Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Sektor Pendidikan Dan Kesehatan, Pertumbuhan Ekonomi, Dan Kemiskinan Terhadap Indeks Pembangunan Manusia Di Sumatera Utara

29

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Teori Pengeluaran Pemerintah
Dalam kebijakan fiskal dikenal ada beberapa kebijakan anggaran, yaitu

anggaran berimbang, anggaran surplus dan anggran defisit. Dalam pengertian
umum, anggaran berimbang adalah suatu kondisi dimana penerimaan sama
dengan pengeluaran (G = T).
Anggaran surplus yaitu pengeluaran lebih kecil dari penerimaan (G < T)
sedangkan anggaran defisit adalah anggaran dimana komposisi pengeluaran lebih
besar daripada penerimaan (G > T). Anggaran surplus digunakan jika pemerintah
ingin mengatasi masalah inflasi sedangkan anggaran defisit digunakan jika
pemerintah ingin mengatasi masalah pengangguran dan peningkatan pertumbuhan
ekonomi. Jika pemerintah merencanakan peningkatan pertumbuhan ekonomi
untuk mengurangi angka pengangguran, pemerintah dapat meningkatkan
pengeluarannya. Pengeluaran pemerintah terdiri dari pengeluaran rutin dan

pengeluaran pembangunan. Sampai dengan tahun 2004, rincian belanja
pemerintah pusat masih terdiri dari: (1) pengeluaran rutin dan (2) pengeluaran
pembangunan. Namun sejak tahun 2005 mulai diterapkan penyatuan anggaran
(unified budged) antara pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan.
2.1.1. Kebijakan Anggaran Pemerintah Terhadap Pendidikan dan
Kesehatan
Pengalokasian anggaran pemerintah untuk sektor pendidikan dan
kesehatan merupakan bagian yang terpenting dalam kebijakan anggaran (Rosen
dalam Brata: 2005). Kebijakan ini dikaitkan peran pemerintah sebagai penyedia

30

barang publik. Dampak eksternalitas (eksternalitas positif) dari kebijakan
pengalokasian anggaran untuk kedua bidang tersebut tentunya diharapkan
berpengaruh pada peningkatan tingkat pendidikan dan kesehatan bila anggaran
yang digunakan sesuai dengan yang diharapkan.
a.

Pengeluaran Pemerintah untuk Sektor pendidikan
Proporsi pengeluaran pemerintah untuk sektor pendidikan, baik terhadap


total pengeluaran pembangunan maupun produk Domestik Bruto, secara tidak
langsung menunjukkan reaksi pemerintah atas semakin tingginya permintaan atas
sarana dan prasarana pendidikan. Secara tidak langsung hal itu menunjukkan
seberapa jauh masyarkat menyadari pentingnya peranan pendidikan.
Secara umum rasionya dapat dituliskan sebagai berikut (Susanti: 1995):
Pengeluaran untuk Sektor pendidikan
Total Pengeluaran Pembangunan
dan
Pengeluaran untuk Sektor pendidikan
Produk Domestik Bruto
b.

Pengeluaran Pemerintah untuk Sektor kesehatan
Besarnya

pengeluaran

pemerintah


untuk

sub

sektor

kesehatan

menunjukkan seberapa jauh prioritas alokasi dana pemerintah untuk subsektor ini.
Pada umumnya yang dilihat adalah besarnya rasio antara pengeluaran untuk
sektor kesehatan terhadap total pengeluaran pembangunan dan terhadap PDB,
atau:
Pengeluaran untuk Sektor kesehatan
Total Pengeluaran Pembangunan
dan
Pengeluaran untuk Sektor kesehatan
Produk Domestik Bruto

31


Dalam anggaran Pembangunan dan Belanja Negara pengeluaran
pembangunan untuk subsektor kesehatan adalah dibawah sektor Kesejahteraan
Sosial dan Peranan Wanita, serta Kependudukan dan Keluarga Berencana
(Susanti: 1995).
2.1.2. Teori Rostow dan Musgrave
Rostow dan Musgrave mengembangkan teori yang menghubungkan
perkembangan pengeluaran pemerintah dan tahap-tahap pembangunan ekonomi:
Tahap Awal:
Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah
terhadap total investasi besar, sebab pemerintah harus meyediakan prasarana
seperti misalnya pendidikan, kesehatan, prasarana transportasi, dan sebagainya.
Tahap Menengah:
Pembangunan ekonomi, investasi pemerintah dapat tinggal landas, namun
peran investasi swasta sudah semakin membesar. Peranan swasta yang semakin
besar ini banyak menimbulkan kegagalan pasar, dan pemerintah harus
menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih banyak dan kualitas
yang lebih baik.
Tahap Lanjut:
Pembangunan ekonomi dan aktifitas pemerintah beralih dari penyediaan
prasarana ke pengeluaran-pengeluaran untuk aktifitas sosial seperti program

kesejahteraan hari tua dan program pelayanan kesehatan masyarakat.

32

2.1.3. Hukum Wagner
Wagner mengembangkan teori mengenai perkembangan persentase
pengeluaran pemerintah yang semakin besar terhadap GNP didasarkan
pengamatan di negara Eropa, Amerika Serikat dan Jepang pada abad ke-19.
Dalam satu perekonomian apabila pendapatan perkapita meningkat, secara
relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Terutama disebabkan karena
pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat, hukum,
pendidikan, kebudayaan dan sebagainya.
Pk PP 1
PPK 1

>

Pk PP 2
PPK 2


Dimana:

>⋯>

Pk PPn
PPKn

PkPP : pengeluaran pemerintah perkapita
PPk

: pendapatan perkapita

1, 2, n : waktu (tahun)
Wagner mendasarkan pandangannya pada suatu teori yang disebut organic
theory of state yaitu teori yang menganggap pemerintah sebagai individu yang
bebas bertindak, terlepas dengan masyarakat yang lain. Sebagaimana ditunjukkan
dalam gambar 2.1 secara relatif peranan pemerintah semakin meningkat. Menurut
Wagner ada lima hal yang menyebabkan pengeluaran pemerintah selalu
meningkat yaitu: tuntutan peningkatan perlindungan keamanan dan pertahanan,
kenaikan


tingkat

pendapatan

masyarakat,

urbanisasi

yang

mengiringi

pertumbuhan ekonomi, perkembangan demografi dan ketidakefesienan birokrasi
yang mengiringi perkembangan pemerintah (Dumairy, 1997).
Pertumbuhan ekonomi akan menyebabkan hubungan antara industriindustri dan hubungan industri dengan masyarakat akan semakin rumit dan

33

kompleks sehingga potensi terjadinya kegagalan eksternalitas negatif menjadi

semakin besar. Namun hukum Wagner terdapat kelemahan yaitu tidak didasar
pada suatu teori pemilihan barang-barang publik. Hukum Wagner ini ditunjukkan
dalam gambar 2.1, dimana kenaikan pengeluaran pemerintah mempunyai bentuk
eksponensial yang ditunjukkan oleh kurva 1 di bawah ini:

Pengeluaran Pemerintah

Kurva 1

Kurva 2

Waktu

Sumber: Mangkoesoebroto, 2001
Gambar 2.1. Pertumbuhan Pengeluaran Pemerintah Menurut Wagner

2.2.

Pertumbuhan Ekonomi


2.2.1. Teori Pertumbuhan Ekonomi Model Solow
Robert Solow menggunakan model yang merupakan pengembangan dari
formulasi Harrod-Domar, dengan menambahkan faktor kedua yakni teknologi,
kedalam persamaan pertumbuhan (growth equation). Model pertumbuhan
neoklasik Solow berpegang pada konsep skala hasil yang terus berkurang

34

(diminishing return) dari input tenaga kerja dan modal jika keduanya dianalisis
secara terpisah: jika dianalisis secara bersamaan dan sekaligus, Solow juga
memakai hasil tetap tersebut. Kemajuan teknologi ditetapkan sebagai faktor residu
untu menjelaskan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang, dan tinggi
rendahnya pertumbuhan itu tersendiri oleh Solow maupun para teoretisi lainnya
diasumsikan bersifat eksogen, atau selalu dipengaruhi oleh berbagai macam
faktor.
Dalam bentuknya yang lebih formal, model pertumbuhan neoklasik Solow
memakai fungsi produksi agregat standar yakni:
Y = AeµtKα L1-α
Dimana Y adalah produk domestik bruto, K adalah stok modal fisik dan
modal manusia, L adalah tenaga kerja nonterampil, A adalah suatu konstanta yang

merefleksikan tingkat teknologi dasar, sedangkan e melambangkan konstanta
tingkat kemajuan teknologi. Adapun simbol melambangkan elastisitas out put
terhadap modal (persentase kenaikan GDP yang bersumber dari 1 persen
penambahan modal fisik dan modal manusia). Hal itu biasanya dihitung secara
statistik sebagai pangsa modal dalam total pendapatan nasional suatu negara.
Karena diasumsikan kurang dari 1 dan modal swasta diasumsikan dibayar
berdasarkan produk marjinalnya sehingga tidak ada ekonomi eksternal, maka
formulasi teori pertumbuhan neoklasik ini memunculkan skala hasil modal dan
tenaga kerja yang terus berkurang (diminishing return).
Ringkasnya teori Neoklasik Solow berpendapat bahwasanya sebagian
besar pertumbuhan ekonomi tersebut bersumber dari hal-hal yang bersifat

35

“eksogen” atau proses-proses kemajuan teknologi yang sepenuhnya independent
(Todaro: 2000).
2.2.2. Teori Pertumbuhan Endogen
Teori pertumbuhan yang baru menyajikan suatu kerangka teoritis untuk
menganalisis apa yang disebut sebagai pertumbuhan endogen atau proses
pertumbuhan GNP yang bersumber dari suatu sistem yang mengatur proses

produksi.
Model-model pertumbuhan endogen menyatakan bahwa pertumbuhan
GNP itu sebenarnya merupakan suatu konsekuensi alamiah atas adanya
ekuilibrium jangka panjang.
Model-model pertumbuhan endogen menyatakan bahwa hasil investasi
justru akan semakin tinggi bila produksi agregat di suatu Negara semakin besar;
lebih lanjut, model ini juga memberikan perhatian yang besar kepada peranan
eksternalitas dalam penentuan tingkat hasil investasi permodalan. Dengan
mengasumsikan bahwa investasi swasta dan publik (pemerintah) di bidang
sumber daya atau modal manusia dapat menciptakan ekonomi eksternal
(eksternalitas positif) dan memacu peningkatan produktivity yang mampu
mengimbangi kecenderungan alamiah penurunan skala hasil.
Model pertumbuhan endogen memiliki persamaan sebagai berikut:
Y = AK
Dimana A mewakili setiap faktor yang memperngaruhi teknologi,
sedangkan K melambangkan modal fisik dan modal manusia yang ada.
Dari model pertumbuhan endogen ini dapat diketahui bahwa potensi
keuntungan investasi yang tinggi di negara-negara berkembang yang rasio modal

36

tenaga kerjanya masih rendah, ternyata terkikis oleh rendahnya tingkat investasi
komplementer (complementary investment) dalam modal atau sumber daya
manusia (terutama melalui pengembangan fasilitas dan lembaga pendidikan),
sarana-sarana infrastruktur serta aneka kegiatan penelitian dan pegembangan.
Model pertumbuhan endogen melihat perubahan teknologi sebagai hasil
endogen dari investasi dalam sumber daya manusia dan industri-industri padat
teknologi, baik itu yang dilakukan oleh pihak swasta maupun pemerintah. Modelmodel pertumbuhan endogen menganjurkan keikutsertaan pemerintah secara aktif
dalam pengelolaan perekonomian nasional demi mempromosikan pembangunan
ekonomi melalui investasi langsung dan tidak langsung dalam pembentukan
modal manusia dan mendorong investasi swasta asing dalam industri padat
teknologi seperti perangkat lunak komputer dan telekomunikasi (Todaro: 2000).
2.2.3. Pendidikan dan Kesehatan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Pendidikan dan kesehatan merupakan komponen yang paling vital dalam
pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, keduanya merupakan sumber input bagi
total fungsi produksi (the agregate function). (Todaro: 2003)
Menurut

meraka

pendidikan

dan

pembangunan juga merupakan prasyarat

kesehatan,

selain

dari

tujuan

untuk meningkatkan produktifitas.

Selain dari pada itu kemampuan untuk menyerap tekhnologi modren juga
disebabkan oleh tingginya kemampuan sumber daya manusia sehingga mampu
untuk semakin meningkatkan mesin-mesin ekonomi dalam menggerakkan
pertumbuhan ekonomi.

37

2.3.

Kemiskinan

2.3.1. Pengertian Kemiskinan dan Pembagiannya
United Nations Development Programme (UNDP) mendefinisikan
kemiskinan sebagai kelaparan, ketiadaan tempat berlindung, ketidakmampuan
berobat ke dokter jika sakit, tidak mempunyai akses ke sekolah dan buta huruf,
tidak mempunyai pekerjaan, takut akan masa depan, hidup dalam hitungan harian,
ketidakmampuan

mendapatkan

air

bersih,

ketidakberdayaan,

tidak

ada

keterwakilan dan kebebasan.
Dalam arti sederhana kemiskinan dipahami sebagai keadaan kekurangan
uang dan barang untuk menjamin kelangsungan hidup. Dalam arti luas,
kemiskinan merupakan suatu fenomena multidimensional (Suryawati; 2005).
Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan
memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini,
kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk
memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi
pengeluaran. Dengan pendekatan ini, dapat dihitung Head Count Index, yaitu
persentase penduduk miskin terhadap total penduduk.
Chamber yang dikutip dalam Suradi (2007) mendefinisikan kemiskinan
sebagai “... suatu keadaan melarat dan ketidakberuntungan, suatu keadaan minus
(deprivation)”, bila dimasukkan dalam konteks tertentu, hal itu berkaitan dengan
“minimnya pendapatan dan harta, kelemahan fisik, isolasi, kerapuhan dan
ketidakberdayaan”. Kemudian oleh Sen dalam Suradi (2007) mengungkapkan
bahwa terdapat inti absolut dari kemiskinan. Kelaparan yang melanda mereka
menjadi sebuah perspektif dari kemiskinan, demikian juga dengan ketidakmam-

38

puan dalam kehinaan sosial dan ketidakmampuan dalam mendidik anak-anak
(pendidikan) serta merawat kesehatan anak-anak.
Karena itu, kemiskinan bukan hanya hidup dalam kekurangan uang, tetapi
juga banyak hal lain, seperti: tingkat kesehatan, pendidikan rendah, perlakuan
tidak adil dalam hukum, kerentanan terhadap ancaman tindak kriminal,
ketidakberdayaan

menghadapi

kekuasaan,

dan

ketidakberdayaan

dalam

menentukan jalan hidupnya sendiri.
Kemiskinan dapat dibagi dalam empat bentuk, yaitu:
a.

Kemiskinan absolut: bila pendapatannya di bawah garis kemiskinan atau
tidak cukup untuk memenuhi pangan, sandang, kesehatan, perumahan, dan
pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja.

b.

Kemiskinan

relatif:

kondisi

miskin

karena

pengaruh

kebijakan

pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat, sehingga
menyebabkan ketimpangan pada pendapatan.
c.

Kemiskinan kultural: mengacu pada persoalan sikap seseorang atau
masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya, seperti tidak mau
berusaha memperbaiki tingkat kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif
meskipun ada bantuan dari pihak luar.

d.

Kemiskinan struktural: situasi miskin yang disebabkan karena rendahnya
akses terhadap sumber daya yang terjadi dalam suatu sistem sosial budaya
dan sosial politik yang tidak mendukung pembebasan kemiskinan, tetapi
seringkali menyebabkan suburnya kemiskinan. (Suryawati: 2005)

39

Dalam perkembangan terakhir, kemiskinan struktural lebih banyak
menjadi sorotan sebagai penyebab tumbuh dan berkembangnya ketiga kemiskinan
yang lain.
2.3.2. Karakteristik Penduduk Miskin
Walaupun kemiskinan merupakan istilah yang umum, ditandai dengan
tidak mampunya seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal yang
dianggap layak, namun kemiskinan itu memiliki ciri yang berbeda antar wilayah.
Perbedaan ini terkait pada kemiskinan sumber daya alam (SDA), sumber daya
manusia (SDM) dan kelembagaan setempat.
Ciri-ciri kelompok (penduduk) miskin, yaitu:
a.

Rata-rata tidak mempunyai faktor produksi sendiri seperti tanah, modal,
peralatan kerja dan keterampilan.

b.

Mempunyai tingkat pendidikan yang rendah.

c.

Kebanyakan bekerja atau berusaha sendiri dan bersifat usaha kecil (sektor
informal), setengah menganggur atau menganggur (tidak bekerja).

d.

Kebanyakan berada di daerah pedesaan atau daerah tertentu perkotaan
(slum area).

e.

Kurangnya kesempatan untuk memperoleh (dalam jumlah yang cukup),
bahan kebutuhan pokok, pakaian, perumahan, fasilitas kesehatan sosial
lainnya. (Suryawati: 2005)
Kelompok penduduk miskin yang berada pada masyarakat pedesaan dan

perkotaan, pada umumnya dapat digolongkan pada buruh tani, petani gurem,
pedagang kecil, buruh, pedagang kaki lima, pedagang asongan, pemulung,
pengemis dan pengangguran.

40

2.3.3. Penyebab Kemiskinan
Nasikun (dalam Suryawati: 2005) menyoroti beberapa sumber dan proses
penyebab terjadinya kemiskinan, yaitu:
a.

Policy

induces

processes:

proses

pemiskinan

yang

dilestarikan,

direproduksi melalui pelaksanaan suatu kebijakan (induced of policy)
diantaranya adalah kebijakan antikemiskinan, tetapi realitanya justru
melestarikan.
b.

Socio-economic dualism: negara ekskoloni mengalami kemiskinan karena
pola produksi kolonial, yaitu petani menjadi marjinal karena tanah yang
paling subur dikuasai petani skala besar dan berorientasi ekspor.

c.

Population growth: perspektif yang didasari pada teori Malthus bahwa
pertambahan penduduk seperti deret ukur sedang pertambahan pangan
seperti deret hitung.

d.

Recources

management

and

the

environment:

adanya

unsur

mismanagement sumber daya alam dan lingkungan, seperti manajemen
pertanian yang asal tebang akan menurunkan produktivitas.
e.

Natural cycles and processes: kemiskinan terjadi karena siklus alam.
Misalnya tinggal di lahan kritis, di mana lahan ini jika turun hujan akan
terjadi banjir tetapi jika musim kemarau akan kekurangan air, sehingga
tidak memungkinkan produktivitas yang maksimal dan terus-menerus.

f.

The marginalization of woman: peminggiran kaum perempuan karena
perempuan masih dianggap sebagai golongan kelas kedua, sehingga akses
dan penghargaan hasil kerja yang diberikan lebih rendah dari laki-laki.

41

g.

Cultural and ethnic factors: bekerjanya faktor budaya dan etnik yang
memelihara kemiskinan. Misalnya, pola hidup konsumtif pada petani dan
nelayan ketika panen raya, serta adat istiadat yang konsumtif saat upacara
adat atau keagamaan.

h.

Exploitative

intermediation:

keberadaan

penolong

yang

menjadi

penodong, seperti rentenir (lintah darat).
i.

Internal political fragmentation and civil stratfe: suatu kebijakan yang
diterapkan pada suatu daerah yang fragmentasi politiknya kuat, dapat
menjadi penyebab kemiskinan.

j.

International

processes:

bekerjanya

sistem-sistem

internasional

(kolonialisme dan kapitalisme) membuat banyak negara menjadi semakin
miskin.
Selain beberapa faktor di atas, penyebab kemiskinan di masyarakat
khususnya di pedesaan disebabkan oleh keterbatasan aset yang dimiliki, yaitu:
a.

Natural assets: seperti tanah dan air, karena sebagian besar masyarakat
desa hanya menguasai lahan yang kurang memadai untuk mata
pencahariannya.

b.

Human assets: menyangkut kualitas sumber daya manusia yang relatif
masih rendah dibandingkan masyarakat perkotaan (tingkat pendidikan,
pengetahuan, keterampilan maupun tingkat kesehatan dan penguasaan
teknologi).

c.

Physical assets: minimnya akses ke infrastruktur dan fasilitas umum
seperti jaringan jalan, listrik, dan komunikasi di pedesaan.

42

d.

Financial assets: berupa tabungan, serta akses untuk memperoleh modal
usaha.

e.

Social assets: berupa jaringan, kontak dan pengaruh politik, dalam hal ini
kekuatan bargaining position dalam pengambilan keputusan- keputusan
politik.

2.3.4. Kemiskinan dalam Dimensi Ekonomi
Dimensi ekonomi dari kemiskinan diartikan sebagai kekurangan sumber
daya yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang,
baik secara finansial maupun semua jenis kekayaan yang dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Dikategorikan miskin bilamana seseorang atau
keluarga tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok minimnya, seperti: sandang,
pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan. Dimensi ekonomi dapat diukur dengan
nilai rupiah meskipun harganya selalu berubah-ubah tergantung pada tingkat
inflasi rupiah.
Kemiskinan dalam dimensi ekonomi paling mudah untuk diamati, diukur,
dan diperbandingkan. Ada beberapa metode pengukuran tingkat kemiskinan yang
dikembangkan di Indonesia, yaitu:
a.

Badan Pusat Statistik (BPS): tingkat kemiskinan didasarkan pada jumlah
rupiah konsumsi berupa makanan yaitu kurang dari 2100 kalori per orang
per hari (dari 52 jenis komoditi yang dianggap mewakili pola konsumsi
penduduk yang berada di lapisan bawah), dan konsumsi nonmakanan (dari
45 jenis komoditi makanan sesuai kesepakatan nasional dan tidak
dibedakan antara wilayah pedesaan dan perkotaan). Patokan kecukupan
2100 kalori ini berlaku untuk susunan umur, jenis kelamin, dan perkiraan

43

tingkat kegiatan fisik, berat badan, serta perkiraan status fisiologis
penduduk.
b.

Sayogyo: tingkat kemiskinan didasarkan jumlah rupiah pengeluaran rumah
tangga yang disetarakan dengan jumlah kilogram konsumsi beras per
orang per tahun dan dibagi wilayah pedesaan dan perkotaan.
Daerah pedesaan:
a. Miskin: bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 320 kg nilai
tukar beras per orang per tahun.
b. Miskin sekali: bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 240 kg
nilai tukar beras per orang per tahun.
c. Paling miskin: bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 180 kg
nilai tukar beras per orang per tahun.
Daerah perkotaan:
a. Miskin: bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 480 kg nilai
tukar beras per orang per tahun.
b. Miskin sekali: bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 380 kg
nilai tukar beras per orang per tahun.
c. Paling miskin: bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 270 kg
nilai tukar beras per orang per tahun.

c.

Bank Dunia: Bank Dunia mengukur garis kemiskinan berdasarkan pada
pendapatan seseorang kurang dari US$1 per hari (setara Rp 9.600,00 per
hari).

d.

Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN): mengukur
kemiskinan berdasarkan kriteria Keluarga Pra Sejahtera (Pra KS) dan

44

Keluarga Sejahtera I (KS 1). Kriteria Keluarga Pra KS yaitu keluarga yang
tidak mempunyai kemampuan untuk menjalankan perintah agama dengan
baik, minimum makan dua kali sehari, membeli lebih dari satu stel pakaian
per orang per tahun, lantai rumah bersemen lebih dari 80persen, dan
berobat ke Puskesmas bila sakit. Kriteria Keluarga Sejahtera 1 (KS 1)
yaitu keluarga yang tidak berkemampuan untuk melaksanakan perintah
agama

dengan

baik,

minimal

satu

kali

per

minggu

makan

daging/telor/ikan, membeli pakaian satu stel per tahun, rata-rata luas 2
lantai rumah 8 m per anggota keluarga, tidak ada anggota keluarga umur
10 sampai 60 tahun yang buta huruf, semua anak berumur antara 5 sampai
15 tahun bersekolah, satu dari anggota keluarga mempunyai penghasilan
rutin atau tetap, dan tidak ada yang sakit selama tiga bulan.

2.4.

Indeks Pembangunan Manusia

2.4.1. Definisi Pembangunan Manusia dan Pengukurannya
UNDP (United Nation Development Programme) mendefenisikan
pembangunan manusia sebagai suatu proses untuk memperluas pilihan-pilihan
bagi penduduk “enlarging people’s choices”. Dalam konsep tersebut penduduk
ditempatkan sebagai tujuan akhir (the ultimated end) sedangkan upaya
pembangunan dipandang sebagai sarana (principal means) untuk mencapai tujuan
itu. Untuk menjamin tercapainya tujuan pembangunan manusia, empat hal pokok
yang perlu diperhatikan adalah produktivitas, pemerataan, kesinambungan,
pemberdayaan (UNDP, 1995). Secara ringkas empat hal pokok tersebut
mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut:

45

1.

Produktivitas
Penduduk harus dimampukan untuk meningkatkan produktivitas dan
berpartisipasi penuh dalam proses penciptaan pendapatan dan nafkah.
Pembangunan ekonomi, dengan demikian merupakan himpunan bagian
dari model pembangunan manusia.

2.

Pemerataan
Penduduk harus memiliki kesempatan/peluang yang sama untuk
mendapatkan akses terhadap semua sumber daya ekonomi dan sosial.
Semua hambatan yang memperkecil kesempatan untuk memperoleh akses
tersebut harus dihapus, sehingga mereka dapat mengambil manfaat dari
kesempatan yang ada dan berpartisipasi dalam kegiatan produktif yang
dapat meningkatkan kualitas hidup.

3.

Kesinambungan
Akses terhadap sumber daya ekonomi dan sosial harus dipastikan tidak
hanya untuk generasi-generasi yang akan datang. Semua sumber daya
fisik, manusia, dan lingkungan selalu diperbaharui.

4.

Pemberdayaan
Penduduk harus berpartisipasi penuh dalam keputusan dan proses yang
akan

menentukan

(bentuk/arah)

kehidupan

mereka,

serta

untuk

berpartisipasi dan mengambil manfaat dari proses pembangunan.
Sebenarnya paradigma pembangunan manusia tidak berhenti sampai
disana. Pilihan-pilihan tambahan yang dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat
luas seperti kebebasan politik, ekonomi dan sosial, sampai kesempatan untuk
menjadi kreatif dan produktif, dan menikmati kehidupan yang sesuai dengan

46

harkat pribadi dan jasmani hak-hak azasi manusia merupakan bagian dari
paradigma tersebut. Dengandemi kian, paradigma pembangunan manusia
memiliki dua sisi. Sisi pertama berupa informasi kapabilitas manusia seperti
perbaikan taraf kesehatan, pendidikan dan keterampilan. Sisi lainnya adalah
pemanfaatan kapabilitas mereka untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat produktif,
kultural, sosial dan politik. Jika kedua sisi itu tidak seimbang maka hasilnya
adalah frustasi masyarakat.
Konsep pembangunan manusia dalam pengertian di atas jauh lebih baik
dari pada teori-teori pembangunan ekonomi yang konvensional termasuk model
pertumbuhan ekonomi, pembangunan sumber daya manusia (SDM), pendekatan
kesejateraan dan pendekatan kebutuhan-kebutuhan dasar manusia. Model
pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan peningkatan pendapatan dan produksi
nasional (GNP). Pembangunan manusia terutama sebagai input dari proses
produksi (sebagai suatu sarana bukan tujuan). Pendekatan kesejahteraan melihat
manusia sebagai agen perubahan dalam pembangunan. Pendekatan kebutuhan
dasar memfokuskan pada penyediaan barang dan jasa kebutuhan hidup.
Untuk dapat membuat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) maka UNDP
mensponsori sebuah proyek tahun 1989 yang dilaksanakan oleh tim ekonomi dan
pembangunan. Tim tersebut menciptakan kemampuan dasar. Kemampuan dasar
itu adalah umur panjang, pengetahuan dan daya beli. Umur panjang yang
dikuantifikasikan dalam umur harapan hidup saat lahir atau sering disebut Angka
Harapan Hidup/AHH (e0). Pengetahuan dikuantifikasikan dalam kemampuan baca
tulis/

angka

melek

huruf

dan

rata-rata

lama

bersekolah.

Daya

beli

47

dikuantifikasikan terhadap kemampuan mengakses sumberdaya yang dibutuhkan
untuk mencapai standar hidup yang layak.
Nilai IPM suatu negara atau wilayah menunjukkan seberapa jauh negara
atau wilayah itu telah mencapai sasaran yang ditentukan yaitu angka harapan
hidup 85 tahun, pendidikan dasar bagi semua lapisan masyarakat (tanpa kecuali),
dan tingkat pengeluaran dan konsumsi yang telah mencapai standar hidup yang
layak. Semakin dekat nilai IPM suatu wilayah terhadap angka 100, semakin dekat
jalan yang harus ditempuh untuk mencapai sasaran itu.
Karena hanya mencakup tiga komponen, maka IPM harus dilihat sebagai
penyederhanaan dari realitas yang kompleks dari luasnya dimensi pembangunan
manusia. Oleh karena itu, pesan dasar IPM perlu dilengkapi dengan kajian dan
analisis yang dapat mengungkapkan dimensi-dimensi pembangunan manusia yang
penting lainnya (yang tidak seluruhnya dapat diukur) seperti kebebasan politik,
kesinambungan lingkungan, kemerataan antar generasi.
Indeks Pembangunan Manusia merupakan alat ukur yang peka untuk dapat
memberikan gambaran perubahan yang terjadi, terutama pada komponen daya
beli yang dalam kasus Indonesia sudah sangat merosot akibat krisis ekonomi yang
terjadi sejak pertengahan tahun 1997. Krisis ekonomi dan moneter tersebut
berdampak pada tingkat pendapatan yang akibatnya banyak PHK dan menurutnya
kesempata kerja yang kemudian dipengaruhi tingkat inflasi yang tinggi selama
tahun 1997-1998. Menurutnya tingkat kesempatan kerja dalam konteks
pembangunan manusia merupakan terputusnya jembatan yang menghubungkan
antara pertumbuhan ekonomi dengan upaya peningkatan kapasitas dasar
penduduk.

48

Dampak dari krisis ekonomi pada pembangunan manusia adalah dengan
menurunnya daya beli dan ini juga berarti terjadinya penundaan upaya
peningkatan kapasitas fisik dan kapasitas intelektual penduduk. Penurunan
beberapa komponen IPM sebagai akibat kepekaan IPM sebagai alat ukur yang
dapat menangkap perubahan nyata yang dialami penduduk dalam jangka pendek.
2.4.2. Pembangunan Manusia Indonesia Seutuhnya
Pembangunan nasional Indonesia sesungguhnya menurut GBHN yang
kemudian dijabarkan ke dalam Repelita adalah pembangunan yang menganut
konsep pembangunan manusia. Konsep pembangunan manusia seutuhnya
merupakan konsep yang menghendaki peningkatan kualitas hidup penduduk baik
secara fisik, mental maupun dilakukan menitikberatkan pada pembangunan
sumber daya manusia secara fisik dan mental mengandung makna peningkatan
kapasitas dasar penduduk yang kemudian akan memperbesar kesempatan untuk
dapat berpartisipasi dalam proses pembangunan yang berkelanjutan.
Azas pemerataan merupakan salah satu trilogi pembangunan yang akan
diimplementasikan dalam berbagai program pembangunan, adalah salah satu
prinsip pembangunan manusia. Melalui strategi delapan jalur pemerataan,
kebijakan pembangunan mengarah pada pemihakan terhadap kelompok penduduk
yang tertinggal. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi, peningkatan kualitas fisik
dan mental penduduk dilakukan pemerintah melalui pembangunan di sektor
pendidikan dan kesehatan dasar. Di sektor ekonomi azas pemerataan yang
diimplementasikan antara lain adalah dengan memberikan pengaruh yang sangat
besar oleh karena sektor pertanian menyerap tenaga kerja terbanyak. Juga upaya

49

pemberdayaan dilakkukan usaha bagi penduduk miskin melalui program Inpres
Desa Tertinggal (IDT) dan Program Kukesra serta Takesra.
Pembangunan di bidang sosial yang sangat mengesankan adalah upaya
pengendalian jumlah penduduk melalui program keluarga berencana. Upaya ini
secara nyata telah berhasil menurunkan angka kelahiran hingga setengahnya yang
kemudian berpengaruh pada pengurangan laju pertambahan penduduk dalam
konteks Indonesia, sesungguhnya merupakan upaya yang mempercepat terjadinya
peningkatan kualitas hidup, oleh karena bagian terbesar penduduk Indonesia
ditinjau dari berbagai indikator sosial berada pada tingkatan kualitas yang masih
rendah.
2.4.3. Metode Perhitungan dan Komponen-komponen IPM
2.4.3.1. Metode Perhitungan IPM
Adapun komponen IPM disusun dari tiga komponen yaitu lamanya hidup
diukur dengan harapan hidup pada saat lahir, tingkat pendidikan diukur dengan
kombinasi antara angka melek huruf pada penduduk dewasa (dengan bobot dua
per tiga) dan rata-rata lama sekolah (dengan bobot sepertiga), dan tingkat
kehidupan yang layak yang diukur dengan pengeluaran perkapita yang telah
disesuaikan (PPP rupiah), indeks ini merupakan rata-rata sederhana dari ketiga
komponen tersebut diatas :
IPM= 1/3 (Indeks X1 + Indeks X2 + Indeks X3)
Dimana :
X1 = Lamanya hidup
X2 = Tingkat Pendidikan
X3 = Tingkat kehidupan yang layak

50

Indeks X(I,J)=(X(I,J)-X(i-min)) / (X(I,J)-X(i-max) )
Dimana :
X(I,J) = Indikator ke-I dari daerah J
X(i-min) = Nilai minimum dari Xi
X(i-max) = Nilai maksimal dari Xi

Umur panjang
Dan sehat

DIMENSI

INDIKATOR

Angka harapan
hidup pada saat lahir

Angka
melek huruf
(Lit)

Indeks Lit

INDEKS
DIMENSI

Kehidupan
yang Layak

Pengetahuan

Indeks harapan hidup

Rata-rata lama
sekolah (MYS)

Pengeluaran
/kapita riil yang
disesuaikan
(PPP Rupiah)

Indeks MYS

Indeks Pendidikan

Indeks Pendapatan

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA

Sumber : Buku Panduan Kongres Nasional Pembangunan Manusia, Menko
dan TKPK, 2006

Kesra

Gambar 2.2. Perhitungan Indeks Pembangunan Manusia
2.4.3.2. Komponen-komponen IPM
1.

Lamanya Hidup (Longevity)
Lamanya hidup adalah kehidupan untuk bertahan lebih lama diukur

dengan indikator harapan hidup pada saat lahir (life expectancy at birth) (e0),
angka e0 yang disajikan pada laporan ini merupakan ekstrapolasi dari angka e0
pada akhir tahun 1996 dan akhir tahun 1999 yang merupakan penyesuaian dari
angka kematian bayi (infant mortality rate) dalam periode yang sama. Dalam

51

publikasi ini, angka IMR untuk tingkat provinsi dihitung berdasarkan data yang
diperoleh dalam sensus penduduk tahun 1971, 1980, 1990 serta data gabungan
dari SUPAS 1995 dan SUSENAS 1996.
Perhitungan dilakukan secara tidak langsung berdasarkan dua data dasar
yaitu rata-rata jumlah lahir hidup dan rata-rata anak yang masih hidup dari wanita
yang pernah kawin. Untuk mendapatkan Indeks Harapan Hidup dengan
menstandarkan angka harapan hidup terhadap nilai maksimum dan minimumnya,
seperti yang tercantum pada tabel 2.1 di bawah ini :
Tabel 2.1. Nilai Maksimum dan Minimum Komponen IPM
Indikator
Komponen IPM
Angka Harapan
Hidup (e0)
Angka Melek
Huruf (Lit)
Rata-rata lama
Sekolah (MYS)

Nilai
Minimum

Nilai
Maksimum

25

85

Standar UNDP

0

100

Standar UNDP

0

15

Standar UNDP

Keterangan

300.000
UNDP menggunakan
(1996)
737.720a
PDB Riil Per Kapita
360.000
(1999)b
Sumber: Badan Pusat Statistik Sumatera Utara/2007
Kemampuan
Daya Beli (PPP)

Catatan :
a.

Proyeksi dari daya beli tertinggi yang dicapai di Jakarta pada tahun 2018
(akhir dari Pembangunan Jangka Panjang II) setelah disesuaikan dengan
formula Atkinson. Proyeksi ini berdasarkan pada asumsi tingkat
pertumbuhan daya beli sebesar 6,5persen pertahun selama periode 19932018.

b.

Sama dengan dua kali garis kemiskinan di provinsi yang dimiliki tingkat
konsumsi per kapita terendah pada tahun 1990, nilai minimum disesuaikan

52

menjadi Rp 360.000. penyesuaian ini dilakukan karena krisis ekonomi
telah menyebabkan penurunan daya beli masyarakat secara drastis
sebagaimana terlihat dari peningkatan angka kemiskinan dan penurunan
riil. Penambahan sebesar Rp 60.000 didasarkan pada perbedaan antara
garis kemiskinan lama dengan garis kemiskinan baru yang jumlahnya Rp
5.000 per bulan (Rp 60.000 per tahun).
2.

Tingkat Pendidikan
Dalam perhitungan IPM, komponen tingkat pendidikan diukur dari dua

indikator, yaitu: angka melek huruf (Lit) dan rata-rata lama sekolah (MYS).
Angka melek huruf adalah persentase dari pendidik usia 15 tahun ke atas yang
bisa membaca dan menulis dalam huruf latin atau huruf lainnya. Rata-rata lama
sekolah, yaitu rata-rata jumlah tahun yang dihabiskan oleh penduduk usia 15
tahun ke atas di seluruh jenjang pendidikan formal yang pernah dijalani atau
sedang menjalani. Indikator ini dihitung dari variabel pendidikan yang tertinggi
yang ditamatkan dan tingkat pendidikan yang sedang ditamatkan dan tingkat
pendidikan yang sedang diduduki. Tabel 2.2 menyajikan faktor konversi dari tiap
jenjang pendidikan, rata-rata lama sekolah (MYS) dihitung berdasarkan formula
sebagai berikut :
MYS = tahun konversi + kelas tertinggi yang pernah diduduki

53

Tabel 2.2. Tahun Konversi dari Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Pendidikan Tertinggi yang
Ditamatkan
Tidak Pernah Sekolah
SD
SMP
SMA
D1
D2
D3
S 1/D 4
S2
S3

Tahun
Konversi
0
6
9
12
13
14
15
16
18
21

Sumber : BPS Sumatera Utara/2007

3.

Standar Hidup
Standar hidup dalam perhitungan IPM, didekati dari pengeluaran riil per

kapita yang telah disesuaikan. Untuk menjamin keterbandingan antardaerah dan
antar waktu, dilakukan penyesuaian sebagai berikut :
1.

Menghitung pengeluaran per kapita dari modul SUSENAS (=Y).

2.

Menaikkan nilai Y sebesar 20 persen (=Y), karena berbagai studi
diperkirakan bahwa data dari SUSENAS cenderung lebih rendah dari 20
persen.

3.

Menghitung nilai daya beli atau Purchasing Power Parity (PPP) untuk
setiap daerah yang merupakan harga suatu kelompok barang, relatif
terhadap harga kelompok barang yang sama di daerah yang ditetapkan
sebagai standar.

4.

Menghitung nilai riil Y1 dengan mendeflasikan Y1 dengan indeks harga
konsumen (CPI) (=Y2).

5.

Membagi Y2 dengan PPP untuk memperoleh Rupiah yang sudah
disetarakan antar daerah (=Y3).

54

6.

Mengurangi nilai Y3 dengan menggunakan formula Atkinson untuk
mendapatkan estimasi daya beli (=Y4). Langkah ini ditempuh berdasarkan
prinsip penurunan manfaat marginal dari pendapatan.

3.1.

Teori Human Capital
Pratomo (2006), investasi pada human capital dapat dilakukan dalam hal:

(1) pendidikan dan latihan, (2) migrasi, dan (3) perbaikan gizi dan kesehatan.
Keputusan untuk melakukan investasi pada human capital dapat dilihat dari
gambar berkut:

C

3
Annual

H

Increment

H
2

Indirect

18

22

65

Age

1

C

Direct

Gambar 2.3. Teori Human Capital
Kurva HH menggambarkan pendapatan seseorang jika orang tersebut tidak
melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Orang tersebut langsung bekerja

55

pada usia 18 tahun. Kurva CC menggambarkan jika seseorang masuk ke
perguruan tinggi selama empat tahun dan kemudian bekerja pada usia 22 tahun.
1.

Daerah 1 (satu) atau Direct Cost yaitu daerah dimana sejumlah
pengeluaran untuk biaya pendidikan selama di perguruan tinggi.

2.

Daerah 2 (dua) disebut daerah Indirect Cost

yaitu menggambarkan

penghasilan yang tidak diperoleh oleh seseorang yang masuk

ke

perguruan tinggi dibanding jika dia bekerja di usia 18 tahun (tidak kuliah).
Jadi kerugian yang yang diderita oleh mereka yang kuliah dibandingkan
yang tidak kuliah adalah seluas area 1 dan area 2.
3.

Daerah 3 (tiga) adalah daerah Incremental Earning yaitu daerah yang
menggambarkan selisih pendapatan yang diterima seseorang yang
berpendidikan perguruan tinggi dibanding mereka yang tidak masuk
perguruan tinggi.

3.1.1. Teori Human Capital Sektor Pendidikan
Asumsi dasar teori human capital adalah bahwa seseorang dapat
meningkatkan penghasilan melalui peningkatan pendidikan menurut Becker
dalam Simanjuntak (1998). Setiap tambah satu tahun sekolah berarti di satu pihak
meningkatkan kemampuan kerja dan tingkat penghasilan seseorang akan tetapi di
pihak lain menunda penerimaan penghasilan selama 1 tahun dalam mengikuti
sekolah tersebut. Disamping penundaan menerima penghasilan tersebut, orang
yang melanjutkan sekolah harus membayar biaya secara langsung seperti uang
sekolah, pembelian buku dan lain-lain. Misalnya, seorang tamatan sekolah
lanjutan tingkat atas (SLTA) tidak melanjutkan sekolah dan lansung mencari dan
memperoleh pekerjaan. Tiap tahun dia memperoleh upah V(t). Misalnya orang

56

tersebut tamat dan memperoleh pekerjaan pada umur 20 tahun dan tidak
memperoleh penghasilan lagi pada umur 60 tahun atau sesudah 40 tahun bekerja.
Maka jumlah penghasilan yang diterimanya seumur hidupnya dihitung dalam nilai
sekarang atau Net Present Value adalah:
40

�(���) = �
�=0

�(�)
(1 + �)�

Dimana: Y(sla) adalah nilai sekarang atau net present value dari arus
penghasilan seumur hidup, V(t) adalah besarnya penghasilan pada tahun t dan r
adalah tingkat diskonto (discount rate) yang menggambarkan time preference
seseorang atas konsumsi seseorang saat sekarang dibandingkan dengan satu tahun
yang akan datang.
3.1.2. Teori Human Capital Sektor Kesehatan
Perbaikan

sektor

kesehatan

sangat

penting

untuk

meningkatkan

produktifitas kerja menurut Becker dalam Simanjuntak (1998). Oleh sebab itu
investasi yang dilaksanakan untuk perbaikan gizi dan kesehatan dapat dipandang
sebagai salah satu aspek Human Capital, dapat ditunjukkan pada persamaan
dibawah ini:












�(�)
�(�)
�(�)

+�
=�


(� + �)
(� + �)
(� + �)�

Dimana dalam hal ini V(t) merupakan tingkat upah atau penghasilan pada

tahun t, seandainya tidak ada program perbaikan kesehatan C(t) merupakan
besarnya biaya yang dikeluarkan dalam tahun t untuk program perbaikan
kesehatan dan W(t) merupakan tingkat upah atau penghasilan setelah program
perbaikan kesehatan dilakukan.

57

3.2.

Penelitian Terdahulu
Sylvester (2002) dengan menggunakan data cross section dari beberapa

negara mengestimasi apakah sumber daya manusia yang berpendidikan
berpengaruh positif terhadap distribusi pendapatan (yang diukur dengan indeks
gini) dalam sebuah negara. Dari hasil penelitian diketahui bahwa negara yang
memberikan perhatian lebih terhadap pendidikan sebagai bagian dari GDP
mempunyai tingkat ketimpangan yang lebih rendah. Kesimpulan ini merupakan
implikasi dan alasan dari peningkatan human capital untuk memacu pertumbuhan
ekonomi.
Lin (2003) mengestimasi dampak pendidikan dan the role of technical
progress terhadap pertumbuhan ekonomi di Taiwan tahun 1965-2000. Dari hasil
penemuannya diungkapkan bahwa pendidikan mempunyai pengaruh positif dan
signifikan terhadap pertumbuhan, tetapi the role of technical progress tidak
menunjukkan sesuatu yang sangat penting. Penambahan 1 persen rata-rata
pendidikan meningkatkan output riil sebesar 0,15persen.
Hari (2003) melakukan penelitian terhadap pengeluaran pemerintah dalam
menyediakan barang publik untuk sarana kesehatan dan pendidikan terhadap
pertumbuhan ekonomi pada 14 negara bagian di India tahun 1970-2000.
Ditemukan semakin besar belanja pemerintah dalam menyediakan barang publik
untuk sarana kesehatan dan pendidikan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Sarana kesehatan dan pendidikan merupakan faktor penting untuk meningkatkan
kualitas SDM, sedangkan sumber daya yang berkualitas merupakan faktor penting
dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi.

58

Brata (2004) dalam jurnalnya yang berjudul “Analisis Hubungan Imbal
Balik Antara Pembangunan Manusia dan Kinerja Ekonomi Daerah Tingkat II Di
Indonesia”. Dengan memanfaatkan regresi 2SLS, hasil Estimasi yang dilakukan
memberikan dukungan bahwa memang terdapat hubungan dua arah antara kinerja
ekonomi dan pembangunan manuisa dan sebaliknya pembangunan manusia
mempengaruhi kinerja ekonomi.
Brata (2005) pada penelitian ini Brata menunjukkan bahwa pengeluaran
pemerintah sektor pendidikan dan kesehatan memberikan pengaruh positif
terhadap pembangunan manusia. Semakin besar alokasi pengeluaran sektor
pendidikan dan kesehatan semakin baik pula IPM dicapai. Investasi swasta
berpengaruh negatif terhadap IPM. Hal ini dimungkinkan karena karakteristik
investasi swasta tidak dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pembangunan
manusia. Indeks Gini berpengaruh positif terhadap IPM, artinya semakin merata
distribusi pendapatan semakin baik pula pembangunan manusia.
Lag Indeks Gini menunjukkan pengaruh negatif yang berarti pada jangka
panjang akan semakin sulit meningkatkan kualitas SDM melalui distribusi
pendapatan.
Brata (2005) Dalam jurnalnya yang berjudul “Investasi Sektor Publik
Lokal, Pembangunan Manusia, Dan Kemiskinan”. Dari hasil estimasi diperoleh
bukti bahwa investasi sektor publik untuk bidang sosoial membawa manfaat bagi
pembangunan manusia dan kesejahteraan penduduk. Variabel lain yang
diintrokonduksikan yakni investasi sewasta dan distribusi pendapatan secara
umum berpengaruh kuat terhadap pembangunan manuisa dan kemiskinan.

59

Ilmalia (2005) melakukan penelitian dengan judul Analisis Peranan Sektor
pendidikan terhadap Perekonomian Indonesia.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pada tahun 2000, alokasi
output sektor pendidikan terutama jasa, pengeluaran pemerintah lebih banyak
digunakan untuk keperluan konsumsi dibandingkan dengan keperluan produksi.
Sektor pendidikan memerlukan lebih banyak input dalam bentuk input primer
(upah dan gaji), daripada input antara dan input yang diimpor. Dilihat dari nilai
multipliernya, sektor jasa pengeluaran pemerintah cukup memiliki kemampuan
untuk meningkatkan output, pendapatan, dan tenaga kerja sektor ekonomi lain.
Simulasi kenaikan anggaran di sektor jasa pendidikan pemerintah
menunjukkan bahwa sektor jasa pendidikan pemerintah ternyata mampu
meningkatkan pembentukan output, pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja
dalam perekonomian Indonesia.
Hasil penelitian ini hanya mengkaji dampak kenaikan pengeluaran
pemerintah di sektor jasa pendidikan pemerintah terhadap perekonomian tahun
2005. Penelitian ini belum menggambarkan dampak kenaikan anggaran terhadap
peningkatan kualitas sumber daya manusia serta kontribusinya bagi pertumbuhan
ekonomi dalam jangka panjang.
Bastias (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “analisis pengaruh
pengeluaran pemerintah atas pendidikan, kesehatan dan infrastruktur terhadap
pertumbuhan ekonomi indonesia periode 1969-2009”. Efek pembangunan pada
ketiga sektor tersebut tidak dapat berdampak langsung melainkan membutuhkan
beberapa periode untuk dapat merasakan dampaknya. Terdapat time lag ketika
pemerintah mengeluarkan anggaran pembangunan atau belanja negara untuk

60

ketiga sektor tersebut dengan dampak kebijakan tersebut, maka dibutuhkan suatu
penelitian yang menggunakan runtun waktu (time series) cukup panjang.
Penelitian dengan menggunakan runtun waktu akan membantu melihat pengaruh
pengeluaran pemerintah pada ketiga sektor tersebut terhadap pertumbuhan
ekonomi. Investasi pemerintah dalam pendidikan, kesehatan dan infrastruktur
akan menyebabkan peningkatan kualitas modal manusia dan prasarana fisik, hal
ini juga akan memacu investasi ekonomi. Investasi ekonomi selanjutnya akan
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, karena banyaknya modal yang tersedia
untuk pembangunan.
Hasil regresi dengan model ECM menunjukkan bahwa dalam jangka
pendek hanya variabel pengeluaran pemerintah atas transportasi yang berpengaruh
positif secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Pengeluaran pemerintah
atas pendidikan, kesehatan dan perumahan tidak signifikan mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi. Sementara dalam jangka panjang variabel pengeluaran
pemerintah atas perumahan dan transportasi mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi secara signifikan dan bertanda positif, sedangkan variabel pengeluaran
pemerintah atas pendidikan dan kesehatan tidak mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi.
Suliswanto (2010) menunjukkan bahwa permasalahan kemiskinan tidak
cukup hanya dipecahkan melalui meningkatkan pertumbuhan ekonomi semata
dengan mengharapkan terjadinya efek menetes kebawah (trickkle down effect).
Peningkatan kualitas SDM akan mampu memberikan pengaruh yang besar
terhadap pengurangan angka kemiskinan yang terjadi.

61

Pada penelitian ini PDRB memiliki signifikansi pengaruh terhadap
kemiskinan hanya pada α 20 persen, hal ini sesuai temuan dari world bank (2006)
bahwa pertumbuhan ekonomi belum dapat secara signifikan mengurangi
kemiskinan dikarenakan pola dari pertumbuhan ekonomi di Indonesia yaitu
terjadinya ketimpangan. Sejak tahun 1998, pertumbuhan bukan saja berjalan
dengan tingkat yang lebih rendah, tetapi juga menjadi semakin kurang merata.
Sehingga Jumlah penduduk miskin tidak akan dapat dikurangi secara signifikan
tanpa adanya pertumbuhan ekonomi yang bermanfaat bagi orang miskin. Menurut
world bank (2006) pada periode setelah krisis, berkurangnya penduduk miskin
lebih banyak disebabkan karena membaiknya stabilitas ekonomi dan turunnya
harga bahan makanan.
Widodo (2011) Penelitian yang dilakukan yang berjudul “Analisis
pengaruh pengeluaran pemerintah di sektor pendidikan dan kesehatan terhadap
pengentasan kemiskinan melalui peningkatan pembangunan manusia di provinsi
jawa tengah”. Hasil studi menunjukkan bahwa alokasi pengeluaran pemerintah
sektor publik tidak secara langsung mempengaruhi IPM ataupun kemiskinan,
namun secara bersama-sama (simultan) pengeluaran sektor publik dan IPM dapat
mempengaruhi kemiskinan.
Hal tersebut berarti bahwa pengeluaran pemerintah di sektor pendidikan
dan kesehatan tidak bisa berdiri sendiri mempengaruhi kemiskinan, namun harus
berinteraksi dengan variabel lain (variabel IPM). Implikasi dari hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah di sektor pendidikan dan kesehatan
akan dapat mempengaruhi kemiskinan jika pengeluaran tersebut dilakukan dalam
rangka peningkatan kualitas pembangunan manusia.

62

Meylina (2012) dalam penelitiannya yang berjudul “Pengaruh pengeluaran
pemerintah daerah pada sektor pendidikan dan kesehatan terhadap indeks
pembangunan manusia di Indonesia”. Hasil studi menunjukkan bahwa tingkat
pengeluaran pemerintah daerah pada sektor pendidikan memiliki pengaruh secara
signifikan terhadap IPM, dimana setiap terjadi perubahan pada pengeluaran
pemerintah daerah pada sektor pendidikan maka akan diikuti oleh perubahan IPM.
Pengeluaran pemerintah pada sektor kesehatan tidak berpengaruh signifikan
terhadap IPM. Pengeluaran pemerintah pada sektor kesehatan di indonesia masih
sangat rendah dibandingkan dengan tingkat pengeluaran pemerintah lainnya.
Tingkat pengeluaran pemerintah daerah pada sektor pendidikan dan
kesehatan secara serempak memberikan pengaruh positif dengan ditunjukkan
koefisien yang positif pada dua variabel bebas tersebut, sehingga tetap
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap IPM, meskipun dengan tingkat
pengaruh yang rendah.
Denni (2012) hasil penelitian menunjukan perkembangan IPM mengalami
peningkatan dengan kategori IPM menengah selama periode tahun 2006-2009
hingga mampu mencapai target IPM yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Sedangkan hasil regresi panel menunjukan kemiskinan berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap IPM. Pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif dan
signifikan terhadap IPM dan Belanja modal berpengaruh positif dan signifikan
terhadap IPM.
Kesimpulannya bahwa perkembangan IPM mengalami peningkatan
selama tahun 2006-2009, kemiskinan berpengaruh negatif, pertumbuhan ekonomi
dan belanja modal berpengaruh positif. Melalui penelitian ini disarankan agar

63

dalam merencanakan kebijakan pemerintah tidak hanya melihat dari pencapaian
target peningkatan pertumbuhan ekonomi saja namun juga target peningkatan
pembangunan manusia karena pertumbuhan ekonomi sendiri belum memadai
untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia terutama pada aspek
pendidikan, kesehatan dan pendapatan masyarakat.
Ramzi (2012) pembangunan manusia digunakan sebagai salah satu indeks
yang paling penting untuk mengukur tingkat perkembangan negara. Penelitian ini
menguji pengaruh pengeluaran kesehatan pemerintah pada indeks pembangunan
manusia (IPM) dengan menggunakan metode kuadrat terkecil biasa (OLS) selama
periode 1990-2009 di Iran. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat hubungan
positif dan signifikan antara pengeluaran pemerintah sektor kesehatan dan indeks
pembangunan manusia. Begitu juga dengan Uji Kausalitas Granger yang
dilakukan.

3.3.

Kerangka Konseptual
Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi pemerintah mengalokasikan

pengeluaran pada sektor pendidikan dan kesehatan dalam rangka peningkatan
kualitas sumber daya manusia yang akan meningkatkan tingkat kesejahteraan
masyarakat. Jika tingkat kesejahteraan masyarakat maningkat, pada gilirannya
penduduk miskin menjadi semakin berkurang baik dari segi jumlah maupun
kualitasnya sehingga pertumbuhan ekonomi akan meningkat. Kerangka konsep
penelitian dapat dilihat pada gambar berikut :

64

Pengeluaran
Indeks
Pemerintah sektor
Pembangunan
pendidikan dan
Manusia
Kesehatan

Indeks
Pembangunan
Manusia

Pertumbuhan
Ekonomi

Kemiskinan

Gambar 2.4. Kerangka konsep

3.4.

Hipotesis
Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah serta uraian pada

penelitian terdahulu dan kerangka konseptual, maka hipotesis dalam penelitian ini
adalah:
1.

Pengeluaran pemerintah sektor pendidikan dan kesehatan berpengaruh
positif terhadap indeks pembangunan manusia di Sumatera Utara.

2.

Pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif terhadap indeks pembangunan
manusia di Sumatera Utara.

3.

Kemi

Dokumen yang terkait

ANALISIS PENGARUH PENGELUARAN PEMERINTAH SEKTOR PENDIDIKAN DAN SEKTOR KESEHATAN TERHADAP KEMISKINAN DI PROPINSI LAMPUNG

3 46 85

ANALISIS PENGARUH TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA, PERTUMBUHAN EKONOMI, PENGELUARAN PEMERINTAH SEKTOR PENDIDIKAN DAN KESEHATAN TERHADAP INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI PROVINSI LAMPUNG TAHUN 1995-2012

1 9 83

PENGARUH PENGELUARAN PEMERINTAH PADA SEKTOR PENDIDIKAN DAN KESEHATAN TERHADAP INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA PROVINSI SUMATERA SELATAN

3 52 68

ANALISIS PENGARUH TINGKAT KEMISKINAN, PENGELUARAN PEMERINTAH BIDANG PENDIDIKAN DAN KESEHATAN TERHADAP INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI INDONESIA TAHUN 1992-2011.

0 0 14

Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Sektor Pendidikan Dan Kesehatan, Pertumbuhan Ekonomi, Dan Kemiskinan Terhadap Indeks Pembangunan Manusia Di Sumatera Utara

0 0 15

Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Sektor Pendidikan Dan Kesehatan, Pertumbuhan Ekonomi, Dan Kemiskinan Terhadap Indeks Pembangunan Manusia Di Sumatera Utara

0 0 2

Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Sektor Pendidikan Dan Kesehatan, Pertumbuhan Ekonomi, Dan Kemiskinan Terhadap Indeks Pembangunan Manusia Di Sumatera Utara

0 0 13

Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Sektor Pendidikan Dan Kesehatan, Pertumbuhan Ekonomi, Dan Kemiskinan Terhadap Indeks Pembangunan Manusia Di Sumatera Utara

2 7 3

Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Sektor Pendidikan Dan Kesehatan, Pertumbuhan Ekonomi, Dan Kemiskinan Terhadap Indeks Pembangunan Manusia Di Sumatera Utara

0 0 7

PENGARUH PENGELUARAN PEMERINTAH PADA BIDANG PENDIDIKAN DAN KESEHATAN TERHADAP INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI KABUPATEN HALMAHERA UTARA.

0 0 10