Pengaruh Kompres Dingin Kirbat Es terhadap Intensitas Nyeri Reumatoid Arthritis

(1)

Pengaruh Kompres Dingin Kirbat Es terhadap Intensitas

Nyeri Reumatoid Arthritis

SKRIPSI

Oleh

Ayu Wisdanora

051101021

Skripsi

Fakultas Keperawatan

Universitas Sumatera Utara


(2)

Judul : Pengaruh Kompres Dingin Kirbat Es terhadap Intensitas Nyeri Reumatoid Arthritis

Peneliti : Ayu Wisdanora

NIM : 051101021

Jurusan : Fakultas Keperawatan

Tahun : 2010

Abstrak

Reumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun, yang ditandai oleh sinovitis yang bersifat erosif, mengenai beberapa sendi yang simetris dan kadang-kadang melibatkan banyak sistem. Sebagian besar perjalanan penyakit ini bersifat kronis fluktuatif dan dapat diderita selama dekade kehidupan, sehingga bila tidak diobati dapat menyebabkan kerusakan sendi yang progresif, menimbulkan deformitas dan disabilitas yang mengakibatkan berkurangnya kualitas hidup. Reumatoid arthritis juga meningkatkan resiko kematian terutama pada penyakit Reumatoid Arthritis yang berat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kompres dingin kirbat es terhadap intensitas nyeri Reumatoid Arthritis dengan menggunakan desain quasi eksperimen. Pengambilan sampel dilakukan dengan purposive sampling dengan jumlah sampel 14 orang masing-masing kelompok intervensi dan kontrol terdiri dari 7 responden. Data demografi disajikan dalam bentuk distribusi dan frekuensi. Untuk mengidentifikasi intensitas nyeri pre dan post kompres dingin kirbat es dianalisa dengan menggunakan statistik parametrik yaitu paired t-test.

Berdasarkan hasil uji statistik hitung penelitian menunjukkan bahwa kompres dingin kirbat es tidak efektif digunakan dalam mengurangi nyeri Reumatoid Arthritis dimana p value > 0,05 sehingga Ho diterima. Uji statistik hitung untuk menilai perbedaan intensitas nyeri RA pada kelompok intervensi dan kontrol juga menyimpulkan bahwa Ho diterima yaitu kompres dingin tidak berpengaruh terhadap intensitas nyeri RA (p value > 0,05). Hasil penelitian ini bertolak belakang dengan hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa kompres dingin efektif digunakan dalam mengurangi nyeri RA. Dengan adanya penelitian ini kompres dingin belum dapat dibuktikan mempunyai pengaruh terhadap intensitas nyeri RA sehingga perawat belum bisa menggunakan kompres dingin sebagai terapi alternatif.

Kata Kunci : Tidak ada pengaruh, kompres dingin kirbat es, Nyeri Reumatoid Arthritis.


(3)

Judul : Pengaruh Kompres Dingin Kirbat Es Terhadap Intensitas Nyeri Reumatoid Arthritis

Nama : Ayu Wisdanora

NIM : 051101021

Jurusan : Sarjana Keperawatan (S.Kep)

Tahun : 2010

Tanggal sidang :Rabu, 23 Juni 2010

Pembimbing Penguji I

Ikhsanuddin Ahmad Hrp, S.Kp, MNS Rosina Tarigan S.Kp. M.Kep. Sp. KMB NIP : 19740826 200 212 1002 NIP : 19731021 200112 2 002

Penguji II

Erniyati, S.Kp. MNS NIP : 196771208 199903 2 001

Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara telah menyetujui skripsi ini sebagai bagian dari persyaratan kelulusan Sarjana Keperawatan (S. Kep).

Medan, Juli 2010

Pembantu Dekan I

Erniyati, S.Kp. MNS NIP : 196771208 199903 2 001


(4)

PRAKATA

Segala puji kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahNya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Pengaruh Kompres Dingin Kirbat Es terhadap Intensitas Nyeri Reumatoid Arhtritis”.

Ucapan terimakasih saya sampaikan kepada pihak-pihak yang telah memberikan bantuan, bimbingan dan dukungan dalam proses penyelesaian skripsi ini, sebagai berikut:

1. Bapak Ikhsanuddin Ahmad Hrp. S.Kp, MNS selaku dosen pembimbing dan Pembantu Dekan III Fakultas Keperawatan USU

2. Ibu Rosina Tarigan S.Kp, MKEP Sp.KMB selaku dosen penguji I

3. Ibu Erniyati S.Kp.MNS selaku dosen penguji II dan Pembantu Dekan I Fakultas Keperawatan USU

4. Ibu Salbiah S.Kp.MNS selaku dosen pembimbing akademik

Medan, Juli 2010 Ayu Wisdanora


(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

LEMBAR PERSETUJUAN ... ii

PRAKATA ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABLE ... viii

DAFTAR SKEMA ... ix

BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang ...1

2. Masalah Penelitian ... 5

3. Tujuan Penelitian ... 5

4. Manfaat Penelitian ... 6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Arthritis Reumatoid ...7

1.1 Pengertian Reumatoid Arthritis ...7

1.2 Klasifikasi Reumatoid Artritis ...8

1.3 Respon Penderita Reumatoid Arthritis ... 11

1.4 Penatalaksanaan ... 12

1.4.1 Penatalaksanaan Farmakologis ... 12

1.4.2 Penatalaksanaan Non Farmakologis ... 14

2. Konsep Nyeri ... 16

2.1 Pengertian Nyeri ... 16

2.2 Klasifikasi Nyeri ... 17

2.2.1 Klasifikasi Berdasarkan Awitan ... 17


(6)

2.2.3 Klasifikasi Berdasarkan Organ ... 19

2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nyeri ... 20

2.4 Mekanisme Nyeri ... 21

2.5 Respon Klien Terhadap Nyeri ... 23

2.6 Pengukuran Nyeri ... 24

3. Nyeri Reumatoid Arthritis ... 26

3.1 Ciri Khas Nyeri Reumatoid Artritis ... 26

3.2 Mekanisme Terjadinya Nyeri Reumatoid Atrhritis ... 28

3.3 Mekanisme Pengurangan Nyeri Reumatoid Artritis ... 29

4. Terapi Dingin ... 29

4.1 Pengertian Terapi Dingin ... 29

4.2 Teknik Aplikasi Terapi Dingin ... 30

4.2.1 Terapi Dingin ice packs ... 30

4.2.2 Terapi Dingin cold gel packs ... 30

4.2.3 Terapi Dingin ice immersion ... 30

4.2.4 Terapi Dingin ice massage ... 31

4.2.5 Terapi Dingin vapocoolant spray ... 31

4.3 Prinsip Terapi Dingin ... 31

4.4 Manfaat Terapi Dingin ... 32

5. Terapi Dingin Pada Nyeri Reumatoid Artrhritis ... 33

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN 1. Kerangka Konseptual ... 35

2. Definisi Operasional ... 36


(7)

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN

1. Desain Penelitian ... 38

2. Populasi Penelitian ... 38

3. Sampel Penelitian ...38

4. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 39

5. Pertimbangan Etik Penelitian ... 40

6. Instrumen Penelitian ... 41

7. Alat dan Bahan ... 42

8. Prosedur Pengumpulan Data ... 42

9. Analisa Data ... 44

BAB 5 HASIL DAN PAMBAHASAN 1. Hasil Penelitian ... 47

2. Pembahasan ... 53

BAB 6 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 1. Kesimpulan ... 59

2. Rekomendasi ... 60 DAFTAR PUSTAKA


(8)

LAMPIRAN

1. Lembar Persetujuan Menjadi Responden Penelitian

2. Kuesioner Data Demografi dan Data Demografi Responden 3. Protokol Cara Mengukur nyeri

4. Protokol Panduan Kompres dingin 5. Taksasi Dana

6. Hasil Analisa Data

7. Surat Izin Penelitian dari Fakultas Keperawatan USU 8. Surat Izin Penelitian dari RSUP H. Adam Malik Medan 9. Riwayat Hidup


(9)

DAFTAR TABLE

Hal Table 1. Penyakit bukan Reumatoid Arthritis ...9 Table 2. Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Lokasi ... 18 Table 3. Efek Terapi Dingin ... 32 Table 4. Distribusi Frekuensi dan Persentase Karakteristik

Demografi Responden ... 48 Table 5. Test normality pada Kelompok Intervensi ... 49 Table 6. Test normality pada Kelompok Kontrol ... 50 Table 7. Hasil Uji Paired t-test untuk Perbedaan Intensitas Nyeri RA pre

dan post Intervensi pada Kelompok Kontrol dan Intervensi ... 50

Table 8. Hasil uji paired t-test untuk perbedaan intensitas nyeri RA pre

dan post intervensi pada kelompok kontrol ... 51

Table 9. Hasil uji paired t-test untuk perbedaan intensitas nyeri RA pre dan

post intervensi pada kelompok kontrol ... 52

Table 10. Hasil Uji Independent t-test antara Kelompok Intervensi dan


(10)

DAFTAR SKEMA

1.Skema Hal

1. 1 Kerangka penelitian ... 35


(11)

Judul : Pengaruh Kompres Dingin Kirbat Es terhadap Intensitas Nyeri Reumatoid Arthritis

Peneliti : Ayu Wisdanora

NIM : 051101021

Jurusan : Fakultas Keperawatan

Tahun : 2010

Abstrak

Reumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun, yang ditandai oleh sinovitis yang bersifat erosif, mengenai beberapa sendi yang simetris dan kadang-kadang melibatkan banyak sistem. Sebagian besar perjalanan penyakit ini bersifat kronis fluktuatif dan dapat diderita selama dekade kehidupan, sehingga bila tidak diobati dapat menyebabkan kerusakan sendi yang progresif, menimbulkan deformitas dan disabilitas yang mengakibatkan berkurangnya kualitas hidup. Reumatoid arthritis juga meningkatkan resiko kematian terutama pada penyakit Reumatoid Arthritis yang berat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kompres dingin kirbat es terhadap intensitas nyeri Reumatoid Arthritis dengan menggunakan desain quasi eksperimen. Pengambilan sampel dilakukan dengan purposive sampling dengan jumlah sampel 14 orang masing-masing kelompok intervensi dan kontrol terdiri dari 7 responden. Data demografi disajikan dalam bentuk distribusi dan frekuensi. Untuk mengidentifikasi intensitas nyeri pre dan post kompres dingin kirbat es dianalisa dengan menggunakan statistik parametrik yaitu paired t-test.

Berdasarkan hasil uji statistik hitung penelitian menunjukkan bahwa kompres dingin kirbat es tidak efektif digunakan dalam mengurangi nyeri Reumatoid Arthritis dimana p value > 0,05 sehingga Ho diterima. Uji statistik hitung untuk menilai perbedaan intensitas nyeri RA pada kelompok intervensi dan kontrol juga menyimpulkan bahwa Ho diterima yaitu kompres dingin tidak berpengaruh terhadap intensitas nyeri RA (p value > 0,05). Hasil penelitian ini bertolak belakang dengan hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa kompres dingin efektif digunakan dalam mengurangi nyeri RA. Dengan adanya penelitian ini kompres dingin belum dapat dibuktikan mempunyai pengaruh terhadap intensitas nyeri RA sehingga perawat belum bisa menggunakan kompres dingin sebagai terapi alternatif.

Kata Kunci : Tidak ada pengaruh, kompres dingin kirbat es, Nyeri Reumatoid Arthritis.


(12)

BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

Reumatoid Arthritis (RA) merupakan suatu penyakit autoimun yang menyerang persendian dan menyebabkan inflamasi yang ditandai dengan pembengkakan, nyeri, serta bisa menyebabkan kerusakan sendi dan deformitas sendi progresif yang menyebabkan disabilitas dan kematian dini (Dwijayanti, 2007). Sebagian besar perjalanan penyakit ini bersifat kronis fluktuatif dan dapat diderita selama beberapa dekade kehidupan, sehingga bila tidak diobati dapat menyebabkan deformitas dan disabilitas yang mengakibatkan berkurangnya kualitas hidup. RA juga meningkatkan resiko kematian terutama pada penyakit RA berat Goodson et al, 2002; Navaro-Cano et al, 2003 (dalam Darwin 2007).

Seseorang yang mengalami reumatik mengalami beberapa gejala berikut yakni nyeri, inflamasi, kekakuan sendi di pagi hari, hambatan gerak persendian, terbentuknya nodul-nodul, pada kulit diatas sendi yang terkena, teraba lebih hangat dan bengkak (Santoso, 2003). Penyakit ini juga menyebabkan sinovitis, kerusakan sendi, dan gangguan fungsional kadang-kadang diikuti oleh kelelahan yang sangat hebat, anoreksia dan berat badan menurun (Rubenstein,

2003). RA menyerang persendian kecil, 90 % keluhan utama penderita RA adalahnyeri sendi dan kaku sendi (Turana, 2005).

Bebas dari nyeri merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi manusia. Nyeri merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kenyamanan tubuh (Aziz & Musrifatul, 2004). Jika seseorang menderita nyeri maka akan mempengaruhi fisiologis dan psikologis dari orang tersebut. Seseorang dapat menjadi mudah marah, denyut nadi cepat, cemas, dan gangguan pola tidur bahkan aktivitas sehari-hari dapat


(13)

Nyeri pada RA merupakan nyeri yang disebabkan oleh inflamasi. Nyeri RA ini akan bertambah berat pada pagi hari saat bangun tidur membaik pada siang hari dan lebih berat pada malam hari. Nyeri ini akan bertambah berat seiring dengan beratnya penyakit dan ambang nyeri dari penderita. Makin bertambah berat penyakitnya maka akan semakin bertambah pula rasa nyerinya. Bila perjalanan penyakitnya dihentikan pada RA maka rasa nyeri akan berkurang (Isbagio, 2006).

Dalam pengobatan Reumatoid Arthritis diperlukan pendekatan yang multidisipliner. Dokter, perawat, ahli fisioterapi, ahli terapi okupasional, pekerja sosial, ahli farmasi, ahli gizi dan ahli psikologi, semuanya memiliki peranan masing-masing dalam pengelolaan penderita RA baik dalam edukasi maupun penatalaksanaan pengobatan penyakit ini. Biasanya pada RA erosif moderat diberikan terapi okupasi dan fisioterapi (Tulaar, 2007).

Dalam bidang keperawatan kompres dingin banyak digunakan untuk mengurangi rasa nyeri. Tindakan ini dilakukan sebagai latihan penguat dan pergerakan sendi karena kompres dingin mampu membatasi inflamasi pada RA (Tulaar, 2007). Pada aplikasi dingin memberikan efek fisiologis yakni menurunkan respon inflamasi, menurunkan aliran darah dan mengurangi edema, mengurangi rasa nyeri lokal. Dalam memberikan efek terapetik suhu kompres dingin yang diberikan berkisar antara 18-270C (Tamsuri, 2006). Jenis pengobatan ini memegang peranan yang tidak kalah pentingnya dengan pengobatan medikamentosa (Tulaar, 2007). Tindakan ini merupakan tindakan pencegahan terhadap kecacatan dan bila sudah terjadi cacat, digunakan untuk rehabilitasi (Waluyo, 2007).

Banyak mitos yang berkembang di masyarakat yang menyatakan bahwa cuaca dingin, mandi malam, terlalu sering mandi, berada di ruangan Air Conditioned (AC) merupakan salah satu penyebab RA. Padahal dari beberapa penelitian yang pernah


(14)

ada terapi dingin sangat baik untuk mengurangi nyeri RA (Broto, 2007). Salah satunya kompres dingin menggunakan kirbat es suatu cara dapat dilaksanakan secara praktis, tidak perlu biaya yang mahal, dapat digunakan sebagai penanganan pertama saat datangnya nyeri. Kompres dingin ini dapat digunaka n setelah kirbat es diisi dengan potongan-potongan es, kemudian diletakkan ke daerah yang terasa nyeri (Salbiah dkk, 2007).

Price (2005) menyatakan kompres dingin merupakan salah satu intervensi yang dapat digunakan untuk mengurangi nyeri. Kompres dingin kirbat es dapat menurunkan rasa nyeri, menurunkan suhu panas, membatasi peradangan (Salbiah dkk, 2007). Secara spesifik manfaat kompres dingin kirbat es terhadap nyeri RA adalah dapat mengurangi nyeri RA dengan menurunkan aliran darah atau vasokontriksi pada area yang dikompres, serta membatasi inflamasi pada RA sehingga proses inflamasi tidak menyebar dari sinovitis ke radang sendi, otot dan lain-lainnya.

Pemilihan kirbat es untuk kompres dingin agar suhu kompres dapat dijaga kestabilannya didalam kirbat sehingga pemakaiannya lebih akurat, es tidak mudah mencair. Beberapa orang pasien Early RA (yang didiagnosis selama 2 tahun) telah dilakukan intervensi selama 52 minggu, dengan menggunakan terapi dingin dan obat-obat RA, hasilnya 50% pasien mengalami kekambuhan, dan 28 % berhasil (Kelly, 2005). Leutz dan Harris ( 1995) melakukan penelitian retrospektif dengan 52 pasien mengalami nyeri RA, 33 pasien tersebut mendapat terapi dingin kirbat es sedangkan 19 pasien RA yang lain ,tidak menerima terapi dingin. Terapi dingin kirbat es ini dilakukan selama 3 hari. Selanjutnya terapi dingin ini menggunakan alat elektrik yang terdiri dari dua bantalan plastik steril yang terhubung oleh pipa karet berisi air dingin dari suatu unit utama elektris yang menjaga suatu temperatur yang tetap 420F untuk post-operative RA periode yang segera. Tidak ada perbedaan penting di dalam


(15)

jumlah penggunaan analgetik, antiinflamasi, atau rumah sakit tinggal antara kedua kelompok.

Adanya dua penelitian diatas mengenai kompres dingin terhadap nyeri RA keduanya menghasilkan hasil yang belum signifikan dengan teori yang ada. Penelitian menurut Kelly (2005) kompres dingin yang dilakukan menggunakan cara yang manual dengan suhu yang tidak terkontrol, sedangkan penelitian Leutz dan Harris (1995) kompres dingin yang dilakukan dengan dua perlakuan kompres dingin dengan menggunakan kirbat es dan alat elektris jadi belum dapat disimpulkan kirbat es berpengaruh terhadap intensitas nyeri RA.

Berdasarkan studi pemaparan di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti ” Bagaimana pengaruh kompres dingin kirbat es terhadap intensitas nyeri pada pasien Reumatoid Arthritis di Poli Reumatologi RSU Adam Malik Medan”.

2. Masalah penelitian

Berdasarkan uraian dalam latar belakang maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini yaitu, bagaimana pengaruh kompres dingin kirbat es terhadap intensitas nyeri pada pasien Reumatoid Arthritis di Poli Reumatologi RSU Adam Malik Medan.

3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi:

1.1 Intensitas nyeri RA pre dilakukan kompres dingin kirbat es pada kelompok intervensi dan kontrol.

1.2 Intensitas nyeri RA post dilakukan kompres dingin kirbat es pada kelompok intervensi dan kontrol.


(16)

1.3 Perbedaan intensitas nyeri RA pre dan post dilakukan kompres dingin kirbat es pada kelompok intervensi.

1.4 Perbedaan intensitas nyeri RA pre dan post kompres dingin kirbat es pada kelompok kontrol.

1.5 Perbedaan intensitas nyeri RA pre dan post kompres dingin antara kelompok intervensi dan kontrol.

4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi: 4.1 Pendidikan Keperawatan

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan kegiatan praktikum bagi mahasiswa untuk pengurangan dan pengobatan nyeri Reumatoid Arthritis dengan melakukan kompres dingin saat proses belajar mengajar dimulai.

4.2 Praktek Keperawatan

Hasil penelitian ini dapat dijadikan bekal perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan khususnya bagi keperawatan medikal bedah di klinik dengan memberikan kompres dingin untuk mengurangi nyeri Reumatoid Arthritis.

4.3 Penelitian Keperawatan

Hasil penelitian ini dapat menambah informasi bagi penelitian keperawatan mengenai pengaruh kompres dingin kirbat es dalam mengurangi rasa nyeri pada pasien Reumatoid Arthritis sehingga memberikan ide selanjutnya bagi penelitian keperawatan untuk meneliti perbandingan pengaruh kompres dingin dengan kompres panas pada nyeri Reumatoid Arthritis.


(17)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini akan dibahas beberapa aspek yang terkait dalam penelitian ini, yaitu:

1. Reumatoid Arthritis

1.1 Pengertian Reumatoid Arthritis

Daud (2004) menyatakan bahwa Reumatoid Arthritis (RA) merupakan penyakit autoimun menyebabkan inflamasi kronik yang ditandai dengan terdapatnya sinovitis erosif simetrik yang mengenai jaringan persendian ataupun organ tubuh lainnya. Sebagian besar penderita menunjukkan gejala penyakit kronik yang hilang timbul, jika tidak diobati akan menyebabkan terjadinya kerusakan persendian dan deformitas sendi progresif. Penyakit autoimun terjadi jika sis tem imun menyerang jaringan tubuh sendiri. Brunner & Suddarth (2001) menyatakan RA penyakit yang disebabkan oleh reaksi autoimun yang terjadi di jaringan sinovial. Proses fagositosis menghasilkan enzim-enzim dalam sendi sehingga kolagen terpecah dan terjadi edema, proliferasi membran sinovial dan akhirnya pembentukan pannus. Pannus akan menghancurkan tulang rawan dan menimbulkan erosi tulang.

Pada pasien RA yang kronik dapat terjadi tanpa ada gejala klinis tapi sendi terus mengalami kerusakan hingga sendi tidak berfungsi lagi (Shiel, 1999). Rematoid Artritis (RA) adalah suatu penyakit sistemik yang bersifat progresif, mengenai jaringan lunak dan cenderung untuk menjadi kronis yang menyebabkan terlibatnya sendi pada penderita-penderita penyakit RA ini pada tahap berikutnya setelah penyakit ini berkembang lebih lanjut sesuai dengan sifat progresivitasnya (Adnan, 2008).


(18)

Waluyo (1993 dalam et Al nasution, 2007) penyakit RA perasaan nyeri dan kaku dibagian sendi. Pada umumnya RA mempunyai kelainan sendi yakni: RA yang menyerang sendi dan otot, menyerang sendi, otot dan alat-alat dalam tubuh lainnya, bersifat sistemik yang menghasilkan nyeri sendi (artralgia) dan nyeri otot (mialgia), hanya jaringan ikat yang menyebar (difus) yang menyerang sistem sendi, otot, kulit dan alat-alat dalam.

1.2 Klasifikasi Reumatoid Arthritis

Reumatoid Arthritis dapat dikelompokkan berdasarkan diagnostik sebagai berikut: kaku pagi hari, nyeri pada pergerakan atau nyeri tekan paling sedikit pada satu sendi, pembengkakan karena penebalan jaringan lunak atau cairan (bukan pembesaran tulang), pembengkakan paling sedikit satu sendi dan masa bebas gejala dari kedua sendi yang terkena tidak lebih dari tiga bulan, pembengkakan sendi yang simetris dan terkenanya sendi yang sama pada kedua sisi yang timbulnya bersamaan.

Menurut Cecilia, Nasution & Isbagio tahun 2007 mengklasifikasikan RA sabagai berikut :

1) Reumatoid Klasik

Harus terdapat 7 dari kriteria tersebut di atas. Kriteria 1 sampai 5 tanda dan gejala sendi harus berlangsung terus menerus paling sedikit selama 6 minggu. Jika ditemukan salah satu tanda dari daftar yang tidak termasuk RA, maka penderita tidak dapat digolongkan dalam kelompok ini.

2) Reumatoid Definit

Harus terdapat 5 dari kriteria di atas. Kriteria 1 sampai 5 tanda dan gejala sendi harus berlangsung terus menerus paling sedikit 6 minggu. \


(19)

3) Probable Reumatoid Arthritis

Kemungkinan RA terdapat 3 dari kriteria di atas. Paling sedikit satu dari kriteria 1 sampai 5 tanda atau gejala sendi harus berlangsung terus menerus paling sedikit 6 minggu.

4) Possible Reumatoid Arthritis

Diduga RA harus terdapat 2 dari kriteria diatas , dan lamanya gejala sendi paling sedikit 3 bulan. Termasuk possible Reumatoid Arthritis jika memiliki ciri sebagai berikut kaku pagi hari, nyeri tekan atau nyeri gerak dengan riwayat rekurensi atau menetap selama 3 minggu, riwayat atau didapati adanya pembengkakan sendi, nodul subkutan (diamati oleh pemeriksa) peningkatan Laju Endap Darah atau C-Reaktif Protein, Iritis.

5) Yang tidak termasuk RA

Penyakit bukan RA Gejala dan Tanda

Butterfly rash yang khas pada

Lupus Eritematosus Sistemik

Konsentrasi LE sel tinggi

Periartritis Nodosa Pada pemeriksaan terdapat nekrosis arterial, kelemahan atau bengkak yang menetap pada leher, tubuh, dan otot-otot faring (polimiositis atau dermatomiositis), skleroderma yang jelas (sklerosis sistemik) tidak hanya terbatas pada jari jari

Demam Reumatik Disertai artritis migrasi dan

adanya endokarditis

Artritis Gout Bersifat akut, nyeri dan bengkak pada satu sendi atau lebih terutama bila membaik dengan kolkhisin, toil gout

Artritis Infektif Disebabkan oleh bakteri atau virus disertai demam, menggigil dan artritis akut yang biasanya berpindah-pindah (pada stadium awal), pemeriksaan bakteriologik dan histologik ditemukan tuberkulosis pada satu sendi

Sindrom Reiter Uretritis, konjungtivitis, dan artritis akut yang pada mulanya berpindah-pindah

Shoulder hand syndrome (reflex sympathetic dystrophy syndrome),

Bahu dan tangan yang terkena unilateral, disertai pembengkakan difus pada tangan yang diikuti dengan atrofi dan kontraktur


(20)

Hypertrophir, osteoarthropathy clubbing jari atau hipertrofi periostitis

sepanjang tulang-tulang panjang, terutama jika terdapat lesi intrapulmonal atau gangguan lain yang berhubungan

Neuroarthropati Kondensasi dan destruksi tulang termasuk sendi dan didapati gangguan neurologik yang sesuai.

Gambaran kulit khas eritema

nodosum, leukemia atau limfoma.

Sel yang khas dalam darah, sumsum tulang, atau jaringan, agammaglobulinemia.

Gambaran histologik sarkoid atau test Kveim positif, mieloma multiple

Peningkatan plasma sel dalam sumsum tulang atau dengan protein Bence Jones dalam urine

Sebagai pedoman umum, sampai sekarang masih dipakai kriteria dari ARA (American Reumatism Association) untuk menegakkan diagnosis RA yang seluruhnya ada 11 kriteria yakni adanya rasa kaku pada pagi hari (Morning stiffness), penderita merasa kaku dari mulai bangun tidur sampai sekurang-kurangnya 2 jam, pembengkakan jaringan lunak sendi (soft tissue swelling) yang berlangsung sampai 6 minggu, nyeri pada sendi yang terkena bila digerakkan (joint tenderness onmoving) sekurang-kurangnya didapati pada satu sendi, sekurang-kurangnya pada sebuah sendi yang lain, poliartritis yang simetris dan serentak (Symmetrical Polyarthritis

Simultaneously). Serentak di sini diartikan jarak antara rasa sakit pada satu sendi

disusul oleh sendi yang lain harus kurang dari 6 minggu, didapati adanya nodulus reumaticus subkutan, didapati adanya kelainan radiologik pada sendi yang terkena, sekurang-kurangnya dekalsifikasi, faktor uji rema positif, pengendapan mucin yang kurang pekat, didapati gambaran histologik yang khas dari sayatan benjolan rheuma (Rheumatoid nodule) (Gordon, 1997).


(21)

1.3 Respon Penderita Reumatoid Arthritis

Junaidi (2006) menyatakan bahwa Arthritis muncul perlahan dengan manifestasi umum peradangan berupa demam, rasa lemah, nyeri tubuh, lelah, anoreksia, penurunan berat badan, pembengkakan sendi. Sekitar 10% RA muncul secara akut sebagai poliarthritis, yang berkembang cepat dalam beberapa hari. Pada sepertiga pasien, gejala mula-mula pada satu sendi lalu pada banyak sendi. Umumnya penyakit memperlihatkan pola simetris. Sendi antara telapak tangan dan jari tangan serta pergelangan tangan biasanya merupakan sendi-sendi yang pertama kali terkena.Terjadi kekakuan paling parah pada pagi hari, yang berlangsung sekitar 1 jam dan mengenai sendi secara bilateral. Episode-episode peradangan diselingi oleh periode jeda/remisi.

Rentang gerak menjadi berkurang, timbul deformitas sendi dan kontraksi otot dimana otot dan tendon yang berdekatan dengan persendian yang mengalami peradangan cenderung mengalami kekakuan dan memendek. Terbentuk benjolan (nodus) rematoid ekstrasinovium pada sekitar 20% individu pengidap RA. Nodus merupakan pembengkakan yang terdiri dari sel-sel darah putih dan sisa sel terdapat didaerah trauma atau peningkatan penekanan. Nodus biasanya terbentuk dijaringan bawah kulit diatas siku dan jaringan.

1.4 Penatalaksanaan

1.4.1 Penatalaksanaan Farmakologis

Terapi secara farmakologis pada nyeri inflamasi yang utama adalah OAINS, coxib, analgetika opioid atau non opioid, dan analgetika adjuvan. Nyeri akut dan nyeri kronik memerlukan pendekatan terapi yang berbeda. Pada penderita nyeri akut, diperlukan obat yang dapat menghilangkan nyeri dengan cepat. Pasien lebih dapat mentolerir efek samping obat daripada nyerinya. Pada penderita kronik, pasien kurang dapat mentolerir efek samping obat (Adnan, 2008).


(22)

Pengobatan dengan medikamentosa ini dibagi atas beberapa kelompok pula : 1.4.1.1 Pengobatan secara Simptomatik

Simple analgesik, misalnya : paracetamol, aminopyrin, acetophenethidin. Obat anti inflamasi non-steroid, misalnya : Indomethacin, phenylbutazon, ketoprofen, sodium diclofenac, indoprofen. Obat anti inflamasi golongan steroid, misalnya : prednison. Pada pengobatan secara simptomatik hanya bertujuan untuk mengurangi rasa sakit, sedangkan progresivitas penyakitnya akan berjalan terus. Obat-obat simptomatik ini seringkali dipakai sampai berbulan-bulan sambil menunggu sampai obat remitif cukup tinggi kadar yang diperlukannya di dalam darah untuk memberikan efek pengobatan. Oleh sebab itu memilih obat yang aman dan menilai keadaan darah dan alat-alat badan yang lain secara laboratoris pada waktu-waktu tertentu amat penting guna melihat adanya efek samping sedini mungkin. Efek samping yang paling umum terjadi pada alat pencernaan, misalnya gastritis, nausea, muntah maupun diare ringan.

Pemakaian obat-obat simptomatik golongan steroid secara sistemik tidak dianjurkan karena dapat mengalami ketergantungan. Sedangkan pemakaiannya dalam jangka waktu yang lama akan lebih banyak merugikan penderita. Penderita dapat mengalami super-infeksi oleh kuman lain yang dapat membahayakan penderita yang memang sudah dalam keadaan lemah, lebih-lebih bila didapati infeksi dengan virus. Juga akan timbul moonface, tulang-tulang semakin menjadi porotik, iritasi terhadap lambung makin hebat. Bila pemakaian steroid dihentikan, obat analgetika jenis apapun tak akan mampu menghilangkan rasa sakit pada sendi-sendinya. Dalam keadaan-keadaan tertentu memang digunakan golongan steroid, misalnya untuk menyelamatkan hidup penderita RA yang berat atau pemakaian suntikan setempat (local/intra-articular) (Shiel, 1999).


(23)

1.4.1.2 Pengobatan Secara Remitif

Cara kerja pengobatan remitif ini menghambat faktor RA menjadi negatif, sehingga perjalan penyakitnya ikut dihambat dan dalam waktu yang lama penderita akan sembuh atau remisi penuh. Golongan obat remitif ini memang lebih bermanfaat bagi penderita, namun tergolong jenis obat yang lambat bekerjanya. Harus hati-hati karena jangka pemakaian yang lama sampai berbulan dan diperlukan monitoring dengan pemeriksaan laboratorium pada waktu-waktu tertentu.

Penicillamine adalah merupakan hasil pemecahan produk degradasi dari

penicillin sebagai antibiotika. Dengan dipecahnya makroglobulin ini, maka faktor RA jadi negatif dan dengan demikian perjalanan penyakitnya ikut dihambat dan bila ini berlangsung dalam jangka waktu yang diperlukan, maka penderita akan sampai pada stadium remisi yang sempurna (complete remission). Penderita seolah-olah sembuh, tanpa keluhan, tanpa obat. Kadang-kadang masa remisi ini dapat berlangsung sampai lebih dari tiga tahun. Efek samping nya adalah urticaria, nausea, muntah, diare, proteinuria, hilangnya rasa kecap terutama terhadap manis dan asin, dan peninggian transaminasi (Adnan, 2008). Obat-obat yang mempengaruhi perjalanan penyakit immuno-suppressant (penekanan zat kekebalan), cytostatic agent (obat sitostatika) alkylating agent, chelating agent, (penocillamine) anti malaria (chloroquin), anthelmentica levamisol, chrysothera-py.

1.4.2 Pengobatan Nonfarmakologis

1.4.2.1 Pengobatan Fisioterapi

Fisioterapi perlu dalam menangani kasus RA, yakni mencegah kerusakan sendi, mencegah kehilangan fungsi sendi, mengurangi nyeri, dan mencapai remisi secepat mungkin. Sendi yang meradang harus dilatih secara lembut dan perlahan sehingga tidak terjadi kekakuan atau cedera. Setelah peradangan mereda, bisa dilakukan latihan yang lebih aktif secara rutin, tetapi jangan sampai berlebihan supaya tidak terlalu lelah (Junaidi,


(24)

2006). Pada pengobatan fisioterapi pembidaian sering dilakukan untuk meregangkan sendi secara perlahan (Adnan, 2008). Penderita yang menjadi cacat karena RA dapat menggunakan alat bantu untuk dapat melaksanakan tugasnya sehari-hari, contoh sepatu ortopedik khusus atau sepatu atletik khusus.

1.4.2.2 Pengobatan Pembedahan

Bila berbagai cara pengobatan sudah dilakukan namun belum berhasil juga dan alasan untuk tindakan operatif cukup kuat, maka dilakukanlah pembedahan. Berbagai jenis pembedahan ini pada penderita RA umumnya bersifat ortopedik misalnya: synovectomia, arthrodese, total hip replacement, memperbai-ki deviasi ulnar (Junaidi, 2006).

1.4.2.3 Pengobatan Psikoterapi

Peranan ahli psikologi dan petugas sosial medis (social worker) diperlukan untuk menangani mental penderita agar tetap gigih dan sabar dalam pengobatan serta tidak merasa rendah diri sehingga penderita mampu melakukan tugas sehari-hari terutama untuk mengurus dirinya sendiri. Juga petugas sosial medis yang ikut membuat penilaian terhadap suasana lingkungan, penilaian kamampuan penderita (Adnan, 2008).

1.4.2.4 Panas atau dingin

Pada prinsipnya cara kerja terapi panas pada RA meningkatkan aliran darah ke daerah sendi yang terserang sehingga proses inflamasi berkurang (Junaidi, 2006). Selain itu terapi panas akan melancarkan sirkulasi darah, meningkatkan kelenturan jaringan sehingga mengurangi rasa nyeri serta memungkinkan hasil terapi didapat secara optimal (Kusumaastuti, 2008).

Terapi panas dapat menggunakan lilin paraffin, microwave, ultrasound, atau air panas. Cara menggunakan air panas bisa dengan handuk hangat atau kantong panas yang ditempelkan pada sendi yang meradang atau dapat juga dengan mandi atau berendam dalam air yang panas. Terapi dingin bertujuan untuk membuat baal bagian yang terkena RA sehingga mengurangi nyeri, peradangan, serta kaku atau kejang otot. Cara terapi dingin


(25)

adalah dengan menggunakan kantong dingin, atau minyak yang mendinginkan kulit dan sendi (Junaidi, 2006).

1.4.2.5 Terapi diet

Prinsip dasar pola diet untuk mendapatkan berat badan yang ideal dengan menerapkan pola makan secukupnya sesuai dengan energi yang diperlukan dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Pola makan pada pasien RA adalah sayur dengan porsi yang lebih banyak, buah, rendah lemak, dan kolesterol (Junaidi, 2006).

2. Konsep Nyeri

2.1 Pengertian Nyeri

Nyeri merupakan pengalaman sensorik multidimensi yang tidak menyena-ngkan akibat kerusakan jaringan. Kelompok studi nyeri Perdossi (2000) menerje-mahkan definisi nyeri yang dibuat IASP (International Association The Study of

Pain) yang berbunyi “nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak

menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial, atau yang digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut”. Nyeri merupakan masalah kesehatan yang kompleks, dan merupakan salah satu alasan utama seseorang datang untuk mencari pertolongan medis. Nyeri dapat mengenai semua orang, tanpa memandang jenis kelamin, umur, ras, status sosial, dan pekerjaan (Crombie, et a l, 1999).

Mc.Caffery (1979 dalam tamsuri, 2006) mendefinisikan nyeri sebagai kea daan yang mempengaruhi seseorang dan keberadaannya diketahui jika seseorang pernah mengalaminya. Nyeri akan membantu individu untuk tetap hidup dan melakukan kegiatan secara fungsional. Pada kasus-kasus gangguan sensasi nyeri (misalnya: neuropati akibat diabetes) maka dapat terjadi kerusakan jaringan yang hebat (Dieppe, 1995).


(26)

Kozier & Erb (1983 dalam Tamsuri, 2006) menegaskan bahwa nyeri merupakan suatu sensasi ketidaknyamanan akibat persepsi jiwa yang nyata, ancaman, dan fantasi luka. Nyeri merupakan masalah kesehatan yang kompleks, dan merupakan salah satu alasan utama seseorang datang untuk mencari pertolongan medis. Nyeri dapat mengenai semua orang, tanpa memandang jenis kelamin, umur, ras, status sosial, dan pekerjaan (Crombie, et al. 1999).

2.2 Klasifikasi Nyeri

2.2.1 Klasifikasi berdasarkan awitan

Berdasarkan waktu kejadiaan, nyeri dikelompokkan menjadi nyeri akut dan kronis. Nyeri akut terjadi dalam waktu yang singkat dari 1 detik sampai kurang dari 6 bulan. Nyeri akut dibagi atas: Pertama nyeri yang muncul, dimana sebelumnya tidak ada nyeri kronik. Kedua, nyeri yang datang tiba-tiba, sebelumnya klien sudah menderita nyeri kronik akan tetapi nyeri akut tidak berhubungan dengan nyeri kronik. Ketiga, nyeri akut yang merupakan eksaserbasi nyeri kronik yang selama ini diderita oleh pasien (Tamsuri, 2008).

Nyeri akut umumnya terjadi pada cedera, penyakit akut, atau pada pembedahan dengan awitan yang cepat dan tingkat keparahan yang bervariasi. Nyeri ini biasanya hilang dengan sendirinya dengan atau tanpa tindakan setelah kerusakan jaringan penyembuh. Nyeri akut merupakan gejala dimana intensitas nyeri berkorelasi dengan beratnya lesi atau stimulus. Cedera jaringan atau inflamasi akut akan menyebabkan pengeluaran berbagai mediator inflamasi, seperti: bradikinin, prostaglandin, leukotrien, amin, purin, sitokin, dan sebagainya yang dapat mengaktivasi atau mensensitisasi nosiseptor secara langsung atau tidak langsung. Sebagian dari mediator inflamasi tersebut dapat langsung mengaktivasi nosiseptor dan sebagian lainnya menyebabkan sensitisasi nosiseptor yang menyebabkan hiperalgesia.


(27)

Nyeri kronis timbul tidak teratur, intermiten atau bahkan persisten. Nyeri kronis dibagi 2 yakni nyeri kronik maligna dan nonmaligna. Karakteristik nyeri kronis adalah penyembuhannya tidak dapat diprediksi meskipun penyebabnya mudah ditentukan. Nyeri kronis dapat menyebabkan klien merasa putus asa dan frustasi. Klien yang mengalami nyeri kronis mungkin menarik diri dan mengisolasi diri. Nyeri ini menimbulkan kelelahan mental dan fisik.

2.2.2 Klasifikasi berdasarkan lokasi

Potter & Perry (2005) ada beberapa macam klasifikasi nyeri berdasarkan lokasi yakni:

LOKASI KARAKTERISTIK CONTOH-CONTOH

PENYEBAB Nyeri

superficial/kutaneus Nyeri akibat stimulasi kulit

Nyeri berlangsung sebentar dan terlokalisasi. Nyeri biasanya terasa sebagai sensasi yang tajam.

Jarum suntik, luka potong kecil atau terserasi.

Viseral dalam

Nyeri akibat stimulasi organ-organ internal

Nyeri bersifat difus dan dapat menyebar ke beberapa arah.

Durasi bervariasi tetapi biasanya berlangsung lebih lama daripada nyeri superficial. Nyeri dapat terasa tajam, tumpul atau unik tergantung dari organ yang terlibat.

Sensasi pukul, angina pectori, dan sensasi terbakar.

Nyeri alih

Terjadi pada nyeri visceral karena banyak organ-organ yang tidak punya reseptor nyeri. Jalan masuk neuron sensoris dan organ yang terkena kedalam segmen medulla spinalis sebagai neuron dari tempat asal nyeri dirasakan, persepsi nyeripada daerah yang tidak terkena.

Nyeri terasa dibagian tubuh yang terpisah dari sumber nyeri dan dapat terasa dengan berbagai karakteristik

Infark miokard, yang menyebabkan nyeri alih ke rahang, lengan kiri, dan bahu kiri, natu empedu, yang dapat mengalihkan nyeri ke selangkangan.


(28)

Sensasi nyeri meluas dari tempat awal cedera ke bagian tubuh yang lain.

Nyeri serasa akan menyebar ke bagian tubuh bawah atau sepanjang bagian tubuh. Nyeri dapat bersifat intermitten atau konstan.

Nyeri punggung bagian tubuh akibat diskus intravertebral yang rupture disertai nyeri yang meradiasi sepanjang tungka i dari iritasi saraf skiatik.

2.2.3 Klasifikasi Berdasarkan Organ

Nyeri organik adalah nyeri yang diakibatkan adanya kerusakan (aktual atau potensial) organ. Nyeri neurogenik adalah nyeri akibat gangguan neuron, misalnya pada neuralgia dan dapat terjadi secara akut maupun kronis. Nyeri psikogenik adalah nyeri akibat berbagai faktor psikologis, umumnya terjadi ketika efek-efek psikogenik seperti cemas dan takut timbul pada klien.

2.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Nyeri

Berger (1992) nyeri dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain: (1) lingkungan, (2) umur, (3) kelelahan, (4) riwayat sebelumnya, (5) mekanisme pemecahan masalah, (6) kepercayaan/agama, (7) budaya, dan (8) orang-orang yang memberi dukungan.

Lingkungan yang tidak nyaman akan memperkuat persepsi nyeri. Suasana ribut, panas, dan kotor akan membuat pasien merasa intensitas nyerinya lebih tinggi. Sebaliknya jika suasana tenang, nyaman, dan bersih akan membantu menciptakan perasaan rileks sehingga rasa nyeri dapat dikurangi. (Taylor, 1997).

Umur juga berpengaruh terhadap persepsi seseorang terhadap nyeri. Anak-anak dan orang tua mungkin lebih merasakan nyeri dibandingkan orang dewasa muda karena mereka sering tidak dapat mengkomunikasikan apa yang dirasakannya, sehingga kemungkinan perawat tidak dapat melakukan pengukuran untuk


(29)

Kelelahan dapat membuat orang merasakan nyeri lebih kuat. Hal ini disebabkan karena kekurangan energi untuk melawan stimulus nyeri Lelah juga mempengaruhi penerimaan seseorang terhadap nyeri. Semakin diterima rasa nyeri akan semakin berkurang begitu juga sebaliknya (Alexander & Hill, 1987).

Riwayat sebelumnya berpengaruh tehadap persepsi seseorang tentang nyeri. Orang yang sudah mempunyai pengalaman tentang nyeri akan lebih siap menerima perasaan nyeri, sehingga dia akan merasakan nyeri lebih ringan dari pengalaman pertamanya (Taylor, 1997).

Mekanisme pemecahan masalah mempengaruhi perasaan nyeri seseorang. Banyak cara yang dilakukan seseorang untuk menurunkan rasa nyeri. Ini sangat membantu orang tersebut untuk menurunkan nyerinya, misal seseorang terbiasa membayangkan hal-hal yang menyenangkan untuk mengalihkan perhatiannya terhadap nyeri (Berger, 1992).

Kepercayaan/agama mempengaruhi persepsi seseorang terhadap nyeri. Dalam agama tertentu, kesabaran adalah hal yang paling berharga di mata Tuhan. Kadang-kadang nyeri dianggap sebagai peringatan sebagai peringatan atas kesalahan yang telah dibuat sehingga orang tersebut merasa pasrah dalam menghadapi nyeri (Taylor, 1997).

Budaya mempengaruhi bagaimana seseorang mengartikan nyeri, bagaimana mereka memperlihatkan nyeri serta keputusan yang mereka buat tentang nyeri yang dirasakannya. Masyarakat dalam suatu kebudayaan mungkin merasa bangga bila tidak merasakan nyeri karena mereka menganggap bahwa nyeri tersebut merupakan sesuatu yang dapat ditahan (Berger, 1997).


(30)

Adanya orang-orang yang memberi dukungan berpengaruh terhadap nyeri yang dirasakannya, misalnya seorang anak tidak akan berfokus pada nyeri yang dirasakannya jika ia berada didekat kedua orang tuanya (Taylor, 1997).

2.4 Mekanisme Nyeri

Pengalaman sensoris pada nyeri akut disebabkan oleh stimulus noksious yang diperantarai oleh sistem sensorik nosiseptif. Sistem ini berjalan mulai dari perifer melalui spinalis, batang otak, talamus, dan korteks cerebri. Pencegahan terhadap terjadinya kerusakan jaringan mengharuskan setiap individu untuk belajar mengenali stimulus-stimulus tertentu yang berbahaya dan harus dihindari.

Apabila terjadi kerusakan jaringan, sistem nosiseptif akan bergeser fungsi dari fungsi protektif menjadi fungsi yang membantu perbaikan jaringan yang rusak. Nyeri inflamasi merupakan salah satu bentuk untuk mempercepat perbaikan kerusakan jaringan. Sensitivitas akan meningkat, sehingga stimulus nonnoksious atau noksious ringan yang mengenai bagian yang meradang akan menyebabkan nyeri. Sebagai akibatnya, individu akan mencegah adanya kontak atau gerakan pada bagian yang cidera tersebut sampai perbaikan jaringan selesai. Hal ini akan meminimalisasi kerusakan jaringan lebih lanjut.

Nyeri inflamasi akan menurunkan derajat kerusakan dan menghilangkan respon inflamasi. Nyeri inflamasi merupakan bentuk nyeri yang adaptif atau Reumatoid Arthritis, penatalaksanaan yang aktif harus dilakukan. Respon inflamasi berlebihan atau kerusakan jaringan yang hebat tidak boleh dibiarkan. Tujuan terapi adalah menormalkan sensitivitas nyeri. Nyeri maladaptif tidak berhubungan dengan adanya stimulus noksious atau penyembuhan jaringan. Nyeri maladaptif dapat terjadi sebagai respon kerusakan sistem saraf (nyeri neuropatik) atau sebagai akibat fungsi abnormal sistem saraf (nyeri fungsional). Berbagai mekanisme yang mendasari


(31)

munculnya nyeri telah ditemukan, mekanisme tersebut adalah: nosisepsi, sensitisasi perifer, perubahan fenotip, sensitisasi sentral, eksitabilitas ektopik, reorganisasi struktural, dan penurunan inhibisi. Pada kasus nyeri nosiseptif terdapat proses transduksi, transmisi, dan persepsi.

Kerusakan jaringan akan memacu pelepasan zat-zat kimiawi (mediator inflamasi) yang menimbulkan reaksi inflamasi yang diteruskan sebagai sinyal ke otak. Sinyal nyeri dalam bentuk impuls listrik akan dihantarkan oleh serabut saraf nosiseptor tidak bermielin (serabut C dan ฀) yang bersinaps dengan neuron di kornu dorsalis medulla spinalis. Sinyal kemudian diteruskan melalui traktus spinotalamikus di otak, dimana nyeri dipersepsi, dilokalisir, dan diintepretasikan (Brookoff, 2000).

2.5 Respon Klien Terhadap Nyeri

Respon seseorang terhadap nyeri bervariasi, ada yang sakit dan ada yang tidak merasakan respon tingkah laku terhadap nyeri yang dialami (Priharjo, 1996).

2.5.1 Respon fisik

Respon fisik timbul karena pada saat impuls nyeri ditransmisikan oleh medula spinalis menuju batang otak dan talamus, sistem saraf otonom terstimulasi, sehingga menimbulkan respon yang serupa dengan respon tubuh terhadap stres. Pada nyeri skala ringan sampai moderat serta nyeri superficial, tubuh bereaksi membangkitkan

General Adaptation Syndrome (Reaksi Fight or Flight), dengan merangsang sistem

saraf simpatis sedangkan pada nyeri yang berat dan tidak dapat ditoleransi serta nyeri yang berasal dari organ viseral, akan mengakibatkan stimulasi terhadap saraf parasimpatis (Tamsuri, 2006).


(32)

2.5.2 Respon perilaku

Respon prilaku yang timbul pada klien yang mengalami nyeri dapat bermacam-macam. Meinhart dan Mc. Caffery (1983) menggambarkan 3 fase perilaku terhadap nyeri yaitu: antisipasi, sensasi, dan fase pasca nyeri Mc. Caffery (1983 dalam Tamsuri, 2006). Fase antisipasi merupakan fase yang paling penting dan merupakan fase yang memungkinkan individu untuk memahami nyeri. Individu belajar mengendalikan emosi (kecemasan) sebelum nyeri muncul, karena kecemasan dapat menyebabkan peringatan sensasi nyeri yang terjadi pada klien dan atau tindakan ulang yang dilakukan oleh individu untuk mengatasi nyeri menjadi kurang efektif.

Pada saat terjadi nyeri, banyak perilaku yang diungkapkan oleh seseorang individu yang mengalami nyeri seperti menangis, meringis, meringkukkan badan, menjerit, dan bahkan mungkin berlari-lari.Pada fase pasca nyeri, individu biasa saja mengalami trauma psikologis, takut, depresi, serta dapat juga menjadi menggigil.

2.5.3 Respon psikologis

Respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien terhadap nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi individu. Individu yang mengartikan nyeri sebagai sesuatu yang negatif cenderung memiliki suasana hati sedih, berduka, ketidakberdayaan, dan dapat berbalik menjadi rasa marah dan frustasi. Sebaliknya pada individu yang memiliki persepsi nyeri sebagai pengalaman positif akan menerima nyeri yang dialaminya (Tamsuri, 2006).

2.3 Pengukuran Nyeri Reumatoid Arthritis

Potter & Perry (2005) untuk pengukuran nyeri perlu dilakukan pengkajian karakteristik umum nyeri untuk membantu perawat membentuk pengertian pola nyeri dan tipe nyeri. Perawat mengajukan pertanyaan untuk menentukan awitan, durasi,


(33)

rangkaian nyeri. Kapan nyeri mulai dirasakan? Apakah nyeri yang dirasa terjadi pada waktu yang sama setiap hari? Seberapa sering nyeri kambuh?

Kemudian perawat meminta klien untuk menunjukkan lokasi nyeri. Alat pengkajian skala nyeri berupa numeris, deskriptif, analog visual. Klien menetapkan suatu titik pada skala yang berhubungan dengan persepsinya tentang tingkat keparahan nyeri pada waktu melakukan pengkajian.

Ada beberapa instrumen yang digunakan untuk mengukur skala nyeri, diantaranya yang dikemukakan oleh AHCPR (Agency for Health Care Policy &

Research) :

Deskripsi Sederhana terdiri dari :

tidak nyeri, nyeri sedang, nyeri berat, nyeri sangat berat Visual Analog Scale (VAS)

Digunakan garis 10 cm batas antara daerah yang tidak sakit ke sebelah kiri dan daerah batas yang paling sakit.

Tidak sakit Nyeri sehebat yang terjadi

Verbal Numerical Rating Scale (VNRS)

Sama dengan VAS hanya diberi skor 0-10 daerah yang paling sakit dan kemudian diberi skala

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Grafik Verbal Rating Scale

Tidak ada nyeri Nyeri ringan nyeri sedang nyeri berat nyeri sangat hebat (Brunner & Suddarth, 1996).


(34)

Jika klien mengerti dalam penggunaan skala dan dapat menjawabnya serta gambaran-gambaran yang diungkapkan atau ditunjukan padanya dapat diseleksi dengan hati–hati, maka setiap instrument tersebut dapat menjadi valid dan dapat dipercaya (Potter & Perry, 2005).

3. Nyeri Reumatoid Arthritis

3.1 Ciri Khas Nyeri Reumatoid Artritis

Nyeri pada penyakit reumatik terutama disebabkan oleh adanya inflamasi yang mengakibatkan dilepaskannya mediator-mediator kimiawi. Kinin dan mediator kimiawi lainnya dapat merangsang timbulnya rasa nyeri. Prostaglandin berperan dalam meningkatkan dan memperpanjang rasa nyeri yang disebabkan oleh suatu rangsangan/stimulus (Isbagio,1995).

Menurut Junaidi (2006) gejala klinis RA pada saat yang bersamaan bisa banyak sendi yang mengalami peradangan. Biasanya peradangan bersifat simetris. Jika suatu sendi pada sisi kiri tubuh terkena, sendi yang sama di kanan tubuh juga meradang. Yang pertama kali meradang adalah sendi-sendi kecil di jari tangan, jari kaki, tangan, kaki, pergelangan tangan, siku, dan pergelangan kaki. Sendi yang meradang biasanya menimbulkan nyeri dan menjadi kaku secara simetris, terutama pada saat bangun tidur atau setelah lama tidak melakukan aktivitas fisik.

Sendi yang terserang akan membengkak, membesar dan segera terjadi kelainan bentuk. Jari-jari pada kedua tangan cenderung membengkok ke arah kelingking sehingga tendon pada jari-jari tangan bergeser dari tempatnya. Pembengkakan pergelangan tangan dapat mengakibatkan terjadinya sindrom

terowongan karpal. Sifat sistemik pada kategori penyakit reu matik yang dikenal

sebagai penyakit jaringan ikat dicerminkan dalam bentuk proses inflamasi yang tersebar luas. Meskipun berfokus pada persendian inflamasi juga melibatkan


(35)

bagian-bagian tubuh lainnya seperti vaskulitis, jantung, paru, ginjal (Brunnert & Suddarth, 2001). Sekitar 10% AR muncul secara akut sebagai poliartritis, yang berkembang cepat dalam beberapa hari. Pada sepertiga pasien, gejala mula-mula monoartritis lalu poliartritis. Terjadi kekakuan paling parah pada pagi hari, yang berlangsung sekitar 1 jam dan mengenai sendi secara bilateral. Episode-episode perandangan diselingi oleh remisi. Rentang gerak berkurang, tebentuk benjolan rematoid ekstra sinovium (Junaidi, 2006).

Nyeri RA kronis sakit adalah melibatkan keduanya antara peripheral dan sekeliling, prosesnya meliputi: adanya faktor intrinsik ke neuron (unsur P, serotonin), pelepasan mediator inflamasi ke jaringan sehingga rusak oleh prostaglandins, TNF, yang mengaktifkan sel yang peka rangsangan ion-channel-linked pada afferent berhubungan dengan neurons, glutamate menyebabkan kerusakan dorsal, neurotransmitter nyeri yang utama, N-Methyl-D-Aspartate (NMDAa)-RECEPTOR yang menghasilkan rangsangan inflamasi (Kelly, 2005).

3.2 Mekanisme Terjadinya Nyeri Reumatoid Arthritis

Pada RA nyeri dan inflamasi disebabkan oleh terjadinya proses imunologik pada sinovial (Harry,2008). Tahap pertama adanya stimulus antigen kemudian terbentuk antibodi imunoglobin membentuk komplek imun dengan antigen sehingga menghasilkan reaksi inflamasi. Inflamasi akan terlihat di persendian sebagai sinovitis. Inflamasi merupakan proses primer dan degenerasi merupakan proses sekunder.Prostaglandin bertindak sebagai modifier inflamasi prostaglandin memecah kolagen sehingga dapat merangsang timbulnya nyeri melalui proses edema, proliferasi membaran sinovial, pembentukan pannus, penghancuran kartilago dan erosi tulang (Brunner & Suddarth, 2001)


(36)

Harry (2008) mentatakan bahwa nyeri pada penyakit RA dapat terjadi akibat:

1) Rangsangan pada nociceptors di dalam komponen perangkat biomekanik,

misalnya perangsangan nociceptors pada otot, sendi, tendon dan ligamen. Nyeri jenis ini berhubungan dengan konsep nyeri sistem sensorik, sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap situasi yang membahayakan atau terjadinya kerusakan. Oleh karena adanya nyeri ini, maka bagian yang terserang akan diistirahatkan/imobilisasi, untuk mencegah terjadinya kerusakan lebih lanjut.

2) Penekanan saraf atau serabut saraf (radiks).

3) Perubahan postur yang menyebabkan fungsi untuk mengatur kontraksi otot tidak sempurna.

4) Mekanisme psikosomatik.

3.3 Mekanisme Pengurangan Nyeri Reumatoid Artritis

Tujuan pengobatan RA adalah menghilangkan rasa sakit, meredakan inflamasi, mempertahankan luas gerakan sendi, mencegah kecacatan dan membantu penderita dalam mengatasi problema psikologis yang timbul sebagai akibat dari penyakit kronis yang meninggalkan kecacatan ini. Pada prinsipnya terapi yang dilakukan meliputi sendi yang meradang diistirahatkan karena penggunaan sendi yang terkena akan memperberat peradangan. Selama periode pengobatan diperlukan istirahat setiap hari, dilakukan kompres panas dan dingin, diberikan obat nyeri, obat antiinflamasi nonsteroid atau steroid sistemik atau pemberian logam emas, atau tindakan pembedahan untuk memperbaiki deformitas. Mengistirahatkan sendi secara rutin membantu mengurangi nyeri. Pembidaian dapat digunakan untuk imobilisasi dan mengistirahatkan satu atau beberapa sendi untuk mencegah kekakuan (Junaidi, 2006).


(37)

Kekakuan dan rasa tidak nyaman dapat meningkat pada saat istirahat, sehingga penderita dapat terbangun dari tidur atau bahkan sulit tidur. Oleh karena itu, cara-cara mengurangi nyeri sangat berharga bagi penderita, misalnya dengan kompres dingin atau penggunaan obat antinyeri jangka panjang. Penderita RA sekurang-kurangnya harus beristirahat 10-12 jam pada malam hari dengan penambahan satu waktu istirahat pada siang hari (Nainggolan, 2004).

4. Terapi Dingin

4.1 Pengertian Terapi Dingin

Terapi dingin atau cold therapy atau cryotherapy merupakan modalitas terapi fisik yang menggunakan sifat fisik dingin untuk terapi berbagai kondisi, termasuk penyakit reumatik (Bambang, 2003). Terapi dingin pada RA pada suhu 300C atau lebih rendah dapat menurunkan enzim kolagenase, enzim yang sangat berperan dalam perjalanan penyakit RA.

4.2 Teknik aplikasi terapi dingin 4.2.1 Terapi dingin ice packs

Pecahan es dibungkus dengan handuk kering atau basah atau dimasukkan kedalam kirbat es, diaplikasikan 10-15 menit untuk daerah superficial dan 15-20 menit untuk jaringan yang lebih dalam. Kompres dingin ice packs sering digunakan untuk kompres dingin nyeri RA sehingga dapat mengurangi bengkak dan edema..

4.2.2 Terapi dingin cold gel packs

Berisi zat kental (gel) yang tetap efektif sampai 45-60 menit setelah didinginkan. Disimpan di unit pendingin pada suhu 0-100 F. Dapat digunakan berulang kali dan dapat dibentuk sesuai daerah yang akan diterapi. Penggunaan yang tidak tepat dapat menyebabkan frosbite. Suhu yang tidak tepat kemungkinan tidak dapat mencapai efek terapetik yang diinginkan. Lama aplikasi adalah 20-30 menit


(38)

dengan aplikasi hydrocollator pack kulit langsung menjadi dingin, jaringan subkutan beberapa menit sesudahnya, dan otot sedalam 2 cm menjadi dingin sekitar 50C setelah 20 menit.

4.2.3 Terapi dingin ice immersion

Digunakan untuk mengobati bagian distal ekstremitas. Penampung (container) yang cukup menampung ekstremitas diisi dengan es dan air kemudian bagian ekstremitas yang akan diterapi direndam. Suhu berkisar antara 13-180 C untuk terapi yang berlangsung 10-20 menit.

4.2.4 Terapi dingin ice massage

Balok es yang dibentuk dalam gelas plastik atau pada batang kayu dan diusap pada daerah yang akan diterapi, biasanya daerah kecil dengan radang jaringan atau spasme otot. Arah aplikasi harus sejajar dengan serabut otot, dan usapan terus-menerus selama 3-10 menit sampai tercapai rasa kebas / anastesi.

4.2.5 Terapi dingin vapocoolant spray

Digunakan zat flouromethan atau kloretil atau nitrogen cair vaporasi. Apabila disemprotkan pada kulit akan memberikan akan memberikan pendinginan yang bermakna melalui evaporasi. Kaleng semprotan dipegang sekitar 50 cm dari bagian tubuh yang akan diterapi, arah semprotan membentuk sudut sekitar 300 C, hanya satu arah dari origo ke insersi otot, dengan kecepatan 10 cm perdetik, sekitar 4 garis sejajar, menggunakan 1-2 sweep sambil mempertahankan regangan pasif.

4.3 Prinsip Terapi Dingin

Memberikan rasa dingin dengan menggunakan kirbat es atau kain yang dingin pada tempat yang terasa nyeri. Tujuannya untuk mengurangi inflamasi yang terjadi pada tempat yang terserang nyeri sehingga sensasi nyeri pasien pun berkurang (Ganong, 2000). Pada saat pasien mengalami nyeri, hitung skala nyeri pasien tersebut


(39)

dengan skala numeris. Terapi ini diberikan saat pasien mengalami nyeri. Kompres dingin diberikan pada lokasi yang terkena nyeri kemudian ukur kembali skala nyeri pasien dengan skala numeris.

Kompres dingin dapat menimbulkan reaksi sistemik dan lokal. Respon sistemik terjadi melalui mekanisme pengilang panas sedangkan respon lokal menimbulkan stimulasi ujung saraf dari perifer ke hipotalamus, yang akan menyebabkan timbulnya kesadaran terhadap suhu lokal dan memicu timbulnya respon adaptif untuk mempertahankan suhu tubuh normal. Tubuh dapat mentoleransi suhu dalam rentang tertentu. Suhu normal permukaan kulit 340C, tetapi reseptor suhu dapat beradaptasi dengan suhu lokal antara 150-450C. Jika suhu terlalu dingin dapat menyebabkan mati rasa sebelum rasa nyeri. Hal ini berbahaya karena dapat menyebabkan cedera jaringan yang serius (Potter & Perry, 2005).

4.4 Manfaat Terapi Dingin

Kompres dingin digunakan untuk mengurangi nyeri, peradangan, mencegah edema, menurunkan suhu tubuh dan mengontrol pendarahan dengan meningkatkan vasokontriksi. Kompres dingin tidak boleh digunakan pada area yang sudah terjadi edema, karena efek vasokontriksi menurunkan reabsorpsi cairan. Kompres dingin tidak boleh diteruskan apabila nyeri semakin bertambah atau edema meningkat atau terjadi kemerah-merahan berat pada kulit. Untuk mencapai hasil yang maksimal maka kompres idngin dipasang ditempat selama 20 menit kemudian diambil, dan beri kesempatan jaringan untuk hangat kembali (Priharjo, 1993).


(40)

Potter & Perry (2005) menyatakan efek terapi dingin sebagai berikut: Respon fisiologis Keuntungan terapeutik Contoh kondisi yang

diobati Vasokontriksi Menurunkan aliran darah ke

daerah tubuh yang mengalami cedera, mencegah terbentuknya edema, menurangi inflamasi.

Trauma langsung (keseleo, ketegangan, fraktur, spasme otot), luka tusuk, luka bakar

minor, nyeri, penyuntikan, artrhritis

dan trauma sendi.

Anastesi lokal Mengurangi nyeri lokal

Metabolisme sel menurun

Mengurangi kebutuhan oksigen jaringan

Visikositas darah meningkat

Meningkatkan koagulasi darah pada temapat yang cidera.

Ketegangan otot menurun

Menghilangkan nyeri

5. Terapi Dingin Pada Nyeri Reumatoid Arthritis

Kompres dingin pada sendi reumatoid akan menghambat aktivitas kolagenase di dalam sinovium dan mengurangi spasme otot. Pemberian terapi dingin pada pasien RA sangat mudah diaplikasikan baik oleh pihak tenaga kesehatan ataupun oleh pasien. Terapi ini mudah digunakan, tidak mahal, dan dapat diaplikasikan. Aplikasi dingin pada kulit menyebabkan vasokontriksi kutan segera melalui mekanisme reflek dengan rangsangan saraf simpatetik dan secara langsung merangsang kontraksi otot polos.

Vasokontriksi awal diperkirakan akibat peningkatan afinitas reseptor alfa adrenergik pascaperbatasan terinduksi dingin, terhadap norepinefrin yang ada yang ada dalam otot polos vaskuler. Terjadi vasodilatasi reaktif karena pendinginan lebih lanjut menginterupsi pelepasan norepineprin. Vasodilatasi menghangatkan jaringan,


(41)

Tindakan yang dilakukan adalah siapkan semua peralatan, cuci tangan, isi kirbat es dengan kepingan es. Keluarkan udara dan kencangkan penutupnya. Keringkan bagian luar dan periksa adanya kebocoran. Beritahu pasien, jaga harga diri pasien, buka area yang akan dipasang kompres, atur posisi sesuai dengan kebutuhan, letakkan kirbat es pada area yang dikehendaki, ikat bila diperlukan, bantu pasien mengatur posisi yang nyaman, bereskan peralatan, kembalikan pada tempatnya (Priharjo, 1993).


(42)

BAB 3

KERANGKA PENELITIAN 1. Kerangka Konseptual

Nyeri secara serius menyebabkan ketidakmampuan dan imobilisasi pada individu, sehingga kondisi ini akan merusak kemampuan individu untuk melakukan aktivitas perawatan diri. Nyeri juga menyebabkan isolasi sosial, depresi, dan perubahan konsep diri. Konsep nyaman memiliki subjektivitas yang sama dengan nyeri. Setiap individu memiliki karakteristik fisiologis, sosial, spiritual, psikologis, dan kebudayaan yang mempengaruhi cara mereka

menginter-pretasikan dan merasakan nyeri. Kolcaba (1992 dalam Potter & Perry, 2005) menyatakan bahwa kenyamanan dengan cara yang konsisten pada pengalaman subjektif klien.

Berdasarkan pemaparan tersebut maka peneliti merumuskan kerangka penelitian berdasarkan konsep Nyeri (1989 dalam Potter & Perry, 2005). Tentang faktor kenyamanan yang menjadi kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi makanya konsep ini tepat dijadikan panduan dalam penelitian untuk melihat pengaruh kompres dingin kirbat es terhadap intensitas nyeri RA.

Skema 1. Kerangka Penelitian Efektivitas Kompres Dingin Terhadap Penurunan Skala Nyeri pada Penderita Reumatoid Arthritis

Post

Nyeri RA Kirbat

Es Pre


(43)

2. Defenisi Operasional

2.1 Nyeri reumatoid

Nyeri dalam penelitian ini didefenisikan sebagai sensasi sakit yang ditimbulkan pada sendi sendi kaki, pergelangan kaki, pergelangan tangan dan siku yang diakibatkan inflamasi dengan kategori nyeri ringan dan nyeri sedang pada penderita nyeri Reumatoid Arthritis. Intensitas nyeri tersebut diidentifikasi berdasarkan skala pengukuran nyeri yaitu skala numerik (Numerical Rating Scale) dengan rentang skala 0-10.

2.2 Kompres dingin kirbat es

Kompres dingin yang dimaksud dalam penelitian ini adalah terapi dingin menggunakan kirbat es. Kompres dilakukan dengan rentang suhu 15-27oC pada pergelangan kaki, pergelangan tangan dan siku yang terasa nyeri pada pagi hari dilakukan dalam waktu 20 menit dengan frekuensi 3 kali.

3. Hipotesa Penelitian

3.1 Terdapat perbedaan intensitas nyeri RA pre dan post kompres dingin kirbat es pada kelompok intervensi.

3.2 Terdapat perbedaan intensitas nyeri RA antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol setelah perlakuan.

Hipotesa dalam penelitian ini adalah gagal menolak hipotesa Hadan menolak hipotesa H0.


(44)

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN 1. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian quasi eksperimen dengan

pre dan post-test untuk mengidentifikasi pengaruh kompres dingin terhadap intensitas

nyeri Reumatoid Artrhritis. Penelitian ini menggunakan dua kelompok yaitu kelompok intervensi yang diberi kompres dingin kirbat es dan kelompok kontrol yang tidak diberi perlakuan. Pada kedua kelompok diawali dengan pengukuran intensitas nyeri (pre-test). Kemudian kelompok intervensi dilakukan kompres dingin selama 20 menit dengan frekuensi 3 kali, sedangkan kelompok kontrol tidak diberi perlakuan. Setelah kompres dingin kirbat es pada kelompok intervensi, diakhiri dengan pengukuran kembali intensitas nyeri RA pada kedua kelompok (post-test).

2. Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan penderita Reumatoid Arthtritis yang memungkinkan untuk diteliti dengan nyeri ringan (intensitas nyerinya 2-3) dan sedang (intensitas nyerinya 4-5) di Poli RSU Adam Malik Medan.

3. Sampel Penelitian

Sampel dipilih dengan menggunakan teknik purposive sampling, yaitu suatu teknik penetapan sampel dengan yang dikehendaki peneliti sehingga sampel tersebut dapat mewakili karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya (Nursalam, 2003).

Penentuan jumlah sampel diambil dengan menggunakan tabel “power

analysis” karena jumlah sampel dalam populasi ini tidak diketahui. Dalam penelitian


(45)

effect size (γ) sebesar 0.80. Dari tabel Power Analysis ditetapkan 9 orang subjek

penelitian untuk masing-masing kelompok intervensi dan kontrol. (Pollit & Hungler, 1995). Besar sampel dalam kelompok intervensi sama dengan kelompok kontrol sehingga total subjek dalam penelitian ini adalah 18 orang.

Adapun kriteria inklusi sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 3.1Penderita nyeri RA dengan nyeri ringan (skala nyerinya 2-3) dan nyeri

sedang (skala nyerinya 4-5).

3.2Responden bersedia meminum obat sebelum kompres dingin kirbat es. 3.3Bersedia mengikuti intervensi kompres dingin kirbat es selama 20

menit/nyeri selama 2 minggu sesuai jadwal pada kelompok intervensi. 4. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Poli Reumatologi RSU Adam Malik Medan. Alasan peneliti memilih lokasi ini sebagai tempat penelitian karena tempat ini merupakan rumah sakit rujukan nasional yang menerima pasien. Masyarakat yang masuk rumah sakit ini memiliki penyakit yang beraneka ragam dan merupakan rumah sakit rujukan. Terlebih lagi pengobatan Reumatologi bukan untuk menghambat perjalanan penyakit tapi untuk mengurangi simptomatik penyakit RA, jadi pasien ini sering dirawat jalan. Penelitian ini dilaksanakan selama mulai

dari tanggal 8 Mei sampai 20 Juli 2009 dan berlanjut tanggal 25 Mei sampai 9 Juli 2010.

5. Pertimbangan Etik Penelitian

Penelitian ini mempertimbangkan etik penelitian yaitu dengan terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari responden kemudian memberi penjelasan kepada responden penelitian tentang tujuan, manfaat penelitian dan prosedur pelaksanaan


(46)

penelitian yaitu pelaksanaan kompres dingin pada kelompok intervensi dan tanpa perlakuan pada kelompok kontrol. Responden yang bersedia barulah melakukan penelitian dengan menekankan pertimbangan etik yang meliputi :

a. Informed consent

Lembar persetujuan akan diberikan kepada responden yang akan diteliti, bila responden menolak maka peneliti tidak memaksa dan tetap menghormati hak-hak pasien.

b. Anonimity (tanpa nama)

Pasien yang menjadi responden penelitian ini akan dijaga kerahasiaannya dengan tidak mencantumkan nama responden pada lembar instrumen penelitian ini atau dokumentasi apapun dalam penelitian ini. Peneliti selanjutnya hanya mencantumkan kode tertentu untuk memudahkan pentabulasian data.

c. Confidentiality

Kerahasiaan informasi responden dijamin peneliti. Data atau informasi yang diberikan responden hanya dipergunakan untuk kepentingan penelitian ini dan tidak akan dibuka untuk selain penelitian ini.

Penelitian ini tidak menimbulkan resiko bagi individu yang menjadi responden. Kerahasiaan catatan mengenai data responden dijaga peneliti dan data-data yang diperoleh dari responden hanya digunakan untuk kepentingan penelitian. Kompres dingin kirbat es ini akan segera dihentikan jika nyeri bertambah berat dan responden bisa segera meminum obat RA nya. Lembar persetujuan dalam penelitian ini dapat dilihat pada lampiran.


(47)

6. Instrumen penelitian

6.1 Data demografi

Data demografi meliputi kode responden, usia, jenis kelamin, suku, agama, riwayat medis sekarang berhubungan dengan penggunaan obat-obatan analgetik dan antiinflamasi. Data demografi ini berguna untuk membantu peneliti mengetahui latar belakang dari responden yang bisa berpengaruh terhadap penelitian ini. Data demografi ini dapat dilihat pada lampiran .

6.2 Lembar observasi nyeri pre dan post intervensi

Hasil pengukuran nyeri pre dan post intervensi disajikan dalam bentuk lembar observasi pada masing-masing kelompok dengan skala nyeri yang dapat dilihat pada lampiran dengan tujuan untuk melihat pengaruh kompres dingin terhadap intensitas nyeri Reumatoid Arthritis .

Instrumen intensitas nyeri yang digunakan yaitu Numerical Rating Scale dengan panjang 0 sampai 10. Skala 0 berarti tidak ada nyeri dan 10 berarti nyeri hebat. Pengukuran skala intensitas nyeri RA dilakukan ketika nyeri timbul pada sore dan malam hari. Sebelum diberikan kompres dingin(pre- test), pada kedua kelompok subjek diukur intensitas nyerinya dengan skala pengukuran nyeri dan setelah diberikan kompres dingin (post-test), intensitas nyeri diukur kembali untuk mengetahui perubahan skala pengukuran nyeri. Durasi pemberian kompres dingin selama 20 menit untuk masing-masing subjek dengan frekuensi 3 kali. Kompres dingin diberikan dengan menggunakan kirbat es yang berisi air es dengan ketepatan suhu 150-270 C.


(48)

7. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala nyeri Verbal Numerical Rating Scale (VNRS) point 1-10, lembar cara mengukur skala nyeri, kirbat es biasa ukuran ± 30 cm , potongan es, termometer Safety Hg.

8. Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data penelitian ini dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

8.1 Mengajukan permohonan izin kepada bagian Pendidikan Fakultas Keperawatan USU Universitas Sumatera Utara.

8.2 Mengajukan permohonan izin pelaksanaan penelitian kepada Pimpinan Rumah Sakit Umum Adam Malik Medan.

8.3 Mendata pasien RA yang mau menjadi responden ke poli Reumatologi setiap senin dan jumat jam 09:00-13:00 pagi.

8.4 Menjelaskan tujuan, manfaat, prosedur pengumpulan data pada calon responden dan jadwal kontrak kegiatan dimana pada kelompok intervensi dilakukan kompres dingin kirbat es sedangkan pada kelompok kontrol tidak diberikan perlakuan.

8.5 Mengelompokkan responden ke dalam dua kelompok yaitu 9 orang kelompok intervensi dan 9 orang kelompok kontrol

8.6 Memberikan informed consent kepada kedua kelompok responden.

8.7 Memberikan alat dan bahan kepada kelompok intervensi serta menjelaskan prosedur kompres dingin kirbat es kepada responden agar mereka dapat membantu peneliti melakukan kompres dingin terhadap dirinya dengan benar sehingga meminimalkan timbulnya bias.


(49)

8.8 Menjelaskan kepada kelompok intervensi sebelum pemberian intervensi atau pre- test pada kedua kelompok mengisi kuesioner Skala Numerik (Numerical Rating Scale) dengan panjang 0-10, pre-test yang dilakukan responden saat mengalami nyeri RA.

8.9 Menjelaskan untuk melakukan kompres dingin kirbat es selama 20 menit saat muncul rasa nyeri klien pada pagi hari dengan frekuensi 3 kali pada kelompok intervensi sedangkan pada kelompok kontrol tidak diberi perlakuan. Responden kedua kelompok mengikuti kegiatan hingga akhir penelitian. Kegiatan pada kelompok intervensi dilakukan di ruang Poli RSU H. Adam Malik Medan oleh peneliti ataupun dilakukan di rumah oleh responden.

8.10 Menjelaskan kepada responden untuk mengukur kembali intensitas nyeri post kompres dingin kirbat es pada kelompok intervensi sedangkan pada kelompok kontrol diukur setelah 20 menit.

8.11 Mengumpulkan data penelitian setelah jadwal kontrak habis, dikum- pul ke ruang poli RSU H. Adam Malik Medan kepada peneliti. 9. Analisa Data

Setelah dilakukan pengumpulan data maka dilakukan analisa data. Data yang diperoleh dari setiap responden berupa data demografi yang merupakan hasil wawancara peneliti kepada penderita nyeri reumatoid Arthrtitis dan hasil pengukuran skala nyeri sebelum dilakukan intervensi kompres dingin dan sesudah dilakukan kompres dingin. Hasil penelitian tersebut dibandingkan dengan menguji hipotesa penelitian sehingga diketahui pengaruh kompres dingin terhadap intensitas nyeri pada penderita RA. Selanjutnya lakukan pengolahan data.


(50)

9.1Statistik Deskriptif

Statistik deskriptif digunakan untuk menyajikan data-data demografi dan skala nyeri RA pre dan post dalam bentuk tabel. Data-data demografi didapatkan dari pihak rumah sakit.

9.2Statistik Inferensial

Statistik inferensial digunakan untuk menganalisis perbedaan skala nyeri antara pre dan post kompres dingin kirbat es pada kelompok intervensi dan perbedaan skala nyeri antara kelompok intervensi dan kontrol. Adapun uji inferensial yang dipakai adalah:

9.2.1Uji paired t-test digunakan untuk membandingkan tingkat nyeri pre

post kompres dingin kirbat es pada kelompok intervensi.

9.2.2Uji independent t-test digunakan untuk membandingkan skala nyeri RA antara kelompok intervensi dan kontrol.

Sebelum dilakukan uji inferensial diatas lakukan uji normalitas Kolmogorov-Smirnov. Data terdistribusi normal maka pengolahan data yang digunakan parametrik (uji paired t-test dan indpendent t-tes) tapi jika data tidak terdistribusi normal maka pengolahan datanya menggunakan nonparametrik (uji wilcoxon dan man whitney)

Menurut Harsono (2001) dari kedua uji paired t-test dan independent t-test tersebut akan diperoleh nilai p, yaitu nilai yang menyatakan besarnya peluang hasil penelitian (misal adanya perbedaan mean). Kesimpulan hasilnya diinterpretasikan dengan membandingkan nilai p dan nilai alpha (α = 0.05).

Bila nilai p ≤ α, maka keputusannya adalah Ha gagal ditolak sedangkan bila nilai p > α, maka keputusannya adalah Ha ditolak.


(51)

Hipotesa penelitian ini adalah untuk membuktikan kebenaran Ha, yaitu terdapat Pengaruh kompres dingin kirbat es terhadap intensitas nyeri Reumatoid Arthritis.


(52)

BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini diuraikan hasil penelitian serta pembahasan mengenai pengaruh kompres dingin kirbat es terhadap intensitas nyeri Reumatoid Arthritis di Poli Reumatologi RSU Adam Malik Medan.

1. Hasil Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan mulai dari tanggal 8 Mei 2009 sampai 20 Juli 2009 dan penelitian berlanjut ditahun berikutnya dari tanggal 25 Mei 2010 sampai Juli 2010. Jumlah seluruh responden pada penelitian ini seharusnya 18 orang dengan 9 kelompok intervensi dan 9 kelompok kontrol. Tapi selama penelitian peneliti hanya mendapatkan 14 responden yang dibagi kedalam 2 kelompok yakni 7 kelompok intervensi kompres dingin kirbat es selama 20 menit dan 7 kelompok kontrol yang tidak diberikan perlakuan apapun. Pemberian kompres dingin dilakukan oleh masing-masing kelompok intervensi di rumah setelah mendapatkan petunjuk. Hasil penelitian ini akan menguraikan karakteristik demografi responden, analisis intensitas nyeri Reumatoid Arthritis pre dan post kompres dingin pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol yang tanpa diberi perlakuan apapun, serta analisis perbedaan penurunan intensitas nyeri RA antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol post kompres dingin.

Untuk mempermudah pemahaman, hasil penelitian tentang pengaruh kompres dingin kirbat es terhadap intensitas nyeri Reumatoid Arthritis di Poli Reumatologi RSU Adam Malik Medan, tergambar dalam tabel-tabel berikut ini :


(53)

1.1Karakteristik Demografi Responden

Deskripsi karakteristik demografi responden terdiri dari jenis kelamin, umur, agama, riwayat medis (penggunaan obat analgetik dan antiinflamasi) dan suku. Berdasarkan hasil penelitian, penderita RA yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah penderita RA dengan skala nyeri ringan (2-3) dan sedang (4-5). Responden yang mengalami nyeri RA ada pada rentang usia 15-24 tahun, 25-34 tahun dan 35-44 tahun masing-masing (14.28%, n=2). Responden yang beragama Kristen lebih banyak dari agama Islam (28.57%, n=4). Sebagian besar bersuku Batak (28.57%, n=4). Responden yang mengalami nyeri RA kebanyakan berjenis kelamin perempuan (35.71%, n=5).

Sedangkan pada kelompok kontrol sebagian besar responden yang mengalami nyeri RA berada pada rentang usia 15-24 tahun (21.42%, n=3). Mayoritas beragama Kristen (42.85%, n=6. Sebagian besar bersuku Batak (42.85%, n=6). Berdasarkan jenis kelamin kebanyakan pria (28.57%, n=4). Sebaran karakteristik demografi responden pada kedua kelompok dapat dilihat pada tabel 1 sebagai berikut :

Tabel 4. Distribusi frekuensi dan persentase karakteristik demografi responden

Karakteristik Data Demografi

Kelompok Intervensi Kelompok Kontrol

Frekuensi (n) Persentase (%) Frekuensi (n)

Persentase (%)

1. Jenis kelamin

Laki-laki 2 14.28 4 28.57

Perempuan 5 35.71 3 21.42

2. Usia

15-24 tahun 2 14.28 3 21.42

25-34 tahun 2 14.28 1 7.14

35-44 tahun 2 14.28 2 14.28

3. Agama

Islam 4 28.57 0 0


(54)

Hindu 0 0 1 7.14

5. Suku

Melayu 4 28.57 0 0

Batak 3 21.42 6 42.85

India 0 0 1 7.14

1.2 Uji Normalitas Data dengan Kolmogorov-Smirnov

Hasil data pada penelitian ini menggunakan analiasis data dengan menggunakan pengukuran yang parametrik. Dapat dilihat hasil uji normalitas pada kelompok intervensi signifikansi untuk seluruh variable 0.200 (p>0.05) maka dapat disimpulkan skala nyeri pre dan post terdistribusi normal.

Table 5. Test normality pada kelompok intervensi

Kolmogorov-Smirnov (a) Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig Df

Skalanyeripre .144 7 .200 7

Skalanyeripost .250 7 .200 7

Sedangkan pada kelompok kontrol signifikansi untuk seluruh variablenya 0.200 (p>0.05) maka dapat disimpulkan skala nyeri pre dan post terdistribusi normal.

Table 6. Test normality pada kelompok kontrol

Kolmogorov-Smirnov (a) Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig Df

Skalanyeripre .196 7 .200 7

Skalanyeripost .187 7 .200 7

1.2 Perbedaan Intensitas Nyeri Pre dan Post Kompres Dingin

Intensitas nyeri RA pada kedua kelompok diukur dengan menggunakan skala pengukuran nyeri yaitu skala numerik (Numerical Rating Scale) dengan rentang skala


(55)

paired t-test untuk perbedaan intensitas nyeri RA pre dan post pada

kelompok intervensi dan kontrol.

Pre Post t p

Mean SD Mean SD

Intervensi 2.80 1.101 2.33 1.087 0.978 0.366

Kontrol 3.71 1.097 3.23 0.530 1.928 0.203

Pada tabel 7 dapat dilihat kebermaknaan secara deskriptif yang menggambarkan pengaruh kompres dingin terhadap intensitas nyeri RA. Pada kelompok intervensi, yaitu kelompok responden yang diberi kompres dingin terjadi penurunan intensitas nyeri RA dengan nilai rata-rata (mean) intensitas nyeri RA pre intervensi sebesar =2.80 dengan SD =1.101 sedangkan post intervensi =2.33 dengan SD=1.087.

Table 8. Hasil uji paired t-test untuk perbedaan intensitas nyeri RA pre dan post

intervensi pada kelompok intervensi

Variable Mean df t p value

Intensitas nyeri RA pre dan post intervensi

0.474 0.978 0.366

Hasil uji statistik t berpasangan (paired t-test) diatas menunjukkan perbedaan nilai rata-rata antara pengukuran pre dan post intervensi =0.475 dengan SD =1.287. Hasil ini menunjukkan bahwa intensitas nyeri RA pada kelompok intervensi pre dan

post intervensi (setelah pemberian kompres dingin selama 20 menit) tidak memiliki

perbedaan yang signifikan/bermakna. Hal ini dapat dilihat dari nilai p yang diperoleh sebesar 0.366 maka dapat disimpulkan bahwa nilai p>0.05. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa kompres dingin tidak berpengaruh terhadap intensitas nyeri RA pada kelompok intervensi.

Sedangkan pada kelompok kontrol terlihat pada table 7 nilai rata-rata intensitas nyeri RA pre intervensi sebesar =3.71 dengan SD =1.097 sedangkan tanpa diberi


(56)

intervensi (post 20 menit) =3.23 dengan SD =0.53. Perbedaan nilai rata-rata antara pengukuran pre dan post (tanpa diberi intervensi, setelah 20 menit) =0.475 dengan SD 1.428. Dari hasil uji paired t-test diperoleh nilai p sebesar 0.203 (p>0.05). Hasil ini menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh intensitas nyeri RA pada kelompok kontrol. Table 9. Hasil uji paired t-test untuk perbedaan intensitas nyeri RA pre dan post

intervensi pada kelompok kontrol

Variable Mean df t p value

Intensitas nyeri RA pre dan post intervensi

0.475 1.428 0.203

Untuk melihat perbedaan penurunan intensitas nyeri RA antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol dilakukan dengan menggunakan uji statistik

independent t-test. Pada table 9 menunjukkan perbedaan penurunan intensitas nyeri

RA antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Intensitas nyeri RA antara kelompok intervensi dan kontrol. Intensitas nyeri RA antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol dilakukan dengan menggunakan nilai rata-rata (mean) sebesar 2.80 dengan SD= 1.101 dan kelompok kontrol nilai rata-rata sebesar 3.71 dengan SD= 1.097. Dari hasil tersebut diketahui nilai p= 0.149 sehingga dapat disimpulkan p>0.05 yang berarti bahwa intensitas nyeri RA pada saat pre dan post intervensi tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan/ber-makna (Ho diterima), hal ini karena skala intensitas nyeri RA pada kelompok intervensi tidak berbeda secara signifikan dengan skala intensitas nyeri RA pada kelompok kontrol pre kompres dingin.

Sedangkan intensitas nyeri RA kelompok intervensi post kompres dingin selama 20 menit adalah 2.33 dengan SD= 1.087 dan intensitas nyeri kelompok kontrol tanpa diberi kompres dingin (sesudah 20 menit) adalah 3.23 dengan SD= 0.534. Dari hasil


(1)

Responden 1 3 2

Responden 2 1,33 1,66

Responden 3 2 1

Responden 4 3,66 1,33

Responden 5 2,33 3,66

Responden 6 2,66 3,33

Responden 7 4,66 3,33

Lembar Observasi Hasil rata-rata Pengukuran Skala Intensitas Nyeri RA pada pasien Poli Reumatologi RSU Adam Malik Medan (Kelompok Kontrol)

Sampel Penelitian

Sebelum Intervensi

(0 menit)

Tanpa Intervensi (20 menit)

Responden 1 4 3

Responden 2 3,66 3,66

Responden 3 1,66 3

Responden 4 5 4

Responden 5 4,33 3,33

Responden 6 3 2,33

Responden 7 4,33 3.33

Data Demografi Kelompok Intervensi Statistics

Frequencies

Agama Suku Jenis kelamin Umur

N Valid 7 7 7 7

Missing 0 0 0 0

Mean 2.29

Median 2.00

Std. Deviation 1.113

Range 3

Minimum 1

Maximum 4


(2)

Jenis kelamin

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid laki-laki 2 28.6 28.6 28.6

perempuan 5 71.4 71.4 100.0

Total 7 100.0 100.0

Usia

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 15-24 2 28.6 28.6 28.6

25-34 2 28.6 28.6 57.1

35-44 2 28.6 28.6 85.7

45-64 1 14.3 14.3 100.0

Total 7 100.0 100.0

Agama

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Islam 4 57.1 57.1 57.1

Kristen 3 42.9 42.9 100.0

Total 7 100.0 100.0

Suku

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 1 3 42.9 42.9 42.9

2 4 57.1 57.1 100.0

Total 7 100.0 100.0

Data Demografi Kelompok Kontrol Statistics

Frequencies

Statistics

Jenis kelamin usia agama suku

N Valid 7 7 7 7

Missing 0 0 0 0

Mean 2.14

Median 2.00

Std. Deviation 1.215

Range 3

Minimum 1


(3)

Frequency Table

Jenis kelamin

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid laki-laki 4 57.1 57.1 57.1

perempuan 3 42.9 42.9 100.0

Total 7 100.0 100.0

Usia

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 15-24 3 42.9 42.9 42.9

25-34 1 14.3 14.3 57.1

35-44 2 28.6 28.6 85.7

45-64 1 14.3 14.3 100.0

Total 7 100.0 100.0

Agama

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Kristen 6 85.7 85.7 85.7

Hindu 1 14.3 14.3 100.0

Total 7 100.0 100.0

Suku

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Batak 6 85.7 85.7 85.7

India 1 14.3 14.3 100.0

Total 7 100.0 100.0

Paired T-Test Kelompok Intervensi

Paired Samples Statistics

Mean N

Std. Deviation

Std. Error Mean Pair

1

skalanyeripre

2.8057 7 1.10154 .41634

skalanyeripost 2.3300 7 1.08747 .41103 Paired Samples Correlations


(4)

Pair 1

skalanyeripre &

skalanyeripost

7 .309 .501

Paired Samples Test

Paired Differences t df

Sig. (2-taile

d)

Mean

Std. Deviati

on

Std. Error Mean

95% Confidence Interval of the

Difference

Lower Upper

Pa ir 1

skalan yeripr e – skalan yeripo st

.4757

1 1.28714 .48649 -.71469

1.6661

2 .978 6 .366

Paired T-Test Kelompok Kontrol

Paired Samples Statistics

Mean N

Std. Deviation

Std. Error Mean Pair

1

skalanyeripre

3.7114 7 1.09743 .41479

skalanyeripost 3.2357 7 .53438 .20198

Paired Samples Correlations

N Correlation Sig.

Pair 1

skalanyeripre &

skalanyeripost

7 .608 .147


(5)

Paired Samples Test

Paired Differences t df

Sig. (2-tailed) Mean Std. Deviati on Std. Error Mean 95% Confidence Interval of the

Difference

Lower Upper

P ai r 1 skalanye ripre - skalanye ripost

.47571 .88132 .33311

-.33937 1.2908 1.42 6 .203

Independent T-test

Group Statistics

grup N Mean

Std. Deviation Std. Error Mean Skalanyeripr e 1

7 2.8057 1.10154 .41634

2 7 3.7114 1.09743 .41479

Skalanyeripo st

1

7 2.3300 1.08747 .41103

2 7 3.2357 .53438 .20198

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of Variance

s t-test for Equality of Means

F Sig. T Df

Sig. (2-taile d) Mea n Diffe rence Std. Error Diffe rence 95% Confidence Interval of the

Difference

Low

er Upper Skalan yeripr e Equal varian ces assum ed .00 5 .94 4 -1.54 1

12 .149 -.905 7 .587 7 -2.18 620 .37478


(6)

Equal varian ces not assum ed

-1.54 1

12.0

00 .149 -.905 7

.587 7

-2.18 621

.37478

Skalan yeripo st

Equal varian ces assum ed

9.4 15

.01 0

-1.97 8

12 .071 -.905 7

.457 9

-1.90 355

.09212

Equal

varian ces not assum ed

-1.97 8

8.73

8 .080 -.905 7

.457 9

-1.94 647

.13504

Uji Normalitas Data

Test normality kelompok intervensi

Kolmogorov-Smirnov (a) Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig Df

Skalanyeripre .144 7 .200 7

Skalanyeripost .250 7 .200 7

Test normality kelompok control

Kolmogorov-Smirnov (a) Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig Df

Skalanyeripre .196 7 .200 7


Dokumen yang terkait

PENGARUH KOMPRES PANAS DENGAN KOMPRES DINGIN TERHADAP PENGURANGAN NYERI PADA OSTEOARTHRITIS Pengaruh Kompres Panas Dengan Kompres Dingin Terhadap Pengurangan Nyeri Pada Osteoarthritis Sendi Lutut.

0 0 18

PENDAHULUAN Pengaruh Kompres Panas Dengan Kompres Dingin Terhadap Pengurangan Nyeri Pada Osteoarthritis Sendi Lutut.

0 2 4

PENGARUH KOMPRES PANAS DAN KOMPRES DINGIN TERHADAP PENGURANGAN NYERI PADA OSTEOARTHRITIS Pengaruh Kompres Panas Dengan Kompres Dingin Terhadap Pengurangan Nyeri Pada Osteoarthritis Sendi Lutut.

1 4 15

TAP.COM - PENGARUH TERAPI TERTAWA TERHADAP INTENSITAS NYERI REUMATOID ARTRITIS ...

0 0 15

Pengaruh Kompres Hangat terhadap Intensitas Nyeri pada Lansia yang Mengalami Reumatoid Artritis di Puskesmas Amplas Kecamatan Medan Amplas

0 2 28

Pengaruh Kompres Hangat terhadap Intensitas Nyeri pada Lansia yang Mengalami Reumatoid Artritis di Puskesmas Amplas Kecamatan Medan Amplas

0 2 4

Pengaruh Kompres Hangat terhadap Intensitas Nyeri pada Lansia yang Mengalami Reumatoid Artritis di Puskesmas Amplas Kecamatan Medan Amplas

0 3 43

Pengaruh Kompres Hangat terhadap Intensitas Nyeri pada Lansia yang Mengalami Reumatoid Artritis di Puskesmas Amplas Kecamatan Medan Amplas

0 0 6

Pengaruh Kompres Hangat terhadap Intensitas Nyeri pada Lansia yang Mengalami Reumatoid Artritis di Puskesmas Amplas Kecamatan Medan Amplas

0 0 2

Pengaruh Kompres Hangat terhadap Intensitas Nyeri pada Lansia yang Mengalami Reumatoid Artritis di Puskesmas Amplas Kecamatan Medan Amplas

1 6 11