Beranda - FIAUI

PENGUATAN PERAN
KOMISI APARATUR SIPIL NEGARA (KASN)
UNTUK MENCIPTAKAN BIROKRASI
YANG KOMPETEN, BERSIH
DAN MELAYANI

Tim Penyusun:

Eko Prasojo
Zuliansyah Putra Zulkarnain
Ima Mayasari
(Anggota Klaster Riset Policy, Governance
and Admininistrative Reform (PGAR)
Fakultas Ilmu Administrasi Universitas
Indonesia)

PENGUATAN PERAN
KOMISI APARATUR SIPIL NEGARA (KASN)
UNTUK MENCIPTAKAN BIROKRASI
YANG KOMPETEN, BERSIH
DAN MELAYANI

Tim Penyusun:

Eko Prasojo
Zuliansyah Putra Zulkarnain
Ima Mayasari
(Anggota Klaster Riset Policy, Governance
and Admininistrative Reform (PGAR)
Fakultas Ilmu Administrasi Universitas
Indonesia)

PENGUATAN PERAN KOMISI APARATUR SIPIL NEGARA (KASN)
UNTUK MENCIPTAKAN BIROKRASI YANG KOMPETEN, BERSIH
DAN MELAYANI

Tim Penyusun:
Eko Prasojo
Zuliansyah Putra Zulkarnain
Ima Mayasari
(Anggota Klaster Riset Policy, Governance and Admininistrative Reform
(PGAR)

Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia)
Dibiayai oleh:
Program Hibah Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia Tahun 2017
Penerbit:
Universitas Indonesia-Center for Study of Governance and
Administrative Reform (UI-CSGAR)
Alamat:
Gedung M Lantai 2 FISIP UI
Jl. Prof. Dr. Selo Soemardjan Kampus Baru UI Depok 16424
Phone : (021) 7866561
Facsimile : (021) 78849125
Email : adm@ui.ac.id

ii

Kata Pengantar

B

erbagai kasus jual beli jabatan ASN dan masih belum optimalnya

meritokrasi birokrasi publik, menjadikan KASN keberadannya
sangat diperlukan. Sistem merit menjadi sebuah kebutuhan dalam
negara demokrasi seperti Indonesia. KASN memiliki peran signiikan
untuk menjaga dan mengawal pelaksanaan Sistem Merit. Sembilan
prinsip sistem merit yaitu: (1) melakukan rekrutmen dan seleksi
berdasarkan kemampuan (ability), pengetahuan (knowledge), dan
keterampilan (skills) melalui kompetisi secara terbuka dan adil; (2)
memberlakukan Pegawai ASN secara adil dan setara; (3) memberi
renumerasi yang sesuai untuk pekerjaan-pekerjaan yang setara dan
menghargai kinerja yang lebih tinggi; (4) menerapkan standar yang
tinggi untuk integritas, perilaku dan kepedulian bagi kepentingan
masyarakat; (5) mengelola Pegawai ASN secara efektif dan eisien; (6)
mempertahankan Pegawai ASN yang berpotensi melakukan koreksi bagi
Pegawai yang kurang berprestasi; (7) memberikan kesempatan kepada
Pegawai ASN untuk mengembangkan kompetensi; (8) melindungi
Pegawai ASN dari pengaruh-pengaruh politik yang membuat tidak
netral; dan (9) memberikan perlindungan kepada Pegawai ASN. Buku ini
merupakan luaran dari pelaksanaan Hibah Pengabdian Masyarakat
Kajian Isu Strategis Universitas Indonesia “Penguatan Peran KASN untuk
Menciptakan Birokrasi yang Kompeten, Bersih dan Melayani” yang

diketuai oleh Prof. Dr. Eko Prasojo, Magrer.publ dengan dukungan
pendanaan dari DRPM Universitas Indonesia.
Apa yang terangkum dalam buku ini masih banyak memiliki sejumlah
kekurangan, mengingat keterbatasan waktu, dana, tenaga, serta
kemampuan yang kami miliki dalam pelaksanaan kajian dan pembuatan
buku ini. Karenanya, untuk segala kekurangan tersebut, Kami memohon
maaf sekaligus masukan dari segenap pembaca guna penyempurnaan
lebih lanjut dari buku ini di masa datang.
Kami juga berharap bahwa buku ini dapat memberikan masukan
berharga dalam upaya memperkuat, memajukan, dan memandirikan
Komisi Aparatur Sipil Negara sebagai upaya mewujudkan birokrasi yang
kompeten, bersih dan melayani.
Depok, September 2017
Tim Penyusun

iii

Daftar Isi
Kata Pengantar ...................................................................................................


iii

BAB I - PENDAHULUAN ....................................................................................

1

1.1.

Latar Permasalahan ...........................................................................

1

1.2.

Perumusan Masalah...........................................................................

8

1.3.


Tujuan Kajian ........................................................................................

8

1.4.

Signiikansi Kajian ..............................................................................

9

BAB II - MERIT SYSTEM ...................................................................

10

2.1.

Pengertian Merit System ..................................................................

10


2.2.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Merit
System ....................................................................................................

13

Prinsip-prinsip Merit System ...........................................................

15

BAB III - PERAN KASN DALAM MENCIPTAKAN BIROKRASI YANG
KOMPETEN, BERSIH DAN MELAYANI ........................................................

18

2.3.

3.1.


Latar Belakang Pembentukan KASN ...........................................

18

3.2.

Kedudukan, Fungsi dan Kewenangan KASN ...........................

20

3.3.

Struktur Kelembagaan, Susunan Organisasi dan
Keanggotaan KASN ............................................................................

24

Peraturan Pelaksanaan berkaitan dengan KASN.....................

28


3.4.1. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor
118 Tahun 2014 tentang Sekretariat, Sistem dan
Manajemen Sumber Daya Manusia, Tata Kerja,
Serta Tanggung Jawab dan Pengelolaan Keuangan
Komisi Aparatur Sipil Negara ............................................

29

3.4.2. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor
90 Tahun 2015 tentang Honorarium Ketua, Wakil
Ketua, dan Anggota Komisi Aparatur Sipil Negara ...

31

3.4.3. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 39
Tahun 2016 tentang Tunjangan Kinerja Pegawai di
Lingkungan Komisi Aparatur Sipil Negara ...................

32


3.4.

iv

3.4.4. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 52
Tahun 2016 tentang Hak Keuangan Asisten Komisi
Aparatur Sipil Negara ...........................................................

32

3.4.5. Peraturan Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Komisi
Aparatur Sipil Negara ...........................................................

33

BAB IV - PENGAWASAN KASN DALAM PELAKSANAAN SELEKSI
TERBUKA JABATAN PIMPINAN TINGGI (JPT) ASN ..............................


34

4.1.

Landasan Hukum ...............................................................................

34

4.2.

Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) ......................................................

35

4.3.

Persyaratan Jabatan Pimpinan Tinggi ........................................

36

4.4.

Tata cara Pengisian dan Pengangkatan Jabatan Pimpinan
Tinggi ......................................................................................................

38

4.5.

Pengawasan KASN dalam Pelaksanaan Seleksi Terbuka
Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT).......................................................

41

4.6.

Jenis Pelanggaran dalam Seleksi Terbuka untuk JPT .............

43

4.7.

Hambatan Utama Dalam Pelaksanaan Seleksi Terbuka
untuk JPT ...............................................................................................

45

BAB V - STUDI KASUS PERMASALAHAN HUKUM ASN DAN
GUGATAN TERHADAP HASIL PENGAWASAN KASN ......................

48

5.1.

Permasalahan Hukum ASN ............................................................

48

5.2.

Perkara Gugatan Tata Usaha Negara Terhadap Hasil
Pengawasan Ketua KASN .................................................................

61

Gugatan terhadap Hasil Pengawasan KASN yang diajukan
oleh Walikota Tegal di PTUN Jakarta ............................................

73

BAB VI - PENGUATAN PERAN KOMISI APARATUR SIPIL NEGARA
(KASN) UNTUK MENCIPTAKAN BIROKRASI YANG KOMPETEN,
BERSIH DAN MELAYANI ...................................................................................

78

5.3.

6.1.

Peran KASN dalam Menjaga dan Mengawal Pelaksanaan
Sistem Merit ..........................................................................................

78

6.2.

Model Sistem Informasi Jabatan Pimpinan Tinggi (SIJAPTI) ....

79

6.3.

Pengelolaan E-Government Pemerintah Daerah ....................

79

6.4.

Model Penguatan Kelembagaan, Mekanisme Pengawasan
dan Evaluasi Sistem Merit di Indonesia ...................................... 81

v

vi

Bab I

Pendahuluan
I.

Latar Permasalahan

Lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur
Sipil Negara ( “UU ASN”) menjadi rumah bagi lahirnya Komisi Aparatur
Sipil Negara (“KASN”). UU ASN menegaskan komitmen Pemerintah
untuk menciptakan birokrasi pemerintahan yang kompeten, bersih,
berintegritas, dan bebas dari intervensi politik sesuai dengan nilai-nilai
dalam sistem merit. Sistem merit dimaksud merupakan kebijakan dan
manajemen ASN yang berdasarkan pada kualiikasi, kompetensi, dan
kinerja secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan latar belakang
politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status
pernikahan, umur atau kondisi kecacatan (UU ASN, Ps. 1 angka 22).
Sejak diundangkan UU ASN pada tanggal 15 Januari 2014, masih
terdapat persoalan yang cukup pelik berkaitan dengan
pengimplementasian UU ASN. Masalah utama yang mengemuka
adalah belum disahkannya perangkat peraturan perundang-undangan
dibawah UU yaitu Peraturan Pemerintah (“PP”) sebagai aturan pelaksana
UU ASN—padahal untuk menjalankan UU ASN diperlukan PP.
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi (“PANRB”) telah merancang tujuh Rancangan Peraturan
Pemerintah (RPP), lima diantaranya belum diundangkan yaitu (1) RPP
tentang Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK atau P3K);
(2) RPP tentang Gaji, Tunjangan, dan Fasilitas PNS; (3) RPP tentang
Kinerja dan Disiplin PNS; (4) RPP tentang Jaminan Hari Tua dan Pensiun
PNS, serta (5) RPP tentang Korps Profesi Pegawai ASN. Sementara itu
dua RPP yang sudah disahkan sebagai PP yaitu Peraturan Pemerintah
Nomor 70 Tahun 2015 tentang Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan
Kematian Bagi Pegawai Aparatur Sipil Negara dan Peraturan Pemerintah
Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil.
Masalah lainnya adalah keberadaan KASN. KASN sulit untuk
menjalankan fungsi, tugas dan wewenang sebagaimana dimanatkan

1

dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 41 UU ASN, oleh karena tidak
terdapat pengaturan lebih lanjut mengenai KASN dalam aturan turunan
dari UU ASN. KASN adalah lembaga non struktural yang mandiri dan
bebas dari intervensi politik untuk menciptakan Pegawai ASN yang
profesional dan berkinerja, memberikan pelayanan secara adil dan
netral, serta menjadi perekat dan pemersatu bangsa.
Secara garis besar fungsi KASN sesuai ketentuan Pasal 30 UU ASN
adalah mengawasi pelaksanaan norma dasar, kode etik dan kode
perilaku ASN, serta penerapan sistem merit dalam kebijakan dan
manajemen ASN pada Instansi Pemerintah. Sementara itu, Pasal 32 UU
ASN mengatur wewenang KASN antara lain: (1) mengawasi setiap
tahapan proses pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi (“JPT”) mulai dari
pembentukan panitia seleksi instansi, pengumuman lowongan,
pelaksanaan seleksi, pengusulan nama calon, penetapan, dan
pelantikan Pejabat Pimpinan Tinggi; (2) mengawasi dan mengevaluasi
penerapan asas, nilai dasar serta kode etik dan kode perilaku Pegawai
ASN; (3) meminta informasi dari pegawai ASN dan masyarakat
mengenai laporan pelanggaran norma dasar serta kode etik dan
kode perilaku Pegawai ASN; (4) memeriksa dokumen terkait
pelanggaran norma dasar serta kode etik dan kode perilaku Pegawai
ASN; dan (5) meminta klariikasi dan/atau dokumen yang diperlukan
dari Instansi Pemerintah untuk pemeriksaan laporan atas pelanggaran
norma dasar serta kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN. Dalam
melaksanakan pengawasan, KASN berwenang untuk memutuskan
adanya pelanggaran kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN. Hasil
pengawasan disampaikan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian dan
Pejabat yang berwenang untuk wajib ditindaklanjuti.
Ketentuan dalam peraturan perundangan mengisyaratkan
pentingnya keberadaan KASN
sebagai garda terdepan dalam
menciptakan sistem merit dalam ASN, baik tingkat pusat maupun
daerah. Di beberapa negara demokrasi, seperti, Australia dan Selandia
Baru, kualitas ASN yang tinggi tidak terlepas dari peran lembaga
pengawas ASN, yaitu, Australian Public Service Commission (PASC) dan
State Service Commission di Selandia Baru. Di Indonesia, KASN yang
terbentuk kurang lebih dua tahun belum dapat dioptimalkan fungsi
dan wewenangnya, bahkan banyak mendapat penentangan, baik dari
Pusat maupun Daerah. Sejatinya, KASN dibentuk sebagai upaya untuk
memastikan terselenggaranya meritokrasi Pemerintah.
Perubahan UU ASN, sebagai RUU inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat
(“DPR”) yang saat ini sedang bergulir mengangkat isu seputar eksistensi,

2

fungsi dan wewenang KASN. Naskah RUU tentang Perubahan UU ASN
memuat materi muatan yang mengusulkan perubahan: Pertama, KASN
dihapuskan. Kedua, fungsi, tugas dan wewenang KASN dilekatkan
kembali kepada Kementerian. Hal ini sangatlah disayangkan, ketika UU
ASN belum secara utuh diimplementasikan, RUU tentang Perubahan
UU ASN menghapus sama sekali peran KASN. Dalam berita Kompas (23
Januari 2017) terungkap bahwa DPR berpandangan keberadaan KASN
perlu ditinjau lagi, apakah akan dihapuskan atau tetap ada dengan
perubahan fungsi, tugas dan wewenang. Sementara itu pihak
pemerintah, sebagaimana disampaikan oleh Kepala Kantor Staf
Kepresidenan (KSP), menyatakan bahwa sampai sejauh ini keberadaan
KASN masih diperlukan untuk memastikan terselenggaranya sistem
merit di Indonesia. Pandangan tersebut sejatinya sejalan dengan faktafakta dilapangan yang mengungkap banyaknya permasalahan dalam
pengisian jabatan Aparatur Sipil Negara.
Salah satu masalah utama yang dewasa ini mencuat ke permukaan
adalah maraknya praktik jual beli jabatan ASN, baik Jabatan Administrasi,
Jabatan Fungsional maupun Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT). Akhir
Desember 2016, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap
tangan Bupati Klaten—Periode 2016-2021, dan menetapkan sebagai
Tersangka dalam kasus jual beli jabatan ASN di lingkungan pemerintah
Kabupaten Klaten. Tanggal 20 September 2017, Majelis Hakim
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang menjatuhkan hukuman
pidana penjara selama 11 (sebelas tahun) kepada Bupati Klaten non
aktif, karena terbukti melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b , atau
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana jo
Pasal 65 KUH Pidana.
Pasal 12 huruf a atau huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001:
“Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau

3

patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau
tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang
bertentangan dengan kewajibannya;
b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga
bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau
disebabkan karena telah melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatannya yang
bertentangan dengan kewajibannya. Indonesia,
Undang-Undang tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, UU Nomor 20 Tahun 2001,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001
Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4150. Ps. 12 huruf (a) dan (b).”
Bupati Klaten non aktif dipidana karena menerima hadiah atau janji
dari Pegawai Negeri Sipil, padahal diketahui atau patut diduga bahwa
hadiah tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau
tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan
kewajibannya terkait promosi dan mutasi jabatan di lingkungan
pemerintah Kabupaten Klaten (Siaran Pers KPK tanggal 31 Desember
2016 berjudul KPK Tahan Tersangka OTT Suap Bupati Klaten).
Sementara itu, tanggal 29 Mei 2017, Majelis Hakim Pengadilan
Tipikor Semarang telah menjatuhkan hukuman (vonis) 1 tahun 8 bulan
penjara dan denda sebesar Rp 50 juta kepada Kepala Seksi SMP Dinas
Pendidikan Kabupaten Klaten non aktif, karena terbukti melanggar
Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Perbuatan Terdakwa membidik
posisi Kepala Bidang SMP Dinas Pendidikan Kabupaten Klaten dengan
memberikan uang suap sebesar Rp 200 juta kepada Bupati Klaten non
aktif, melalui perantara Kepala Bidang Pendidikan Dasar Dinas
Pendidikan Kabupaten Klaten. Perbuatan Terdakwa memberikan uang
kepada Bupati Klaten selaku penyelenggara negara secara beberapa
kali bertentangan dengan hukum. (Detiknews, 2017).
Kasus tersebut berkaitan erat dengan persoalan kekuasaan atau
kewenangan yang berhubungan dengan jabatan, yang melahirkan
ASN yang tidak bersih dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme,
berlawanan dengan tujuan ASN dalam mendukung penyelenggaraan

4

negara yang efektif, eisien dan terbuka, serta bebas dari praktik korupsi,
kolusi dan nepotisme, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28 huruf
c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
Berdasarkan data yang disampaikan Komisi Aparatur Sipil
Negara (KASN) pada awal Januari 2017, datar harga jual beli jabatan
pada Pemerintah Kabupaten Klaten yang diterima KASN dari laporan
masyarakat, sebagaimana tersaji dalam Tabel sebagai berikut:
Tabel 1.1 “Harga Jual Beli Jabatan”
Jabatan
a.
b.
c.

Eselon II (tergantung SKPD)
Eselon III
Eselon IV

Harga
Rp 80 juta – Rp 400 juta
Rp 30 juta – Rp 80 juta
Rp 10 juta – Rp 15 juta

Di Lingkungan Dinas Pendidikan:
a. Eselon II (Kepala Dinas)
b. Eselon III (Sekretaris dan Bidang)
c. Eselon (Sub Bagian dan Kepala Seksi)
d. Kepala UPTD
e. TU UPTD
f. Kepala Sekolah SD
g. TU Sekolah Dasar
h. Kepala Sekolah SMP
i. Jabatan Fungsional Tertentu (Guru
Mutasi Dalam Kabupaten)

Rp 400 juta
Rp 100 juta – Rp 150 juta
Rp 25 juta
Rp 50 juta – Rp 100 juta
Rp 25 juta
Rp 75 juta – Rp 125 juta
Rp 30 juta
Rp 80 juta – Rp 150 juta
Rp 15 juta – Rp 60 juta

a. TU Puskesmas
b. Jabatan Tetap (Tidak Mutasi)

Rp 5 juta – Rp 15 juta
Rp 10 juta – Rp 50 juta

Sumber: Tempo, 6 Januari 2017

Data Tabel tersebut mengisyaratkan bahwa masing-masing jabatan
memiliki harga tersendiri, dimana variasi harga jabatan berbeda-beda
tergantung tinggi rendahnya jabatan dan posisi strategis jabatan.
Variasi harga juga bergantung pada besaran anggaran Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD) yang dituju, semakin besar anggaran semakin
besar pula harga yang ditransaksikan. Dalam berita Tempo (31
Desember 2016), pada saat KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan
(OTT) terhadap Bupati Klaten, rincian harga jabatan dan catatan
keuangan turut diperoleh KPK, disamping uang sekitar Rp 2 Miliar dan
USD 5.700 serta Dollar Singapura sebanyak 2.035.
Kasus Bupati Klaten non aktif juga berkaitan dengan perubahan
dalam penataan Struktur Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) sebagaimana

5

diamanatkan dalam Pasal 124 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 18
Tahun 2016, dimana Perda pembentukan Perangkat Daerah dan
pengisian kepala Perangkat Daerah dan kepala unit kerja pada
Perangkat Daerah diselesaikan paling lambat enam bulan terhitung
sejak Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016—19 Juni 2016.
Adapun pengisian kepala Perangkat Daerah dan kepala unit kerja pada
Perangkat Daerah untuk pertama kalinya dilakukan dengan
mengukuhkan pejabat yang sudah memegang jabatan setingkat
dengan jabatan yang akan diisi dengan ketentuan memenuhi
persyaratan kualikasi dan kompetensi jabatan.
Tindak lanjut pelaksanaan PP Nomor 18 Tahun 2016, Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB)
mengeluarkan Surat Nomor B/3116/M.PANRB/09/2016 tertanggal 20
September 2016 tentang Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi di
Lingkungan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota
Terkair dengan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun
2016 tentang Perangkat Daerah yang ditujukan kepada Gubernur dan
Bupati/Walikota se-Indonesia. Salah satu substansi surat tersebut
mengatur bahwa pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi dilakukan melalui
mekanisme pertimbangan dari Badan Pertimbangan Jabatan dan
Kepangkatan (Baperjakat) dan ditetapkan oleh Pejabat Pembina
Kepegawaian (PPK), serta selanjutnya hasil penetapan pengukuhan
tersebut dilaporkan kepada KASN.
Kabupaten Klaten telah melaporkan proses penataan SOTK kepada
KASN. Menurut KASN, dari sisi normatif dokumen pengisian JPT tidak
terdapat masalah. Namun, yang dilaporkan dan disetujui oleh KASN
hanya sepuluh Eselon II, berbeda dengan yang diangkat ternyata
sebanyak 803 pejabat dari Eselon II hingga Eselon V (Gatra, 2017).
Pada kenyataannya, penyusunan SOTK Pemerintah Kabupaten
Klaten yang seharusnya dilakukan dengan berpedoman pada prinsip
tepat fungsi dan tepat ukuran (rightsizing) berdasarkan beban kerja
yang sesuai dengan kondisi nyata di masing-masing Daerah, serta
prinsip penataan organisasi Perangkat Daerah yang rasional,
proporsional, efektif dan eisien. Masih terdapatnya intervensi uang/
suap dalam jual beli jabatan menunjukkan adanya penyalahgunaan
kewenangan dalam penataan Perangkat Daerah. Selanjutnya kasus
suap Bupati Klaten non aktif mengindikasikan bahwa penyusunan
organisasi yang dilakukan tidak sesuai dengan Manajemen ASN yang
berdasarkan pada Sistem Merit atau perbandingan antara kualiikasi,
kompetensi, dan kinerja yang dibutuhkan oleh jabatan dengan

6

kualiikasi, kompetensi, dan kinerja yang dimiliki oleh calon dalam
rekrutmen, pengangkatan, penempatan, dan promosi pada jabatan
yang dilaksanakan secara terbuka dan kompetitif, sejalan dengan tata
kelola pemerintahan yang baik.
Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) mencatat sebelas daerah yang
terindikasi kuat terjadi praktik jual beli jabatan ASN, berdasarkan
laporan yang diterima. KASN masih melakukan proses penyelidikan
terkait pelanggaran administratif terhadap penerapan Sistem Merit
dalam kebijakan promosi jabatan di daerah meliputi regulasi, kontrol
eksternal dan komitmen pelaku. Sistem merit KASN berfungsi
mengawasi pengisian Pimpinan Jabatan Tinggi (JPT) sesuai dengan
prosedur yang dilaksanakan secara terbuka dan kompetitif di instansi
pemerintah baik di tingkat pusat dan daerah. Sistem ini bertujuan
untuk mencegah adanya praktik jual beli jabatan, konlik kepentingan
(conlict interest) serta pemilihan jabatan atas dasar agama, suku, ras
dan kepentingan politik.
KASN juga mencatat bahwa transaksi jual beli jabatan di birokrasi
Indonesia pada 2016 mencapai Rp 36,7 Trilyun, dimana sejumlah
jabatan mulai dari tingkat kementerian/lembaga hingga pemerintahan
daerah dihargai dengan nilai yang fantastis. Contoh: Jabatan Pimpinan
Tinggi (JPT) di tingkat kementerian/lembaga dan pemerintah provinsi
dihargai dengan nominal Rp 500 juta, sementara untuk JPT pada
tingkat pemerintah kabupaten/kota dihargai dengan nominal Rp 250
juta. Praktik jual beli jabatan berimbas pula terhadap pelaksanaan
program pemerintah. ASN yang melakukan praktik jual beli jabatan,
ketika sudah memperoleh jabatan, akan berupaya untuk mencari uang
untuk menutup uang yang sudah dikeluarkan guna membeli jabatan.
Oleh karena itu, peranan KASN sangatlah penting dalam melakukan
pengawasan dan memberikan rekomendasi terhadap laporan
masyarakat untuk diproses lebih lanjut ke lembaga penegak hukum
seperti KPK jika terdapat indikasi tindak pidana korupsi. KASN juga
bekerjasama dengan Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi dalam
mengatasi persoalan jual beli jabatan ASN.
Hingga saat ini masih banyak kasus jual beli jabatan di daerah yang
dilaporkan oleh masyarakat melalui pengaduan online pada situs
Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Masyarakat (Lapor!)—sarana
aspirasi dan pengaduan berbasis media sosial yang mudah diakses dan
terpadu dengan Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah serta
BUMN di Indonesia, dikembangkan oleh Kantor Staf Presiden,

7

Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
serta Ombudsman Republik Indonesia dan diinisiasikan oleh Unit Kerja
Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKPPPP), dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat untuk
pengawasan program dan kinerja pemerintah dalam penyelenggaraan
pembangunan dan pelayanan publik.
Berdasarkan permasalahan faktual yang telah diurai di atas, maka
pengabdian masyarakat menekankan pada fokus Isu Strategis di
Indonesia mengangkat tema “Penguatan Peran KASN untuk
Menciptakan Birokrasi yang Kompeten, Bersih, dan Melayani”.
III. Perumusan Masalah
Beranjak dari uraian dalam latar permasalahan tersebut, kajian ini
menekan pada penguatan peran KASN untuk menciptakan birokrasi
yang kompeten, bersih, dan melayani dengan menitikberatkan pada
kasus-kasus jual beli jabatan Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam Birokrasi
Pemerintahan di Indonesia. Untuk kajian ini mengangkat yang dibatasi
pada empat hal:
1. Bagaimana peran, fungsi, dan wewenang KASN dalam sistem
merit di Indonesia, terutama dalam mengawasi proses pengisian
Jabatan Pimpinan Tinggi ASN?
2. Mengapa peran, fungsi, dan wewenang KASN diwacanakan
untuk dihapus dalam RUU Perubahan UU ASN?
3. Bagaimana memperkuat sistem dan mekanisme pengawasan
dan evaluasi sistem merit secara kelembagaan di Indonesia?
IV. Tujuan Kajian
Secara umum kajian ini bertujuan untuk mengkaji “Penguatan Peran
KASN untuk Menciptakan Birokrasi yang Kompeten, Bersih, dan
Melayani”. Secara khusus kajian ini bertujuan untuk:
1. Mendeskripsikan dan menganalisis peran, fungsi, dan wewenang KASN dalam sistem merit di Indonesia, terutama dalam
mengawasi proses pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi ASN.
2. Mendeskripsikan dan menganalisis faktor-faktor yang mendorong lahirnya wacana penghapusan KASN dalam perubahan
UU ASN.
3. Mengkaji model penguatan sistem dan mekanisme pengawasan
dan evaluasi sistem merit secara kelembagaan di Indonesia.

8

V. Signiikansi Kajian
KASN dengan fungsi, tugas, dan wewenang yang dimilikinya
memiliki peran yang strategis untuk memastikan terwujudnya
meritokrasi birokrasi publik, terutama dalam pengisian Jabatan
Pimpinan Tinggi ASN. Namun demikian, belum optimalnya peran dan
kuatnya penolakan keberadaan komisi tersebut, sebagaimana
terungkap dalam inisiatif DPR untuk revisi UU ASN, menyisakan satu
permasalahan besar seputar masa depan meritokrasi Indonesia untuk
menciptakan birokrasi yang kompenten, bersih, dan melayani.
Pengalaman di beberapa negara demokrasi, seperti, Australia dan
Selandia Baru, menunjukkan bahwa kedua negara tersebut
menempatkan komisi aparatur sipil negara sebagai lembaga strategis
yang berperan besar bagi terciptanya profesionalisme birokrasi dan
kualitas pelayanan publik yang tinggi. Kajian ini diharapkan memberikan
sumbangan kajian teoritik bagi kajian kebijakan publik, governansi dan
kelembagaan, serta reformasi kepegawaian pemerintah. Di samping
itu, kajian ini diharapkan dapat menghasilkan alternatif rekomendasi
kebijakan untuk memperkuat sistem pengawasan dan evaluasi kinerja
Aparatur Sipil Negara secara kelembagaan.

9

Bab II

Merit System
I.

Pengertian Merit System

Pada prosesnya pertumbuhan merit system dalam pemerintah
datang karena reaksi terhadap patronase yang berlebihan (Sylvia dan
Meyer, 2002: 137). Ini karena merit system dimaksudkan untuk
mengurangi pengaruh para politisi dan manajer terhadap proses
seleksi pegawai untuk mengisi jabatan atau posisi sebagai pelayan
masyarakat (Woodard, 2005: 111). Merit system menekankan pada
kualiikasi teknis yang menggunakan proses analisis kompetensi
pekerjaan dan mengharuskan prosedur lamaran terbuka (Berman, et al.
2001: 101). Merit system selalu mengharuskan pengujian yang terkait
dengan pendidikan dan pengalaman kerja, evaluasi kinerja, dan lisensi
maupun tes pengetahuan tertulis calon pegawai (Berman, et al. 2001:
101). Merit system juga menekankan keadilan terhadap calon pegawai,
kecermatan dalam seleksi, serta menjamin kompetensi dan kualiikasi
calon pegawai. Dengan adanya merit system diharapkan proses
perekrutan yang telah dilakukan akan didapatkan rekrutan yang benarbenar memenuhi kualiikasi pekerjaan tersebut.
Berdasarkan pengertiannya Merit System adalah suatu sistem
kepegawaian yang dalam mengangkat pegawai didasarkan atas
kecakapan (Moekijat, 1991: 5). Di sisi lain, menurut McCourt (2007: 5),
merit system merujuk pada “the appointment of the best person for any
given job”. Artinya, penunjukkan orang terbaik untuk pekerjaan
tertentu. Pengertian luas merit system dalam pemerintahan modern
menurut Stahl (1971: 31) adalah “a personnel system in which comparative
merit or achievement governs each individual’s selection and progress in
the service and in which the conditions and rewards of performance
contribute to the competency and continuity of the service”. Maksudnya,
merit system adalah sistem kepegawaian di mana terdapat perbandingan
kecakapan atau prestasi yang berpengaruh terhadap masing-masing

10

seleksi dan kemajuan individu-individu dalam pelayanan dan di mana
kondisi dan penghargaan kinerja berkontribusi terhadap kompetensi
dan keberlanjutan pelayanan. Dari ketiga pengertian tersebut, dapat
dikatakan bahwa merit system menekankan adanya orang yang benarbenar cakap dan sesuai untuk mengisi suatu jabatan tertentu. Lebih
lanjut, Komisi Pelayanan Sipil Amerika Serikat dalam Stahl (1971: 31)
menjelaskan prinsip-prinsip pokok “persaingan terbuka” dalam merit
system yang terdiri dari:
1. Adequate publicity. Lowongan pekerjaan dan persyaratan harus
diumumkan kepada masyarakat umum sehingga masyarakat
tertarik untuk memiliki kesempatan yang wajar untuk
mengetahui lowongan pekerjaan tersebut.
2. Opportunity to apply. Masyarakat yang tertarik harus memiliki
kesempatan agar minat masyarakat untuk mengajukan lamaran
dapat diketahui dan dipertimbangkan.
3. Realistic standards. Standar kualiikasi harus cukup berkaitan
dengan pekerjaan yang akan diisi dan harus diterapkan secara
adil kepada semua pelamar yang ada.
4. Absence of discrimination. Standar yang digunakan harus
mengandung faktor-faktor yang berhubungan hanya dengan
kemampuan dan kebugaran untuk pekerjaan tanpa ada
diskriminasi.
5. Ranking on the basis of ability. Hakikat kompetisi menunjukkan
peringkat kandidat berdasarkan evaluasi relatif kemampuan
dan kebugaran mereka, dan proses seleksi yang memberikan
efek untuk peringkat ini.
6. Knowledge of results. Masyarakat harus mampu mengetahui
bagaimana proses bekerja, dan siapa saja yang percaya bahwa
proses tersebut belum diterapkan dengan baik sehingga kasus
yang terjadi terkait hal tersebut dapat diperiksa secara
administratif.
Menurut McCourt (2007: 5), implikasi dari penerapan merit system
dalam berbagai instansi pemerintah, di antaranya adalah:
1. Job at every level: merit principle apply as much to promotion as to
initial recruitment. Artinya bahwa prinsip merit berlaku untuk
promosi jabatan dan rekrutmen awal bagai pegawai-pegawai
baru.
2. The best candidate: demonstrable the most able among a number

11

3.

4.

of candidate any whom could do the job adequately. Artinya,
bahwa calon terbaik terbukti paling mampu dibandingkan
sejumlah kandidat untuk menyelesaikan tugas jabatannya
secara tepat
Open to all: no internal-only appointment or restricted shortlists.
Artinya, bahwa pengangkatan/pengisian jabatan tidak hanya
mengandalkan pada sumber calon-calon internal atau
berdasarkan pada sejumlah kandidat yang terbatas.
Systematic, transparent and challengeable: we welcome challenges
to our decision, including from the unsuccessfull candidates,
viewing them as valuable feedback which will help us make better
decisions in future. Artinya, bahwa semua keputusan
pengangkatan dalam jabatan dapat dipertanyakan, termasuk
bagi para kandidat yang tidak berasil, karena prinsipnya semua
pertanyaan tersebut merupakan feedback yang sangat berharga
untuk memperbaiki keputusan-keputusan pengangkatan
dalam jabatan untuk masa yang akan datang.

Di sisi lain, menurut Setyowati (2014: 83), untuk melihat implementasi
merit system dalam proses rekrutmen dan seleksi CPNS dapat
didasarkan atas tiga (3) hal, yakni: (1) semua warga negara diberi
kesempatan yang sama sesuai persyaratan yang ada (equal oportunity);
(2) persaingan yang terbuka dan fair (open competition and fairness); (3)
pengambilan keputusan yang diterima berdasarkan passing grade. Jika
dilihat dari prosedurnya, penunjukan pegawai yang baik menurut
McCourt (2007: 11) di antaranya adalah:
1. Job analysis. Analisis jabatan yang mengarah pada kenyataan
tertulis dan tugas jabatan (job description), serta pengetahuan
dan keterampilan yang diperlukan oleh pemegang jabatan (job
spesiication)
2. An advertisement disseminated to eligible groups. Iklan dibagikan
kepada kelompok-kelompok yang memenuhi syarat
3. A standard application form. Formulir aplikasi terstandar
4. A scoring scheme based on the person speciication. Skema
penilaian berdasarkan spesiikasi orang
5. Shortlisting procedure to reduce applications, if necessary, to a
manageable number. Daftar pendek prosedur untuk mengurangi
aplikasi jika perlu ke jumlah yang dapat dikelola
6. A inal selection procedure based, again, on the person speciication,

12

and preferably including a selection method or methods in addition
to the panel interview. Prosedur seleksi akhir berdasarkan
kualiikasi seseorang dan sebaiknya mencakup metode seleksi
atau metode wawancara panel
7. An appointment decision based on the scoring scheme. Keputusan
penunjukan berdasarkan skema penilaian
8. Notiication of results to both successful and unsuccessful
candidates. Pemberitahuan hasil kepada kandidat yang berhasil
dan tidak berhasil
9. “Post-interview counselling” ofered to unsuccessful shortlisted
candidates. Wawancara konseling yang ditawarkan kepada
daftar kandidat yang tidak berhasil
10. Induction on what the panel found out through selection about the
successful candidate. Induksi terhadap apa yang ditemukan
panel melalui kandidat yang sukses
II. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Merit System
Dalam paraktiknya, merit system tidak selalu dapat diimplementasikan
sesuai dengan yang diharapkan. Terdapat beberapa hal yang dapat
menghalangi implementasi merit system, di antaranya: nepotisme dan
patronase; diskriminasi terhadap suku, ras, gender dan faktor personal
lain yang tidak relevan; serta pendeinisian yang salah terhadap merit
system di mana yang dimaksud “able to do the job” hanya diartikan
sebagai penyeleksi dapat menunjuk orang yang memiliki kecakapan
kurang hanya untuk mendukung orang yang jauh lebih cakap
sebelumnya (McCourt, 2007: 8). Di sisi lain, Woodard menyatakan
bahwa tantangan terhadap merit system adalah politik. Hal ini
dibuktikan dengan pernyataan sebagai berikut: “But part of the diiculty
with that challenge is the political context in which the personnel system
operates and where it seeks its legitimacy (Woodard 2000: 13). Pernyataan
bahwa politik menjadi faktor yang berpengaruh terhadap implementasi
merit system juga di sampaikan oleh Ingraham, bahwa “at its heart,
however, the problem of merit remains a problem of politics and of
consensus about what a merit system should be.. (Woodard 2000: 13).
Artinya, dengan demikian masalah utama dari merit system masilah
berupa masalah politik dan konsesnsus tentang merit system yang
bagaimana seharusnya diterapkan.
Selain alasan politik seperti
tersebut di atas, pelaksanaan merit system juga dipengaruhi oleh faktor

13

kekerabatan atau nepotisme (Setyowati, 2014: 89).
Penerapan merit system berkaitan dengan pengelolaan kepegawaian
yang professional dan didukung oleh lembaga pengelola kepegawaian
yang netral, bebas dari tekanan pihak manapun (Setyowati, 2014: 85).
Shafritz, et al., (2001: 15), pencapaian kompetensi yang netral
membutuhkan pembentukan sebuah lembaga yang relatif independen
untuk membantu melindungi pegawai publik dari tuntutan partisan
eksekutif politik. Woodard (2000: 14) menyatakan bahwa, public
personnel management is a key vehicle in that implementation process
since the quality of the workforce directly afects the government’s
capacity to act. Artinya, manajemen kepegawaian publik merupakan
kendaraan utama dalam proses implementasi karena kualitas tenaga
kerja secara langsung mempengaruhi kemampuan pemerintah untuk
bertindak. Manajemen kepegawaian publik juga mengelola sumber
daya nasional melalui alokasi pekerjaan publik dan berfungsi sebagai
salah satu proses manajemen yang menopang organisasi publik
(Woodard, 2000: 14).
Penerapan merit system menurut Montgomery (1937) dalam
Setyowati (2014: 95) dipengaruhi oleh regulasi sistem administrasi
publik dan kontrol publik yang simpatik. Lembaga yang menjamin
harus didukung oleh sarana dan prasarana serta sumber daya aparatur
yang berkualitas dan mempunyai komitmen yang tinggi untuk
mewujudkan good governance (Setyowati, 2014: 95). Dari segi
implementasi, menurut Matland ada dua hal yang mempengaruhi,
yakni ambiguitas dan konlik. Konlik terjadi ketika terdapat perbedaan
kepentingan dan kesepahaman antara satu organisasi dengan
organisasi lain yang bersangkutan. antar aktor (Matland, 1995: 158). Di
sisi lain, ambiguitas dalam implementasi muncul ketika kesalahpahaman
dan ketidakpastian peran dari berbagai organisasi yang berkepentingan
dalam proses implementasi, atau ketika lingkungan yang kompleks
justru menyusahkan organisasi untuk mengetahui alat mana yang
harus digunakan, bagaimana menggunakan alat tersebut, dan apa
dampak dari penggunaan alat tersebut terhadap proses implementasi
(Matland, 1995: 158).
Di samping itu, terkadang terdapat pengecualian di mana merit
system boleh untuk tidak diterapkan dalam kondisi-kondisi tertentu, di
antaranya: keharusan untuk memilih pegawai, bukan menetapkan;
penetapan langsung dan politis; adanya tindakan airmatif terhadap
golongan tertentu; transfer dan penunjukan internal atas diskresi

14

manajer lokal; penunjukan lain seperti succession plans, secondments,
temporary “acting up”, reallocation of duties, subcontracting to
employment agencies (McCourt, 2007: 6-7). Prasojo dalam Setyowati
(2014: 89) menyatakan bahwa ada tiga faktor kunci dalam pelaksanaan
kebijakan, khususnya kebijakan rekrutmen dan seleksi, yaitu: faktor
teknis secara langsung berkaitan dengan kegiatan dan langkahlangkah yang dilakukan di lapangan; faktor politis terkait dengan aktor
yang terlibat serta persoalan kewenangan; serta faktor administratif
yang menyangkut mekanisme penyelenggaraan. Secara khusus
Gatewood dan Field dalam Setyowati (2014: 93) menekankan bahwa
pengumpulan informasi yang akurat tentang kemampuan pelamar
melalui proses seleksi yang baik biasanya terhambat oleh keterbatasan
fasilitas, biaya, waktu, tenaga staf serta penyimpanan data.
Faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan merit system diajukan
pula oleh Setyowati (2014: 145), yang mana terdapat tiga faktor yang
menghambat penerapan merit system dalam rekrutmen dan seleksi
CPNS. Pertama adalah hambatan administratif yang mana hal ini
berkaitan dengan belum adanya harmonisasi antara kerangka kebijakan
yang menjadi payung hukum pelaksanaan rekrutmen dan seleksi CPNS
dan belum dijelaskan secara detail mengenai merit system termasuk
prinsip-prinsipnya dalam kerangka kebijakan yang dipakai sebagai
payung hukum sehingga mengganggu mekanisme pelaksanaan
rekrutmen dan seleksi CPNS. Hal kedua yang menghambat pelaksanaan
rekrutmen dan seleksi CPNS adalah faktor politik dan budaya, yang
mana dalam hal ini terdapat indikasi KKN yang dilakukan oleh oknum
birokrasi. Hal ketiga yang menghambat pelaksanaan rekrutmen dan
seleksi CPNS adalah hal teknis, yang mana dalam hal ini berkaitan
dengan terbatasnya kemampuan sumber daya aparatur dalam
menjalankan tanggung jawab atas pekerjaan yang diberikan dan
kurangnya sarana dan prasarana dalam proses penyelenggaraan
rekrutmen dan seleksi CPNS. Dalam penelitian ini untuk melihat faktorfaktor yang mempengaruhi implementasi merit system dalam proses
rekrutmen dan seleksi CPNS peneliti menggunakan variabelvariabel
yang diungkapkan oleh Setyowati (2014), di antaranya adalah: faktor
administrasi, politik dan budaya, serta teknis.
III. Prinsip-Prinsip Sistem Merit
Menurut U.S. Merit Systems Protection Board terdapat sembilan

15

prinsip dalam pelaksanaan sistem merit, yaitu;
1. Rekrutmen merupakan individu-individu yang tepat dan
memenuhi kualiikasi dalam upaya mencapai tenaga kerja yang
berasal dari seluruh segmen masyarakat. Pemilihan dan
pelatihan ditentukan hanya berdasarkan kemampuan,
pengetahuan dan keterampilan. Rekrutmen harus bersifat adil
dan bersifat kompetisi terbuka serta menjamin bahwa semua
orang menerima kesempatan yang sama.
2. Seluruh karyawan dan pelamar pekerjaan harus menerima
perlakuan yang adil dan merata di semua aspek manajemen
personalia tanpa memandang ailiasi politik, ras, warna, agama,
asal-usul kebangsaan, seks, status perkawinan, usia, atau
kelainan kondisi, dan dengan tepat memperhatikan privasi dan
hak-hak konstitusional mereka.
3. Imbalan yang sama harus disediakan untuk pekerjaan dengan
nilai yang sama dengan mempertimbangkan standar
pembayaran yang dilakukan di sector swasta pada tingkat lokal
dan nasional serta pemberian insentif dan penghargaan bagi
mereka yang unggul dalam kinerja.
4. Seluruh pegawai harus mempertahankan standar yang tinggi
dalam hal integritas, perilaku dan mementingkan kepentingan
umum.
5. Pegawai Pemerintah Federal harus bekerja dengan efektif dan
eisien.
6. Pegawai harus dipertahankan berdasarkan kinerja, bagi yang
belum memenuhi standar kinerja harus diberikan perhatian,
pegawai yang tidak dapat memenuhi kinerja harus diberikan
perlakuan yang berbeda
7. Setiap pegawai harus diberikan pendidikan dan pelatihan yang
efektif guna peningkatan kinerja yang lebih baik bagi individu
maupun organisasi
8. Setiap pegawai harus :
a. Mendapatkan pelindungan dari tindakan sewenangwenang, pilih kasih yang bersifat pribadi atau paksaan
untuk tujuan politik partisan
b. Dilarang menggunakan kewenangan atau pengaruh
secara resmi untuk mengganggu atau mempengaruhi
hasil pemilihan atau nominasi terkait pemilihan.
9. Pegawai harus diberikan perlindungan dari upaya balasan

16

dalam proses pengungkapan informasi dari pegawai lain yang
diyakini melakukan:
a. Pelanggaran hukum, aturan dan peraturan;
b. kesalahan dalam manajerial, pemborosan dana,
kekosongan otoritas dan secara subtantif serta spesiik
menimbulkan bahaya besar bagi kesehatan dan keamanan
publik.

17

Bab III

Peran KASN dalam
Menciptakan Birokrasi
yang Kompeten, Bersih
dan Melayani
I.

Latar Belakang Pembentukan KASN

Lahirnya KASN tidak terlepas dari keinginan untuk membentuk
KASN dalam mengambil peran yang strategis guna memastikan
terwujudnya meritokrasi birokrasi publik. Birokrasi publik yang memiliki
manajemen dilandasi oleh profesionalisme akan menghasilkan luaran
(out put) pelayanan yang baik. Selanjutnya, pada tanggal 15 Januari
2014, diundangkan UU ASN, dalam rangka membangun ASN yang
memiliki integritas, profesional, netral dan bebas dari intervensi politik,
bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mampu
menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu
menjalankan peran sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan
bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Pelaksanaan manajemen ASN selama
ini belum berdasarkan pada perbandingan antara kompetensi dan
kualiikasi yang diperlukan oleh jabatan dengan kompetensi dan
kualiikasi yang dimiliki oleh calon dalam rekrutmen, pengangkatan,
penempatan dan promosi jabatan. Oleh karena itu, guna mewujudkan
tata kelola pemerintahan yang baik serta mewujudkan ASN sebagai
bagian dari reformasi birokrasi, dipandang perlu menetapkan ASN
sebagai profesi yang memiliki kewajiban mengelola dan
mengembangkan diri dan wajib mempertanggungjawabkan kinerja
serta menerapkan prinsip merit dalam pelaksanaaan manajamen ASN.
UU ASN mengamanatkan pembentukan Komisi Aparatur Sipil

18

Negara (KASN). Pengertian Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 18 UU ASN adalah lembaga
nonstruktural yang mandiri dan bebas dari intervensi politik. KASN
merupakan lembaga nonstruktural yang mandiri dan bebas dari
intervensi politik untuk menciptakan Pegawai Aparatur Sipil Negara
(ASN) yang profesional dan berkinerja, memberikan pelayanan secara
adil dan netral, serta menjadi perekat dan pemersatu bangsa. (UU ASN,
Ps. 1 angka 18). Tujuan pembentukan KASN berdasarkan Pasal 28,
antara lain: (a) menjamin terwujudnya Sistem Merit dalam kebijakan
dan Manajemen ASN; (b) mewujudkan ASN yang profesional, berkinerja
tinggi, sejahtera, dan berfungsi sebagai perekat Negara Kesatuan
Republik Indonesia; (c) mendukung penyelenggaraan pemerintahan
negara yang efektif, eisien dan terbuka, serta bebas dari praktik korupsi,
kolusi, dan nepotisme; (d) mewujudkan Pegawai ASN yang netral dan
tidak membedakan masyarakat yang dilayani berdasarkan suku, agama,
ras, dan golongan; (e) menjamin terbentuknya profesi ASN yang
dihormati pegawainya dan masyarakat; dan (f ) mewujudkan ASN yang
dinamis dan berbudaya pencapaian kinerja (UU ASN, Ps. 28).
KASN sebagai lembaga mandiri yang bertanggung jawab kepada
Presiden, dan mempunyai tugas pokok yakni: (a) pengawasan dalam
penerapan Nilai Dasar ASN pada instansi pemerintah; (b) pengawasan
dalam pelaksanaan Kode Etik dan Kode Perilaku Pegawai ASN; (c)
pengawasan netralitas Pegawai ASN; (d) pengawasan atas pelaksanaan
sistem merit dalam manajemen sumber daya ASN; dan (e) pengawasan
atas pelaksanaan seleksi terbuka dan kompetitif pada Jabatan Pimpinan
Tinggi. Pelaksanaan tugas KASN tersebut, mendukung percepatan
Reformasi Birokrasi Nasional yang menjadi prioritas pemerintah
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sebagaimana
tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) 2015-2019 dan Program Kerja Presiden dan Wakil Presiden
Nawacita pada butir kedua, yang menyebutkan bahwa Reformasi
Birokrasi Nasional menjadi salah satu program prioritas. Pentingnya
Reformasi Birokrasi Nasional terutama dalam rangka mengatasi
permasalahan: (1) rendahnya efektivitas pemerintahan, termasuk di
dalamnya kualitas kebijakan, kualitas pelayanan publik, dimana posisi
Indonesia jauh tertinggal dari Negara tetangga di ASEAN; (2) rendahnya
daya saing Indonesia secara global sehingga dikhawatirkan
pertumbuhan ekonomi akan terganggu dan Indonesia terancam masuk
dalam middle income trap, dan; (3) masih tingginya korupsi yang telah
menghambat pertumbuhan ekonomi dan membuat pelayanan publik

19

menjadi tidak efektif (KASN, 2016).
Selanjutnya dari aspek kelembagaan, Presiden selaku pemegang
kekuasaan pemerintahan merupakan pemegang kekuasaan tertinggi
dalam kebijakan, pembinaan profesi, dan Manajemen ASN. Guna
menyelenggarakan kekuasaan tersebut, Presiden mendelegasikan
kekuasaannya kepada KASN, berkaitan dengan kewenangan
monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan Manajemen ASN
untuk menjamin perwujudan Sistem Merit serta pengawasan terhadap
penerapan asas serta kode etik dan kode perilaku ASN (UU ASN, Ps. 25
ayat (2) huruf b). Selain kepada KASN, Presiden juga mendelegasikan
kewenangan kepada Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi—berkaitan dengan kewenangan perumusan
dan penetapan kebijakan, koordinasi dan sinkronisasi kebijakan, serta
pengawasan atas pelaksanaan kebijakan ASN, Lembaga Administrasi
Negara (LAN)—berkaitan dengan kewenangan penelitian, pengkajian
kebijakan Manajemen ASN, pembinaan, dan penyelenggaraan
pendidikan dan pelatihan ASN (UU ASN, Ps. 1 angka 20), dan Badan
Kepegawaian Negara (BKN)—berkaitan dengan kewenangan
penyelenggaraan Manajemen ASN, pengawasan dan pengendalian
pelaksanaan norma, standar, prosedur, dan kriteria Manajemen ASN
(UU ASN, Ps 1 angka 21).
II. Kedudukan, Fungsi dan Kewenangan KASN
KASN sebagai lembaga nonstruktural yang mandiri dan bebas dari
intervensi politik untuk menciptakan Pegawai ASN yang profesional
dan berkinerja, memberikan pelayanan secara adil dan netral, serta
menjadi perekat dan pemersatu bangsa (UU ASN, Ps 27). KASN
berkedudukan di ibu kota negara. Fungsi, tugas dan wewenang KASN
diatur dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 33 ASN, sebagaimana
diuraikan dalam Tabel 2. Fungsi, Tugas, dan Wewenang KASN, sebagai
berikut:

20

Tabel 2.1 Fungsi, Tugas, dan Wewenang KASN
Pengaturan

Ketentuan

Substansi

Fungsi

Pasal 30

KASN berfungsi mengawasi pelaksanaan
norma dasar, kode etik dan kode perilaku
ASN, serta penerapan Sistem Merit dalam
kebijakan dan Manajemen ASN pada
Instansi Pemerintah.

Tugas

Pasal 31
ayat (1)

KASN bertugas:
a. menjaga netralitas Pegawai ASN;
b. melakukan pengawasan atas
pembinaan profesi ASN; dan
c. melaporkan pengawasan dan evaluasi
pelaksanaan kebijakan Manajemen ASN
kepada Presiden.

Pasal 31
ayat (2)

Dalam melakukan tugas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) KASN dapat:
a. melakukan penelusuran data dan
informasi terhadap pelaksanaan Sistem
Merit dalam kebijakan dan Manajemen
ASN pada Instansi Pemerintah;
b. melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan fungsi Pegawai ASN
sebagai pemersatu bangsa;
c. menerima laporan terhadap
pelanggaran norma dasar serta kode
etik dan kode perilaku Pegawai ASN;
d. melakukan penelusuran data dan
informasi atas prakarsa sendiri terhadap
dugaan pelanggaran norma dasar serta
kode etik dan kode perilaku Pegawai
ASN; dan
e. melakukan upaya pencegahan
pelanggaran norma dasar serta kode
etik dan kode perilaku Pegawai ASN.

21

Wewenang

Pasal 32
ayat (1)

KASN berwenang:
a. mengawasi setiap tahapan proses
pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi
mulai dari pembentukan panitia seleksi
instansi, pengumuman low