Politik Etis dan Pendidikan Islam

Antara Politik Etis dan Pendidikan Islam
Kebijakan Pemerintah Belanda mulai berubah pada awal abad
ke-19. Kebijakan ini dinamakan Politik Etis atau “politik balas budi”.
Politik Etis diberlakukan setalah Ratu Belanda berkata “kewajiban
yang luhur dan tanggung jawab moral untuk rakyat di Hindia
Belanda”. Berdasarkan pidato Ratu dilaksanakanlah poltik etis di
Hindia Belanda.

1

Ada tiga prinsip dasar kebijakan tersebut:

edukasi, emigrasi, dan irigasi.
Ada berbagai macam pengertian Politik Etis, Marwati Djoened
dan

Noegroho

Notosusanto

menjelaskan


bahwa

Politik

Etis

diperjuangkan untuk mengadakan desentralisasi, efisiensi, dan
kesejahteraan

rakyat.2

Sedangkan

menurut

Elsbeth

Locher


Shcolten, Politik etis adalah “kebijakan yang bertujuan memperluas
kekuasaan Belanda di seluruh wilayah Hindia Belanda menuju
pemerintahan sendiri dibawah Belanda menurut model barat.3
Pemerintah

Hindia

Belanda

memandang

Islam

adalah

ancaman bagi kebijakan keamanan dan ketertiban (rust en orde)
dan keberlanjutan penjajahan mereka di Hindia Belanda. Snouck
Hurgronje mengenai politik asosiasinya4 meyakini pendidikan barat
akan meluntrkan pengaruh Islam. Menurut Snouck Hurgronje,
pendidikan


barat

merupakan

cara

yang

mengurangi

dan

Robert Van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia, (Jakarta: Dunia Pustaka
Jaya, 1984), hlm. 51.
1

2 Lihat buku Marwati Djoened Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto,
Sejarah Nasional Indonesia “Jilid V”, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), hlm. 35.
3 Elsbeth Locher Shcolten, Etika yang Berkeping-keping, (Jakarta: Jambatan,

1996), hlm. 270.
4 Politik asosiasi bertujuan mempererat ikatan antara negeri jajahan dengan
negara penjajah melalui kebudayaan. Lihat, Husnul Aqib Suminto, Politik Islam
Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 39.

menaklukkan

pengaruh

Islam

di

Indonesia. 5

Selain

untuk

mensejahterakan rakyat pribumi, pemerintah Hindia Belanda juga

mempunyai misi lain untuk menyebarkan Kristen di Hindia Belanda
melalui Politik Etis. Berbagai subsidi untuk sekolah dan dan
lembaga

misi

yang

semula

ditolak

karena

dikhawatirkan

memancing reaksi keras kaum Muslim, kini mulai diberikan secara
besar-besaran. Akibatnya, pada awal diterapkannya Politik Etis
dikuasai oleh mereka yang mendukung Kristenisasi di Hindia
Belanda. Kebijakan ini memicu kebangkitan Muhammadiyah.6

Ketika mengembangkan pendidikan untuk para bumiputera,
beberapa ahli pemerintah Hindia Belanda berpendapat untuk
memanfaatkan tradisi pendidikan rakyat yang sudah berkembang,
yaitu pendidikan Islam.7 Namun secara teknis usulan tersebut sulit
direalisasikan karena pendidikan Islam waktu itu dipandang jelek,
baik dari segi kelembagaan, metode pembelajaran, dan kurikulum.
Akhirnya

pemerintah

Hindia

Belanda

menggunakan

sistem

persekolahan yang sudah dikembangkan sebelumnya.
Beberapa tokoh Islam mulai memperbarui sistem pendidikan

Islam. Ditempuhlan cara kombinasi, yaitu dengan tetap megadakan
pendidikan keagaman namun ditambah dengan mata pelajaran
umum seperti, berhitung, ilmu alam, dan ilmu bahasa. KH. Ahmad
Dahlan di Yogyakarta mendirikan sekolah Mulo Met de’Quran dan
kemudian

sekolah-sekolah

Madrasah

menurut

istilah

tekhnis

Harry J. Benda, “Christian Snouck Hurgronje dan Landasan Kebijakan
Belanda Terhadap Islam di Indonesia”, dalam Ahmad Ibrahim dkk., Islam Asia
Tenggara: Perspektif Sejarah, (Jakarta: LP3ES, 1989), hlm. 135.
5


Alwi Shihab, Membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah
Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 43-44.
6

Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam
Dalam Kurun Modern, (Jakarta: LP3ES, 1994), hlm. 2.
7

pendidikan Islam.8 Muhammadiyah, Nahdlatul ‘Ulama, Jami’at Khair,
Persatuan Umat Islam, Persatuan Islam, Al-Irsyad, Al-Washliyah,
Persatuan Tarbiyah Islamiyah, dan organisasi Islam lainnya memiliki
bagian dalam madrasah-madrasah di berbagai daerah.9
Dengan pendirian Madrasah, organisasi Islam nampaknya
memberikan respon tepat terhadap kebijakan pemerintah Hindia
Belanda. Di sisi lain pemerintah Hindia Belanda tidak tinggal diam
dengan gerakan organisasi-organisasi Islam tersebut. Pemerintah
Hindia Belanda kemudian mengeluarkan peraturan peraturan yang
memberatkan umat Islam.
Kebijakan pemerintah Hindia Belanda dalam mengawasi

pendidikan

Islam

adalah

penerbitan

Ordonasi

Guru

(Goeroe

Ordonantie), dan Ordonansi Sekolah Liar (Ordonantie Wildescolen).
Akibatnya umat Islam tertinggal dalam budaya, ekonomi, dan
politik. Hal ini terlihat dengan subsidi untuk umat Islam lebih kecil
dari umat Kristen.
Secara formal Belanda mengaku bersikap netral terhadap
agama dan tidak memihak kepada salah satu agama. 10 Tetapi

kenyataannya pemerintah Hindia Belanda menolak memberikan
subsidi

kepada

lembaga-lembaga

pendidikan

Islam,

karena

pemberian subsidi kepada lembaga pendidikan Islam pada akhirnya
hanya berhasil mengembangkan suatu sistem pendidikan yang

8 Alfian, Muhammadiyah: The Political Behaviour of a Muslim Modernist
Organization under Dutch Colonialism, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
1989), hlm. 189.


Lihat buku Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam Indonesia, (Jakarta:
Mutiara Sumber Widya, 1995).
9

Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1996),
hlm. 133.
10

tidak

menguntungkan

Peraturan

pemerintah

pengaruh
Hindia

dan

kewibawaan

Belanda

tersebut

Belanda. 11
nampak

menginginkan pendidikan Islam hilang di bumi Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Karel A. Steenbrink. “Religion and Education in a Changing Indonesia”,
dalam The Indonesian Journal for Muslim Culture, Vol.1, No.2, 2001, hlm. 17-18.
11

Alfian, Muhammadiyah: The Political Behaviour of a Muslim Modernist Organization
under Dutch Colonialism, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1989).
Alwi Shihab, Membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi
Misi Kristen di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998).
Benda, Harry J., “Christian Snouck Hurgronje dan Landasan Kebijakan Belanda
Terhadap Islam di Indonesia”, dalam Ahmad Ibrahim dkk., Islam Asia Tenggara: Perspektif
Sejarah, (Jakarta: LP3ES, 1989).
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1996).
Husnul Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985).
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam Indonesia, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya,
1995).
Marwati Djoened Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia
“Jilid V”, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993).
Shcolten, Elsbeth Locher, Etika yang Berkeping-keping, (Jakarta: Jambatan, 1996).
Steenbrink, Karel A., Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam Dalam Kurun
Modern, (Jakarta: LP3ES, 1994).
__________________, “Religion and Education in a Changing Indonesia”, dalam The
Indonesian Journal for Muslim Culture, Vol.1, No.2, 2001.
Van Niel, Robert, Munculnya Elit Modern Indonesia, (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya,
1984).