Pengaruh Kompres Hangat terhadap Intensitas Nyeri pada Lansia yang Mengalami Reumatoid Artritis di Puskesmas Amplas Kecamatan Medan Amplas

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Konsep Kompres Hangat

2.1.1

Defenisi Kompres Hangat
Potter & Perry (2005) kompres hangat adalah sepotong balutan kasa yang

dilembabkan dengan cairan hangat yang telah diprogramkan. Panas dapat
meingkatkan vasodilatasi dan evaporasi panas dari permukaan kulit. Menurut
Smeltzer & Bare (2002) kompres hangat mempunyai keuntungan meningkatkan
aliran darah ke suatu area dan kemungkinan dapat turut menurunkan nyeri dengan
mempercepat penyembuhan. Suhu air yang digunakan dalam kompres hangat,
yaitu 50-60°C (Asmadi, 2008).

2.1.2


Tujuan Kompres Hangat
Tujuan dari kompres hangat adalah pelunakan jaringan fibrosa, membuat

otot tubuh lebih rileks, menurunkan rasa nyeri, dan memperlancar pasokan aliran
darah dan memberikan ketenangan pada klien. Kompres hangat yang digunakan
berfungsi untuk melebarkan pembuluh darah, menstimulasi sirkulasi darah, dan
mengurangi kekakuan (Perry & Potter, 2005).

Universitas Sumatera Utara

2.1.3

Fisiologi Kompres Hangat
Smeltzer & Bare (2002), mengemukakan bahwa energi panas yang hilang

atau masuk ke dalam tubuh melalui kulit dengan empat cara, yaitu konduksi,
konveksi, radiasi evaporasi.
2.1.3.1 Konduksi
Konduksi adalah perpindahan panas akibat paparan langsung kulit dengan
benda-benda yang ada di sekitar tubuh. Biasanya proses kehilangan panas dengan

mekanisme konduksi sangat kecil. Sentuhan dengan benda umumnya memberi
dampak kehilangan suhu yang kecil karena dua mekanisme, yaitu kecenderungan
tubuh untuk terpapar langsung dengan benda relative jauh lebih kecil dari pada
paparan dengan udara, dan sifat isolator benda menyebabkan proses perpindahan
panas tidak dapat terjadi secara efektif terus-menerus.
2.1.3.2 Konveksi
Konveksi merupakan perpindahan panas berdasarkan gerakan fluida dalam
hal ini adalah udara, artinya panas tubuh dapat dihilangkan bergantung pada aliran
udara yang melintasi tubuh manusia. Konveksi adalah transfer dari energy panas
oleh arus udara maupun air. Saat tubuh kehilangan panas melalui konduksi
dengan udara sekitar yang lebih dingin, udara yang bersentuhan dengan kulit
menjadi hangat. Karena udara panas lebih ringan dibandingkan udara dingin,
udara panas berpindah ketika udara dingin bergerak ke kulit untuk menggantikan
udara panas. Pergerakan udara ini disebut arus. konveksi, membantu membawa
panas dari tubuh. Kombinasi dari proses konveksi dan konduksi guna membawa
pergi panas dari tubuh dibantu oleh pergerakan paksa udara melintasi permukaan

Universitas Sumatera Utara

tubuh, seperti kipas angin, angin, pergerakan tubuh saat menaiki sepeda dan lainlain.

2.1.3.3 Radiasi
Radiasi adalah mekanisme kehilangan panas tubuh dalam bentuk
gelombang panas inframerah. Gelombang inframerah yang dipancarkan dari tubuh
memiliki panjang gelombang 5–20 mikrometer. Tubuh manusia memancarkan
gelombang panas ke segala penjuru tubuh. Radiasi merupakan mekanisme
kehilangan panas paling besar pada kulit 60 % atau 15 % seluruh mekanisme
kehilangan panas. Panas adalah energi kinetik pada gerakan molekul. Sebagian
besar energi pada gerakan ini dapat di pindahkan ke udara bila suhu udara lebih
dingin dari kulit. Sekali suhu udara bersentuhan dengan kulit, suhu udara menjadi
sama dan tidak terjadi lagi pertukaran gas, yang terjadi hanya prosespergerakan
udara sehingga udara baru yang suhunya lebih dingin dari suhu tubuh.

2.1.3.4 Evaporasi
Evaporasi (penguapan air dari kulit) dapat memfasilitasi perpindahan
panas tubuh. Setiap satu gram air yang mengalami evaporasi akan menyebabkan
kehilangan panas tubuh sebesar 0,58 kilokalori. Pada kondisi individu tidak
berkeringat, mekanisme evaporasi berlangsung sekitar 450-600 ml/hari. Hal ini
menyebabkan kehilangan panas terus menerus dengan kecepatan 12-16 kalori per
jam. Evaporasi ini tidak dapat dikendalikan karena evaporasi terjadi akibat difusi
molekul air secara terus-menerus melalui kulit dan sistem pernafasan.


Universitas Sumatera Utara

2.2

Konsep Nyeri

2.2.1

Defenisi Nyeri
Smeltzer & Bare (2001) mendefenisikan nyeri adalah pengalaman sensori

dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang
aktual dan potensial, menyakitkan tubuh, serta diungkapkan oleh individu yang
mengalaminya. Perasaan yang tidak menyenangkan bersifat sangat subjektif
karena perasaan nyeri berbeda setiap orang dalam hal skala atau tingkatan dan
hanya orang tersebutlah yang dapat menjelaskan atau mengevaluasi rasa nyeri
yang dialami (Hidayat, 2009). Nyeri sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi
seseorang yang keberadaannya diketahui hanya jika orang tersebut yang pernah
mengalami (Mc Coffey, 1979 dalam Hidayat 2009).

Menurut The International Association for the Study of Pain (IASP,1979
dalam Potter & Perry, 2005), mendefinisikan nyeri sebagai suatu pengalaman
sensori dan emosional yang tidak nyaman yang berhubungan dengan kerusakan
jaringan aktual dan potensial yang dirasakan dalam kejadian-kejadian di mana
terjadi kerusakan.

2.2.2

Fisiologis Nyeri

2.2.2.1 Stimulus Nyeri
Nyeri selalu dikaitkan dengan adanya stimulus (rangsang nyeri) dan
reseptor. Reseptor yang dimaksud adalah nosireseptor, yaitu ujung-ujung saraf
bebas pada kulit yang berespon terhadap stimulus yang kuat. Munculnya nyeri
dimulai dengan adanya stimulus nyeri. Stimulus-stimulus tersebut dapat berupa

Universitas Sumatera Utara

biologis, zat kimia, panas, listrik serta mekanik (Prasetyo, 2010). Terdapat
beberapa jenis stimulus nyeri stimulus nyeri, diantaranya:

Tabel 2.1 Jenis-Jenis Stimulus Nyeri
Faktor Penyebab
Contoh
Mikroorganisme (virus, bakteri, jamur, Meningitis
dll)
Kimia
Tersiram air keras
Tumor
Ca Mamae
Iskemia jaringan
Jaringan miokard yang mengalami
iskemia karena gangguan aliran darah
pada arteri koronaria
Listrik
Terkena sengatan listrik
Spasme
Spasme otot
Obstruksi
Batu ginjal, batu ureter, obstruksi usus
Panas

Luka bakar
Fraktur
Fraktur femur
Salah urat
Keseleo, terpelintir
Radiasi
Radiasi untuk pengobatan kanker
Psikologis
Berduka, konflik
Sumber: Prasetyo, 2010

2.2.2.2 Reseptor Nyeri
Reseptor merupakan sel-sel khusus yang mendeteksi perubahan-perubahan
particular disekitarnya, kaitannya dengan proses terjadinya nyeri maka reseptorreseptor inilah yang menangkap stimulus nyeri (Prasetyo, 2010). Reseptor nyeri
disebut juga nosiseptor. Reseptor ini dapat dibagi menjadi: (1) exteroreseptor, (2)
telereseptor, (3) propioseptor dan (4) interoreseptor.
Exteroreseptor yaitu reseptor yang berpengaruh terhadap perubahan pada
lingkungan eksternal, antara lain: corpusculum miessineri dan corpus merkel
untuk merasakan stimulus taktil (rabaan dan sentuhan), corpusculum krausse
untuk merasakan dingin sedang corpusculum ruffini untuk merasakan rangsangan

panas. Telereseptor merupakan reseptor yang sensitif terhadap stimulus yang jauh.
Propioreseptor merupakan reseptor yang menerima impuls primer dari organ otot,

Universitas Sumatera Utara

spindle dan tendon golgi. Dan interoseptor merupakan reseptor yang sensitif
terhadap perubahan pada organ-organ visceral dan pembuluh darah.
Berdasarkan letaknya, nosiseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa
bagian tubuh yaitu pada kulit (kutaneus), somatik dalam (deep somatik) dan pada
daerah viseral. Karena letaknya yang berbeda inilah nyeri yang timbul memiliki
sensasi yang berbeda-beda (Tamsuri, 2012). Serabut A delta adalah serabut yang
bermielin, cepat mengirim sensasi yang tajam, terlokalisasi dan jelas yang
melokalisasi sumber nyeri serta mendeteksi intensitas nyeri. Serabut A delta
tersebut menghantar komponen cedera akut dengan segera (Jones & Cory, 1990
dalam Poter & Perry, 2005). Sedangkan serabut C menghantar impuls yang
terlokalisasi buruk, viseral dan terus menerus (Puntillo, 1988 dalam Potter &
Perry, 2005). Misalnya, setelah menginjak sebuah paku, seorang individu mulamula akan merasakan nyeri yang terlokalisasi dan tajam, yang bernosiseptorkan
serabut A delta. Dalam beberapa detik, nyeri menjadi lebih difus dan menyebar
sampai seluruh kaki terasa sakit karena dinosiseptori oleh serabut C (Potter &
Perry, 2005).

Struktur reseptor nyeri somatik dalm meliputi reseptor nyeri yang terdapat
pada tulang, pembuluh darah, saraf, otot dan jaringan penyangga lainnya, karena
struktur reseptornya kompleks, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul
dan sulit untuk dilokalisasi (Tamsuri, 2012).
Reseptor ketiga yaitu reseptor visceral, yaitu reseptor yang meliputi organorgan visceral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul
biasanya difus (terus-menerus), dan tidak sensitif terhadap pemotongan organ

Universitas Sumatera Utara

tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi. Nyeri visceral
dapat menyebabkab nyeri alih (reffered pain) yaitu nyeri yang dapat timbul pada
daerah yang berbeda/jauh dari organ asal stimulus nyeri tersebut. Keadaan ini
terjadi karena adanya sinaps pada jaringan viseral pada medula spinalis dengan
serabut yang berasal dari jaringan subkutan tubuh (Tamsuri, 2012).

2.2.2.3 Neuroregulator Nyeri
Neuroregulator atau substansi yang mempengaruhi transmisi stimulus
saraf memegang peranan yang sangat penting dalam suatu pengalaman nyeri.
Substansi ini ditemukan di lokasi nosiseptor, di terminal saraf dalam kornu
dorsalis pada medula spinalis. Neuroregulator diyakini tidak bekerja secara

langsung, yakni dengan meningkatkan dan menurunkan efek neurotransmiter
tertentu (Potter & Perry, 2005).
Menurut Potter & Perry (2005) neuroregulator dibagi menjadi dua
kelompok, yakni neurotransmiter dan neuromodulator. Neurotransmiter terdiri
dari (1) Substansi P ditemukan pada neuron nyeri di kornu dorsalis (peptida
ektisator), diperlukan untuk mentransmisi impuls nyeri dari perifer ke otak dan
menyebabkan vasodilatasi dan edema, (2) Serotonin dilepaskan oleh batang otak
dan kornu dorsalis untuk menghambat transmisi nyeri, (3) Prostaglandin
dibangkitkan dari pemecahan pospolipid di membran sel dan dipercaya dapat
meningkatkan sensitivitas terhadap sel. sedangkan neuromodular terdiri dari (1)
endorfin ( morfin endogen) merupakan substansi sejenis morfin yang disuplai oleh
tubuh, diaktivasi oleh daya stress dan nyeri serta terdapat di otak, spinal dan

Universitas Sumatera Utara

traktus gastrointestinal serta dapat memberi efek analgetik, (2) bradikinin yang
dilepaskan dari plasma dan pecah di sekitar pembuluh darah yang mengalami
cedera, bekerja pada reseptor syaraf perifer yang dapat meningkatkan stimulus
nyeri dan bekerja pada sel yang menyebabkan reaksi berantai sehingga terjadi
pelepasan prostaglandin (Tamsuri, 2012).


2.2.3

Teori-Teori Nyeri

2.2.3.1 Teori Spesifik ( Specivicity Theory)
Teori ini didasarkan pada adanya jalur-jalur tertentu yang dapat
mentransmisikan rasa nyeri. Adanya ujung-ujung saraf bebas pada perifer
bertindak sebagai reseptor nyeri, dimana saraf-saraf ini diyakini mampu untuk
menerima stimulus nyeri dan menghantarkan impuls nyeri ke susunan saraf pusat.
Impuls kemudian ditransmisikan melalui dorsal horn (akar belakang) dan
substansia gelatinosa ke thalamus dan berakhir pada area kortek. Nyeri kemudian
dapat diinterpretasikan dan muncul respon terhadap nyeri. Teori ini tidak
memunculkan karakteristik multidimensi dari nyeri, teori ini hanya melihat nyeri
secar sederhana yaitu melihat nyeri dari paparan biologis saja tanpa melihat
variasi dari efek psikologis individu (Prasetyo, 2010)

2.2.3.2 Teori Pola ( Pattren Theory)
Teori ini dikemukakan pada awal tahun 1900. Teori ini mengemukakan
bahwa terdapat dua serabut nyeri utama yaitu serabut yang menghantar nyeri
secara cepat dan serabut yang menghantar nyeri secara lambat (serabut A delta

Universitas Sumatera Utara

dan serabur C). Stimulus dari serabut saraf ini membentuk sebuah “pattern/pola”.
Teori ini juga mengenal konsep “Central Summation” dimana impuls perifer dari
kedua saraf disatukan di spinal cord dan dari sana hasil penyatuan impuls
diteruskan ke otak untuk diinterpretasikan. Sebagaimana halnya dengan teori
spesifik, teori ini juga tidak memperhatikan perbedaana persepsi dan faktor
psikologis dari masing-masing individu (Prasetyo, 2010).

2.2.3.3 Teori Pengontrolan Nyeri
Menurut Potter & Perry (2005), Teori Gate Control merupakan impuls
nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat upaya
pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar
menghilangkan nyeri.
Menurut Melzack dan Wall (1965 dalam Prasetyo 2010) Teori Gate
Control menerangkan bahwa nyeri dan persepsi nyeri dipengaruhi oleh interaksi
dari dua sistem. Dua sistem tersebut yaitu: substansia gelatinosa pada dorsal horn
di medula spinalis dan sistem yang berfungsi sebagai inhibitor (penghambat) yang
terdapat pada batang otak.
Di dalam substansi gelatinosa impuls ini akan bertemu dengan suatu
“gerbang” yang menbuka dan menutup berdasarkan prinsip siapa yang lebih
mendominas, serabut taktil A beta ataukah serabut nyeri yang berdiameter kecil.
Apabila impuls yang dibawa serabut nyeri yang berdiameter kecil melebihi impuls
yang dibawa oleh serabut taktil A Beta maka “gerbang akan terbuka sehingga
perjalanan impuls nyeri tidak terhalangi sehingga impuls akan sampai ke otak.

Universitas Sumatera Utara

Sebaliknya, apabila impuls yang dibawa oleh serabut lebih mendominasi,
“gerbang” akan menutup sehingga impuls nyeri akan terhalangi. Alasan inilah
yang mendasari mengapa dengan masase dapat mengurangi durasi dan intensitas
nyeri
Gambar 2.1 Mekanisme Kerja Gate Kontrol
Gate control
A delta dan C
Trans
sel

A beta

Sumber: Prasetyo, 2010

Sistem kedua yang digambarkan sebagai “pintu gerbang” terletak di
batang otak. Hal ini diyakini bahwa sel-sel di otak tengah dapat diaktifkan oleh
beberapa faktor seperti: opiat, faktor psikologis, bahkan dengan kehadiran nyeri
itu sendiri dapat memberikan sinyal reseptor di medula. Reseptor ini dapat
mengatur serabur saraf di spinal cord untuk mencegah perjalanan transmisi nyeri
(Prasetyo, 2010).

2.2.4

Klasifikasi Nyeri
Tamsuri (2012) membagi klasifikasi nyeri berdasarkan 3 bagian, yaitu:

2.2.4.1 Klasifikasi Berdasarkan Awitan
Berdasarkan waktu kejadian, nyeri dapat dikelompokkkan menjadi nyeri
akut dan nyeri kronis (Tamsuri, 2012). Nyeri akut adalah nyeri nyeri yang terjadi

Universitas Sumatera Utara

pada waktu (durasi) satu detik sampai dengan enam bulan, sedangkan nyeri kronis
adalah nyeri yang terjadi dalam waktu lebih dari enam bulan. Nyeri akut
umumnya terjadi pada cedera, penyakit akut atau pada pembedahan dengan
awitan yang cepat dan tingkat keparahan yang bervariasi (sedang sampai berat)
dan berlangsung dalam waktu yang singkat. Fungsi dari nyeri akut ialah
memberikan peringatan akan cedera atau penyakit yang akan datang. Nyeri akut
biasanya menghilang dengan atau tanpa pegobatan setelah keadaan pulih pada
area yang rusak (Potter & Perry, 2005).
Nyeri kronik menurut Prasetyo (2010) terbagi menjadi dua, yaitu: Cronic
acut pain dan cronic non-malignant pain. Cronic acut pain dapat dirasakan setiap
harinya dalam suatu periode yang panjang (beberapa bulan atau tahun). Contoh
pada penderita dengan luka bakar yang parah dan kanker. Nyeri yang diakibatkan
luka bakar yang parah dan kanker akan terus dirasakan sepanjang harinya sampai
kondisi yang mendasari timbulnya nyeri tersebut hilang atau terkontrol. Pada
kasus tertentu, nyeri berakhir hanya dengan berakhirnya hidup klien (kematian),
seperti contoh pada kasus klien dengan stadium terminal.
Cronic non-malignant pain disebut juga dengan cronic benign pain nyeri
ini dirasakan hampir setiap hari selama periode lebih dari 6 bulan dengan
intensitas nyeri ringan sampai berat. Menurut McCaffery dan Pasero (1997 dalam
Prasetyo 2010), terdapat tiga karakteristik khusus pada nyeri kronis non malignan,
yaitu: nyeri ini berhubungan dengan penyebab-penyebab yang tidak mengancam
kehidupan, tidak begitu responsif terhadap metode-metode pembebasab nyeri dan
dapat berlanjut pada sisa kehidupan. Contoh dari berbagai patofisiologi yang

Universitas Sumatera Utara

dapat mengakibatkan nyeri kronis nonmaligna yaitu: berbagai bentuk dari
neuralgia, low back pain, reumatoid artritis, ankylosing spondilitis, nyeri phantom
dan myofascial pain syndrom.
Tabel 2.2 Perbedaan Antara Nyeri Akut dan Nyeri Kronis
Karakteristik
Tujuan

Awitan
Durasi

Intensitas
Respon otonom

Respon psikologis

Respon fisik/ perilaku

Contoh

Nyeri akut
Nyeri Kronis
Memperingatkan
klien Menberikan alas an
terhadap adanya cedera/ kepada
klien
untuk
masalah
mencari informasi yang
berkaitan
dengen
perawatan dirinya
Mendadak
Terus-menurus/
intermiten
Durasi
singkat
(dari Durasi lama (enam bulan
beberapa detik sampai lebih)
enam bulan)
Ringan sampai berat
Ringan sampai berat
Frekuensi
jantung Tidak terdapat respon
meningkat,
volume otonom, vital sign dalam
sekuncup
meningkat,, batas normal
tekanan darah meningkat,
dilatasi pupil meningkat,
tegangan otot meningkat,
motilitas gastrointestinal
menurun, aliran saliva
menurun.
Ansietas
Depresi, keputusasaan,
mudah
tersinggung/
marah, menarik diri
Menangis/
mengerang, Keterbatasan
gerak,
waspada,
mengerutkan kelesuan,
penurunan
dahi,
menyeringai, libido,
kelelahan/
mengeluh sakit
kelemahan,
mengeluh
sakit hanya ketika dikaji/
ditanyakan
Nyeri bedah, trauma
Nyeri kanker, artritis,
neuralgia trigeminal

Sumber: Prasetyo, 2010

Universitas Sumatera Utara

2.2.4.2 Klasifikasi Berdasarkan Lokasi
Menurut Potter & Perry (2005) berdasarkan lokasinya, nyeri dapat
dibedakan menjadi empat jenis yaitu:
a. Nyeri Superfisial atau Kutaneus
Nyeri superfisial dapat dirasakan pada seluruh permukaan tubuh atau kulit
klien. Trauma gesekan, suhu yang terlalu panas dapat dijadikan dapat dijadikan
penyebab timbulnya nyeri ini (Prasetyo, 2010). Nyeri jenis ini mempunyai waktu
penyembuhan yang pendek, terlokalisir, dan memiliki sensasi yang tajam
(Tamsuri, 2012).
b. Nyeri Somatis Dalam (Deep Somatik Pain)
Nyeri somatis merupakan fenomana nyeri yang kompleks. Nyeri somatis
dalam biasanya bersifat difus (menyebar) berbeda dengn nyeri superfisial yang
mudah untuk dilokalisir. Bagian yang mempunyai sensitifitas terhadap nyeri
antara lain: tendon, fascia dalam, ligamen, pembuluh darah, tulang periesteum dan
nervus-nervus. Otot skeleton hanya sensitif terhadap iskemia dan peregangan.
Tulang dan kartilago biasanya sensitif terhadap tekanan yang ekstrim atau
stimulasi kimia, misal: rheumatoid artritis, osteomielitis (Prasetyo, 2010).
Tabel 2.3 Perbedaan Antara Nyeri Kutaneus dengan Nyeri Somatik Dalam
Karakteristik
Kualitas
Durasi

Lokasi

Nyeri Kutaneus
Tajam, sensasi terbakar

Nyeri Somatis Dalam
Biasanya bersifat tumpul,
berdenyut
Berdurasi pendek
Biasanya lebih lama
dibandingkan
nyeri
kutaneus
Cenderung
dapat Cenderung difus
dan
dilokalisir, nyeri dapat
sulit untuk dilokalisir
dirasakan pada suatu titik
area, pada permukaan

Universitas Sumatera Utara

Tanda
gejala
menyertai

yang Rasa terbakar,
hyperalgesia

gatal, Berhubungan
dengan
respon otonom: mual,
muntah,
berkeringat,
muka pucat, bradikardit,
penurunan tekanan darah,
sinkop

Sumber: Prasetyo, 2010

c. Nyeri Visceral
Nyeri viseral adalah nyeri yang disebabkan oleh organ interna. Nyeri
viscera cenderung bersifat difus (dirasakan menyebar), sulit dilokalisir, samarsamar dan bersifat tumpul. Penyebab nyeri visceral adalah semua rangsangan
yang dapat menstimulasi ujung saraf nyeri di daerah visceral. Rangsangan tersebut
dapat berupa iskemia jringan visceral, spasme suatu viscera berongga, rangsang
kimia dan distensi suatu organ viscera. Contoh dari nyeri visceral yaitu:
apendiksitis, cholecystitis, penyakit kardiovaskuler, renal, konik uretra dan lainlain (Prasetyo, 2010).
Tabel 2.4 Perbedaan Nyeri Somatik dan Nyeri Viseral
Karakteristik

Somatik

Viseral

Kualitas

Superfisial
Tajam, menusuk

Lokalisasi
Mengabar
Stimulus
penyebab

Terpusat
Tidak
Cedera, abrasi,
Panas/dingin

Reaksi
autonom
Refleks
kontraksi otot

Tidak

Dalam
Tajam atau tumpul,
difus
Menyebar
Tidak
Cedara, panas,
Iskemia,
pergeseran
Ya

Dalam

Ya

Tajam,tumpul,
difus, kejang
Menyebar
Ya
Distensi, iskemia,
Spasme,
iritasi,
kimiawi
Ya
Ya

Sumber: Prasetyo, 2010

Universitas Sumatera Utara

d. Nyeri Radiasi
Nyeri radiasi adalah sensasi nyeri yang meluas dari tempat awal cedera
kebagian tubuh yang lain (Potter & Perry, 2005). Nyeri jenis ini biasanya
dirasakan oleh klien seperti berjalan atau bergerak dari daerah asal nyeri ke
sepanjang tubuh tertentu. Nyeri dapat bersifat intermitten atau konstan (Tamsuri,
2012).
e. Nyeri Fantom
Nyeri fantom adalah nyeri yang disebakan karena ekstremitas diamputasi
(Asmadi, 2008). Nyeri oleh klien dipersepsikan pada organ yang mengalami
amputasi seolah-olah organnya masih ada (Tamsuri, 2012).
f. Nyeri Alih
Nyeri alih nyeri yang timbul akibat adanya nyeri viseral yang menjalar ke
orang lain, sehingga dirasakan nyeri pada beberapa tempat atau lokasi. Nyeri jenis
ini dapat timbul. Karena masuknya neuron sensori dari organ yang mengalami
nyeri ke dalam medulla spinalis dan mengalami sinapsis dengan serabut saraf
yang berada pada bagian tubuh lainnya. Nyeri timbul biasanya pada beberapa
tempat yang kadang jauh dari lokasi asal nyeri (Tamsuri, 2012).

2.2.4.3 Klasifikasi Berdasarkan Organ
Berdasarkan organ tempat timbulnya nyeri, nyeri dapat dibedakan menjadi
beberapa kelompok, yaitu: nyeri organik, nyeri neurogenik dan nyeri psikogenik.
Menurut Tamsuri (2012), nyeri organik adalah nyeri yang diakibatkan adanya
kerusakan (aktual atau potensial) organ. Penyebab nyeri umumnya mudah

Universitas Sumatera Utara

dikenali sebagai akibat adanya cedera, penyakit atau pembedahan terhadap salah
satu atau beberapa organ. Nyeri Neurogenik adalah nyeri akibat gangguan neuron,
misalnya pada neuralgia. Nyeri ini terjadi secara akut amupun kronis. Neuralgia
adalah nyeri yang tajam, seperti spasmus disepanjang satu atau beberapa jalur
saraf (Tamsuri, 2012). Nyeri psikogenik adalah nyeri nyeri yang tidak diketahui
penyebabnya secara fisik. Nyeri ini biasanya timbul karena pengaruh psikologis,
mental, emosi atau faktor perilaku. Nyeri psikogenik kadang dilihat Nyeri
psikologik terkadang dilihat dengan stigma yang salah, di mana nyeri ini dianggap
sebagai suatu yang tidak nyata. Padahal semua nyeri yang dikatakan adalah nyata.
Contoh dari nyeri psikogenik adalah sakit kepala, back pain atau nyeri perut
(Prasetyo, 2010).

2.2.5

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nyeri
Potter & Perry (2005) menyatakan nyeri dipegaruhi oleh beberapa faktor,

antara lain: (1) usia, (2) jenis kelamin, (3) kebudayaan, (4) makna nyeri, (5)
perhatian, (6) ansietas, (7) keletihan, (8) pengalaman sebelumnya, (9) gaya
koping, (10) dukungan keluarga dan sosial.
Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri, khususnya
pada anak-anak dan lansia. Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga
perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak. Sedangkan pada lansia cenderung
memendam nyeri yang dialami, karena mereka menganggap nyeri adalah hal
alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat
atau meninggal jika nyeri diperiksakan (Potter & Perry, 2005). Pada klien lansia

Universitas Sumatera Utara

sering sekali mereka tidak melaporkan nyeri karena alasan tertentu. Menurut Herr
& Mobily (1991 dalam Potter & Perry, 2005) klien lansia tidak melaporkan nyeri
karena: (a) klien lansia yakni bahwa nyeri merupakan sesuatu yang mereka harus
diterima, (b) klien lansia mungkin menyangkal bahwa mereka merasakan nyeri
karena tekut akan konsekuensi yang tidak diketahui, (c) klien lansia memilih
untuk tidak mengetahui bahwa mereka merasakan nyeri karena ketakutan akan
mengalami penyakit yang berat atau meninggal, (d) klien lansia menggunakan
istilah yang berbeda-beda untuk mendeskripsikan pengalan nyeri, (e) banyak
lansia yakni bahwa merupakan hal yang tidak dapat diterima apabila
memperlihatkan respon nyeri.
Secara umum jenis kelamin, pria dan wanita tidak berbeda secara
bermakna dalam merespons terhadap nyeri (Gill, 1990 dalam Potter & Perry,
2005). Beberapa kebudayaan yang mempengaruhi jenis kelamin misalnya,
menganggap bahwa seorang anak laki-laki harus berani dan tidak boleh menangis,
sedangkan anak perempuan boleh menangis dalam situasi yang sama. Toleransi
terhadap nyeri dipengaruhi oleh faktor biokimia dan merupakan hal yang unik
pada setiap individu, tanpa memperlihatkan jenis kelamin (Potter & Perry, 2005).
Akan tetapi pada penelitian terakhir memperlihatkan hormon seks pada mamalia
berpengaruh terhadap tingkat toleransi terhadap nyeri. Hormon seks testosteron
menaikkan ambang nyeri pada percobaan binatang sedangkan estrogen
meningkatkan pengenalan atau sensitivitas pada nyeri (Prasetyo, 2010).
Kebudayaan mempengaruhi bagaimana individu berespon terhadap nyeri.
Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh

Universitas Sumatera Utara

kebudayaan mereka (Potter & Perry, 2005). Nilai-nilai budaya perawat dapat
berbeda dengan nilai-nilai budaya pasien dari budaya lain. Harapan dan nilai-nilai
budaya perawat dapat mencakup menghindari ekspresi nyeri yang berlebihan
seperti meringis, dan menangis berlebihan (Smeltzer & Bare, 2001).
Makna seseorang yang dikaitkan dengan nyeri mempengaruhi pengalaman
nyeri

dan

cara

seseorang

beradaptasi

terhadap

nyeri.

Individu

akan

mempersepsikan dengan cara berbeda-beda, apabila nyeri tersebut memberi kesan
ancaman, suatu kehilangan, hukuman, dan tantangan. Misalnya, seseorang wanita
yang sedang bersalin akan mempersepsikan nyeri yang berbeda dengan seorang
wanita yang mengalami nyeri akibat cedera pukulan pasangannya (Potter & Perry,
2005).
Seseorang yang memfokuskan perhatiannya terhadap nyeri akan
mempengaruhi persepsinya. Konsep ini merupakan salah satu hal yang dapat
dilihat perawat dari beberapa nyeri yang dirasakan pasien sehingga perawat dapat
memberikan intervensi yang tepat seperti relaksasi, massase, dan lain sebagainya.
Namun dengan memfokuskan perhatian terhadap stimulus yang lain, dapat
menurunkan persepsi nyeri (Potter & Perry, 2005).
Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks. Ansietas seringkali
meningkatkan persepsi nyeri, tetapi juga seringkali menimbulkan suatu perasaan
ansietas. Pola bangkitan otonom adalah sama dalam nyeri dan ansietas (Gil, 1990
dalam Potter & Perry, 2005). Sama hubungan cemas meningkatkan persepsi
terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang cemas. Sulit untuk

Universitas Sumatera Utara

memisahkan dua sensasi tersebut, stimulus nyeri mengaktifkan bagian sistem
limbik yang diyakinkani mengendaliakan emosi seseorang.
Keletihan meningkatkan persepsi nyeri. Rasa kelelahan menyebabkan
sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan kemampuan koping. Hal ini dapat
menjadi masalah umum pada setiap individu yang menderita penyakit dalam
jangka waktu yang lama (Potter dan Perry, 2005).
Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri, akan tetapi pengalaman
nyeri sebelumnya tidak selalu berarti bahwa individu tersebut akan mudah
menerima nyeri pada masa yang akan datang. Apabila individu sejak lama
mengalami nyeri yang berat, maka ansietas atau bahkan rasa takut akan muncul.
Sebaliknya, apabila individu mengalami nyeri dengan jenis sama dan berulang
tetapi nyeri tersebut dapat hilang akan lebih mudah bagi individu tersebut
menginterpretasikan sensasi nyeri dan akibatnya pasien akan lebih siap untuk
melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menghilangkan nyeri. Dan
apabila pasien tidak pernah mengalami nyeri maka persepsi pertama nyeri dapat
menganggu koping terhadap nyeri (Potter dan Perry, 2005).
Faktor lain yang bermakna mempengaruhi respon nyeri ialah kehadiran
orang-orang terdekat pasien dan bagaimana sikap mereka terhadap pasien.
Individu dari kelompok sosial-budaya yang berbeda memiliki harapan yang
berbeda tentang orang menumpahkan keluhan mereka tentang nyeri yang dialami
(Meinhart dan McCaffery, 1983 dalam Siregar, 2014). Individu yang mengalami
nyeri sering kali bergantung pada anggota keluarga atau teman dekat untuk
memperoleh dukungan, bantuan atau perlindungan. Walaupun nyeri tetap klien

Universitas Sumatera Utara

rasakan, kehadiran orang yang dicintai dapat meminimalkan kesepian dan
ketakutan (Potter & Perry, 2005).

2.2.6

Respon Tubuh terhadap Nyeri

2.2.6.1 Respon Fisik
Respon fisik timbul karena pada saat impuls nyeri ditransmisikan oleh
medula spinalis menuju batang otak dan talamus, sistem saraf otonom
terstimulasi, sehingga menimbulkan respon yang serupa dengan respon tubuh
terhadap stress. Pada nyeri skala ringan sampai moderat serta pada nyeri
superfisial, tubuh bereaksi membangkitkan “General Adaption Syndrom” (reaksi
Fight or Flight), dengan merangsang sistem saraf simpatis. Sedangkan pada nyeri
yang berat dan tidak dapat ditoleransi serta nyeri yang berasal dari organ viseral,
akan mengakibatkan stimulus terhadap saraf parasimpatis (Tamsuri, 2012).

Tabel 2.5 Respon Fisiologis Tubuh terhadap Nyeri
Reaksi
Simpatis
Dilatasi lumen bronkus,
peningkatan frekuensi napas
Denyut jantung meningkat
Vasokonstriksi perifer

Peningkatan glukosa darah
Diaforesis
Tegangan otot meningkat
Dilatasi pupil
Penurunan motilitas usus

Efek
Memungkinkan penyediaan oksigen
yang lebih banyak
Memungkinkan transport oksigen lebih
besar ke dalam jaringan tubuh (sel)
Meningkatkan tekanan darah dengan
memindahkan suplai darah dari perifer
ke organ viseral, otot dan otak
Memungkinkan penyediaan energi
tambahan bagi tubuh
Mengendalikan suhu tubuh selama
stress
Menyiapkan otot untuk mengadakan
aksi
Menghasilkan kemampuan melihat

Universitas Sumatera Utara

yang lebih baik
Menyalurkan energi untuk aktivitas
tubuh yang lebih penting
Parasimpatis
Pucat
Kelelahan otot
Tekanan otot dan nadi menurun
Frekuensi napas cepat, tak teratur

Mual dan muntah
Kelemahan

Disebabkan suplai darah yang menjauhi
perifer
Karena kelelahan
Pengaruh nervus vagal
Karena mekanisme pertahanan yang
gagal
untuk
memperpanjang
perlawanan tubuh terhadap stress
(nyeri)
Kembalinya fungsi gastrointestinal
Akibat pengeluaran energi yang
berlebihan

Sumber: Prasetyo, 2010

2.2.6.2 Respon Perilaku
Respon prilaku yang timbul pada klien yang mengalami nyeri dapat
bermacam-macam. Meinhart dan Mc. Caffery (1983 dalam Tamsuri, 2012)
menggambarkan 3 fase perilaku terhadap nyeri yaitu: antisipasi, sensasi, dan fase
pasca nyeri. Fase antisipasi merupakan fase yang paling penting dan merupakan
fase yang memungkinkan individu untuk memahami nyeri. Individu belajar
mengendalikan emosi (kecemasan) sebelum nyeri muncul, karena kecemasan
dapat menyebabkan peringatan sensasi nyeri yang terjadi pada klien dan atau
tindakan ulang yang dilakukan oleh individu untuk mengatasi nyeri menjadi
kurang efektif. Pada saat terjadi nyeri, banyak perilaku yang diungkapkan oleh
seseorang individu yang mengalami nyeri seperti menangis, meringis,
meringkukkan badan, menjerit, dan bahkan mungkin berlari-lari. Pada fase pasca
nyeri, individu biasa saja mengalami trauma psikologis, takut, depresi, serta dapat
juga menjadi menggigil (Tamsuri, 2012).

Universitas Sumatera Utara

2.2.6.3 Respon Psikologis
Respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien terhadap
nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi individu. Individu yang mengartikan nyeri
sebagai sesuatu yang negatif cenderung memiliki suasana hati sedih, berduka,
ketidakberdayaan, dan dapat berbalik menjadi rasa marah dan frustasi. Sebaliknya
pada individu yang memiliki persepsi nyeri sebagai pengalaman positif akan
menerima nyeri yang dialaminya (Tamsuri, 2012).

2.3

Konsep Lansia

2.3.1

Defenisi Lansia
Menurut Pasal 1 ayat (2), (3), (4), UU No. 13 Tahun 1998 tentang

Kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia
lebih dari 60 tahun (Maryam dkk, 2008). Sedangkan menurut J.W.Santrock (2002
dalam Iladjamu 2011) ada dua pandangan tentang definisi orang lanjut usia atau
lansia, yaitu menurut pandangan orang barat dan orang Indonesia. Pandangan
orang barat yang tergolong orang lanjut usia atau lansia adalah orang yang sudah
berumur 65 tahun keatas, sedangkan pandangan orang Indonesia, lansia adalah
orang yang berumur lebih dari 60 tahun. Usia yang dijadikan patokan untuk lanjut
usia berbeda-beda, umumnya berkisar antara 60-65 tahun (Kusharyadi, 2010).

Universitas Sumatera Utara

2.3.2

Klasifikasi Lansia
Banyak pendapat yang mengemukakan tentang klasifikasi lansia, beberapa

diantara nya adalah sebagai berikut, yaitu World Health Organization (WHO)
(1998 dalam Nugroho 2000) mengklasifikasikan lansia menjadi 4 bagian, yaitu,
usia pertengahan (middle age) adalah kelompok usia 45-59 tahun, usia lanjut
(elderly) adalah kelompok usia 60-74 tahun, usia lanjut tua (old) adalah kelompok
usia 75-90 tahun, usia sangat tua (very old) adalah kelompok usia di atas 90 tahun.
G.Wold (1993 dalam Fatimah 2010) berpendapat lansia diklasifikasikan
menjadi usia 60-74 disebut the young-old, usia 75-84 disebut the middle-old dan
usia 85 keatas disebut the old-old.
Pendapat lain juga dikemukakan oleh Depkes RI (2003 dalam Maryam
2008), lansia diklasifikasikan menjadi Pralansia (Prasenilis), yaitu Seseorang yang
berusia antara 45-59 tahun, Lansia adalah Seseorang yang berusia 60 tahun atau
lebih, lansia risiko tinggi, yaitu seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih atau
seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan, lansia
potensial ialah lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan kegiatan yang
dapat menghasilkan barang dan jasa, lansia tidak potensial merupakan lansia yang
tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang
lain.

2.3.3

Teori-Teori Proses Penuaan
Menurut Maryam (2008) terdapat beberapa teori yang berkaitan dengan

proses penuaan, yaitu teori biologi, teori psikologis, teori sosial, dan teori spritual

Universitas Sumatera Utara

2.3.3.1 Teori biologi
Teori biologi menjelaskan proses fisik penuaan, termasuk perubahan
fungsi dan struktur, usia dan kematian (Cristofalo, 1996 dalam Stanley 2006).
Perubahan yang terjadi dalam tubuh termasuk perubahan molekuler dan sirkuler
dalam sistem organ serta kemampuan tubuh untuk berfungsi secara adekuat dalam
melawan penyakit (Stanley, 2006).
Teori biologi mencakup (a) Teori Genetik dan Mutasi, menurut teori ini
menua terjadi sebagai akibat dari perubahan biokimia yang diprogram oleh
molekul-molekul DNA dan setiap sel pada saatnya akan mengalami mutasi
(Maryam, 2008). (b) Immunology Slow Theory, Teori imunitas menggambarkan
suatu kemunduran dalam sistem imun yang berhubungan dengan penuaan. Ketika
bertambahnya usia seseorang, pertahanan tubuh mereka terhadap organisme asing
mengalami penurunan. Hal ini mengakibatkan tubuh mereka lebih rentan untuk
menderita berbagai penyakit (Burnet, 1970 dalam Stanley, 2006). (c) Teori Stress,
Teori ini menyatakan bahwa menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa
digunakan oleh tubuh. Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan
kestabilan lingkungan internal sehingga menimbulkan stres yang menyebabkan
sel-sel tubuh menjadi lelah (Maryam, 2008). (d) Teori Radikal Bebas,
ketidakstabilan radikal bebas mengakibatkan oksidasi oksigen. Radikal bebas ini
menyebabkan sel-sel tidak dapat melakukan regenerasi (Maryam, 2008). Teori ini
menyatakan bahwa penuaan disebabkan akumulasi kerusakan ireversibel akibat
senyawa pengoksidasi (Potter & Perry, 2005). (e) Teori Rantai Silang, menurut
teori ini reaksi kimia sel-sel yang tua tau usang menyebabkan ikatan yang kuat,

Universitas Sumatera Utara

khusunya jaringan kolagen. Ikatan ikat ini menyebabkan kurangnya elastisitas,
kekecauan dan hilangnya fungsi sel.

2.3.3.2 Teori Psikologi
Perubahan psikologis yang terjadi pada lansia dapat pula dihubungkan
dengan keakuratan mental dan keadaan fungsional yang efektif. Kepribadian
individu terdiri atas motivasi dan intelegensi dapat menjadi karakteristik konsep
diri dari seorang lansia. Konsep diri yang positif dapat menjadikan seorang lansia
mampu berinteraksi dengan mudah terhadap nilai-nilai yang ada ditunjang dengan
status sosialnya. Adanya penurunan intelegensi menyebabkan lansia sulit untuk
memahami

dan

berinteraksi. Motivasi

akan

semakin

menurun

dengan

mengngkapkan bahwa lansia sendiri merupakan beban bagi orang lain dan
keluarga (Maryam, 2008).

2.3.3.3 Teori Sosial
Maryam (2008) berpendapat ada beberapa teori sosial yang berkaitan
dengan proses penuaan, yaitu (a) Teori Interaksi Sosial (Social Exchange Theory),
Menurut Simmons (1945 dalam Maryam 2008) menjelaskan bahwa kemampuan
lansia

untuk

terus

menjalin

interaksi

sosial

merupakan

kunci

untuk

mempertahankan status sosialnya. Tetapi, ketika terjadinya penurunan kekuasaan
dan prestise pada lansia, hal ini menyebabkan interaksi sosial mereka juga
berkurang.

(b) Teori Penarikan Diri (Disengagement Theory), Menurunnya

derajat kesehatan mengakibatkan seorang lansia menarik diri secara perlahan-

Universitas Sumatera Utara

lahan dari pergaulan sekitarnya. Selain itu, teori ini juga menyatakan bahwa
proses penuaan yang berhasil apabila seorang lansia menarik diri dari kegiatan
terdahulu, dapat memusatkan diri pada persoalan pribadi dan mempersiapkan diri
dalam menghadapi kematian (Maryam, 2008). (c) Teori Aktivitas (Activity
Theory), teori ini menyatakan bahwa penuaan yang sukses bergantung dari
bagaimana seorang lansia merasakan kepuasan dalam melakukan aktivitas serta
mempertahankan aktivitas tersebut lebih penting dibanding dengan kuantitas dan
aktivitas yang dilakukan (Maryam, 2008).
(d) Teori Kesinambungan (Continuity Theory), Teori ini mengemukakan
adanya kesinambungan dalam siklus kehidupan lansia. Pengalaman hidup
seseorang pada suatu saat merupakan gambarannya kelak pada saat ia menjadi
lansia. Hal ini dapat terlihat bahwa gaya hidup, perilaku, dan harapan seseorang
ternyata tidak berubah meskipun ia telah menjadi lansia (Maryam, 2008). (e)
Teori Perkembangan (Development Theory), Joan Birchenall dan Mary E.Streight
(1973) dalam Maryam (2008), menekankan perlunya mempelajari psikologi
perkembangan guna memahami perubahan emosi dan sosial seseorang selama
fase kehidupannya. (f) Teori Stratifikasi Usia (Age Stratification Theory) Pada
teori ini melihat bahwa seseorang yang menua sebagai seorang individu dalam
masyarakat juga sebagai anggota masyarakat, dengan pasangannya, berinteraksi
dalam proses sosial. Selain itu, teori ini juga menjelaskan bagaimana lansia dapat
saling mempengaruhi satu sama lain dalam berbagai cara (Lueckennotte, 2000).

Universitas Sumatera Utara

2.3.3.4 Teori Spiritual
Komponen spiritual dan tumbuh kembang merujuk pada pengertian
hubungan individu dengan alam semesta dan persepsi individu tentang arti
kehidupan. James fowler dalam Maryam (2008) meyakini bahwa kepercayaan
atau demensi spritual adalah suatu kekuatan yang memberi arti bagi kehidupan
seseorang. Perkembangan spritual pada lansia berada pada tahap penjelmaan dari
prinsip dan keadilan.

2.3.4

Perubahan-Perubahan yang Terjadi Pada Lanjut Usia
Pada saat menua, terjadi beberapa perubahan pada lansia, yaitu perubahan

fisik, perubahan mental, dan perubahan pada psikososial lansia. Terkait dengan
perubahan fisik, terjadi perubahan sistem muskuloskeletal. Pada sistem
muskuloskeletal termasuk didalamnya adalah tulang, persediaan dan otot-otot
akan mengalami perubahan pada lansia yang dapat mempengaruhi penampilan
fisik dan fisiologisnya. Penurunan massa tulang dapat disebabkan karena
ketidakaktifan fisik, perubahan hormonal, dan resorpsi tulang (Maryam, 2008).
Menurut Nugroho (2000) perubahan sistem muskuloskeletal yang dapat
terjadi pada lansia seperti, tulang kehilangan density (cairan) dan makin rapuh,
kifosis, pergerakan pinggang, lutut, dan jari-jari terbatas, persendiaan membesar
dan menjadi kaku, tendon mengerut dan mengalami skelerosis, atrofi serabut otot
(otot-otot serabut mengecil), otot-otot polos tidak begitu berpengaruh. Semua
perubahan ini menimbulkan nyeri, kurang perawatan diri dan berisiko jatuh
(Rubenstain, 1987 dalam Fatimah, 2010). Pada wanita pasca menopause

Universitas Sumatera Utara

mengalami kehilangan densitas tulang yang masif berhubungan dengan kurangnya
aktivitas, masukkan kalsium yang tidak adekuat dan kehilangan estrogen.
Perubahan ini menyebab penurunan mobilitas, keseimbangan dan fungsi organ
internal (Fatimah, 2010).

2.4

Konsep Reumatoid Artritis

2.4.1

Defenisi Reumatoid Artritis
Reumatoid artritis (RA) adalah suatu penyakit autoimun dan inflamasi

sistemik kronik terutama mengenai jaringan sinovium sendi dengan manifestasi
utama poliarthritis progresif dan melibatkan seluruh organ tubuh (Manjoer, 1999).
Reumatoid artritis (RA) adalah penyakit inflamasi sistemik kronik yang
menyebabkan tulang sendi destruksi dan deformitas, serta mengakibatkan
ketidakmampuan (Meiner & Luekenotte, 2006).
Smeltzer & Bare (2001) menyatakan RA penyakit yang disebabkan oleh
reaksi autoimun yang terjadi di jaringan sinovial. Artritis Reumatoid (AR) adalah
suatu penyakit autoimun (penyakit yang terjadi pada saat tubuh diserang oleh
sistem kekebalan tubuhnya sendiri yang mengakibatkan peradangan dalam waktu
lama pada sendi. Penyakit ini menyerang persendian dan anggota gerak. Penyakit
ini menimbulkan rasa nyeri dan kaku pada sistem muskuloskeletal yang terdiri
dari sendi, tulang, otot, dan jaringan ikat (Sakasmita, 2012 dalam Wisdanora
2010).

Universitas Sumatera Utara

2.4.2

Etiologi Reumatoid Artritis
Penyebab penyakit reumatoid artritis belum diketahui secara pasti, namun

faktor predisposisinya adalah mekanisme imunitas (antigen-antibodi), faktor
metabolik, dan infeksi virus (Suratun, et al, 2008). Reumatoid artritis merupakan
manifestasi respon terhadap suatu agen infeksiosa pada pejamu telah diperkirakan
yaitu Mycoplasma, virus Epstain-Barr, sitomegalovirus, parvovirus dan rubella.
Mekanisme penyebab lain yang potensial reumatoid artitis adalah terganggunya
toleransi diri normal yang menimbulkan reaktivitas terhadap antigen diri di dalam
sendi,

misalnya

kolagen

tipe

II

atau

hlangnya

mekanisme

control

imunoregulatorik yang mengakibatkan pengaktival sel T poliklonal (Isselbacher,
et al, 2000).

2.4.3

Manifestasi Klinis
Menurut Lukman & Ningsih (2009 dalam Wisdanora 2010) Manifestasi

klinis tidak harus timbul sekaligus pada saat yang bersamaan. Manifestasi klinis
reumatoid artritis sangat bervariasi dan biasanya mencermintakan stadium serta
beratnya penyakit. Rasa nyeri, pembengkakan, panas, eritema, dan gangguan
fungsi pada sendi merupakan gambaran klinis yang klasik untuk reumatoid artritis
(Smeltzer & Bare 2001).
Manifestasi klinik sistemik dari reumatoid artritis adalah mudah capek,
lemah, lesu, takikardi, berat badan menurun, anemia (Suratun, et al, 2008). Pola
khas pada reumatoid artitis dimulai pada persendian kecil di tangan, pergelangan,
dan kaki. Secara progresif mengenai persendian, lutut, bahu, pinggul, siku,

Universitas Sumatera Utara

pergelangan kaki, tulang belakang serviks, dan temporomandibular. Awitan
biasanya akut, bilateral dan simetris. Persendian dapat teraba hangat, bengkak,
kaku pada pagi hari berlangsung selama lebih dari 30 menit.
Menurut Suratun, et al (2008) jika ditinjau dari stadium penyakit, terdapat
tiga stadium yaitu stadium sinovitis, stadium destruksi, stadium deformitas.
Stadium sinovitis, yaitu pada stadium ini terjadi perubahan dini pada jaringan
sinovial yang ditandai hiperemi, edema karena kongesti, nyeri pada saat bergerak
maupun istirahat, bengkak dan kekakuan. Stadium destruksi, yaitu pada stadium
ini selain terjadi kerusakan pada jaringan sinovial terjadi juga pada jaringan
sekitarnya yang ditandai adanya kontraksi tendon. Stadium deformitas, yaitu pada
stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang kali, deformitas dan
gangguan fungsi secara menetap (Siregar, 2014). Deformitas merupakan
kerusakan dari struktur-struktur penunjang sendi dengan perjalanan penyakit.
Deformitas dapat terjadi pada tangan dan kaki. Beberapa deformitas yang sering
dijumpai

pada

tangan

seperti

deformitas

ulnar,

subluksasi

sendi

metakarpofalangeal, deformitas boutonniere dan leher angsa. Pada kaki terdapat
protusi (tonjolan) kaput metatarsal yang timbul sekunder dari subluksasi
metatarsal (Lukman & Ningsih, 2009 dalam Wisdanora 2010).
Adapun tanda dan gejala yang umum ditemukan atau sangat serius terjadi
pada lanjut usia menurut Buffer (2010), yaitu: sendi terasa kaku pada pagi hari,
bermula sakit dan kekakuan pada daerah lutut, bahu, siku, pergelangan tangan dan
kaki, juga pada jari-jari, mulai terlihat bengkak setelah beberapa bulan, bila diraba

Universitas Sumatera Utara

akan terasa hangat, terjadi kemerahan dan terasa sakit/nyeri, bila sudah tidak
tertahan dapat menyebabkan demam, dapat terjadi berulang.

2.4.4

Patofisiologi
Pada reumatoid artritis, reaksi autoimun terutama terjadi dalam jaringan

sinovial. Proses fagositosis menghasilkan enzim-enzim dalam sendi. Enzim-enzim
tersebut akan memecah kolagen sehingga terjadi edema, proliferasi membran
sinovial dan akhirnya pembentukan pannus. (Smeltzer & Bare (2001). Panus
merupakan jaringan granulasi vaskuler yang terbentuk dari sinovium yang
meradang dan kemudian meluas ke sendi (Price & Wilson, 1995). Pannus akan
menghancurkan tulang rawan dan menimbulkan erosi tulang. Akibatnya adalah
menghilangnya permukaan sendi yang akan mengganggu gerak sendi. Otot akan
turut terkena karena serabut otot akan mengalami perubahan degeneratif dengan
menghilangnya elastisitas otot dan kekuatan kontraksi otot (Smeltzer & Bare
2001).
Lamanya reumatoid artritis berbeda pada setiap orang ditandai dengan
adanya masa serangan dan tidak adanya serangan. Sementara ada orang yang
sembuh dari serangan pertama dan selanjutnya tidak terserang lagi. Namun pada
sebagian kecil individu terjadi progresif yang cepat ditandai dengan kerusakan
sendi yang terus menerus dan terjadi vaskulitis yang difus (Long, 1996).

Universitas Sumatera Utara

2.4.5

Klasfikasi Reumatoid Artritis
Buffer (2010) mengklasifikasikan reumatoid artritis menjadi 4 tipe, yaitu:

a. Reumatoid artritis klasik
pada tipe ini harus terdapat 7 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus
berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.
b. Reumatoid artritis defisit
pada tipe ini harus terdapat 5 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus
berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.
c. Probable reumatoid artritis
pada tipe ini harus terdapat 3 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus
berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.
d. Possible reumatoid artritis
pada tipe ini harus terdapat 2 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus
berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 3 bulan.

Menurut Arnett (1988) dalam The American Rheumatism Association
(1987) apabila menunjukkan 4 gejala dari 7 gejala yang ada minimal selama 6
minggu maka seseorang bisa dikatakan menderita Reumatoid artritis, yaitu:
Table 2.6 Kriteria Reumatoid Artritis
Kriteria
Kaku pagi hari (Morning stiffness)

Artritis pada 3 daerah

Defenisi
Kekakuan pada pagi hari pada
persendian
dan
disekitarnya,
sekurangnya selama 1 jam sebelum
perbaikan maksimal
Pembengkakan jaringan lunak atau
persendian atau lebih efusi (bukan
pertumbuhan
tulang),
sekurang-

Universitas Sumatera Utara

Artritis pada persendian tangan

Nodul reumatoid

Faktor reumatoid serum

Perubahan gambaran

kurangnya 3 sendi secara bersamaan
yang diobservasi oleh seorang dokter.
Dalam kriteria ini terdapat 14
persendian yang memenuhi kriteria,
yaitu : PIP, MCP, pergelangan tangan,
siku pergelangan kaki dan MTP kiri
dan kanan.
Sekurangkurangnya
terjadi
pembengkakan satu persendian tangan
Artritis simetris Keterlibatan sendi yang
sama (seperti yang tertera pada kriteria
2 pada kedua belah sisi, keterlibatan
PIP , MCP , atau MTP bilateral dapat
diterima walaupun tidak mutlak bersifat
simetris.
Nodul subkutan pada penonjolan tulang
atau permukaan ekstensor atau daerah
juksta artrikular yang diobservasi oleh
seorang dokter.
Terdapatnya titer abnormal faktor
reumatoid serum yang diperiksa dengan
cara yang memberikan hasil positif
kurang dari 5% kelompok kontrol yang
diperiksa.
Perubahan gambaran radiologis yang
radiologis khas bagi reumotoid arthritis
pada pemeriksaan sinar X, tangan
posteroanterior atau pergelangan tangan
yang harus menunjukkan adanya erosi
atau
dekalsifikasi
tulang
yang
berlokalisasi pada sendi atau daerah
yang
berdekatan
dengan
sendi
(perubahan akibat osteoartritis saja
tidak memenuhi persyaratan).

Sumber: Smeltzer & Bare, 2001

2.4.6

Penatalaksanaan Reumatoid artritis

2.4.6.1 Penatalaksanaan Farmakologis
Obat-obat dipakai untuk mengurangi nyeri, meredakan peradangan, dan
untuk mencoba mengubah perjalanan penyakit. Nyeri hampir tidak dapat
dipisahkan dari reumatoid artritis, sehingga ketegantungan terhadap obat harus

Universitas Sumatera Utara

diusahakan seminimum mungkin (Lukman & Ningsih, 2009 dalam Wisdanora
2010). Nyeri akut dan nyeri kronik memerlukan pendekatan terapi yang berbeda.
Pada penderita nyeri akut, diperlukan obat yang dapat menghilangkan nyeri
dengan cepat. Pasien lebih dapat mentolerir efek samping obat daripada nyerinya.
Pada penderita kronik, pasien kurang dapat mentolerir efek samping obat (Adnan,
2008 dalam Wisdanora, 2010).
Pengobatan Reumatoid artritis terdiri dari beberapa pendekatan umum
menurut Isselbacher, et, al (1992), yaitu: (1) Penggunaan aspirin dan obat anti
implamasi nonsteroid (OAINS), analgesik sederhana, bila perlu glukokortikoid
dosis rendah untuk mengontol tanda dan gejala dan proses peradangan lokal
(Isselbacher, et, al 1992). Pengobatan dengan aspirin diberikan untuk menghindari
terjadinya infalamasi pada sendi dan menggunakan OAINS untuk menekan
prostaglandin yang mencegah timbulnya peradangan dan efek samping obat ini
adalah iritasi pada lambung (Meiner & Leuckenotte, 2006).
Pemberian kortikosteroid digunakan untuk mengobati gejala reumatoid
artritis saja seperti nyeri pada sendi, kaku sendi pada pagi hari, lemas, dan tidak
nafsu makan. Cara kerja obat Kortikosteroid dengan menekan sistem kekebalan
tubuh sehingga reaksi radang pada penderita berkurang (Handono & Isbagyo,
2005 dalam Afriyanti, 2009). Efek samping jangka pendek menggunakan

Dokumen yang terkait

Pengaruh Kompres Dingin Kirbat Es terhadap Intensitas Nyeri Reumatoid Arthritis

8 63 81

Hubungan antara nyeri Reumatoid Artritis dengan kemandirian dalam aktivitas kehidupan sehari-hari pada lansia di Posbindu Karang Mekar wilayah kerja Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan

9 65 127

TAP.COM - PENGARUH TERAPI TERTAWA TERHADAP INTENSITAS NYERI REUMATOID ARTRITIS ...

0 0 15

Pengaruh Kompres Hangat terhadap Intensitas Nyeri pada Lansia yang Mengalami Reumatoid Artritis di Puskesmas Amplas Kecamatan Medan Amplas

0 2 28

Pengaruh Kompres Hangat terhadap Intensitas Nyeri pada Lansia yang Mengalami Reumatoid Artritis di Puskesmas Amplas Kecamatan Medan Amplas

0 2 4

Pengaruh Kompres Hangat terhadap Intensitas Nyeri pada Lansia yang Mengalami Reumatoid Artritis di Puskesmas Amplas Kecamatan Medan Amplas

0 0 6

Pengaruh Kompres Hangat terhadap Intensitas Nyeri pada Lansia yang Mengalami Reumatoid Artritis di Puskesmas Amplas Kecamatan Medan Amplas

0 0 2

Pengaruh Kompres Hangat terhadap Intensitas Nyeri pada Lansia yang Mengalami Reumatoid Artritis di Puskesmas Amplas Kecamatan Medan Amplas

1 6 11

PENGARUH PEMBERIAN KOMPRES HANGAT TERHADAP TINGKAT NYERI PADA WANITA YANG MENGALAMI DISMENOREA DI KOST KUSUMA GOWONGAN KIDUL YOGYAKARTA NASKAH PUBLIKASI - Pengaruh Pemberian Kompres Hangat terhadap Nyeri pada Wanita yang Mengalami Dismenorea di Kost Kusum

0 0 12

PENGARUH KOMPRES HANGAT TERHADAP NYERI ARTRITIS GOUT PADA LANJUT USIA DI KAMPUNG TEGALGENDU KECAMATAN KOTAGEDE YOGYAKARTA NASKAH PUBLIKASI - Pengaruh Kompres Hangat Terhadap Nyeri Artritis Gout Pada Lanjut Usia di Kampung Tegalgendu Kecamatan Kotagede Yog

0 0 15