masa
yang lalu sebelum ada barang- barang plastik, gerabah menjadi primadona yang dihasilkan
di kota Kendal, tepatnya di Kampung Kunden. Barang – barang yang dihasilkan oleh para
pengrajin cukup beragam, sesuai dengan keahlian dan tenaga yang dibutuhkan agar sesuai
dengan permintaan pasar. Setiap pengrajin tidak selalu sama keahliannya,sehingga hasil
produksinya juga akan berbeda. Pada umumnya mereka membuat barang seperti: paso,
cowek, pot tanaman hias, gentong, padasan, kendil, jembangan, daringan, anglo dan bong,
baik yang diproduksi sehari- hari maupun yang diproduksi berdasarkan pesanan atau
musiman. Disisi lain sektor informal di pedesaan yaitu pengusaha pengrajin batu bata yang
dilakukan Zainur, warga Kampung Panjang Kecamatan Talawi, Batu Bara. Beliau berani
berspekulasi dengan menanamkan modal besar untuk memulai usaha pembuatan batu bata
yang berlokasi di desa itu, tepatnya di depan kantor Balai Desa setempat.Usaha yang
ditekuninya ini baru sekitar empat bulan, tetapi sudah mempekerjakan warga setempat
sebanyak 15 orang. Di samping membuka lapangan pekerjaan, Zainur mengaku usaha yang
baru dirintisnya ini cukup prospek dan bahkan potensial membuatnya menjelma sebagai
pengusaha muda. Zainur menjelaskan, kelancaran usahanya juga didukung ketersediaan
bahan baku tanah liat untuk pembuatan batu bata mudah didapat. "Di Batu Bara, ada
29
Universitas Sumatera Utara

beberapa desa, di antaranya kampung Mangke, Kecamatan Lima Puluh, dan Desa sentang
Kecamatan Tanjung Tiram. Produksi batu bata ini masih memang skala kecil, sebab dalam
sehari dirinya hanya mampu memproduksi batu bata sebanyak 8.000 sampai 9.000. Jika
dikalkulasikan omsetnya diperkirakan sekitar Rp.3.000.000 sampai Rp.5.000.000 juta
dalam sehari. Harga batu bata yang dijual berpariasi, untuk ukuran kecil Rp 320,
sedangkan untuk yang berukuran sedang harganya Rp 500. Dari harga itu sudah termasuk
ongkos antar barang. Namun, usaha Zainur tidak terus menerus berjalan mulus, karena
banyak kendala ketika cuaca tidak bersahabat. Kalau saat musim hujan,

tidak

memproduksi. Sebab, tempat pembakaran basah dan kayu bakarnya pun ikutbasah, dan
tentu tidak bisa menjemur. (Harian Andalas.senin,30 April 2012. Zainur Ciptakan
Lapangn Kerja Lewat Batu Bata.(Online)(http://harianandalas.com/index.php?/SumateraUtara/zainur-ciptakan-lapangan-kerja-lewat-batu-bata.html)Diakses pada 4 Mei 2012
pukul 12.15 Wib)

2.2 Strategi Adaptasi

Startegi Adaptasi merupakan strategi, cara atau metode yang dilakukan oleh
masyarakat untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dalam lingkungan sosial
maupun ekonomi, dalam hal ini adaptasi diartikan sebagai suatu proses untuk memenuhi
syarat dasar untuk kelangsungan hidup. Syarat dasar tersebut antara lain, syarat dasar
ilmiah (pemenuhan kebutuhan untuk makan, minum, pakaian, tempat tingggal dan
ketahanan tubuh),syarat dasar kejiwaan atau ketenangan hidup, syarat dasar sosial
(hubungan untuk melangsungkan keturunan, belajar budaya, pertahanan dari serangan
musuh, dll).( Aritonga, Anna.K. 2006. Skripsi:Strategi Adaptasi Keluarga Nelayan Miskin
Pasca kanaikan BBM. FISIP USU: Anna K.Aritonga Departemen Sosiologi NIM:
020901047, halaman 7- 8)

30
Universitas Sumatera Utara

Coping strategi dikenal juga dengan coping behavior, coping mechanism, survival
strategies, household strategies, dan livehood diversivication ( Suharto, 2002). Kajian
mengenai coping strategies dapat memberikan gambaran mengenai karekteristik dan
dinamika kemiskinan yang lebih realistis dan komprehensif. Ia dapat menjelaskan
bagaimana keluarga miskin merespon dan mengatasi permasalahan sosial ekonomi yang
terkait dengan situasi kemiskinannya. Selaras dengan adagium pekerjaan sosial, yakni to
help people to help themselves, teori coping strategies memendang orang miskin bukan
hanya sebagai objek passif yang hanya dicirikan oleh kondisi dan karekteristik kemiskinan,
melainkan orang yang memiliki seperangkat pengetahuan dan keterampilan yang sering
digunakannya dalam mengatasi berbagai permasalahan sosial ekonomi seputar
kemiskinannya.
Kesadaran akan pentingnya penanganan kemiskinan yang berkelanjutan yang
menekankan pada penguatan solusi – solusi yang ditemukan oleh orang yang bersangkutan
semakin mengemuka. Pendekatan ini lebih memfokuskan pada pengidentifikasian apa
yang dimiliki oleh orang miskin ketimbang apa yang tidak dimiliki oleh orang miskin
yang menjadi sasaran pengkajian.
Pada mulanya konsep coping strategies sering dipergunakan untuk menunjukkan
strategi bertahan hidup (survival strategies) keluarga di pedesaan negara – negara
berkembang dalam menghadapi kondisi kritis, seperti bencana alam, kekeringan, gagal
panen, dan lain – lain. Belakangan ini, beberapa penelitian menunjukkan bahwa konsep ini
ternyata dipraktekkan juga oleh keluarga diwilayah perkotaan dan tidak hanya di negara
berkembang, melainkan pula di negara - negara maju.
Secara umun coping strategies dapat didefenisikan sebagai kemampuan seseorang
dalam mengatasi berbagai permasalahan yang melingkupi kehidupannya. Dalam konteks

31
Universitas Sumatera Utara

keluarga miskin, menurut Moser (1998), strategi penanganan masalah ini pada dasarnya
merupakan kemampuan segenap anggota keluarga dalam mengelola atau me – manage
beberapa asset yang dimilikinya. Moser mengistilahkannya dengan nama asset portfolio
management. Berdasarkan konsep ini, Moser dalam Edi Suharto ( 2009 : 30 ) membuat
kerangka analisis yang disebut The Asset Vulnerability Framewor. Kerangka ini meliputi
berbagai pengelolaan asset seperti:
1. Asset tenaga kerja ( labour asset ), misalnya meningkatkan ketertiban wanita dan
anak – anak dalam keluarga untuk bekerja membantu ekonomi rumah tangga.
2. Asset modal manusia ( human capital asset ), misalnya memanfaatkan status
kesehatan yang dapat menentukan kapasitas orang untuk bekerja atau keterampilan
dan pendidikan yang menentukan kembalian atau hasil kerja terhadap tenaga yang
dikeluarkan.
3. Asset produktif ( produktif Asset ), misalnya menggunakan rumah, sawah, ternak,
dan tanaman untuk keperluan hidupnya.
4. Asset relasi rumah tangga atau keluarga ( household relation assets ), misalnya
memenfaatkan jaringan dan dukungan dari sistem keluarga besar, kelompok etnis,
migrasi, tenaga kerja dan mekanisme uang kiriman.
5. Asset modal sosial ( Social capital assets ), misalnya memenfaatkan lembagalembaga sosial lokal, arisan dan pemberi kredit informal dalam proses dan sistem
perekonomian keluarga.
Selanjutnya Edi Suharno dalam Edi ( 2009:31 ) menyatakan strategi bertahan hidup
(coping strategies ) dalam mengatasi goncangan dan tekanan ekonomi dapat dilakukan
dengan berbagai cara. Cara-cara tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu:

32
Universitas Sumatera Utara

1. Strategi aktif, yaitu strategi yang mengoptimalkan segala potensi keluarga untuk
(misalnya melakukan aktivitasnya sendiri, memperpanjang jam kerja, memanfaatkan
sumber atau tanaman liar di lingkungan sekitarnya dan sebagainya )
2. Strategi pasif, yaitu mengurangi pengeluaran keluarga ( misalnya, biaya untuk sandang,
pangan, pendidikan, dan sebagainya ).
3. Strategi jaringan, misalnya menjalin relasi, baik formal maupun informal dengan
lingkungan sosialnya, dan lingkungan kelembagaan ( misalnya: meminjam uang dengan
tetangga, mengutang di warung, memanfaatkan program kemiskinan, meminjam uang ke
rentenir atau bank, dan sebagainya) ( USU institution. http ://repository .usu .ac .id
/bitstream /123456789 /31513/4 /Chapter%20II.pdf ) Diakses 17 november 2012 pukul 18.35
Di daerah pedesaan, coping strategies keluraga miskin sangat terkait dengan sumber
daya alam dan sistem pertanian. Beberapa bentuknya antara lain:
1. Akumulasi asset pada masa panen untuk digunakan pada masa paceklik.
2. Sistem gotong royong diantara anggota keluarga dan anggota masyarakat dalam
mengelola makanan dan sumber daya alam padsa masa krisis.
3. Migrasi ke kota untuk mencari pekerjaan.
4. Penggantian jenis tanaman dan cara bercocok tanam.
5. Pengumpulan tanaman – tanaman liar untuk makanan.
6. Penghematan konsumsi makanan.
7. Peminjaman kredit dari anggota keluarga, pedagang atau lintah darat.
8. Penjualan simpanan benda – benda berharaga ( emas, perabot rumah tangga)
9. Penjualan asset produktif ( tanah, binatang ternak ).
10. Penerapan ekonomi subsistem.
11. Produksi dan perdagangan skala kecil ( buka warung )

33
Universitas Sumatera Utara

12. Pemenfaatan bantuan pemerintah di masa krisis. (Pardede, Marta Dominta
Diakonesta (020901030). 2008. Skripsi: Gambaran Kehidupan Sosial ekonomi Dan
Strategi Pertahanan Hidup Buruh Bagasi.FISIP USU. Hal 20 – 23
2.3 Stratifikasi Sosial

Pitirim A.Sorokin ( 1959 ) Stratifikasi sosial sebagai pembedaan penduduk atau
masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat. Perwujudan dari stratifikasi sosial
adalah adanya kelas yang lebih tinggi dan kelas-kelas yang lebih rendah

di dalam

masyarakat. Dasar dan inti lapisan-lapisan dalam masyarakat adalah tidak adanya
keseimbangan dalam pembagian hak-hak dan kewajiban, tanggung jawab nilai-nilai social
dan pengaruhnya di antara anggota masyarakat.

Dilihat dari sifatnya, pada dasarnya pelapisan sosial dalam masyarakat dapat
dikelompokan menjadi dua, yakni stratifikasi sosial tertutup ( closed social stratification)
dan stratifikasi sosial terbuka (open social stratification).
a. Stratifikasi sosial tertutup, bercirikan sulitnya seseorang untuk berpindah
dari satu lapisan kelapisan lain. Contoh sistem stratifikasi tertutup adalah
pada masyarakat India yang berkasta.
b. Stratifikasi sosial terbuka, setiap anggota masyarakat mempunyai
kesempatan untuk berpindah kelapisan lain (yang lebih tinggi). Hal ini
dapat dilakukan dengan usaha berdasarkan kecakapannya sendiri.
Pelapisan selalu ada dalm masyarakat, baik itu masyarkat komunis, demokratis,
atau masyarakat kapitalis. Demikian dengan masyarakat yang sederhana ataupun yang
sudah modern. Lapisan – lapisan masyarakat misalnya perbedaan antara pemimpin dan
yang dipimpin, dan lain-lain. Stratifikasi sosial dalam masyarakat sebenarnya banyak
34
Universitas Sumatera Utara

sekali, namun stratifikasi sosial dalam masyarakat pada prinsipnya dapat diklasifikasikan
menjadi 3 macam yaitu, stratifikasi berdasarkan ekonomi, politik, jabatan - jabatan tertentu
dalam masyarakat. Ketiga dasar stratifikasi tersebut satu sama lain saling berhubungan.
Dikalangan para ahli sosiologi kita menjumpai keanekaragaman dalam menentukan
jumlah lapisan sosial. Ada yang merasa cukup dengan klasifikasi dalam dua lapisan. Marx
misalnya, membedakan antara kelas borjuis dan proletar, Mosca membedakan antara kelas
yang berkuasa dan kelas yang dikuasai, banyak ahli sosiologi membedakan antara kaum
elit dan massa, antara orang kaya dan orang miskin. Sejumlah ilmuan sosial membedakan
antara tiga lapisan atau lebih. Misalnya kita sudah sering menjumpai pembedaan antara
kelas atas, kelas menengah, dan kelas bawah. Warner bahkan merinci tiga kelas ini menjadi
enam kelas yakni: kelas atas atas (upper – upper), atas bawah ( lower upper), menengah
atas (upper middle), menengah bawah (lower middle), bawah atas (upper lower), dan
bawah bawah (lower lower) (Zanden, 1979: 273 pada Kamanto 2000: 90). Dalam
penelitiannya Sajogyo membagi petani miskin kedalam tiga lapisan: petani lapisan III
(cukup), yang luas tanahnya diatas 0,5 Ha, lapisan II (miskin), yang luas tanahnya antara
0,25 sampai 0,5 Ha, dan lapisan I (miskin sekali), yang luas tanahnya dibawah 0,25 Ha
atau buruh tani yang tidak mempunyai tanah (Sajogyo, 1978 pada Kamanto 2000: 90)
Besar tiap kelompok tidak sama. Biasanya golongan paling atas kecil jumlahnya
anggotanya, sedangkan golongan rendah pada umumnya lebih besar jumlahnya.
Darikeenam golongan kelas sosial menurut Warner dapat didefenisikan sebagai berikut:
1. ( Golongan upper - upper ) atau kelas sosial atas - lapisan atas, merupakan
kelassosial yang paling tinggi. Golongan ini mencakup keluarga-keluarga
kayalama, yang telah lama berpengaruh dalam masyarakat dan sudah
memiliki kekayaan begitu lama, sehingga orang-orang tidak lagi bisa

35
Universitas Sumatera Utara

mengingat kapandan bagaimana cara keluarga-keluarga itu memperoleh
kekayaannya. Artinya golongan kelas atas – atas ini merupakan kelompok
keluarga keturunan darah biru sejak turun – temurun.
2. ( Golongan lower – upper ) atau kelas sosial atas-lapisan bawah mungkin
saja mempunyai jumlah uang yang sama, tetapi mereka belum terlalu lama
memilikinya dan keluarga mereka belum lama berpengaruh dalam
masyarakat.
3. ( Golongan upper - middle ) atau kelas sosial menengah - lapisan atas
mencakup kebanyakan pengusaha dan orang - orang profesional, yang
umumnya berlatar belakang keluarga baik dengan penghasilan yang
mencukupi.
4. ( Golongan lower-middle ) atau kelas sosial menengah lapisan bawah,
meliputi para juru tulis, pegawai kantor lainnya, dan orang – orang semi
profesional, serta mungkin pula termasuk beberapa supervisor dan pengrajin
terkemuka.
5. ( Golongan upper – lower ) atau kelas sosial rendah - lapisan atas terdiri atas
sebagian besar pekerja tetap yang sering disebut sebagai golongan pekerja.
6. ( Golongan lower – lower ) atau kelas sosial rendah - lapisan bawah
meliputi para pekerja tidak tetap, penganggur, buruh musiman, dan orangorang yang hampir terus menerus tergantung pada tunjangan pengangguran.
(Ashrisofi. 2011. Tingkat Sosial Ekonomi Masyarakat Kelas Bawah.
(Online)(http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/2191506-tingkatsosial-ekonomi-masyarakat-kelas/). Diakses pada 5 Maret 2012, Pukul
14.20 Wib ).

36
Universitas Sumatera Utara

2.3.1 Hubungan Patron – Klien
Bagi para peminat dan pengamat sosial, tentu sering menemukan beragam pola atau
bentuk hubungan ( relasi ) yang ada dalam masyarakat. Hubungan - hubungan tersebut
terjadi dan terjalin sedemikian rupa di kalangan masyarakat sehingga terus berlangsung
dan tak pernah berhenti. Salah satu relasi tersebut adalah hubungan patron - klien atau yang
biasa dikenal dengan patronase ( patronage ).
Istilah patron berasal dari ungkapan bahasa Spanyol yang secara etimologis berarti
seseorang yang memiliki kekuasaan ( power ), status, wewenang dan pengaruh ( Usman,
2004: 132 ). Sedangkan klien berarti bawahan atau orang yang diperintah dan yang
disuruh. Menurut Palras hubungan patron - klien adalah suatu hubungan yang tidak setara,
terjalin secara perorangan antara seorang pemuka masyarakat dengan sejumlah
pengikutnya ( Palras, 1971: 1 ). Selanjutnya, pola hubungan patron - klien merupakan
aliansi dari dua kelompok komunitas atau individu yang tidak sederajat, baik dari segi
status, kekuasaan, maupun penghasilan, sehingga menempatkan klien dalam kedudukan
yang lebih rendah ( inferior ), dan patron dalam kedudukan yang lebih tinggi ( superior ).
Atau, dapat pula diartikan bahwa patron adalah orang yang berada dalam posisi untuk
membantu klien - kliennya ( Scott, 1983: 14 dan Jarry, 1991: 458 ). Pola relasi seperti ini
di Indonesia lazim disebut sebagai hubungan bapak - anak buah, di mana bapak
mengumpulkan kekuasaan dan pengaruhnya dengan cara membangun sebuah keluarga
besar atau extended family ( Jackson, 1981: 13-14 ).Pada tahap selanjutnya, klien
membalas dengan menawarkan dukungan umum dan bantuan kepada patron ( Scott, 1993:
7-8 dan Jarry, 1991: 458 ). Hubungan patron - klien itu sendiri telah berlangsung dalam
waktu yang cukup lama. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Scott, di mana
menurutnya seorang patron berposisi dan berfungsi sebagai pemberi terhadap kliennya,
sedangkan klien berposisi sebagai penerima segala sesuatu yang diberikan oleh patronnya
37
Universitas Sumatera Utara

(Scott, 1972: 92-94 ). Dari beberapa pendapat yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan
bahwa dalam hubungan yang bernama patron - klien, pertukaran barang atau jasa yang
dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat di dalamnya memang diarahkan untuk tidak
seimbang. Inilah yang menjadi ciri khas dari sebuah hubungan patron - klien. ( Pahrudin.
2009. Mengenal Hubungan Patron Klien. (Blog) (http :/ /roedijambi .wordpress. com/2010
/01/27/mengenal-hubungan-patron-klien/). Yogyakarta. Diakses pada tanggal 10 April
2012, pukul 15.10 Wib)
2.4. Defenisi Konsep
Dalam sebuah penelitian ilmiah, defenisi konsep sangat diperlukan untuk
memfokuskan penelitian sehingga memudahkan penelitian. Konsep adalah defenisi,
abstraksi mengenai gejala atau realita ataupun suatu pengertian yang nantinya akan
menjelaskan suatu gejala ( Meleong, 2006: 667). Disamping

berfungsi untuk

memfokuskan dan mempermudah penelitian, konsep ini juga berfungsi sebagai panduan
yang nantinya digunakan peneliti untuk menindak lanjut sebuah kasus yang diteliti dan
menghindari dari terjatuhnya kekacauan akibat kesalahan penafsiran dalam sebuah
penelitian. Adapun konsep yang digunakan sesuai dengan konsep yang digunakan sesuai
dengan konteks penelitian ini antara lain:

1. Kemiskinan merupakan suatu kondisi kekurangan harta benda materi untuk
pemenuhan kebutuhan baik kebutuhan primer, sekunder ataupun kebutuhan dasar
lainnya yang menyangkut meningkatkan kesejahteraan hidup. Kemiskinan
struktural adalah kemiskinan yang muncul bukan karena ketidakmampuan si miskin
untuk bekerja ( malas ), melainkan karena ketidakmampuan sistem dan struktur
sosial dalam menyediakan kesempatan - kesempatan yang memungkinkan si miskin
dapat bekerja. Jadi maksud dari kemiskinan struktural dalam penelitian ini adalah
38
Universitas Sumatera Utara

kemiskinan yang terjadi dikerana kedudukan atau posisi seseorang dalam
pekerjaannya dan situasi lingkungannya yang membuat ia miskin. Sedangkan yang
dimaksud dengankemiskinan kultural adalah kemiskinan yang diakibatkan oleh
gaya hidup, perilaku, atau budaya individu/kelompok yang mendorong terjadinya
kemiskinan. Maksud dari kemiskinan kultural dalam

pemelitian ini adalah

kemiskinan yang terjadi dikarena faktor internal dalam individu, misalnya seperti
malas, etos kerja yang rendah serata pasrah dengan nasib atau kondisi yang
dialaminya.

(

Cahyadi,

Anggoro.

21011.

Kemiskinan

Kultural

dan

Alternatif Penanggulanganya(online)(http://anggorocahyadi .wordpress.com/2011
/03/28/kemiskinan-kultural-dan-alternatif-penanggulanganya/ ) Diakses pada 8 mei
2012 pukul 15.20 Wib.)
2. Industri batu bata merupaka segala kegiatan produksi batu bata mulai dari meluluh
tanah, mencetak batu dan sampai proses pembakaran yang dimulai dari bahan
mentah sampai barang jadi.
3. Garis kemiskinan ditentukan oleh tingkat pendapatan minimal ( versi Bank Dunia
di kota 75 dolar AS, dan di desa 50 dolar AS perjiwa setahun, 1973 pada Munandar
Soelaeman 2006:228 ). Menurut Prof.Sayogya ( 1969 pada Munandar Soelaeman
2006:228 ), garis kemiskinan dinyatakan dalamRp/tahun, ekuivalen dengan nilai
tukar beras ( kg/orang/bulan ), yaitu untuk desa 320 kg/orang/tahun dan umtuk kota
480/orang/tahun. Perbedaan garis kemiskinan lebih menunjuk pada perbedaan
indeks biaya hidup. Misalnya saja, biaya hidup di Kota Jakarta ( Rp.160.748 ) jauh
lebih tinggi daripada NTT ( Rp.86.993 ), tetapi keduanya sama - sama miskin
walaupun penentuan garis kemiskinan itu tidak hanya meliputi makanan saja, tetapi
garis kemiskinan itu menunjukkan juga kemampuan produktif seseorang yang
hanya didukung oleh kurang dari 2100 kalori perhari.

39
Universitas Sumatera Utara

4. Kemiskinan menurut Badan Pusat Statistik ( BPS ) menunjukkan pada
ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar ( BPS 2002: 1 pada Robert
M.Z.Lawang 2004:121 ). Kebutuhan dasar terdiri dari sandang, pangan dan papan
(BPS ). Oleh BPS dalam rangka pengumpulan data lapangan dan analisis statistik,
ketiga kebutuhan dasar itu dibagi dua:
a) Makanan ( pangan ) dalam pengelompokan BPS terdiri dari padi - padian,
umbi – umbian, ikan, daging, susu, dan suyur- sayuran dan semua barang –
barang konsusmsi lainnya.
b) Kebutuhan sandang dan papan dikategorikan BPS sebagai kebutuhan bukan
makanan yang terdiri dari perumahan dan fasilitas rumahtangga, barang
dan jasa, pakaian, pajak pemakaian dan premi asuransi.
Dengan menganalisis kedua kebutuhan ini, BPS menentukan garis kemiskinan yang
dapat dipakai sebagai patokan untuk melihat berapa banyak orang miskin di
Indonesia.
5. Penghasilan atau Pendapatan adalah sama dengan pengeluaran. Pendapatan yang
dicapai oleh jangka waktu tertentu senantiasa sama dengan pengeluaran jangka
waktu tersebut. Upah dan gajimerupakan pendapatan yang diperoleh rumah tangga
keluarga sebagai imbalan terhadap penggunaan jasa sumber tenaga kerja yang
mereka gunakan dalam pembentukan produk nasional (Soediyono, 1984).( Blog
pada

WordPress.com.April

2010.

(Online)

(http://h0404055.wordpress.

com/2010/04/02/pendapatan-dan-konsumsi-rumah-tangga/)Di akses pada 10 April
2012 pukul 15 Wib.

40
Universitas Sumatera Utara

6. Pengrajin batu bata merupakan orang yang mata pencaharian utamanya sebagai
proses produksi batu bata, yang dimaksud dalam defenisi pengrajin batu bata ini
adalah para pekerja pengrajin batu bata.
7. Pengusaha pengrajin batu bata merupakan orang yang memiliki modal untuk
memproduksi batu bata, tanpa memiliki ikatan terhadap usaha lain dan sebagai
pemilik pribadi atau bukan usaha patungan.
8. Pekerja pengrajin batu bata merupakan orang yang bekerja kepada pengusaha
pengrajin yang diupah sesuai dengan pekerjaan mereka masing - masing.
9. Pembagian kerja pengrajin batu bata terdiri dari:
a) Pengusaha pengrajin batu bata, merupakan orang yang memiliki kerajinan
batu bata tersebut.
b) Pekerja penggali tanah, merupakan orang yang bekerja kepada pengusaha
pengrajin batu bata, yang bekerja sebagai penggali/mencangkul tanah yang
akan digunakan untuk membuat batu.
c) Pekerja penggiling/melumatkan tanah, merupakan orang yang bekerja
kepada pengusaha batu bata, yang bekerja sebagai penggiling atau
melumatkan tanah dengan bantuan mesin.
d) Pekerja pencetak batu bata, merupakan orang yang bekerja kepada
pengusaha batu bata, yang bekerja sebagai pencetak batu.
e) Nyiger/penjemur batu, sama halnya dengan pekerja pencetak batu, dimana
pekerja pencetak batu rangkap tugasnya sebagai penjemur batu dalam waktu
yang bersamaan.
f) Pekerja pelangsir batu, merupakan orang yang bekerja kepada pengusaha
batu, yang bekerja sebagai pengangkat batu/memindahkan batu bata ke
tempat pembakaran.

41
Universitas Sumatera Utara

g) Pekerja yang menjaga pembakaran batu, merupakan orang yang bekerja
pada pengusaha batu, yang bekerja 1 hari 1 malam menjaga api dalam
pembakaran batu agar tidak bara apinya tidak sampai mati, pekerjaan ini
biasanya dilakukan 2 orang dan jangka waktu pembakaran batu ini bias
sampai 2 atau 3 hari berturut-turut.
10. Stratifikasi sosial merupakan adanya perbedaan kelas di dalam masyarakat, baik
status ataupun kelas sosialnya. Stratifikasi ini juga terdapat dikelompokan menjadi
dua, yaitu stratifikasi sosial tertutup dan stratifikasi sosial terbuka. Stratifikasi
sosial tertutup merupakan tidak adanya kesempatan kelas sosial lain untuk masuk
ke kelas sosial yang lainnya. Sedangkan stratifikasi sosial terbuka merupakan
adanya kesempatan kelas sosial yang lain untuk berpindah ke kelas sosial yang
lainnya.
11. Hubungan Patron- Klien secara sederhana merupakan hubungan antara atasan dan
pekerja atau bawahan. Maksud dari hubungan patron – klien dalam penelitian ini
adalah hubungan antara pengusaha pengrajin batu bata dengan pekerja batu bata.
12. Mobilitas kerja merupakan adanya pergerakan atau perpindahan seseorang di dalam
masyarakat, baik adanya mobilitas secara horizontal ataupun mobilitas sosial secara
vertikal. Mobilitas secara vertikal merupakan adanya perpindahan status sosial
masyarakat kejenjang yang lebih tinggi, sedangkan mobilitas sosial horizontal
merupakan adanya perpindahan atau pergerakan kelas sosial distrata yang sama
atau sederajat.

42
Universitas Sumatera Utara

13. Strategi merupakan suatu prosedur yang mempunyai alternatif – alternatif pada
berbagai tahap atau langkah ( Soekanto 1983:484 pada Marta Domininta: Skrips,
2008:12). Strategi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah untuk melihat
bagaimana pekerja pengrajin batu bata dapat mempertahankan hidup dan
meningkatkan kesejahteraan dengan segala kemampuan serta keterampilan yang
mereka miliki.
14. Alokasi waktu kerja, merupakan waktu yang digunakan pengrajin batu bata untuk
bekerja di sektor produksi batu bata, dimana jam kerja sangat sangat fleksibel dan
berbeda – bede sesuai dengan klasifikasi pekerjaan masing – masing.

43
Universitas Sumatera Utara