Gigitan Ular Berbisa

GIGITAN ULAR BERBISA
Andy Luman, Endang
Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi – Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/ RSUP H. Adam Malik Medan

ABSTRAK
Gigitan ular berbisa dan kematian yang diakibatkan merupakan masalah kesehatan
publik yang penting pada daerah pedesaan. Diperkirakan setidaknya 421.000 kasus
envenomasi (injeksi bisa terhadap korban melalui sengatan/ gigitan oleh hewan berbisa) dan
20.000 kematian timbul setiap tahunnya di seluruh dunia akibat gigitan ular. Korban gigitan
yang selamat mengalami sekuele fisik permanen akibat nekrosis jaringan lokal, dan sekuele
psikologis. Di Indonesia jenis famili ular berbisa dibagi dua yaitu Flavipiridae dan Elapidae.
Untuk negara-negara di Asia Tenggara, WHO memberikan perhatian-perhatian khusus yang
membagi atas dua kategori yaitu kategori 1 untuk kepentingan medis tertinggi dan kategori 2
untuk kepentingan medis sekunder. Tulisan ini dibuat untuk membahas patofisiologi,
diagnosis dan penatalaksanaan gigitan ular berbisa.

I. PENDAHULUAN
Ular berbisa dapat dijumpai di seluruh belahan dunia, kecuali pada beberapa
pulau, lingkungan dingin, dan terletak tinggi dari permukaan laut. Gigitan ular berbisa dan
kematian yang diakibatkan merupakan masalah kesehatan publik yang penting pada daerah

pedesaan. Populasi pada daerah ini memiliki morbiditas dan mortalitas yang tinggi karena
akses pelayanan kesehatan yang buruk, yang seringkali suboptimal dan pada beberapa
keadaan, kelangkaan antivenom, yang merupakan satu-satunya pengobatan spesifik. Korban
gigitan yang selamat mengalami sekuele fisik permanen akibat nekrosis jaringan lokal, dan
sekuele psikologis. Karena kebanyakan korban gigitan ular masih muda, maka pengaruh
terhadap ekonomi karena disabilitas mereka perlu dipertimbangkan. Disamping besarnya efek
terhadap populasi, gigitan ular tidak mendapat perhatian yang cukup dari pelayanan
kesehatan nasional dan internasional, dan dapat dikategorisasi sebagai penyakit tropikal yang
terabaikan (Kasturiratne et al. 2008).

1

Gigitan Ular Berbisa

II. PEMBAHASAN
EPIDEMIOLOGI
Diperkirakan setidaknya 421.000 kasus envenomasi (injeksi bisa terhadap korban
melalui sengatan/ gigitan oleh hewan berbisa) dan 20.000 kematian timbul setiap tahunnya di
seluruh dunia akibat gigitan ular. Sebagian besar perkiraan kejadian gigitan ular dijumpai di
Asia Selatan dan Asia Tenggara, Sub-Sahara Afrika, Amerika Tengah dan Amerika Selatan.

Kasus gigitan ular yang bervariasi secara geografik dan musiman, terutama pada daerah
pedesaan tropikal dimana pelaporan dan pendataan masih kurang, dan sifat pengobatan yang
masih dibagi kepada pengobatan tradisional yang kadang lebih dipilih dibandingkan
pengobatan Barat, berkontribusi terhadap kesulitan untuk mempelajari epidemiologi gigitan
ular (Kasturiratne et al. 2008).

Gambar 1. Perkiraan envenomasi gigitan ular pada 2007 berdasarkan regional (Kasturiratne et al. 2008).

2

Gigitan Ular Berbisa

Gambar 2. Perkiraan kematian akibat gigitan ular berdasarkan regional (Kasturiratne et al. 2008).

Epidemiologi gigitan ular di Asia Tenggara tidak diteliti secara adekuat dan data yang
dipublikasi, kebanyakan secara eksklusif berdasarkan laporan rumah sakit kepada
Kementerian Kesehatan, seringkali kurang dapat dipercaya dan menyebabkan kesalahan data.
Masalah mendasar yang dijumpai pada kebanyakan regional Asia adalah pengobatan gigitan
ular masih menganut paham tradisional dan herbal, maka sebagian besar korban gigitan ular
tidak tercatat pada rumah sakit (Warrell 2010).

Untuk negara-negara di Asia Tenggara, WHO memberikan perhatian-perhatian
khusus yang didefinisikan sebagai berikut:
- Kategori 1: Kepentingan medis tertinggi: Ular yang sangat berbisa yang sering atau
tersebar luas dan menyebabkan banyak kasus gigitan, menimbulkan tingginya
tingkat morbiditas, disabilitas, dan mortalitas.
- Kategori 2: Kepentingan medis sekunder: Ular yang sangat berbisa yang dapat
menyebabkan morbiditas, disabilitas, atau mortalitas, tetapi (a) kekurangan data
epidemiologis dan klinis yang pasti atau (b) lebih jarang berpengaruh karena sifat
alamiahnya, pilihan habitat atau dijumpai pada area yang jauh dari populasi besar
manusia (Warrell 2010).

3

Gigitan Ular Berbisa

Beberapa jenis ular berdasarkan kategori WHO yang dapat dijumpai di Indonesia
(Warrell 2010):
- Daerah Sumatera, Jawa, Borneo, Sulawesi dan sebagian pulau-pulau Sunda tetapi terletak di
barat garis Wallace:


Kategori 1

Kategori 2

-Elapidae: Bungarus candidus (Sumatera dan Jawa), Naja sputatrix (Jawa dan
sebagian pulau-pulau Sunda), Naja sumatrana (Sumatera dan Borneo).
-Viperidae: Calloselasma rhodostoma (Jawa), Cryptelytrops albolabris, Daboia
siamensis.
-Elapidae: Bungarus fasciatus, Bungarus flaviceps (Sumatera dan Borneo),
Calliophis bivirgatus, Ophiophagus Hannah (Sumatera, Borneo dan Jawa).
-Viperidae: Cryptelytrops insularis, Cryptelytrops purpureomaculatus
(Sumatera).

- Daerah timur garis Wallace seperti Papua Barat dan Maluku:
Kategori 1
Kategori 2

-Elapidae: Acanthophis laevis
-Elapidae: Acanthophis rugosus, Micropechis ikaheka, Oxyuranus scutellatus,
Pseudechis papuanus, Pseudechis rossignolii, Psudonaja textilis.


KLASIFIKASI
Sekitar 15% dari 3.000 spesies ular yang dijumpai di seluruh dunia dipertimbangkan
berbahaya bagi manusia. Ular berbisa yang dapat dijumpai di dunia dapat dilihat ada tabel 1
(Gold, Dart & Barish 2002).
Tabel 1. Ular berbisa yang biasa dijumpai di dunia (Gold, Dart & Barish 2002)

4

Gigitan Ular Berbisa

Diagnosis definitif keracunan bisa ular memerlukan identifikasi dari jenis ular dan
manifestasi klinis envenomasi. Pada penilaian laporan gigitan dari ular berbisa, harus
dibedakan gigitan dari ular yang tidak berbisa atau hewan lain. Perbandingan ular berbisa dan
ular tidak berbisa dapat terlihat pada gambar 3 berikut (Gold, Dart & Barish 2002).

Gambar 3. Perbandingan ular berbisa dan tidak berbisa di Amerika Serikat (Gold, Dart & Barish 2002).

WHO mengklasifikasi ular berbisa yang penting secara medis pada regional Asia
tenggara yaitu dijumpai tiga famili ular berbisa pada Asia Tenggara (Elapidae, Viperidae, dan

Colubridae) (Warrell 2010):
- Elapidae: memiliki gigi taring pendek di depan (proteroglyph). Famili ini meliputi kobra,
raja kobra, kraits, ular koral, ular Australia dan ular laut. Elapidae secara relatif merupakan
ular yang cukup panjang, kurus, memiliki warna seragam dengan sisik simetrikal besar halus
pada puncak kepala. Beberapa kobra, meninggikan bagian depan tubuhnya dari tanah dan
melebar dan merata dari leher untuk membentuk kerudung. Beberapa spesies kobra dapat
meludahkan bisanya hingga 1 meter atau lebih terhadap mata korbannya. Ular laut berbisa
memiliki ekor yang lebar seperti padel dan skala ventral mengecil atau hilang.
5

Gigitan Ular Berbisa

- Viperidae: memiliki gigi taring yang cukup panjang (solenogyph) yang secara normal
terlipat rata terhadap rahang atas, tetapi saat menyerang akan menjadi tegang. Ada dijumpai
dua subfamili, viper tipikal (Viperinae) dan viper pit (Crotalinae). Crotalinae memiliki organ
khusus untuk mendeteksi korban berdarah panas yang terletak diantara hidung dan mata.
Viperidae merupakan ular yang relatif pendek, bertubuh tebal dengan banyak sisik kasar pada
puncak kepala dan pola warna yang khas pada permukaan dorsal tubuh.
- Colubridae: dua spesies penting yang telah diidentifikasi pada regional Asia Tenggara
adalah Rhabdophis subminiatus berleher merah dan Rhabdophis triginus. Piton besar

(Boidae), merupakan Python reticularis di Indonesia, pernah dilaporkan menyerang dan
menelan manusia, yang biasanya petani.
PATOFISIOLOGI & DIAGNOSIS
Komposisi bisa ular 90% terdiri dari protein. Masing-masing bisa memiliki lebih dari
ratusan protein berbeda: enzim (meliputi 80-90% bisa viperidae dan 25-70% bisa elapidae),
toksin polipeptida non-enzimatik, dan protein non-toksik, seperti faktor pertumbuhan saraf.
Enzim pada bisa ular meliputi hidrolase digestif, hialuronidase, dan aktivator atau inaktivator
proses fisiologis, seperti kininogenase. Sebagian besar bisa mengandung L-asam amino
oksidase, fosfomono- dan diesterase, 5`-nukleotidase, DNAase, NAD-nukleosidase,
fosfolipase A2, dan peptidase (Warrell 2010).
Tabel 2. Protein pada bisa ular yang mempengaruhi sistem hemostasis (Sajevic, Leonardi & Krizaj 2011)

6

Gigitan Ular Berbisa

Envenomasi gigitan ular pada manusia memiliki banyak efek potensial, namun hanya
beberapa kategori yang memiliki klinis mayor yang signifikan, yaitu: (1) flasid paralisis; (2)
miolisis sistemik; (3) koagulopati dan perdarahan; (4) kerusakan dan gangguan ginjal; (5)
kardiotoksisitas; (6) kerusakan jaringan lokal pada daerah gigitan (White 2005).


Gambar 4. Representasi diagramatik mekanisme dasar bisa ular berinteraksi dengan hemostasis (White 2005).

7

Gigitan Ular Berbisa

Tabel 3. Ular dengan komponen bisa yang mempengaruhi platelet (White 2005)

Beberapa korban yang digigit oleh ular (atau dicurigai digigit) dapat mengalami
simptom dan gejala yang khas, bahkan saat tidak ada bisa yang diinjeksi. Hal ini diakibatkan
dari ketakutan yang tidak dipahami dari konsekuensi gigitan ular berbisa. Korban cemas
dapat hiperventilasi sehingga mengalami sensasi kebas dan ditusuk-tusuk pada ekstremitas,
spasme tangan dan kaki, dan pusing. Korban lainnya dapat mengalami syok vasovagal setelah
gigitan, dengan kolaps disertai penurunan denyut jantung yang berat. Tampilan klinis korban
gigitan ular bervariasi sesuai umur dan ukuran tubuh, spesies ular, jumlah dan lokasi gigitan,
dan kuantitas dan toksisitas bisa. Morbiditas dan mortalitas bergantung pada umur dan
ukuran tubuh korban, disertai kondisi komorbiditas (Ahmed et al. 2008).

8


Gigitan Ular Berbisa

Tabel 4. Faktor-faktor yang mempengaruhi keparahan dan hasil akhir gigitan ular (Ahmed et al. 2008)

Faktor
Ukuran tubuh korban

Efeknya terhadap hasil akhir
Semakin besar ukuran, hasil akhir semakin baik karena jumlah
toksin yang lebih sedikit per kg berat badan.
Predisposisi terhadap efek membahayakan bisa ular.
Gigitan pada tubuh, wajah, dan secara langsung ke aliran darah
memiliki prognosis buruk.
Latihan fisik setelah gigitan ular memiliki hasil akhir buruk
karena peningkatan absorpsi sistemik toksin.
Sensitivitas individual terhadap bisa mempengaruhi gambaran
klinis.
Jumlah; kedalaman; “gigitan kering”; gigitan melalui pakaian,
sepatu, atau perlindungan lain; jumlah bisa yang diinjeksi;

kondisi gigi taring; dan durasi ular melekat pada korban
mempengaruhi hasil akhir.
Spesies yang berbeda memiliki dosis, periode mematikan dan
agresifitas berbeda.
Ada atau tidaknya organisme patogenik pada mulut ular.
Adanya bantuan dasar diberikan dan waktu yang berlalu
sebelum dosis pertama antivenom.

Komorbiditas
Lokasi gigitan
Latihan fisik
Sensitivitas individual
Karakteristik gigitan

Spesies ular
Infeksi sekunder
Pengobatan

Tabel 5. Berbagai gigitan ular, dosis fatal, kuantitas bisa diinjeksi, dan waktu mematikan (Ahmed et al. 2008).


0,28 mg/kg

Dosis fatal
pada manusia
12 mg

Dosis rerata
per gigitan
60 mg

Periode rerata
mematikan
8 jam

0,09 mg/kg

6 mg

20 mg

18 jam

0,1 mg/kg

15 mg

63 mg

3 hari

6,65 mg/kg

8 mg

13-40 mg

41 hari

Ular

LD50

Kobra India (Naja naja)
Common krait (Bungarus
caeruleus)
Viper Russell (Daboia
russelii)
Viper bersisik gergaji
(Echis carinatus)

Tabel 6. Penilaian keparahan envenomasi (Ahmed et al. 2008)

Derajat envenomasi

Gejala dan tanda klinis

Tidak ada envenomasi

Tanpa reaksi lokal atau sistemik; tanda gigitan (+/-).
Tanda gigitan (+). Nyeri sedang, edema lokal minimal (0-15 cm),
eritema (+), ekimosis (+/-), tidak ada reaksi sistemik.
Tanda gigitan (+), nyeri hebat, edema lokal sedang (15-30 cm),
eritema dan ekimosis (+), kelemahan sistemik, berkeringat, sinkop,
nausea, muntah, anemia, atau trombositopenia.
Tanda gigitan (+), nyeri hebat, edema lokal berat (>30 cm), eritema
dan ekimosis (+), hipotensi, parestesia, koma, edema paru, gagal
napas.

Envenomasi ringan
Envenomasi sedang

Envenomasi berat

9

Gigitan Ular Berbisa

Tabel 7. Klasifikasi gigitan ular menurut Schwartz (Djunaedi 2009)

Derajat Venerasi Luka

Nyeri

Edema/ Eritema

Sistemik
0
0
+
Neurotoksik, mual,
pusing, syok
++
Petekhiae, syok,
ekimosis
++
Gangguan ginjal akut,
koma, perdarahan

0
I

0
+/-

+
+

+/-

25 cm/ 12 jam

IV

+++

+

+++

> ekstremitas

Petunjuk adanya envenomasi berat oleh gigitan ular harus dipertimbangkan bila
dijumpai keadaan berikut (Ahmed et al. 2008):
1. Ular diidentifikasi sebagai sangat berbisa.
2. Ekstensi awal yang cepat dari pembengkakan lokal daerah gigitan.
3. Pembesaran awal kelenjar getah bening lokal, menandakan penyebaran bisa di sistem
limfatik.
4. Simptom sistemik awal.
5. Perdarahan sistemik spontan awal (terutama perdarahan gusi).
6. Adanya urine berwarna coklat-gelap.
Walaupun dijumpai gambaran klinis diakibatkan oleh bisa dari spesies ular berbeda
yang tumpang tindih, suatu “pendekatan sindrom” yang diklasifikasi WHO dapat berguna,
terutama ketika ular tidak dapat diidentifikasi dan hanya tersedia antivenom monospesifik
(Warrell 2010).

10

Gigitan Ular Berbisa

Klasifikasi “pendekatan sindrom” gigitan ular oleh WHO (Warrell 2010):

Pemeriksaan laboratorium memiliki nilai yang sangat kecil pada diagnosis
envenomasi ular, tetapi sangat berguna dalam menentukan prognostik dan pengambilan
keputusan untuk intervensi spesifik. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah:
a. Uji 20 menit pembekuan darah lengkap (20 WBCT): 20 WBCT merupakan pemeriksaan
koagulopati sederhana untuk mendiagnosa envenomasi viper dan menyingkirkan
kemungkinan gigitan elapidae. Pemeriksaan ini memerlukan tabung gelas kering dan
bersih serta belum pernah dicuci dengan detergen, kemudian beberapa milliliter darah
segar vena diambil dan diteteskan pada tabung lalu dibiarkan selama 20 menit; apabila
darah tetap cair setelah 20 menit di tabung, menunjukkan adanya koagulopati dan
mengkonfirmasi pasien telah digigit oleh viper. Kobra atau krait tidak menyebabkan
simptom antihemostatik ini. (Ahmed et al. 2008; Warrell 2010). Akan tetapi terdapat
perbedaan pendapat terhadap manfaat pemeriksaan ini pada beberapa studi. Pada studi
oleh Punguyire et al. tahun 2012 menunjukkan 20 WBCT merupakan metode pemeriksaan

11

Gigitan Ular Berbisa

sederhana yang akurat (sensitivitas 83,3% dan spesifitas 90%) untuk membantu memandu
pengobatan setelah envenomasi ular, namun studi oleh Isbister et al. tahun 2013
menunjukkan 20 WBCT memiliki sensitivitas rendah (40%) untuk mendeteksi koagulopati
pada envenomasi ular dan tidak dapat menjadi patokan pemberian antivenom.
b. Enzyme linked immunosorbent assay (ELISA): Pemeriksaan ELISA dapat mengidentifikasi
spesies ular, berdasarkan antigen venom. Nmaun pemeriksaan ini mahal dan tidak selalu
tersedia, maka memiliki keterbatasan pada diagnostik. Saat ini, ELISA digunakan terutama
pada studi epidemiologi (Ahmed et al. 2008).
c. Konsentrasi hemoglobin/ hematokrit: Peningkatan mengindikasikan hemokonsentrasi
diakibatkan peningkatan permeabilitas kapiler (seperti pada gigitan viper Russell).
Penurunan mengindikasikan kehilangan darah yang diakibatkan hemolisis intravaskular
(Ahmed et al. 2008; Warrell 2010).
d. Hitung leukosit: leukositosis neutrophil merupakan penanda envenomasi sistemik dari
spesies ular (Warrell 2010).
e. Abnormalitas biokimiawi: Aminotransferase dan enzim otot (kreatin kinase, aldolase)
dapat meningkat bila dijumpai kerusakan otot lokal yang berat, atau terutama kerusakan
otot menyeluruh (pada gigitan ular laut, beberapa spesies krait, elapid Australia, viper
Russell Srilanka dan India Selatan). Disfungsi hpear ringan mencerminkan peningkatan
enzim serum lain. Bilirubin meningkat mengikuti ekstravasasi darah masif. Kalium,
kreatinin, urea atau nitrogen urea darah meningkat pada gangguan ginjal akut pada gigitan
viper Russell, hidung punuk Viper, dan ular laut. Hiperkalemia dapat dijumpai pada
rhabdomiolisis ekstensif pada gigitan ular laut. Bikarbonat dapat rendah pada asidosis
metabolik. Hiponatremia pernah dilaporkan pada korban gigitan krait di Vietnam utara
(Bungarus candidus dan B. multicinctus) (Warrell 2010).
f. Sistem koagulasi darah: PT dan APTT dapat memanjang pada gigitan viper. Fibrinogen
rendah dengan peninfkatan FDP (fibrin degradation product) dapat dijumpai pada
gangguan koagulasi akibat venom (Ahmed et al. 2008).
g. Urinalisis: Warna urine (merah jambu, merah, dan coklat gelap) harus diperhatikan, dan
urine diperiksa dengan dipstik untuk darah atau hemoglobin atau mioglobin. Pemeriksaan
mikroskopis dapat mengkonfirmasi adanya eritrosit di urine (Warrell 2010).

12

Gigitan Ular Berbisa

PENANGANAN
Permasalahan utama penanganan gigitan ular adalah ketidak-tersediaan antivenom
yang spesifik dan ppendukung lainnya seperti faktor pembekuan dan krioprecipitat. Studi
oleh Fadare & Afolabi tahun 2012 selama 18 bulan menunjukkan penanganan gigitan ular di
Nigeria masih kurang dan memerlukan antivenom yang efektif dan aman yang terjangkau
untuk memperbaiki hasil akhir pasien.
Panduan penanganan gigitan ular di Asia Tenggara oleh WHO adalah sebagai berikut
(Warrell 2010):
• Penanganan bantuan dasar
Bantuan dasar diberikan secepatnya setelah gigitan, sebelum pasien mencapai rumah sakit
atau penyedia kesehatan. Hal ini dapat dilakukan oleh korban gigitan ular sendiri atau
orang lain yang ada dan mampu. Metode bantuan dasar tradisional, popular, yang tersedia
dan terjangkau seringkali tidak bermanfaat atau bahkan membahayakan. Metode-metode
tersebut meliputi: insisi lokal, atau tusukan pada area gigitan, usaha untuk menghisap bisa
dari luka, mengikat erat tourniquet di sekitar gigitan, shock elektrik, penggunaan bahan
kimiawi atau topikal, tanaman atau es batu. Prinsip utama dari bantuan dasar adalah usaha
untuk memperlambat sistemik absorpsi bisa, menyelamatkan hidup dan mencegah
komplikasi sebelum pasien mendapat layanan kesehatan, memantau simptom awal bisa
yang membahayakan, mengatur transportasi pasien ke penyedia kesehatan, dan diatas
semua itu tujuan utama adalah tidak membahayakan/ melukai korban.
Studi oleh Albert set al. tahun 2004 menunjukkan penggunaan pompa untuk ekstraksi
darah dari luka simulasi gigitan ular berhasil membuang cairan darah, tetapi tidak
membuang bisa, yang menandakan ekstraksi/ penghisapan tidak menjadi pengobatan
efektif untuk mengurangi bisa dalam tubuh setelah gigitan ular berbisa.
• Transportasi ke rumah sakit
Korban harus secepatnya ditransfer ke penyedia kesehatan/ rumah sakit, tetapi dengan
sedapat mungkin aman dan nyaman. Pergerakan terutama pada daerah gigitan dikurangi
hingga seminimal mungkin untuk mencegah peningkatan absorpsi sistemik bisa. Kontraksi
otot dapat meningkatkan penyebaran bisa dari daerah gigitan. Bila mungkin, pasien
ditempatkan pada posisi terlentang, kecuali kalau muntah.

13

Gigitan Ular Berbisa

• Penilaian klinis dan resusitasi segera
Resusitasi kardiopulmonari dapat dilakukan, termasuk penggunaan oksigen dan
pemasangan akses intravena. Penanganan klinis dan resusitasi segera mengikuti
pendekatan ABCDE: Airway, Breathing, Circulation, Disabilitas sistem saraf, Exposure
dan kontrol lingkungan.
• Penilaian klinis mendetail dan diagnosis spesies
Riwayat gigitan ular dan progresi simptom dan tanda lokal dan sistemik sangat
penting. Petunjuk-petunjuk yang menandakan pasien dengan envenomasi berat,
pemeriksaan fisik di daerah gigitan, dan secara umum, tanda envenomasi neurotoksik
(paralisis bulbar dan pernapasan), rhabdomiolisis menyeluruh harus diperhatikan pada
pasien. Diagnosis terhadap spesies dapat dilakukan apabila ular dibawa untuk
diidentifikasi, misalnya ular yant telah mati; namun pada kondisi tanpa bukti ular,
identifikasi secara tidak langsung dari deskripsi pasien, bentuk luka gigitan, dan sindrom
klinis gejala dan tanda dapat dilakukan.
• Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan 20 WBCT, dan pemeriksaan lainnya dapat membantu pada kasus gigitan
ular berbisa.
• Pengobatan antivenom
Antivenom merupakan satu-satunya pengobatan antidotum spesifik terhadap bisa ular.
Keputusan paling penting dalam penanganan gigitan ular adalah perlu atau tidaknya
memberikan antivenom. Dalam hal ini, antivenom hanya diberikan pada pasien dengan
mempertimbangkan manfaat melebihi resikonya, karena antivenom cukup mahal dan sulit
diperoleh dan resiko reaksinya harus turut dipertimbangkan.
Indikasi pemberian antivenom adalah apabila pasien dengan dugaan atau terbukti
gigitan ular mengalami satu atau lebih tanda berikut (Warrell 2010):


Envenomasi sistemik

- Abnormalitas hemostatik: perdarahan sistemik spontaneous (klinis); koagulopati (20
WBCT atau tes lain seperti PT), atau trombositopenia (