Perangkap Kemiskinan Pengrajin Batu Bata di Nagori Teluk Lapian, Kecamatan Ujung Padang, Kabupaten Simalungun
DAFTAR PUSTAKA
Abdulsani. 2007. Sosiologi Sistematika. Teori dan Terapan. PT Bumi Aksara Jakarta.
Adisasmita, Rahardjo. Membangun Desa Partisipatif. Graha Ilmu. Yogyakarta. Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:
Rineka Cipta edisi revisi
Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Kencana Prenada Media Group. Jakarta. Budiman, Arif. 2000. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. PT Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
Basrowi. 2005. Pengantar Sosiologi. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Damsar. 2009. Pengantar Sosiologi Ekonomi. Praneda Media Goup. Jakarta.
Hasam Iqbal. 2002. Pokok – Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Graha Indonesia. Jakarta.
Jayadinata, Johara T dan Pramandika. 2006. Pembangunan Desa dalam Perencanaan. Penerbit ITB. Bandung.
Lawang Robert M.Z. 2004. Kapital Sosial dalam Perspektif Sosiologi Suatu Pengantar. Fisip UI Press. Depok.
Moleong, Lexy. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Remaja Karya Bandung.
Narwoko, J.Dwi dan Suyanto, Bagong. 2010. Sosiologi Teks Pengantar Dan Terapan, Edisi Ketiga,Cetakan ke-4. Kencana Prenada Media Group. Jakarta.
Purnomo, Mangku. 2004. Pembaruan Desa Mencari Bentuk Penataan Produksi Desa. Lapera Pustaka Utama.Yogyakarta.
Remi, Sutyastie Soemitro dan Tjiptoherijanto.Prijono. 2002. Kemiskinan dan Ketidakmerataan Di Indonesia. Rineka Cipta. Jakarta
Ritzer, George dan Goodman Doglas J. 2008. Teori Sosiologi Modren, Edisi Ke-6. Kencana Prenada Media. Jakarta.
(2)
Rohidi, Tjet Jep Rohendi. 2000. Ekspresi Seni Orang Miskin Adaptasi Simbolik Terhadap Kemiskinan. Nuansa Yayasan Nuansa Cendikia. Bandung. Suwarsono, dan Y, Alvin. 2006. Perubahan Sosial dan Pembangunan. Pustaka
LP3ES Indonesia. Jakarta.
Suharto, Edi. 2009. Kemiskinan dan Perlindungan Sosial di Indonesia. Alfabeta. Bandung. Suharto, Edi. 2009. Membangun Masyarakat Memperdayakan Rakyat Kajian
Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. PT Rafika Aditama. Bandung.
Siregar, Anwar Sadat. Roji, haprizal. Kaputra, Iswan. dan Siregar Zulham E.
2006. Miskin Kota Fenomena Yang Takunjung Terselesaikan. Bitra Indonesia. Medan.
Sunarto, Kamanto. 2000. Pengantar Sosiologi,Edisi kedua. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.
Soelaiman Munandar. 2006. Ilmu Sosial Dasar Teori dan Konsep Ilmu Sosial. Refika Aditama. Bandung.
Sumarno. 2004. Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, Cetakan ke V. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Aritonga, Anna.K. 2006. Skripsi:Strategi Adaptasi Keluarga Nelayan Miskin Pasca kanaikan BBM. FISIP USU: Anna K.Aritonga Departemen Sosiologi FISIP USU.NIM: 020901047, halaman 7- 8
Sumber Skripsi
Pardede, Marta Dominta Diakonesta. 2008. Skripsi: Gambaran Kehidupan Sosial ekonomi Dan Strategi Pertahanan Hidup Buruh Bagasi.Departemen Sosiologi FISIP USU. NIM: 020901030. Hal 20 – 23.
Putri, Dwi Natali. 2008. Skripsi: Strategi Adaptasi Ekonomi Migran di Kota Dumai. Departemen Sosiologi FISIP USU. NIM: 020901016. Hal 23 – 34.
(3)
Sumber Internet
(Online)
Diakses pada 5 Maret 2012, Pukul 14.20 Wib.
Cahyadi,Anggoro. 21011. Kemiskinan Kultural dan
Alternatif Penanggulanganya(online) 15.20 Wib.
((Harian Andalas.senin,30 April 2012. Zainur Ciptakan Lapangn Kerja Lewat Batu Bata.(Online)
.((Iradewa.Peran sektor informal di Indonesia.(Online)(http://www.scribd .com/doc /43326994/Peran-Sektor-Informal-Di-Indonesia) diakses pada 5 Maret 2012 pukul 14.00 Wib
Khudori (http://www..korantem po.com/)) Diakses pada 17 November 2012, pukul 18.00 Wib.
.((Mildan, Muhammad. 2010. Perluas Sektor Informal di Pedesaan Kurangi Pengangguran. (Online)( Wib
(Pahrudin. 2009. Mengenal Hubungan Patron Klien. (Blog)
Yogyakarta. Diakses pada tanggal 10 April 2012, pukul 15.10 Wib
PEPORA : 2010 Rakyat Miskin Bertambah [LIPI]. 2009. Jakarta. (online)(http://jakarta45.wordpress.com/2009/12/30/pepora-2010-rakyat-miskin
(4)
Ruas lueng bata. 2011. Menjauhi Perangkap Kemiskinan. Online
Septianto, Agung W. SST.2007. Metode Penghitungan Kemiskinan. Berita Resmi
Statistik BPS Sulawesi Utara .(Online).
Diakses 5 Maret. Pukul 15.00 Wib.
(Teakoes. 2009. Sektor Informal: Permasalahan dan Upaya Mengatasinya. (Online) pukul 16.45 Wib.
( USU institution.
(Wartapedia. 2011. Pancaroba: Pengrajin Batu Bata Kesulitan Bahan Baku. Madiun. (online)(http://wartapedia.com/bisnis/ukm/2719-pancaroba-pengrajin-batu-bata-kesulitan-bahan-baku.html).Diakses pada tanggal 30 Maret 2012 pada pukul 11.40 Wib).
( Widyastuti, Indra. 2011. Jumlah Warga Kota Sumatera Utara Naik. (Waspada Online pada 2 Mei 2012, pukul 14.30 Wib.
(5)
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kombinasi pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Metode kombinasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah dominant-less design ( Cresweel: 1994 ), dimana pendekatan kualitatif dijadikan sebagai dominant ( qualitative-dominant ) sedangkan pendekatan kuantitatif dijadikan sebagai less dominant ( quantitative-less dominant ). Selanjutnya juga dikatakan apabila metode-metode kuantitatif menjadi penunjang bagi metode kualitatif maka metode kuantitatif cenderung mengisi tiga fungsi, dimana salah satu fungsinya yaitu surve kuantitatif dapat memberikan landasan bagi sampling kasus-kasus dan kelompok-kelompok pembanding yang membentuk studi intensif. Data yang secara statistik representatif memungkinkan peneliti untuk memutuskan apakah perlu membuat sampel kasus - kasus dengan kriteria representatif atau kriteria lain ( Brannen 2004: 42-43 ).
Pendekatan kualitatif yang menekankan pada prosesual dimaksudkan agar peneliti dan proses penelitian tidak terjebak pada kerangka pemikiran teoritik yang kaku dan bersifat stereotip. Dengan penekanan pada proses, maka penelusuran data dan informasi secara diakronik akan dilakukan untuk mengetahui dan memahami secara runtun. Penelitian kualitatif ini digunakan dengan metode deskriptif. Maksud dari metode ini adalah untuk mendapatkan data dan informasi dengn kata - kata dan tindakan - tindakan. Pendekatan deskriptif ini digunakan untuk menggambarkan atau melukiskan apa yang sedang diteliti dan berusaha memberi gambaran yang jelas tentang apa yang menjadi pokok permasalahan.
(6)
3.2. lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Nagori Teluk Lapian, Kecamatan Ujung Padang, Kabupaten Simalungun. Alasan peneliti memilih daerah ini adalah karena di nagori tersebut terdapat 40 kepala keluarga yang mata pencaharian utamanya sebagai pengrajin batu bata, dengan banyaknya pengrajin 227 orang pekerja pengrajin dan pengusaha pengrajin, dikarenakan pekerja pengrajin bukan pekerja tetap sebagai pengerajin batu bata, selain itu peneliti sangat tertarik untuk kehidupan masyarakat pengrajin batu bata dan ingin melihat secara dekat segala kegiatan atau aktifitas mereka terutama dalam mempertahankan hidup ditengah himpitan ekonomi yang mendesak mereka, dimana mereka hanya mengandalkan mata pencaharian sebagai pengerajin batu yang pendapatannya tidak menentu. Dalam hal ini justru mereka semakin terpuruk dan semakin sulit dalam kemiskinan karena lahan atau tanah dan sawah yang mereka miliki sudah tidak dapat dikelolah akibat sudah menjadi kubangan yang tanahnya diambil untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan batu bata.
3.3. Unit Analisis dan Informan 3.3.1 Unit Analisis
Unit analisis adalah suatu yang diperhitungkan sebagai subjek penelitian (Arikunto, 1999: 22 ). Adapun unit analisis dalam penelitian perangkap kemiskinan pengrajin batu bata di Nagori Teluk Lapian yaitu 40 kepala keluarga yang mencari nafkah sebagai pengrajin batu bata, terutama pengrajin yang sudah lebih dari 5 tahun menggantungkan mata pencahariannya sebagai pembuat batu bata.
3.3.2 Informan
Informan penelitian adalah subjek yang memahami informasi objek penelitian sebagai pelaku maupun orang lain yang memahami objek penelitian (Bungin, 2007:76). Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini yaitu para pemilik pengerajin dan
(7)
pekerja pengrajin batu bata yang telah lama membuat batu bata, setidaknya lebih dari sepuluh tahun. Adapun kategori informan dari penelitian ini yaitu:
1. Pengusaha pengrajin batu bata, merupakan orang yang memiliki kerajinan batu bata tersebut.
2. Pekerja penggali tanah, merupakan orang yang bekerja kepada pengusaha pengrajin batu bata, yang bekerja sebagai penggali/mencangkul tanah yang akan digunakan untuk membuat batu.
3. Pekerja penggiling/melumatkan tanah, merupakan orang yang bekerja kepada pengusaha batu bata, yang bekerja sebagai penggiling atau melumatkan tanah dengan bantuan mesin.
4. Pekerja pencetak batu bata, merupakan orang yang bekerja kepada pengusaha batu bata, yang bekerja sebagai pencetak batu.
5. Nyiger/penjemur batu, sama halnya dengan pekerja pencetak batu, dimana pekerja pencetak batu rangkap tugasnya sebagai penjemur batu dalam waktu yang bersamaan.
6. Pekerja pelangsir batu, merupakan orang yang bekerja kepada pengusaha batu, yang bekerja sebagai pengangkat batu/memindahkan batu bata ke tempat pembakaran.
7. Pekerja yang menjaga pembakaran batu, merupakan orang yang bekerja pada pengusaha batu, yang bekerja 1 hari 1 malam menjaga api dalam pembakaran batu agar tidak bara apinya tidak sampai mati, pekerjaan ini biasanya dilakukan 2 orang dan jangka waktu pembakaran batu ini bias sampai 2 atau 3 hari berturut - turut.
(8)
3.4 Populasi dan Sampel 3.4.1 Populasi
Populasi adalah totalitas dari semua objek atau individu yang memiliki karakteristik tertentu, jelas, dan lengkap yang akan diteliti ( Iqbal Hasan 2002:58 ). Populasi dalam penelitian ini adalah para pekerja pengrajin batu bata yang sudah lebih dari 5 tahun yang bekerja sebagai pekerja pengrajin batu bata. Adapun jumlah populasi dalam penelitian ini adalah 146 jiwa.
3.4.2 Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang diambil melalui cara – cara tertentu yang juga memiliki karakteristik tertentu, jelas, dan lengkap yang dianggap bisa mewakili populasi (Iqbal Hasan 2002:58 ). Sampling dilakukan karena dalam penelitian sulit untuk meneliti semua populasi. Untuk menentukan jumlah sampel dari populasi yang ada, maka peneliti menggunakan teknik penarikan sampel yaitu Purposive Sample ( sampel bertujuan/sampel pertimbangan ) yaitu dilakukan dengan cara mengambil subjek bukan berdasarkan atas strata, random atau daerah tetapi berdasarkan atas adanya tujuan tertentu ( Arikunto 2010: 183 ).
Populasi pekerja pengrajin batu bata sebanyak 146 jiwa. Untuk menghitung sampel digunakan rumus Taro Yamane dengan presisi 10% dan tingkat kepercayaan 90% (Rakhmad , 1995 ), yaitu
�
=
��(�)2+1
Ket:
(9)
d: Nilai Presisi
Dalam penelitian ini jumlah populasi sebanyak 146 orang dan batasan kesalahan yang diinginkan ialah 10%, maka diperoleh hasil
�
=
�
�
(
�
)
2+ 1
= 146
146(10%)2+1
=
1461,46+1
=
1462,46
=
59,3
( Dibulatkan menjadi 59 sampel) 3.5. Teknik Pengumpulan DataData dalam sebuah penelitian dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu data primer dan data sekunder.
a) Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari objek penelitian melalui observasi dan wawancara baik secara partisipatif maupun wawancara secara mendalam, oleh karena itu untuk mendapatkan data primer dalam penelitian ini akan dilakukan dengan cara penelitian lapangan yaitu sebagai berikut:
1. Observasi, yaitu kegiatan keseharian manusia dengan menggunakan pancaindra mata sebagai alat bantu utama, oleh karena itu observasi merupakan kemampuan seseorang untuk menggunakan pengamatannya melalui hasil kerja pancaindra
(10)
mata serta dibantu dengan pancaindra yang lainnya. Observasi ini ditunjukan untuk melihat dan mengamati segala kegiatan atau aktifitas kehidupan pemilik pengrajin dan pekerja pengrajin batu bata.
2. Wawancara mendalam, yaitu proses tanya jawab secara langsung ditujukan terhadap informan di lokasi penelitian dengan menggunakan pedoman wawancara atau panduan wawancara serta menggunakan alat bantu perekam atau tape recorder jika memang dibutuhkan untuk memudahkan peneliti menangkap keseluruhan informasi yang diberikan informan. Wawancara terhadap informan ditujukan untuk memperoleh data dan informasi secara lengkap tentang kehidupan perekonomian para pemilik pengrajin dan pekerja pengrajin batu bata baik dari segi kebutuhan sandang, pangan, dan papan.
3. Kuesioner adalah yaitu penelitian mengumpulkan data yang dilaksanakan dengan menyebarkan angket yang berisi daftar pertanyaan secara tertulis yang ditujukan kepada subjek atau responden penelitian.
b) Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek penelitian. Pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan dan pencatatan dokumen, yaitu dengan mengumpulkan data dan mengambil informasi dari buku – buku referensi, dokumen, majalah, jurnal dan bahan – bahan dari situs – situs internet yang dianggap relevan dengan masalah yang diteliti.
(11)
3.6. Interpretasi Data
Data yang dikerjakan sejak peneliti mengumpulkan data dilakukan secara intensif setelah pengumpulan data selesai dilaksanakan. Menurut pada Lexy J. Meleong (2002 : 190), pengolahan data ini dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber yaitu wawancara, pengamatan, pengamatan (observasi) yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen resmi, gambar foto dan sebagainya.
Data tersebut setelah dibaca, dipelajari dan telah ditelaah maka langkah selanjutnya adalah mengadakan reduksi data yang dilakukan dengan cara abstraksi. Abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman yang terperinci, merujuk keinti dengan menelaah pernyataan – pernyataan yang diperlukan sehingga tetap berada dalam fokus penelitian. Langkah selanjutnya adalah menyusun data – data dalam satuan – satuan itu kemudian dikategorisasikan. Berbagai kategori tersebut dilihat kaitannya satu dengan lainnya dan diintepretasikan secara kualitatif. Proses analisis dalam penelitian ini telah dimulai sejak awal penulisan proposal, sehingga selesainya penelitian ini yang menjadi ciri khas dari analisis kualitatif.
(12)
3.7 Jadwal Kegiatan
No Kegiatan Bulan
ke-1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Pra Observasi √
2 ACC Judul √
3 Penyusunan Proposal √ √ √ √
4 Seminar Proposal √
5 Revisi Proposal √ √
6 Penelitian Lapangan √ √ √
7 Pengumpulan dan Intepretasi Data
√ √ √
8 Bimbingan Skripsi √ √
9 Penulisan Laporan √ √ √
(13)
3.8 Keterbatasan Penelitian
Dalam penelitian ini yang menjdi keterbatasan bagi peneliti adalah adanya dua jenis metode penelitian yaitu perpaduan antara metode penelitian kualitatif dengan metode penelitian kuantitatif yang peneliti belum terlalu mengetahui sehingga peneliti harus lebih banyak belajar kembali dan masih banyak kekurangan. Selain itu di dalam proses di lapangan kesulitan atau kendala bagi peneliti yaitu wawancara mendalam sembari dengan menyebar koesioner, sehingga peneliti harus membagi waktu seefektif mungkin, akan tetapi terkadang membuat peneliti menjadi bingung dan pemikirannya menjadi terbagi dua karena mana dahulu yang harus difokuskan untuk dikerjakan.
Disisi lain dalam proses di lapangan banyak informan yang beranggapan bahwa peneliti adalah seorang sales yang menjual produk - produk dikarenakan mereka sangat asing melihat mahasiswa, apalagi yang dilihat mengenai orang- orang yang bekerja sebagai pengrajin batu bata, disebabkan sebelumnya tidak ada orang/ mahasiswa yang meneliti di Nagori Teluk Lapian terutama meneliti tentang pengrajin batu bata. Kesulitan yang lainnya yaitu saat akan mewawancarai para informan, pada pagi hari mereka sudah bekerja dan mencetak batu bata sampai tengah hari jam 12 siang, jika pada pagi hari mewawancarai maka akan mengganggu pekerjaan mereka, sedangkan pada siang harinya mereka istirahat melepas lelah, jadi pada saat sore hari peneliti dapat wawancara akan tetapi sore harinya mereka juga menyambung pekerjaan mereka yaitu menyiger ( menyusun batu bata) atau sedang meluluh tanah untuk dicetak kembali pada esok paginya. Jadi dalam hal ini peneliti juga harus dapat melihat kesempatan atau peluang untuk wawancara agar tidak mengganggu pekerjaan mereka.
(14)
BAB IV
DESKRIPSI WILAYAH DAN PROFIL INFORMAN 4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
4.1.1Sejarah Nagori
Nagori Teluk Lapian dahulu adalah sebuah perkampungan dibatasi dan dikelilingin perkebunan BUMN Kebun Tinjowan yang dihuni beberapa suku terutama suku jawa dan suku batak. Pada awalnya Nagori Teluk Lapian adalah bagian dari Nagori/Kelurahan Ujung Padang yang mana awalnya adalah sebuah dusun. Sesuai dengan kebijakan para tokoh masyarakat yang ada di lingkungan kelurahan dan berkali – kali telah melakukan diskusi dalam pengembangan dan pembangunan huta akhirnya dapat disepakati untuk dilakukan pemekaran wilayah atau melepaskan dari pemerintahan induk Nagori Kelurahan Ujung Padang.
Setelah dilakukan evaluasi ternyata Huta Teluk Lampin telah mampu untuk melaksanakan pemerintahan sendiri dengan masa transisi 2 tahun. Waktu kian berlalu dengan semangat pembangunan masyarakat saling bahu membahu dalam membangun nagorinya sehinggga samapai sekarang Nagori Teluk Lapian telah defenitif. Setelah dilakukan survey atas kelayakan untuk dijadikan nagori, maka daerah ini menjadi Nagori Teluk Lapian dan oleh pemerintah kabupaten daerah lingkungan ini dijadikan nagori yang bernama Nagori Teluk Lapian.
(15)
4.1.1.1. Letak dan Luas Nagori
Nagori Teluk Lapian terdiri dari 4 Huta dan memiliki luas 1095 ha atau 10,95 km2
1. Huta I Sidosemi : 289 ha
yang sebagian besar adalah daerah perkebunan BUMN dengan perincian sebagai berikut:
2. Huta II Kampung Melayu : 274 ha 3. Huta III Teluk Lapian : 213 ha 4. Huta IV Rawa Masin : 319 ha
Nagori Teluk Lapian masuk dalam wilayah Kecamatan Ujung Padang Kabupaten Simalungun yang berjarak lebih kurang 1,5 km arah selatan dari Kantor Camat Ujung Padang dengan batas – batas sebagai berikut:
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Sukarame Kabupaten Batu Bara 2. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Asahan
3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Nagori Tanjung Rapuan 4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Ujung Padang
Tofografi Nagori Teluk Lapian merupakan dataran rendah dengan kondisi hamparan berkisar 90% tidak bergelombang ( rata), sementara ketinggian dari permukaan laut sekitar 20 m/dari permukaan laut.
4.1.1.2. Penggunaan dan Pemanfaatan Lahan
Sebagian besar lahan yang ada di Nagori Teluk Lapian adalah merupakan HGU ((Hak Guna Usaha) milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang ditanami tanaman kelapa sawit, sedangkan 37,7% kepemilikannya adalah rakyat yang dimanfaatkan untuk pertanian dan pemukiman.
(16)
Secara rinci pemanfaatan lahan di Nagori Teluk Lapian dapat dilihat pada tabel berikut
Tabel 1
Luas lahan menurut penggunaan di Nagori Teluk Lapian tahun 2011
No Penggunaan Lahan Luas Persentase
1 Persawahan 216,117 Ha 19,7%
2 Perkebunan 682,42 Ha 62,3%
3 Perumahan/Pemukiman 98,57 Ha 9,0%
4 Kolam/Perikanan 4,3 Ha 0,39%
5 Perkantoran/ Perikanan a. Kantor Balai Desa b. Mesjid 6 unit c. Musholla 4 unit d. SD Negeri 4 unit e. Lap Olah raga f. Pasar Nagori g. Perkuburan 3 unit h. Jln Umum/Jln Dusun i. Saluran Irigasi Tertier
0,3 Ha 0,45 Ha 0,04 Ha 2,4 Ha 0,6 Ha 0,05 Ha 2,3 Ha 8,67 Ha 0,020% 0,039% 0,005% 0,039% 0,074% 0,025% 0,020% 0,613%
(17)
7,8 Ha 0,049%
Jumlah 1094,127 Ha 100%
Sumber: Profil Desa/Nagori Teluk Lapian tahun 2011 4.1.1.3. Status Kepemilikan Tanah
Tabel 2
Status kepemilikan lahan di Nagori Teluk Lapian terbagi dalam 3 bagian yaitu:
No Status Lahan Luas Lahan
1 Milik rakyat 392,747 Ha
2 Milik desa 18,92 Ha
3 Milik BUMN 682,42 Ha
Jumlah 1094,087 Ha
Sumber: Profil desa Teluk Lapian tahun 2011
Pada kepemilikan lahan di Nagori/Dasa Teluk Lapian, luas lahan yang dimiliki oleh BUMN lebih besar luasnya dibandingkan dengan lahan milik rakyat dan lahan milik desa yaitu seluas 682,42 Ha, sedangkan lahan milik rakyat seluas 392,747 Ha dan lahan milik desa paling kecil luasnya dibandingkan dengan lahan milik rakyat atau milik BUMN yaitu seluas 18,92 Ha.
4.1.1.4. Keadaan/ Tekstur Tanah
Keadaan tofografi tanah pada umumnya rata dengan kemiringan hampir mencapai 180 derajat. Sementara tekstur tanah di Nagori Teluk Lapian adalah jenis putsolik merah
(18)
kuning ( campuran tanah liat dan sedikit pasir, sehingga keadaan ini sangat baik untuk tanaman perkebunan seperti kelapa sawit yang dikelolah oleh BUMN, sedangkan sebagian kecil adalah persawahan 19,7%, persawahan sekitar 6,6% yang dimanfaatkan untuk pertanian pangan seperti padi, cacao, karet dan kelapa sawit.
4.1.2. Kondisi Demografis 4.1.2.1. Jumlah Penduduk
Dari data sensus penduduk 2010 (SP 2010) tercatat jumlah penduduk Nagori Teluk Lapian sebanyak 3510 jiwa yang terdiri dari 917 KK, yang mana jumlah perempuan lebih besar daripada jumlah laki- laki. Untuk jumlah laki- laki sebanyak 1.816 jiwa sedangkan jumlah perempuan sebanyak 1.894 jiwa.
4.1.2.2. Komposisi Penduduk
Komposisi penduduk Nagori Teluk Lapian dapat dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, dari hasil pengelompokan diperoleh jumlah perempuan lebih banyak dari jumlah laki – laki. Jumlah laki – laki sebanyak 1816 jiwa sedangkan jumlah perempuan sebanyak 1894 jiwa.
Pada umumnya penduduk Nagori Teluk Lapian mayoritas beragama Islam yaitu sebanyak 3451 jiwa ( 98% ) dan yang beragama Kristen sebanyak 57 jiwa ( 2% ).
(19)
Tabel 3
Penduduk Nagori Teluk Lapian berdasarkan jenis kelamin dan agama dapat dilihat dari table berikut ini.
No Nama Huta Jlh Penduduk Agama
Lk Pr Total Islam Kristen Hindu Budha
1 Huta I Sidosemi 439 445 882 881 1 - -
2 Huta II Kp.Melayu 387 430 743 705 38 - -
3 Huta III teluk Lapian 595 591 1106 1096 10 - -
4 Huta IV Rawa Masin 395 428 777 769 8 - -
Jumlah 1816 1894 3510 3451 57 - -
Sumber: Profil Desa/Nagori Teluk Lapian tahun 2011 4.1.2.3. Kondisi Sosial Ekonomi
Nagori Teluk Lapian pada umumnya adalah areal perkebunan yang dikelolah oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sehingga sebagian besar mata pencaharian masyarakatnya adalah sebagai buruh perkebunan dan sebagian lagi mata pencaharian masyarakatnya adalah sebagai petani serta pengrajin batu bata.
Ditinjau dari tingkat penghasilan dan kriteria jumlah warga miskin yang ada di Nagori Teluk Lapian sebanyak 321 KK dari 917 KK, dan jika dilihat dari jumlah kepemilikan lahan yang dimiliki masyarakat maka Nagori Teluk Lapian termasuk kategori miskin.
(20)
Dari luas nagori 1095 Ha dimiliki oleh: 1 289,227 Ha (26,31%) untuk pertanian rakyat 2 682,42 Ha (62,3%) adalah perkebunan (BUMN)
3 Dari keberadaan jumlah lahan pertanian , lahan yang ditanami padi dimiliki oleh 571 KK yaitu sekitar 216 Ha atau 0,42 Ha/KK, sebahagian lagi lahan perladangan 38 Ha yang dimiliki oleh 90 KK, selebihnya adalah perkebunan.
4.1.2.4. Kondisi Sosial Budaya
Kehidupan masyarakat Nagori Teluk Lapian sangat kental dengan tradisi- tradisi kebiasaan peninggalan leluhur. Upacara- upacara adat yang berhubungan dengan siklus hidup manusia seperti upacara kelahiran, khitanan, perkawinan, dan upacara- upacara yang berhubungan dengan kematian hampir selalu dilakukan oleh masyarakat. Disamping itu kebiasaan membantu tetangga yang melaksanakan hajatan dan warga juga membiasakan saling menjenguk orang yang tertimpa musibah seperti sakit. Untuk meringankan beban orang yang tertimpa musibah biasanya mereka mengumpulkan uang untuk disumbangkan kepada orang yang sakit. Dari kebiasaan ini bahwa hubungan kekeluargaan di Nagori Teluk Lapian masih erat dan baik.
Kesenian merupakan cerminan dari kebudayaan bangsa dan tidak bisa terlepas dari nominasi suku yang ada. Pada umumnya, suku bangsa di Nagiri Teluk Lapian adalah Suku Jawa. Dahulu kesenian budaya tradisional jawa begitu populer dan sangat digemari masyarakat seperti pertunjukan wayang kulit, kuda lumping, dan reok ponorogo, namun seiring waktu kebudayaan tradisional jawa bergeser dengan adanya hiburan yang lebih modren seperti key board.
(21)
4.1.2.5. Sarana dan Prasarana
Nagori Teluk Lapian berhubungan dengan daerah lain melalui jalan nagori. Keadaan jalan di nagori secara umum adalah jalan tanah yang sampai saat ini dalam keadaan baik dengan pembatuan yang sudah hampir selesai, dan ada sebagian jalan yang belum dilakukan pengerasan dimana pada musim hujan keadaan masih rusak.
Tabel 4
Prasarana Perhubungan
No Jenis Prasarana Kualitas/Panjang Keterangan
1 Jalan Kabupaten - Tidak ada
2 Jalan Nagori 4 Km Dipitron
3 Jalan Dusun 2 Km Dibatui
4 Jembatan 1 Rusak
Sumber: Profil Desa/Nagori Teluk Lapian tahun 2011
Sarana transportasi yang sering digunakan masyarakat adalah kendaraan roda dua ( sepeda motor). Sementara untuk transportasi umum seperti bus, mikrolet, ataupun sejenisnya belum tersedia di nagori belum tersedia. Dalam hal pengangkutan hasil pertanian dan produksi batu bata biasanya masyarakat menggunakan truk sewaan yang ada di sekitar kecamatan.
Penerangan yang digunakan masyarakat adalah jasa PLN yang telah terpasang sejak tahun 1995, dan segala kebutuhan rumah tangga seperti memasak menggunakan tenaga
(22)
listrik. Begitu juga hal nya dengan penyediaan air bersih, masyarakat sudah menggunakan air sumur pompa ataupun sumur gali.
4.2 Identitas Responden 4.2.1 Usia responden
Untuk melihat identitas responden berdasarkan usia para pekerja pengrajin batu bata di Nagori Teluk Lapian, dapat dilihat secara rinci berdasarkan tabel di bawah ini.
Tabel 4.2.1
No Usia Responden F %
1 20 tahun – 30 tahun 6 10
2 31 tahun – 40 tahun 18 30
3 41 tahun – 50 tahun 27 46
4 Di atas 51 tahun 8 14
Jumlah 59 100
Sumber: Data lapangan, September 2012
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat responden yang berusia 20 tahun – 30 tahun terdapat 6 orang ( 10% ), dan usia responden 31 tahun – 40 tahun terdapat 18 orang ( 30%), serta usia responden yang berumur 41 tahun – 50 tahun terdapat 27 orang ( 46% ), sedang responden yang berusia di atas 51 tahun terdapat 8 orang ( 14% ). Berdasarkan data dilapangan, masih ada responden yang bekerja sebagai pekerja pengrajin batu bata usia di atas 51 tahun, hal ini disebabkan karena mereka sudah tidak memiliki pekerjaan lain yang dapat dikerjakan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup, sehingga mereka tetap bertahan sampai saat ini.
(23)
4.2.2 Pekerjaan responden
Selain identitas usia responden pada keterangan di atas, salah satu identitas lainnya adalah mengenai identitas pekerjaan responden. Dalam proses produksi batu bata ini banyak sekali jenis pekerjaan yang dilakukan para pekerja pengrajin batu bata. Dalam beberapa klasifikasi pekerjaan, setiap jenis pekerjaan juga berbeda upah/gaji yang diterima. Berikut adalah beberapa jenis pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja pengrajin batu bata.
No Pekerjaan F %
1. Pengambil ( penggali ) tanah 7 12
2. Meluluh ( melumatkan ) tanah 11 18
3. Pencetak batu bata 23 39
4. Nyiger ( penyusun batu bata yang telah dijemur ) 4 7
5. Pelangsir batu bata 10 17
6. Membakar batu bata 4 7
Jumlah 59 100
Sumber: Data lapangan, September 2012
Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan bahwa pekerja penggali tanah terdapat 7 orang ( 12% ), sedangkan pekerja yang meluluh tanah terdapat 11 orang ( 18% ), pencetak batu bata terdapat 23 orang ( 39% ), pekerja yang menyiger terdapat 4 orang ( 7% ) dan responden yang bekerja sebagai pelangsir batu bata terdapat 10 orang ( 17% ), serta responden yang bekerja sebagai membakar batu bata terdapat 4 orang ( 7% ). Dari data di lapangan dari hasil wawancara dan data dari hasil koesioner, dari tabel di atas dapat
(24)
diterangkan bahwa responden atau pekerja pengrajin batu bata merangkap pekerjaan dalam satu waktu. Untuk responden yang bekerja mencetak batu bata, biasanya pada saat sore harinya mereka bekerja nyiger, namun mereka lebih mengutamakan bekerja sebagai pencetak batu, sedangkan responden yang bekerja sebagai pelangsir batu bata juga dapat merangkap sebagai orang yang membakar batu bata. Sementara responden yang bekerja menggalih tanah saat ini sudah berkurang, hal ini disebabkan karena mayoritas pengusaha batu bata sekarang sudah membeli tanah di luar desa untuk memproduksi batu bata.
4.2.3 Suku bangsa responden
Salah satu identitas responden diantaranya adalah mengenai suku bangsa responden. Adapun suku bangsa atau etnis pengrajin batu bata di Nagori Teluk Lapian dapat dilihat pada keterangan tabel di bawah ini.
Tabel 4.2.3
No Suku bangsa F %
1. Jawa 48 81
2. Batak - -
3. Melayu 11 19
Jumlah 59 100
Sumber: Data lapangan, September 2012
Berdasarkan keterangan tabel di atas dapat dilihat bahwa mayoritas pekerja pengrajin batu bata adalah bersuku bangsa jawa yaitu terdapat 48 orang ( 81% ). Hal ini dapat diterangkan berdasarkan data observasi dan wawancara, masyarakat di Nagori Teluk
(25)
Lapian hanya terdapat etnis jawa, batak dan melayu, dimana mayoritas penduduknya adalah etnis jawa.
4.2.4 Pendidikan terakhir responden
Kemampuan perekonomian responden dapat dilihat dari tingkat pendidikan responden, karena diindikasikan semakin tinggi tingkat pendidikan, maka semakin banyak biaya pendidikan yang dikeluarkan. Adapun pendidikan dalam penelitian ini merupakan pendidikan formal.
Tabel 4.2.1
No Tingkat pendidikan F %
1 SD ( Sekolah Dasar ) 37 63
2 SLTP ( Sekolah Lanjut Tingkat Pertama ) 18 30 3 SLTA ( Sekolah Lanjut Tingkat Atas ) 4 7 4 Pasca SLTA ( Diploma, Sarjana, Magister, Doctor ) - -
Jumlah 59 100
Sumber: Data lapangan, September 2012
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa responden yang tamat ditingkat SD sebanyak 37 orang ( 63% ), dan responden yang tamat ditingkat SLTP terdapat 18 orang (31% ), serta responden yang yang tamat ditingkat SLTA sebanyak 4 orang ( 7% ), dan tidak ada responden yang menamatkan pendidikannya pasca SLTA. Dengan demikian dapat diterangkan, bahwa rendahnya tingkat pendidikan responden disebabkan karena ketikmampuan responden dalam membiayai pendidikan mereka.
(26)
4.3 Tingkat Perekonomian Responden
4.3.1 Distribusi Kepemilikan Rumah Berdasarkan Luas Bangunan.
Untuk melihat tingkat perekonomian responden, peneliti menggunakan beberapa indikator untuk melihat perekonomian tersebut, salah satunya dilihat dari luas bangunan dari tabel berikut.
Tabel 4.3.1
No Luas Bangunan ( m2 ) F %
1 0 m2 – 25 m2 - -
2 26 m2 – 50 m2 34 58
3 51 m2 – 75 m2 25 42
4 Di atas 76 m2 - -
Jumlah 59 100
Sumber: Data lapangan, September 2012
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat luas bangunan rumah responden antara 26 m2 – 50 m2 sebanyak 34 orang ( 58% ), dan luas bangunan rumah antara 51 m2 – 75 m2 terdapat 25 orang ( 42% ). Jadi dapat diterangkan bahwa mayoritas masyarakat di Desa Nagori Teluk Lapian memiliki luas bangunan 26 m2 – 50 m2.
4.3.2 Identitas Responden Berdasarkan Jenis Lantai Bangunan di Nagori Teluk Lapian.
Selain luas bangunan rumah responden, indikator lain untuk melihat perekonomian responden, juga dapat lilihat dari jenis lantai bangunan rumah yang digunakan. Hal ini dapat dilihat secara rinci pada tabel di bawah ini.
(27)
Tabel 4.3.2
No Jenis Lantai F %
1 Tanah - -
2 Semen 56 95
3 Marmer 3 5
Jumlah 59 100
Sumber: Data lapangan, September 2012
Dari keterangan tabel di atas dapat dilihat mayoritas jenis lantai rumah responden menggunakan semen yaitu terdapat 56 orang (95%), sedangkan selebihnya jenis lantai marmer sebanyak 3 orang ( 5% ) dan yang jenis lantai tanah sudah tidak ada lagi. Dapat diterangkan dari tabel di atas mayoritas jenis lantai bangunan responden adalah semen, hal ini disebabkan harga semen lebih terjangkau dibandingkan dengan harga marmer.
4.3.3 Identitas responden berdasarkan kepemilikan jenis dinding rumah.
Untuk melihat tingkat perekonomian responden juga dapat dilihat salah satu indikator lain berdasarkan kepemilikan jenis dinding rumah. Berikut dapat dilihat secara rinci pada tabel di bawah ini.
Tabel 4.3.3
No Jenis Dinding F %
1 Gedek/Tepas 16 27
2 Papan 29 49
3 Tembok tanpa plaster 14 24
Jumlah 59 100
(28)
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat ada 3 jenis dinding rumah yaitu jenis gedek/ tepas, papan dan tembok tanpa plaster. Jika jenis dinding tembok tanpa plaster sebanyak 14 orang ( 24% ), dan jenis dinding gedek/ tepas terdapat 16 orang (27% ), sedangkan jenis dinding papan yaitu terdapat 29 orang ( 49% ). Dalam hal ini dapat diterangkan bahwa jenis rumah responden yaitu tembok tanpa plaster jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan responden yang memiliki jenis dinding rumah papan ( sudah berusia 15 tahun lebih) dan gedek/tepas.
4.3.4 Identitas responden berdasarkan fasilitas kepemilikan MCK/WC
Tingkat perekonomian pekerja pengrajin batu bata di Nagori Teluk Lapian juga dapat dilihat berdasarkan kepemilikan MCK ( mandi , cuci, kakus ) atau WC ( water closed). Berikut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 4.3.4
No Fasilitas buang air besar F %
1 Iya 12 20
2 Tidak 47 80
Jumlah 59 100
Sumber: Data lapangan, September 2012
Dari keterangan tabel di atas dapat dilihat responden yang tidak memilikiMCK/ WC atau yang masih menumpang pada tetangga terdapat 12 orang ( 20% ), sedangkan yang memiliki fasilitas MCK/WC sendiri tanpa menumpang dengan tetangga sebanyak 47 orang ( 80% ). Dapat digambarkan bahwa mayoritas responden memiliki fasilitas MCK/WC milik sendiri. Berdasarkan data dilapangan, responden yang tidak memiliki fasitas tersebut biasanya mereka akan menumpang pada tetangga, ke parit atau ke kebun.
(29)
4.3.5 Identitas responden berdasarkan kepemilikan sumber penerangan rumah
Untuk melihat kepemilikan sumber penerangan rumah yang digunakan responden dapat tertera secara rinci pada tabel berikut ini.
Tabel 4.3.5
No Sumber penerangan F %
1 Lampu teplok - -
2 Lampu petromak - -
3 Listrik 59 100
Jumlah 59 100
Sumber: Data lapangan, September 2012
Dari keterangan tabel di atas dapat dilihat bahwa seluruh rerponden sudah menggunakan listrik yaitu sebanyak 59 orang ( 100% ). Namun, kepemilikan penerangan rumah menggunakan PLN ini terdiri dari kepemilikan pribadi dan menumpang aliran listri kepada tetangga dengan sistem pembayaran bagi rata. Hal ini disebabkan karena biaya pemasangan listri secara pribadi membutuhkan biaya relatif besar yaitu lebih dari Rp.2.000.000. Seperti penuturan bapak Wagiman, bahwa sumber penerangan yang dimiliki masih menumpang aliran listrik kepada tetangga dengan sistem pembayaran bagi dua. Ini dikarenakan Bapak Wagiman tidak mampu memasang aliran listrik sendiri disebabkan harganya relatif mahal.
(30)
4.3.6. Identitas responden berdasarkan sumber air minum
Berdasarkan sumber air minum yang digunakan responden, secara rinci dapat dilihat tabel dibawah ini.
Tabel 4.3.6
No Sumber air F %
1 Sumur 59 100
2 Sungai - -
3 Air hujan - -
Jumlah 59 100
Sumber: Data lapangan, September 2012
Dari keterangan tabel di atas dapat dilihat seluruh responden menggunakan air sumur sebagai sumber air minum yaitu sebanyak 59 orang ( 100% ). Hal di atas dapat diterangkan bahwa seluruh responden dalam memenuhi kebutuhan air menggunakan air sumur. Berdasarkan observasi peneliti, kondisi sumur yang dimiliki oleh responden sebagian besar adalah sumur tanah.
(31)
4.3.7. Identitas responden berdasarkan bahan bakar memasak
Untuk melihat bahan bakar yang digunakan responden dalam memasak untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari, dapat dilihat keterangan tabel di bawah ini.
Tabel 4.3.7
No Bahan bakar memasak F %
1 Kayu bakar 28 29
2 Kompor minyak tanah - -
3 Gas LPJ 31 42
Jumlah 59 100
Sumber: Data lapangan, September 2012
Besdasarkan tabel di atas dapat dilihat terdapat 3 jenis bahan bakar untuk memasak yaitu kayu bakar, kompor minyak tanah dan gas LPJ. Responden yang menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar untuk memasak sebanyak 28 orang ( 29% ), sedangkan untuk gas LPJ yaitu terdapat 31 orang ( 42% ), dan sudah tidak ada lagi responden yang masih menggunakan kompor minyak tanah, hal ini disebabkan harga minyak nahah relatif mahal.
Adapun Gas LPJ yang dimiliki responden bukan merupakan hasil pembelian peribadi, tetapi berasal dari bantuan pemerintah pada tahun 2009. Sedangkan responden yang masih menggunakan kayu bakar karena tidak ingin mengguanakan Gas LPJ dengan alasan takut mengguanakan dan harga gas yang juga relatif mahal ( Rp.18.000 ). Apabila mereka menggunakan kayu bakar, mereka dapat memperoleh dari batang pohon kelapa disekitar rumah mereka.
(32)
4.3.8 Identitas responden berdasarkan pendapatan rata – rata dalam satu bulan
Kemampuan perekonomian responden dapat dilihat dari jumlah pendapatan mereka, hal ini dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4.3.8
No Pendapatan/Bulan F %
1 Rp 300.000 – Rp.700.000 19 32
2 Rp.700.0001 – Rp.1.000.000 21 36 3 Rp. 1.100.001 – Rp.1.500.000 12 20 4 Rp.1.500.001 – Rp. 1.800.000 7 12
5 >Rp.1.800.001 - -
Jumlah 59 100
Sumber: Data lapangan, September 2012.
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa responden yang memiliki pendapatan sebesar Rp. 300.000 – Rp.700.000 yaitu terdapat 19 orang ( 32% ), responden yang memiliki pendapatan sebesar Rp.700.001 – Rp.1000.000 terdapat 21 orang ( 36% ), dan responden yang memiliki pendapatan Rp.100.001 – Rp.1.500.000 terdapat 12 orang (20%), serta responden yang memiliki pendapatn sebesar Rp.1500.001 – Rp.1.800.000 terdapat 7 orang ( 12% ). Pendapatan rata – rata responden merupakan hasil dari pekerjaan mereka atau upah kerja dalam 1 bulan.
(33)
4.3.9. Identitas responden berdasarkan biaya makan dalam satu bulan.
Selain dilihat dari jumlah biaya kredit, untuk melihat besarnya pengeluaran responden juga dapat dilihat dari besarnya jumlah biaya makan dalam 1 bulan. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4.3.9
No Jumlah pengeluaran F %
1 <Rp.1.000.000 41 70
2 Rp.1.000.001 – Rp.1.500.000 15 25
3 >Rp.1.500.001 3 5
Jumlah 59 100
Sumber: Data lapangan, September 2012.
Berdasarkan tabel di atas, mayoritas responden mengeluarkan biaya makan dalam 1 bulan < Rp.1000.000 terdapat 41 orang ( 70% ), sedangkan biaya pengeluaran makan sebesar Rp.1000.001 – Rp.1.500.000 sebanyak 15 orang ( 25 % ), dan biaya pengeluaran makan sebesar > Rp.1.500.001 sebanyak 3 orang ( 5% ).
4.3.10. Identitas responden berdasarkan intensitas konsumsi susu dalam kurun waktu satu bulan
Indikator untuk melihat kemampuan responden dengan mengukur dalam penyempurnaan gizi makanan ( 4 sehat 5 sempurna. Kemampuan tersebut dapat dilihat dari intensitas responden dalam mengkonsumsi susu ( nabati atau hewani ) dalam kurun waktu satu bulan. Hal ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
(34)
Table 4.3.10
No Membeli/ minum susu F %
1 1 kali 17 29
2 2 kali 6 10
3 3 kali - -
4 Tidak pernah 36 61
Jumlah 59 100
Sumber: Data lapangan, September 2012
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat mayoritas responden tidak pernah membeli/minum susu dalam kurun waktu satu bulan terdapat 36 orang ( 61% ), responden yang pernah membeli/minum 1 kali dalam kurun waktu satu bulan sebanyak 17 orang (29% ), serta responden yang membeli/minum susu 2 kali dalam kurun waktu satu bulan terdapat 6 orang ( 10% ), dan yang pernah membeli/minum susu dalam kurun satu bulan terdapat 36 orang ( 61% ). Namun responden yang memiliki intensitas yang relative kecil 1 dan 2 kali, bahkan yang tidak pernah bukan hanya karena tidak dapat membeli melainkan juga tidak menyukai susu.
4.3.11. Identitas responden berdasarkan intensitas konsumsi daging dalam satu bulan
Identitas lain untuk melihat kemampuan responden dalam menyempurnakan menu makanan mereka dalam kurun waktu satu bulan yaitu berdasarkan intensitas konsumsi daging yang diperoleh secara pribadi. Dalam penelitian ini, daging yang dimaksud adalah daging unggas.
(35)
Tabel 4.3.11
No Makan/membeli daging F %
1 1 kali 10 17
2 2 kali 4 7
3 3 kali - -
4 Tidak pernah 45 76
Jumlah 59 100
Sumber: Data lapangan, September 2012
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat responden yang 1 kali mengkonsumsi daging dalam satu bulan sebanyak 10 orang ( 17%), sedangkan yang 2 kali yang mengkonsumsi daging dalam satu bulan sebanyak 4 orang ( 7% ), dan yang tidak pernah sama sekali mengkonsumsi daging dalam satu bulan sebayak 45 orang (76% ). Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa mayoritas responden tidak pernah mengkonsumsi daging dalam satu bulan yang diperoleh secara pribadi sebanyak 45 orang (76% ), namun responden sering mengkonsumsi daging disaat ada perayaan persta oleh tetangga atau kerabat.
4.3.12. Identitas responden berdasarkan kemampuan membeli pakaian dalam kurun waktu satu tahun
Kemampuan perekonomian responden dapat dilihat dari seberapa banyak responden dapat membeli pakaian baru sebagai kebutuhan primer dalam kurun waktu 1 tahun. Berikut tabel identitas responden dalam membeli pakaian baru dapat dilihat di bawah ini.
(36)
Tabel 4.3.12
No Membeli baju/pakain F %
1 1 stel 42 71
2 2 stel 12 20
3 3 stel - -
4 Tidak ada 5 9
Jumlah 59 100
Sumber: Data lapangan, September 2012
Berdasarkan tabel di atas, dapat digambarkan bahwa mayoritas responden dapat membeli pakaian baru sejumlah 1 stel dalam kurun waktu 1 tahun sebanyak 42 orang (71%). Hal ini dapat diterangkan bahwa sebagian besar responden hanya membeli pakaian disaat menjelang Hari Raya Idul Fitri, bahkan ada 5 responden ( 9% ) yang tidak membeli pakaian dalam kurun waktu 1 tahun. Hal ini disebabkan karena responden lebih mementingkan kebutuhan pakaian bagi anak atau keluarganya. Pembelian pakaian ini banyak dilakukan di pajak tradisional karena harganya relatif lebih murah.
4.3.13. Identitas responden berdasarkan kemampuan dalam memperoleh akses pengobatan.
Kemampuan perekonomian responden juga dapat dilihat dalam akses pengobatan. Di Nagori Teluk Lapaian ini, masyarakat pada umumnya berobat kebidan desa untuk segala jenis penyakit kecuali penyakit yang parah dan perlu penanganan operasi. Hal ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
(37)
Tabel 4.3.13
No Akses Berobat F %
1 Rumah sakit 11 19
2 Klinik ( Bidan Desa ) 48 81
3 Alternatif - -
Jumlah 59 100
Sumber: Data lapangan, September 2012
Berdasarkan tabel di atasdapat digambarkan bahwa responden memperoleh akses pengobatan di rumah sakit terdapat 11 orang ( 19% ). Responden yang memperoleh akses pengobatan di rumah sakit adalah responden yang memiliki penyakit parah seperti kanker rahim, dan usus buntu. Adapun biaya pengobatan yang dikeluarkan berasal dari bantuan bersama dengan anak – anak mereka. Sedangkan yang dapat memperoleh akses pengobatan di klinik atau bidan desa terdapat 48 orang ( 81% ), dengan jenis penyakit darah tinggi, batuk, demam, luka, anemia dan laian – lain.
Dari keterangan tabel di atas dapat dilihat bahwa responden yang berobat ke rumah sakit sebanyak 14 orang ( 24% ), sedangkan yang berobat ke Klinik jumlahnya lebih besar dibandingkan dengan yang berobat ke rumah sakit yaitu sebanyak 45 orang ( 76% ) dan yang masih berobat ke paranormal sudah tidak ada lagi responden yang berobat dengan paranormal. Jadi dapat disimpulkan bahwa mayoritas responden jika sakit berobat di klinik, disamping biaya berobat yang lebih murah jika dibandingkan di rumah sakit.
(38)
4.3.14. Identitas responden berdasarkan kepemilikan aset kekayaan
Kemampuan perekonomian responden juga dapat dilihat dari kepemilikan aset kekayaan baik itu berupa tabungan uang maupun barang – barang berharga serta kepemilikan lahan. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4.3.14
No Jenis Kekayaan F %
1 Sepeda motor 43 73
2 Emas 1 2
3 Hewan Ternak 10 17
4 Ladang/ Sawah 5 8
5 Tabungan Uang - -
Jumlah 59 100
Sumber: Data lapangan, September 2012
Berdasarkan tabel di atas, kepemilikan aset kekayaan berupa sepeda motor terdapat 43 orang ( 73% ), dan responden yang memiliki hewan ternak terdapat 10 responden (17%), sedangkan responden yang memiliki ladang /sawah sebanyak 5 responden ( 8%), serta yang memiliki emas sebagai tabungannya hanya 1 responden ( 2% ). Hal ini dapat diterangkan bahwa mayoritas responden memiliki tabungan atau kekayaan berupa sepeda motor. Selain itu responden juga ada yang memiliki kekayaan hewan ternak seperti ayam (1 – 10 ekor ) dan sapi ( 1 – 4 ekor ), namun sebagian besar responden tidak menjadikan hewan ternak ayam sebagai aset kekayaan hanya untuk dikonsumsi dan akan dijual apabila dalam keadaan terdesak. Responden yang memiliki aset kekayaan berupa ladang atau sawah merupakan hak milik pribadi dengan luas berkisar ( 250 m2 - 2800 m2 ).
(39)
4.3.15. Identitas responden berdasarkan tanggungan seluruh keluarga
Kemampuan responden dalam perekonomian dapat dilihat dari jumlah tanggungan keluarga. Hal ini diindikasikan bahwa semakin banyak jumlah tanggungan maka semakin banyak jumlah tanggungan yang dikeluarkan. Berikut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 4.3.15
No Jumlah anggota keluarga F %
1 2 orang 17 29
2 3 orang 27 46
3 > 3 orang 10 17
4 Tidak ada 5 8
Jumlah 59 100
Sumber: Data lapangan, September 2012.
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa responden yang memiliki jumlah tanggungan sebanyak 2 orang yaitu terdapat 17 responden ( 29% ), dan yang memiliki tanggungan sebanyak 3 orang yaitu terdapat 27 responden ( 46% ) serta selebihnya untuk tanggungan > 3 orang yaitu terdapat 10 responden ( 17% ). Hal ini dapat diterangkan bahwa mayoritas responden memiliki jumlah tanggungan anggota keluarga sebanyak 3 orang.
(40)
4.3.16. Identitas responden berdasarkan jumlah anak/keluarga yang dibiayai pendidikannya.
Kemampuan perekonomian responden juga dapat dilihat dari tingkat pendidikan anak atau keluarga yang ditanggung pendidikannya. Hal ini diindikasikan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, maka semakin tinggi biaya yang dikeluarkan, sehingga ini dapat dijadikan indikator kemampuan responden.
Tabel 4.3.16
No Jumlah anak/orang F %
1 1 orang 26 44
2 2 orang 17 29
3 3 orang 2 4
4 ≥4 orang - -
5 Tidak ada 14 23
Jumlah 59 100
Sumber: Data lapangan, September 2012.
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa responden yang memiliki jumlah tanggungan dalam pendidikan sebanyak 1 orang yaitu terdapat 26 responden ( 44% ), dan yang memiliki jumlah tanggungan 2 orang sebanyak 17 responden ( 29% ), serta yang memiliki jumlah tanggungan sebanyak 14 responden ( 23% ). Dari tabel di atas dapat diterangkan bahwa minimnya biaya yang harus dikeluarkan responden dalam bidang pendidikan.
(41)
4.3.17. Identitas responden berdasarkan biaya sekolah anak dalam satu bulan. Besarnya biaya pengeluaran responden juga dapat dilihat dari besarnya biaya sekolah seluruh anak dalam 1 bulan. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4.3.17
No Biaya sekolah anak F %
1 <Rp.100.000 26 44
2 Rp.100.000 – Rp.200.000 14 24
3 Rp.200.001 – Rp.250.000 4 6
4 >Rp.250.001 1 2
5 Tidak ada 14 24
Jumlah 59 100
Sumber: Data lapangan, September 2012.
Berdasarkan tabel di atas mayoritas responden mengeluarkan biaya sekolah seluruh anak sebesar < Rp.100.000 perbulan yaitu terdapat 26 orang ( 44% ), sedangkan responden yang mengeluarkan biaya sekolah seluruh anak sebesar Rp.100.000 – Rp.200.000 perbulan yaitu terdapat 14 orang ( 24% ), dan responden yang mengeluarkan biaya seluruh anak sebesar Rp.200.001 – Rp.250.000 yaitu terdapat 4 orang ( 6% ), serta responden yang mengeluarkan biaya seluruh anak sebesar >Rp.250.001 terdapat 1 orang ( 2% ), sedangkan responden yang tidak mengeluarkan biaya sekolah sama sekali sebanyak 14 orang ( 24% ), hal ini karena responden tidak memiliki anak yang sekolah sehingga responden tidak mengeluarkan biaya untuk hal tersebut.
(42)
4.3.18. Identitas responden berdasarkan kendaraan sepeda motor kredit. Kemampuan perekonomian responden dilihat dari kepemilikan kendaraan yang dibeli secara tunai maupun kredit. Dalam penelitian ini, diindikasikan pembelian secara tunai dianggap mampu secara ekonomi dibandingkan pembelian secara kredit. Kendaraan dalam penelitian ini adalah sepeda motor. Hal ini dapat dilihat sebagai berikut.
Tabel 4.3.18
No Kendaraan masih kredit F %
1 Iya 4 7
2 Tidak kredit 39 66
3 Tidak memiliki 16 27
Jumlah 59 100
Sumber: Data lapangan, September 2012
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat, bahwa responden yang memiliki sepeda motor kredit sebanyak 4 orang ( 7% ), sedangkan yang memiliki kendaraan yang sudah tidak kredit terdapat 39 orang ( 66% ), serta yang tidak memiliki terdapat 16 orang ( 27% ). Hal ini dapat diterangkan bahwa mayoritas responden memiliki kendaraan yang tidak kredit, namun demikian kondisi sepeda motor mereka sudah tidak terlalu bagus karena sudah digunakan lebih dari 7 tahun dan modelnya tidak seperti tipe model terbaru sepeda motor saat ini.
(43)
4.3.19. Identitas responden berdasarkan biaya cicilan kredit.
Berdasarkan data mengenai identitas responden yang memiliki kendaraan kredit di atas, terlihat bahwa terdapat ketidakmampuan responden untuk membeli sepeda motor secara tunai. Berikut adalah tabel identitas responden berdasarkan besarnya biaya cicilan kredit.
Tabel 4.3.19
No Jumlah cicilan F %
1 Rp.300.000 – Rp.400.000 - -
2 Rp.400.001 – Rp.500.000 1 2
3 Rp.500.001 – Rp.600.000 1 2
4 > Rp.600.000 2 3
5 Tidak ada 55 93
Jumlah 59 100
Sumber: Data lapangan, September 2012.
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa responden yang memiliki biaya cicilan kredit sebesar Rp.400.001 – Rp.500.000 dan cicilan kredit Rp.500.001 – Rp.600.000 masing – masing hanya ada 1 orang ( 2% ), sedangkan untuk biaya cicilan kredit sebesar > Rp.600.000 terdapat 2 orang ( 3% ). Dari tabel di atas dapat diterangkan bahwa besarnya jumlah cicilan kredit responden perbulannya lebih dari Rp.400.000.
(44)
4.4. Profil Informan
4.4.1 Profil Informan Pengusaha Pengrajin Batu Bata
4.4.1.1. Nama : Hendra
Usia : 32 Tahun
Status : Menikah Pendidikan terakhir : STM
Abang Hendra sudah lama bekerja sebagai pengrajin batu bata yaitu sudah 10 tahun, bahkan semenjak usia 12 tahun, Abang Hendra juga sudah bekerja membuat batu bata bersama orang tuanya, jadi jika diperhitungkan Abang Hendra sudah 20 tahun bekerja dibidang produksi batu bata. Semasa melajang Abang Hendra bekerja di Malaysia namun jika diperhitungkan gaji yang diperoleh tidak sesuai dan tidak mencukupi, yang membuat berbeda adalah sebuah gengsi jika bekerja di Malaysia. Setelah menikah Abang Hendra memilih untuk bekerja sebagai pengrajijn batu bata di desa sampai saat ini karena keuntungannya dapat diperhitungkan jika mampu memutar modal. Pekerjaan sebagai pengusaha pengrajin batu bata ini merupakan mata pencaharian utama, akan tetapi Abang Hendra juga memiliki usaha sampingan yaitu membuka warung atau kedai dan menyewakan mesin untuk meluluh/melumatkan tanah sebelum dicetak menjadi batu bata. Pada setiap bulan Abang Hendra mampu membakar 75.000 batu bata dalam 4 sampai 5 kali pembakaran dan semuanya dijual kepada agen serta keuntungan bersih yang dihasilkan dalam setiap pembakaran sebesar Rp.2.000.000 setiap pembakaran sampai batu terjual. Abang Hendra merupakan pengusa besar karena mengeluarkan modal yang besar dan semua dikerjakan oleh pekerja yang diupah. Abang Hendra memiliki 10 orang pekerja mulai dari meluluh tanah sampai membakar batu bata, namun Abang Hendra hanya memiliki 3 pekerja tetap yaitu pekerja pencetak batu bata yang biasa dikerjakan oleh
(45)
perempuan atau ibu- ibu. Jika diperhitungkan dalam satu bulan, Abang Hendra harus mengeluarkan modal sebesar Rp.11.000.000 - Rp.12.000.000 untuk 4 kali pembakaran batu bata, dalam setiap satu kali pembakaran, batu yang dibakar sebanyak 20.000 batu bata dengan modal sebesar Rp.6.000.000. Abang Hendra biasa menjual batu bata yang telah diproduksi kepada agen tetap dari Aek Kenopan, tetapi ada juga konsumen yang langsung datang membelinya meskipun jumlah batu yang dibeli tidak terlalu banyak seperti pada agen. Dalam perbiji batu yang dijual dihargai Rp.240 sampai Rp.300. Pada saat menjelang lebaran atau Hari raya Idul Fitri harga batu turun harganya sampai mencapai Rp.240/biji, karena pada saat Bulan Ramadhan menjelang Hari Raya Idul Fitri banyak orang yang ingin membuat batu bata untuk tambahana uang lebaran, sementara permintaan akan batu bata sedikit pada saat Bulan Ramadhan. Dalam proses produksi batu bata ini, Abang Hendra mengupahkan orang lain untuk mengerjakannya, dan pekerjaan dalam proses produksi batu bata ini sedikit terbantu kerena untuk meluluh tanah sebelum dicetak dikerjakan atau dibantu dengan mesin, sehingga pekerjaannya lebih ringan dan efektip baik tenaga atau waktu. Untuk meluluh tanah atau menggiling tanah dengan mesin Abang Hendra mempekerjakan orang sebanyak 3 orang untuk 1 mesin luluh,dan biasanya Abang Hendra menggunakan 2 unit mesin dalam setiap penggilingan. Dalam satu hari setiap pekerja yang meluluh digaji sebesar Rp.100.000/orangnya dan tanah yang mereka luluh sebanyak 5 truk dan dikerjakan selesai sampai 2 hari, pekerjaan ini dilakukan borangan. Dalam 1 truk tanah yang akan dicetak mencapai 4000 batu tata.
Abang Hendra untuk membuat batu bata ini membeli tanah di luar desanya yaitu desa gajah, Abang Hendra memilih untuk membeli tanah karena jika mengorek tanah milik pribadi dia akan merugi karena akan menjadi kubangan dan tidak dapat dimanfaatkan lagi, perlu waktu lama untuk mengembalikannya seperti semula. Abang Hendra tetap bertahan dengan pekerjaan pengrajin batu bata ini karena tidak memiliki keterampilan lain lagi
(46)
sehingga akan tetap bertahan sebagai pengusaha pengrajin batu bata. Hambatan yang dirasakan adalah pada saat musim hujan dikarenakan batu yang mereka cetak tidak kering dan semua kegiatan produksi juga akan terhambat, selain itu hambatan lain yang dirasakan adalah jika batu yang dijual tidak laku dibeli oleh konsumen sehingga Abang Hendra lebih memilih menjual langsung kepada agen karena pada setiap selesai pembakaran agen langsung datang, sehingga kecil kemungkinan batu batanya tidak akan laku terjual.
4.4.1.2. Nama : Sarjan
Usia : 24 Tahun
Status : Menikah Pendidikan terakhir : Aliyah
Abang Sarjan merupakan seorang pengusaha pengrajin batu bata dan sudah lama bekerja sebagai pengrajin batu bata, meskipun Abang Sarjan seorang pengusaha batu bata, tetapi juga ikut serta dan berpartisipasi dalam proses produksi batu bata walaupun sudah memiliki 6 orang pekerja, dikarenakan untuk menghemat biaya pengeluaran produksi. Pekerjaan sebagai pengusaha pengrajin batu bata ini sudah 10 tahun dilakukan Sarjan semenjak masih duduk di bangku sekolah untuk membantu orang tua, hingga sampai saat ini masih menekuni dan meneruskan usaha karena pengrajin batu bata merupakan pekerjaan dan mata pencaharian utama Abang Sarjan. Dari hasil pengrajin batu bata, Abang Sarjan baru saja membangun rumah permanen yang cukup besar. Pada awal proses produksi batu bata ini Abang Sarjan membutuhkan biaya besar yaitu Rp.3.000.000 – Rp.3.500.000. Dalam 1 bulan Abang Sarjan dapat mencetak 2 kali jika tidak musim penghujan dan dalam setiap pembakaran dapat membakar 20.000 batu bata .
(47)
Jadi dalam setiap penjualan dalam 1 kali bakar keuntungan bersih yang diperoleh sebesar Rp.2.500.000, jadi jika dalam 1 bulan Abang Sarjan dapat 2 kali pembakaran maka keuntungan yang diperoleh sebesar Rp.5.000.000 jika harga batu bata dihargai Rp.280/biji. Dalam usaha kerajinan batu bata ini Abang Sarjan sering mengalami hambatan dan kesulitan yaitu pada saat musim hujan dikarenakan mereka tidak akan bekerja dan batu yang telah dicetak kemarin juga tidak akan kering sehingga dapat menghambat proses produksi. Disisi lain, hambatan yang terjadi yaitu pada saat menjelang Lebaran yaitu Bulan Ramadhan tiba, hal ini disebabkan murahnya harga jual batu bata kepada agen dan rendahnya permintaan konsumen akan batu bata pada saat menjelang Lebaran.
4.4.1.3. Nama : Paimin
Usia : 46 Tahun
Status : Menikah Pendidikan terakhir : SLTP
Bapak Pimin merupakan seorang pengusaha batu bata dan sudah 10 tahun sebagai pengusaha pengrajin batu bata semenjak berumah tangga. Disisi lain bekerja sebagai seorang pengrajin batu bata, Bapak Paimin bekerja sebagai karyawan di Perusahaan PT. Bakrie dan sebagai pengrajin batu bata ini merupakan mata pencarian sampingan. Bapak Paimin biasanya memproduksi batu bata setiap 2 atau 3 bulan sekali jika terjadi musim hujan, rata - rata setiap satu kalii bakar sebanyak 25.000 biji batu bata dan biasanya menjualnya kepada agen. Dalam proses produksi bata bata ini Bapak Paimin menggunakan tanah sendiri untuk membuat batu dan semua pekerjaan dalam proses produksi dikerjakan sendiri oleh Bapak Paimin dan istri yang juga ikut membantu berpartisipasi seperti mencetak, menyiger ( meyusun batu ). Modal yang dikeluarkan dalam sekali produksi sebesar Rp.3.000.000 dan keuntungan yang diproleh dari penjualan batu bata sebesar
(48)
Rp.6.000.000 namun itu masih pendapatan kotor belum dipotong biaya produksi. Hambatan yang biasa dialami adalah jika terjadi musim penghujan sehingga Bapak Paimin tidak memproduksi batu bata, selain itu masalah yang sering dialami adalah jika terjadi penurunan harga jual batu bata yang mengakibatkankan keuntungan yang diperoleh sangat kecil dan tidak sesuai dengan modal dan tenaga yang dikeluarkan.
4.4.2 Profil Informan Pekerja Pengrajin Batu Bata 4.4.2.1. Nama : Ibu Sudarni
Usia : 30 Tahun
Status : Menikah Pendidikan terakhir : SLTP
Ibu Sudarni merupakan pekerja pengrajin batu bata. Ibu Sudarni sudah lama bekerja sebagai pengrajin batu bata semenjak menikah 11 tahun yang lalu, dan pengrajin batu bata ini adalah mata pencaharian utama. Ibu Sudarmi memiliki 2 putri, anak pertamanya berusia 10 tahun dan masih duduk dibangku Sekolah Dasar (SD) dan anak keduanya masih berusia 4 tahun dan masih TK ( Taman Kanak – kanak ). Anak Ibu Sudarmi belum bisa perpartisipasi dalam pemenuhan kebutuhan kelurga karena masih anak - anak, jadi yang bekerja dalam pemenuhan kebutuhan keluarga adalah Ibu Sudarni beserta suami.
Kondisi rumah Ibu Sudarni sangat sederhana. Dinding rumah masih terbuat dari tepas/gedek dan ukuran rumah juga tidak terlalu besar serta hanya terdapat satu kamar tidur. Ibu Sudarni juga masih memasak dengan menggunakan kayu bakar, dan dapur untuk memasak terpisah dengan rumah, begitu juga dengan kondisi kamar mandi. Air sumur
(49)
berbau, sehingga biasanya Ibu Sudarni harus numpang mandi, mencuci di rumah mertu yang kebetulan masih satu desa. Di dalam rumah Ibu Sudarmi juga tidak terdapaat fasilitas yang mewah, hanya terdapat sebuah televisi dan tidak terdapat kursi, kulkas, kipas angin ataupun VCD serta barang – barang elektronik lainnya. Adapun tabungan yang dimiliki adalah sebuah sepeda motor yang kondisinya juga sangat sederhana dan kalung emas yang dimiliki Ibu Sudarni.
Sebagai seorang pekerja pengrajin batu bata, upah yang diterima juga tidak menentu setiap bulannya, sehingga untuk memenuhi keutuhan sehari – hari sangat pas – pasan. Untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan sehari - hari jika Ibu Sudarni tidak mempunyai uang kontan untuk membeli kebutuhan, biasanya Ibu Sudarni hutang ke warung/kedai langganannya dan pada saat setelah mendapatkan uang maka akan dilunasi hutang – hutangnya. Terkadang Ibu Sudarni juga memanfaatkan tanaman liar yang dapat di masak, misalnya meramban/mencari genjer dan kangkung di areal sawah ataupun meminta daun ubi di tempat tetangga. Strategi ini yang dilakukan jika kebutuhan ekonomi tidak tercukupi. Walaupun demikian Ibu Sudarni tetap bertahan dengan kondisinya sebagai pengrajin batu bata karen sudah tidak mempunyai usaha atau pekerjaan lain selain sebagai pengrajin batu bata.
(50)
4.4.2.2. Nama : Ibu Tukini
Usia :61 Tahun
Status : Menikah Pendidikan terakhir : SD
Ibu Tukini merupakan salah satu pekerja pencetak batu batu. Ibu Tukini sekarang berusia 61 tahun namun diwaktu usianya yang senja Ibu Tukini masih bekerja keras membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Ibu Tukini sudah lama bekerja sebagai pekerja pengrajin batu bata yaitu sudah 20 tahun. Suami Bu Tukini bernama Bapak Suparjo yang berusia 73 tahun. Bapak Suparjo tidak memiliki pekerjaan, Bapak Parjo hanya menanam sedikit ubi kayu di ladang dan menanam padi di sawah yang hasilnya dikonsusmsi sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup. Keluarga Ibu Tukini memiliki 6 orang anak, 4 orang anak laki- laki dan 2 orang anak perempuan, namun kedua orang anak perempuan dan seorang anak laki- lakinya sudah berumah tangga dan sudah tidak tinggal dengan Ibu Tukini, tetapi sudah tinggal di Kota Medan dan di daerah Rantau Parapat. Semua anak Ibu Tukini hanya tamat SMP disebabkan tidak memiliki biaya untuk menyekolahkan anak – anaknya, kecuali anak bungsu Ibu Tukini yang bernama Dudi Prastowo yang berusia 17 tahun yang saat ini duduk di kelas 1 SMA. Adapun dana atau biaya untuk sekolah di bantu oleh abangnya yang bekerja sebagai pekerja pengrajin batu bata. Kondisi rumah Ibu Tukini sangat memprihatinkan dan sangat sederhana. Atap rumah masih terbuat dari atap rumbia, dan dinding rumah masih terbuat dari gedek/tepas. Ketika musim hujan tiba rumah Ibu Tukini banyak yang bocor karena atap rumbia sudah lebih dari 6 tahun tidak diganti. Peralatan dan fasilitas Ibu Tukini juga jauh dikatakan mewah karena tidak memiliki TV, kulkas ataupun alat – alat elektronik lainnya. Selain itu Ibu Tukini masih menggunakan kayu bakar untuk memasak, dan keadaan kamar mandi juga
(51)
jauh dikatakan bersih karena sumurnya masih ditutupi oleh goni sebagai pelindung agar tidak terlihat pada saat mandi. Sekarang Ibu Tukini tinggal bersama suami dan 3 orang anak laki- lakinya di rumah yang sangat sederhana ini.
Pada tahun 1970 Ibu Tukini memiliki usaha industri rumah tangga, yaitu industri pembuatan tempe. Pada saat penjualan Ibu Tukini menjualnya dengan berjualan keliling dengan mengendarai sepeda, namun hasil yang diperoleh tidak menguntungkan karena tempe yang telah diproduksi banyak tidak laku terjual dan busuk, sehingga banyak mengalami kerugian dan tidak mendapatkan keuntungan, jadi Ibu Tukini memutuskan untuk tidak membuat tempe lagi. Setelah sudah tidak meproduksi tempe, Ibu Tukini bekerja sebagai pekerja pengrajin batu bata hingga sampai saat ini. Pendapatan Ibu Tukini setiap bulan tidak dapat dipastikan dikarenakan Ibu Tukini hanya bekerja sebagai pekerja pengrajin batu bata dan tidak memiliki pekerjaan yang lain. Pekerja sebagai pencetak batu bata merupakan mata pencaharian utama. Setiap 2 minggu Ibu Tukini mendapat upah sebesar RP.200.000 - Rp.250.000, jadi Dalam sebulan rata- rata penghasilan Ibu Tukini Rp.400.000 - Rp.500.000. Dalam sehari Ibu Tukini dapat mencetak 1000 batu bata namun jika musim hujan tiba Ibu Tukini hanya dapat mencetak 700 batu dan mendapat upah Rp.25.000/hari, dalam mencetak 1 batu Ibu Tukini mendapat upah Rp.25.
Dalam sebulan Ibu Tukini bekerja selama 3 minggu namun jika pada saat musim hujan Ibu Tukini tidak dapat bekerja penuh, jadi dalam seminggu Ibu Tukini hanya dapat bekerja 3 – 4 hari dan terkadang tidak kerja sama sekali. Ibu Tukini tetap bertahan sebagai pekerja pengrajin batu bata karena tidak sudah tua dan tidak memiliki pilihan untuk bekerja yang lain.
Ibu Tukini sudah tidak memiliki pekerjaan lain selain bekerja sebagai pencetak batu bata. Upah dari hasil pekerjaannya tidak mencukupi kebutuhan hidup keluarganya terutama
(52)
untuk kebutuhan sekolah anak, jadi untuk menutupi kekurangan uang Ibu Tukini meminjam uang sebesar Rp.100.000.- Rp.200.000 kepada pengusaha dan dibayar ketika pada saat penghitungan tertakhir, berapa batu yang telah dicetak.
4.4.2.3. Nama : Sumarni
Usia : 45 Tahun
Status : Janda Pendidikan terakhir : SD
Ibu Sumarni merupakan seorang pekerja pengrajin batu bata, Ibu Sumarni bekerja sebagai pencetak batu bata sudah 30 tahun, Ibu Sumarni merupakan seorang janda yang ditinggalkan suaminya begitu saja. Ibu sumarni memiliki empat orang anak yang bernama Marisa ( 28 tahun ), Adi ( 26 tahun ), Jul ( 23 tahun ) dan Yuni (15 tahun). Marisa merupakan anak pertama yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Kota Medan, Adi anak ke dua yang bekerja diperantauan sebagai supir truk namun Adi tidak pernah pulang sejak enam tahun lalu dan ibu Sumarni tidak tahu kabar berita dari anaknya tersebut, kemudian anak ketiga bernama Jul yang tinggal bersama ayahnya, Jul tidak pernah pulang atau menjenguk Ibu Sumarni semenjak mereka bercerai dan Yuni anak bungsu dari empat bersaudara yang ikut bekerja di Medan bersama kakaknya Marisa sebagai pembantu rumah tangga dan pendidikan terakhirnya tamat SD ( Sekolah Dasar ) . Yuni terpaksa harus bekerja karena Ibu Sumarni tidak sanggup membiayai pendidikannya untuk melanjutkan sekolah. Kondisi keluarga Ibu sumarni sangat sederhana, dinding rumah terdiri dari tepas dan berlantaikan semen, serta barang – barang yang dimiliki jauh dari kata mewah seperti barang barang elektronik TV, kulkas, Hand Phone ( HP ) dan barang – barang elektronik lainnya. Untuk memasak Ibu Sumarni juga masih menggunakan tungku
(53)
Dalam sebulan pendapatan Ibu Sumarni tidak menetap, rata – rata penghasilannya Rp.200.000 – Rp.300.000 dikarenkan kondisi Ibu Sumarni yang memiliki penyakit hipertensi sehingga dalam sehari hanya dapat mencetak batu sebanyak 500 sampai 600 batu bata, dan dalam sebulan Ibu Sumarni tidak penuh bekeja, terkadang dalam satu bulan hanya bekerja 10 hari atau bahkan tidak bekerja sama sekali apabila pada saat musim hujan. Setiap mencetak satu biji batu bata diupah Rp.25, jadi jika dalam sehari Ibu Sumarni mencetak batu sebanyak 500 sampai 600 batu penghasilan perhari Rp.12.500 – Rp.15.000. Ibu Sumarni memulai pekerjaan mencetak batu bata dari pukul 07.00 Wib – 12.00 Wib, jadi setiap kali Ibu Sumarni bekerja hanya mendapatkan upah sebasar Rp.10.000/hari.
Dengan penghasilan tersebut Ibu Sumarni tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, apalagi Ibu Sumarni masih menanggung seorang cucu yang ikut tinggal bersamanya yang bernama Anisa (4 tahun). Dikarenakan Ibu Sumarni tidak memiliki penghasilan tambahan, jika kekurangan uang atau kebutuhan sehari- hari, Ibu Sumarni meminjam kepada pengusaha batu sebesar Rp. 50.000 – Rp. 100.000, dan dibayar dari hitungan batu yang dicetak, namun terkadang Ibu Sumarni juga meminjam beras atau uang kepada tetangga dan saudara, yang akan dibayar ketika mendapatkan uang bulan depannya. Selain itu Ibu Sumarni juga memanfaatkan tanaman liar untuk pemenuhan kebutuhan, seperti mencari kangkung di sawah yang berada disekitar rumah.
Pekerjaan mencetak batu bata ini merupakan mata pencarian utama sejak Ibu Sumarni menikah, Ibu Sumarni tetap bertahan sebagai pencetak batu bata karena tidak ada lagi pekerjaan lain yang lebih baik, hal ini disebabkan Ibu Sumarni tidak memiliki skill/ keterampilan yang lain. Anak Ibu Sumarni yang bernama Marisa dan Yuni juga membantu perekonomian, setiap tiga bulan mereka mengirim uang sebesar Rp. 300.000 - Rp.400.000 melalui yayasan penyalur mereka bekerja. Sebelumnya Ibu Sumarni pernah mendapat bantuan dari pemerintah yaitu Bantuan Langsung Tunai ( BLT ) sebesar Rp. 300.000 setiap
(54)
empat bulan sekali, dan saat ini program bantuan tersebut sudah tidak ada lagi. Jika memiliki penghasilan lebih, Ibu Sumarni setiap bulannya menyisihkan penghasilannya Rp.10.000 sebagai tabungan atau simpanan untuk memenuhi kebutuhan hidup terutama untuk biaya berobat ketika sakit.
4.4.2.4. Nama : Wagiman
Usia : 47 Tahun
Status : Menikah Pendidikan terakhir : SD
Pak Wagiman adalah seorang pengrajin batu bata, Bapak Wagiman sudah 20 tahun sebagai pengrajin batu bata. Pak Wagiman memulai bekerja sebagai pengrajin batu bata semenjak berumah tangga hingga sampai saat ini. Dalam bekerja batu bata ini, Bapak Wagiman bekerja dengan istri, yang bernama Ibu Supianti ( 44 ). Adapun pekerjaan yang dilakukan mulai dari mencetak batu bata, dan nyiger (menyusun), semua dikerjakan bersama kecuali pekerjaan meluluh (melumatkan tanah) dan membakar batu bata. Kehidupan keluarga Bapak Wagiman sangat sederhana, kondisi rumah masih semipermanen, jenis bangunan rumah masih terbuat dari papan ( sudah lebih dari 10 tahun) dan tidak ada terlihat barang – barang mewah di dalamnya seperti kulkas, TV dan barang – barang elektronik lainnya. Selain itu Bapak Wagiman juga tidak memiliki saluran listrik sendiri dan masih menyambung dengan tetangga, istri Bapak Wagiman juga masih menggunakan kayu bakar untuk memasak.
Pengrajin batu bata ini merupakan mata pencaharian utama Bapak Wagiman. Setiap bulan pendapatan Bapak Wagiman tidak dapat ditentukan, rata - rata Bapak Wagiman
(55)
mendapat upah sebesar Rp.800.000. Bapak Wagiman tetap bertahan sebagi pengrajin batu bata disebabkan sudah tidak ada pilihan lagi.
Melihat kondisi seperti ini Bapak Wagiman terkadang sering kekurangan uang terutama dalam memenuhi kebutuhan keluarga, namun Bapak Wagiman masih sedikit terbantu dengan lahan sawit yang dimiliki meskipun tidak banyak, dalam 1 bulan lahan sawit Bapak Wagiman dari hasil penjualan mendapat Rp.400.000 akan tetapi jika masih kurang Bapak Wagiman meminjam uang sebesar Rp.100.000 pada agen sawit yang sudah langganan. Dalam hal ini istri Bapak Wagiman juga ikut bekerja dan berpartisipasi untuk membantu perekonomian keluarga dengan bekerja sebagai pencetak batu bata dengan tetangga mereka. Dalam 1 hari Ibu Supianti bisa mendapat upah sebesar Rp.25.000, sehingga penghasilan ini dapat sedikit membantu perekonomian keluarga Bapak Wagiman.
4.4.2.5. Nama : Wagino
Usia : 34 Tahun
Status : Menikah Pendidikan terakhir : SLTP
Bapak wagino merupakan seorang pengrajin batu bata. Bapak Wagino sudah 11 tahun sebagai pengrajin batu bata bersama istri yang bernama Ibu Warsi ( 35 ). Bapak Wagino memiliki 3 orang anak, 2 putra dan 1 putri yang masih duduk di bangku sekolah. Anak sulung Bapak Wagino adalah laki- laki dan sekarang kelas 3 SMA, namun anak sulungnya tidak ikut tinggal bersama Bapak Wagino tetapi tinggal bersama nenek atau orang tua dari Bapak Wagino di luar daerah, sedangkan anak ke 2 dan 3 Bapak Wagino adalah perempuan dan laki – laki yang masih duduk di bangku SD ( Sekolah Dasar ) yang masing – masing kelas 6 dan kelas 2 SD. Kondisi rumah Bapak Wagino masih sangat
(56)
sederhana, bangunan rumah masih terbuat dari papan ( sudah lebih dari 10 tahun ) dan masih semipermanen serta tidak terdapat barang – barang elektronik lain kecuali Televisi.
Pekerjaan membuat batu ini merupakan mata pencarian utama keluarga Bapak Wagino. Rata – rata pendapatan Bapak Wagino sebesar Rp 800.000 – Rp.900.000. Apabila pada saat musim hujan Bapak Wagino tidak akan bekerja, sehingga Bapak Wagino akan mencari pekerjaan serabutan seperti menjadi kuli bangunan, sebagai pemotong rumput, memanen sawit orang lain dan sebagai penjaga tenda ketika ada orang pesta di desa. Dari penghasilan ini keluarga Bapak Wagino sedikit terbantu, begitu juga dengan istri Bapak Wagino yaitu Ibu Warsi yang juga membantu dalam perekonomian keluarga. Ibu Warsi akan bekerja sebagai tukang cetak batu bata di tempat tetangga, dan dalam satu hari Ibu Warsi bisa mendapat upah Rp.25.000/hari tergantung berapa banyak jumlah batu bata yang telah dicetak.
4.4.2.6. Nama : Marjuki
Usia : 45 Tahun
Status : Menikah Pendidikan terakhir : SD
Bapak marjuki merupakan seorang pengrajin batu bata. Bapak Marjuki sudah 7 tahun bekerja sebagai pengrajin batu bata. Pekerjaan sebagai pengrajin batu bata ini merupakan mata pencaharian utama Bapak Marjuki. Sebelum Bapak Marjuki sebagai seorang pengrajin batu bata, Bapak Marjuki sempat bekerja di Kota Aceh pada tahun 1980 semenjak masih melajang sampai menikah, dan pada akhirnya pihak keluarga Bapak Marjuki melarang untuk merantau kembali dan menyuruh untuk mencari pekerjaan di desa yaitu bekerja sebagai pengrajin batu bata. Bapak Marjuki memiliki 2 orang putra, anak
(57)
sulung bernama Hera Setiawan ( 8 ) yang masih duduk di kelas 3 SD, dan anak bungsu Aldi Wardana ( 3 ) yang masih balita. Dalam bekerja sebagai pengrajin batu bata, Bapak Marjuki bekerja sebagai tukang meluluh atau melumatkan tanah yang akan dicetak menjadi batu bata. Sebagai kepala keluarga, Bapak Marjuki di bantu oleh istrinya. Biasanya istri Bapak Marjuki bekerja sebagai mencetak dan menyiger batu bata. Dengan partisipasi istri dalam bekerja, dapat sedikit membantu perekonomian keluarga Bapak Marjuki.
Bekerja sebagai pengrajin batu bata dengan upah yang minim membuat kondisi rumah Bapak Marjuki juga sangat sederhana dan jauh dari kata mewah, begitu juga dengan fasilitas barang – barang yang ada di dalam rumah. Walaupun serba kekurangan, Bapak Marjuki akan terus tetap bergantung hidup sebagi pekerja batu bata, hal ini dikarenakan tidak memiliki pilihan hidup untuk berganti kepekerjan yang lain, disamping adanya keterbatasan dan persaingan dunia kerja yang menuntut kualitas pendidikan seseorang. 4.4.2.7. Nama : Ibu Parni
Usia : 53 Tahun
Status : Menikah Pendidikan terakhir : SD
Ibu Parni merupakan seorang pengrajin batu bata yang bekerja sebagai seorang pencetak batu bata. Ibu Parni sudah 36 tahun bekerja sebagai pengrajin batu bata semenjak menikah. Suami Ibu Parni adalah bapak Lambang ( 57 ) yang bekerja sebagai seorang petani, namun Bapak Lambang juga sering membantu dalam proses produksi batu bata. Terkadang jika Ibu Parni memiliki sedikit modal, maka Ibu Parni juga akan memproduksi sendiri batu bata, namun sebaliknya jika Ibu Parni tidak memiliki modal akan bekerja mencetak batu bata pada ketetangga. Pekerjaan sebagai pengrajin batu bata merupakan
(58)
mata pencaharian utama Ibu Parni, adapun hasil dari sawah yang dikelolah oleh suami Ibu Parni sebagian untuk dikonsumsi sendiri dan selebihnya lagi dijual untuk menambah penghasilan. Dalam proses produksi batu bata ini, penghasilan Ibu Parni tidak dapat ditentukan setiap bulannya, biasanya rata- rata dalam sebulan Ibu Parni bisa mendapat gaji atau upah sebesar Rp.700.000, namun itu tidak dapat ditentukan dalam satu bulan apabila jika terjadi musim penghujan, maka Ibu Parni tidak akan bekerja. Jika terjadi musim penghujan Ibu Parni mendapat upah sebesar Rp.400.000 – Rp.500.000. Ibu Parni memiliki 6 orang anak, 4 laki – laki dan 2 perempuan. 4 orang anaknya sudah berumah tangga dan 2 orang laki masih belum menikah dan sekarang sedang bekerja di kota Medan sebagai Satpam dan pembantu rumah tangga. Terkadang Ibu Parni juga mendapat bantuan atau kiriman anaknya yang bekerja sebesar Rp.200.000 – Rp.300.000, tetapi itu tidak setiap bulan dikirim, hanya 2 atau 3 bulan sekali.
4.4.2.8. Nama : Ibu Giyem
Usia : 50 tahun
Status : Menikah Pendidikan terakhir : SD
Ibu giyem adalah seorang pencetak batu bata dan sudah 7 tahun bekerja sebagai pencetak batu bata. Dalam sehari ibu Giyem hanya dapat mencetak sebanyak 500 sampai 600 biji batu bata dan mendapat upah sebesar Rp.15.000 jika harga upah cetak batu Rp.25/biji dan tiap hari gaji atau upah yang diperoleh langsung diminta oleh pengusaha batu untuk membeli keperluan/ kebutuhan keluarga. Pencetak batu bata merupakan mata pencaharian utama Ibu Giyem, Suami Ibu Giyem bernama Bapak Rifin yang sama – sama bekerja sebagai pencetak batu bata namun jika Bapak Rifin kurang enak badan maka tidak
(1)
Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan dan ketulusan hati, penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H,MSc.( CTM )Sp.A(K) selaku Rektor universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dan para pembantu dekan serta seluruh staf pegawai dan administrasi.
3. Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si selaku Ketua Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
4. Bapak Drs. T. Ilham Saladin selaku Sekretaris Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Polotik.
5. Bapak/Ibu Dosen dan Staf Pengajar Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, semoga ilmu yang disampaikan kepada penulis dapat menjadikan bekal nantinya dan dapat penulis terapkan serta amalkan ditengah – tengah masyarakat.
6. Terkhusus untuk orang yang spesial bagi penulis yaitu Robi Binur dan Rina Humairah Mareta Sitorus yang sudah memberikan semangat, dukungan dan selalu mengingatkan ketika malas untuk mengerjakan skrispsi, sehingga penulis semangat untuk mengerjakan dan menyelesaikan skripsi ini.
7. Teman – teman seperjuangan yang sama – sama sedang menyelesaikan proses skripsi yaitu seluruh Angkatan 2008. Elfi Julianti, Diki, Sri, Rudi, Rizal, Imar, Imay, Vani, Yudis, Ruth, Reni, Amos, Richat, Robi, Raja, Sondang, Heberlin, Fikar, Mitha, Diki eko,
Santi, Poibe, Ratih, Nari, Puput, Gio, Bresman dan seluruh teman – teman Angkatan 2008 yang masih berjuang menyelesaikan skripsi. Selalu tetap semangat.
(2)
8. Rekan – rekan yang sudah Alumni. Anggre, silky, Ugi, Uci, Eninta, Reza, Esty, Burhan, Ririn, Ayu, Evlin, Nanda, Putra, Irma, Vera, Frina, Wistin, Judika, Putra, Leni, Salmen Belman, dan seluruh Alumni 2008 yang sudah terlebih dahulu, salam manis selalu dan semoga semuanya menjadi orang yang sukses dan berhasil. Amin……
9. Teman teman kos. Emel Cuantik, kak Ita, April, Novi, Linda ( Geng Karo ), terima kasih karena sudah memberikan semangat dan perhatian kepada penulis.
Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini dikemudian hari. Semoga skripsi ini bermanfaat dan menambah wawasan bagi kita semua. Akhir kata penulis mengucapkan banyak terimakasih .
Medan, 2013 Penulis
(3)
ABSTRAK
Sumber Daya Manusia ( SDM ) merupakan hal yang sangat fundamental disamping adanya Sumber Daya Alam yang ada. Pemanfaatan Sumber Daya Alam ( SDA ) yang tersedia tidak menentukan manusia dapat mencukupi segala kebutuhan hidup. Kemiskinan sering dikaitkan dengan adanya keterbatasan Sumber Daya Manusia itu sendiri disamping rendahnya kesempatan – kesempatan persaingan di dunia kerja. Dalam penelitian ini ada beberapa faktor penyebab kemiskinan, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Adapun yang dimaksud dengan dengan faktor internal dalam penelitian ini yaitu faktor yang berasal dari dalam diri individu itu sendiri, seperti tingkat pendidikan yang rendah, keterbatasan skill atau keahlian yang dimiliki, dan faktor kultur atau kebiasaan. Sedang faktor eksternal yaitu disebabkan oleh faktor diluar individu itu sendiri seperti tingkat pendapatan atau upah yang rendah, keterbatasan lapangan pekerjaan, kekuasaan agen dalam menentukan harga jual serta tidak adanya jaminan sosial (pensiun, kesehatan dan kematian ).
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor – faktor yang menyebabkan terjadinya kemiskinan pada pengrajin batu bata terutama bagi pekerja pengrajin batu bata serta untuk mengetahui bagaimana strategi adaptasi pengrajin batu bata dalam menghadapi situasi kemiskinan di Nagori Teluk Lapian, Kecamatan Ujung Padang, Kabupaten Simalungun.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kombinasi pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, kuesioner, dan wawancara mendalam.
Hasil penelitian menunjukan faktor – faktor kemiskinan terjadi para pengrajin batu bata yang ada di Nagori Teluk Lapian disebabkan karena 2 ( dua ) faktor, yakni faktor internal dan eksternal. Dalam kondisi kemiskinan tersebut, strategi bertahan hidup yang dilakukan adalah dengan pengolaan asset tenaga kerja ( labour asset ) yaitu dengan anak dan istri berpartisipasi dalam pengatur perekonomian keluarga. Selain itu mereka juga bertahan hidup dengan cara strategi jaringan yakni dengan meminjam uang atau barang kepada sanak saudara, tetangga maupun kepada pemilik atau pengusaha pengrajin batu bata di tempat mereka bekerja. Adanya kegiatan proses produksi batu bata mengakibatkan kerusakan lingkungan, hal ini disebabkan pola pikir mereka yang tidak memikirkan pelestarian lingkungan, sehingga tanah menjadi tidak produktif dan menurunnya nilai jual tanah.
(4)
DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN
KATA PENGANTAR………...i
ABSTRAK………iv
DAFTAR ISI………v
DAFTAR TABEL………...vii
BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakan………...……….. 1
1.2 Rumusan Masalah………..………... 8
1.3 Tujuan Penelitian………...……… 8
1.4 Manfaat Penelitian………...……….. 9
BAB II. KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kemiskinan………...………... 10
2.1.1 Ciri – cirri Kemiskinan………...………….. 10
2.1.2 Kemiskinan di Pedesaan………...………… 15
2.1.3 Sektor Informal di Pedesaan………...……….. 16
2.1.3.1 Jenis – jenis Sektor Informan………..…….. 18
2.1.3.2 Ciri - ciri Sektor Informa………...…… 19
2.2 Strategi Adaptasi………..……... 21
2.3 Stratifikasi Sosial………... 25
2.3.1 Hubungan Patron – klien………...…... 28
2.4 Defenisi Konsep………..…… 29
BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian………. 35
3.2 Lokasi Penelitian………... 36
3.3 Unit Analisis dan Informan………... 36
3.3.1 Unit Analisis……….. 36
(5)
3.4 Populasi dan Sampel………. 38
3.4.1 Populasi……….. 38
3.4.2 Sampel……… 38
3.5 Teknik Pengumpulan Data………... 39
3.6 Interpretasi Data……… 41
3.7 Jadwal Kegiatan……… 42
3.8 Keterbatasan Penelitian………. 43
BAB IV. DESKRIPSI WILAYAH DAN PROFIL INFORMAN 4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian……….. 44
4.1.1 Sejarah Nagori………... 44
4.1.2 Kondisi Demografis………... 48
4.2 Identitas Responden……….. 52
4.3 Tingkat Perekonomian Responden………... 56
4.4 Profil Informan………... 74
BAB V TEMUAN DAN INTERPRETASI DATA 5.1 Faktor – Faktor yang Menyebabkan Kemiskinan Pengrajin Batu Bata……… 92
5.1.1 Faktor Internal……… 92
5.1.2 Faktor Eksternal………. 98
5.2 Coping Strategi………... 108
5.2.1 Asset Tenaga Kerja ( Labour Asset )………... 109
5.2.2 Strategi Jaringan Sosial Demi Pemenuhan Kebutuhan Keluarga……… 114
5.2.3 Pemanfaatan Tanaman Liar………. 118
5.2.4 Penerapan Ekonomi Subsistem……… 120
5.2.5 Mencari Pekerjaan Sampingan……… 121
5.3 Dampak Kegiatan Produksi Batu Bata………... 123
BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan………. 125
6.2 Saran………... 126
(6)
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Luas Lahan Menurut Penggunaan di Nagori Teluk Lapian Tahun 2011……….. 46
Tabel 2 Status Kepemilikan Tanah………. 47
Tabel 3 Penduduk Nagori Teluk Lapian Berdasarkan Jenis Kelamin dan Agama………. 49
Tabel 4 Sarana dan Prasarana………. 51
Tabel 4.2.1 Usia Responden………... 52
Tabel 4.2.2 Pekerjaan Responden………... 53
Tabel 4.2.3 Suku Bangsa Responden……….. 54
Tabel 4.2.3 Pendidikan Terakhir Responden……….. 55
Tabel 4.3.1 Distribusi Kepemilikan Rumah Berdasarkan Luas Bangunan……… 56
Tabel 4.3.2 Identitas Responden Berdasarkan Jenis Lantai Bangunan……….. 57
Tabel 4.3.3 Identitas Responden Berdasarkan Kepemilikan Jenis Dinding Rumah…………... 57
Tabel 4.3.4 Identitas Responden Berdasarkan Fasilitas Kepemilikan MCK/WC……….. 58
Tabel 4.3.5 Identitas Responden Berdasarkan Kepemilikan Sumber Penerangan Rumah……. 59
Tabel 4.3.6 Identitas Responden Berdasarkan Sumber Air Minum………... 60
Tabel 4.3.7 Identitas Responden Berdasarkan Bahan Memasak……… 61
Tabel 4.3.8 Identitas Responden Berdasarkan Pendapatan Rata – Rata dalam 1 Bulan…... 62
Tabel 4.3.9 Identitas Responden Berdasarkan Biaya Makan dalam Satu Bulan……… 63
Tabel 4.3.10 Identitas Responden Berdasarkan Intensitas Konsumsi Susu dalam 1 Bulan…... 64
Tabel 4.3.11 Identitas Responden Berdasarkan Intensitas Konsumsi Daging dalam 1 Bulan... 65
Tabel 4.3.12 Identitas Responden Berdasarkan Kemampuan Membeli Pakaian dalam 1 tahun 66 Tabel 4.3.13 Identitas Responden BerdasarkanKemampuan dalam Akses Berobat………….. 67
Tabel 4.3.14 Identitas Responden Berdasarkan Akses Kekayaan……….. 68
Tabel 4.3.15 Identitas Responden Berdasarkan Tanggungan Seluruh Keluarga……… 69
Tabel 4.3.16 Identitas Responden Berdasarkan Jumlah Anak yang Dibiayai Pendidikannya... 70
Tabel 4.3.17 Identitas Responden Berdasarkan Biaya Sekolah Anak dalam 1 Bulan………… 71
Tabel 4.3.18 Identitas Responden Berdasarkan Kendaraan Sepeda Motor Kredit………. 72