Terapi Dan Manajemen Copd

TERAPI DAN MANAJEMEN COPD
E.N. Keliat
Divisi Pulmonologi Alergi Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran USU/ RS H. Adam Malik Medan

PENDAHULUAN
Akhir- akhir ini chronic obstructive pulmonary disease ( COPD ) semakin menarik
untuk dibicarakan oleh karena prevalensi dan angka mortalitasnya yang terus meningkat.
COPD merupakan penyakit yang progresif yang melibatkan saluran nafas atau parenkim
paru yang mengakibatkan hambatan saluran nafas. Chronic Obstructive Pulmonary disease
merupakan suatu kondisi yang sering ditemukan dengan tingkat kematian yang tinggi dan
terus meningkat baik pada laki – laki maupun perempuan. Diperkirakan hampir 8 % dari
seluruh populasi mengalami COPD mencakup hampir 10 % pada individu diatas 40 tahun.
COPD meruapakan penyebab kematian keenam di seluruh dunia pada tahun 1990 dan
diperkirakan menjadi penyebab kematian ketiga pada tahun 2020.uptodate stable
Di amerika serikat COPD ditemukan pada lebih dari 5 % populasi dewasa, dan
meruapakan penyebab kematian ketiga dan penyebab kecacatan ketiga. Total beban biaya
untuk COPD di amerika serikat berkisar 49.9 milyar dolar pada tahun 2010 dan biaya
keseluruhan untuk perawatan berkisar 29.5 miyar setiap tahunnya. ACP . Di Kanada pada tahun
2004 COPD meruapakan penyebab kematian ke empat baik pada laki-laki maupun
perempuan. Pada tahun 2004 terjadi 5152 pria dan 4455 wanita meninggal akibat COPD,

yang meningkat

secara signifkan sebesar 12 % dibandingkan tahun 1999. Berdasarkan

survey kesehatan rumah tangga Dep.Kes RI tahun 1992, PPOK berasma asma bronkial
menduduki peringkat ke enam.PDUI
Manifestasi dari COPD bervariasi mulai dari sesak nafas, kemampuan aktivitas yang
terbatas, batuk kronik dengan atau tanpa dahak, dan wheezing hingga gagal nafas atau cor
pulmonale. Eksaserbasi dari gejala dan disertai dengan penyakit penyerta berperan dalam
tingkat keparahan COPD. Diagnosis COPD tegak ketika menunjukkan gejala obstruksi pada
saluran nafas ( secara umum di defenisikan postbronkodilator rasio FEV1-FVC kurang dari
0,70 ).ACP
Ketika COPD telah terdiagnosa diperlukan manajemen yang efektif berdasarkan
assement secara individual untuk menurunkan gejala dan resiko kedepannya. Tujuan ini harus
tercapai dengan efek samping yang minimal dari pengobatan. Suatu tantangan yang khusus

pada pasien COPD mengingat sebagaian besar pasien COPD memiliki penyakit penyerta
yang juga memerlukan identifikasi dan penangannya secara khusus. GOLD
Makalah ini akan membahas tentang manajemen dan terapi pasien COPD yang tepat
sehingga dapat mencegah progresifitas dari penyakit, menurukan frekuensi dan beratnya

eksaserbasi, memperbaiki gejala sesak dan gejala respirasi lainnya, meningkatkan
kemampuan aktivitas sehari – hari, dan menurunkan tingkat kematian.
Terapi Penghentian Merokok Menggunakan Farmakoterapi
Merokok meruapakan faktor resiko utama COPD yang menyebabkan hambatan
saluran nafas dan penurunan dari fungsi paru. Berhenti merokok merupakan salah satu
metode intervensi yang penting, efektif, cost-efektif, dalam menurunkan resiko terjadinya
COPD. Penghentian merokok dapat dilakukan dengan mengabungkan terapi perilaku (
beharviour therapy ) dan pendekatan farmakologis.Japanese Dengan farmakoterapi dan terapi
pengganti nikotin diyakini meningkatkan jumlah yang berhenti dalam jangka panjang. GOLD
Produk Pengganti Nikotin
Produk pengganti nikotin seperti permen karet nikotin, inhaler, nasal spray, transdermal
patch, tablet sublingualm atau lozenge diketahui dapat membuat seseorang untuk tidak
merokok untuk kerja panjang. Kontraindikasi terapi ini adalah : penyakit jantung koroner,
ulkus peptikum yang tidak diobati, infark miokardium yang baru, atau stroke. Mengunyah
permen karet nikotin terlalu lama menyebabkan sekresi yang terbentuk tertelan dan
diabsorpsi melalui mukosa bukal sehingga menimbulkan rasa mual. Makanan yang bersifat
asam akan menghambat penyerapan nikotin.
Terapi Secara Farmakologi
Varenicline, bupropion, dan nortriptyline telah terbukti meningkatkan angka henti merokok
dalam kerja panjang. Namun obat-obatan ini digunakan sebagai terapi pendukung bukan

sebagai terapi tunggal.GOLD Canadian Thorasic society merekomendasikan penggunaan terapi
pengganti nikotin dan antidepresan seperti bupropion dapat menggandakan tingkat
penghentian merokok dan direkomendasikan kecuali ada kontraindikasi ( level of evidence A
). Varenicline yang meruapakn suatu agonis parsial acetilkolin terbukti lebih efektif dari
bupropion ataupun plasebo ( level of evidence A ).CTS2007
Pedoman penghentian merokok yang paling komprehensif disusun berdasarkan "Treating
Tobacco Use and Dependence", yang merupakan sebuah pedoman berbasis bukti yang
disponsori oleh Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan Amerika Serikat dan
dirilis pada 2000.ATS,GOLD

Treating Tobacco Use and Dependence:
A Clinical Practice Guideline—
Major Findings and Recommendations
1. Tobacco dependence is a chronic condition that warrants repeated treatment until longterm or permanent abstinence is achieved.
2. Effective treatments for tobacco dependence exist and all tobacco users should be offered
these treatments.
3. Clinicians and health care delivery systems must institutionalize the consistent
identification, documentation, and treatment of every tobacco user at every visit.
4. Brief smoking cessation counseling is effective and every tobacco user should be offered
such advice at every contact with health care providers.

5. There is a strong dose-response relation between the intensity of tobacco dependence
counseling and its effectiveness.
6. Three types of counseling have been found to be especially effective: practical counseling,
social support as part of treatment, and social support arranged outside of treatment.
7. First-line pharmacotherapies for tobacco dependence—varenicline, bupropion SR, nicotine
gum, nicotine inhaler, nicotine nasal spray, and nicotine patch— are effective and at least one
of these medications should be prescribed in the absence of contraindications.
8. Tobacco dependence treatments are cost effective relative to other medical and disease
prevention interventions.

Suatu program dengan lima langkah untuk intervensi yang menyediakan kerangka strategis
dalam membantu penyedia layanan kesehatan tertarik dalam membantu pasien untuk
berhenti merokok dapat dilihat pada tabel GOLD,JAPANESE

Brief Strategies to Help
the Patient Willing to Quit
1. ASK: Systematically identify all tobacco users at every visit. Implement an office-wide
system that ensures that, for EVERY patient at EVERY clinic visit, tobacco-use status is
queried and documented.
2. ADVISE: Strongly urge all tobacco users to quit. In a clear, strong, and personalized

manner, urge every tobacco user to quit.

3. ASSESS: Determine willingness to make a quit attempt. Ask every tobacco user if he or
she is willing to make a quit attempt at this time (e.g., within the next 30 days).
4. ASSIST: Aid the patient in quitting. Help the patient with a quit plan; provide practical
counseling; provide intra-treatment social support; help the patient obtain extra-treatment
social support; recommend use of approved pharmacotherapy except in special
circumstances; provide supplementary materials.
5. ARRANGE: Schedule follow-up contact. Schedule follow-up contact, either in person or
via telephone.

Terapi Farmakologi Untuk PPOK Stabil
Terapi farmakologi bertujuan untuk mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan tingkat
keparahan eksaserbasi, serta meningkatkan status kesehatan dan toleransi dalam melakukan
olah fisik. Berikut beberapa kelas obat yang biasanya digunakan untuk terapi PPOK

MDI : metered dose inhaler; DPI : dry powder inhaler; SMI : soft mist inhaler
Bronkodilator
Bronkodilator merupakan obat yang bekerja untuk meningkatkan VEP 1 atau variable
spirometri lainnya, biasanya dengan mengubah tonus otot polos saluran pernafasan.

Perbaikan dari ekspirasi disebabkan oleh pelebaran dari saluran nafas, bukan oleh karena
perubahan pada recoil elastic paru. Bronkodilator biasanya digunakan untuk mencegah
ataupun mengurangi gejala. Yang termasuk dalam golongan bronkodilator adalah β2 agonis,
antikolinergik, dan methylxanthines.
β2 agonis
Obat golongan ini bekerja membuat relaksasi dari otot polos saluran nafas dengan
menstimulasi reseptor adrenergic beta2 yang akan meningkatkan cAMP dan menghasilkan
efek antagonis dari bronkokonstriksi. Efek bronkodilator dari β2 agonis kerja pendek
biasanya bertahan selama 4-6 jam. Penggunaan dari β2 agonis kerja pendek mmenghasilkan
perbaikan dari VEP1 dan gejala. β2 agonis kerja panjang memiliki durasi efektif selama 12
jam atau lebih. Formoterol dan salmetrol memperbaiki VEP1, dispnu, volume paru, dan
kualitas hidup secara signifikan (Evidens A ), namun kedua obat ini tidak memiliki efek
untuk mengurangi mortalitas dan mencegah penurunan fungsi paru. Indacaterol digunakan
sekali sehari dan memiliki durasi aksi selama 24 jam, secara signifikan memperbaiki FEV1 ,
gejala sesak, dan kualitas hidup (Evidens A ).CTS,GOLD

Suatu studi multisenter double blind selama 24 minggu pada subjek > 40 tahun dengan
riwayat merokok dan FEV1 40-80 % dari prediksi normal. Setelah 4 minggu pengobatan
dengan tiotropium bromide, subjek secara randomized mendapat Fluticasone/Salmoterol
250/50 2 kali sehari atau plasebo. Dilakukan penilaian terhadap fungsi paru, status kesehatan,

dan eksaserbasi. Dari studi tersebut disimpulkan penambahan Fluticasone/salmoterol pada
penderita COPD yang mendapat Tiotropium bromide meningkatkan

fungsi paru tanpa

peningkatan risiko efek samping. Respiratory Medicine (2012) 106, 91e101
Suatu post-hoc analisis dari data studi klinis yang dikumpulkan untuk menilai efikasi dan
keamanan indacaterol dibandingkan dengan plasebo dan bronkodilator long-acting lain
(formoterol, salmeterol, open-label tiotropium) dalam subkelompok pasien PPOK (GOLD
stadium II atau III, n Z 4082) dan menggunakan ICS pada awal (tidak / ya, n Z 4088). Hasil
efikasi yang dinilai (24 jam pasca-dosis) FEV1, dyspnoea (transisi indeks dyspnoea, TDI)
dan status kesehatan (St George Respiratory Questionnaire, SGRQ) setelah 26 minggu. Dari
studi ini menunjukkan indacaterol 150 mg memiliki efikasi yang baik pada GOLD II serta
kelompok yang tidak menggunakan kortikosteroid. Pada kelompok pasien GOLD III dan
kelompok yang menggunakan kortikosteroid indacaterol 300 mg memiliki efikasi yang baik
mencakup efek terhadap dispnu dibandingkan dengan plasebo. Respiratory Medicine (2012) xx, 1e10
Efek samping : stimulasi dari reseptor adrenergic beta2 menyebabkan sinus takikardia saat
istirahat dan dapat menyebabkan gangguan irama jantung pada pasien yang rentan. Pada
pasien usia tua penggunaan β2 agonis dosis tinggi dapat menyebabkan tremor yang sangat
mengganggu bagi pasien. Hipokalemia dapat terjadi jika β2 agonis dikombinasikan dengan

diuretic thiazide. Penurunan ringan dari PaO2 dapat terjadi setelah pemberian β2 agonis kerja
pendek ataupun panjang, namun tidak menimbulkan gejala yang signifikan CTS,GOLD.
Antikolinergik
Antikolinergik seperti ipratropium, oxitropium, dan tiotropium memiliki efek memblokade
efek asetilkolin pada reseptor muskarinik. Obat dengan kerja kerja pendek bekerja dengan
menghambat reseptor M2 dan M3 serta memodifikasi transmisi pada sambungan pre
ganglionik. Obat kerja panjang seperti tiotropium memiliki selektifitas terhadap reseptor M1
dan M3. Efek dari antikolinergik jangka pandek bertahan lebih lama daripada β2 agonis kerja
pendek, dengan efek bronkodilator yang masih tampak jelas hingga 8 jam atau lebih.
Tiotropium memiliki durasi aksi lebih dari 24 jam. Tiotropium dapat mengurangi kejadian
eksaserbasi dan kejadian rawat inap serta gejala dan status kesehatan ( Evidence A )
Tiotropium lebih baik daripada salmeterol dalam mengurangi eksaserbasi walaupun
perbedaannya hanya sedikit. GOLD

Pada suatu penelitian pada 7376 pasien dengan COPD sedang-berat diberikan tiotropium atau
salmoterol

dengan

atau


tanpa

glukokortikoid

inhalasi.

Disimpulkan

tiotropium

memperlambat timbulnya eksaserbasi dan menurunkan resiko eksaserbasi sebanyak 17
%.uptodate
Efek samping : Obat antikolinergik sangat sulit diabsorbsi sehingga mengurangi masalah
efek sistemik yang muncul seperti pada penggunaan atropine. Penggunaan obat ini secara
inhalasi dengan rentang dosis yang bervariasi telah terbukti aman. Efek samping yang paling
sering adalah mulut kering. Penggunaan tiotropium inhalasi 18 mcg/hari selama 21 hari tidak
menyebabkan perburukan pembersihan mucus dari paru. Pada beberapa pasien yang
menggunakan ipratropium mengeluhkan rasa pahit, rasa metalik. Terdapat beberapa laporan
mengenai sedikit efek terhadap peningkatan resiko kardiovaskular pada pasien COPD yang

mengunakan ipratropium bromide secara reguler namun masih memerlukan penjajakan lebih
lanjut.. Penggunaan larutan obat antikolinergik melalui face mask dilaporkan menyebabkan
glaucoma, mungkin oleh karena efek langsung obat terhadap mata.CTS,GOLD,
Methylxanthine
Obat golongan ini bekerja sebagai inhibitor fosfodiesterase nonselektif, namun juga
dilaporkan memiliki fungsi non bronkodilator. Teofilin merupakan obat golongan
methylxanthine yang paling sering digunakan, obat ini dimetabolisme oleh sitokrom P450,
ekskresi obat ini semakin berkurang seiring pertambahan usia. Perubahan pada fungsi otot
inspirasi dilaporkan terjadi pada pasien yang diobati dengan teofilin. Teofilin kurang efektif
dan kurang ditoleransi daripada bronkodilator inhalasi kerja panjang, serta tidak
direkomendasikan penggunaan teofilin jika tersedia bronkodilator. Mengingat efek
toksistasnya. Penggunaan teofilin janya terbatas sebagai terapi tambahan pada saat gejala
tidak berkurang pada pasien dengan penyakit yang berat meskipun telah mendapat terapi
lainnya.GOLD,JAPANESE,uptodate Namun, dari beberapa bukti methylxanthine memiliki efek
bronkodilator dibandingkan placebo pada pasien dengan PPOK stabil.(Evidence A ).
Kombinasi antara teofilin dan salmeterol lebih baik dalam memperbaiki VEP1 dan
mengurangi sesak daripada penggunaan salmeterol sendiri.(Evidence B ) Teofilin dosis
rendah

mengurangi


eksaserbasi,

namun

tidak

meningkatkan

fungsi

paru

pasca

bronkodilator.(Evidence B ).GOLD
Efek samping : Toksisitas tergantung pada dosis, kerugian dari methylxanthine adalah
kecilnya rasio terapeutik dan kebanyakan efeknya baru tampak pada saat dosisnya mendekati
dosis toksisitas. Methylxanthine merupakan inhibitor yang tidak spesifik dari semua substrat
enzim fosfodiesterase sehingga menyebabkan banyak efek toksik. Masalah yang timbul

seperti aritmia pada atrium dan ventrikel serta kejang grandma (tidak berhubungan dengan
riwayat epilepsy sebelumnya). Efek samping lainnya seperti sakit kepala, insomnia, mual,
dan rasa terbakar pada dada. Semua efek samping ini dapat timbul pada kadar terapeutik
serum teofilin. Obat ini juga memiliki interaksi dengan obat-obatan yang sering digunakan
seperti digitalis, Coumadin, dan sebagainya. Tidak seperti kelas bronkodilator, derivate
xanthine memiliki risiko untuk overdosis (baik disengaja maupun tidak disengaja).GOLD
TERAPI KOMBINASI BRONKODILATOR
Menggabungkan antara bronkodilator dengan mekanisme dan durasi aksi yang beda terbukti
dapat meningkatkan bronkodilatasi dengan efek samping yang setara atau kurang. Kombinasi
antara β2 agonis kerja pendek dengan antikolinergik membuat perbaikan VEP1 dan lebih
tahan lama daripada penggunaan obat secara tunggal, serta tidak menimbulkan takifilaksis
selama 90 hari penggunaan. Kombinasi antara β2 agonis, antikolinergik, dan methylxanthine
membuat perbaikan fungsi paru dan status kesehatan. Kombinasi jangka pendek
menggunakan formoterol dan tiotropium

memiliki dampak yang besar terhadap VEP1

daripada penggunaan tunggal( Evidence B ), sama halnya dengan penggunaan β2 agonis
kerja pendek dengan antikolinergik juga lebih baik dibandingkan penggunaan tunggal dalam
perbaikan VEP1 dan gejala ( Evidence B ). GOLD,Japanese,cts
KORTIKOSTEROID
Pada penggunaan kortikosteroid inhalasi, hubungan antara dosis-respon serta keamanannya
pada penggunaan kerja panjang belum diketahui secara jelas. Efek dari kortikosteroid pada
paru dan sistemik pada pasien PPOK masih kontrovesi, dan penggunaannya untuk PPOK
stabil masih terbatas oleh indikasi yang spesifik. Terapi regular menggunakan kortikosteroid
inhalasi memperbaiki gejala, fungsi paru, dan kualitas hidup, serta mengurangi frekuensi
eksaserbasi pada pasien PPOK dengan VEP1 prediksi

15 jam perhari ) pada pasien dengan gagal nafas
kronik menunjukkan peningkatan kelangasungan hidup. ( Evidence B ). Terapi oksigen
jangka panjang diindikasikan untuk pasien :




PaO2 ≤ 7,3 kPa ( 55 mmHg ) atau SaO2 ≤ 88 % dengan atau tanpa hiperkapnia yang
dikonfimasi 2 kali dalam periode 3 minggu ( Evidence B )
PaO2 diantara 7,3 kPa ( 55 mmHg ) dan 8.0 kPa ( 60 mmHg ) atau SaO2 88 % ,
disertai dengan hipertensi pulmonal, edema perifer yang menunjukkan gagal jantung,
atau polisitemia ( Hematokrit > 55 % ) ( Evidence D )

Keputusan dalam pemberian terapi oksigen jangka panjang harus berdasarkan pada PaO2
atau saturasi pada saat istirahat lebih kurang 2 kali selama periode 3 minggu pada pasien
yang stabil. (GOLD,uptodateLTOT)
Beberapa trial telah mengevaluasi peran dari terapi oksigen jangka panjang terhadapa
mortalitas pada pasien COPD. Suatu trial dari “ The Nocturnal Oxygen Therapy “ dengan
203 pasien dengan COPD yang mengalami hipoksemia di terapi dengan oksigen secara
berkesinambungan ( garis merah ) atau oksigen hanya pada malam hari ( garis biru ). Hasil
menunjukkan terapi dengan oksigen berkesinambungan menunjukkan survival yang lebih
baik ( p = 0,01 ) ( Grafik) .uptodate LTOT Pada studi “ Medical Research council Trial dengan 87
pasien COPD dengan hipoksemia berat , hiperkapnia dan riwayat gagal jantung secara
random di berikan terapi oksigen15 jam . hari ( garis biru putus-putus ) atau tanpa terapi
oksigen ( garis merah ). Hasil menunjukkan survival yang lebih baik secara signifikan pada
terapi oksigen .(grafik )

Pembedahan
Operasi Pengurangan Volume Paru / Lung Volume Reduction Surgery (LVRS)
Adalah prosedur pembedahan di mana bagian dari paru dibuang untuk mengurangi
hiperinflasi sehingga membuat otot-otot pernafasan menjadi generator bertekanan efektif
dengan meningkatkan efisiensi mekanik. Selain itu, LVRS meningkatkan tekanan rekoil
elastisitas paru-paru dan dengan demikian meningkatkan laju aliran ekspirasi dan mengurangi
eksaserbasi. Keuntungan operasi dibandingkan terapi medis lebih signifikan terutama pada
pasien dengan emfisema lobus atas dan kapasitas latihan rendah sebelum perawatan. Berbeda
dengan perawatan medis, LVRS telah menunjukkan perbaikan tingkat survival (54% vs

39,7%) pada pasien emfisema berat lobus atas dan kapasitas latihan rendah pasca-rehabilitasi
(Bukti A). Namun demikian, LVRS menyebabkan kematian lebih tinggi pada pasien
emfisema berat dengan prediksi FEV1 ≤ 20% dan baik emfisema homogen yang tampak pada
CT scan resolusi tinggi atau DLCO prediksi ≤ 20%.GOLD
Bronchoscopic Lung Volume Reduction (BLVR).

Melalui analisis post-hoc, BLVR pada pasien PPOK dengan hambatan aliran udara berat
(FEV1 prediksi 15-45%), gambaran emfisema heterogen pada CT scan, dan hiperinflasi
(TLC> 100% dan RV> 150% prediksi) telah terbukti menghasilkan sedikit perbaikan fungsi
paru-paru, toleransi latihan, dan gejala, namun dengan konsekuensi eksaserbasi PPOK lebih
sering, pneumonia, dan hemoptisis setelah implantasi. GOLD

Transplantasi Paru
Pada pasien dengan PPOK yang sangat parah, transplantasi paru-paru telah menunjukkan
dapat meningkatkan kualitas hidup dan kapasitas fungsional. Komplikasi yang umum terlihat
pada pasien PPOK setelah transplantasi paru-paru, selain kematian pasca-operasi, adalah
reaksi penolakan akut, bronkiolitis obliterans, infeksi oportunistik seperti CMV, infeksi jamur
(Candida, Aspergillus, Cryptococcus, Pneumonia) atau bakteri (Pseudomonas, Spesies
staphylococcus), dan penyakit lymphoproliferative. Transplantasi paru dibatasi oleh
kekurangan organ donor dan biaya. Kriteria untuk dilakukan transplantasi paru-paru termasuk
PPOK dengan Bode indeks melebihi 5. Kriteria untuk masuk dalam daftar tunggu termasuk
Bode indeks 7-10 dan setidaknya salah satu dari berikut: sejarah eksaserbasi terkait dengan
hiperkapnia akut [PaCO2> 6,7 kPa (50 mmHg)]; hipertensi pulmonal, cor pulmonale, atau
keduanya meskipun telah dilakukan terapi oksigen, dan FEV1 prediksi 20% baseline , atau frekuensi nadi > 20%
baseline.GOLD

Pemeriksaan yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis PPOK eksaserbasi akut :


Pulse oximetry berguna untuk menentukan dan menyesuaikan terapi oksigen

tambahan. Pengukuran gas darah arteri sangat penting jika diduga terjadi kegagalan
pernafasan akut pada kronis (PaO2
6,7 kPa (50 mmHg) saat pasien bernafas tanpa bantuan. Penaksiran dari status asam

basa diperlukan sebelum memulai ventilasi mekanik.



EKG dapat membantu dalam diagnosis yang bersamaan dengan masalah jantung.





Radiografi dada berguna dalam menentukan diagnosa diferensial.

Pemeriksaan darah lengkap dapat mengidentifikasi polisitemia (hematokrit> 55%),
anemia, atau leukositosis.
Adanya sputum purulen selama eksaserbasi dapat mengindikasikan perlunya memulai
terapi empiris dengan antibiotik. Hemophilus influenzae , Streptococcus pneumoniae ,
dan Moraxella catarrhalis adalah bakteri patogen yang paling umum ditemukan pada
pasien eksaserbasi, pasien dengan Pseudomonas aeruginosa perlu mendapat perhatian
khusus. Jika infeksi tidak merespon terapi awal dengan pengobatan antibiotik, kultur
dahak dan tes sensitivitas antibiotik harus dilakukan.



Kelainan tes biokimia termasuk gangguan elektrolit dan hiperglikemia dapat dikaitkan
dengan eksaserbasi. Namun, kelainan ini dapat juga bisa disebabkan oleh penyakit
penyerta terkait.

Indikasi rawat inap pasien eksaserbasi :
















Peningkatan intensitas gejala, seperti sesak nafas saat istirahat
PPOK yang mendasari tergolong berat
Onset dari tanda-tanda fisik yang baru (misalnya, sianosis, edema perifer)
Kegagalan merespon terapi medis awal
Adanya komorbiditas serius (misalnya, gagal jantung atau baru terjadi aritmia)
eksaserbasi yang sering terjadi
Usia tua
Keadaan rumah yang buruk

Terapi Farmakologis:
Tiga jenis obat yang selalu digunakan dalam tatalaksana PPOK eksaserbasi adalah
bronkodilator, antibiotic, dan kortikosteroid. GOLD
1. Bronkodilator kerja singkat, inhalasi β2 agonis kerja singkat dengan atau tanpa
antikolinergik kerja singkat merupakan pilihan utama untuk eksaserbasi. Sebuah studi
menyatakan tidak ada perbedaan VEP1 paksa yang signifikan antara MDI (dengan
atau tanpa alat spacer) dan alat nebul. Metilxantine intravena (teofilin atau aminofilin)
merupakan terapi lini kedua dan hanya digunakan jika tidak terdapat respon terhadap
bronkodilator kerja singkat.GOLD
2. Penggunaan kortikosteroid sistemik pada pasien eksaserbasi terbukti dapat
memperpendek masa penyembuhan, memperbaiki fungsi paru (VEP1) dan
hipoksemia arterial (PaO2),dan mengurangi risiko relaps, kegagalan terapi, dan

lamanya masa rawatan. Pemberian prednisolon 30-40 mg per hari selama 10-14 hari
direkomendasikan. Budesonide nebul merupakan alternative dari pemberian
kortikosteroid oral.
3. Antibiotic harus diberikan pada pasien eksaserbasi dengan tiga gejala cardinal yaitu
meningkatnya rasa sesak nafas, volume dahak, dan perubahan dahak menjadi purulen;
memiliki 2 tanda cardinal jika peningkatan purulensi sputum merupakan salah
satunya; atau memerlukan ventilasi mekanis (invasive atau noninvasive). Pemberian
antibiotic diberikan selama 5-10 hari. Pilihan jenis antibiotic tergantung dari pola
resistensi

bakteri

setempat.

Terapi

antibiotic

empiris

biasa

menggunakan

aminopenisilin dengan atau tanpa asam klavulanat, golongan makrolida, atau
tetrasiklin. Kultur dahak diperlukan pada pasien yang sering mengalami eksaserbasi
dan pengobatan tidak berhasil dengan antibiotic empiris. GOLD
SUPPORT PERNAFASANGOLD
1. Terapi Oksigen, oksigen diberikan untuk pasien dengan hipoksemia dengan target
SaO2 88-92%. AGDA harus diperiksa tiap 30-60 menit.
2. Penggunaan Ventilator diperuntukkan bagi pasien yang memiliki indikasi rawat ICU

Penggunaan ventilator dibagi menjadi invasive (melalui trakeostomi atau pipa
orotrakea) dan non invasive (melalui face mask).
Indikasi penggunaan ventilasi mekanis non invasive :

 Asidosis respiratorik (pH arteri ≤7,35 dan atau PaCO2 ≥ 6.0 kPa, 45 mmHg)

 Sesak nafas yang berat dengan tanda-tanda klinis kelelahan otot pernafasan,
meningkatnya usaha untuk bernafas, atau keduanya, penggunaan otot bantu
pernafasan, gerakan paradox dari abdomen, atau retraksi interkosta.

Indikasi penggunaan ventilasi mekanis invasive :


Tidak cocok menggunakan ventilasi mekanis non invasive




Henti jantung dan nafas



Terdapat pause pernafasan dengan penurunan kesadaran dan gasping



sedasi



Ketidakmampuan untuk mengeluarkan secret dari saluran nafas

Hilangnya kesadaran, agitasi psikomotor yang tidak terkontrol dengan



Aspirasi massif



Frekuensi jantung