Pengaruh Penambahan Carbon Nanotubes pada Pembuatan Kawat Superkonduktor MgB2

4

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Superkonduktor
Superkonduktor merupakan suatu material dengan temperatur tertentu yang sangat
rendah (critical temperature) dan nilai hambatan listriknya (electrical resistivity)
berubah secara drastis menjadi sama dengan nol. Penelitian dalam bidang
superkonduktor masih dilakukan sampai sekarang untuk mendapatkan bahan
dengan Tc mencapai temperatur kamar (20oC / 293 K) (Timbangen, 2005).
Diawali oleh penemuan sifat superkonduktor pada unsur Hg di tahun 1911
oleh Kamerlingh Onnes dari Universitas Leiden yang telah berhasil mencairkan
helium untuk mengkondisikan temperatur rendah hingga 4K atau -269oC. Dalam
proses pembelajaran sifat listrik dari logam pada temperatur yang sangat rendah
dan diketahui bahwa hambatan suatu logam akan turun ketika didinginkan
dibawah temperatur ruang, akan tetapi belum ada yang mengetahui batas bawah
hambatan yang dicapai ketika temperatur mendekati 0K atau nol mutlak. Peristiwa
superkonduktivitas ditandai dengan arus listrik yang mengalir pada benda tanpa
adanya hambatan sehingga arus dapat mengalir tanpa kehilangan energi.


Gambar 2.1 Kronologi sejarah material superkonduktor (Pia J.R., 2015)

Universitas Sumatera Utara

5

2.2 Karakteristik Superkonduktor
2.2.1 Temperatur Kritis (Tc)
Material superkonduktor memiliki resistivitas sama dengan nol (ρ = 0) di
temperatur rendah. Suatu bahan yang didinginkan di dalam nitrogen cair atau
helium cair, maka nilai resistivitas bahan tersebut akan turun seiring dengan
penurunan temperatur. Pada temperatur tertentu, resistivitas material akan turun
secara drastis menjadi nol. Fenomena penurunan temperatur menjadi nol ini
disebut dengan temperatur kritis (Tc), yaitu terjadinya transisi dari keadaan
normal menjadi keadaan superkonduktor.

Gambar 2.2 Grafik hubungan antara resistivitas terhadap temperatur
Pada saat temperatur T > Tc bahan dapat dikatakan berada dalam keadaan
normal pada saat bahan tersebut memiliki nilai resistansi listrik. Perubahan ini
dapat menghasilkan bahan menjadi bahan konduktor, bahkan menjadi isolator.

Berbanding terbaik jika T < Tc, bahan akan menolak medan yang datang yang
disebabkan karena medan luar yang diberikan selalu sama besar dengan
magnetisasi bahan tersebut, yang artinya bahan tersebut merupakan bahan
superkonduktor dan nilai resistivitasnya turun drastis menjadi nol. Selain
temperatur, keadaan superkonduktivitas juga tergantung pada beberapa variabel,
yaitu medan magnet, dan rapat arus (Pikatan, 1989).
2.2.2 Medan Magnet Kritis (Hc)
Sifat lain dari superkonduktor yaitu bersifat diamagnetisme sempurna. Jika
sebuah superkonduktor ditempatkan pada medan magnet, maka tidak akan ada
medan magnet dalam superkonduktor. Hal ini terjadi karena superkonduktor

Universitas Sumatera Utara

6

menghasilkan medan magnet dalam bahan yang berlawanan arah dengan medan
magnet luar yang diberikan. Efek yang sama dapat diamati jika medan magnet
diberikan pada bahan dalam temperatur normal kemudian didinginkan sampai
menjadi superkonduktor. Pada temperatur kritis, medan magnet akan ditolak.


Gambar 2.3 Diamagnetik sempurna (Triya, 2014)
2.2.3 Rapat Arus Kritis (Jc)
Bahan logam tersusun dari kisi-kisi dan basis serta elektron bebas. Ketika
medan listrik diberikan pada bahan, elektron akan mendapat percepatan. Medan
listrik akan menghamburkan elektron ke segala arah dan menumbuk atom-atom
pada kisi. Hal ini menyebabkan adanya hambatan listrik pada logam konduktor.
Pada bahan superkonduktor terjadi juga interaksi antara elektron dengan inti atom.
Namun elektron dapat melewati inti tanpa mengalami hambatan dari atom kisi.
Ketika elektron melewati kisi, inti yang bermuatan positif menarik elektron yang
bermuatan negatif dan mengakibatkan elektron bergetar. Jika ada dua buah
elektron yang melewati kisi, elektron kedua akan mendekati elektron pertama
karena gaya tarik dari inti atom-atom kisi lebih besar.

Gambar 2.4 Keadaan superkonduktor atom kisi pada logam (Ghuna U., 2015).

Universitas Sumatera Utara

7

Rapat arus kritis meningkat seiring menurunnya temperatur di bawah

temperatur kritis sesuai dengan persamaan,


� =

�� −�
� (0) �


(2.1)

Nilai threshold arus dimana medan magnet disebabkan arus itu sendiri
sebanding dengan medan magnet kritisnya (F.B. Silsbee, 1916). Pada suatu konduktor
silinder, arus I mengalir di tengah konduktor. Pada jarak r dari garis aliran arus,
terdapat medan magnet tangensial
=

(2.2)

2


dan arus kritis menurut hipotesis Silsbee pada silinder dengan jari-jari a dinyatakan
dalam


=2 �

(2.3)



sehingga besarnya rapat arus Jc dapat ditentukan dengan


=

2 �


(2.4)


pada waktu yang sama, Laboratorium Leiden juga melakukan studi pengaruh
tempertur terhadap medan kritis pada timah dengan hasil (W.Tuyn, 1926).


� =

2.3 Jenis – Jenis Superkonduktor

� (0)

1−

� 2

��

(2.5)

Superkonduktor dapat dibedakan berdasarkan temperatur kritis dan medan magnet

kritis. Berdasarkan temperatur kritisnya superkonduktor dibagi menjadi 2 jenis, yaitu
superkonduktor temperatur tinggi (High Temperature Superconductor – HTS) dan
superkonduktor temperatur rendah (Low Temperature Superconductor - LTS).
Sedangkan superkonduktor berdasarkan medan magnet kritis yakni, Superkonduktor
tipe I, dan Superkonduktor II.

2.3.1 High Temperature Superconductor (HTS)
Superkonduktor temperatur tinggi (High Temperature Superconductor –
HTS) adalah superkonduktor yang memiliki temperatur kritis di atas temperatur
nitrogen cair (77 K) sehingga sebagai pendinginnya dapat digunakan nitrogen cair
(Windartun, 2008). Pada tahun 1987, kelompok peneliti di Alabama dan Houston
yang dikoordinasi oleh K.Wu dan P. Chu, menemukan superkonduktor YBa 2Cu3O7-x
dengan Tc = 92 K. Ini adalah suatu penemuan yang penting karena untuk pertama
kali didapat superkonduktor dengan temperatur kritis di atas temperatur nitrogen cair,

Universitas Sumatera Utara

8

yang harganya jauh lebih murah daripada helium cair. Pada awal tahun 1988,

ditemukan superkonduktor oksida 11 Bi-Sr-Ca-Cu-O dan Tl-Ba-Ca-Cu-O berturutturut dengan Tc = 110 K dan 125 K (Sukirman dkk., 2003).

2.3.2 Low Temperature Superconductor (LTS)
Superkonduktor temperatur rendah (Low Temperature Superconductor - LTS)
merupakan superkonduktor yang memiliki temperatur kritis di bawah temperatur
nitrogen cair (77 K). Sehingga untuk memunculkan superkonduktivitasnya, material
tersebut menggunakan helium cair sebagai pendingin (Windartun, 2008). Adapun
contoh dari superkonduktor temperatur rendah adalah Hg (4,2 K), Pb (7,2 K),
niobium nitride (16 K), niobium-3-timah (18,1 K), Al0,8Ge0,2Nb3 (20,7 K), niobium
germanium (23,2 K), dan lanthanum barium tembaga oksida (28 K) (Pikatan, 1989).

2.3.3 Superkonduktor Tipe I
Pasangan elektron bergerak sepanjang terowongan penarik yang dibentuk
ion-ion logam yang bermuatan positif. Akibat dari adanya pembentukan pasangan
dan tarikan ini arus listrik akan bergerak dengan merata dan superkonduktivitas
akan terjadi. Superkonduktor yang berkelakuan seperti ini disebut superkonduktor
jenis pertama yang secara fisik ditandai dengan efek Meissner, yakni gejala
penolakan medan magnet luar (asalkan kuat medannya tidak terlalu tinggi) oleh
superkonduktor.


Bila

kuat

medannya

melebihi

batas

kritis,

gejala

superkonduktivitasnya akan menghilang. Maka pada superkonduktor tipe I akan
terus – menerus menolak medan magnet yang diberikan hingga mencapai medan
magnet kritis. Kemudian akan berubah kembali ke keadaan normal.
2.3.4 Superkonduktor Tipe II
Abrisokov mendasarkan teorinya pada kerapatan pasangan elektron yang
dinyatakan dalam parameter keteraturan fungsi gelombang. Abrisokov dapat

menunjukkan bahwa parameter tersebut dapat mendeskripsikan pusaran (vortices)
dan bagaimana medan magnet dapat memenetrasi bahan sepanjang terowongan
dalam pusaran-pusaran ini. Lebih lanjut ia pun dengan secara mendetail dapat
memprediksikan jumlah pusaran yang tumbuh seiring meningkatnya medan
magnet. Teori ini merupakan terobosan dan

masih digunakan dalam

pengembangan dan analisis superkonduktor dan magnet. Superkonduktor tipe II

Universitas Sumatera Utara

9

akan menolak medan magnet yang diberikan. Namun perubahan sifat kemagnetan
tidak tiba-tiba tetapi secara bertahap. Pada suhu kritis, maka bahan akan kembali
ke keadaan semula. Superkonduktor Tipe II memiliki suhu kritis yang lebih tinggi
dari superkonduktor tipe I.
2.4 Magnesium Diboride (MgB2)
MgB2 merupakan material superkonduktor (terdiri dari dua unsur logam yang

mempunyai perilaku superkonduktor) dengan temperatur kritis ~39K (diatas
helium cair), dengan rapat arus kritis yang tinggi sebesar 106-107 A/cm2 dan
medan magnet 0 pada temperatur rendah. Struktur kristal MgB2 adalah Hexagonal
Closed Pack (HCP), termasuk dalam sistem kristal heksagonal dengan golongan
ruang P6/mmm (J. Nagamatsu, 2001).

Gambar 2.5 Struktur kristal MgB2 (G. Fuchs, 2002)
MgB2

merupakan

bahan

intermetalik

dengan

bahan

anisotropik

superkonduktor tipe II dan merupakan material superkonduktor temperatur
rendah. MgB2 dapat disintesis dengan berbagai bagian, yang paling sederhana
adalah dengan reaksi temperatur tinggi antara boron dan magnesium bubuk
dengan pembentukan dimulai pada 650 ° C. (C. Larbalestier, 2001).

Gambar 2.6 Diagram Fasa MgB2

Universitas Sumatera Utara

10

Tabel 2.1 Parameter material superkonduktor MgB2 (Buzea, 2001)
Parameter
Tc
Kisi Heksagonal
Densitas teoretis
Koef. Tekanan
Densitas pembawa muatan
Efek isotop
Medan kritis bawah
Medan ireversibelitas
Panjang koherensi
Kedalaman penetrasi
Energy gap
Temperatur Debye
Rapat arus kritis

Nilai
39 – 40 K
a = 0.3086 nm; b = 0.3524 nm
2.55 g/cm3
-1.1 – 2 K/Gpa
1.7 – 2.8 x1023 holes/cm3
αB+ αMg = 0.3 – 0.02
Hc1(0) = 27 – 48 mT
Hirr (0) = 6 – 35 T
ξab = 3.7 – 12 nm
ξc = 1.6 – 3.6 nm
(0) = 85 – 180 nm
Δ(0) = 1.8 – 7.5 meV
ΘD = 750 – 880 K
Jc(4.2K,0T) > 107A/cm2
Jc(4.2K,4T) = 106A/cm2
Jc(4.2K,10T) > 105 A/cm2
Jc(25K,0T) > 5 ×106 A/cm2
Jc(25K,2T) > 105 A/cm2

Properti sangat tergantung pada komposisi dan proses fabrikasi yang dilakukan.
Sampel dengan pengotor yang diakibatkan oleh oksida pada batas kristal, berbeda
dengan sampel tanpa oksida. (M. Eisterer, 2007).
2.5 Carbon Nanotubes (CNT)
Sejak pertama kali ditemukan pada tahun 1991 carbon nanotubes telah menjadi
objek terbarukan mengenai penelitian dalam bidang rekayasa (Sumio,I., 1991).
Selain itu, carbon nanotubes juga menjadi bahan yang berpengaruh dalam
pengembangan nanoteknologi. Carbon nanotubes adalah tubular berbentuk
molekul yang mulus yang merupakan jenis baru dari molekul karbon aktif alotrop.
Hal ini dapat dianggap sebagai graphene yang terbungkus atau kisi karbon atom
yang berubah menjadi kisi quasi satu dimensi dengan pengaturan konservasi.

Gambar 2.7 Struktur karbon nanotube (S. Ciraci., 2004).

Universitas Sumatera Utara

11

Diameter bervariasi dalam ukuran nanometer, dari 0,6 Nm sampai puluhan Nm
bahkan sampai lebih dari 1µm ( M. Dresselhaus., 2001). Sifat dan simetri dari
carbon nanotubes tergantung pada vektor kiralnya, yaitu cara bagaimana
graphene digulung terutama sifat elektronik. Hal ini dimungkinkan untuk
menghubungkan CNT menjadi struktur tabung dengan memperkenalkan adanya
cacatnya permukaan, berupa cincin pentagonal atau heptagonal, selain dari cincin
heksagonal dalam struktur graphene (R. Saito, 1996).
2.6 SS304
SS304 austenitic merupakan tabung yang mudah dirol las dengan berbagai
metode seperti GTAW, SAW dan mengandung maksimum 0.08% karbon. Tipe
304 paling umum dari grade austenitic, yang mengandung sekitar 18% kromium
dan 8% nikel. Stainless steel seri 304 merupakan material yang tahan akan korosi,
harga ekonomis dan material ramah lingkungan (Welding Engineering, 2015).
2.7 Pembuatan kawat
Proses wire drawing merupakan suatu proses pembentukan logam dengan cara
menarik wire rod, kawat batangan melalui dies atau cetakan oleh gaya tarik yang
bekerja pada bagian luar dan ditarik kearah luar dies. Terjadinya aliran plastis
pada pembentukan ini disebabkan oleh adanya gaya tekan yang timbul sebagai
reaksi dari logam terhadap cetakan.
Tujuan utama dari penarikan kawat adalah untuk mengecilkan diameter
batang kawat. Batang Kawat berdiameter D1 direduksi dengan memberi gaya tarik
melalui cetakan menjadi kawat berdiameter D2. Sehingga terjadi reduksi area atau
pengurangan luas penampang yang dinyatakan dengan formula berikut:

dengan:

r

R=1−

2

2

(2.6)

1

= reduksi area

D1 = Diameter sebelum direduksi
D2 = Diameter setelah direduksi
Pengecilan diameter dilakukan dalam beberapa tahap reduksi, dengan besarnya
reduksi tiap tahap dapat menurun atau relatif sama. Tingkat keberhasilan proses
wire drawing sangat tergantung pada banyak variabel seperti variabel wire rod
yaitu drawability atau kemampuan untuk menarik, kualitas permukaan seperti

Universitas Sumatera Utara

12

roundness, retak, kandungan pengotor atau inklusi dalam wire rod. Variabel
operasi yang mempengaruhi keberhasilan proses drawing adalah kecepatan
penarikan, pelumasan, tingkat reduksi, dan sudut dies.

Gambar 2.8 Proses drawing
Skematika cetakan untuk wire drawing ditunjukan pada gambar 2.8
merupakan konstruksi tempat masuknya logam ke dies dibuat sedemikian,
sehingga kawat yang masuk cetakan akan menarik pelumas bersama dengan
masuknya batang kawat. Sudut reduksi (reduction angle) adalah bagian dari
cetakan di mana terjadi reduksi diameter. Pada daerah bantalan (bearing) tidak
terjadi reduksi diameter, namun menambah gesekan pada permukaan kawat.
Fungsi utama daerah permukaan bantalan adalah untuk memastikan diameter dan
roundness kawat sesuai dengan target yang diinginkan. Tirus belakang (back
relief) pada dies memungkinkan kawat untuk mengembang sedikit, setelah kawat
keluar dari cetakan.
Pada umumnya reduksi penampang untuk setiap tahap dies atau draft tidak
lebih dari 30-35%. Untuk mendapatkan diameter akhir dengan total lebih besar
dari 35% maka diperlukan reduksi ganda atau bertahap untuk mencapai reduksi
keseluruhan. Diameter kawat berkurang setelah melalui dies tertentu, sedangkan
kecepatan dan panjang kawat bertambah. Jadi kecepatan setiap capstan harus
bertambah besar agar tidak terjadi slip antara kawat dengan capstan. Selama
proses deformasi, temperature kawat tidak boleh melebihi dari 160 oC. temperatur
yang terlalu tinggi dapat merubah sifat metalurgis kawat (T. Maxwell, 2001).

Universitas Sumatera Utara

13

2.8 Kawat Superkonduktor
Kawat

superkonduktor

merupakan

kawat

yang

terbuat

dari

material

superkonduktor. Ketika didinginkan di bawah temperatur transisi, ia memiliki
hambatan listrik nol. Pada umumnya, superkonduktor konvensional yang
digunakan ialah NbTi, tetapi temperatur kritis seperti YBCO yang lebih diminati
dipasaran (American Magnetics Inc. 2008).

Gambar 2.9 Proses pembuatan kawat superkonduktor (Physics World, 2009).
Keuntungan kawat superkonduktor atas tembaga atau aluminium meliputi
kepadatan arus maksimum yang lebih tinggi dan disipasi daya nol. Kelemahan
termasuk biaya pendinginan dari kawat untuk superkonduktor temperatur (sering
membutuhkan cryogens seperti helium cair atau nitrogen cair), bahaya
pendinginan kawat (tiba-tiba kehilangan superkonduktivitas), sifat mekanik
rendah dari beberapa superkonduktor, dan biaya bahan kawat dan konstruksi.
Aplikasi utamanya adalah di magnet superkonduktor, yang digunakan dalam
peralatan ilmiah dan medis di mana medan magnet yang tinggi diperlukan.
2.9 Karakterisasi
Karakterisasi suatu material dilakukan untuk mengidentifikasi material secara fisis
agar dapat dibedakan dengan material lainnya. Oleh karena itu, dilakukan analisa
struktur serbuk MgB2 dengan XRD, pengamatan mikrostruktur dan batas butir
material kawat superkonduktor MgB2 menggunakan SEM, serta nilai resistivitas
dan nilai temperatur kritis menggunakan Cryogenic Magnet.
2.9.1 X – Ray Difractometer (XRD)
XRD merupakan alat yang digunakan untuk mengkarakterisasi struktur
kristal, ukuran kristal dari suatu bahan padat. Semua bahan yang mengandung
kristal tertentu ketika dianalisa akan muncul puncak - puncak yang spesifik.
Kelemahan alat ini tidak dapat untuk mengkarakterisasi bahan yang bersifat
amorf. Struktur kristal dalam material berfasa tunggal atau lebih akan memiliki

Universitas Sumatera Utara

14

pola XRD yang unik. Pola-pola XRD ini tersimpan dalam kumpulan data
JCPDS/ICDD yang dapat digunakan sebagai data pencocokan puncak-puncak 2θ
dan intensitas dari data XRD sampel yang diuji (Subhan, 2011).
Penghamburan sinar ini mengikuti hukum bragg yang memenuhi
persamaan berikut:
n = 2d sinθ
dengan :

(2.7)

= panjang gelombang sinar x
d = jarak antar kisi kristal
θ = sudut datang sinar
n = orde difraksi (1,2,3 dan seterusnya)

Tujuan dilakukannya pengujian analisis struktur kristal adalah untuk
mengetahui perubahan fase struktur bahan dan mengetahui fase-fase apa saja yang
terbentuk selama proses pembuatan sampel uji. Tahap pertama yang dilakukan
dalam analisa sinar-X adalah melakukan analisa pemeriksaan terhadap sampel
yang belum diketahui strukturnya. Sampel ditempatkan pada titik fokus hamburan
sinar- X yaitu tepat ditengah-tengah plate yang digunakan sebagai tempat yaitu
sebuah plat tipis yang berlubang ditengah berukuran sesuai dengan sampel dengan
perekat pada sisi baliknya (Sholihah & Zainuri, 2012).
Hasil uji XRD kemudian dicocokkan dengan database International
Commission Data Diffraction (ICDD). Ukuran kristal dilakukan dengan
menggunakan persamaan formula Scherrer:
D=
dengan :

�λ

(2.8)

� �

D = nilai ukuran kristal
= panjang gelombang sumber sinar X
θ = sudut difraksi puncak
k = adalah konstanta Scherrer (Kubus = 0,94, lain = 1)
B = nilai FWHM (Maharsi, Jamaludin. 2014)

2.9.2 Scanning Electron Microscopy (SEM)
SEM adalah alat analisis dalam penggambaran sampel dengan perbesaran
hingga puluhan ribu kali. Dengan analisis SEM dapat melihat ukuran partikel
yang tersebar pada sampel. SEM bekerja dengan memanfaatkan elektron sebagai

Universitas Sumatera Utara

15

sumber cahaya untuk menembak sampel. Sampel yang ditembak akan
menghasilkan penggambaran dengan ukuran hingga ribuan kali lebih besar
(Yosmarina, 2012).
Sewaktu berkas elektron menumbuk permukaan sampel sejumlah elektron
direfleksikan sebagai backscattered electron (BSE) dan yang lain membebaskan
energi rendah secondary electron (SE). Emisi radiasi elektromagnetik dari sampel
timbul pada panjang gelombang yang bervariasi tapi pada dasarnya panjang
gelombang yang lebih menarik untuk digunakan adalah daerah panjang
gelombang cahaya tampak dan sinar-X. Elektron-elektron BSE dan SE yang
direfleksikan dan dipancarkan sampel dikumpulkan oleh sebuah sintillator yang
memancarkan sebuah pulsa cahaya pada elektron yang datang. Cahaya yang
dipancarkan kemudian diubah menjadi sinyal listrik dan diperbesar oleh
photomultiplier. Setelah melalui proses pembesaran sinyal tersebut dikirim ke
bagian grid tabung sinar katoda. (Nuha, 2008).
2.9.3 Cryogenic Magnet
Dalam fisika, Cryogenic merupakan studi tentang produksi dan perilaku
bahan pada suhu yang sangat rendah. The National Institute of Standards and
Technology telah mempertimbangkan bidang cryogenic melibatkan temperatur di
bawah -180 ° C atau -292,00 ° F atau 93,15 K. Ini adalah garis pemisah logis,
karena titik didih normal yang disebut gas permanen (seperti helium, hidrogen,
neon, nitrogen, oksigen, dan udara normal) terletak di bawah -180 ° C sedangkan
pendingin Freon, hidrogen sulfida, dan refrigeran umum lainnya memiliki titik
didih di atas -180 ° C. (Di atas -150 ° C, -238 ° F atau 123 K).
Untuk melihat sifat asli elektron pada benda padat, diperlukan alat yang
dapat mengkondisikan lingkungan menjadi temperatur super rendah. Untuk
menciptakan kondisi super dingin tersebut, dipakai media pendingin berupa cairan
Nitrogen (hingga 79K) maupun cairan Helium (4,2K). Namun dengan
perkembangan teknologi peralatan pendukung temperatur super dingin, maka
untuk pendinginnya dapat juga memakai gas Helium yang di compress/expand
untuk menurunkan temperaturnya. Sedangkan untuk melihat sifat magnet material
yang disebabkan oleh spin elektron, dibutuhkan kondisi medan magnet tinggi.

Universitas Sumatera Utara

16

Dengan memberi medan magnet dari luar, memaksa spin elektron
mengikuti medan magnet luar. Sifat perubahan arah spin tersebut terhadap medan
magnet luar, dapat mengetahui sifat magnetik pada benda tersebut. Alat yang bisa
dibuat untuk analisa sifat elektron tersebut yaitu Cryogenic Magnet. Adapun
parameter perubahan yang bisa dilakukan : temperatur (1,5-300K), medan magnet
(0-8T) dan sudut sampel terhadap medan magnet (0-180˚). Komponen terdiri dari
unit utama cryogenic magnet yang merupakan tempat dimasukkannya spesimen,
circulation pump merupakan sistem pompa sirkulasi untuk mengurangi tekanan
gas Helium sehingga temperatur dapat diturunkan hingga 1.5K. (Bilstein, 1996).
Uji karakterisasi cryogenic magnet diawali dengan pemasangan sampel
dengan menggunakan metode four point probe. Pada umumnya metoda ini
digunakan untuk mengetahui besar resistivitas suatu material superkonduktor.
Metode ini adalah salah satu jenis metode yang tidak merusak. Sesuai dengan
namanya maka probe ini dipasang pada satu garis lurus (linear) dan masingmasing probe dipisahkan oleh jarak yang sama.

Gambar 2.10 Metode Four Point Probe
Arus dilewatkan melalui dua probe terluar dan beda potensial diukur
melalui probe lainnya. Untuk material superkonduktor, selama arus (I) tidak
melebihi arus kritis (Ic) maka beda potensial (V) akan bernilai nol, namun ketika
arus (I) sama dengan arus kritis (Ic) maka V mempunyai harga tertentu.
A

=Rl
Di mana,

(2.8)

= Resistivity (Ohm.cm)
A = Luas penampang (cm2)
l = Panjang (cm)

(ASTM F42-93, 1997).

Universitas Sumatera Utara